APINDO: Shortfall Pajak 2025 Terancam Tembus Rp100 Triliun

IKPI, Jakarta: Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) mewanti-wanti ancaman serius terhadap penerimaan perpajakan tahun 2025. Analis Kebijakan Ekonomi APINDO, Ajib Hamdani, menyebut potensi shortfall pajak bisa menembus angka Rp100 triliun apabila pemerintah tidak melakukan langkah-langkah terobosan yang konkret.

“Kalau kondisinya ceteris paribus tidak ada terobosan berarti shortfall penerimaan pajak tahun ini bisa lebih dari Rp100 triliun. Ini mencerminkan kompleksitas tantangan fiskal yang luar biasa,” ujar Ajib dalam keterangan tertulis, Jumat (23/5/2025).

Hingga kuartal I-2025, realisasi penerimaan pajak hanya mencapai Rp322,6 triliun atau sekitar 14,7 persen dari target APBN sebesar Rp2.183,9 triliun. Angka ini jauh di bawah kondisi ideal, yang semestinya menyentuh kisaran 20 persen di kuartal pertama. Sebagai perbandingan, pada tahun 2024 realisasi kuartal I sebesar 19,2 persen, tetapi tetap terjadi shortfall sekitar Rp50 triliun.

Lima Tantangan Utama Fiskal 2025

Ajib memetakan lima tantangan krusial yang harus dimitigasi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengamankan penerimaan negara:

1. Pertumbuhan Ekonomi Melambat

Revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia, yang awalnya dipatok 5,2 persen menjadi hanya 4,7–4,9 persen, menjadi tantangan pertama. Pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 pun hanya tercatat 4,87 persen. “Ini akan berdampak langsung pada kinerja perpajakan,” kata Ajib.

2. Dominasi Grey Economy

Lebih dari 50 persen PDB Indonesia berasal dari konsumsi rumah tangga, tetapi tidak seluruhnya tercatat dalam sistem perpajakan. Ajib menyebut, potensi transaksi senilai Rp2.000–Rp4.000 triliun masih beroperasi dalam area grey economy.

3. Utang Jatuh Tempo Rp800 Triliun

Pembayaran utang yang jatuh tempo menjadi tekanan tersendiri. Hingga April 2025, pemerintah sudah melakukan front loading utang sebesar Rp250 triliun, tetapi total utang jatuh tempo tahun ini mencapai Rp800 triliun. “Ini harus dimitigasi agar defisit tidak melebar melewati batas 3 persen dari PDB,” tegasnya.

4. Beban Program Populis

Program-program seperti Makan Bergizi Gratis, Koperasi Merah Putih, dan pembangunan tiga juta rumah akan menambah beban APBN. Selain itu, kebijakan pengelolaan dividen BUMN melalui Danantara berpotensi mengurangi PNBP hingga Rp90 triliun.

5. Implementasi Coretax Belum Optimal

Sistem layanan perpajakan Coretax justru menimbulkan tantangan baru. “Ketidaksiapan sistem membuat cost compliance wajib pajak meningkat dan berpengaruh negatif terhadap penerimaan berjalan,” jelas Ajib.

Rekomendasi APINDO

Untuk menghadapi tantangan tersebut, Ajib merekomendasikan tiga strategi utama: mempercepat daya ungkit ekonomi, redesain struktur belanja dengan prinsip spending better, serta peningkatan kualitas sistem dan layanan perpajakan.

Ia juga menyarankan dua opsi tambahan: pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) dan pemberlakuan Tax Amnesty Jilid III. Menurutnya, kedua kebijakan itu bisa menambah penerimaan negara sebesar Rp60 triliun hingga Rp130 triliun.

“Langkah-langkah tersebut perlu dipertimbangkan serius agar pemerintah tidak hanya menjaga stabilitas fiskal, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi dan iklim usaha yang lebih sehat,” tutup Ajib. (alf)

 

 

RUU Pajak Trump Buat Dolar AS Melemah 

IKPI, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat yang kini dikendalikan Partai Republik resmi menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) pajak dan belanja yang menjadi salah satu agenda utama Presiden Donald Trump. Langkah ini menandai kemenangan awal bagi kebijakan fiskal Trump yang menjanjikan pemangkasan pajak besar-besaran dan reformasi belanja negara.

RUU tersebut mencakup pemotongan pajak bagi individu dan perusahaan, kenaikan anggaran militer, serta pengetatan kontrol perbatasan. Namun, di sisi lain, RUU itu juga menghapus berbagai insentif untuk energi bersih yang sebelumnya digagas di era Presiden Joe Biden.

Setelah melewati DPR, naskah RUU akan melaju ke Senat yang juga dikuasai oleh Partai Republik dengan kemungkinan besar akan segera disahkan menjadi undang-undang.

Namun, para ekonom memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat membawa beban fiskal jangka panjang. Menurut proyeksi, implementasi RUU ini dapat menambah utang federal hingga USD 3,8 triliun dalam sepuluh tahun mendatang.

“Peningkatan utang ini menjadi perhatian serius bagi investor global, terutama terkait keberlanjutan fiskal AS,” tulis laporan riset dari Stockbit Sekuritas yang dikutip Sabtu, (24/5/2025).

Dolar AS Tertekan, Pasar Asia Menguat

Kekhawatiran atas lonjakan utang pemerintah AS berdampak langsung pada pasar keuangan. Lembaga pemeringkat Moody’s menurunkan peringkat utang AS dari Aaa menjadi Aa1—pemangkasan pertama oleh Moody’s sejak Perang Dunia I. Sebelumnya, Fitch dan S&P telah lebih dulu menurunkan peringkat serupa masing-masing pada tahun 2023 dan 2021.

Sebagai imbasnya, indeks dolar AS (DXY) pada Jumat (23/5) ditutup melemah 0,6% ke posisi 99,36. Sejak awal 2025, DXY telah merosot 8,4%, mencerminkan tekanan besar pada greenback. Yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun stagnan di kisaran 4,528%, mengindikasikan keraguan pasar terhadap stabilitas fiskal jangka panjang Negeri Paman Sam.

Di tengah melemahnya dolar, rupiah justru menunjukkan taringnya. Mata uang Garuda menguat 0,67% ke posisi Rp16.217 per dolar AS. Kinerja pasar saham domestik pun turut terdongkrak, dengan IHSG naik 0,66% ke level 7.214,16, didukung oleh aliran dana asing yang mencapai Rp589 miliar.

“Jika tren pelemahan dolar AS berlanjut, rupiah berpeluang menembus level di bawah Rp16.000 pada kuartal IV tahun ini,” tutup laporan riset tersebut. (alf)

 

 

 

 

 

Mau Ajukan WP Kriteria Tertentu? Ini yang Harus Dilakukan

IKPI, Jakarta: Bagi Wajib Pajak (WP) yang ingin mendapatkan status sebagai Wajib Pajak Kriteria Tertentu (WPKT), ada prosedur penting yang harus diikuti sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 119 Tahun 2024, khususnya Pasal 4.

Menurut PMK tersebut:

“Untuk dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak Kriteria Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Wajib Pajak mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak secara elektronik melalui portal Wajib Pajak paling lambat tanggal 10 Januari.” (Pasal 4 ayat (1))

Namun, apabila pengajuan secara elektronik tidak memungkinkan, WP dapat menyampaikan permohonan: secara langsung, melalui pos, ekspedisi, atau kurir ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau tempat lain yang ditunjuk DJP (Pasal 4 ayat (1a)).

Setelah permohonan diterima, DJP akan melakukan penelitian. Jika WP memenuhi kriteria, maka akan diterbitkan keputusan penetapan. Jika tidak, akan diberikan surat penolakan (Pasal 4 ayat (2)).

DJP memiliki waktu maksimal 1 (satu) bulan untuk memberikan keputusan. Apabila tidak ada respons hingga batas waktu tersebut, maka:

“Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan penetapan Wajib Pajak Kriteria Tertentu.” (Pasal 4 ayat (4))

DJP juga berwenang menetapkan WP sebagai WPKT secara jabatan berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki (Pasal 4 ayat (5)).

Dengan pemahaman yang tepat atas prosedur ini, WP dapat memanfaatkan haknya secara optimal, sekaligus memastikan kepatuhan dan pengelolaan pajak yang lebih efisien. (alf)

 

 

 

 

Penerimaan Pajak April 2025 Tumbuh 7%

IKPI, Jakarta: Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu mengungkapkan bahwa kinerja penerimaan pajak bruto pada April 2025 menunjukkan tren yang menggembirakan. Dalam laporan terbarunya, tercatat total penerimaan pajak bulan itu mencapai Rp266,2 triliun, meningkat 7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang berada di angka Rp248,7 triliun.

“Pertumbuhan ini relatif stabil dan meneruskan tren positif yang sudah mulai terlihat sejak Maret,” ujar Anggito dalam konferensi pers, dikutip Minggu (25/5/2025). Ia juga menegaskan bahwa penerimaan pajak neto untuk Maret dan April mencatat pertumbuhan masing-masing 3,5% dan 5,8%, memperkuat optimisme terhadap pemulihan fiskal.

Secara kumulatif, penerimaan pajak bruto sepanjang Maret hingga April 2025 mencapai Rp434,4 triliun, naik dari Rp405 triliun pada periode yang sama tahun 2024. Kinerja ini disebut sebagai hasil dari sinergi antara aktivitas ekonomi yang mulai pulih dan kebijakan perpajakan yang lebih adaptif.

Salah satu faktor signifikan yang mendorong penerimaan di April adalah Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, yang melonjak berkat pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR). Penerimaan dari pos ini meningkat menjadi Rp35,2 triliun, dibandingkan Rp33,7 triliun pada April tahun lalu  tumbuh sekitar 4,5%. Lonjakan ini juga mengindikasikan daya beli masyarakat yang tetap terjaga menjelang perayaan Hari Raya, meskipun sebelumnya sempat tertekan oleh faktor ekonomi global.

Dari sisi sektor usaha, industri pengolahan masih menjadi tulang punggung penerimaan pajak dengan kontribusi sebesar 24%. Dalam dua bulan terakhir, sektor ini menyumbang Rp117,9 triliun, naik dari Rp109,4 triliun pada periode yang sama di tahun sebelumnya. Subindustri seperti minyak kelapa sawit, logam mulia, bahan kimia, farmasi, hingga perkapalan tercatat sebagai pendorong utama pertumbuhan.

Sektor pertambangan juga menunjukkan geliat meskipun harga komoditas global relatif stabil. Pada periode Januari hingga April 2025, sektor ini menyumbang Rp81,3 triliun, naik tipis dari Rp80,5 triliun tahun sebelumnya. Kenaikan ini didorong oleh kinerja positif dari subsektor batu bara, bijih tembaga, serta bijih logam mulia.

Anggito menegaskan bahwa pemerintah akan terus memantau tren penerimaan dan mengoptimalkan strategi perpajakan agar tetap adaptif terhadap dinamika ekonomi domestik maupun global. “Stabilitas penerimaan negara adalah fondasi penting untuk menjaga kesinambungan pembangunan,” pungkasnya. (alf)

 

 

 

 

Utang Baru Tembus Rp304 Triliun, APBN 2025 Catat Surplus di Tengah Strategi Mitigasi Risiko

IKPI, Jakarta: Pemerintah mencatatkan kinerja solid dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 hingga April. Kementerian Keuangan telah merealisasikan penarikan utang baru senilai Rp304 triliun, atau setara 39,2 persen dari total target pembiayaan utang dalam APBN yang mencapai Rp775,9 triliun.

Tak hanya itu, pembiayaan nonutang juga menunjukkan progres positif. Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono mengungkapkan bahwa realisasi pembiayaan nonutang telah mencapai Rp24,8 triliun, atau 15,6 persen dari target tahunan.

“Artinya, pembiayaan kita on track dan mencatat kinerja baik,” ujar Thomas dalam konferensi pers rutin “APBN Kita” di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (23/5/2025).

Menurutnya, pencapaian ini tak lepas dari strategi mitigasi risiko yang disiplin dan beragam. Langkah-langkah seperti prefunding, pembentukan cash buffer, serta pengelolaan kas dan utang secara aktif menjadi kunci dalam menjaga stabilitas pembiayaan.

“Pemenuhan pembiayaan utang dilakukan secara hati-hati, fleksibel, dan terukur baik dari sisi waktu maupun jumlah. Semua dijalankan dengan prinsip kehati-hatian fiskal,” tambah Thomas.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan perkembangan kinerja fiskal nasional yang menunjukkan sinyal positif. Pendapatan negara per April tercatat mencapai Rp810,5 triliun atau 27 persen dari target, sementara belanja negara berada di angka Rp806,2 triliun atau 22,3 persen dari rencana tahunan.

Dengan demikian, APBN masih mencatatkan surplus sekitar Rp4 triliun di tengah dinamika ekonomi global yang menantang.

“Ini menunjukkan bahwa APBN kita tetap responsif, adaptif, dan mampu menjaga momentum pemulihan sekaligus kesinambungan fiskal,” tegas Sri Mulyani. (alf)

WPKT Kini Bisa Ajukan Pengembalian Pajak Tambahan Secara Terpisah

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan kembali melakukan penyempurnaan layanan perpajakan melalui terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 119 Tahun 2024. Salah satu poin penting dalam regulasi ini terdapat pada Pasal 8, yang memberikan kemudahan baru bagi Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak Kriteria Tertentu (WPKT).

Dalam praktiknya, sering kali terjadi perbedaan jumlah kelebihan pembayaran pajak antara yang tercantum dalam permohonan awal dengan yang ditetapkan dalam SKPPKP (Surat Ketetapan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran). Atas kondisi ini, Pasal 8 memberikan solusi dengan mengatur bahwa WPKT dapat mengajukan kembali permohonan pengembalian atas selisih kelebihan pembayaran pajak yang belum dikembalikan.

Pengajuan Permohonan Tambahan Kini Lebih Fleksibel

Permohonan atas selisih ini dapat diajukan melalui surat tersendiri. Pemerintah membuka akses pengajuan secara elektronik melalui portal Wajib Pajak sebagai jalur utama. Namun, apabila jalur elektronik mengalami kendala atau tidak tersedia, Wajib Pajak tetap dapat menyampaikan permohonan melalui jalur alternatif, yaitu:

• Secara langsung ke kantor pelayanan pajak (KPP),

• Melalui pos,

• Atau menggunakan jasa ekspedisi atau kurir.

Pengiriman ini ditujukan ke KPP, kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan, atau tempat lain yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Pemerintah juga menjamin bahwa proses tindak lanjut atas permohonan tambahan ini akan dilakukan dengan ketentuan yang sama (mutatis mutandis) seperti permohonan awal, sejak Wajib Pajak ditetapkan sebagai WPKT. Artinya, tidak ada perlakuan berbeda dalam hal prosedur, jangka waktu, maupun persyaratan administratif lainnya.

Langkah ini menunjukkan bahwa DJP tetap konsisten dalam memberikan perlakuan adil dan prosedural kepada seluruh Wajib Pajak yang memenuhi syarat sebagai WPKT.

Komitmen Pemerintah untuk Pelayanan yang Lebih Responsif

Ketentuan ini hadir sebagai bagian dari reformasi administrasi perpajakan yang terus digulirkan pemerintah. Dengan memberikan ruang bagi pengajuan ulang atas selisih yang belum dikembalikan, WPKT kini memiliki kepastian dan kontrol lebih baik dalam mengelola hak restitusi mereka.

Tak hanya memberikan kemudahan, regulasi ini juga mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam penyelesaian restitusi, sekaligus mendorong kepatuhan sukarela dari pelaku usaha yang tertib administrasi.

Dengan demikian, PMK 119/2024 menjadi bukti konkret bahwa pemerintah terus berinovasi dalam membangun sistem perpajakan yang modern, efisien, dan pro-Wajib Pajak. (alf)

 

PMK 81/2024: Wajib Pajak yang Dapat Insentif Bisa Bayar Angsuran PPh Lebih Rendah

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus memperkuat insentif fiskal dengan mengatur ulang cara penghitungan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 bagi wajib pajak penerima fasilitas perpajakan. Hal ini tercantum dalam Pasal 232 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, yang memberikan kepastian sekaligus kelonggaran bagi pelaku usaha.

Apa itu angsuran PPh Pasal 25?

Angsuran PPh Pasal 25 adalah pembayaran pajak bulanan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sebelum akhir tahun pajak. Biasanya dihitung dari penghasilan kena pajak tahun sebelumnya. Namun, dengan adanya insentif pajak, nilai angsurannya bisa diturunkan.

Siapa yang Diuntungkan?

PMK 81/2024 secara spesifik menyasar beberapa kelompok wajib pajak yang memperoleh fasilitas, antara lain:

1. Perusahaan Terbuka (Masuk Bursa)

Jika tahun sebelumnya mereka menikmati tarif PPh yang lebih rendah sesuai Pasal 17 ayat (2b) UU PPh, maka tarif itu boleh tetap digunakan dalam penghitungan angsuran tahun berjalan.

2. BUMN, BUMD, dan Wajib Pajak Lainnya

Jika memperoleh fasilitas pengurangan penghasilan neto, seperti:

Pasal 31A UU PPh (kegiatan tertentu yang mendorong ekspor, padat karya, dll.), Pasal 29A PP 94/2010 jo. PP 45/2019 (rugi fiskal masa lampau), atau Pasal 78 PP 40/2021 (pelaku usaha di Kawasan Ekonomi Khusus/KEK), maka dasar penghitungan angsuran PPh 25 adalah penghasilan neto setelah dikurangi insentif tersebut, bukan penghasilan kotor.

3. Wajib Pajak di Kawasan Khusus dan IKN

Bagi yang mendapat pembebasan atau pengurangan PPh Badan, misalnya berdasarkan:

Pasal 75 PP 40/2021 (KEK), atau Pasal 28–35 PP 12/2023 jo. PP 29/2024 (pelaku usaha di Ibu Kota Nusantara), maka angsuran bulanannya juga harus memperhitungkan besarnya fasilitas tersebut sehingga angsurannya bisa lebih kecil, bahkan nol dalam beberapa kasus.

4. Wajib Pajak UMKM atau Skala Tertentu

Yang mendapat pengurangan tarif 50% dari Pasal 31E ayat (1) UU PPh, juga berhak menghitung angsuran dengan tarif khusus tersebut.

Mengapa Ini Penting?

PMK 81/2024 menjawab kebutuhan dunia usaha untuk mendapatkan kejelasan: fasilitas perpajakan tidak hanya berdampak saat pelaporan tahunan, tapi juga mengurangi beban bulanan melalui angsuran yang lebih rendah.

Kebijakan ini sekaligus menjadi sinyal bahwa pemerintah tidak hanya memberi insentif “di atas kertas”, tapi juga mempermudah arus kas dan likuiditas perusahaan setiap bulan. (alf)

 

 

Sebanyak 22 Eselon I Kemenkeu Perkuat Arah Kebijakan Fiskal

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memperkuat arah dan efektivitas kebijakan fiskal nasional melalui pembentukan tiga unit eselon I baru dan penataan ulang posisi pejabat Pimpinan Tinggi Madya. Sebanyak 22 pejabat eselon I kini menempati jabatan strategis di tengah restrukturisasi kelembagaan yang menjadi bagian dari transformasi besar Kemenkeu.

Langkah ini menjadi kelanjutan dari amanat Peraturan Presiden Nomor 158 Tahun 2024 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124 Tahun 2024. Tujuannya jelas, untuk memperkuat fondasi fiskal yang adaptif, responsif, dan siap menghadapi tantangan ekonomi yang semakin dinamis.

Tiga Unit Baru

Restrukturisasi ini menghasilkan pembentukan tiga unit eselon I yang dirancang untuk memperkuat fungsi utama Kemenkeu:

• Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (DJSEF). Bertugas merumuskan strategi kebijakan fiskal makro, sektoral, serta evaluasi pendapatan dan belanja negara secara terintegrasi. Unit ini memperluas cakupan peran Badan Kebijakan Fiskal (BKF) yang selama ini memimpin dalam analisis makrofiskal.

• Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan (DJSPSK) . Hasil reposisi dari berbagai unit yang sebelumnya tersebar, seperti Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK) dan P2PK. DJSPSK memperkuat pengawasan dan pengembangan sektor keuangan non-bank, termasuk asuransi dan jaminan sosial.

• Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan (BTIIK). Dibentuk untuk memimpin transformasi digital dan pengelolaan intelijen ekonomi. BTIIK juga menjadi pusat koordinasi inovasi teknologi dan manajemen perubahan di seluruh lini Kemenkeu.

Fokus pada Kinerja dan Sinergi Kebijakan

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menekankan bahwa perubahan ini bukan hanya soal struktur, melainkan bagian dari strategi kebijakan untuk mempercepat transformasi kelembagaan dan memperkuat peran Kemenkeu sebagai “Nagara Dana Rakca” penjaga keuangan negara.

“Kita tidak hanya ingin organisasi yang lengkap, tapi juga organisasi yang hidup dan mampu menghasilkan kebijakan yang kredibel serta akuntabel. Struktur ini harus bekerja untuk rakyat,” ujar Sri Mulyani.

Ia juga mengingatkan bahwa para pejabat yang menempati posisi baru harus bekerja dalam semangat sinergi dan nilai-nilai organisasi: integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan, dan kesempurnaan.

Dengan 22 pejabat eselon I yang kini menempati posisi kunci di unit-unit lama maupun baru, Kemenkeu bersiap menyongsong tantangan fiskal jangka menengah mulai dari ketahanan penerimaan negara, efisiensi belanja, hingga transformasi digital dan tata kelola data.

Kemenkeu menegaskan bahwa reformasi ini tidak berhenti di pelantikan, tetapi akan terus bergulir melalui peningkatan kinerja, integrasi sistem, dan kolaborasi lintas sektor demi memastikan kebijakan fiskal berjalan efektif dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat.

Daftar Eselon I Kemenkeu:

 

  1. Sekretaris Jenderal Heru Pambudi
  2. Inspektur Jenderal Awan Nurmawan Nuh
  3. Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto
  4. Direktur Jenderal Anggaran Luky Alfirman
  5. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Djaka Budhi Utama
  6. Direktur Jenderal Kekayaan Negara Rionald Silaban
  7. Direktur Jenderal Perbendaharaan Astera Primanto Bhakti
  8. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Askolani
  9. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Suminto
  10. Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan Masyita Crystallin
  11. Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Febrio Nathan Kacaribu
  12. Badan Teknologi, Informasi, dan Intelijen Keuangan Suryo Utomo
  13. Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Andin Hadiyanto
  14. Staf Ahli Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Iwan Djuniardi
  15. Staf Ahli Bidang Kepatuhan PajakYon Arsal
  16. Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak Nufransa Wirasakti
  17. Staf Ahli Bidang Penerimaan Dwi Teguh Wibowo
  18. Staf Ahli Bidang PNBP M. Agus Rofiuidn
  19. Staf Ahli Bidang Pengeluaran Negara Sudarto
  20. Staf Ahli Bidang Ekonomi Makro dan Keuangan Internasional Parjiono
  21. Staf Ahli Bidang Jasa Keuangan dan Pasar Modal Arief Wibisono
  22. Staf Ahli Bidang Hukum dan Hubungan Kelembagaan Rina Widiyani Wahyuningdyah. (alf)

 

Surplus APBN April 2025: Sinyal Pemulihan Pajak Usai Tiga Bulan Tertekan

IKPI, Jakarta: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Republik Indonesia akhirnya mencatatkan surplus senilai Rp 4,3 triliun per akhir April 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan capaian ini sebagai titik balik setelah tiga bulan berturut-turut APBN mengalami defisit akibat tekanan penerimaan pajak.

Dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (23/5/2025), Sri Mulyani menyebutkan bahwa surplus tersebut berasal dari pendapatan negara yang mencapai Rp 810,5 triliun, melampaui belanja negara sebesar Rp 806,2 triliun. “Postur APBN akhir April mencatatkan surplus. Ini terjadi setelah defisit (tiga bulan) karena penerimaan pajak mengalami beberapa shocked,” jelasnya.

Tekanan yang dimaksud antara lain berasal dari pemberlakuan tarif efektif rata-rata (TER) PPh Pasal 21 yang baru serta kebijakan relaksasi PPN domestik. Kombinasi keduanya sempat menekan laju penerimaan perpajakan pada kuartal pertama 2025 dan mendorong APBN masuk ke zona merah.

Namun, situasi mulai berbalik arah pada April. Penerimaan pajak menunjukkan pemulihan, sehingga menopang surplus anggaran. “Bulan April terjadi pembalikan, dari yang tadinya tiga bulan berturut-turut defisit, posisi sekarang per akhir April mengalami surplus Rp 4,3 triliun,” katanya.

Meski surplus yang tercatat baru setara 0,02 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), angka ini memberikan sinyal positif bahwa pengelolaan fiskal berada di jalur yang adaptif terhadap dinamika penerimaan negara. Sebagai catatan, UU APBN No. 62 Tahun 2024 menetapkan target defisit sebesar Rp 616,2 triliun atau 2,53 persen dari PDB sepanjang tahun ini.

“Posisi surplus April ini mencerminkan sekitar 0,7 persen dari total target defisit tahun 2025. Artinya, tekanan fiskal sedikit mereda, namun tetap harus dikelola dengan hati-hati mengingat volatilitas penerimaan pajak masih tinggi,” tegasnya. (alf)

 

 

 

 

Menguatkan Sinergi Fiskal, Ini Tugas Ditjen SPSK yang Dipimpin Masyita

IKPI, Jakarta: Dalam upaya memperkuat fondasi kebijakan fiskal dan ketahanan sektor keuangan nasional, Kementerian Keuangan resmi membentuk Direktorat Jenderal Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan (Ditjen SPSK). Lembaga baru ini kini dipimpin oleh ekonom senior Masyita Crystallin yang ditunjuk sebagai Direktur Jenderal pertamanya.

Pembentukan Ditjen SPSK menjadi langkah strategis pemerintah dalam menghadapi tantangan global dan domestik yang semakin kompleks, terutama di bidang keuangan. Ditjen SPSK akan berperan sebagai pengarah dan pelaksana kebijakan di bidang sektor keuangan, profesi keuangan, serta kerja sama internasional yang menyangkut stabilitas sistem keuangan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa keberadaan Ditjen SPSK diharapkan mampu memperkuat sinergi antara kebijakan fiskal dan keuangan negara. Ia menyoroti pentingnya lembaga ini dalam memastikan setiap kebijakan mampu menjawab tantangan masa kini maupun yang akan datang.

“Memastikan kebijakan-kebijakan fiskal dan keuangan negara mampu terus menjawab tantangan hari ini dan ke depan. Menyiapkan sumber daya manusia dengan kualitas yang sesuai atau bahkan melampaui ekspektasi dan tantangan perekonomian, serta membangun struktur organisasi yang solid dan sinergis,” ujar Sri Mulyani saat pelatikan pejabat eselon 1 Kementerian Keuangan di Aula Mezzanine Kementerian Keuangan pada Jumat (23/5/2025).

Tugas Strategis Ditjen SPSK

Sebagai institusi baru, Ditjen SPSK mengemban sejumlah fungsi utama:

• Merumuskan dan melaksanakan kebijakan di sektor keuangan, profesi keuangan, dan kerja sama internasional.

• Menyusun norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang keuangan dan kerja sama internasional.

• Memfasilitasi kerja sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang menjadi garda depan dalam menjaga stabilitas keuangan nasional.

Pajak dan Sinergi Fiskal

Kehadiran Ditjen SPSK tak hanya memperkuat sektor keuangan, tapi juga berdampak langsung terhadap sektor perpajakan. Stabilitas keuangan yang terjaga akan menciptakan ruang fiskal yang lebih sehat dan meningkatkan efektivitas kebijakan perpajakan. Selain itu, pembenahan profesi keuangan dan kerja sama internasional di bawah koordinasi Ditjen SPSK berpotensi memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan.

Sebagai ekonom yang dikenal dekat dengan isu fiskal dan makroekonomi, Masyita Crystallin membawa pengalaman dan jejaring global yang akan menjadi modal penting dalam menjalankan mandat lembaga ini. Ia menyatakan bahwa Ditjen SPSK akan bekerja secara kolaboratif lintas otoritas untuk memperkuat resilensi ekonomi Indonesia.

Dengan Ditjen SPSK sebagai pilar baru dalam struktur Kementerian Keuangan, pemerintah menegaskan komitmennya untuk menjaga kesinambungan fiskal, memperkuat reformasi sektor keuangan, dan menjawab tantangan ekonomi global secara terukur dan terintegrasi. (alf)

 

en_US