IKPI Soroti Tantangan Implementasi KEP-54/PJ/2025, Minta Perpanjangan Waktu dan Kepastian Transisi

IKPI, Jakarta: Setelah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 54/PJ/2025 pada 12 Februari 2025, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyambut baik kebijakan tersebut. Namun, IKPI juga mengajukan beberapa masukan agar pelaksanaan kebijakan ini lebih optimal dan tidak membebani Wajib Pajak (WP).

Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI, Pino Siddharta, menyampaikan bahwa meskipun kebijakan ini merupakan langkah solutif bagi WP yang mengalami kendala dalam menggunakan coretax system, masih ada beberapa tantangan yang perlu diatasi.

“Kami menghargai adanya alternatif dalam penerbitan Faktur Pajak, tetapi ada aspek teknis dan administratif yang harus diperbaiki agar kebijakan ini bisa berjalan dengan baik,” ungkapnya.

Salah satu kendala yang disoroti adalah batas waktu pengunggahan Faktur Pajak. Dengan KEP-54/PJ/2025 yang baru terbit pada 12 Februari, WP yang harus mengunggah Faktur Pajak Keluaran untuk Masa Januari 2025 paling lambat 15 Februari memiliki waktu yang sangat terbatas. IKPI mengusulkan agar batas waktu diperpanjang hingga 25 bulan berikutnya untuk memberi kelonggaran bagi WP yang masih mengalami kendala teknis. IKPI juga meminta agar Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) dapat berlaku mundur untuk Masa Pajak Januari hingga Februari 2025.

Menurut Pino, penutupan sistem e-Nofa per 1 Januari 2025 membuat banyak WP tidak sempat mengajukan NSFP sebelum kebijakan baru diterapkan. “Banyak WP yang tidak memiliki NSFP karena e-Nofa sudah ditutup, sementara di sisi lain mereka kesulitan mengunggah Faktur Pajak di coretax. Sebaiknya ada kebijakan transisi agar NSFP bisa berlaku surut untuk dua bulan pertama ini,” ujarnya.

Terkait implementasi kebijakan, IKPI menekankan pentingnya sosialisasi yang lebih luas agar semua pihak memahami perubahan ini. Berdasarkan rilis DJP, penerbitan Faktur Pajak melalui e-Faktur Desktop tidak berlaku untuk beberapa kategori, seperti penjualan kepada turis asing, PPN Ditanggung Pemerintah, dan PKP yang baru dikukuhkan setelah 1 Januari 2025. Hal ini berpotensi menimbulkan kebingungan jika tidak disosialisasikan dengan baik.

Selain itu, IKPI menyoroti perlunya masa transisi yang cukup sebelum seluruh WP diwajibkan kembali menggunakan coretax system. “Jika nanti semua WP harus kembali menggunakan coretax, harus ada waktu transisi yang cukup agar mereka bisa menyesuaikan diri,” kata Pino.

IKPI juga meminta kejelasan apakah WP dapat menggunakan coretax dan e-Faktur Desktop dalam bulan yang berbeda. “Misalnya, apakah WP diperbolehkan menggunakan coretax untuk Januari dan Februari, lalu beralih ke e-Faktur Desktop mulai Maret? Jika tidak diperbolehkan, maka harus ada solusi agar tidak terjadi permasalahan dalam pelaporan,” jelasnya.

Sebagai langkah perlindungan bagi WP, IKPI mengusulkan agar DJP menerbitkan Surat Edaran (SE) kepada seluruh Kanwil dan Kantor Pelayanan Pajak untuk tidak secara otomatis menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) atas keterlambatan akibat kendala coretax system. “Jika hal ini tidak bisa dihentikan, setidaknya perlu ada mekanisme yang mempercepat penghapusan STP akibat kendala teknis yang tidak disebabkan oleh kelalaian WP,” katanya.

IKPI berharap pemerintah dapat mempertimbangkan masukan ini agar kebijakan perpajakan semakin mendukung kepatuhan dan kemudahan bagi WP dalam menjalankan kewajibannya. (bl)

en_US