DJP Kejar Kepatuhan dan Perluas Basis Pajak

IKPI, Jakarta: Penerimaan pajak hingga Mei 2025 tercatat sebesar Rp683,3 triliun, mengalami penurunan 10,14 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Tekanan tersebut memaksa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mempercepat langkah-langkah optimalisasi potensi perpajakan.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Pengawasan Pajak, Nufransa Wira Sakti, menyampaikan bahwa DJP kini mengedepankan dua strategi utama, eksplorasi data dan penguatan pemeriksaan.

Pernyataan ini disampaikan dalam forum Taxcussion 2025 yang digelar Kelompok Studi Ilmu Administrasi Fiskal (KOSTAF) FIA UI bersama Pajak.com di Jakarta Selatan, 21 Juni 2025.

“Langkah pertama adalah penggalian potensi yang sudah ada. Kita padukan laporan keuangan dari Kantor Akuntan Publik dengan data Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak. Bahkan, data PNBP seperti royalti batu bara kami sandingkan dengan SPT yang disampaikan,” ujar Nufransa.

Analisis data tersebut tidak hanya ditujukan untuk mengejar penerimaan semata, namun juga untuk menciptakan ekosistem perpajakan yang lebih adil. Menurutnya, DJP aktif memantau kesesuaian antara laporan internal perusahaan dan transaksi pihak ketiga, termasuk potensi data dari sektor yang belum sepenuhnya tersentuh sistem perpajakan.

“Jika ada lawan transaksi yang belum punya NPWP, itu bisa menjadi tambahan basis pajak baru,” tambahnya.

Lebih lanjut, DJP juga tengah membangun ekosistem transaksi non-tunai guna mempersempit ruang gerak shadow economy. Salah satu upayanya adalah pemanfaatan data crawling untuk melacak penghasilan dari selebritas digital seperti youtuber dan selebgram.

“Dengan teknologi itu, kita bisa tahu dari mana sumber penghasilan mereka. Ini menjadi salah satu pintu masuk untuk memperluas basis pajak kita,” jelas Nufransa.

Selain pengolahan data, strategi kedua yang diterapkan adalah intensifikasi pemeriksaan. Tujuannya bukan semata-mata mengejar penerimaan, tetapi memastikan tingkat kepatuhan perpajakan berjalan sebagaimana mestinya.

“Kami membuka kembali rekrutmen auditor pajak di tahun ini. Pemeriksaan bukan hanya soal uang masuk, tapi juga memberi efek jera bagi yang tidak patuh,” tegasnya.

Melalui kombinasi penguatan analitik data dan pengawasan langsung, DJP berharap mampu menahan laju penurunan penerimaan sembari meningkatkan tax ratio secara berkelanjutan. Pendekatan ini diharapkan menjadi fondasi menuju sistem perpajakan yang lebih inklusif, transparan, dan berkeadilan. (alf)

 

Senator AS Desak Reformasi Pajak Kripto, Sebut Aturan Saat Ini Tak Adil 

IKPI, Jakarta: Senator Amerika Serikat (AS) Cynthia Lummis kembali menjadi sorotan setelah melontarkan kritik tajam terhadap kerangka pajak aset kripto yang berlaku saat ini. Dalam pernyataan publiknya pada Selasa (24/6/2025), Lummis menyebut bahwa regulasi perpajakan yang ada saat ini tidak hanya ketinggalan zaman, tetapi juga membebani pelaku industri kripto secara tidak proporsional.

Mengutip laporan Coinmarketcap, Senator dari Partai Republik itu menyoroti potensi pajak berganda yang harus ditanggung oleh para penambang Bitcoin serta pelaku usaha di ekosistem kripto. Ia menyebut sistem saat ini menciptakan beban kepatuhan yang tinggi dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang menghambat ekspansi industri digital berbasis blockchain.

“Regulasi perpajakan kripto yang ada saat ini justru menciptakan disinsentif bagi inovator dan investor,” ujar Lummis.

Ia juga menegaskan bahwa sistem pajak berganda sangat merugikan, terutama bagi para penambang aset digital yang menghadapi tekanan biaya operasional dan kepatuhan yang terus meningkat.

Lummis menyerukan reformasi menyeluruh terhadap undang-undang perpajakan kripto, termasuk penyederhanaan aturan serta penghapusan pajak ganda. Menurutnya, pendekatan baru yang lebih adil dan sejalan dengan perkembangan teknologi sangat dibutuhkan untuk memastikan Amerika Serikat tetap kompetitif dalam industri aset digital global.

Ketidakkonsistenan antarnegara bagian juga menjadi sorotan. Beragamnya interpretasi hukum dan kebijakan perpajakan di tiap wilayah memperumit langkah pelaku usaha yang beroperasi lintas negara bagian. Hal ini dinilai menambah beban administratif dan menghambat pertumbuhan sektor kripto secara nasional.

Para analis memandang pernyataan Lummis sebagai momentum penting menuju reformasi pajak kripto di Amerika Serikat. Dengan makin besarnya peran aset digital dalam sistem keuangan global, banyak pihak menilai bahwa pendekatan pajak yang transparan, adaptif, dan pro-inovasi akan menjadi kunci untuk menarik investor serta menjaga daya saing negara di tengah persaingan global yang ketat.

Diskusi lintas partai dan kolaborasi antara regulator serta pelaku industri diprediksi akan menjadi jalan menuju terciptanya kerangka hukum yang lebih modern dan mendukung pertumbuhan ekosistem kripto yang inklusif. (alf)

 

PER-11/2025 Atur Format Baru Faktur Pajak, Kode Barang dan HS Jadi Perhatian Pengusaha

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 sebagai bagian dari penguatan implementasi sistem Coretax. Salah satu aspek krusial yang diatur dalam beleid ini adalah penyusunan dan pengisian faktur pajak elektronik, termasuk tata cara pencantuman informasi dalam dokumen tersebut.

Lewat integrasi Coretax, proses bisnis faktur pajak mengalami pembaruan signifikan, termasuk keharusan mengisi kode barang atau jasa dalam sistem e-Faktur. Meski kode ini tidak termasuk dalam keterangan wajib sebagaimana diatur Pasal 33 PER-11/2025, namun secara teknis, sistem tetap mensyaratkan pengisian kode barang/jasa untuk melanjutkan pembuatan faktur.

Dalam sistem Coretax, e-Faktur kini menyediakan lebih dari 1.300 kode barang dan 600 lebih kode jasa. Pengusaha Kena Pajak (PKP) diberikan keleluasaan memilih kode yang sesuai, atau minimal paling mendekati jenis barang atau jasa yang diserahkan. Jika tidak ditemukan kode yang relevan, DJP melalui akun resmi @kring_pajak di media sosial bahkan memperbolehkan penggunaan kode 0000 sebagai alternatif.

Lebih lanjut, pencantuman kode Harmonized System (HS) turut menjadi sorotan dalam PER-11/2025. Pasal 35 ayat (4) mengatur secara eksplisit bahwa dalam hal penyerahan dilakukan ke kawasan perdagangan bebas atau pelabuhan bebas, PKP wajib mencantumkan kode HS atau pos tarif kepabeanan dalam kolom nama barang.

Contohnya, untuk penjualan mobil baru ke kawasan bebas seperti Batam, format pengisian kolom nama barang tidak hanya mencakup merek, tipe, dan nomor rangka, tetapi juga menyertakan HS Code. Format standar yang digunakan adalah:

Mobil 1.500 cc OTR#Alpha#MT#MHYKZE81SCJ115045#87032217

OTR = Merek kendaraan

Alpha = Tipe

MT = Varian

MHYKZE81SCJ115045 = Nomor rangka

87032217 = HS Code

Dengan terbitnya PER-11/2025, DJP menegaskan bahwa kepatuhan formal atas format dan kelengkapan faktur pajak menjadi bagian integral dari sistem administrasi perpajakan berbasis teknologi. Meski beberapa aturan teknis tidak tertuang langsung dalam pasal, penggunaan sistem Coretax membuat pengisian kode barang/jasa menjadi praktik wajib secara sistematis. (alf)

 

 

 

Bank Dunia: Coretax dan TER Penyebab Turunnya Penerimaan Pajak Indonesia

IKPI. Jakarta: Bank Dunia memperingatkan potensi penurunan penerimaan pajak Indonesia pada tahun 2025, sebelum pulih secara bertahap pada 2026 dan 2027. Dalam laporan Indonesia Economic Prospects edisi Juni 2025 yang dirilis pada Senin (23/6/2025), rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) diproyeksikan hanya sebesar 9,9% pada 2025. Angka ini turun dari 10,1% pada 2024 dan 10,3% pada 2023, serta melanjutkan tren penurunan dari level 10,4% pada 2022.

Pemulihan rasio pajak baru diperkirakan terjadi pada 2026, kembali ke level 10,3%, dan meningkat tipis menjadi 10,5% pada 2027. “Pendapatan pajak pun menurun sebesar 0,6% dari PDB pada Mei 2025 dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” tulis Bank Dunia dalam laporan rutinnya, ‘Indonesia Economic Prospects’ edisi Juni 2025, dikutip, Senin (23/6/2025).

Bank Dunia mengidentifikasi dua kategori penyebab utama penurunan ini: tekanan sementara dan tantangan struktural.

Sejumlah kebijakan baru dan kendala administratif menjadi faktor sementara yang menekan penerimaan. Salah satunya adalah implementasi Core Tax Administration System (CTAS) atau Coretax sejak Januari 2025 yang mengalami gangguan teknis pada tahap awal. Hal ini menyebabkan perpanjangan batas waktu pembayaran pajak, yang berdampak pada tertundanya penerimaan negara.

Selain itu, penerapan sistem tarif baru untuk pemotongan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP), atau yang dikenal sebagai tarif TER, juga berdampak pada cash flow penerimaan. Kelebihan pembayaran pada 2024 menyebabkan lonjakan pengembalian pajak (refund) di awal 2025.

Dari sisi struktural, Bank Dunia menyoroti ketergantungan ekonomi Indonesia terhadap ekspor komoditas mentah. Turunnya harga komoditas global menekan basis penerimaan pajak, sekaligus menunjukkan rapuhnya kontribusi sektor manufaktur dan industri bernilai tambah tinggi dalam struktur ekonomi nasional.

Pelemahan daya beli masyarakat turut menjadi kontributor utama menurunnya kinerja penerimaan. “Permintaan domestik yang lebih rendah berdampak pada penerimaan pajak dan bukan pajak,” tulis laporan tersebut.

Bank Dunia juga mencatat sejumlah kebijakan pemerintah yang berdampak langsung terhadap potensi penerimaan negara. Salah satunya adalah penyesuaian tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang direncanakan pada 2025 namun belum terealisasi, sehingga potensi pendapatan tambahan yang telah diasumsikan dalam APBN gagal dikumpulkan.

Tak hanya itu, pengalihan dividen BUMN langsung ke lembaga pengelola investasi, Danantara, membuat penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor ini menyusut sekitar 0,4% dari PDB per tahun. Sebagai upaya kompensasi, pemerintah diketahui menaikkan tarif royalti tambang pada April 2025.

Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai penyesuaian, Bank Dunia menekankan perlunya perbaikan struktural dan penguatan basis pajak jangka panjang agar tidak terlalu bergantung pada fluktuasi komoditas atau kebijakan sesaat.

Dengan potensi shortfall yang membayangi, Bank Dunia menilai tahun 2025 akan menjadi ujian berat bagi kebijakan fiskal Indonesia. Konsistensi reformasi perpajakan dan optimalisasi penerimaan dari sektor bernilai tambah dipandang krusial untuk memastikan keberlanjutan fiskal di masa depan. (alf)

 

Pengembang Minta Pemerintah Perpanjang PPN DTP Rumah Hingga Akhir 2025

IKPI, Jakarta: Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) meminta pemerintah untuk memperpanjang insentif pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) sebesar 100% untuk pembelian rumah hingga akhir tahun ini. Harapan itu disampaikan langsung kepada Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait.

Sekretaris Jenderal Apersi, Deddy Indrasetiawan, menyebutkan bahwa pihaknya telah menyampaikan secara resmi usulan perpanjangan kepada pemerintah. “Mudah-mudahan awal Juli kita dapat kabar baik. Harapannya PPN DTP 100% bisa diperpanjang sampai Desember 2025,” ujar Deddy di Kantor Apersi, Jumat (20/6/2025).

Tak hanya itu, Ketua Umum Apersi, Djunaidi Abdillah, bahkan mengusulkan agar kebijakan pembebasan PPN dapat diberlakukan secara penuh selama satu tahun. Menurutnya, kepastian kebijakan sangat krusial bagi pelaku usaha di sektor perumahan. “Kalau hanya per setengah tahun, pengembang jadi ragu untuk mulai bangun rumah. Padahal membangun rumah ready stock butuh waktu setidaknya enam bulan,” ujarnya.

Di sisi lain, Maruarar Sirait atau Ara mengonfirmasi telah mengajukan surat permohonan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar insentif PPN DTP 100% tetap diberlakukan hingga akhir 2025. “Saya sudah sampaikan usulan ke Menteri Keuangan. Ini hasil masukan dari para pengembang yang perlu kita pertimbangkan,” kata Ara di Jakarta, Selasa (17/6/2025).

Ara menjelaskan bahwa keberlanjutan insentif PPN DTP akan berkontribusi besar terhadap percepatan pertumbuhan sektor properti dan daya beli masyarakat. “Kita ingin menjaga momentum. Kalau bisa terus 100% ya kita perjuangkan,” tegasnya.

Sekadar informasi, pemerintah saat ini menetapkan skema insentif PPN DTP 100% untuk rumah dengan harga hingga Rp2 miliar berlaku dari Januari hingga Juni 2025. Mulai Juli hingga Desember, insentif dikurangi menjadi 50%. Kebijakan ini dirancang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui efek berganda dan penciptaan lapangan kerja di sektor konstruksi dan perumahan. (alf)

 

Efisiensi PPN Indonesia Masih Rendah, AMRO Dorong Reformasi Ambang Batas dan Pengecualian Pajak

IKPI, Jakarta: ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) mengkritisi performa pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Indonesia yang masih tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga di kawasan. Dalam laporan terbarunya, AMRO menilai rendahnya efisiensi PPN nasional dipicu oleh kebijakan pengecualian pajak yang terlalu luas dan ambang batas registrasi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang dinilai terlalu tinggi.

“Efisiensi PPN Indonesia tetap rendah dibandingkan beberapa negara tetangga, terutama karena banyaknya barang dan jasa yang dikecualikan,” tulis AMRO dalam laporan yang dikutip Senin (22/6/2025).

Efisiensi tersebut diukur melalui rasio C-efficiency—perbandingan antara penerimaan aktual PPN dengan potensi maksimalnya. Data AMRO mencatat, Indonesia hanya mampu mencatat C-efficiency sebesar 46,3% selama pandemi 2019–2020, turun dari rata-rata 53,4% pada periode 2014–2019.

Meskipun tren meningkat sejak 2021 seiring pemulihan ekonomi, performa Indonesia masih tertinggal jauh dibanding Thailand dan Vietnam.

“Rendahnya C-efficiency juga menunjukkan bahwa potensi penerimaan PPN belum dimanfaatkan secara optimal, baik karena pengecualian pajak maupun kelemahan dalam sistem pemungutan,” ujar AMRO.

Lebih lanjut, AMRO menggarisbawahi membengkaknya belanja perpajakan pemerintah yang diproyeksikan mencapai Rp445,5 triliun pada 2025 atau setara 1,83% dari PDB. Angka ini meningkat 11,4% dibanding tahun sebelumnya. Dari total tersebut, insentif PPN menjadi penyumbang terbesar dengan nilai Rp265,6 triliun atau sekitar 1% dari PDB.

Selain itu, ambang batas omzet tahunan untuk wajib registrasi PKP yang ditetapkan sebesar Rp4,8 miliar (sekitar US$315.100) turut dinilai sebagai penghambat perluasan basis pajak. Bandingkan dengan negara-negara seperti Vietnam, Thailand, dan Filipina yang memberlakukan batas jauh lebih rendah, bahkan di bawah US$55.000.

Meskipun kebijakan ini awalnya ditujukan untuk mendorong UMKM dan mempermudah kepatuhan pajak, praktiknya kerap dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk menghindari kewajiban PPN dengan cara sengaja membatasi omzet.

“Ambang batas yang tinggi justru mendorong pelaku usaha menjaga pendapatan mereka di bawah Rp4,8 miliar. Ini mempersempit basis pajak dan memperlambat pertumbuhan bisnis,” tambah AMRO.

Sebagai solusi, AMRO merekomendasikan agar Indonesia melakukan reformasi menyeluruh terhadap kebijakan pengecualian PPN dan mempertimbangkan penurunan ambang batas registrasi PKP.

“Menurunkan ambang batas akan memperluas basis pajak, mengurangi penghindaran, serta meningkatkan kepatuhan dan penerimaan negara secara keseluruhan,” tulis lembaga riset tersebut. (alf)

 

Kepastian Perpanjangan Insentif PPh Final 0,5% Tunggu Jadwal Pembahasan Antarkementerian

IKPI, Jakarta: Pengusaha sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) masih harus bersabar menanti kejelasan soal perpanjangan insentif Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5% bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP). Hingga akhir semester I/2025, aturan resmi yang menjadi dasar hukum perpanjangan insentif tersebut belum juga diterbitkan pemerintah.

Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, mengungkapkan bahwa proses revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2022 masih berjalan. Fokus utama revisi tersebut adalah memperpanjang masa berlaku tarif PPh Final 0,5% bagi WP OP UMKM, yang sejatinya telah berakhir pada akhir 2024.

“Status PP-nya saat ini masih menunggu jadwal pembahasan antarkementerian dari Kementerian Sekretariat Negara,” kata Bimo, dikutip Minggu (22/6/2025).

Ia tidak merinci kapan jadwal pembahasan akan digelar, maupun target waktu penyelesaian revisi regulasi tersebut. Melalui PP 55/2022, UMKM dengan omzet hingga Rp4,8 miliar per tahun mendapat fasilitas PPh Final sebesar 0,5% dari omzet bruto, yang berlaku selama maksimal tujuh tahun bagi WP OP, sejak pertama kali terdaftar sebagai wajib pajak.

Dengan ketentuan itu, pelaku usaha yang terdaftar pada 2018 sudah mencapai batas waktu tujuh tahun pada akhir 2024, dan wajib beralih ke sistem pembukuan serta tarif umum PPh pada tahun pajak 2025. Namun, pada akhir tahun lalu, pemerintah sempat menyampaikan secara lisan bahwa masa berlaku insentif tersebut akan diperpanjang. Hanya saja, hingga kini belum ada regulasi teknis yang mengukuhkan kebijakan itu.

Tak hanya soal perpanjangan waktu, revisi PP 55/2022 juga disebut-sebut akan memperluas cakupan penerima insentif. Jika sebelumnya hanya berlaku bagi WP OP, ke depan insentif serupa rencananya akan diberikan kepada WP Badan berbentuk koperasi, CV, firma, PT, dan badan usaha milik desa, selama omzetnya masih di bawah Rp4,8 miliar per tahun.

Insentif ini merupakan bagian dari belanja perpajakan atau tax expenditure pemerintah, yang nilainya cukup signifikan. Pada 2024, belanja perpajakan jenis Pajak Penghasilan tercatat mencapai Rp129,8 triliun. Tahun ini, angkanya diperkirakan naik menjadi Rp138,6 triliun, dan pada 2025 melonjak ke Rp144,7 triliun.

Ketidakpastian regulasi ini membuat banyak pelaku UMKM kebingungan dalam menyusun strategi perpajakan untuk tahun berjalan. Di sisi lain, percepatan kejelasan aturan dinilai penting agar pelaku usaha tidak terjebak dalam ketidakpastian fiskal, sembari tetap menjaga keberlanjutan fiskal negara.

Sebelumnya, Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld mempertanyakan langkah pemerintah yang belum juga membuahkan hasil terkait revisi beleid tersebut.

“Kan ini harus ada perubahan di PP, karena ditetapkan di awal di PP. Nah sekarang PP-nya belum terbit. Bagaimana dengan pembayaran 0,5% itu PPh final?.. Wajib Pajak jadi ragu-ragu. Saya mau bayar, pakai yang mana? 0,5% atau normal?” ujar Vaudy di Jakarta Selatan, Senin (19/5/2025). (alf)

 

PP 28/2025 Tegaskan OSS sebagai Gerbang Utama Insentif Pajak Investasi

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Regulasi ini menegaskan kembali peran strategis sistem Online Single Submission (OSS) sebagai kanal utama pengajuan berbagai insentif perpajakan bagi pelaku usaha dan investor.

Melalui PP 28/2025, OSS tidak hanya menjadi sistem untuk mengurus perizinan usaha berbasis risiko, tetapi juga menyediakan subsistem fasilitas penanaman modal. Pasal 188 ayat (3) dan Pasal 235 ayat (1) menjelaskan bahwa subsistem tersebut dapat diakses menggunakan hak akses tertentu oleh pelaku usaha atau instansi terkait.

Dalam praktiknya, sistem OSS kini mencakup fitur pengajuan berbagai insentif strategis, antara lain:

• Pembebasan bea masuk atas impor mesin, barang, dan bahan dalam rangka pembangunan atau pengembangan industri;

• Pembebasan bea masuk atas impor barang modal untuk proyek pembangkitan listrik bagi kepentingan umum;

• Fasilitas bea masuk untuk kegiatan pertambangan sesuai kontrak karya;

• Tax holiday bagi industri pionir;

• Tax allowance untuk investasi di sektor atau wilayah tertentu;

• Super deduction vocational, yakni pengurangan penghasilan bruto untuk program vokasi, pemagangan, dan pelatihan berbasis kompetensi;

• Super deduction R&D, untuk kegiatan litbang di dalam negeri;

• Investment allowance, berupa pengurangan penghasilan neto atas investasi di industri padat karya.

Langkah ini disebut sebagai bentuk one gate policy dalam pelayanan insentif fiskal. “Investor tidak lagi perlu berpindah kanal atau platform. Semuanya bisa dilakukan lewat OSS, yang sudah terintegrasi dengan peraturan teknis seperti PMK 130/2020 dan PMK 69/2024,” kata aturan tersebut.

Sebagai catatan, integrasi fitur insentif perpajakan ke dalam OSS sejatinya bukan hal baru. Namun, PP 28/2025 memberikan kepastian hukum yang lebih kuat dan memperluas jangkauan fasilitas, sejalan dengan upaya pemerintah menciptakan iklim investasi yang ramah dan efisien.

Sistem OSS kini memiliki tujuh subsistem utama, yaitu: pelayanan informasi, persyaratan dasar, perizinan berusaha, kemitraan, pengawasan, pengawasan berbasis risiko, serta fasilitas penanaman modal.

OSS juga wajib digunakan oleh seluruh pemangku kepentingan, mulai dari kementerian dan lembaga pusat, pemerintah daerah, pengelola kawasan ekonomi khusus, hingga pelaku usaha besar maupun kecil. (alf)

 

 

Italia Pangkas Pajak Karya Seni Jadi 5%, 

IKPI, Jakarta: Pemerintah Italia resmi memangkas tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan karya seni dari 22% menjadi hanya 5%. Kebijakan ini diharapkan menjadi angin segar bagi sektor seni yang selama ini tertinggal dibanding negara tetangga di Eropa.

“Penurunan ini adalah keputusan bersejarah. Tarif PPN atas karya seni akhirnya turun menjadi 5% dari sebelumnya 22%,” kata Menteri Kebudayaan Italia, Alessandro Giuli, seperti dikutip dari ft.com, Senin (23/6/2025).

Menurut Giuli, keputusan ini bukan semata soal fiskal, tetapi merupakan langkah strategis untuk memulihkan daya saing dunia seni Italia. Ia menekankan bahwa seni merupakan bagian integral dari identitas nasional, dan sudah saatnya negara hadir untuk mendukung pelaku seni mulai dari galeri, pedagang karya seni, hingga seniman dan akademisi.

“Dengan penurunan PPN, kita menciptakan peluang baru bagi ekosistem seni untuk tumbuh dan berkembang,” ujarnya.

Langkah ini muncul setelah desakan kuat dari komunitas seni. Sebelumnya, lebih dari 500 seniman mengirim surat terbuka kepada Perdana Menteri Giorgia Meloni, meminta agar tarif PPN disesuaikan dengan standar Eropa. Mereka menilai PPN tinggi selama ini membuat karya seni Italia kalah bersaing di pasar internasional.

Dalam surat tersebut, para seniman memperingatkan bahwa tanpa reformasi pajak, Italia terancam menjadi “gurun kebudayaan”. Apalagi, negara-negara seperti Jerman dan Prancis sudah lebih dulu menurunkan PPN untuk seni: 7% di Jerman dan 5,5% di Prancis untuk karya yang dijual langsung oleh senimannya.

Sebenarnya, rencana penurunan PPN telah muncul sejak Februari 2025, namun sempat tertunda akibat kekhawatiran bahwa kebijakan ini akan dianggap sebagai “hadiah” bagi kalangan elit.

Kini, dengan resmi diberlakukannya tarif baru, pemerintah berharap seni tak lagi dilihat sebagai simbol kemewahan, melainkan sebagai motor penggerak budaya dan ekonomi kreatif.

“Italia tak boleh kalah dalam hal yang menjadi napas jiwanya sendiri,” pungkas Giuli. (alf)

 

 

DJP Kaltimtara: Penerimaan Neto Turun Tajam, Pajak Lain Tumbuh 655%

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kalimantan Timur dan Utara (Kaltimtara) mencatat realisasi penerimaan pajak bruto sebesar Rp11,31 triliun hingga Mei 2025. Meskipun terlihat impresif, angka ini ternyata mengalami kontraksi 5,80% dibandingkan capaian pada periode yang sama tahun lalu.

Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kanwil DJP Kaltimtara, Teddy Heriyanto, mengungkapkan bahwa penerimaan pajak secara neto bahkan menyusut lebih tajam, yakni 48,61%, dengan realisasi hanya Rp5,03 triliun. Penurunan ini menandai tantangan serius yang dihadapi otoritas pajak di wilayah tersebut dalam menjaga stabilitas penerimaan di tengah dinamika ekonomi yang berubah cepat.

“Penerimaan pajak kami masih ditopang oleh beberapa jenis pajak utama seperti PPh Non-Migas, PPN, PPnBM, serta PBB,” kata Teddy dalam keterangan tertulis, Minggu (22/6/2025).

PPh Non-Migas secara bruto tercatat tumbuh 10,55% menjadi Rp5,58 triliun. Namun, kenyataannya tidak seindah angka bruto tersebut. Dari sisi neto, pajak ini justru terkontraksi 51,37% menjadi Rp2,5 triliun, menunjukkan adanya tantangan besar dalam pengembalian pajak atau restitusi yang meningkat tajam.

Sementara itu, penerimaan bruto dari PPN dan PPnBM menyumbang Rp5,4 triliun, tetapi juga mengalami penurunan 17,16%. Penurunan lebih dalam terlihat pada penerimaan neto yang anjlok hingga 57,63%, hanya mencapai Rp1,9 triliun.

Penerimaan dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga ikut melemah. Tercatat sebesar Rp0,225 triliun secara bruto (turun 47,49%) dan Rp0,207 triliun secara neto (turun 51,36%).

Meski begitu, masih ada secercah harapan dari kelompok pajak lainnya. Jenis pajak yang tidak masuk dalam kategori utama justru mencatat lonjakan luar biasa sebesar 653,7% secara bruto dengan realisasi Rp0,109 triliun. Dari sisi neto, pertumbuhannya bahkan mencapai 655,35% menjadi Rp0,108 triliun. Ini menjadi penanda bahwa ada potensi baru yang bisa digali lebih dalam oleh otoritas pajak.

Teddy menegaskan bahwa seluruh unit vertikal di bawah Kementerian Keuangan tetap solid dan aktif berkoordinasi dalam semangat “Kemenkeu Satu” untuk menjaga ketahanan fiskal dan memberi pelayanan terbaik bagi masyarakat. Salah satu bentuk sinergi itu terlihat dalam pelaksanaan Rapat Koordinasi Asset Liability Committee (ALCO) Regional Kalimantan Timur dan Utara yang digelar baru-baru ini.

“Koordinasi lintas unit sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara penerimaan dan belanja negara. Kita harus saling mendukung, terutama di tengah tantangan fiskal yang semakin kompleks,” tutup Teddy. (alf)

 

en_US