DJP: Pembeli Barang Nonmewah Bisa Minta Pengembalian Kelebihan PPN 12%

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan bahwa pembeli barang atau jasa nonmewah yang terlanjur dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% berhak meminta pengembalian atas kelebihan tarif pajak tersebut. Hal ini mengikuti penegasan pemerintah bahwa PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah yang termasuk kategori Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, menjelaskan bahwa pembeli dapat mengajukan permintaan pengembalian kelebihan pemungutan pajak kepada penjual. Penjual, yang berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP), kemudian diwajibkan untuk mengganti faktur pajak yang telah diterbitkan.

“Kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% dari yang seharusnya 11% namun terlanjur dipungut sebesar 12% dapat diminta kembali oleh pembeli kepada penjual. Atas permintaan tersebut, PKP penjual melakukan penggantian faktur pajak,” kata Dwi Astuti dalam keterangan tertulis yang dirilis Senin (6/1/2025).

Selain itu, DJP juga mengumumkan masa transisi selama tiga bulan, mulai 1 Januari hingga 31 Maret 2025, untuk penyesuaian pajak terkait Dasar Pengenaan Pajak (DPP) nilai lain 11/12. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 yang diterbitkan pada 3 Januari 2025.

Dalam masa transisi tersebut, DJP menegaskan bahwa tarif PPN untuk barang atau jasa nonmewah tetap 12%. Namun, penghitungan pajaknya menggunakan DPP nilai lain sebesar 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian. Dengan demikian, tarif efektif PPN yang dibayarkan masyarakat untuk barang atau jasa nonmewah tetap berada di angka 11%.

Langkah ini diharapkan dapat memberikan kepastian bagi wajib pajak sekaligus mengurangi potensi kesalahan penghitungan tarif PPN di masa mendatang. DJP mengimbau semua pihak, baik pembeli maupun penjual, untuk mematuhi aturan yang berlaku selama masa transisi ini. (alf)

Pemerintah Fokus Implementasi Pajak Karbon dan Pengembangan Bursa Karbon

IKPI, Jakata: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah akan memprioritaskan implementasi pajak karbon dan regulasi batas atas emisi sektoral sebagai upaya untuk mendorong pengembangan bursa karbon di Indonesia.

“Implementasi pajak karbon dan regulasi batas atas emisi sektoral untuk mendorong pengembangan bursa karbon,” ujar Sri Mulyani di Jakarta, baru-baru ini.

Meski isu pajak sering kali menjadi topik sensitif, Sri Mulyani menegaskan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan terus berkoordinasi dengan berbagai kementerian dan lembaga terkait. Di antaranya adalah Kementerian Perdagangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), serta Kementerian Perhubungan yang memiliki peran penting dalam pengelolaan emisi dari sektor-sektor strategis.

“Kami akan berkomunikasi dengan kementerian terkait. Hari-hari ini kalau ngomong pajak sering ada yang nyelomotin saya, tetapi komitmen tetap dijalankan,” ujarnya.

Pajak Karbon dalam UU HPP

Indonesia telah mengadopsi kebijakan pajak karbon melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Namun, penerapan kebijakan tersebut hingga kini belum memiliki jadwal pasti.

Menurut Deputi Bidang Pengembangan Usaha BUMN, Riset, dan Inovasi Kemenko Perekonomian, Elen Setiadi, pajak karbon akan diterapkan pertama kali pada subsektor pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). “Pada tahap awal, peta jalan pajak karbon diusulkan cukup mengatur penerapan pajak karbon bagi subsektor pembangkit listrik untuk mendukung perdagangan karbon yang sudah ada,” ujar Elen dalam sebuah webinar, Selasa (23/7/2024).

Elen juga menyampaikan bahwa pada tahap kedua, pajak karbon rencananya akan diterapkan terhadap bahan bakar fosil yang digunakan oleh kendaraan bermotor.

Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan dampak signifikan terhadap pengurangan emisi karbon di Indonesia. Pajak karbon atas sektor pembangkit listrik dan transportasi diperkirakan mencakup sekitar 39% dari total emisi karbon di Indonesia, dengan rincian 48% berasal dari pembangkit listrik dan 23% dari sektor transportasi.

“Pengenaan atas kedua sektor ini dapat mencakup sekitar 71% emisi dari sektor energi, yang menjadi langkah strategis dalam upaya penurunan emisi nasional,” ungkap Elen.

Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah Indonesia untuk mencapai target pengurangan emisi karbon sekaligus mendorong pengembangan ekonomi hijau yang berkelanjutan. (alf)

Asosiasi Pengusaha Sebut Kebijakan Kenaikan PPN 12% Sebagai Langkah Strategis Jaga Daya Beli

IKPI, Jakarta: Sejumlah asosiasi pengusaha lintas sektor menyambut baik kebijakan pemerintah terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang hanya berlaku untuk barang-barang super mewah. Kebijakan ini dinilai sebagai langkah strategis yang menjaga daya beli masyarakat sekaligus memberikan kepastian bagi sektor usaha.

Ketua Komite Perdagangan Dalam Negeri Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Handaka Santosa, menyatakan bahwa kebijakan ini mendukung konsumsi rumah tangga kelas menengah bawah dan mendorong pertumbuhan industri di tengah tantangan ekonomi global. “Kebijakan yang terukur ini tidak hanya mendorong daya beli masyarakat, tetapi juga mendukung pertumbuhan industri,” ujar Handaka dalam keterangan resminya, yang diterima, Minggu (5/1/2025).

Handaka juga mengapresiasi masa transisi tiga bulan yang diberikan pemerintah untuk mempersiapkan implementasi kebijakan. Ia menilai, sosialisasi teknis yang dilakukan pemerintah bersama asosiasi sektoral akan memastikan pelaksanaan kebijakan berjalan lancar.

Selain Apindo, asosiasi lain seperti Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), dan Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) turut menyampaikan dukungannya. Dukungan serupa juga diberikan oleh Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), serta Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).

Presiden Prabowo Subianto sebelumnya mengumumkan bahwa kenaikan PPN ini hanya berlaku untuk barang dan jasa super mewah sesuai peraturan perundang-undangan. “Kenaikan PPN dari 11% ke 12% hanya dikenakan kepada barang dan jasa mewah,” jelas Prabowo di Kantor Kementerian Keuangan pada Selasa (31/12/2024). (alf)

INDODAX Sesuaikan Tarif PPN Aset Kripto

IKPI, Jakarta: INDODAX, platform perdagangan aset kripto terbesar di Indonesia, telah menyesuaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku efektif mulai 1 Januari 2025. Penyesuaian ini dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024 dan PMK Nomor 81 Tahun 2024 yang mengatur tarif PPN untuk transaksi aset kripto dan barang tertentu lainnya.

Kini, tarif PPN untuk pembelian aset kripto melalui Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) ditetapkan sebesar 0,12% (1% x 12%) dari nilai transaksi. Sementara itu, transaksi lainnya seperti biaya deposit, penarikan rupiah, dan trading dikenakan tarif PPN sebesar 11%, sebagaimana diatur dalam PMK No. 131 Tahun 2024 Pasal 3.

PPN ini dikenakan atas biaya transaksi, bukan atas jumlah dana yang didepositkan atau ditarik oleh pengguna. Kebijakan ini bertujuan memberikan perlakuan pajak khusus terhadap aset kripto yang memiliki karakteristik unik dibandingkan barang atau jasa konvensional.

CEO INDODAX Oscar Darmawan, menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen untuk mematuhi seluruh peraturan yang berlaku. Perusahaan aktif berkonsultasi dengan otoritas terkait, termasuk Direktorat Jenderal Pajak.

“Penyesuaian tarif PPN ini adalah langkah penting dalam mendukung transparansi perpajakan di Indonesia sekaligus memastikan keamanan dan kenyamanan transaksi bagi pengguna INDODAX,” ujar Oscar dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Minggu (5/1/2025).

Oscar juga menekankan bahwa regulasi yang jelas akan meningkatkan kepercayaan di sektor aset kripto. Ia mengakui bahwa interpretasi terhadap peraturan perpajakan seringkali menantang, tetapi yakin bahwa kerja sama dengan otoritas terkait akan memberikan manfaat jangka panjang bagi ekosistem kripto di Indonesia.

INDODAX juga memastikan bahwa seluruh biaya di platformnya, termasuk pajak, sudah dihitung secara otomatis. “Semua biaya sudah termasuk pajak dan komponen lainnya, sehingga pengguna tidak perlu khawatir. Hal ini menjadikan pengalaman bertransaksi di INDODAX lebih simpel dan mudah,” kata Oscar.

Meski mendukung penuh peraturan perpajakan yang ada, INDODAX berharap aset kripto dapat dikecualikan dari PPN, seperti yang diterapkan di beberapa negara. Menurut Oscar, kebijakan ini dapat mempercepat adopsi aset kripto sebagai instrumen keuangan yang inklusif dan inovatif di Indonesia.

“Dengan dihapusnya PPN, volume trading kripto berpotensi meningkat, yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan negara melalui Pajak Penghasilan (PPh) final dari transaksi kripto,” kata Oscar.

Oscar menambahkan bahwa banyak negara tidak mengenakan PPN pada aset kripto karena dianggap sebagai bagian dari transaksi keuangan. Ia berharap Indonesia dapat mempertimbangkan kebijakan serupa untuk menciptakan ekosistem yang lebih kondusif.

Dengan langkah penyesuaian ini, INDODAX menunjukkan komitmennya dalam mendukung regulasi yang seimbang dan mendorong pertumbuhan industri aset kripto di Indonesia. Perusahaan optimis bahwa regulasi yang mendukung akan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif bagi para pelaku pasar. (alf)

Menperin Sebut Penerapan Opsen Pajak Kendaraan Bermotor Berpotensi Bebani Industri Otomotif

IKPI, Jakarta: Penerapan opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) akan mulai berlaku efektif pada 5 Januari 2025. Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Namun, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menilai bahwa pungutan tambahan pajak yang diberlakukan oleh pemerintah daerah (Pemda) tersebut berpotensi membebani industri otomotif di tanah air.

“Yang paling sulit untuk pabrikan mobil dan konsumen adalah pajak yang diatur oleh Pemda, namanya opsen. Itu yang membuat sektor otomotif akan berat,” ungkap Agus di Jakarta, Sabtu (4/1/2025).

Agus memprediksi, implementasi opsen pajak kendaraan bermotor dapat berdampak negatif terhadap perekonomian daerah dalam jangka panjang. Ia menyebut kemungkinan Pemda akan mencari solusi, seperti menerapkan relaksasi pajak, untuk mengatasi dampak ini.

“Saya kira enggak akan terlalu lama Pemda-pemda nanti merasakan kebijakan opsen itu, justru akan merugikan ekonomi daerah sendiri. Pemda pasti akan mengevaluasi atau menerbitkan regulasi baru untuk relaksasi,” ujarnya.

Menurut Agus, pungutan tambahan ini dapat menurunkan daya beli masyarakat terhadap kendaraan baru, sehingga berpotensi mengurangi pemasukan daerah.

“Karena orang lokal tidak akan membeli mobil baru. Pada akhirnya, pendapatan daerah juga tidak akan meningkat,” tambahnya.

Penyesuaian Opsen di Daerah

Opsen pajak dikenakan berdasarkan persentase tertentu terhadap tiga jenis pajak daerah, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB). Meski bertujuan memperjelas pembagian pendapatan pajak antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, pelaksanaannya menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri.

Rustam Effendi, Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, menjelaskan bahwa tarif opsen pajak telah diatur secara proporsional sesuai undang-undang.

“Pemerintah pusat memastikan daerah tidak menarik pajak tambahan di luar aturan yang sudah ditetapkan,” kata Rustam dalam Forum Editor Otomotif di Jakarta, Kamis (21/11/2024).

Meski demikian, Rustam mengakui bahwa perbedaan tarif opsen di berbagai daerah dapat menciptakan kebingungan bagi konsumen dan tantangan bagi produsen otomotif.

Harapan Pelaku Industri

Pelaku industri otomotif berharap agar kebijakan opsen pajak diterapkan secara transparan dan tidak menambah beban bagi konsumen. Dengan pembagian yang lebih jelas dan pengawasan yang ketat, opsen pajak diharapkan tidak menjadi penghalang pertumbuhan sektor otomotif di Indonesia.

Keberhasilan kebijakan ini dinilai penting untuk menjaga kelangsungan industri otomotif sebagai salah satu penggerak utama perekonomian nasional, sekaligus menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi seluruh pihak terkait. (alf)

MK: SPA Bukan Bagian dari Jasa Hiburan, Tapi Pajaknya Tetap Ikut Aturan Pemerintah

IKPI, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi terhadap Pasal 55 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Dalam putusan Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024, MK menegaskan bahwa mandi uap/spa merupakan bagian dari jasa pelayanan kesehatan tradisional, bukan kategori jasa hiburan seperti diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar.

Dikutip dari website resmi MK, Minggu (5/1/2025), Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan bahwa frasa “dan mandi uap/spa” dalam Pasal 55 ayat (1) huruf l UU HKPD bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, kecuali dimaknai sebagai bagian dari jasa pelayanan kesehatan tradisional. Putusan ini dibacakan dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta Pusat.

“Pengklasifikasian mandi uap/spa dalam kelompok hiburan tidak memberikan jaminan kepastian hukum dan menimbulkan stigma negatif. Hal ini bertentangan dengan pengakuan mandi uap/spa sebagai jasa kesehatan tradisional yang memiliki manfaat kesehatan berbasis kearifan lokal,” ujar Arief.

Pelayanan Kesehatan Tradisional dalam Sistem Nasional

MK menegaskan bahwa pelayanan kesehatan tradisional memiliki landasan hukum yang jelas melalui UU Kesehatan dan berbagai peraturan pemerintah. Layanan seperti mandi uap/spa mencakup aspek promotif, preventif, kuratif, hingga rehabilitatif.

Menurut Mahkamah, mandi uap/spa yang menggunakan metode holistik seperti pijat, aromaterapi, terapi warna, hingga makanan sehat memiliki tujuan mencapai keseimbangan tubuh, pikiran, dan jiwa. Jenis layanan ini terbagi menjadi health spa untuk promotif dan preventif, serta medical spa untuk kuratif dan rehabilitatif.

Pajak Tinggi Masih Berlaku

Sementara itu, MK menolak permohonan terkait tarif pajak mandi uap/spa yang dianggap diskriminatif. Dalam Pasal 58 ayat (2) UU HKPD, tarif pajak mandi uap/spa tetap berkisar antara 40 persen hingga 75 persen. MK menilai penetapan tarif ini merupakan kewenangan pembentuk undang-undang sesuai Pasal 23A UUD 1945.

Selain itu, Mahkamah memastikan tidak ada pengenaan pajak ganda pada jasa mandi uap/spa, mengacu pada Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2022.

Dengan putusan ini, Mahkamah berharap layanan mandi uap/spa sebagai bagian dari kesehatan tradisional dapat berkembang tanpa stigma negatif, sementara tarif pajak tetap menjadi ranah legislator. (alf)

Kenaikan Tarif Cukai Hasil Tembakau Dorong Inflasi Rokok di 2024

IKPI, Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa penyesuaian tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) memengaruhi inflasi rokok pada Desember 2024, khususnya untuk kategori Sigaret Kretek Mesin (SKM).

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, menjelaskan bahwa meskipun penyesuaian tarif CHT berbeda dengan penetapan Harga Jual Eceran (HJE), dampak kenaikan cukai terlihat jelas pada inflasi rokok sepanjang 2024.

“Cukai Hasil Tembakau (CHT) secara tidak langsung memang menaikkan harga jual eceran (rokok). Meskipun PMK CHT ini berbeda dengan PMK hasil Harga Jual Eceran (HJE), namun di 2024 memang tertangkap bahwa terjadi kenaikan harga rokok. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa kenaikan cukai rokok juga berpengaruh terhadap kenaikan inflasi rokok,” ujar Pudji di Jakarta, baru-baru ini.

Sebelumnya, pemerintah menetapkan kenaikan tarif CHT rata-rata sebesar 10 persen untuk 2024, dengan variasi tarif berdasarkan jenis rokok seperti SKM, Sigaret Putih Mesin (SPM), dan Sigaret Kretek Tangan (SKT). Meski demikian, rencana kenaikan tarif CHT untuk 2025 telah dibatalkan. Sebagai gantinya, pemerintah melakukan penyesuaian Harga Jual Eceran (HJE) yang mulai berlaku pada awal tahun 2025 untuk mengendalikan konsumsi rokok.

Penyesuaian ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 97 Tahun 2024 yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 4 Desember 2024.

BPS mencatat inflasi tahunan sebesar 1,57 persen (yoy) pada Desember 2024. Kelompok makanan, minuman, dan tembakau menjadi penyumbang utama inflasi dengan andil 0,55 persen. Rokok dari golongan SKM menyumbang 0,13 persen terhadap inflasi, sedangkan SKT dan SPM masing-masing memberikan kontribusi 0,04 persen.

Selain rokok, emas perhiasan juga menjadi komoditas utama penyumbang inflasi dengan andil sebesar 0,35 persen sepanjang 2024.

Kenaikan tarif CHT dan penyesuaian HJE diharapkan dapat mengendalikan konsumsi rokok, meskipun efeknya terhadap inflasi terus menjadi perhatian pemerintah dan masyarakat. (alf)

DJP Resmi Terbitkan Perdirjen 01/PJ/2025 Terkait Faktur Pajak dan Penyesuaian PPN

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor PER-01/PJ/2025 yang mengatur petunjuk teknis penerbitan Faktur Pajak dalam rangka pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 131 Tahun 2024. Aturan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan memfasilitasi pelaku usaha dalam menyesuaikan sistem administrasi perpajakan mereka.

Melalui keterangan tertulisnya yang dikeluarkan Jumat (3/1/2025), DJP menyatakan bahwa peraturan ini memberikan masa transisi selama tiga bulan, yaitu mulai 1 Januari 2025 hingga 31 Maret 2025. Selama masa transisi, pelaku usaha diberi keleluasaan untuk menyesuaikan sistem administrasi Faktur Pajak mereka sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam PMK 131 Tahun 2024.

Dalam masa transisi tersebut, Faktur Pajak yang diterbitkan dengan mencantumkan nilai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar:

1. 11% dari harga jual, meskipun seharusnya dihitung sebagai 12% × 11/12 × harga jual; atau

2. 12% dari harga jual, meskipun seharusnya dihitung sebagai 12% × 11/12 × harga jual,

 

akan dianggap benar dan tidak dikenakan sanksi.

Pengembalian Kelebihan PPN

Dalam situasi di mana terjadi kelebihan pemungutan PPN sebesar 1% (yaitu 12% yang seharusnya 11%), pemerintah memberikan aturan pengembalian kepada pembeli. Pembeli dapat meminta pengembalian kelebihan tersebut kepada penjual. Penjual yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib:

1. Melakukan penggantian Faktur Pajak; dan

2. Memproses pengembalian kelebihan PPN kepada pembeli sesuai ketentuan yang berlaku.

Respons atas Aspirasi Masyarakat

Penerbitan peraturan ini merupakan respons atas masukan dan aspirasi dari pelaku usaha. Pemerintah menyadari bahwa perubahan tarif PPN dari 11% ke 12% memerlukan penyesuaian sistem administrasi, termasuk pengelolaan Faktur Pajak dan prosedur pengembalian pajak.

Sekadar informasi, naskah lengkap Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2025 dapat diakses melalui situs resmi DJP di www.pajak.go.id.

Melalui aturan ini, pemerintah berharap dapat memberikan kepastian hukum serta mendukung kelancaran aktivitas bisnis pelaku usaha dalam menjalankan kewajiban perpajakan mereka. (alf)

Pengamat Sebut Cukai Karbon Kendaraan Bermotor Berpotensi Hasilkan Rp 92 Triliun per Tahun

IKPI, Jakarta: Penerapan cukai karbon untuk kendaraan bermotor masih menjadi pembahasan di Indonesia. Jika kebijakan ini direalisasikan, pemerintah berpotensi mendapatkan pendapatan hingga Rp 92 triliun per tahun. Potensi ini muncul di tengah upaya pemerintah mencari sumber pendapatan baru untuk meningkatkan penerimaan negara.

Sebelumnya, pemerintah telah menerapkan pajak kendaraan bermotor berbasis emisi karbon sejak Oktober 2021 melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 73 Tahun 2019. Kebijakan tersebut menggantikan pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor yang sebelumnya didasarkan pada bentuk kendaraan dan kapasitas mesin, menjadi berdasarkan tingkat emisi gas buang dan efisiensi bahan bakar.

Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) Ahmad Safrudin, menyebut bahwa cukai karbon dapat menjadi solusi optimal untuk mendongkrak penerimaan negara. “Potensi cukai karbon bisa membuka ruang fiskal baru yang sangat besar, jauh melampaui pendapatan dari kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1% menjadi 12%,” ujarnya dalam diskusi bertajuk Opsi Lain PPN 12%: Cukai Karbon Kendaraan di Jakarta, baru-baru ini.

Safrudin menjelaskan, cukai karbon memungkinkan penerapan tax feebate dan tax rebate. Tax feebate merupakan pajak tambahan atas kendaraan dengan emisi tinggi, sementara tax rebate berupa insentif bagi kendaraan rendah emisi. “Dengan pendekatan ini, masyarakat akan terdorong untuk memilih kendaraan ramah lingkungan, sekaligus memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan negara,” katanya.

Berdasarkan data KPBB, rata-rata penjualan kendaraan bermotor di Indonesia mencapai satu juta unit mobil dan enam juta unit sepeda motor setiap tahun. Dengan volume tersebut, penerapan cukai karbon diproyeksikan menghasilkan pendapatan hingga Rp 92 triliun per tahun, jauh lebih besar dibandingkan kenaikan PPN menjadi 12% yang hanya diperkirakan menyumbang Rp 67 triliun.

“Kenapa pemerintah tidak memanfaatkan peluang besar ini? Selain mendukung upaya mitigasi perubahan iklim, cukai karbon juga memberikan manfaat fiskal yang signifikan,” ujar Safrudin.

Hingga kini, wacana penerapan cukai karbon masih dalam tahap pembahasan internal pemerintah. Namun, jika kebijakan ini direalisasikan, tidak hanya penerimaan negara yang meningkat, tetapi juga pengurangan emisi karbon kendaraan bermotor dapat tercapai. (alf)

DPR Nilai Aturan PPN 12%, Membingungkan dan Berpotensi Meresahkan Masyarakat

IKPI, Jakarta: Langkah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menetapkan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 11/12 untuk mengenakan penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menuai kritik dari DPR. Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menyatakan bahwa kebijakan tersebut menimbulkan kebingungan dan keresahan di masyarakat, khususnya di kalangan pelaku usaha.

Dalam keterangannya pada Jumat (3/1/2025), Misbakhun menyebutkan bahwa peraturan ini menyebabkan beberapa perusahaan ritel memungut PPN sebesar 12%, yang seharusnya hanya diterapkan untuk barang dan jasa mewah.

“Peraturan ini membingungkan, karena menggunakan dasar pengenaan pajak dengan nilai lain, yaitu 11/12, yang kemudian dikalikan tarif PPN 12% agar hasilnya tetap 11%,” ungkapnya.

Aturan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK), yang dinilai tidak memberikan kepastian hukum dan mempersulit penerapannya. Misbakhun menyoroti bahwa Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Pasal 7 sebenarnya memperbolehkan multi-tarif PPN, sehingga tidak ada halangan untuk menerapkan tarif 11% dan 12% secara bersamaan.

Namun, pendekatan yang diambil Kemenkeu, menurutnya, tidak memberikan waktu yang cukup bagi pengusaha untuk menyesuaikan sistem mereka. “Dengan waktu yang mepet, pengusaha terpaksa mengubah sistemnya, dan masyarakat justru harus membayar lebih dari yang seharusnya,” kata Misbakhun.

Ia juga menyoroti pentingnya penyusunan aturan yang sederhana dan jelas, agar tidak menimbulkan penafsiran ganda. Misbakhun mengingatkan agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tidak membuat kebijakan yang bertentangan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto, yang telah menetapkan bahwa PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah pada 31 Desember 2024.

Sementara itu, dalam Media Briefing DJP pada Kamis (2/1/2025), Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyatakan bahwa penggunaan DPP 11/12 adalah solusi yang paling memungkinkan dengan keterbatasan waktu. “Caranya ya kita tetapkan koefisien, yaitu nilai lain 11/12 x 12% sama dengan 11%. Ini solusi yang dapat kita jalankan saat ini,” ujarnya.

Keputusan mendadak ini dianggap sebagai langkah darurat, namun tetap menjadi perhatian serius karena berpotensi mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Misbakhun menutup dengan pernyataan bahwa DJP harus segera memperbaiki kebijakan ini demi menjaga kredibilitas dan kepercayaan masyarakat. (alf)

en_US