Perkuat Reformasi Perpajakan Disebut Kunci Tingkatkan Rasio Pajak RI

IKPI, Jakarta: Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mengoptimalkan pendapatan negara, dengan rasio pajak yang masih rendah di angka 10%, tentu pemerintah harus bekerja keras merumuskan berbagai kebijakan guna mendongkrak rasio pajak.

Pasalnya, rasio pajak Indonesia jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, seperti Kamboja yang mencatatkan rasio pajak sebesar 16,4% dan Thailand yang mencapai 14,3%.

Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran Budi Mulya, menyoroti masalah ketimpangan ini. Dalam Seminar KAFEGAMA yang mengusung tema “Menuju Pertumbuhan Menuju Indonesia Maju” pada Sabtu (14/12/2024), Budi mengungkapkan rendahnya rasio pajak ini menjadi penghambat utama dalam meningkatkan kemampuan negara untuk meningkatkan pengeluaran produktif yang diperlukan untuk mendanai berbagai program strategis di sektor ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Menurut Budi, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional, rasio pajak Indonesia harus ditingkatkan secara bertahap. Salah satu langkah yang dianggap krusial adalah memperkuat reformasi perpajakan, mulai dari perbaikan sistem administrasi pajak hingga meningkatkan kepatuhan pajak di kalangan masyarakat dan dunia usaha.

“Penting bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem perpajakan kita, baik dari sisi administrasi maupun kepatuhan. Semua pihak harus berkontribusi secara adil dan proporsional untuk pembangunan negara,” ujar Budi.

Selain itu, Budi juga menyoroti rendahnya rasio belanja pemerintah Indonesia yang saat ini masih tergolong kecil bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Meski begitu, ia menegaskan bahwa yang lebih penting bukan hanya besarnya belanja pemerintah, melainkan juga kualitas belanja tersebut, untuk memastikan efektivitas dan efisiensi dari program-program yang dijalankan.

Ia berharap dengan reformasi perpajakan yang lebih baik dan peningkatan kapasitas belanja negara, Indonesia dapat mencapai rasio pajak yang lebih tinggi. Hal ini diharapkan dapat mempercepat pencapaian tujuan pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan Indonesia dapat memperbaiki kinerja ekonomi secara keseluruhan dan mengurangi ketergantungan pada utang, serta memperkuat fondasi fiskal negara untuk menghadapi tantangan global. (alf)

Hanif Dhakiri: Kenaikan PPN Harus Memperhatikan Kemampuan Rakyat 

IKPI, Jakarta: Wakil Ketua Komisi XI DPR Hanif Dhakiri, mengungkapkan pandangannya mengenai kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%. Menurut Hanif, penerapan kebijakan tersebut tidak bisa dipukul rata untuk seluruh masyarakat Indonesia, melainkan harus memperhitungkan kemampuan rakyat dalam membayar pajak.

“Dari sudut pandang saya, kita tidak bisa hanya melihat dari sisi penerimaan negara saja, tapi yang lebih penting adalah kemampuan rakyat untuk membayar pajak,” ujar Hanif di Jakarta, Sabtu (14/15/2024).

Hanif menegaskan, meskipun ia sepakat dengan pentingnya pajak yang lebih tinggi, hal tersebut harus disesuaikan dengan kemampuan masyarakat. “Pajak tinggi, setuju nggak? Setuju, selama masyarakat punya kemampuan untuk membayar. Kalau tidak, malah akan muncul ketidakstabilan sosial. Bukannya penerimaan negara naik, negara malah ribut,” ujarnya.

Menurutnya, penerapan PPN 12% yang tidak memperhatikan daya beli masyarakat bisa berisiko meningkatkan ketidakstabilan sosial. Dia menekankan pentingnya melakukan analisis mendalam sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan agar tidak justru menambah beban ekonomi masyarakat, terutama kelompok menengah ke bawah.

Hanif juga menyoroti fakta bahwa daya beli masyarakat saat ini menurun, sementara pendapatan mereka stagnan atau bahkan menurun. “Daya beli masyarakat kita memang menurun, harga cenderung naik, sementara penghasilan stagnan atau cenderung menurun. Itulah yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun,” katanya.

Meski demikian, ia mengakui bahwa penerapan PPN 12% dapat meningkatkan pendapatan negara hingga mencapai Rp 80 triliun. Namun, dia menilai lebih penting untuk memperhatikan aspek kemampuan masyarakat agar penerapan kebijakan ini tidak menambah beban ekonomi yang terlalu berat bagi rakyat. (alf)

Seminar Kolaborasi IKPI dan Kanwil DJP Jakarta Pusat Diharapkan Tingkatkan Pemahaman Terhadap Implementasi Coretax

IKPI, Jakarta:  Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Pusat menggelar seminar kolaborasi dengan Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Pusat pada Jumat, 13 Desember 2024. Seminar ini bertajuk “Pengenalan Simulator Coretax System & Poin-Poin Kunci PMK 81 Tahun 2024”. Acara ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman para konsultan pajak terhadap sistem perpajakan terbaru dan menjalin hubungan yang lebih erat antara IKPI dengan DJP.

Ketua IKPI Cabang Jakarta Pusat, Suryani, mengungkapkan beberapa tujuan utama dari seminar tersebut. Tujuannya untuk meningkatkan wawasan perpajakan bagi para konsultan agar mereka dapat memberikan pemahaman yang lebih baik terkait sistem Coretax kepada Wajib Pajak (WP).

Selain itu kata Suryani, kolaborasi ini diharapkan dapat mempererat kerja sama antara IKPI Jakarta Pusat dan DJP, khususnya Kanwil Jakarta Pusat, sehingga apabila ada kendala dalam implementasi sistem perpajakan, kedua pihak dapat saling membantu.

(Foto: IKPI Cabang Jakarta Pusat)

“Kami ingin menjalin hubungan yang baik dengan DJP, karena IKPI adalah mitra strategis dari DJP. Dengan kerja sama ini, kami berharap dapat saling membantu ketika ada tantangan dalam pelaksanaan sistem perpajakan yang baru,” ujar Suryani, Minggu (15/12/2024).

Ia menyampaikan, bahwa IKPI Jakarta Pusat telah berupaya mengoptimalkan pemahaman peserta melalui berbagai cara. Salah satunya adalah dengan menghadirkan sesi simulasi langsung mengenai sistem Coretax yang dipandu oleh tim DJP, dengan narasumber utama, Togar, seorang penyuluh dari DJP.

Selain itu, sesi tanya jawab juga menjadi salah satu bagian penting dalam seminar tersebut, di mana peserta dapat berinteraksi langsung dan mendalami topik yang dibahas.

(Foto: IKPI Cabang Jakarta Pusat)

Suryani mengungkapkan, seminar yang dihadiri oleh 109 peserta ini mencatatkan antusiasme yang luar biasa. Dari total peserta, 74 orang berasal dari anggota IKPI Cabang Jakarta Pusat, sementara 35 peserta lainnya berasal dari masyarakat umum dan anggota IKPI cabang lainnya.

“Para peserta tampak sangat aktif mengikuti seminar dari pukul 08.00 hingga 17.00 WIB. Banyak dari mereka yang membawa laptop untuk mengikuti simulasi dan terlihat sangat antusias dalam bertanya,” ujarnya.

Melihat antusiasme para peserta yang datang dari pagi hingga sore hari, serta keseriusan mereka dalam mengikuti simulasi, kami merasa seminar ini berhasil meningkatkan kompetensi mereka. Bahkan, ada peserta yang masih ingin bertanya meskipun acara telah selesai.

Ia berharap, kegiatan kolaborasi seperti ini dapat terus berlanjut untuk meningkatkan kualitas pemahaman ilmu perpajakan di kalangan anggota. “Sebagai mitra DJP, IKPI Jakarta Pusat berharap dapat memberikan masukan yang berguna bagi DJP dalam merumuskan regulasi perpajakan yang lebih baik, guna meningkatkan kepatuhan administrasi perpajakan serta penerimaan negara dari sektor pajak,” ujarnya.

Selain itu, Suryani juga berharap kolaborasi ini dapat terus berlanjut, dan IKPI sebagai mitra DJP dapat memberikan saran yang konstruktif dalam penyusunan regulasi perpajakan. Dengan demikian, kepatuhan administrasi perpajakan dapat terjaga dan penerimaan pajak negara dapat tercapai dengan optimal.

Sekadar informasi, hadir sejumlah Pengurus Pusat IKPI pada acara tersebut:

1. Ketua Umum, Vaudy Starworld

2. Wakil Ketua Umum, Jetty

3. Ketua Departemen Focus Group Discussion (FGD) Suwardi Hasan –

4. Ketua Departemen Humas, Jemmi Sutiono

5. Ketua Departemen IT, Hendrik Saputra

6. Ketua Departemen Keanggotaan dan Etika Robert Hutapea

7. Anggota Dewan Kehormatan IKPI, Lam Sunjaya

8. Ketua IKPI Pengurus Daerah DKJ, Tan Alim

9. ⁠Ketua Bidang Humas Pengda DKJ Herry Juwana

10. Biro Keuangan IKPI, Frisa Islan

11. Ketua Bidang Pengembangan IT, Welvin

Hadir juga tamu undangan lainnya:

1. Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Pusat, Eddy Wahyudi

2. Kepala Bid. Humas Kanwil DJP Jakarta Pusat, Agustinus Dicky Hariadi

3. Pemateri, Togar Anaro Lumban Tobing

4. Tim Kanwil DJP Jakarta Pusat

Dengan kegiatan seperti ini, diharapkan bahwa kolaborasi antara IKPI dan DJP dapat semakin solid, untuk menciptakan iklim perpajakan yang lebih baik di Indonesia. (bl)

IKPI Pengda Sumbagteng akan Meningkatkan Pemahaman Wajib Pajak di Kota Dumai

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengurus Daerah, Sumatera Bagian Tengah (Pengda Sumbagteng) akan menggelar seminar pada 8 Januari 2025 di Kota Dumai, Riau. Seminar ini bertujuan untuk memberikan pemahaman lebih dalam mengenai sistem Coretax kepada wajib pajak di kota Dumai, serta mempersiapkan laporan SPT Orang Pribadi dn Badan dengan benar, dan sekaligus mengantisipasi timbulnya Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) dan pemeriksaan pajak.

Menurut Ketua IKPI Pengda Sumbagteng Lilisen, seminar ini diselenggarakan untuk memperkenalkan sistem Coretax yang baru kepada wajib pajak Dumai dan persiapan pelaporan pajak akhir tahun. “Kami ingin membantu wajib pajak di Dumai untuk mempersiapkan laporan SPT Orang Pribadi dan Badan dengan benar, guna mengantisipasi timbulnya SP2DK dan pemeriksaan pajak,” ujar Lilisen, Sabtu (14/12/2024).

Untuk memastikan pemahaman yang maksimal lanjut Lilisen, seminar ini akan menghadirkan narasumber dari Kanwil DJP Riau atau KPP Pratama Dumai, yang diharapkan dapat memberikan penjelasan secara mendalam terkait sistem pajak terbaru.

Ia juga menjelaskan bahwa meskipun belum ada cabang IKPI di Dumai, banyak wajib pajak di sana yang menggunakan jasa konsultan pajak dari kota Pekanbaru. “Karena itu, kami dari Pengda Sumbagteng berinisiatif untuk mengadakan seminar ini di Dumai,” ujarnya.

Seminar ini menargetkan 20 peserta dari masyarakat umum, dengan fokus utama pada wajib pajak yang ingin mendapatkan pemahaman lebih baik mengenai sistem Coretax. “Seminar ini lebih mengutamakan edukasi bagi wajib pajak, bukan untuk anggota IKPI,” kata Lilisen.

Diharapkan, seminar ini dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang fitur dan manfaat Coretax, serta membantu peserta dalam mengoptimalkan pelaporan pajak mereka. Selain itu, Lilisen menekankan bahwa seminar ini akan berbentuk edukasi yang lebih praktis, dengan peserta memanfaatkan NPWP masing-masing dalam kegiatan tersebut, yang memungkinkan pengalaman belajar secara langsung.

Terkait harapan untuk seminar ini, Lilisen berharap acara ini dapat meningkatkan pemahaman pajak di kalangan wajib pajak, khususnya di Dumai, serta meningkatkan kompetensi konsultan pajak yang tergabung dalam IKPI.

Menurutnya, gelaran seminar ini juga dilatarbelakangi oleh tawaran Kanwil DJP Riau yang bersedia menjadi narasumber bagi klien-klien konsultan pajak yang belum menerima undangan edukasi Coretax baik secara daring maupun luring. Dengan pendekatan ini, IKPI Pengda Sumbagteng berharap dapat memberikan edukasi yang lebih menyeluruh bagi wajib pajak yang membutuhkan informasi lebih lanjut mengenai sistem baru ini. (bl)

Perbedaan Kebijakan Tarif PPN Indonesia dan Vietnam, Airlangga Sebut Tak Pengaruhi Daya Saing Indonesia

IKPI, Jakarta: Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia, Airlangga Hartarto, memberikan tanggapan terkait kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) yang berbeda antara Indonesia dan Vietnam. Di tengah keputusan Indonesia untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12% per 1 Januari 2025, Vietnam justru memperpanjang pengurangan tarif PPN dari 10% menjadi 8% hingga Juni 2025.

Menurut Airlangga, kebijakan pajak setiap negara disesuaikan dengan kondisi ekonomi domestik yang berbeda. Oleh karena itu, meskipun ada perbedaan tarif PPN antara kedua negara, hal tersebut tidak akan memengaruhi daya saing Indonesia. Ia menegaskan bahwa tarif PPN 12% di Indonesia hanya berlaku untuk barang mewah, yang tidak akan mengganggu sektor lainnya.

“Perbedaan negara, perbedaan kebijakan,” ujar Airlangga dalam pernyataan resminya pada Jumat (13/12/2024). Ia juga menyebutkan bahwa lebih rinci mengenai kebijakan tarif PPN dan insentif fiskal serta non-fiskal yang menyertainya akan diumumkan pada Senin pekan depan.

Sementara itu, kebijakan Vietnam yang memperpanjang pengurangan tarif PPN dari 10% menjadi 8% diharapkan dapat merangsang konsumsi dan mendukung produksi serta bisnis. Langkah ini diputuskan setelah Majelis Nasional Vietnam menyetujui perpanjangan pengurangan pajak tersebut. Pengurangan tarif PPN di Vietnam diharapkan dapat menurunkan biaya barang dan jasa, yang akan membantu ekonomi negara tersebut yang masih berjuang pasca-pandemi.

Namun, keputusan ini juga diperkirakan akan menurunkan pendapatan anggaran negara Vietnam sekitar 26,1 triliun dong (Rp 16 triliun) pada paruh pertama tahun 2025. Meski demikian, hal ini diyakini akan berdampak positif pada sektor produksi dan bisnis yang dapat menghasilkan pendapatan untuk negara.

Perbedaan kebijakan fiskal antara Indonesia dan Vietnam ini mencerminkan bagaimana kedua negara menyesuaikan strategi ekonominya sesuai dengan tantangan dan prioritas domestik masing-masing. Indonesia memilih untuk menaikkan tarif PPN, sementara Vietnam memutuskan untuk tetap melanjutkan kebijakan pengurangan pajak guna mendorong daya beli dan aktivitas ekonomi di tengah pemulihan pasca-pandemi. (alf)

Barang dan Jasa Ini Dikecualikan dari Kenaikan PPN 12%

IKPI, Jakarta: Pemerintah mengumumkan kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, yang akan mulai berlaku pada tahun 2025. Kebijakan ini merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Namun, pemerintah tetap memberikan pengecualian pada sejumlah barang dan jasa tertentu agar tidak membebani masyarakat, terutama di sektor-sektor yang vital bagi kehidupan sosial dan ekonomi.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa meskipun tarif PPN naik, beberapa barang dan jasa tetap akan dibebaskan dari pajak atau dikenakan tarif PPN yang lebih rendah. Hal ini dilakukan untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendukung sektor-sektor penting seperti kebutuhan pokok, kesehatan, pendidikan, serta sektor sosial lainnya.

Barang dan Jasa yang Dikecualikan dari PPN:

1. Barang Pokok dan Kebutuhan Sehari-hari

Pemerintah memastikan bahwa bahan pangan seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu segar, dan gula konsumsi tidak akan dikenakan PPN, guna menjaga harga tetap terjangkau bagi masyarakat.

2. Jasa Pendidikan

Jasa pendidikan, termasuk biaya sekolah dan pelatihan, juga dibebaskan dari PPN untuk mempermudah akses pendidikan bagi masyarakat.

3. Jasa Kesehatan

Termasuk di dalamnya layanan kesehatan seperti pengobatan, vaksinasi, dan obat-obatan, yang bertujuan untuk meringankan beban biaya kesehatan bagi masyarakat.

4. Jasa Transportasi Umum

Transportasi umum, yang penting bagi mobilitas masyarakat, akan tetap bebas dari PPN untuk memastikan tarif yang terjangkau.

5. Jasa Tenaga Kerja

Layanan sosial dan jasa tenaga kerja yang disediakan oleh pemerintah juga akan dibebaskan dari PPN, mendukung kesejahteraan sosial masyarakat.

6. Jasa Keuangan dan Asuransi

Bidang keuangan dan asuransi, yang memberikan perlindungan finansial kepada masyarakat, juga akan mendapatkan pengecualian PPN.

7. Rumah Sederhana, Pemakaian Listrik, dan Air Minum

Kebutuhan dasar rumah tangga seperti rumah sederhana, penggunaan listrik, dan air minum akan bebas PPN, bertujuan untuk menjaga kestabilan biaya hidup.

Sri Mulyani juga menegaskan bahwa PPN 12% hanya akan diterapkan pada barang-barang mewah yang umumnya dikonsumsi oleh kalangan dengan kemampuan ekonomi lebih. Daftar barang yang akan dikenakan tarif PPN baru ini masih dalam proses penyusunan dan akan diumumkan pada pekan depan.

Menteri Keuangan juga menegaskan bahwa meski tarif PPN mengalami kenaikan, pemerintah tetap berkomitmen untuk menjalankan kebijakan ini dengan mengedepankan asas keadilan. “Pelaksanaan UU harus tetap menjaga asas keadilan. Kami berusaha untuk terus menyempurnakan kebijakan ini agar dapat memberikan manfaat maksimal bagi seluruh lapisan masyarakat,” kata Sri Mulyani di kantornya baru-baru ini.

Pemerintah berharap, dengan kebijakan ini, dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan efisien, sambil tetap menjaga daya beli masyarakat dan keberlangsungan sektor-sektor ekonomi yang krusial.

Dengan adanya kebijakan ini, masyarakat diharapkan tetap bisa mengakses kebutuhan dasar dengan harga yang wajar, meskipun tarif PPN mengalami penyesuaian. Rencananya, Menteri Keuangan bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto akan mengumumkan secara resmi rincian lebih lanjut terkait kebijakan PPN pada pekan depan. (alf)

Kenaikan HJE Rokok, Pemerintah Pesan 17 Juta Pita Cukai ke PERURI

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani, mengumumkan bahwa pemerintah akan mempertahankan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2025, namun harga jual eceran (HJE) rokok dipastikan akan mengalami kenaikan. Kebijakan ini akan berlaku untuk rokok konvensional dan rokok elektrik, yang saat ini sedang dalam tahap harmonisasi melalui dua Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Askolani menjelaskan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pengendalian konsumsi rokok serta pengaturan pasar yang lebih efektif, dengan mempertimbangkan faktor-faktor seperti kesehatan masyarakat dan keberlanjutan industri rokok. Dua PMK tersebut diharapkan dapat diterapkan pada awal 2025, dengan rincian mengenai kenaikan HJE yang lebih jelas.

Meski CHT tidak mengalami kenaikan, pemerintah tetap berharap kebijakan ini dapat meminimalkan dampak negatif dari fenomena “down trading,” yaitu kecenderungan konsumen untuk beralih ke produk rokok dengan harga lebih murah. Hal ini menjadi perhatian utama pemerintah yang terus berupaya untuk mengendalikan konsumsi rokok sembari menjaga lapangan pekerjaan dalam industri tersebut.

Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa persiapan pita cukai baru untuk tahun 2025 telah rampung dikerjakan oleh Perum PERURI dan diperkirakan akan selesai pada bulan Desember ini. Proses persiapan pita cukai tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan produksi rokok di awal tahun, dengan estimasi perusahaan rokok akan memesan sekitar 15 hingga 17 juta pita cukai pada Januari 2025.

“Kami berharap pita cukai ini dapat segera dipenuhi, dan kami akan memastikan bahwa jumlah pesanan yang dibutuhkan dapat kami penuhi sesuai ketentuan,” ujar Askolani di Kementerian Keuangan, baru-baru ini.

Dengan kebijakan ini, pemerintah berkomitmen untuk menyeimbangkan pengendalian konsumsi rokok, keberlanjutan industri, dan perlindungan kesehatan masyarakat. Diharapkan, kebijakan yang diterapkan pada 2025 ini dapat menciptakan dampak positif yang lebih besar di bidang sosial-ekonomi serta kesehatan. (alf)

Kemenkeu Rilis Kenaikan HJE Rokok yang Berlaku 1 Januari 2025

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah merilis harga jual eceran (HJE) rokok yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Meskipun tarif cukai hasil tembakau (CHT) tidak mengalami kenaikan, harga jual rokok di masyarakat tetap mengalami peningkatan. Hal ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97 Tahun 2024 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun Atau Klobot, dan Tembakau Iris.

Dalam peraturan tersebut, harga jual eceran rokok akan mengalami kenaikan bervariasi sesuai dengan jenis dan golongan rokok. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mengendalikan konsumsi tembakau, melindungi industri tembakau yang padat karya, dan mengoptimalkan penerimaan negara.

Beberapa poin utama harga jual eceran rokok yang berlaku mulai 1 Januari 2025 adalah sebagai berikut:

Sigaret Kretek Mesin (SKM)

• Golongan I: Harga jual paling rendah Rp 2.375/batang (naik 5,08%) dengan tarif cukai Rp 1.231/batang

• Golongan II: Harga jual paling rendah Rp 1.485/batang (naik 7,6%) dengan tarif cukai Rp 746/batang

Sigaret Putih Mesin (SPM)

• Golongan I: Harga jual paling rendah Rp 2.495/batang (naik 4,8%) dengan tarif cukai Rp 1.336/batang

• Golongan II: Harga jual paling rendah Rp 1.565/batang (naik 6,8%) dengan tarif cukai Rp 794/batang

Sigaret Kretek Tangan (SKT) atau Sigaret Putih Tangan (SPT)

• Golongan I: Harga jual eceran paling rendah Rp 1.555/batang sampai Rp 2.170/batang dengan tarif cukai Rp 378/batang

• Golongan II: Harga jual paling rendah Rp 995/batang (naik 15%) dengan tarif cukai Rp 223/batang

• Golongan III: Harga jual paling rendah Rp 860 (naik 18,6%) dengan tarif cukai Rp 122/batang

• Sigaret Kretek Tangan Filter (SKTF) atau Sigaret Putih Tangan Filter (SPTF)

• Harga jual eceran paling rendah Rp 2.375/batang (naik 5%) dengan tarif cukai Rp 1.231/batang

Sigaret Kelembak Kemenyan (KLM)

• Golongan I: Harga jual paling rendah Rp 950 dengan tarif cukai Rp 483/batang (tidak ada perubahan dari 2024)

• Golongan II: Harga jual paling rendah Rp 200 dengan tarif cukai Rp 25/batang (tidak ada perubahan dari 2024)

Jenis Tembakau Iris (TIS) dan Jenis Rokok Daun atau Klobot (KLB)

• Harga jual paling rendah Rp 55-180 (tidak ada perubahan dari tahun ini)

• Harga jual paling rendah Rp 290 (tidak ada perubahan dari tahun ini)

Jenis Cerutu (CRT)

• Harga jual paling rendah Rp 495 sampai Rp 5.500 (tidak ada perubahan dari tahun ini)

Kebijakan ini diperkirakan akan memberi dampak pada daya beli masyarakat terhadap produk tembakau, serta memperkuat upaya pemerintah dalam mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia.

Sementara itu, sektor industri tembakau yang masih padat karya diperkirakan akan tetap dapat mempertahankan daya saingnya dengan optimasi penerimaan negara dari sektor cukai hasil tembakau. (alf)

Pajak Baru Meningkatkan Biaya Tahunan Kendaraan Bermotor

IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan baru yang akan menambah beban biaya tahunan yang harus dibayar oleh pemilik kendaraan bermotor. Dalam aturan baru tersebut, dua kolom rincian biaya pada STNK akan bertambah, yakni pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), yang diubah dengan adanya pajak tambahan.

Pajak baru ini menetapkan bahwa ada opsi PKB dan BBNKB sebesar 66 persen dari besaran pajak terutang. Artinya, jika saat ini kendaraan bermotor dikenakan PKB sebesar Rp1 juta, pemilik kendaraan akan dikenakan tambahan PKB sebesar Rp660 ribu. Dengan tambahan tersebut, total pajak kendaraan yang harus dibayar menjadi Rp1,6 juta.

Pajak baru ini harus dibayarkan oleh pemilik kendaraan bersamaan dengan penyetoran pajak kendaraan bermotor setiap tahunnya. Kebijakan ini diperkirakan akan memberikan dampak signifikan terhadap biaya operasional kendaraan bagi konsumen, mengingat besaran pajak yang harus dibayar akan terus meningkat.

Masyarakat diminta untuk mempersiapkan anggaran tambahan ini, seiring dengan diberlakukannya kebijakan tersebut pada tahun mendatang. Pemerintah berharap kebijakan ini dapat meningkatkan pendapatan negara sekaligus mendorong kesadaran masyarakat akan pentingnya pembayaran pajak yang tepat waktu. (alf)

Pemerintah Segera Umumkan Daftar Barang Terkena PPN 12%, Fokus pada Barang Mewah

IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia akan mengumumkan daftar barang yang akan dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% pada pekan depan. Hal ini disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers APBN KiTa, Rabu (11/12/2024).

Sri Mulyani menjelaskan bahwa pengumuman tersebut masih dalam tahap finalisasi, di mana pemerintah tengah memformulasikan kebijakan yang mencakup berbagai aspek seperti anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), keadilan sosial, daya beli masyarakat, dan pertumbuhan ekonomi. Menurutnya, keputusan ini perlu diseimbangkan dengan aspirasi masyarakat.

“Beberapa arahan dan diskusi terus kami lakukan, dan ini dalam tahap finalisasi. Kami akan segera mengumumkan bersama dengan Menko Perekonomian mengenai keseluruhan paket, tidak hanya terkait dengan PPN 12%,” ujarnya.

Pengenaan PPN 12% ini hanya akan berlaku untuk barang-barang mewah, sedangkan barang dan jasa yang selama ini menjadi kebutuhan pokok masyarakat akan tetap dibebaskan dari kenaikan PPN.

Sri Mulyani memastikan bahwa barang-barang seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu segar, gula konsumsi, serta jasa pendidikan, kesehatan, dan angkutan umum akan tetap bebas PPN. Selain itu, barang kebutuhan lainnya seperti buku, vaksinasi, rumah sederhana, dan rusunami juga tidak akan terpengaruh oleh kebijakan tersebut.

“Barang-barang yang tidak terkena PPN tetap akan dipertahankan, tetapi PPN 12% akan diberlakukan hanya untuk barang-barang yang dianggap mewah,” ujarnya.

Keputusan kenaikan PPN menjadi 12% merupakan implementasi dari amanat Undang-Undang yang bertujuan untuk menyeimbangkan prinsip keadilan dalam perekonomian. Sri Mulyani juga menyebutkan bahwa meskipun PPN yang berlaku secara umum adalah 11%, sejumlah barang dan jasa tetap dibebaskan dari pungutan PPN. Diperkirakan pada tahun 2025, pembebasan PPN akan mencapai Rp265,6 triliun, sebuah angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan tahun ini yang diperkirakan mencapai Rp231 triliun.

Dengan demikian, meskipun PPN ditingkatkan menjadi 12%, pembebasan untuk barang-barang tertentu tetap diutamakan guna menjaga daya beli masyarakat dan memenuhi kebutuhan pokok. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi beban masyarakat yang kurang mampu sambil tetap mendukung potensi pendapatan negara. (alf)

en_US