Menteri Maruarar Usul Insentif PPN Ditanggung Pemerintah Diperpanjang Hingga Akhir 2025

IKPI, Jakarta: Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait mengusulkan agar kebijakan insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk sektor perumahan diperpanjang hingga akhir tahun 2025. Usulan tersebut telah ia sampaikan secara resmi kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Maruarar mengungkapkan bahwa permintaan perpanjangan insentif PPN DTP disampaikan langsung kepada Menkeu dalam pertemuan di sela acara Danantara dua hari lalu. “Saya sudah kirim surat dan berdiskusi langsung dengan Ibu Menteri Keuangan. Mudah-mudahan usulan kami dapat dipertimbangkan,” ujarnya dalam pernyataan resmi, Sabtu (5/7/2025).

Dorongan ini, kata Maruarar, muncul setelah mendengar aspirasi dari sejumlah asosiasi pengembang perumahan yang menilai insentif tersebut berdampak signifikan terhadap daya beli masyarakat dan keberlangsungan industri properti nasional. Menurutnya, insentif PPN DTP telah terbukti menjadi instrumen efektif untuk menjaga pertumbuhan sektor perumahan, sekaligus memudahkan masyarakat dalam mengakses hunian layak.

“Kalau kebijakan ini diperpanjang, tentu akan sangat membantu masyarakat yang sedang berjuang memiliki rumah, sekaligus memberikan dorongan bagi geliat sektor properti dan ekonomi secara umum,” tambahnya.

Sebagaimana diketahui, kebijakan PPN DTP tahun 2025 saat ini berlaku dalam dua periode. Pada 1 Januari hingga 30 Juni 2025, pemerintah menanggung 100% PPN untuk bagian harga jual rumah hingga Rp2 miliar, dengan batas harga jual maksimal Rp5 miliar. Sementara itu, untuk periode 1 Juli hingga 31 Desember 2025, insentif dikurangi menjadi 50% untuk kriteria yang sama.

Dengan sisa waktu kurang dari enam bulan, Menteri Maruarar berharap pemerintah segera memutuskan perpanjangan kebijakan tersebut agar pelaku industri dan masyarakat dapat merencanakan pembelian rumah dengan lebih baik.

“Ini bukan hanya soal insentif, tapi soal bagaimana negara hadir memfasilitasi kebutuhan dasar rakyatnya: rumah,” tegasnya. (alf)

 

 

Sri Mulyani Andalkan Pinjaman dan SAL Tutup Defisit APBN 2026

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan strategi pemerintah untuk menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2026 dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Kamis (3/7/2025).

Sri Mulyani menyampaikan bahwa pemerintah akan mengandalkan kombinasi pembiayaan dari pinjaman luar negeri serta pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih (SAL) untuk menjaga stabilitas fiskal di tengah dinamika ekonomi global.

“Pendanaan defisit selalu kita jaga dengan kombinasi pembiayaan melalui surat utang, pinjaman multilateral-bilateral, dan jika diperlukan, penggunaan SAL,” kata Sri Mulyani.

Adapun proyeksi defisit dalam RAPBN 2026 ditargetkan berada pada kisaran 2,48% hingga 2,53% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Menurutnya, realisasi strategi tersebut tetap akan disesuaikan dengan perkembangan pasar obligasi, baik domestik maupun internasional. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan akan terus berkoordinasi dengan Bank Indonesia, khususnya terkait pengelolaan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN).

Saldo SAL Jadi Andalan

Sri Mulyani juga menyinggung peran strategis SAL sebagai instrumen pembiayaan nonutang. Ia menyebutkan, sisa SAL tahun anggaran 2024 mencapai Rp457,5 triliun, hanya berkurang tipis dari saldo awal sebesar Rp459,5 triliun.

Dalam sidang paripurna DPR RI yang digelar sebelumnya (1/7/2025), Menkeu meminta persetujuan DPR untuk menggunakan dana SAL sebesar Rp85,6 triliun pada semester II 2025. Penggunaan ini diarahkan untuk mengurangi kebutuhan penerbitan utang baru sekaligus memenuhi belanja prioritas pemerintah.

“Kami manfaatkan SAL bukan hanya untuk menjaga arus kas, tetapi juga sebagai bagian dari kebijakan fiskal yang lebih bijak, agar tidak terlalu bergantung pada utang,” tutur Sri Mulyani.

Kebijakan ini dinilai penting di tengah tekanan ekonomi global dan kebutuhan pembiayaan nasional yang terus meningkat. Dengan pendekatan pembiayaan yang fleksibel namun terukur, pemerintah berharap dapat menjaga keberlanjutan fiskal tanpa membebani generasi mendatang. (alf)

 

 

Pemprov DKI Klaim Pengenaan Pajak Padel untuk Keadilan

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi Jakarta menegaskan bahwa kebijakan pemungutan pajak terhadap fasilitas olahraga padel dilakukan secara adil dan transparan. Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta, Lusiana, menjelaskan bahwa pungutan ini merupakan bagian dari Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk Jasa Kesenian dan Hiburan, yang tujuannya adalah demi kepentingan masyarakat luas.

“Pemungutan pajak ini dilakukan secara adil dan transparan, dan uang pajak digunakan untuk sebesar-besarnya kepentingan publik,” tegas Lusiana dalam keterangan resminya, Sabtu (5/7/2025).

Ia mengungkapkan bahwa sejak 2024, sudah ada tujuh lapangan padel di Jakarta yang terdaftar resmi sebagai wajib pajak PBJT. Menurutnya, hal ini menunjukkan kesadaran para pelaku usaha olahraga terhadap pentingnya kontribusi dalam membangun kota.

“Dengan demikian, masyarakat tak perlu khawatir. Mari tetap berolahraga agar sehat dan riang gembira, sekaligus bergotong royong membayar pajak untuk kebaikan bersama,” ujar Lusiana.

Ia menambahkan, membayar pajak atas sarana hiburan dan olahraga merupakan bentuk investasi sosial yang tak hanya mendukung pembangunan, tetapi juga memperkuat budaya gotong royong. “Sebuah investasi kebaikan yang sempurna: sehat jiwa raga,” pungkasnya.

Kebijakan ini disebut sejalan dengan semangat Pemprov Jakarta dalam menciptakan kota yang sehat, adil, dan berdaya saing tinggi, tanpa menghambat aktivitas positif masyarakat seperti berolahraga. (alf)

 

 

 

Banggar DPR Setujui Laporan Semester I APBN 2025, Defisit Melebar Jadi 2,78% PDB

IKPI, Jakarta: Badan Anggaran (Banggar) DPR RI secara resmi menyetujui Laporan Semester I dan proyeksi pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Dalam rapat kerja bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Kamis (3/7/2025), disampaikan bahwa defisit APBN diperkirakan melebar hingga Rp662 triliun atau setara 2,78% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hingga akhir tahun.

Dalam laporan tersebut, penerimaan negara diproyeksikan mencapai Rp2.076,9 triliun, sementara belanja negara diperkirakan mencapai Rp3.527,5 triliun. Pelebaran defisit ini mencerminkan tantangan fiskal yang semakin kompleks di tengah ketidakpastian global dan penyesuaian kebijakan nasional.

Ketua Banggar DPR, Said Abdullah, memimpin jalannya rapat dan menyampaikan dukungan atas pelaksanaan kebijakan fiskal yang tetap adaptif namun waspada.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan bahwa pemerintah tetap berkomitmen menjaga kesehatan fiskal, meskipun dihadapkan pada dinamika ekonomi global dan kebutuhan nasional yang terus berkembang.

“Kami akan terus menjaga kehati-hatian APBN 2025. Kami melihat pelaksanaannya sangat menantang karena lingkungan yang berubah dinamis serta adanya prioritas baru seperti penguatan ketahanan dan pertahanan negara,” ujar Sri Mulyani.

Gubernur BI Perry Warjiyo juga menekankan pentingnya sinergi kebijakan fiskal dan moneter untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah tekanan eksternal.

Persetujuan ini menjadi landasan penting bagi pemerintah dalam mengelola sisa anggaran tahun berjalan, terutama dalam menjaga keberlanjutan pembangunan dan stabilitas makroekonomi nasional. (alf)

 

 

Sri Mulyani Proyeksikan Rasio Pajak 2026 Turun Tipis

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan rasio pajak Indonesia akan berada di kisaran 10,08 persen hingga 10,45 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2026. Proyeksi ini menandakan komitmen pemerintah untuk menjaga kesinambungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui reformasi struktural di sisi pendapatan negara.

Sri Mulyani menjelaskan bahwa upaya reformasi akan terus diperkuat, terutama melalui optimalisasi sistem Coretax, perbaikan pengelolaan bea dan cukai, serta peningkatan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). “APBN akan terus dijaga secara berkelanjutan melalui berbagai reformasi, baik dari sisi perpajakan maupun PNBP,” ujarnya.

Untuk tahun 2025, rasio pajak diperkirakan hanya mencapai 10,03 persen dari PDB, sedikit di bawah target dalam APBN yang sebesar 10,24 persen. Realisasi ini juga hampir setara dengan capaian tahun 2024 yang berada di angka 10,08 persen.

Kontribusi terbesar dari rasio pajak pada 2025 berasal dari penerimaan pajak yang diproyeksikan sebesar 8,72 persen dari PDB, serta bea dan cukai sebesar 1,30 persen. Kedua angka ini berada di bawah target APBN masing-masing sebesar 9 persen dan 1,24 persen.

Pada 2026, penerimaan pajak diproyeksikan meningkat ke kisaran 8,90 persen hingga 9,24 persen dari PDB. Namun, bea dan cukai justru mengalami penurunan tipis ke level 1,18 persen hingga 1,21 persen. Hal ini membuat total rasio pajak tetap berada di bawah 10,5 persen.

Di sisi lain, penerimaan negara bukan pajak pada 2025 diprediksi hanya mencapai 2 persen dari PDB, lebih rendah dibanding target APBN sebesar 2,11 persen. Sedangkan pada 2026, PNBP diperkirakan turun lebih lanjut ke kisaran 1,63 persen hingga 1,76 persen dari PDB.

Dengan tren tersebut, total pendapatan negara diproyeksikan hanya mencapai 12,04 persen dari PDB pada 2025, atau di bawah target APBN yang sebesar 12,36 persen. Untuk tahun 2026, proyeksinya berada di kisaran 11,71 persen hingga 12,22 persen.

“Pendapatan negara antara 11,7 persen hingga 12,22 persen dari GDP,” kata Sri Mulyani.

Meski menghadapi tantangan dalam pencapaian target, pemerintah tetap optimistis reformasi perpajakan dan penguatan kelembagaan fiskal akan membawa dampak positif bagi keberlanjutan APBN dalam jangka menengah hingga panjang. (alf)

 

 

AS Hapus Insentif Pajak Mobil Listrik Mulai 30 September

IKPI, Jakarta: Pemerintah Amerika Serikat resmi mencabut insentif pajak untuk kendaraan listrik (EV), kebijakan yang selama ini dianggap sebagai pendorong utama adopsi kendaraan ramah lingkungan di Negeri Paman Sam. Kebijakan ini mulai berlaku pada 30 September 2025, menyusul disahkannya RUU perpajakan dan anggaran terbaru oleh Kongres AS, Kamis (3/7/1025).

Mengutip Reuters, insentif senilai hingga 7.500 dolar AS untuk pembelian atau sewa mobil listrik baru, serta 4.000 dolar AS untuk kendaraan listrik bekas, akan dihapus total. Ini sekaligus mengakhiri era insentif pajak yang telah berjalan sejak 2008.

Kelompok advokasi Electrification Coalition mengkritik keras keputusan tersebut, menyebutnya sebagai langkah mundur yang berisiko menyerahkan dominasi industri otomotif masa depan kepada China. “Ketika dunia berlomba ke arah elektrifikasi, Amerika justru menarik diri,” tegas pernyataan resmi mereka.

Awalnya, kredit pajak EV hanya berlaku untuk 200.000 unit per produsen. Namun, aturan ini direvisi pada 2022 untuk memperluas cakupan, termasuk kendaraan sewaan. Sayangnya, RUU baru justru membatalkan semua bentuk insentif tersebut.

Tak hanya itu, industri otomotif berbahan bakar fosil juga mendapat angin segar. Dalam aturan baru, sanksi atas pelanggaran standar efisiensi bahan bakar (CAFE) juga dihapus. Artinya, produsen dapat lebih leluasa kembali memproduksi kendaraan konvensional tanpa tekanan regulasi ketat.

Analis otomotif dari Barclays, Dan Levy, memperkirakan terjadinya lonjakan pembelian EV dalam waktu dekat sebelum insentif resmi dihentikan.

“Akan terjadi fenomena pre-buy dalam tiga bulan ini. Tapi setelahnya, pasar EV bisa anjlok tajam,” ujar Levy dalam risetnya.

Menurut studi Universitas Harvard (Maret 2025), penghapusan insentif ini diprediksi akan mengurangi penetrasi mobil listrik hingga 6% pada 2030. Namun, pemerintah akan menghemat dana publik sekitar 169 miliar dolar AS selama dekade mendatang.

Tak kalah kontroversial, RUU ini juga membatalkan rencana iuran tahunan 250 dolar AS untuk EV dan menggugurkan kewajiban menjual armada listrik milik Layanan Pos AS (USPS).

Langkah ini menuai respons beragam, bagi sebagian kalangan industri, ini adalah kelonggaran, namun bagi aktivis lingkungan, ini sinyal suram masa depan transisi energi di Amerika. (alf)

 

Pajak Padel: DPRD Jakarta Minta Pemprov Tak Terburu-buru Ambil Putusan

IKPI, Jakarta: Di tengah tren olahraga padel yang sedang naik daun di kalangan masyarakat urban, khususnya Jakarta, kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang menetapkan padel sebagai objek pajak justru menuai sorotan. Salah satunya datang dari DPRD DKI Jakarta.

Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta, Suhud Alynudin, meminta Pemprov untuk menunda penerapan pajak terhadap fasilitas olahraga padel. Ia menilai keputusan tersebut terkesan terburu-buru dan berisiko menghambat geliat ekonomi masyarakat yang mulai tumbuh dari tren positif olahraga ini.

“Menurut saya, Pemprov Jakarta tidak boleh terburu-buru mengenakan pajak terhadap kegiatan olahraga padel ini. Biarkan dulu kegiatan ini menggerakkan ekonomi warga,” ujar Suhud saat ditemui wartawan di Jakarta, Jumat (4/7/2025).

Suhud tak menampik bahwa olahraga padel memang digandrungi oleh masyarakat kelas menengah ke atas, terlihat dari tarif sewa lapangan dan perlengkapan bermainnya yang tergolong mahal.

Namun, ia menekankan pentingnya memberi ruang terlebih dahulu bagi pertumbuhan komunitas padel yang sedang berkembang sebelum langsung dibebani kewajiban pajak.

Ia juga mengingatkan agar pemerintah berhati-hati agar tak menimbulkan persepsi negatif di masyarakat.

“Bisa saja timbul anggapan bahwa pemerintah justru memanfaatkan tren olahraga demi mengejar penerimaan pajak. Apalagi, kondisi ekonomi saat ini belum sepenuhnya pulih,” tegas Suhud.

Sementara itu, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta, Lusiana Herawati, menjelaskan bahwa pengenaan pajak terhadap padel sudah sesuai regulasi yang berlaku. Hal itu diatur dalam Keputusan Kepala Bapenda Nomor 257 Tahun 2025 yang merupakan turunan dari Perda Nomor 1 Tahun 2024 dan Pergub Nomor 35 Tahun 2024.

Menurut Lusiana, fasilitas olahraga seperti padel dikategorikan sebagai objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) jasa seni dan hiburan, yang dikenakan tarif sebesar 10 persen.

“Penetapan padel ini bagian dari upaya optimalisasi penerimaan pajak daerah. Secara peraturan, olahraga permainan berbayar yang menggunakan tempat dan peralatan sewa masuk kategori PBJT jasa seni dan hiburan,” jelasnya.

Selain padel, sejumlah fasilitas olahraga lainnya juga terkena pajak serupa, termasuk pusat kebugaran seperti yoga dan pilates, lapangan futsal, tenis, kolam renang, hingga tempat olahraga ekstrem seperti panjat tebing dan jet ski.

Meski legalitasnya kuat, desakan agar Pemprov menunda implementasi aturan ini mencerminkan kebutuhan akan sensitivitas sosial dalam membuat kebijakan fiskal. Apalagi, di saat minat masyarakat terhadap olahraga meningkat, pemerintah dituntut hadir sebagai fasilitator, bukan sekadar regulator pajak. (alf)

 

 

Ini Alasan Gubernur Jakarta Pajaki Padel!

IKPI, Jakarta: Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung buka suara terkait polemik pengenaan pajak terhadap olahraga padel yang belakangan ramai diperbincangkan. Menurutnya, pengenaan pajak atas lapangan padel sepenuhnya sesuai aturan dan bukan semata karena tren olahraga tersebut tengah naik daun.

“Saya secara jujur mengatakan bahwa itu memang diatur di pajak hiburan. Orang main tenis, squash, billiard, bulu tangkis, bahkan renang itu kena (pajak). Nah, padel juga termasuk kategori yang sama,” tegas Pramono dalam konferensi pers di Balai Kota Jakarta, Jumat (4/7/2025).

Pramono menilai, padel layak dikenai pajak karena tergolong sebagai olahraga hiburan yang banyak diminati kalangan tertentu. “Apalagi yang main padel, mohon maaf, rata-rata kan orang mampu. Untuk sewa lapangannya saja mahal,” tambahnya.

Kebijakan tersebut mengacu pada Keputusan Kepala Bapenda DKI Jakarta Nomor 257 Tahun 2025, yang merevisi aturan sebelumnya dan menetapkan fasilitas padel sebagai objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) kategori Jasa Kesenian dan Hiburan. Tarif pajak yang dikenakan adalah sebesar 10 persen.

Ketua Satuan Pelaksana Penyuluhan Pusat Data dan Informasi Pendapatan Jakarta, Andri M Rijal, juga memastikan bahwa kebijakan ini bukan karena padel sedang populer. “Ini bukan soal viral. Pajak ini diterapkan karena menyesuaikan perkembangan jenis hiburan dan olahraga di masyarakat,” ujarnya.

Lebih lanjut, Andri menjelaskan bahwa padel hanya satu dari 21 jenis fasilitas olahraga yang dikenai pajak hiburan serupa. Daftar lainnya mencakup lapangan futsal, bulutangkis, tenis, billiard, hingga studio yoga dan pilates.

“Yang penting masyarakat paham bahwa ini bukan kebijakan yang diskriminatif, tapi bagian dari optimalisasi pendapatan daerah sesuai Undang-Undang Pajak Daerah,” kata Pramono. (alf)

 

PPh 22 di Marketplace Diklaim Sebagai Senjata Baru Lawan Shadow Economy

IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai menggandeng marketplace seperti TikTok Shop, Shopee, Tokopedia, dan Lazada untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari pedagang yang bertransaksi di platform tersebut. Kebijakan ini menyasar merchant dengan omzet tahunan di atas Rp500 juta dan bertujuan langsung untuk menekan praktik shadow economy, yaitu aktivitas ekonomi yang tidak tercatat atau tidak dilaporkan secara resmi.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, baru-baru ini menegaskan bahwa pemungutan melalui marketplace akan membuat transaksi dagang lebih transparan karena terekam otomatis.

“Kebijakan ini bukan hanya menyederhanakan kewajiban perpajakan, tapi juga mengatasi masalah besar bernama shadow economy yang selama ini menggerus potensi penerimaan negara,” ujarnya.

Pemerintah menilai keberadaan pedagang online yang tidak terjangkau sistem perpajakan telah memperbesar sektor informal yang sulit dipantau. Dengan langkah ini, pedagang digital diwajibkan tunduk pada skema yang sama dengan pelaku usaha konvensional.

“Ini adalah langkah untuk menciptakan level playing field dan sekaligus mendorong perluasan basis pajak secara adil,” tambah Rosmauli.

Selain menertibkan pelaku usaha digital, strategi ini juga menjadi bagian dari upaya mengamankan penerimaan negara yang melambat pada kuartal pertama 2025. (alf)

 

Asosiasi UMKM Tegaskan Rencana Pajak E-Commerce 0,5% Picu Gejolak Ekonomi Ritel Digital

IKPI, Jakarta: Rencana pemerintah untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,5% melalui platform e-commerce menuai sorotan tajam dari pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Asosiasi UMKM menilai kebijakan tersebut berpotensi memberatkan usaha kecil dan justru bisa memicu gejolak ekonomi di sektor ritel digital.

Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Edy Misero, menyampaikan bahwa pelaku UMKM sangat mungkin menaikkan harga produk sebagai respons terhadap pungutan pajak tersebut. Kenaikan ini, kata Edy, berisiko menurunkan minat beli masyarakat.

“Pasti pelaku UMKM akan berpikir, ‘kalau begitu harga jual saya naikkan dong 0,5% untuk menutupi pajak 0,5%’,” ujar Edy, Jumat (4/7/2025).

Menurutnya, kenaikan harga di tengah kondisi ekonomi yang belum stabil akan mendorong konsumen menunda pembelian. “Transaksi bisa menurun, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi kita makin lesu,” tegas Edy.

Edy juga mempertanyakan kemampuan e-commerce dalam mendeteksi pelaku usaha dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun. Ia mengusulkan agar pajak dikenakan langsung kepada platform e-commerce, bukan pada para penjual.

“Lebih baik aplikator yang dikenakan pajak. Mereka punya margin besar dan punya sistem yang sudah canggih. Jangan bebani penjual kecil,” katanya.

Senada dengan Edy, Ketua Umum Asosiasi IUMKM Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny, mengungkapkan keresahan di kalangan pelaku UMKM. Menurutnya, wacana pungutan pajak melalui e-commerce sudah membuat sebagian UMKM berniat hengkang dari platform digital.

“Sudah mulai terdengar, pelaku UMKM ada yang bilang mau keluar dari e-commerce kalau ini benar-benar diberlakukan,” ujar Hermawati.

Ia menambahkan, potensi kenaikan harga barang akibat pajak bisa membebani konsumen sekaligus menggerus omzet pelaku usaha kecil. Belum lagi, UMKM yang berjualan online sudah menanggung berbagai potongan biaya lainnya dari platform.

“Potongan sudah banyak, lalu ditambah pajak, ini bisa jadi beban ganda. Jangan sampai kebijakan ini malah menyingkirkan UMKM dari ekosistem digital,” tegasnya.

Hermawati mendesak agar pemerintah mengkaji ulang rencana kebijakan ini secara komprehensif. Ia menekankan pentingnya memberikan insentif atau “reward” kepada UMKM yang telah patuh membayar pajak.

“Kalau memang ingin menarik pajak dari UMKM, negara harus hadir dengan imbal balik yang jelas. Jangan hanya menarik, tapi tak memberi manfaat nyata bagi pelaku usaha kecil,” pungkasnya.

Dengan munculnya gelombang kritik dari pelaku UMKM, pemerintah kini dituntut untuk lebih sensitif terhadap kondisi sektor riil yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Kebijakan pajak e-commerce yang tidak tepat sasaran justru bisa menciptakan efek domino yang merugikan. (alf)

 

en_US