Industri Alat Berat Tertekan dengan Penerapan PAB dan PPN 12% pada 2025

IKPI, Jakarta: Industri alat berat nasional menghadapi tantangan berat pada 2025, seiring dengan rencana penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% dan Pajak Alat Berat (PAB) yang dipungut oleh pemerintah daerah. Dampak dari kedua kebijakan pajak ini dikhawatirkan akan meningkatkan biaya bagi pelaku usaha, termasuk perusahaan-perusahaan di sektor pertambangan dan kelapa sawit.

PAB yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah (HKPD), akan dikenakan pada alat berat seperti excavator, bulldozer, crane, dan alat berat lainnya. Pemerintah daerah akan menentukan tarif PAB melalui Peraturan Daerah (Perda), dengan tarif maksimum sebesar 0,2% dari nilai jual alat berat. Sebagai contoh, sebuah excavator berkapasitas 20 ton yang memiliki nilai jual Rp 1,77 miliar akan dikenakan pajak sebesar Rp 3,54 juta per tahun.

Saat ini, beberapa provinsi seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah sudah mulai memberlakukan PAB. Kalimantan Utara berencana menerapkannya pada awal 2025. Ketua Umum Perhimpunan Agen Tunggal Alat Berat Indonesia (PAABI) Yushi Sandidarma mengungkapkan bahwa pemberlakuan PAB akan menjadi beban tambahan bagi pelanggan alat berat, yang sudah menghadapi kenaikan harga akibat rencana penerapan PPN 12%. “Pelanggan alat berat saat ini masih bingung terhadap aturan tersebut,” kata Yushi, Selasa (10/12/2024).

Menurutnya, potensi penurunan tren penjualan alat berat pada 2025 sangat mungkin terjadi seiring dengan pemberlakuan PAB dan PPN 12%, setelah produksi alat berat nasional mengalami penurunan sebesar 18% year on year (yoy) hingga kuartal III-2024. Target produksi alat berat nasional yang dicanangkan Himpunan Industri Alat Berat Indonesia (Hinabi) pada 2024 sebesar 8.000 unit tampaknya semakin sulit tercapai. (alf)

Bank Wajib Laporkan Saldo Tabungan Nasabah Rp 1 Miliar ke Kantor Pajak, Ini Penjelasan DJP

IKPI, Jakarta: Sebagai bagian dari upaya meningkatkan pengawasan pajak, Bank diwajibkan melaporkan saldo tabungan nasabah yang mencapai Rp 1 miliar ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Hal ini disampaikan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti, dalam klarifikasinya terhadap informasi yang beredar di media sosial.

Pernyataan yang pertama kali beredar melalui TikTok pada Kamis (5/12/2024) itu mengungkapkan bahwa nasabah yang menyimpan uang sebesar Rp 1 miliar di bank yang sama akan dilaporkan ke kantor pajak. Pengunggah tersebut menyarankan agar masyarakat menyebar simpanan mereka ke berbagai bank agar tidak mencapai batas tersebut.

Namun, Dwi memastikan bahwa kebijakan ini bukanlah hal baru. Ketentuan mengenai kewajiban bank melaporkan saldo rekening nasabah ke DJP sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 70/PMK.03/2017 yang terakhir diubah dengan PMK-19/PMK.03/2018. Dalam Pasal 2 PMK-19/PMK.03/2018, dijelaskan bahwa DJP berwenang memperoleh informasi keuangan untuk tujuan perpajakan dari Lembaga Jasa Keuangan (LJK), termasuk bank, jika saldo rekening nasabah mencapai minimal Rp 1 miliar.

Menurutnya, tujuan utama dari kewajiban pelaporan ini adalah untuk memperkuat basis data perpajakan Indonesia dan meningkatkan pengawasan wajib pajak, sekaligus memenuhi komitmen Indonesia dalam pertukaran informasi keuangan otomatis sebagai bagian dari keanggotaan dalam Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes.

Dwi menegaskan bahwa meskipun bank wajib melaporkan informasi tersebut, tidak ada pemotongan pajak atas saldo rekening yang dilaporkan. “Namun, jika nasabah memperoleh penghasilan berupa bunga dari deposito atau tabungan, penghasilan tersebut akan dikenai pajak penghasilan (PPh) yang bersifat final,” ujarnya.

Selain kewajiban laporan otomatis, bank juga diwajibkan memberikan informasi dan bukti terkait kepada DJP jika diminta, dalam rangka pelaksanaan ketentuan perpajakan yang berlaku.

Dengan adanya kewajiban ini, diharapkan sistem perpajakan Indonesia akan semakin transparan, serta mendukung upaya pencegahan penghindaran pajak dan peningkatan kepatuhan pajak di kalangan masyarakat.(alf)

Dirjen Pajak Pastikan Coretax Siap Digunakan Januari 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan bahwa proses pengujian akhir Core Tax Administration System (CTAS), atau Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP), telah selesai dan siap digunakan pada 1 Januari 2025. Sistem baru ini diharapkan dapat mempermudah administrasi perpajakan di seluruh Indonesia.

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo, dalam konferensi pers APBN KiTa edisi Desember 2024, menyatakan mulai 1 Januari 2025 Core Tax System (Coretax) dapat digunakan untuk kegiatan administrasi perpajakan di Indonesia. Ia juga mengungkapkan bahwa tahap uji coba terakhir, yang disebut Operational Acceptance Test (OAT), telah selesai dilaksanakan pada 29 November 2024 dengan sukses, dan dilakukan di dua kantor wilayah DJP.

Setelah pengujian operasional, tahap berikutnya adalah uji coba sistem di seluruh kantor wilayah DJP di Indonesia, yang dimulai pada 16 Desember 2024. Pada tahap ini, sistem akan diuji coba di berbagai wilayah untuk memastikan kesiapan dan memberikan kesempatan bagi Wajib Pajak (WP) serta pegawai DJP untuk beradaptasi dengan sistem baru.

“Initial deployment kami coba lakukan, sehingga Direktorat Jenderal Pajak dan juga masyarakat nantinya diharapkan dapat melakukan uji coba terhadap sistem yang kami bangun sebelum betul-betul termanfaatkan di 1 Januari 2025 besok,” ujarnya.

Menurutnya, DJP juga telah memulai program sosialisasi dan pelatihan sejak Agustus 2024, dengan menyediakan materi edukasi, termasuk video tutorial, di portal resmi DJP. Selain itu, pihaknya terus melatih pegawainya untuk memastikan mereka siap menggunakan sistem baru secara optimal dan dapat memberikan panduan yang jelas kepada masyarakat.

Dalam mendukung operasionalisasi sistem baru ini, Suryo juga mengungkapkan bahwa kerangka regulasi telah dipersiapkan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. Beberapa aturan turunan lainnya pun sedang disiapkan untuk memastikan implementasi yang lancar.

Dengan penerapan Core Tax Administration System pada Januari 2025, DJP berharap dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi administrasi perpajakan di Indonesia, memberikan kemudahan bagi wajib pajak, serta memperkuat sistem perpajakan negara.(alf)

Pemerintah Targetkan Penerimaan Pajak 2025 Tumbuh Signifikan

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan pentingnya kontribusi pajak bagi pembangunan negara, khususnya dari kelompok masyarakat yang mampu menikmati hasil pembangunan. Dalam pidato yang disampaikan di Istana Kepresidenan, Jakarta,Selasa (10/12/2024). Sri Mulyani menegaskan bahwa kelompok yang tidak mampu akan terus dibantu melalui program sosial seperti bantuan pendidikan, kesehatan, subsidi, dan pembebasan pajak yang dibiayai oleh APBN.

“Kelompok yang mampu dan menikmati hasil pembangunan diminta untuk bergotong-royong memenuhi kewajiban pajaknya dengan patuh dan jujur, agar Indonesia terus berkembang dan maju,” ujar Sri Mulyani.

Ia juga mengungkapkan bahwa pemerintah tengah mendorong reformasi perpajakan dengan penerapan teknologi digital untuk memperbaiki layanan dan memperkuat basis pajak. Hal ini bertujuan untuk mengatasi ancaman praktik penghindaran pajak dan persaingan pajak global yang semakin ketat.

Dalam konteks tersebut, pemerintah menetapkan target penerimaan negara pada APBN 2025 sebesar Rp3.005,1 triliun. Dari jumlah tersebut, penerimaan pajak dipatok mencapai Rp2.490,9 triliun, sementara pendapatan negara bukan pajak diperkirakan mencapai Rp513,6 triliun.

Hibah yang diterima diperkirakan sebesar Rp0,6 triliun. Untuk belanja pemerintah pusat, pemerintah merencanakan sebesar Rp2.701,4 triliun, dengan transfer ke daerah mencapai Rp919,9 triliun. Defisit anggaran pada 2025 diproyeksikan sebesar Rp616,2 triliun atau setara dengan 2,53% dari produk domestik bruto (PDB).

Menurutnya, salah satu aspek yang menarik perhatian dalam APBN 2025 adalah proyeksi penerimaan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 atau pajak karyawan yang mengalami kenaikan signifikan sebesar 45%. Pemerintah menargetkan penerimaan PPh 21 pada 2025 mencapai Rp313,5 triliun, naik Rp98,3 triliun dibandingkan dengan target 2024 yang sebesar Rp215,2 triliun.

“Kenaikan ini sejalan dengan total sasaran penerimaan pajak dalam negeri yang ditargetkan mencapai Rp2.433 triliun, naik 8,9% dibandingkan tahun sebelumnya,” ujarnya.

Di sisi lain kata Menkeu, penerimaan PPh Pasal 25/29 untuk pajak korporasi justru mengalami penurunan. Pemerintah menargetkan penerimaan pajak korporasi pada 2025 turun sebesar Rp58,6 triliun atau 13,6%, dari Rp428,59 triliun pada 2024 menjadi Rp369,95 triliun pada 2025. Meskipun mengalami penurunan, pajak korporasi tetap menjadi sumber penerimaan PPh terbesar kedua setelah pajak karyawan.

Selain itu, target pajak pertambahan nilai (PPN) yang dipungut baik dari dalam negeri maupun impor juga ditingkatkan menjadi Rp917,79 triliun pada 2025, dengan tarif PPN 12% yang baru akan diterapkan.

Dengan rencana tersebut, pemerintah berharap dapat mencapai tujuan fiskal yang berkeadilan, dengan mengandalkan partisipasi aktif masyarakat mampu dalam memenuhi kewajiban perpajakannya untuk memastikan kelangsungan pembangunan negara yang lebih baik. (alf)

Pemerintah Pertimbangkan Penghapusan Opsi Pajak Tambahan untuk Kendaraan

IKPI, Jakarta: Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza menanggapi kebijakan pemerintah daerah mengenai penerapan opsi pajak atau pungutan tambahan pada kendaraan bermotor yang dapat berpotensi meningkatkan harga kendaraan on the road (OTR) hingga belasan bahkan puluhan juta rupiah. Salah satu yang terpengaruh adalah kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Menurut Faisol, pembahasan mengenai kebijakan ini sedang dilakukan dengan kementerian terkait, dan diharapkan dapat segera diselesaikan.

“Kami sudah sempat membahasnya dalam Rakor dengan Menko Perekonomian dan kemungkinan akan melanjutkan pembicaraan dengan Kementerian Dalam Negeri. Mudah-mudahan bisa segera diselesaikan, dan tentunya akan melibatkan asosiasi,” ujar Faisol di Jakarta, Selasa (10/12/2024).

Kebijakan opsi pajak ini memicu kekhawatiran dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo). Mereka memperkirakan bahwa kebijakan ini dapat menurunkan penjualan kendaraan, bahkan mencapai level yang setara dengan masa pandemi, ketika penjualan mobil terjun bebas. Gaikindo sebelumnya menurunkan target penjualan mobil untuk tahun 2024 dari 1,1 juta unit menjadi 850 ribu unit karena kondisi pasar yang tidak kondusif.

Meski demikian, Faisol optimis industri otomotif dapat pulih pada tahun depan. Ia memproyeksikan penjualan mobil pada 2025 dapat kembali menyentuh angka 1 juta unit, bahkan berpotensi melampaui angka tersebut. “Tahun ini, penjualan memang sedikit terkoreksi, namun untuk tahun depan, kami optimistis target penjualan kembali ke angka 1 juta unit atau lebih,” kata Faisol.

Namun, ia juga mengakui bahwa industri otomotif menghadapi tantangan besar, baik dari segi kondisi pasar domestik maupun faktor global. “Situasi ekonomi global yang tidak menentu, ditambah dengan ketegangan di pasar internasional, menjadi tantangan besar bagi industri otomotif. Namun, setiap tantangan juga membawa kesempatan, dan kami harus mempersiapkan diri untuk itu,” tambahnya.

Sementara itu, Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara, mengungkapkan kekhawatirannya terkait dampak penerapan opsi pajak terhadap penjualan mobil. Ia memperkirakan bahwa jika kebijakan tersebut diterapkan, penurunan penjualan bisa tajam, bahkan mencapai angka sekitar 500 ribu unit, serupa dengan kondisi yang terjadi pada masa pandemi.
“Penerapan opsen pajak dan kenaikan PPN bisa membuat penjualan mobil kembali jatuh, seperti yang terjadi pada saat pandemi,” ujar Kukuh. (alf)

 

IKPI Padang Ikuti Gelaran Diskusi Coretax di Kanwil DJP Sumbar Jambi

IKPI, Jakarta: Sebanyak 16 anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Padang menghadiri acara diskusi dan pembahasan mengenai aplikasi pajak Coretax yang diselenggarakan oleh Kanwil Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sumatra Barat (Sumbar) dan Jambi. Acara ini berlangsung pada tanggal 10 Desember 2024, dari pukul 08.00 hingga 17.00 WIB, di kantor Kanwil DJP Sumbar Jambi.

Ketua IKPI Cabang Padang Prakarsa Salim mengatakan, pembahasan berfokus pada perkembangan sistem aplikasi Coretax ini bertujuan untuk memberikan pemahaman lebih dalam kepada para wajib pajak dan konsultan pajak terkait dengan penerapan sistem pajak terbaru yang sedang berkembang.

Menurutnya, meskipun aplikasi ini terus mengalami pembaruan dan penyempurnaan, para peserta diharapkan dapat mengikuti perkembangan teknologi ini untuk lebih siap dalam menghadapi perubahan di dunia perpajakan.

Padankesempatan itu, Prakarsa berpesan kepada anggotanya untuk terus mengupdate pengaplikasian Coretax. Karena, meskipun saat inj aplikasi Coretax masih memiliki beberapa kekurangan, namun ke depannya sistem ini akan terus disempurnakan.

“Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk terus mengupgrade diri dengan sistem dan program terbaru dalam dunia perpajakan,” kata Prakarsa, Selasa (10/12/2024).

Lebih lanjut Prakarsa mengungkapkan, acara ini juga menjadi wadah penting untuk memperkuat sinergi antara konsultan pajak, wajib pajak, dan pihak DJP, guna mendukung kelancaran implementasi sistem perpajakan yang lebih transparan dan efisien di Indonesia. (bl)

IKPI Cabang Makassar Hadiri Edukasi Coretax oleh Kanwil DJP Sulselbartra

IKPI, Jakarta: Sebanyak 30 anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Makassar hadir dalam edukasi Coretax yang diselenggarakan Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara.

Acara ini berlangsung di Aula Phinisi Lantai 5 Gedung Kanwil DJP Sulawesi Selatan, Selasa (10/12/2024).

Ketua IKPI Cabang Makassar Ezra Palisungan mengatakan, selain anggota yang berdomisili di Makassar, beberapa peserta juga hadir dari Kota Palu, Sulawesi Tengah, dan Merauke, Papua. Hal ini menunjukkan partisipasi dan antusiasme yang luas dari para anggota.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Makassar)

Menurut Ezra, kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalitas dan kompetensi anggota IKPI Cabang Makassar, serta memperkuat sinergi dengan otoritas pajak dalam rangka edukasi perpajakan.

Ia juga menyampaikan, harapannya, pemahaman mengenai Coretax yang diperoleh anggota IKPI dapat diteruskan kepada klien masing-masing konsultan pajak.

Sementara itu, Kepala Bidang Keberatan dan Banding Kanwil DJP Sulawesi Selatan, Barat, dan Tenggara, M. Primbang Aprilianto, yang mewakili Kepala Kanwil DJP, dalam sambutannya berharap IKPI, termasuk IKPI Cabang Makassar, dapat terus menjadi mitra strategis DJP.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Makassar)

Ezra menekankan pentingnya peran konsultan pajak dalam meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, serta dalam menyampaikan informasi dan perubahan sistem perpajakan, seperti sistem Coretax, kepada masyarakat.

“Acara ini diakhiri dengan diskusi interaktif yang memperkuat kolaborasi antara IKPI dan DJP, sebagai bagian dari upaya bersama untuk mendukung sistem perpajakan yang lebih efisien dan transparan,” kata Ezra, Selasa (10/12/2024).

Sekadar informasi, acara ini juga dihadiri  Ketua Pengda IKPI Sulawesi, Maluku, dan Papua,  Mustamin Anshar, bersama pengurus IKPI Cabang Makassar. (bl)

IKPI Pengda Sumbagteng Gandeng Perusahaan DGS Gelar Seminar Perpajakan

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) menggelar seminar pertama kalinya di Kota Bukittinggi, yang bertujuan untuk memberikan sosialisasi kepada wajib pajak mengenai persiapan pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 81 tahun 2024 tentang Coretax, serta pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) 21 untuk masa Desember 2024, SPT Orang Pribadi (OP), dan SPT Badan.

“Seminar ini akan dilaksanakan pada 16-17 Desember 2024, di Monopoli Hotel & Resort Bukittinggi,” kata Ketua IKPI Pengda Sumatera Bagian Tengah (Sumbagteng), Selasa (10/12/2024).

Diungkapkan Lilisen, seminar ini mengangkat tema “Persiapan PMK 81 2024 tentang Coretax, Persiapan Pelaporan PPh 21 Masa Desember, SPT OP dan Badan.”Tema tersebut dipilih dengan tujuan untuk memastikan bahwa pada awal tahun 2025, seluruh wajib pajak (WP) diharapkan sudah memahami implementasi sistem Coretax yang akan diberlakukan. Selain itu, seminar juga bertujuan untuk mengingatkan wajib pajak tentang pentingnya pelaporan pajak yang tepat, khususnya pelaporan SPT PPh 21 untuk masa Desember 2024, SPT OP, dan SPT Badan , guna menghindari kesalahan yang dapat berakibat pada SP2DK dan pemeriksaan pajak,” ujarnya.

Ia menargetkan, seminar ini bisa hadiri sedikitnya oleh 100 peserta yang berasal dari berbagai sektor, termasuk instansi swasta, pemerintahan, rumah sakit, dan kampus-kampus yang ada di Bukittinggi. “Jadi, selain anggota IKPI, kami juga menyasar peserta dari luar organisasi,” katanya.

Lilisen menyampaikan harapannya agar sosialisasi ini dapat membantu wajib pajak lebih memahami aturan pajak dan mengikuti setiap perubahan yang ada, sehingga dapat menghindari kesalahan pelaporan. “Dengan memahami aturan pajak, kami berharap kepatuhan pajak di wilayah Bukittinggi akan meningkat, yang pada gilirannya akan berkontribusi pada peningkatan penerimaan negara,” ujarnya.

Ia juga menekankan, pentingnya kegiatan seminar ini sebagai langkah awal dalam memperkenalkan IKPI kepada masyarakat dan otoritas pajak di Bukittinggi, serta meningkatkan kesadaran pajak di Sumatera Barat. Kegiatan ini terlaksana berkat kolaborasi IKPI dengan PT Delfinis Global Solusi, sebuah perusahaan yang telah terkenal di Bukittinggi dan memiliki peran penting dalam dunia pendidikan dan pelatihan perpajakan.

“Ibu Delfinis, pemilik PT Delfinis Global Solusi (DGS), juga menjabat sebagai Ketua Bidang PPL & Pendidikan IKPI Sumbagteng,” kata Lilisen.

Ketua IKPI Cabang Pekanbaru 2019-2024 ini berharap, seminar ini dapat menjadi langkah awal bagi banyak wajib pajak di Bukittinggi untuk lebih memahami dan mematuhi kewajiban perpajakan mereka. Selain itu, ia berharap kegiatan ini dapat menjadi bagian dari upaya berkelanjutan dalam memperkuat literasi pajak di masyarakat.(bl)

Penyaluran KUR untuk UMKM Sektor Pangan Terus Ditingkatkan

IKPI, Jakarta: Bank Mandiri terus berperan aktif dalam memperkuat ketahanan pangan nasional melalui penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang bertujuan memberdayakan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di sektor pangan, baik dari hulu hingga hilir. Langkah ini menjadi wujud komitmen Bank Mandiri untuk mendukung ekonomi kerakyatan dan meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia.

Direktur Utama Bank Mandiri, Darmawan Junaidi, menjelaskan bahwa penyaluran KUR difokuskan pada pelaku UMKM yang bergerak di bidang produksi dan distribusi pangan, seperti sektor pertanian, perikanan, dan perdagangan. “Dengan memberikan akses permodalan melalui KUR, Bank Mandiri membantu meningkatkan kapasitas produksi pelaku usaha di sektor-sektor tersebut, yang kemudian berkontribusi pada pasokan makanan bergizi bagi masyarakat,” ujar Darmawan dalam keterangan resmi yang diterima oleh IKPI.

Hingga akhir November 2024, Bank Mandiri mencatatkan realisasi penyaluran KUR sebesar Rp37,48 triliun kepada lebih dari 351 ribu UMKM di seluruh Indonesia. Angka ini hampir mencapai plafon maksimum yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp37,5 triliun, dan diperkirakan akan tercapai sepenuhnya pada Desember 2024.

Sebanyak Rp11,06 triliun atau 29,53 persen dari total penyaluran KUR disalurkan untuk sektor pertanian, yang merupakan pilar utama dalam rantai pasok pangan. Penyaluran ini sejalan dengan misi Bank Mandiri untuk berkontribusi dalam ketahanan pangan nasional. “Fokus kami adalah memastikan pelaku usaha di sektor pangan mendapatkan akses finansial yang optimal untuk meningkatkan produktivitas mereka,” kata Darmawan.

Selain itu, sektor perdagangan juga mendapatkan porsi besar dalam penyaluran KUR, yakni sebesar Rp14,91 triliun atau 39,79 persen, dengan realisasi penyaluran mencapai Rp22,56 triliun atau 60,21 persen dari total penyaluran yang telah dilakukan.

Bank Mandiri juga mengutamakan pendekatan inklusif dalam mempercepat penyaluran KUR dan berfokus pada sektor produksi unggulan. Langkah ini didorong oleh sinergi bisnis dan kolaborasi dengan nasabah wholesale. “Penyaluran KUR ini merupakan bagian dari strategi akuisisi berbasis ekosistem dengan pola closed loop yang kami optimalkan melalui value chain nasabah wholesale Bank Mandiri,” kata Darmawan.

Melalui kolaborasi dengan pemerintah, Bank Mandiri memastikan penyaluran KUR tepat sasaran dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat. Sektor prioritas KUR diharapkan dapat memperkuat ekonomi nasional yang berkelanjutan. Darmawan menambahkan bahwa selain mendorong pertumbuhan ekonomi, penyaluran KUR juga bertujuan menciptakan dampak sosial yang signifikan, dengan memberikan kontribusi pada ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat.

“Melalui dukungan yang berkelanjutan, kami percaya bahwa pelaku usaha dapat berkontribusi lebih besar dalam mewujudkan ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat,” tutup Darmawan. (alf)

Kadin Indonesia Soroti Dampak Kenaikan UMP 2025, Minta Insentif Khusus untuk Pengusaha

IKPI, Jakarta: Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengungkapkan keprihatinan atas dampak kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 yang diperkirakan naik 6,5%. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perindustrian, Saleh Husin, mengungkapkan bahwa kebijakan ini berpotensi menyebabkan tiga permasalahan besar bagi dunia usaha.

Saleh menjelaskan, masalah pertama adalah kesulitan pengusaha dalam memenuhi ketentuan kenaikan UMP dan upah sektoral yang lebih tinggi, di tengah penurunan permintaan pasar. “Pengusaha saat ini menghadapi kesulitan dalam menghadapi penurunan permintaan pasar, sehingga potensi untuk memenuhi ketentuan kenaikan upah menjadi tantangan,” ujarnya, Selasa (10/12/2024).

Masalah kedua adalah dampak jangka panjang terhadap daya tahan pengusaha. Meskipun pengusaha mampu menyesuaikan upah dalam waktu dekat, mereka khawatir dengan ketidakpastian ekonomi nasional dan global yang dapat mempengaruhi stabilitas jangka panjang industri. “Pengusaha bisa bertahan dalam waktu singkat, tetapi dalam jangka panjang, kondisi ekonomi yang tidak pasti dapat mengurangi daya tahan mereka,” kata Saleh.

Permasalahan ketiga, menurut Saleh adalah bagi industri yang berorientasi ekspor. Kenaikan upah menyebabkan produk Indonesia semakin mahal, sehingga kehilangan daya saing di pasar internasional. “Negara lain yang masih memiliki biaya tenaga kerja lebih rendah akan menjadi pilihan bagi para investor,” ujarnya.

Meskipun demikian, Saleh mengaku bahwa hingga saat ini, pihaknya belum mendapatkan informasi terkait insentif khusus yang akan diberikan pemerintah sebagai dampak dari kenaikan UMP. “Pemerintah memang sedang menggodok insentif yang berkaitan dengan daya beli kelas menengah, namun kami belum mendapatkan kepastian tentang insentif bagi pengusaha,” kata Saleh.

Selain itu, pengusaha juga khawatir dengan ketidakpastian kebijakan pengupahan yang sering berubah setiap tahun. Penetapan upah sektoral, yang belum memiliki kriteria dan formula yang jelas, semakin menambah ketidakpastian. “Kami khawatir akan terjadi negosiasi yang panjang dan potensi kenaikan upah yang mengejutkan investor,” katanya.

Sekadar inforasi, sebelumnya Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menyatakan bahwa pemerintah sedang merumuskan kebijakan khusus untuk membantu perusahaan yang mengalami kesulitan dalam menerapkan kenaikan UMP 6,5% pada 2025. Langkah ini diambil untuk mencegah pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat beban berat yang ditanggung oleh perusahaan akibat kenaikan upah minimum tersebut. (alf)

en_US