PPPK Resmi Bertransformasi Jadi Direktorat: Era Baru Pembinaan Konsultan Pajak Dimulai

IKPI, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan (PPPK) resmi bertransformasi menjadi Direktorat Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan di bawah struktur baru Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengawasan Sektor Keuangan (DJSPSK). Pelantikan pejabat struktural yang dilangsungkan pada 13 Juni 2025 lalu menjadi tonggak penting penataan organisasi Kementerian Keuangan dalam menjawab tantangan pengawasan sektor keuangan yang kian kompleks.

Transformasi ini bukan sekadar perubahan nama. Status struktural PPPK yang sebelumnya berbentuk pusat kini ditingkatkan menjadi direktorat, selaras dengan penguatan peran dan fungsi pengawasan terhadap profesi keuangan, termasuk konsultan pajak. Artinya, tugas-tugas strategis seperti pembinaan, sertifikasi, hingga pengawasan etik konsultan pajak kini diemban oleh unit eselon II yang lebih kokoh secara kelembagaan.

Menariknya, meskipun terjadi peralihan struktur dan nomenklatur, sosok pemimpin tetap dipercayakan kepada orang yang sama. Dr. Erawati yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala PPPK, kini dilantik sebagai Direktur Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan. Hal ini menunjukkan kesinambungan kepemimpinan di tengah dinamika perubahan organisasi.

Perubahan ini juga diharapkan membawa semangat baru dalam membangun kredibilitas dan profesionalisme pelaku profesi keuangan, khususnya konsultan pajak, dalam ekosistem fiskal nasional.

Dengan rampungnya seluruh struktur DJSPSK, masyarakat kini menanti langkah-langkah strategis selanjutnya dari direktorat baru ini, termasuk sinergi dengan asosiasi profesi dan penegak hukum demi mewujudkan sektor keuangan yang sehat, kredibel, dan berintegritas. (bl)

Anggota Berperan Aktif Dalam Memilih Logo HUT ke-60

IKPI, Jakarta: Dalam rangka menyambut Hari Ulang Tahun (HUT) ke-60, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) mengajak seluruh anggotanya untuk turut berpartisipasi dalam proses pemilihan logo resmi perayaan tersebut. Voting terbuka hingga 17 Juni 2025 pukul 23.59 WIB dan dilakukan secara online melalui tautan resmi panitia.

Ketua Panitia HUT, Nuryadin Rahman, menyampaikan pentingnya partisipasi anggota dalam menentukan simbol visual yang akan merepresentasikan perjalanan panjang organisasi. “Partisipasi Bapak/Ibu sangat berarti bagi kesuksesan acara ini,” ujarnya dalam pengumuman resmi kepada seluruh anggota, Senin (16/6/2025).

Anggota diberi kesempatan untuk memilih hingga lima desain logo terbaik dari sejumlah karya yang telah dipilih. Setiap desain dapat dinilai dengan skala 1 sampai 5, di mana 1 berarti tidak menarik dan 5 berarti sangat menarik.

Namun, satu orang hanya dapat melakukan voting satu kali, dan jika memilih lebih dari lima desain, maka hanya lima pilihan pertama yang akan dihitung.

Lima desain dengan suara terbanyak akan masuk ke tahap penilaian akhir oleh dewan juri. Logo pemenang akan ditetapkan oleh juri secara final dan tidak dapat diganggu gugat.

Voting dapat dilakukan melalui tautan berikut: https://bit.ly/VotingLogo_HUTIKPI60

IKPI berharap partisipasi aktif dari seluruh anggota demi memilih logo terbaik yang akan menjadi wajah perayaan 60 tahun kontribusi organisasi di bidang perpajakan nasional. (bl)

IKPI Siap Sukseskan AOTCA International Conference 2025 di Nepal

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menyatakan kesiapan penuh untuk berpartisipasi aktif dalam AOTCA International Tax Conference 2025 yang akan diselenggarakan di Kathmandu, Nepal pada 18–21 November 2025. Konferensi internasional ini mengangkat tema “The Evolution of Taxation Laws in Developing Countries and the Role of Tax Professionals.”

Pernyataan kesiapan tersebut disampaikan oleh Ketua Departemen Hubungan Internasional IKPI, Tjhai Fung Njit.

Ia menegaskan bahwa IKPI akan mengambil peran aktif dalam konferensi, baik sebagai peserta maupun kontributor dalam berbagai forum diskusi dan sesi presentasi. Keterlibatan ini dinilai sebagai langkah strategis dalam upaya meningkatkan kiprah organisasi di tingkat internasional.

“Partisipasi dalam Asia-Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA) 2025 merupakan wujud komitmen IKPI untuk tampil sebagai organisasi konsultan pajak yang adaptif terhadap perubahan global serta terbuka terhadap kolaborasi lintas negara,” ujar Tjhai Fung Njit.

Sebagai anggota aktif AOTCA, IKPI memandang konferensi ini sebagai ajang penting untuk:

  • Meningkatkan eksistensi IKPI di kancah internasional
  • Membangun jejaring global bagi para anggota
  • Mengadopsi praktik terbaik dalam tata kelola perpajakan
  • Mendorong transformasi IKPI menjadi organisasi konsultan pajak kelas dunia
  • Konferensi ini juga akan mengangkat isu-isu krusial seputar perpajakan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Terdapat lima topik utama yang akan dibahas dalam konferensi tersebut, yaitu:

1. Sejarah Evolusi Sistem Perpajakan di Negara Berkembang, yang akan menyoroti transformasi hukum pajak dari masa ke masa, serta dampaknya terhadap pembangunan ekonomi dan pembentukan negara.

2. Tantangan Implementasi Kebijakan Pajak di Negara Berkembang, terkait isu-isu seperti penghindaran pajak, sektor informal yang besar, kapasitas administrasi yang terbatas, dan intervensi politik.

3. Peran dan Cakupan Konsultan Pajak dalam Kepatuhan Pajak Global, yang meliputi peran konsultan pajak dalam membantu pelaku bisnis memenuhi kewajiban lintas negara, seperti BEPS, CRS, dan FATCA, dll

4. Peluang dan Tantangan Transformasi Digital dalam Administrasi Pajak, terkait penggunaan teknologi seperti e-filing, blockchain, dan analitik data dalam meningkatkan efisiensi dan transparansi sistem pajak.

5. Tanggung Jawab Etis dan Profesionalisme Konsultan Pajak di Negara Berkembang, yang menggali tantangan etika, keseimbangan antara kepentingan klien dan tanggung jawab sosial, tax planning serta peran konsultan pajak dalam mendorong keadilan pajak.

IKPI mendorong seluruh anggotanya untuk ikut serta dalam konferensi ini sebagai bagian dari upaya penguatan kapasitas individu dan kolektif.

Menurut Tjhai Fung Njit, AOTCA 2025 tidak hanya menjadi ajang pembelajaran, tetapi juga panggung penting untuk menunjukkan kualitas profesional konsultan pajak Indonesia di mata dunia.

“Kami ingin mendorong partisipasi aktif anggota dalam sesi-sesi yang bersifat substantif, sehingga mereka dapat membawa pulang pengetahuan baru, memperluas perspektif, dan menjalin kerja sama internasional yang saling menguntungkan,” tuturnya.

Lebih lanjut, IKPI menilai forum internasional seperti AOTCA Conference memiliki dampak positif terhadap pembaruan wawasan dan praktik konsultan pajak nasional dalam menghadapi perubahan regulasi global yang semakin kompleks.

“Ini adalah kesempatan emas untuk memperkuat posisi Indonesia dalam komunitas perpajakan internasional, sekaligus mempertegas peran IKPI sebagai organisasi profesi yang mampu menjawab tantangan zaman,” ujarnya. (bl)

Apindo Soroti Kegentingan Fiskal, Tax Amnesty Diklaim Bisa Jadi Terobosan

IKPI, Jakarta: Ketua Komite Tetap Perpajakan Apindo, Ajib Hamdani, menegaskan bahwa Indonesia tengah menghadapi tekanan fiskal yang tidak bisa diatasi dengan kebijakan rutin. Dalam diskusi panel yang diselenggarakan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) bertajuk “Tax Amnesty: Efektifkah Mengakselerasi dan Mendongkrak Penerimaan Pajak?” di Jakarta, Jumat (13/6), ia menyatakan perlunya langkah luar biasa seperti Tax Amnesty Jilid III sebagai solusi konkret.

Ajib menyoroti bahwa target penerimaan pajak tahun 2025 sebesar Rp2.180 triliun meningkat lebih dari 13% dibandingkan realisasi tahun sebelumnya. Namun, capaian kuartal I baru menyentuh 14,7% dari target tahunan jauh di bawah ambang ideal 20%.

Jika tren ini terus berlanjut tanpa kebijakan strategis, Ajib memperkirakan potensi shortfall bisa mencapai Rp130 triliun di akhir tahun. “Kalau hanya mengandalkan pertumbuhan ekonomi 5,2% dan inflasi 2,5%, target itu sulit dicapai. Harus ada terobosan,” ujarnya.

Empat Tekanan Fiskal

Ajib memetakan empat tantangan utama yang membuat situasi fiskal semakin mendesak:

• Pertumbuhan ekonomi yang melambat (hanya 4,87% pada kuartal I-2025).

• Grey economy yang belum terjangkau sistem perpajakan, berpotensi hilangnya ratusan triliun rupiah.

• Beban utang jatuh tempo sebesar Rp800 triliun pada tahun ini.

• Implementasi sistem Cortex yang belum optimal, memicu gangguan cash flow pengusaha.

Ia juga menyinggung banyaknya Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) dan pemeriksaan yang membuat pelaku usaha berada dalam tekanan administrasi, di tengah sistem pelaporan pajak yang belum stabil.

Selain itu, dalam pandangan Ajib, Tax Amnesty Jilid III layak dipertimbangkan sebagai langkah strategis. Ia mengacu pada keberhasilan dua program sebelumnya yang berhasil menghimpun penerimaan total sekitar Rp184 triliun dan memperluas basis pajak nasional.

“Kalau dilakukan dengan tata kelola yang baik, tax amnesty bisa menjadi solusi yang adil dan inklusif, tanpa merugikan wajib pajak yang patuh,” tegasnya.

Ajib menekankan pentingnya mempercepat pembentukan otoritas penerimaan negara untuk menyatukan fungsi perpajakan dan bea cukai secara lebih efisien. Ia juga mendorong insentif fiskal bagi sektor-sektor strategis seperti properti, melalui skema REIT yang lebih fleksibel.

“Fungsi pajak bukan hanya mengejar target, tapi juga mengatur arah ekonomi. Kalau ekonomi tumbuh, penerimaan akan ikut naik,” ujarnya.(bl)

IKPI Ingatkan Tax Amnesty Jangan Jadi Agenda Politik, Perlu Jeda Waktu Ideal

IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah menggulirkan Tax Amnesty Jilid III menuai tanggapan serius dari kalangan profesional pajak. Ketua Departemen Keanggotaan dan Etika Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Robert Hutapea, mengingatkan pentingnya mempertimbangkan waktu yang tepat sebelum kebijakan pengampunan pajak kembali diluncurkan.

Menurut Robert, keberhasilan program tax amnesty sangat dipengaruhi oleh jarak waktu antara satu program dengan program berikutnya. “Kalau waktunya terlalu dekat dengan amnesti sebelumnya, hasilnya cenderung tidak optimal. Tapi kalau diberi jeda 10 sampai 15 tahun, dampaknya bisa jauh lebih positif, baik dari sisi penerimaan maupun kepatuhan wajib pajak,” kata Robert di sela penyelenggaraan diskusi panel “Tax Amnesty: Efektifkah Mengakselerasi dan Mendongkrak Penerimaan Pajak” di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (13/6/2025).

Ia mengacu pada pengalaman global dan literatur yang menunjukkan bahwa jarak waktu yang panjang memberi ruang bagi sistem perpajakan untuk berkembang dan membangun kepercayaan publik. Menurutnya, jika terlalu sering diberlakukan, tax amnesty justru berisiko menurunkan moral wajib pajak yang selama ini patuh.

“Jangan sampai wajib pajak yang sudah patuh merasa dikhianati karena pemerintah kembali memberi karpet merah bagi yang tidak patuh,” tegas Robert.

Selain aspek waktu, ia juga menekankan bahwa tujuan dari tax amnesty seharusnya untuk memperbaiki sistem administrasi perpajakan, bukan sekadar menjadi proyek politik sesaat. “Kalau administrasi perpajakan kita sudah baik, data lengkap, dan sistem sudah terintegrasi, kenapa harus mengulang lagi? Jangan sampai ini hanya jadi produk politik atau pencitraan menjelang masa jabatan tertentu,” ujarnya.

Robert juga menyarankan agar rencana ini dikaji secara akademik dan menyeluruh, termasuk melihat tingkat kepatuhan saat ini dan efektivitas sistem pemungutan pajak yang sudah berjalan. Ia menilai, jika semua ekosistem perpajakan sudah tertata, maka urgensi tax amnesty perlu dipertanyakan.

“Kalau pun mau dilakukan, pastikan ini bukan karena alasan politik. Tapi karena memang sudah melalui analisis akademik yang matang, dengan mempertimbangkan waktu yang tepat dan kondisi wajib pajak yang benar-benar membutuhkan solusi,” tutupnya. (bl)

IKPI Tekankan Pentingnya Anggota Pahami Regulasi Terbaru

IKPI, Kota Tangerang: Ketua Departemen Keanggotaan dan Etika Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Robert Hutapea, menekankan pentingnya pemahaman anggota terhadap regulasi terbaru demi pelayanan profesional kepada klien serta menjaga integritas profesi konsultan pajak. Hal itu disampaikannya dalam acara Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) yang digelar IKPI Cabang Kota Tangerang, Sabtu (14/6/2025).

Dalam sambutannya, Robert, yang mewakili Ketua Umum IKPI Vaudy Starworld menyampaikan rasa syukur atas terselenggaranya kegiatan PPL yang mengangkat tema “Strategi Menghadapi SP2DK dan Pemeriksaan Pajak Sesuai PMK 15 Tahun 2025.”

“Atas nama Ketua Umum IKPI, Bapak Vaudy Starworld, saya menyampaikan salam hangat dan apresiasi kepada Pengurus Daerah Banten dan Cabang Kota Tangerang atas terselenggaranya kegiatan ini. Pengurus Pusat mendukung penuh kegiatan seperti ini di seluruh Indonesia,” ujar Robert.

Ia juga mengajak seluruh anggota untuk memanfaatkan kanal resmi IKPI sebagai wadah berbagi ilmu, termasuk menulis analisis terkait aturan perpajakan, bahkan cukup fokus pada satu pasal atau bab tertentu. “Tulisan-tulisan dari anggota adalah bentuk kontribusi intelektual untuk komunitas dan masyarakat luas,” jelasnya.

Lebih lanjut ia menegaskan, menjelang HUT ke-60 IKPI, Robert juga mengimbau seluruh elemen organisasi turut menyukseskan perayaan tersebut sebagai momentum memperkuat kolaborasi dan eksistensi profesi konsultan pajak di Indonesia.

Diketahui, dalam seminar kali ini, anggota mendapatkan pembekalan mendalam terkait strategi menghadapi SP2DK secara efektif dan efisien agar tidak berlarut hingga tahap pemeriksaan formal. Selain itu, disoroti pula perbandingan ketentuan antara PMK 17/2013, PMK 18/2021, dan PMK 15/2025, khususnya menyangkut ruang lingkup pemeriksaan, standar, jangka waktu, hak dan kewajiban, serta ketentuan pelaksanaan dan pelaporan pemeriksaan.

“Saya berharap melalui PPL ini, seluruh anggota dapat memperkuat kompetensi dan meningkatkan kualitas layanan profesional kepada masyarakat, khususnya dalam menghadapi dinamika pemeriksaan pajak yang semakin kompleks,” kata Robert.

Acara ini menghadirkan narasumber utama Dr. Prianto Budi Saptono, pakar perpajakan yang dikenal luas karena kepakarannya dalam teori dan praktik pemeriksaan pajak. (bl)

Diskusi Panel IKPI: Mantan Direktur di DJP Bongkar Fakta di Balik Tiga Kali Tax Amnesty

IKPI, Jakarta: Mantan Direktur Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Harry Gumelar, membongkar kisah dan dinamika pelaksanaan tiga gelombang tax amnesty yang pernah dijalankan Indonesia. Dalam paparannya, di acara diskusi panel IKPI bertajuk “Tax Amnesty: Efektifkah Mengakselerasi dan Mendongkrak Penerimaan Pajak?” yang digelar di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan Jumat (13/6/2025).

Harry menyebut program pengampunan pajak pertama kali dicoba pada 2007 melalui kebijakan sunset policy, yang awalnya memang diniatkan sebagai tax amnesty. “2007 itu sebetulnya mau tax amnesty, tapi gagal di bagian penghapusan pidananya, akhirnya jadi sunset policy. Tapi justru itu yang paling sukses, karena tax ratio kita naik jadi 13,6%—tertinggi selama saya di DJP,” ungkapnya.

Harry yang terlibat langsung dalam penyusunan kebijakan dan implementasi tax amnesty mengungkap bahwa tantangan terbesar DJP justru terletak pada kualitas dan pengelolaan data, bukan regulasi.

“Self-assessment enggak akan kuat kalau DJP enggak punya data dari pihak ketiga. Data kita banyak, tapi manajemennya lemah. Saya minta ke 78 instansi, hasilnya? Susah sekali. Data kendaraan bermotor aja kita cuma dapat sekali, itupun enggak jelas pemiliknya siapa,” ujarnya blak-blakan.

Menurutnya, jika pengelolaan data pajak berjalan baik, DJP seharusnya tidak perlu lagi mengandalkan tax amnesty sebagai instrumen penerimaan. Ia mencontohkan Australia yang cukup hanya dengan data properti, kendaraan, dan keuangan.

Lebih lanjut, Harry menyinggung dua program besar tax amnesty setelah itu: Tax Amnesty Jilid I (2016–2017) dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Jilid II (2022). Ia mengkritisi bahwa pada jilid pertama, DJP gagal mencapai target penerimaan.

“Nilai harta yang diungkap Rp4.800 triliun, tapi uang tebusan cuma Rp114 triliun dari target Rp165 triliun. Artinya cuma tercapai 69 persen. Padahal pidana dihapuskan,” jelasnya.

Sementara itu pada PPS, DJP menyatakan program itu bukan tax amnesty, tapi kenyataannya, kata Harry, fungsi utamanya tetap pengampunan. Bahkan, ia menyebut bahwa peserta PPS bisa “lolos” dari sanksi denda 200% jika mengungkap harta tersembunyi sebelum DJP mengetahuinya.

“Kalau DJP lebih tahu duluan, dendanya 200 persen. Tapi karena ada PPS, cukup bayar 18 persen. Itu artinya DJP kehilangan potensi penerimaan sampai 182 persen,” ujar Harry.

Yang lebih mengejutkan, Harry mengungkap mayoritas harta yang diungkap dalam PPS adalah uang tunai, mencapai Rp263 triliun. “Makanya jangan heran kalau kemarin ada mantan hakim punya Rp1 triliun di rumahnya,” sindirnya.

Di akhir paparannya, Harry mempertanyakan urgensi melanjutkan tax amnesty ke jilid III. Menurutnya, jika DJP belum mampu mengelola dan mengamankan data dengan baik, maka pengampunan pajak hanya akan jadi solusi jangka pendek yang berpotensi dimanfaatkan oleh para penghindar pajak.

“Kalau DJP mau adakan tax amnesty lagi, pastikan dulu datanya kuat, aman, dan DJP benar-benar lebih tahu duluan dari wajib pajak. Kalau enggak, jangan heran kalau ada lagi yang main ‘sandiwara PPS’,” pungkasnya. (bl)

Ketua Umum IKPI Ajak Anggota Aktif Ikuti Partisipasi Publik RPMK Kuasa Hukum Pengadilan Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, mengajak seluruh anggota IKPI untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan Partisipasi Publik (Meaningful Participation) yang digelar oleh Sekretariat Pengadilan Pajak Kementerian Keuangan dalam rangka penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) terbaru terkait Kuasa Hukum di Pengadilan Pajak.

Ajakan ini disampaikan menyusul undangan resmi Kementerian Keuangan melalui surat UND-38/SP/2025 tertanggal 13 Juni 2025, yang menyebutkan bahwa kegiatan ini akan dilaksanakan secara daring pada Kamis, 19 Juni 2025, pukul 09.30 hingga 12.30 WIB, melalui aplikasi Zoom.

“Ini adalah momentum penting untuk ikut serta memberi masukan langsung terhadap perubahan regulasi yang akan berdampak langsung pada profesi kita sebagai konsultan pajak,” tegas Vaudy.

RPMK ini akan menggantikan PMK Nomor 184/PMK.01/2017 dan mencakup ketentuan baru mengenai persyaratan, prosedur permohonan, perpanjangan, hingga pencabutan status sebagai kuasa hukum dalam proses beracara di Pengadilan Pajak.

Vaudy menegaskan bahwa keterlibatan anggota IKPI dalam proses partisipasi publik ini akan memperkuat posisi organisasi dalam memperjuangkan keadilan dan profesionalisme di bidang perpajakan.

“Saya minta kepada seluruh anggota, khususnya yang berpraktik sebagai kuasa hukum di Pengadilan Pajak, untuk tidak melewatkan forum ini. Sampaikan aspirasi dan pengalaman praktis Saudara sebagai bentuk kontribusi nyata terhadap penyempurnaan regulasi,” tambahnya.

Bagi yang berminat mengikuti kegiatan ini, diharapkan untuk segera mengisi konfirmasi kehadiran paling lambat 17 Juni 2025 melalui tautan resmi:

s.kemenkeu.go.id/MeaningfulParticipationRPMKIKH

Untuk informasi lebih lanjut, peserta dapat menghubungi layanan informasi Sekretariat Pengadilan Pajak melalui WhatsApp di nomor 0812-1100-7510 (hanya untuk chat).

Kegiatan ini disebut menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk membuka ruang dialog yang inklusif dan substansial dalam merancang kebijakan perpajakan yang lebih baik dan adil. (bl)

Sebanyak 846 Peserta Lulus USKP, 975 Mengulang 

IKPI, Jakarta: Komite Pelaksana Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak (KP3SKP) mengumumkan hasil Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) Periode I Tahun 2025 untuk Tingkat A dan Tingkat B (khusus peserta mengulang) pada 13 Juni 2025. Sebanyak 846 peserta dinyatakan lulus, terdiri atas 718 peserta dari Tingkat A dan 128 peserta dari Tingkat B.

Pengumuman resmi dengan nomor PENG-7/KP3SKP/VI/2025 menyebutkan bahwa ujian dilaksanakan pada 26 hingga 28 Mei 2025 dan diikuti oleh ratusan peserta yang sebelumnya belum berhasil dalam ujian sertifikasi. Selain peserta yang lulus, tercatat pula sejumlah besar peserta yang harus mengulang: 588 peserta untuk Tingkat A dan 387 peserta untuk Tingkat B. Adapun peserta yang tidak lulus tercatat sebanyak 56 orang untuk Tingkat A dan 44 orang untuk Tingkat B.

KP3SKP juga menjatuhkan sanksi kepada peserta yang tidak hadir dalam seluruh mata ujian tanpa keterangan atau bukti pendukung yang sah, berupa larangan mengikuti ujian selama tiga periode berturut-turut.

Bagi peserta yang dinyatakan lulus, akan diterbitkan sertifikat sesuai ketentuan yang berlaku. Peserta yang harus mengulang diberikan kesempatan mengikuti ujian kembali, sedangkan peserta yang tidak lulus dapat mendaftar kembali sebagai peserta baru pada periode ujian berikutnya.

KP3SKP menyampaikan bahwa apabila di kemudian hari ditemukan kekeliruan dalam pengumuman ini, maka akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya. (bl)

IKPI Tegaskan Tax Amnesty Harus Jadi Langkah Reformasi, Bukan Solusi Instan Pendapatan Negara

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, dan Sekretaris Umum IKPI, Associate Professor Edy Gunawan, kompak menegaskan bahwa program tax amnesty bukan semata-mata alat mengejar penerimaan negara dalam jangka pendek, tetapi harus menjadi fondasi reformasi sistem perpajakan Indonesia secara menyeluruh dan berkelanjutan.

Di sela Diskusi Panel bertajuk “Tax Amnesty: Efektifkah Mengakselerasi dan Mendongkrak Penerimaan Pajak?” yang digelar di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (13/6/2025), Vaudy memaparkan bahwa Indonesia tidak bisa terus menerus menggunakan tax amnesty sebagai solusi tambal sulam.

“Kalau pengampunan pajak ini hanya jadi pengampunan atas kesalahan masa lalu tanpa reformasi sistem, kita hanya mengulang kesalahan. Harus ada reformasi kelembagaan, penguatan kepatuhan, dan yang penting, tidak boleh ada pengulangan dalam jangka pendek,” tegas Vaudy.

Tujuan Utama Tax Amnesty 

Sekretaris Umum IKPI, Associate Professor Edy Gunawan, menekankan bahwa tax amnesty yang sudah pernah diterapkan pada era Presiden Soekarno (1964), Presiden Soeharto (1984), hingga Presiden Joko Widodo (2016), sebenarnya memiliki tujuan jangka panjang yang lebih penting daripada sekadar angka penerimaan.

“Tax amnesty itu bukan cuma untuk menambah penerimaan. Itu efek jangka pendek. Yang paling penting adalah perbaikan manajemen data perpajakan,” jelas Edy.

Ia menyoroti keberhasilan tax amnesty 2016 yang mampu mengungkap harta sebesar Rp4.884 triliun. Data itu, kata Edy, membantu negara menyaring dan mendeteksi potensi perpajakan yang sebelumnya tersembunyi.

“Ada tiga alasan kenapa harta itu baru terungkap: karena belum dilaporkan, karena pelaporan sebelumnya tidak lengkap, atau karena faktor lainnya. Nah, dengan data yang termanajemen, sistem perpajakan jadi lebih akurat dan adil,” tambahnya.

Waktu Pelaksanaan Jadi Faktor Kunci

Edy juga mengingatkan soal momentum pelaksanaan tax amnesty. Menurutnya, jika program ini terlalu sering digelar dalam kurun waktu pendek, efektivitasnya akan menurun.

“Literatur dan pengalaman menunjukkan, jika terlalu dekat jaraknya dengan program sebelumnya, hasilnya akan minim. Tapi kalau diberi jeda 10 hingga 15 tahun, itu memberi dampak lebih kuat — baik pada penerimaan maupun pada kepatuhan wajib pajak,” ujarnya.

Rekomendasi Strategis IKPI

Lebih lanjut Vaudy menegaskan bahwa IKPI menyampaikan enam rekomendasi utama agar tax amnesty tidak hanya menjadi “obral pengampunan” tetapi alat reformasi sistemik:

• Mendorong kepatuhan sukarela melalui kejelasan eksaminasi.

• Reformasi kelembagaan, termasuk dorongan pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN).

• Penguatan infrastruktur kepatuhan dan sistem pelaporan aset.

• Tidak mengulang tax amnesty dalam waktu dekat untuk menjaga kredibilitas sistem.

• Menjadikan tax amnesty sebagai fondasi reformasi perpajakan.

• Penguatan sanksi dan pemeriksaan pasca-program.

Dari Ekonomi Bayangan Menuju Ekonomi Terbuka

Menurut Vaudy, potensi tax amnesty dalam mengalihkan ekonomi bawah tanah (underground economy) ke sektor formal. Hal ini diharapkan akan mendorong peningkatan tax ratio dan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata.

“Kalau tax ratio sudah tinggi dan kepatuhan sudah mapan, tentu kita tidak butuh lagi tax amnesty ke depan. Tapi sekarang, ini bisa jadi alat transisional menuju sistem pajak yang lebih sehat dan strategis,” pungkas Vaudy.

Dengan semangat perbaikan struktural dan integritas sistem, IKPI berharap pemerintah tidak melihat tax amnesty hanya sebagai solusi jangka pendek, tetapi sebagai momentum membangun arsitektur kepatuhan jangka panjang. (bl)

en_US