PMK 37/2025 Dinilai Tutup Celah Penghindar Pajak di E-Commerce

IKPI, Jakarta: Lonjakan transaksi perdagangan digital di Indonesia akhirnya mendorong pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025. Aturan ini menugaskan marketplace menjadi pemungut pajak atas transaksi para pedagang online (merchant) dengan tarif 0,5 persen.

Kepala Grup Tax BCA, Yuandri Martua Philip, menyebut PMK 37/2025 sebagai tonggak penting dalam reformasi perpajakan digital. Menurutnya, regulasi ini bukanlah pajak baru, melainkan mekanisme untuk menutup celah yang selama ini membuat banyak transaksi e-commerce lolos dari radar pajak.

“Sebelumnya, ketika marketplace membayar hasil penjualan kepada merchant, 100 persen diteruskan tanpa potongan pajak. Hanya dipotong biaya manajemen. Dengan PMK 37, marketplace ditunjuk sebagai pemungut pajak. Jadi nomor 12 sampai 100 yang selama ini bebas, kini mulai bisa tersentuh,” kata Yuandri dalam Seminar Perpajakan di Perbanas Institute, Selasa (16/9/2025).

Yuandri menjelaskan, aturan ini merupakan kelanjutan dari wacana sejak 2013 ketika Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Surat Edaran 62. Saat itu, pemajakan e-commerce hanya menyentuh penyelenggara marketplace, bukan pedagang di dalamnya. Upaya lanjutan melalui PMK 210/2018 sempat ditolak keras oleh asosiasi e-commerce dan akhirnya dibatalkan.

“Dari situ kita belajar. Penolakan terjadi karena kurang sosialisasi dan pemahaman. Sekarang pemerintah sudah jauh lebih matang, ada edukasi, ada komunikasi, dan yang paling penting: penekanan bahwa ini bukan pajak baru. Sama sekali tidak menaikkan harga barang. Hanya mekanisme pemungutan yang berbeda,” jelasnya.

Dalam PMK 37, marketplace besar yang memiliki omzet lebih dari Rp600 juta per tahun atau trafik lebih dari 12 ribu akses per tahun wajib menjadi pemungut pajak. Bahkan marketplace luar negeri juga bisa ditunjuk apabila memenuhi kriteria. Bukti pemungutan pajak cukup berupa invoice digital yang diterbitkan marketplace, sehingga bisa dikreditkan oleh wajib pajak badan maupun UMKM.

Namun, Yuandri menegaskan tantangan terbesar bukan pada regulasi, melainkan pada kesiapan sistem dan keamanan data.

“Marketplace harus menyiapkan sistem pemungutan, ini butuh biaya. Lalu, keamanan data juga sangat penting. Jangan sampai terjadi kebocoran data nasabah atau pedagang. Kalau dua hal ini terjaga, aturan bisa berjalan mulus,” ungkapnya.

Yuandri menambahkan, PMK 37/2025 juga punya tujuan besar: menciptakan level playing field antara pelaku usaha digital dan konvensional. Selama ini, perusahaan besar selalu taat memotong dan menyetor pajak ketika menggunakan jasa luar negeri, sementara individu yang bertransaksi dengan platform global seperti Google atau Facebook sering luput dari kewajiban.

“Dengan aturan ini, fairness bisa lebih tercapai. Semua yang menikmati pertumbuhan ekonomi digital ikut berkontribusi. Inilah cara menutup kebocoran, sambil memastikan teko pajak kita terisi penuh,” ujarnya. (bl)

 

Pajak Minimum Global Berlaku, Indonesia Hadapi Tantangan Baru

IKPI, Jakarta: Indonesia resmi memasuki era baru perpajakan internasional dengan mulai berlakunya Global Minimum Tax (GMT) pada 1 Januari 2025. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024 yang mengadopsi kesepakatan global di bawah kerangka OECD.

Vice Managing Partner of PB Taxand, Didit Permana Adi Saputra, menyebut kebijakan GMT bukanlah pajak baru, melainkan mekanisme baru untuk memastikan perusahaan multinasional membayar pajak sesuai standar minimum global.

“Konsep ini disebut GLOBE atau Global Anti-Base Erosion Rules. Intinya, grup usaha dengan pendapatan konsolidasi di atas 750 juta euro wajib membayar pajak minimal 15 persen di seluruh dunia,” ujar Didit dalam diskusi perpajakan di Perbanas Institute, Jakarta, Selasa (16/9/2025).

Didit menuturkan, GMT bekerja melalui mekanisme top up tax. Jika sebuah entitas di suatu negara hanya dikenakan pajak efektif di bawah 15 persen, maka perusahaan wajib menambah bayarannya hingga mencapai batas minimal tersebut. Skema ini dijalankan dengan tiga instrumen utama, yakni Income Inclusion Rule (IIR), Undertaxed Payment Rule (UTPR), dan Qualified Domestic Minimum Top-Up Tax (QDMTT).

Meski cakupannya di Indonesia relatif terbatas, diperkirakan kurang dari 1.000 perusahaan namun korporasi yang terkena aturan ini adalah pemain besar. Karena itu, dampaknya terhadap penerimaan negara tetap signifikan.

“Kalau Indonesia tidak ikut menerapkan, justru pajak dari perusahaan yang beroperasi di sini akan dipungut negara lain yang sudah lebih dulu memberlakukan GMT. Itu jelas merugikan kita,” kata Didit

Namun di balik peluang menambah penerimaan, Indonesia juga menghadapi tantangan besar. Pertama, GMT berpotensi mengurangi daya tarik insentif fiskal nasional seperti tax holiday atau keringanan pajak lain. “Di satu sisi kita ingin menarik investasi dengan insentif. Tapi di sisi lain, kalau tarif efektif jatuh di bawah 15 persen, perusahaan tetap harus top up. Insentif kita jadi kurang menarik,” jelasnya.

Tantangan kedua adalah peningkatan beban administrasi. Perusahaan multinasional tidak hanya wajib menyampaikan SPT tahunan, tetapi juga laporan tambahan seperti SPT PPh GLOBE dan dokumen Globe Information Return. Hal ini menuntut kesiapan administrasi dan sistem kepatuhan yang lebih kompleks.

Didit menambahkan, implementasi GMT juga bisa berdampak pada sinkronisasi regulasi domestik dengan aturan internasional. Jika tidak dikelola dengan hati-hati, justru ada risiko sebagian potensi penerimaan Indonesia mengalir ke negara lain.

Meski demikian, ia menekankan bahwa kebijakan ini membawa manfaat strategis jangka panjang. GMT mencegah praktik profit shifting, menciptakan level playing field antarnegara, melindungi basis pajak domestik, serta memastikan keadilan perpajakan global.

“Kesimpulannya, mau tidak mau kita harus ikut. Tantangan pasti ada, tapi kalau kita tidak ikut, kerugiannya lebih besar. Indonesia harus segera menyiapkan strategi insentif baru yang selaras dengan GMT agar tetap kompetitif menarik investasi,” ujarnya. (bl)

Pino Siddharta: Pajak Karbon Jadi Instrumen Moral untuk Selamatkan Indonesia

IKPI, Depok: Pajak karbon bukan hanya instrumen fiskal untuk menambah penerimaan negara, melainkan juga alat moral dan peradaban dalam menghadapi ancaman perubahan iklim. Hal itu disampaikan Ketua Departemen Litbang dan Pengkajian Kebijakan Fiskal Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Pino Siddharta, dalam diskusi perpajakan di Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI), Depok, Kamis (18/9/2025).

“Dengan pajak karbon, kita mengubah perilaku ekonomi menuju aktivitas hijau, mendorong inovasi, serta menjaga warisan bumi untuk generasi mendatang,” ujar Pino di hadapan peserta yang mayoritas mahasiswa.

Ia menegaskan bahwa setiap aktivitas manusia, mulai dari menyalakan kendaraan hingga melakukan perjalanan singkat, meninggalkan jejak karbon yang pada akhirnya akan menimbulkan dampak serius. “Jangan sampai mahasiswa berpikir, pajak karbon hanya soal pasal dan tarif. Tidak! Pajak karbon adalah soal masa depan, soal kepedulian, dan soal keberlanjutan Indonesia,” tegasnya.

Pino mengungkapkan, posisi Indonesia dalam peta emisi global menunjukkan tren mengkhawatirkan. Pada 2022, Indonesia tercatat berada di peringkat ketujuh dunia sebagai penghasil emisi karbon. Namun pada 2024, saat kebakaran hutan besar terjadi, posisi itu melonjak ke peringkat keempat.

“Indonesia adalah negara kepulauan dengan lebih dari 17 ribu pulau. Jika suhu bumi terus meningkat, permukaan laut naik, maka sebagian pulau akan tenggelam. Itu bukan ancaman masa depan, melainkan realitas yang sudah mulai terlihat,” katanya.

Kondisi ini semakin berbahaya karena sekitar 65 persen penduduk Indonesia tinggal di kawasan pesisir. Menurut Pino, kelompok masyarakat inilah yang paling rentan terkena dampak langsung perubahan iklim. “Risikonya jelas: krisis air, rusaknya ekosistem laut, merosotnya kualitas kesehatan, hingga kelangkaan pangan,” ujarnya.

Kerugian ekonomi akibat dampak perubahan iklim juga tidak kecil. Ia menyebut potensi kerugian bisa mencapai Rp440 triliun atau sekitar 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). “Angka itu setara dengan hilangnya kesempatan membangun sekolah, rumah sakit, dan infrastruktur penting lainnya,” tambahnya.

Prinsip Keadilan dalam Pajak Karbon

Pino menegaskan, penerapan pajak karbon harus berpijak pada prinsip polluter pays principle, yakni siapa yang mencemari lingkungan, dialah yang membayar. Namun ia mengingatkan agar kebijakan ini tidak serta-merta diberlakukan tanpa perhitungan dampak sosial.

“Penerapan harus dilakukan bertahap agar tidak menekan masyarakat kecil. Yang perlu dibebani terlebih dahulu adalah sektor besar yang menyumbang emisi terbesar, bukan rumah tangga atau mahasiswa,” ujarnya.

Ia menambahkan bahwa pajak karbon pada akhirnya dapat menjadi pemicu lahirnya ekonomi hijau. Instrumen ini diyakini mampu mendorong perusahaan berinovasi, mencari energi terbarukan, serta menekan ketergantungan terhadap sumber daya fosil.

Menurut Pino, isu pajak karbon tidak boleh hanya dipandang sebagai urusan pemerintah atau korporasi. “Ini agenda nasional. Semua pihak, termasuk generasi muda, harus sadar bahwa kita tengah berpacu dengan waktu,” ucapnya.

Ia menekankan, tanpa kesadaran kolektif, Indonesia akan menghadapi krisis multidimensi yang tidak hanya merugikan ekonomi, tetapi juga mengancam keselamatan jutaan jiwa. “Pajak karbon adalah ikhtiar kita untuk memastikan Indonesia tetap berdiri di tengah tantangan global,” pungkasnya. (bl)

BI Sebut Tarif Trump Bikin Ekonomi Dunia Melorot

IKPI, Jakarta: Bank Indonesia (BI) menegaskan perekonomian dunia tengah menghadapi tekanan berat akibat kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Kebijakan itu dinilai telah memperlambat arus perdagangan global dan menggerus kinerja ekspor sejumlah negara besar.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan China menjadi negara yang paling terdampak karena dikenakan tarif resiprokal sebesar 30 persen. “Ekspor China menurun tajam ke AS sehingga kinerja ekonominya melambat, apalagi ditambah lemahnya permintaan domestik, khususnya di sektor investasi,” ujar Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG), Rabu (17/9/2025).

Ia menambahkan, bukan hanya China yang merasakan dampak tarif Trump. Negara-negara maju lain, seperti Eropa dan Jepang, juga mengalami perlambatan. “Ekonomi Eropa dan Jepang ikut melemah sejalan dengan tertekannya ekspor,” jelas Perry.

Meski begitu, India menjadi pengecualian. Negeri tersebut masih mampu menjaga momentum pertumbuhan berkat dorongan stimulus fiskal yang memacu konsumsi rumah tangga. “Ekonomi India sedikit meningkat karena ditopang belanja pemerintah,” tambah Perry.

Melihat perkembangan ini, BI memprediksi ekonomi dunia sepanjang 2025 hanya akan tumbuh sekitar 3 persen. Perry mengingatkan, gejolak global masih berpotensi mengguncang pasar keuangan sehingga Indonesia perlu meningkatkan kewaspadaan.

“Ke depan, volatilitas pasar keuangan global masih akan berlanjut. Karena itu, koordinasi kebijakan dan penguatan respons domestik menjadi kunci untuk menjaga ketahanan ekonomi nasional,” tegasnya. (alf)

 

 

 

 

KP2KP Banjarnegara Perkuat Pemahaman Bendahara Desa Soal Coretax DJP

IKPI, Jakarta: Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) Banjarnegara kembali hadir memberikan pembinaan bagi aparatur desa. Kali ini, dukungan diberikan melalui Bimbingan Teknis (Bimtek) Coretax DJP yang digelar di Balai Desa Cendana, Kecamatan Banjarnegara, baru-baru ini.

Kegiatan tersebut diikuti oleh para bendahara desa se-Kecamatan Banjarnegara dan merupakan tindak lanjut dari sosialisasi Coretax DJP yang telah dilaksanakan pada Februari lalu. Bimtek digelar atas undangan Pemerintah Kecamatan Banjarnegara yang menilai perlunya pendalaman materi agar implementasi Coretax DJP berjalan optimal.

Kepala KP2KP Banjarnegara, Sapto Yudiyanto, dalam sambutannya menegaskan pentingnya aplikasi Coretax DJP bagi tata kelola administrasi perpajakan di instansi pemerintah.

“Dengan adanya aplikasi Coretax DJP, kewajiban administrasi perpajakan diharapkan dapat dijalankan lebih tertib dan sesuai ketentuan,” ungkap Sapto.

Sesi diskusi menjadi salah satu bagian yang paling interaktif. Penyuluh Pajak, Wimi Sambaca, memberikan penjelasan teknis mengenai prosedur jika terjadi kesalahan identitas dalam pembayaran pajak.

“Misalnya pembayaran yang seharusnya atas nama desa justru tercatat atas nama kepala desa, maka dapat dilakukan pemindahbukuan melalui akun Coretax DJP pribadi kepala desa ke akun instansi pemerintah desa,” jelas Wimi.

Bimtek yang berlangsung hangat ini ditutup dengan apresiasi dari peserta kepada KP2KP Banjarnegara. Mereka menilai kegiatan tersebut sangat membantu dalam meningkatkan pemahaman bendahara desa terkait administrasi perpajakan. (alf)

 

Pemkot Bengkulu Siapkan Hadiah Rumah untuk Warga Taat Pajak Restoran

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kota Bengkulu melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) meluncurkan gebrakan baru guna mendorong kesadaran masyarakat dalam membayar pajak restoran dan rumah makan. Program tersebut dikemas dalam bentuk apresiasi undian berhadiah yang bisa diikuti warga hanya dengan menyimpan struk pembayaran makan di tempat usaha yang telah ditentukan.

Walikota Bengkulu, Dedy Wahyudi, menjelaskan bahwa inisiatif ini tidak hanya bertujuan meningkatkan penerimaan daerah, tetapi juga menjadi sarana edukasi tentang pentingnya pajak bagi pembangunan kota. “Kita ingin budaya membayar pajak bukan karena takut, tapi karena sadar. Pajak ini kembali untuk kita semua dalam bentuk pembangunan,” ujarnya, Kamis (18/9/2025).

Mekanismenya cukup sederhana. Warga hanya perlu memasukkan struk pembayaran dari rumah makan atau restoran ke dalam kotak yang telah disediakan di lokasi usaha. Setiap struk yang terkumpul akan otomatis masuk dalam undian. Hadiah yang disiapkan pun tidak main-main: satu unit sepeda listrik setiap bulan, hingga grand prize berupa satu unit rumah di akhir periode.

Menurut Dedy, program ini sekaligus memastikan transparansi pelaporan pajak oleh pelaku usaha. Dengan adanya pengumpulan struk, publik dapat ikut mengawasi apakah pajak benar-benar disetorkan sesuai aturan. “Kotak pengumpulan struk akan ditempatkan langsung di rumah makan yang bekerja sama dengan Pemkot Bengkulu. Jadi masyarakat bisa merasakan langsung keterlibatan dalam mengawasi pajak,” jelasnya.

Ia menambahkan, pajak restoran dan rumah makan merupakan salah satu sumber penting bagi pembangunan fasilitas publik, mulai dari jalan, drainase, hingga penerangan jalan. “Kenapa ini sering saya ingatkan? Karena kita ingin terus membangun. Kalau tidak dari pajak, dari mana lagi biaya untuk itu semua?” tegasnya.

Bapenda Bengkulu dalam waktu dekat akan melakukan sosialisasi ke berbagai restoran yang sudah menjalin kerja sama. Harapannya, program apresiasi ini bisa membentuk budaya tertib pajak di kalangan warga sekaligus meningkatkan kontribusi sektor kuliner terhadap pendapatan daerah. (alf)

 

 

 

 

Hippindo Desak Pemerintah Berikan Insentif Pajak untuk Pekerja Ritel

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, mendesak pemerintah agar segera memberikan stimulus perpajakan bagi pekerja di sektor ritel. Ia menilai pekerja ritel juga masuk dalam kategori padat karya, sama halnya dengan sektor industri manufaktur yang selama ini sudah lebih dulu mendapat dukungan.

“Selama ini yang dapat stimulus kebanyakan pabrik-pabrik. Padahal ritel juga padat karya, tapi belum tersentuh. Restoran memang sudah, tapi toko baju, department store, supermarket, itu belum dapat insentif sama sekali,” ungkap Budihardjo, Kamis (18/9/2025).

Menurutnya, kebijakan pemerintah berupa pengurangan beban biaya, khususnya melalui insentif pajak, akan memberi dampak signifikan terhadap perekonomian domestik. Dukungan fiskal akan membantu pelaku ritel bertahan di tengah tekanan pasca-pandemi, sekaligus menjaga daya beli masyarakat.

“Harusnya sektor padat karya itu nggak cuma pabrik, tapi juga jasa seperti ritel. Apapun yang bisa mengurangi biaya, itu akan kembali mendorong ekonomi dalam negeri,” jelasnya.

Sejauh ini, pemerintah baru memperluas insentif berupa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) bagi pekerja di sektor padat karya dan pariwisata. Insentif tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025 dan belakangan mencakup sekitar 552 ribu pekerja di sektor hotel, restoran, dan kafe (horeka). Namun, pekerja di toko ritel modern belum masuk dalam daftar penerima manfaat.

“Retail belum dapat, tapi kita sedang mengajukan kembali,” tegas Budihardjo.

Lebih lanjut, ia menyatakan dukungan penuh terhadap kebijakan Kementerian Keuangan yang menitikberatkan pada penguatan sektor riil dan perdagangan dalam negeri. Menurutnya, insentif fiskal yang diberikan kepada sektor produktif akan langsung menciptakan lapangan kerja baru sekaligus memperkuat ekosistem perdagangan.

“Kita mendukung program pemerintah untuk memperkuat sektor riil. Kalau perdagangan dalam negeri makin kuat, otomatis tercipta lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi akan ikut terdorong,” ujarnya.

Hippindo menilai pasar domestik Indonesia yang sangat besar harus dilindungi dengan kebijakan yang tepat sasaran. Dengan adanya stimulus pajak bagi pekerja ritel, daya beli masyarakat bisa meningkat dan roda ekonomi nasional bergerak lebih cepat.

“Pasar kita besar, kita harus amankan. Dengan stimulus, daya beli bisa tercipta, dan itu akan menguntungkan ekonomi nasional,” pungkas Budihardjo. (alf)

 

DJP Jawab Kritik “Berburu di Kebun Binatang”, Fokus Ekstensifikasi dan CRM

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan strategi pemungutan pajak di Indonesia tidak hanya mengandalkan wajib pajak eksisting, tetapi juga diarahkan untuk memperluas basis pajak di masa depan. Pernyataan ini disampaikan menyusul kritik sejumlah pihak yang menilai kebijakan pajak nasional masih berorientasi semata pada penerimaan negara.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menuturkan pihaknya terus mengedepankan keseimbangan antara ekstensifikasi dan intensifikasi. Ekstensifikasi dilakukan melalui pemanfaatan data pihak ketiga, peningkatan literasi, serta inklusi perpajakan yang menyasar calon wajib pajak baru. Sementara intensifikasi ditempuh lewat penerapan Compliance Risk Management (CRM).

“Sejak 2019, CRM digunakan untuk memetakan wajib pajak berdasarkan risiko ketidakpatuhan dan dampak fiskalnya. Dari pemetaan itu, wajib pajak dibagi ke dalam sembilan kuadran untuk menentukan perlakuan yang tepat,” jelas Rosmauli, Kamis (18/9/2025).

Menurutnya, wajib pajak yang patuh dengan kontribusi fiskal rendah hanya perlu mendapatkan pelayanan dan edukasi. Sebaliknya, bagi yang berisiko tinggi dan berdampak besar, DJP menyiapkan langkah penegakan hukum.

Kritik terbaru datang dari Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu yang menilai strategi perpajakan saat ini masih seperti “berburu di kebun binatang”. Menurut Mari, DJP terlalu fokus pada peningkatan penerimaan tanpa menekankan kepatuhan berkelanjutan.

“Fakta bahwa targetnya adalah revenue, itu berarti berburu di kebun binatang. Intensifikasi dilakukan hanya dengan memungut dari orang yang sama, bukan memperluas basis,” kata Mari dalam diskusi Indonesia Update di kanal YouTube ANU Indonesia Project, Jumat (12/9/2025).

Mari juga menyoroti turunnya rasio pajak Indonesia yang hanya 8,4 persen terhadap PDB pada semester I 2025, jauh di bawah rata-rata Asia Tenggara yang mencapai 16 persen. Ia menilai ada masalah struktural dalam administrasi perpajakan yang perlu segera diperbaiki.

Suara serupa juga muncul dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) dalam laporan bertajuk “Dengan Hormat, Pejabat Negara: Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang”.

Penerimaan Masih Tumbuh

Meski dihantam kritik, DJP mengklaim penerimaan pajak tetap menunjukkan tren positif. Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, memaparkan realisasi penerimaan hingga September 2025 mencapai Rp1.269,44 triliun, dengan angka bersih setelah restitusi sebesar Rp990,01 triliun.

“Realisasi bruto konsisten tumbuh sejak Maret 2025. Angka ini meningkat 1,67 persen dibandingkan periode sama tahun lalu,” ujar Bimo dalam RDP bersama Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu (10/9/2025).

Meski demikian, capaian itu baru menyumbang sekitar 45,2 persen dari target APBN 2025 senilai Rp2.189,3 triliun. Rinciannya, penerimaan dari PPh Badan Rp174,47 triliun (turun 9,1 persen), PPh Orang Pribadi Rp14,98 triliun (naik 37,7 persen), PPN dan PPnBM Rp350,62 triliun (turun 12,8 persen), serta PBB Rp12,53 triliun (melonjak 129,7 persen). (alf)

 

 

 

 

Dorong Pemerintah Segera Jalankan Pajak Karbon, IKPI: Jangan Berhenti pada Wacana!

IKPI, Depok: Ketua Departemen Litbang dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI, Pino Siddharta, mengkritisi lambannya implementasi pajak karbon di Indonesia. Menurutnya, meskipun landasan hukum sudah tersedia, tanpa aturan teknis yang jelas, kebijakan ini hanya akan menjadi macan kertas.

“Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan sudah ada. Perpres tentang nilai ekonomi karbon juga ada. Tapi, bisakah langsung jalan? Tidak! Karena aturan teknisnya belum keluar. PMK soal tarif, mekanisme pemungutan, hingga peta jalan karbon harus segera diterbitkan. Kalau tidak, semua hanya berhenti pada wacana,” tegas Pino dalam diskusi di FIA Universitas Indonesia, Kamis (18/9/2025).

Pino mencontohkan, sejumlah negara sudah lebih dulu menerapkan pajak karbon dengan tarif beragam. Jepang mengenakan 3 dolar AS per ton, Singapura 3,66 dolar, Kolombia 4,45 dolar, Spanyol 17,48 dolar, hingga Prancis dengan tarif 49 dolar per ton.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Indonesia? Baru menetapkan tarif minimum Rp30 per kilogram, itu pun belum konsisten diterapkan. Kalau kita lambat, jangan heran bila daya saing kita melemah di pasar global. Uni Eropa sudah mulai mengenakan bea impor berbasis emisi karbon. Produk Indonesia bisa terhambat masuk jika kita sendiri tak punya regulasi tegas,” jelasnya.

Lebih dari Sekadar Penerimaan Negara

Pino mengingatkan, pajak karbon bukan hanya urusan menambah kas negara. Esensi terbesarnya adalah mengubah perilaku industri dan mendorong investasi energi terbarukan.

“Kalau pemerintah serius, pajak karbon bisa jadi pemicu lahirnya ekonomi hijau. Tapi kalau hanya diseret-seret untuk mengejar penerimaan, kita akan kehilangan momentum. Ingat, dunia tidak menunggu Indonesia,” katanya.

Ia menambahkan, bursa karbon yang sudah diluncurkan pada Januari 2025 seharusnya menjadi momentum untuk memperluas sektor pajak karbon. Namun tanpa regulasi yang tegas, pasar karbon hanya akan jadi etalase kosong.

“Pajak karbon bukan hanya soal angka Rp30 per kilogram. Ini soal reputasi kita sebagai bangsa yang bertanggung jawab. Kalau aturan tak segera keluar, kita hanya akan dikenang sebagai negara yang pandai membuat undang-undang, tapi gagap dalam eksekusi,” ujarnya.(bl)

Permana Agung Ingatkan Bahaya Pajak Jika Salah Desain

IKPI, Jakarta: Pajak tidak sekadar angka penerimaan negara. Pajak bisa menjadi instrumen pembangunan, tapi juga bisa berubah menjadi sumber kerugian sosial-ekonomi bila salah didesain. Pesan itulah yang disampaikan cendekiawan pajak, Permana Agung Dradjatun, saat menjadi panelis dalam diskusi perpajakan yang digelar Perbanas Institute, Jakarta, Selasa (16/9/2025).

Permana memulai paparannya dengan contoh sederhana: harga sebuah pizza senilai 10 dolar. Bagi konsumen A, nilainya 16 dolar, sedangkan bagi konsumen B hanya 12 dolar. Ketika pajak dikenakan dan harga naik menjadi 14 dolar, A masih bisa membeli, tapi dengan surplus lebih kecil. Sedangkan B langsung keluar dari pasar karena nilai yang ia rasakan lebih rendah dari harga baru.

“Negara memang mendapat penerimaan pajak, tapi ada fenomena dimana penerimaan itu lebih kecil dibandingkan total kerugian konsumen. Inilah yang disebut deadweight loss,” ujar Permana.

Ia menjelaskan, ada tiga beban pajak yang ditanggung masyarakat. Pertama, beban finansial berupa uang yang harus disetor. Kedua, administrative burden, yaitu waktu, tenaga, dan biaya untuk mengurus kewajiban pajak. Ketiga, kerugian ekonomi berupa hilangnya efisiensi pasar akibat pajak.

“Para pembuat kebijakan harus sadar, di balik angka penerimaan, ada pengorbanan nyata masyarakat. Jangan sampai kebijakan hanya fokus ke target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tapi menutup mata pada beban rakyat,” tegasnya.

Lebih jauh, Permana menekankan pentingnya memahami titik keseimbangan tarif pajak. Ia mengingatkan, jika tarif pajak terlalu tinggi hingga masuk prohibitive range, maka penerimaan justru turun. “Kalau dipaksa naik, bukan hanya penerimaan jeblok, tapi juga semangat kerja masyarakat hilang. Bahkan bisa memicu pengangguran,” katanya.

Menurutnya, kunci reformasi pajak terletak pada keseimbangan antara efisiensi dan keadilan. “Di negara maju, efisiensi sudah tidak diperdebatkan, tinggal bicara soal equity. Di Indonesia, dua-duanya masih jadi masalah besar,” ujarnya.

Permana mengajak mahasiswa dan peserta diskusi untuk tidak melihat pajak sekadar alat fiskal. Pajak, katanya, bisa menjadi instrumen perubahan perilaku, insentif pertumbuhan ekonomi, hingga alat mengoreksi eksternalitas negatif.

“Pajak bukan hanya mesin pemungut uang. Pajak harus dirancang sebagai alat pembangunan sosial dan ekonomi bangsa,” ujarnya. (bl)

 

en_US