Banyak Salah Kaprah, IKPI Ingatkan Soal NPWP Suami Istri

(Foto: Tangkapan Layar Zoom Meeting)

IKPI, Jakarta: Masih banyak wajib pajak di Indonesia yang keliru memahami status Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) antara suami dan istri. Padahal, kesalahan kecil dalam penentuan status ini bisa berakibat panjang mulai dari salah lapor, salah hitung, hingga berujung sanksi pajak.

Hal itu disampaikan oleh Ida Bagus Md Utama, anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), dalam webinar edukasi pajak gratis yang digelar IKPI secara rutin melalui Zoom Meeting, baru-baru ini.

Dalam diskusi ini, Ida Bagus memaparkan banyak temuan lapangan yang menunjukkan bahwa sebagian besar wajib pajak belum benar-benar memahami aturan dasar terkait NPWP keluarga.

“Yang sering terjadi, suami-istri sama-sama punya penghasilan dan masing-masing punya NPWP, tapi tidak tahu bagaimana cara melaporkannya dengan benar. Bahkan ada yang pakai konsultan pajak pun masih salah paham,” ujarnya.

Menurut Ida Bagus, status NPWP suami-istri bukan sekadar urusan administratif, tetapi berdampak langsung terhadap cara pelaporan dan penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi. Ia menegaskan, kesalahan memahami hal ini bisa mengacaukan penggabungan penghasilan, pengakuan PTKP, hingga besaran pajak yang harus dibayar.

“Misalnya, kalau istri bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, maka seharusnya punya NPWP terpisah dari suami. Tapi kalau penghasilannya berasal dari suami, cukup digabung dalam NPWP suami. Ini yang sering tertukar,” jelasnya.

Dalam paparannya, ia mengingatkan bahwa dasar hukum terkait hal ini bersandar pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang telah diperbarui melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

“Semua wajib pajak harus tahu bahwa pengaturan soal suami-istri sudah jelas di undang-undang. Jangan hanya ikut-ikutan atau mengira semua pasangan harus punya NPWP masing-masing,” tegasnya.

Lebih jauh, Ida Bagus juga memberikan tiga langkah praktis agar wajib pajak tidak salah menentukan status NPWP:

1. Pahami sumber penghasilan keluarga. Jika penghasilan istri bukan berasal dari suami, ia berhak memiliki NPWP sendiri.

2. Laporkan data perkawinan dan penghasilan dengan jujur. Setiap perubahan status harus segera diperbarui melalui DJP Online.

3. Konsultasikan sebelum lapor. Bila ragu, wajib pajak sebaiknya berkonsultasi ke KPP terdekat atau konsultan pajak bersertifikat.

“Pajak bukan sekadar kewajiban tahunan, tapi cerminan keteraturan administrasi keuangan keluarga,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya kepatuhan berbasis pemahaman, bukan sekadar ketakutan terhadap sanksi. “Kalau kita tahu dasar hukumnya dan paham mekanismenya, maka patuh pajak bukan lagi beban, tapi bagian dari kedewasaan finansial keluarga,” pungkasnya.

Sekadar informasi, kegiatan edukasi rutin ini menjadi bagian dari komitmen IKPI untuk terus memperluas literasi perpajakan publik dan membantu pemerintah meningkatkan kepatuhan pajak melalui pendekatan edukatif, ringan, dan aplikatif. (bl)

IKPI Tegaskan Pajak Suami-Istri Harus Dihitung Proporsional, Bukan Asal Pisah!

(Foto: Tangkapan Layar Zoom Meeting)

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) terus menunjukkan komitmennya dalam meningkatkan literasi perpajakan masyarakat. Melalui webinar edukasi pajak yang digelar secara rutin dan terbuka untuk umum, organisasi profesi yang baru saja meraih dua Rekor MURI ini berupaya membantu pemerintah memperluas pemahaman masyarakat tentang hak dan kewajiban perpajakannya.

Salah satu pembahasan menarik adalah penggabungan penghasilan suami-istri dalam pelaporan SPT Tahunan. Anggota IKPI, I Gede Sumerta, yang juga sebagai salah satu narasumber pada diskusi tersebut menegaskan bahwa masih banyak wajib pajak yang keliru dalam memahami konsep ini, terutama dalam penerapan tarif pajak final dan umum.

“Banyak yang mengira kalau suami dan istri bekerja di tempat berbeda, maka pajaknya bisa langsung dipisah begitu saja. Padahal tidak sesederhana itu,” ujarnya. 

Secara prinsip lanjut, Ia menegaskan bahwa penghasilan suami dan istri merupakan satu kesatuan ekonomis. Jadi penghitungan pajaknya harus dilakukan secara gabungan terlebih dahulu, baru kemudian dibagi secara proporsional antara keduanya.

Menurut I Gede Sumerta, kesalahan umum wajib pajak sering muncul pada tahap penghitungan pajak terutang. Ia mencontohkan, jika suami berpenghasilan Rp480 juta per tahun dan istri Rp240 juta, maka total penghasilan gabungannya Rp720 juta. Setelah dikurangi PTKP gabungan, penghasilan kena pajaknya dihitung sesuai tarif progresif yang berlaku. Dari hasil itu, barulah beban pajak masing-masing pihak dibagi sesuai porsi penghasilan mereka.

“Kalau digabung, pajak memang tampak lebih besar. Tapi itu karena total penghasilan meningkat, sehingga kena tarif progresif yang lebih tinggi. Itu bukan berarti salah, justru itu bentuk keadilan dalam sistem pajak kita,” jelasnya.

Ia juga menekankan pentingnya memahami PHMT (Penghasilan yang Menghendaki Perhitungan Tersendiri) agar tidak salah tafsir. Banyak wajib pajak yang sengaja atau tidak sengaja memilih memisahkan pelaporan suami-istri tanpa dasar yang sah, padahal ketentuannya jelas diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.

“Kalau ingin pisah pelaporan, harus ada pemberitahuan resmi ke DJP dan memenuhi syarat tertentu. Tidak bisa asal pilih karena merasa lebih ringan,” tegasnya.

Melalui webinar ini, IKPI mengingatkan bahwa edukasi pajak bukan sekadar soal angka dan hitungan, tetapi juga soal pemahaman hukum dan etika pelaporan. Ia berharap, semakin banyak masyarakat memahami cara perhitungan pajak yang benar, maka potensi kekeliruan dan sanksi administrasi bisa diminimalkan.

“Bagi kami, tujuan akhirnya bukan sekadar meningkatkan kepatuhan, tapi menciptakan masyarakat yang sadar dan cerdas pajak,” pungkasnya. (bl)

Penerimaan Pajak Lesu, Ekonom UGM Usul Hidupkan Aset Negara Jadi Mesin Uang Baru!

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Realisasi penerimaan pajak hingga kuartal III-2025 kembali menunjukkan tren melemah. Kondisi ini menjadi sinyal bahwa basis penerimaan negara sedang rapuh dan ruang fiskal makin terbatas jika pemerintah hanya mengandalkan pajak sebagai sumber utama pendapatan.

Kepala Laboratorium Departemen Ekonomika dan Bisnis UGM, Kun Haribowo, menilai pemerintah perlu segera mencari sumber penerimaan alternatif yang tidak membebani masyarakat. Salah satunya, kata dia, melalui pemanfaatan Barang Milik Negara (BMN) yang selama ini banyak menganggur.

“Di tengah ekonomi yang masih lesu, pemerintah perlu mengoptimalkan pembiayaan di luar utang dan di luar pungutan pajak,” ujar Kun dalam keterangannya, Senin (6/10/2025).

Ia menjelaskan, strategi jangka panjang memang telah ditempuh melalui pembentukan Danantara, lembaga pengelola sovereign wealth fund (SWF) Indonesia. Namun, menurutnya, pemerintah juga harus memikirkan langkah cepat dalam jangka pendek untuk memperkuat ketahanan fiskal.

“Banyak aset negara yang idle—seperti lahan kosong, gedung tak terpakai, dan area publik—sebenarnya punya potensi besar untuk dikonversi menjadi penerimaan baru tanpa menekan rakyat,” paparnya.

Aset-aset tersebut, lanjutnya, bisa dihidupkan lewat berbagai skema seperti sewa, kerja sama pemanfaatan (KSP), atau bangun guna serah (BGS/BSG). Terlebih, pemerintah sudah memiliki dasar hukum kuat melalui PP Nomor 28 Tahun 2020 dan PMK Nomor 115/2020 yang memungkinkan Menteri Keuangan bersama kementerian/lembaga untuk mengoptimalkan aset negara yang belum produktif.

“Optimalisasi aset negara menjadi solusi jangka pendek untuk menambah penerimaan tanpa menekan masyarakat,” tegas Kun.

Ia juga menekankan, pengelolaan BMN yang lebih produktif tidak hanya memperkuat posisi fiskal, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur, penciptaan lapangan kerja, hingga peningkatan layanan publik.

Sejumlah aset potensial, seperti lahan kosong, gedung perkantoran, jalan umum, hingga area parkir yang terintegrasi dengan stasiun pengisian kendaraan listrik, disebut Kun bisa diubah menjadi “mesin uang baru” bagi negara.

“Dengan inovasi, transparansi, dan tata kelola yang baik, aset negara yang selama ini diam bisa diubah menjadi sumber energi fiskal baru,” pungkasnya. (alf)

IKPI Gelar “GOBAR” Serentak di Tiga Wilayah, Awali Pembentukan Komunitas Golf Konsultan Pajak

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

 IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) akan menggelar kegiatan Golf Bareng (GOBAR) secara serentak di tiga wilayah pada 13 Oktober 2025. Acara ini menjadi langkah awal menuju pembentukan Komunitas Golf IKPI, sebagai wadah silaturahmi dan jejaring antaranggota serta mitra di sektor keuangan.

Wakil Ketua Umum IKPI Nuryadin Rahman mengatakan, GOBAR akan digelar bersamaan di Permata Sentul (Jabodetabek), Bali, dan Solo–Yogyakarta. Masing-masing lokasi akan terhubung melalui Zoom Meeting, sehingga seluruh peserta di tiga wilayah dapat menyimak sambutan pembukaan dari Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld secara serentak.

“Acara GOBAR ini bukan hanya untuk olahraga, tapi juga untuk mempererat hubungan dan memperluas jaringan antarsejawat serta asosiasi sahabat di sektor keuangan,” ujar Nuryadin.

Di wilayah Jabodetabek, kegiatan akan dipusatkan di Permata Sentul Golf Club, dengan jumlah peserta yang sudah mencapai hampir 30 orang terdaftar, dan ditargetkan meningkat menjadi sekitar 40 peserta atau 10 flight.

“Peserta berasal dari anggota IKPI, beberapa asosiasi sahabat, dan perwakilan dari departemen pemerintahan,” ujarnya, Senin (6/10/2025).

Sementara itu, IKPI Pengda Bali juga tengah menyiapkan lokasi untuk pelaksanaan GOBAR di Pulau Dewata, sedangkan wilayah Solo–Yogyakarta berencana memusatkan kegiatan di Merapi Golf Club. Seluruh wilayah akan melaksanakan permainan golf secara bersamaan pada tanggal yang sama.

Nuryadin menambahkan, sebelum melakukan GOBAR serentak, Ketum IKPI akan meresmikan berdirinya komunitas golf IKPI sekaligus menunjuk anggota IKPI hang menjadi ketua komunitas.

“Tanggal 13 Oktober ini Pak Ketum, Vaudy Starworld akan meresmikan dan menunjuk ketua komunitasnya. Dihari itu juga, ketua komunitas akan diberikan surat keputusan (SK) pengangkatan,” kata Nuryadin.

Ia juga mengapresiasi inisiatif IKPI Cabang Kota Bekasi yang sebelumnya telah menjalin kerja sama dengan Prigondani Driving Golf sebagai contoh sinergi positif antara cabang dan mitra lokal.

“Langkah Cabang Kota Bekasi bisa jadi contoh bagi cabang lain. Ke depan, tak menutup kemungkinan ada turnamen golf antarcabang IKPI,” ujarnya.

Menurutnya, melalui GOBAR, IKPI berharap kegiatan ini dapat menjadi wadah interaksi santai namun produktif, mempererat hubungan antarprofesional di bidang perpajakan, serta membuka ruang kolaborasi dengan berbagai asosiasi di sektor keuangan dalam suasana yang penuh keakraban. (bl)

Aturan Data Konkret Jadi Senjata Baru DJP, Pengemplang Pajak Siap-Siap!

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan resmi memperkuat langkah pengawasan dan penegakan hukum dengan menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor 18 Tahun 2025 tentang Tindak Lanjut Data Konkret. Aturan yang terbit pada 24 September 2025 ini merupakan turunan langsung dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 tentang Pemeriksaan Pajak, yang mempertegas wewenang DJP dalam menggunakan data faktual sebagai dasar pemeriksaan pajak.

Melalui beleid baru ini, DJP kini memiliki landasan lebih kuat untuk menindaklanjuti “data konkret”yakni data yang diperoleh atau dimiliki otoritas pajak, seperti faktur pajak yang tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN, bukti potong PPh yang diabaikan, hingga data transaksi atau bukti penghasilan yang tidak tercantum dalam laporan pajak.

Dalam aturan tersebut, DJP merinci delapan bentuk data konkret yang bisa digunakan untuk menghitung ulang kewajiban pajak wajib pajak (WP). Mulai dari kelebihan kompensasi SPT PPN yang tak sesuai ketentuan, pengkreditan pajak masukan oleh WP yang tidak berhak, pemanfaatan insentif pajak secara tidak tepat, hingga penghasilan yang tidak dilaporkan berdasarkan data bukti potong.

Tak hanya itu, data yang sudah pernah dimintai klarifikasi namun tak ditindaklanjuti oleh WP juga dapat langsung menjadi dasar penetapan pajak baru. Langkah ini diharapkan membuat pengawasan pajak lebih efektif dan mencegah manipulasi laporan oleh pihak-pihak yang mencoba bermain di area abu-abu perpajakan.

Sebelumnya, peringatan keras datang dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang menegaskan pemerintah tak akan memberi ruang bagi para pengemplang pajak besar. Ia mengungkapkan, saat ini sekitar 200 penunggak pajak besar dengan total kewajiban mencapai Rp60 triliun telah diidentifikasi dan siap ditindak.

“Pasti masuk Rp60 triliun ke kas negara tahun ini. Kalau enggak, dia susah hidupnya di sini,” ujar Purbaya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (23/9/2025).

Purbaya menegaskan, pada 2026 Kementerian Keuangan bersama aparat penegak hukum akan terus menyisir para penunggak pajak besar guna memaksimalkan penerimaan negara. Meski demikian, ia menjamin bahwa pemerintah akan tetap adil kepada wajib pajak yang patuh.

“Kita akan menerapkan fair treatment. Kalau sudah bayar pajak, jangan diganggu sama sekali. Enggak ada lagi cerita pegawai pajak meras-meras wajib pajak,” tegasnya.

Sebagai bentuk komitmen, Purbaya juga berencana membuka saluran khusus pengaduan bagi wajib pajak yang mengalami perlakuan tidak adil dari petugas pajak.

Dengan hadirnya aturan “data konkret” ini, DJP kini memegang senjata baru dalam mempersempit ruang penghindaran pajak, sementara pemerintah memastikan perlakuan yang adil bagi setiap wajib pajak yang taat. (alf)

DJP Ajak Wajib Pajak Aktivasi Akun Coretax, Begini Caranya!

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengimbau seluruh wajib pajak (WP) di Indonesia untuk segera melakukan aktivasi akun Coretax DJP. Imbauan ini disampaikan melalui akun resmi Instagram @ditjenpajakri, Senin (6/10/2025).

DJP menegaskan, setiap wajib pajak wajib memiliki dan mengaktifkan akun Coretax karena sistem ini menjadi pusat utama semua layanan administrasi perpajakan sekaligus sarana untuk memperoleh informasi resmi terkait pajak.

“Jadi penting banget untuk aktivasi sekarang,” tulis DJP dalam unggahannya.

Setidaknya terdapat tiga alasan utama mengapa wajib pajak perlu segera mengaktifkan akun Coretax. Pertama, agar tidak ketinggalan informasi penting perpajakan. Kedua, Coretax akan digunakan sebagai sarana pelaporan SPT Tahunan 2025. Ketiga, langkah ini mendukung penuh proses digitalisasi perpajakan nasional.

Untuk melakukan aktivasi akun, wajib pajak dapat mengikuti langkah-langkah berikut:

1. Kunjungi situs resmi DJP di https://coretaxdjp.pajak.go.id.

2. Klik tautan “Aktivasi Akun Wajib Pajak”.

3. Centang pertanyaan “Apakah Wajib Pajak sudah terdaftar?”.

4. Masukkan NPWP, lalu klik “Cari” untuk memastikan data sesuai.

5. Isi email dan nomor telepon yang terdaftar di sistem DJP hingga muncul tanda centang hijau.

6. Lakukan verifikasi wajah dengan klik “Take a Photo” dan pastikan wajah terlihat jelas tanpa aksesori seperti masker atau kacamata.

7. Setelah foto tervalidasi, klik “Validasi Foto”, lalu kirim permohonan aktivasi.

8. Centang pernyataan wajib pajak dan klik “Simpan” untuk menyelesaikan proses.

DJP mengingatkan, aktivasi akun Coretax menjadi langkah penting agar wajib pajak dapat menikmati layanan digital DJP secara penuh dan memastikan pelaporan SPT tahun depan berjalan lancar. (alf)

Bedah PPh OP, IKPI Tekankan Pentingnya Pemahaman Norma Pajak

(Foto: Tangkapan Layar Zoom Meeting)

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menggelar webinar perpajakan gratis untuk anggota dan masyarakat umum,  baru-baru ini. Kelas edukasi pajak ini merupakan bentuk kontribusi IKPI dalam mendukung penerintah meningkatkan kepatuhan wajib pajak secara nasional.

Sebagai narasumber diskusi, Ida Bagus Md Utama yang juga anggota IKPI, salah satunya mengenalkan pemahaman dasar Pajak Penghasilan orang pribadi (PPh OP) dan penerapan norma penghitungan.

Sejak awal sesi, ia langsung menyentil kebiasaan umum wajib pajak yang sering kali asal dalam menghitung kewajiban pajaknya.

“Masih banyak yang menghitung pajak pakai feeling. Tidak paham norma penghitungan, tidak tahu mana biaya yang boleh dikurangkan dan mana yang tidak. Padahal kalau salah, akibatnya bisa fatal,” ujarnya.

Ia kemudian menguraikan secara runtut dasar hukum PPh Orang Pribadi (PPh OP) yang bersandar pada Undang-Undang Pajak Penghasilan dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). 

Dalam paparannya, ia membedakan penghasilan yang bersifat final dan tidak final, serta menjelaskan struktur tarif progresif yang berlaku saat ini mulai dari 5 persen untuk penghasilan hingga Rp60 juta, hingga 35 persen untuk penghasilan di atas Rp5 miliar.

Menurutnya, kesalahan yang paling sering terjadi adalah salah menafsirkan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN). “Norma itu bukan angka asal. Setiap bidang usaha punya norma berbeda. Kalau salah pakai norma, laporan pajaknya bisa salah semua,” tegasnya.

Ida Bagus juga menyinggung tentang pentingnya koreksi fiskal dalam pembukuan usaha. Banyak wajib pajak yang mencatat seluruh biaya operasional sebagai pengurang penghasilan kena pajak, padahal tidak semua biaya diakui secara fiskal.

“Dalam akuntansi boleh dibiayakan, tapi dalam fiskal belum tentu. Kalau tidak paham ini, bisa-bisa laba komersial dan laba fiskalnya jauh berbeda,” katanya memberi contoh.

Lebih jauh, ia menekankan pentingnya kepatuhan berbasis pemahaman. “Kepatuhan pajak yang lahir dari kesadaran jauh lebih kuat daripada kepatuhan karena takut diperiksa,” ucapnya.

Program edukasi daring IKPI ini, menurutnya, tidak hanya membuka akses pengetahuan bagi wajib pajak, tapi juga menjadi wadah diskusi yang mempertemukan konsultan, pelaku usaha, dan masyarakat umum dalam satu ruang belajar yang egaliter.

“Pajak bukan hal yang menakutkan kalau kita pahami. Justru dengan paham, kita bisa mengelola keuangan lebih baik dan berkontribusi dengan tenang,” katanya.

Sekadar informasi, webinar ini juga menghadirkan anggota IKPI lainnya yakni I Gede Sumerta (Narasumber) dan Peter (Moderator). (bl)

Pemkot Lhokseumawe Kembalikan Dana ke 1.180 Warga Karena Pembatalan Tarif PBB-P2 280 Persen 

(Gambar Ilustrasi: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh, resmi mengoreksi kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang sebelumnya diberlakukan mulai 1 Januari 2025. Langkah ini diambil setelah gelombang protes masyarakat yang menilai kenaikan tarif hingga 280 persen itu memberatkan dan tidak realistis.

Hal tersebut dilakukan setelah gelombang protes dari warga, Pemerintah Kota Lhokseumawe akhirnya memutuskan mengembalikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) ke angka semula. Sebanyak 1.180 wajib pajak kini berhak menerima pengembalian dana akibat kelebihan bayar dari kenaikan tarif yang sempat melonjak hingga 280 persen.

Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Lhokseumawe, Teguh Harianto, menjelaskan bahwa dari total 63.959 wajib pajak di wilayahnya, terdapat 1.180 wajib pajak yang membayar pajak dengan tarif baru sebelum kebijakan tersebut dibatalkan.

“Mereka yang sudah terlanjur membayar dengan tarif kenaikan akan kami kembalikan dananya. Sementara itu, 5.864 wajib pajak sudah membayar dengan tarif normal tahun 2024,” ujar Teguh, Minggu (5/10/2025).

Sementara itu, masih ada 58.095 wajib pajak yang belum melunasi kewajiban mereka. Pemerintah daerah pun memperpanjang tenggat waktu pembayaran PBB-P2 hingga 31 Oktober 2025, setelah sebelumnya direncanakan ditutup pada bulan November tahun lalu.

“Kami mengimbau masyarakat agar melakukan pembayaran tepat waktu untuk menghindari denda administrasi,” tambah Teguh.

Kenaikan tarif PBB-P2 sebesar 280 persen tersebut sebelumnya ditetapkan melalui keputusan yang ditandatangani oleh Penjabat Wali Kota Lhokseumawe A Hanan pada tahun 2024. Namun, setelah terjadinya penolakan luas dari warga, Wali Kota definitif Sayuti Abubakar akhirnya mencabut kebijakan itu dan mengembalikannya ke tarif lama.

Kebijakan ini disambut positif oleh masyarakat, yang menilai keputusan pemerintah daerah menunjukkan sikap terbuka terhadap aspirasi publik. Meski begitu, beberapa pihak berharap evaluasi menyeluruh dilakukan agar kebijakan fiskal ke depan lebih transparan, partisipatif, dan tidak menimbulkan gejolak serupa. (alf)

Mau Lancar Lapor SPT 2025? DJP DIY Ingatkan Wajib Pajak Segera Aktivasi Coretax Sebelum 2026

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Daerah Istimewa Yogyakarta mengimbau seluruh wajib pajak untuk segera melakukan aktivasi akun Coretax, sebelum tahun 2026 tiba. Pasalnya, pelaporan SPT Tahunan tahun pajak 2025 akan sepenuhnya menggunakan sistem Coretax, bukan lagi DJP Online.

Kepala Kanwil DJP DIY Erna Sulistyowati menegaskan bahwa semua layanan administrasi perpajakan kini telah terintegrasi dalam sistem Coretax. Oleh karena itu, aktivasi akun menjadi langkah awal yang wajib dilakukan sebelum pelaporan SPT. “Jangan ditunda-tunda. Kalau menunggu tahun depan, bisa terjadi antrean dan keterlambatan dalam menyampaikan SPT,” ujarnya, baru-baru ini.

Erna menjelaskan, batas akhir penyampaian SPT Tahunan 2025 untuk wajib pajak orang pribadi tetap pada Maret 2026, sedangkan untuk wajib pajak badan sampai April 2026. Aktivasi akun dapat dilakukan secara mandiri melalui panduan di website DJP, YouTube, atau dengan datang langsung ke kantor pajak terdekat. Jika menemui kendala, wajib pajak juga bisa menghubungi Kring Pajak 1500200.

“Mohon kepada wajib pajak baik karyawan, nonkaryawan, maupun badan usaha agar segera melakukan aktivasi kode otorisasi. Supaya tahun depan tinggal lapor SPT tanpa hambatan,” tegas Erna.

Sementara itu, Direktorat P2Humas DJP memproyeksikan sekitar 14 juta wajib pajak akan melaporkan SPT Tahunan 2025 melalui Coretax, terdiri dari 10 juta wajib pajak orang pribadi dan 4 juta wajib pajak badan.

Peluncuran Coretax menjadi momentum penting bagi DJP untuk memperkuat digitalisasi sistem perpajakan nasional, sekaligus meningkatkan kemudahan dan transparansi bagi wajib pajak di seluruh Indonesia. (alf)

Dirjen Pajak: Taxpayers’ Charter untuk Perkuat Rasa Percaya antara Negara dan Warganya

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bersama Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) resmi meluncurkan Taxpayers’ Charter, sebuah piagam yang menegaskan komitmen baru antara pemerintah dan masyarakat dalam membangun sistem perpajakan yang transparan dan berkeadilan.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan bahwa peluncuran piagam ini bukan hanya seremoni formal, melainkan langkah fundamental untuk memperkuat rasa saling percaya antara negara dan warganya.

“Dokumen ini bukan sekadar formalitas, melainkan fondasi filosofis yang mengatur hubungan setara antara pemerintah dan masyarakat dalam konteks perpajakan,” ujar Bimo dalam keterangannya, dikutip Minggu (5/10/2025).

Taxpayers’ Charter berisi penjabaran jelas tentang hak dan kewajiban wajib pajak, sebagaimana diatur dalam undang-undang. Melalui piagam ini, masyarakat dapat memahami apa yang menjadi haknya — seperti pelayanan yang adil dan perlindungan data — sekaligus kewajiban dalam mendukung pembiayaan pembangunan nasional.

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X menyambut baik inisiatif ini dan menegaskan bahwa piagam wajib pajak tersebut bukan sekadar dokumen administratif, melainkan simbol kepercayaan dan kolaborasi.

“Taxpayers’ Charter adalah simbol kesiapan Yogyakarta menyambut investasi dengan kepastian hukum yang jelas. Kehadiran DJP dan KADIN DIY akan menjembatani pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat sehingga pajak benar-benar menjadi motor penggerak ekonomi daerah,” tutur Sultan.

Sementara itu, Kepala Kanwil DJP DIY Erna Sulistyowati menilai piagam ini sebagai bentuk nyata itikad baik pemerintah untuk memperkuat komunikasi dan transparansi dengan wajib pajak.

“Dengan adanya piagam ini, kami berharap masyarakat semakin memahami haknya sebagai wajib pajak, sekaligus tetap menjalankan kewajibannya demi mendukung pembangunan bangsa,” ujar Erna.

Dari sisi dunia usaha, perwakilan KADIN DIY Robby Kusumaharta menilai bahwa pajak bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga tanggung jawab moral.

“Dengan Taxpayers’ Charter, kami berharap layanan perpajakan semakin cepat, transparan, ramah dunia usaha, dan berbasis teknologi. Pajak yang sehat dan layanan profesional akan melahirkan dunia usaha yang produktif dan kesejahteraan bersama,” tegasnya.

Sebagai bentuk apresiasi, Gubernur DIY menyerahkan piagam Taxpayers’ Charter secara simbolis kepada sejumlah perwakilan wajib pajak dari berbagai kalangan, termasuk Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) se-DIY, Kapolda DIY Brigjen Pol. Anggoro Sukartono, Bupati Sleman Hardo Kiswoyo, Kepala Perwakilan BI Sri Darmadi Sudibyo, pengusaha Sukeno (Bakpia 25) dan Zakiron (Sate Pak Pong), serta perwakilan akademisi, media, dan penyandang disabilitas.

Taxpayers’ Charter akan tersedia secara digital melalui portal wajib pajak, dan dapat diakses oleh setiap individu yang mendaftar Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Dengan langkah ini, DJP berharap ke depan tak ada lagi jarak antara otoritas pajak dan masyarakat.

Piagam wajib pajak ini menjadi bukti bahwa kepercayaan adalah mata uang baru dalam perpajakan modern dan Yogyakarta memilih untuk memulainya terlebih dahulu. (alf)

en_US