Banggar DPR Sebut Kenaikan PPN 12% Tak Cukup Dongkrak Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah, mengingatkan bahwa penerapan kenaikan tarif PPN 12% hanya pada barang mewah tidak akan cukup untuk mendongkrak penerimaan pajak yang diharapkan pada tahun 2025.

Said menjelaskan, kontribusi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) hanya menyumbang sekitar 1,3% dari total penerimaan pajak nasional sepanjang periode 2013-2022. Oleh karena itu, jika hanya barang mewah yang dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi, maka diperkirakan tidak akan memenuhi target penerimaan pajak pada tahun 2025 yang diatur dalam UU APBN 2025.

“Saat ini, kontribusi PPnBM sangat kecil terhadap total penerimaan pajak. Kenaikan tarif PPN pada barang mewah saja tidak akan cukup untuk mencapai target penerimaan negara,” ujar Said dalam keterangan resminya, Minggu (8/12/2024).

Namun demikian, Ia menegaskan bahwa penerimaan pajak tambahan yang dihasilkan dari kebijakan ini akan digunakan untuk membiayai program-program strategis yang dapat memberikan dampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat.

Beberapa program tersebut antara lain program Makan Bergizi Gratis senilai Rp 71 triliun, pemeriksaan kesehatan gratis sebesar Rp 3,2 triliun, pembangunan rumah sakit berkualitas di daerah dengan anggaran Rp 1,8 triliun, renovasi sekolah senilai Rp 20 triliun, serta pembangunan lumbung pangan nasional.

Kenaikan tarif PPN ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan sudah disepakati oleh seluruh fraksi di DPR RI dan pemerintah. Langkah ini bertujuan menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, efisien, serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Meski tarif PPN disesuaikan, pemerintah memastikan bahwa barang-barang kebutuhan pokok masyarakat tetap bebas dari PPN, termasuk bahan pokok, produk hewani, dan hasil pertanian.

Sementara itu, barang-barang mewah seperti kendaraan, rumah, dan barang konsumsi kelas atas akan dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi. Kebijakan ini bertujuan agar masyarakat dengan daya beli yang lebih tinggi dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap penerimaan negara, yang nantinya akan dikembalikan kepada masyarakat melalui berbagai program sosial untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi.

“Kebijakan ini juga bertujuan agar mereka yang memiliki kemampuan ekonomi lebih tinggi dapat berkontribusi lebih besar terhadap penerimaan negara, yang nantinya akan digunakan untuk program sosial yang memperkecil kesenjangan sosial dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat,” ujar Said. (alf)

Menkeu Sri Mulyani Bahas Zakat, Pajak, dan Bea Cukai dalam Konferensi Internasional di Riyadh

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, menghadiri konferensi internasional yang diselenggarakan di Riyadh, Arab Saudi pada 4-5 Desember 2024. Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani berbicara tentang reformasi keuangan negara, kebijakan fiskal, serta pentingnya pengelolaan pajak, bea cukai, dan zakat dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Konferensi tersebut diadakan atas undangan Menteri Keuangan Arab Saudi, Mohammed Al-Jadaan, dan dihadiri oleh sejumlah pembicara penting, termasuk Menteri Keuangan Bahrain, Shaikh Salman bin Khalifa Al Khalifa, serta Menteri Negara Keuangan India, Shri Pankaj Chaudhary.

Sri Mulyani menyampaikan bahwa negara-negara Teluk, khususnya di Timur Tengah, tengah melakukan berbagai reformasi dalam sektor keuangan negara dan kebijakan fiskal.

Reformasi ini bertujuan untuk memodernisasi ekonomi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata.

“Negara-negara Teluk di Timur Tengah tengah banyak melakukan reformasi Keuangan Negara, Fiskal Policy dan Perpajakan (Pajak, Bea Cukai dan Zakat) untuk memodernisasi ekonomi, mendorong dan mendukung pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan merata,” ujar Sri Mulyani melalui unggahan di akun Instagram resminya pada Minggu (8/12/2024).

Dalam sesi yang bertajuk “Memastikan Kemakmuran Melalui Penciptaan Pendapatan Ekonomi yang Berkelanjutan,” Sri Mulyani berbagi pengalaman Indonesia dalam memulihkan ekonomi pasca-pandemi COVID-19, tantangan kebijakan fiskal, serta pentingnya reformasi perpajakan dan tata kelola fiskal global.

Menurutnya, kebijakan fiskal yang efektif menjadi kunci dalam pemulihan dan pertumbuhan ekonomi global yang inklusif.

“Saya diminta untuk berbicara mengenai pengalaman Indonesia dalam memulihkan ekonomi pasca COVID-19, tantangan kebijakan fiskal, dan tata kelola fiskal global yang sangat menantang, namun sangat penting bagi semua negara,” kata Sri Mulyani.

Ia juga menekankan pentingnya belajar dari negara-negara lain, termasuk Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya, tentang kebijakan ekonomi dan fiskal yang dapat mendiversifikasi dan mentransformasi ekonomi.

Menurutnya, konferensi internasional ini menjadi wadah penting untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam memajukan perekonomian global, terutama dalam menghadapi tantangan fiskal dan memaksimalkan potensi ekonomi berkelanjutan. (alf)

Fitur Deposit Pajak pada Sistem Coretax bisa Simpan Dana hingga Pencairan Restitusi

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan bahwa pada awal Januari 2025, pihaknya akan meluncurkan sistem administrasi pajak terbaru, yaitu Coretax Administration System. Salah satu fitur unggulan yang akan diperkenalkan dalam sistem ini adalah fitur deposit pajak, yang memungkinkan Wajib Pajak untuk menyimpan dana pembayaran pajak mereka di awal.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, menjelaskan bahwa fitur deposit pajak akan memberikan kemudahan bagi Wajib Pajak. “Wajib Pajak bisa menyimpan dana pembayaran pajaknya lebih awal dan nantinya dapat mencairkan restitusi pajak langsung ke rekening atau menaruhnya kembali di deposit pajak,” ujar Dwi Astuti kepada media baru-baru ini.

Lebih lanjut, Dwi menambahkan bahwa DJP akan memastikan bahwa tidak ada utang pajak yang belum diselesaikan sebelum melakukan pencairan. Sebelum proses pencairan dilakukan, Wajib Pajak akan menerima konfirmasi sebagai langkah verifikasi.

Fitur deposit pajak ini juga menawarkan fleksibilitas tambahan, di mana dana yang sudah disimpan dapat digunakan untuk membayar kewajiban pajak di masa depan, sehingga memberikan kemudahan dalam pengelolaan pembayaran pajak. Dengan peluncuran ini, diharapkan dapat meningkatkan efisiensi sistem perpajakan di Indonesia. (alf)

Mulai Januari 2025 DJP Akan Kirim SP2DK Melalui Sistem Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengumumkan bahwa mulai Januari 2025, Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) yang dikenal sebagai ‘surat cinta’ pajak, akan dikirim melalui Coretax Administration System atau sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP). Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan akurasi pengiriman surat pajak kepada wajib pajak.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa penggunaan Coretax akan mengurangi kesalahan pengiriman SP2DK. “Dengan Coretax, tidak akan ada lagi cerita tentang SP2DK yang tidak diterima oleh wajib pajak. Alamat yang salah, seperti RT/RW yang keliru, yang sebelumnya bisa menyebabkan surat nyasar, tidak akan terjadi lagi,” ujar Dwi dalam kegiatan edukasi Coretax di Bandung, Jawa Barat, pada Kamis (5/12/2024).

SP2DK akan dikirimkan langsung melalui portal Coretax di bagian ‘dokumen saya’, menggantikan metode lama yang menggunakan amplop cokelat atau putih. Dengan sistem ini, surat akan masuk langsung ke dalam platform digital, tanpa memerlukan pengiriman fisik.

Meski demikian, Dwi menyatakan bahwa pengiriman SP2DK melalui pos fisik masih mungkin dilakukan dalam situasi tertentu, jika diperlukan. “Penyampaian SP2DK melalui Coretax menjadi prioritas utama. Namun, jika ada kebutuhan atau pertimbangan tertentu, pengiriman fisik tetap bisa dilakukan,” katanya.

Selain SP2DK, Coretax juga akan mengintegrasikan berbagai layanan perpajakan dalam satu platform digital. Layanan seperti DJP Online, e-Nofa, e-faktur, e-filing, e-billing, e-reg, e-bupot, dan lainnya akan disatukan dalam sistem ini, memberikan kemudahan akses bagi wajib pajak dalam mengelola kewajiban perpajakannya.

Dengan Coretax, DJP berharap dapat memperbaiki komunikasi dan transparansi antara pihaknya dan wajib pajak, sekaligus mempermudah akses layanan perpajakan yang lebih efisien dan modern.(alf)

Industri Otomotif Sambut Rencana Insentif PPn BM dan PPN DTP

IKPI, Jakarta: PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) menyambut baik rencana pemerintah yang akan memberikan insentif Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn BM) dan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk kendaraan, tidak hanya terbatas pada kendaraan listrik. Wakil Presiden Direktur TMMIN, Bob Azam, mengungkapkan dukungannya terhadap kebijakan tersebut, yang dinilai dapat meningkatkan daya saing industri otomotif nasional.

Bob Azam kepada media, Jum’at (6/12/2024) menyatakan bahwa insentif ini memberikan angin segar bagi dunia usaha, terutama sektor otomotif yang tengah menghadapi tantangan. “Terus terang kita menyambut gembira karena di tengah kebijakan-kebijakan yang sifatnya kontraktif, ada kebijakan stimulus yang membangun daya beli dunia usaha,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan pengalaman positif saat penerapan insentif serupa selama pandemi COVID-19. Ketika itu, Toyota berhasil mencatatkan penjualan ritel sebanyak 182.665 unit pada 2020, yang berkontribusi sebesar 31% terhadap total pasar otomotif nasional. Bob Azam menilai bahwa insentif pajak tidak hanya memberikan dampak positif bagi sektor otomotif, tetapi juga membuktikan bahwa relaksasi pajak tidak selalu menyebabkan penurunan penerimaan negara.

Lebih lanjut, Bob Azam menekankan pentingnya kebijakan pajak yang tepat untuk kondisi ekonomi Indonesia, yang memiliki pendapatan per kapita sekitar 4.000 dolar AS. Menurutnya, tingkat pajak yang optimal perlu disesuaikan dengan struktur industri dan ekonomi Indonesia, agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus menciptakan lapangan kerja.

Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita juga mengungkapkan bahwa pihaknya sedang membahas insentif terkait kenaikan upah minimum provinsi (UMP) yang diperkirakan akan meningkat sebesar 6,5 persen. Salah satu insentif yang menjadi perhatian adalah pemberian stimulus PPnBM dan PPN DTP, yang akan diberikan tidak hanya untuk kendaraan listrik, tetapi juga untuk kendaraan jenis hybrid dan lainnya. “Kita lakukan bukan hanya untuk mobil listrik, tetapi juga kita akan upayakan untuk mobil-mobil di luar listrik seperti hybrid dan sebagainya,” tambahnya.

Kebijakan insentif pajak ini diharapkan dapat memberikan stimulus positif bagi sektor otomotif dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan, serta mempercepat pemulihan dan pertumbuhan sektor industri yang terdampak pandemi. (alf)

Ini Sektor yang di Sasar Pemerintah untuk Pencapaian Targetkan Penerimaan Pajak Rp2.490,9 Triliun

IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto menetapkan target penerimaan pajak sebesar Rp2.490,9 triliun untuk tahun anggaran 2025. Target ini tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 201 Tahun 2024 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2025, yang ditandatangani Presiden Prabowo pada 30 November 2024.

Sekadar informasi, penerimaan pajak untuk 2025 akan berasal dari berbagai sumber, termasuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), cukai, serta pajak perdagangan internasional. Namun, dua sumber utama yang diperkirakan memberikan kontribusi terbesar adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Pendapatan dari sektor Pajak Penghasilan (PPh) diproyeksikan mencapai Rp1.209,3 triliun, dengan rincian yang mencakup PPh Migas sebesar Rp62,8 triliun dan PPh Non-Migas sebesar Rp1.146,4 triliun. PPh Non-Migas terdiri dari beberapa jenis, antara lain PPh Pasal 21 yang diperkirakan mencapai Rp313,5 triliun, PPh Pasal 22 sebesar Rp36,8 triliun, dan PPh Pasal 22 Impor Rp75,2 triliun. Selain itu, PPh Pasal 23 diperkirakan akan memberikan kontribusi sebesar Rp69,6 triliun, dan PPh Pasal 25/29 untuk orang pribadi dan badan masing-masing diperkirakan mencapai Rp15,1 triliun dan Rp369,9 triliun.

Dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) diperkirakan mencapai Rp945,1 triliun. Rinciannya, PPN Dalam Negeri diproyeksikan sebesar Rp609,0 triliun dan PPN Impor sebesar Rp308,7 triliun. Selain itu, PPnBM dalam negeri dan impor masing-masing diperkirakan akan memberikan kontribusi sebesar Rp10,8 triliun dan Rp5,8 triliun.

Sektor Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ditargetkan memberikan penerimaan sebesar Rp27,1 triliun pada 2025. Pendapatan ini akan berasal dari berbagai subsektor, termasuk PBB perkebunan sebesar Rp3,04 triliun, PBB perhutanan sebesar Rp702,7 miliar, dan PBB pertambangan sebesar Rp7,33 triliun. PBB migas diperkirakan mencapai Rp15,04 triliun, sementara PBB panas bumi dan PBB lainnya masing-masing diproyeksikan menyumbang Rp895 miliar dan Rp95,6 miliar.

Pendapatan dari sektor cukai juga menjadi salah satu sumber utama, dengan target penerimaan sebesar Rp244,1 triliun. Sebagian besar pendapatan cukai ini akan berasal dari cukai hasil tembakau yang diperkirakan mencapai Rp230,09 triliun. Sementara itu, pendapatan cukai lainnya, seperti dari cukai ethyl alkohol dan minuman mengandung ethyl alkohol, masing-masing diperkirakan akan mencapai Rp118,5 miliar dan Rp10,18 triliun.

Selain itu, pemerintah juga menargetkan penerimaan pajak dari perdagangan internasional sebesar Rp57,4 triliun. Dari sektor ini, bea masuk diperkirakan akan menyumbang Rp52,9 triliun, sementara bea keluar diperkirakan mencapai Rp4,47 triliun.

Dengan total penerimaan pajak yang mencapai lebih dari Rp2.490 triliun, pemerintah berharap dapat mengoptimalkan pendapatan negara untuk mendukung pembangunan nasional dan berbagai program prioritas dalam APBN 2025. (alf)

DPR-Kemenkeu Rapat Penerapan PPN 12% untuk Barang Mewah

IKPI, Jakarta: Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR) menggelar rapat dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada Jumat (6/12/2024) untuk membahas penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% yang akan berlaku pada 2025. Dalam pertemuan tersebut, dibahas mengenai jenis barang mewah yang akan dikenakan PPN serta komponen-komponen lain yang akan dikecualikan dari kenaikan PPN tersebut.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, menjelaskan bahwa ada beberapa barang dan jasa yang akan dikenakan tarif PPN baru, sementara komponen lainnya tetap dikenakan tarif PPN sebesar 11% atau bahkan dikecualikan sama sekali.

“Jadi ada yang kena PPN barang mewah, ada yang tetap 11% dan ada komponen yang tadi barusan kita sampaikan yang tidak kena PPN sama sekali,” ujar Dasco di kepada media.

Komponen-komponen yang tidak akan dikenakan PPN antara lain adalah bahan makanan, sektor UMKM, transportasi, pendidikan, kesehatan, jasa keuangan dan asuransi, serta penyediaan listrik dan air bersih. Meskipun demikian, Dasco menegaskan bahwa pemerintah masih akan merilis secara resmi daftar barang dan jasa yang akan dikenakan tarif PPN 12% dan 11% pada 1 Januari 2025.

Dia juga mengungkapkan bahwa dalam rapat tersebut, DPR dan Kemenkeu membahas target penerimaan pajak yang harus dipenuhi. Meskipun demikian, mereka sepakat bahwa kenaikan tarif PPN harus disesuaikan dengan situasi ekonomi saat ini.

“Ini kan kita coba simulasikan dulu di tahun ini. Karena menurut ketentuan undang-undang memang harus naik, tetapi dalam situasi ekonomi dan kondisi pada saat ini kita tentunya tahu bahwa tidak mungkin kita menaikkan semua ke 12%,” kata Dasco.

Ia juga mengungkapkan bahwa DPR dan Presiden Prabowo Subianto memiliki pandangan yang sejalan terkait rencana kenaikan tarif PPN ini. Keduanya sepakat bahwa meski kenaikan tarif sudah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), namun perlu dicari solusi yang terbaik untuk rakyat.

Rapat ini merupakan bagian dari upaya untuk mempersiapkan penerapan kebijakan PPN pada 2025 yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan negara, sekaligus menjaga kestabilan ekonomi masyarakat. Pemerintah dan DPR diharapkan dapat segera merumuskan kebijakan yang lebih rinci sebelum penerapan tarif baru tersebut. (alf)

Daftar Barang Mewah Kena Pajak 12% Tahun 2025

IKPI, Jakarta: Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan agar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang direncanakan berlaku pada 2025, hanya dikenakan pada barang-barang mewah. Usulan ini telah disampaikan kepada Presiden Prabowo Subianto oleh pimpinan DPR dalam pertemuan yang berlangsung pada Kamis (5/12/2024).

Menurut Ketua Komisi XI DPR  Mukhamad Misbakhun, usulan tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa PPN 12% hanya diterapkan pada barang-barang yang selama ini telah dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). “Yang dimaksud dengan itu memang selektif. Artinya selektif kepada barang yang selama ini sudah kena PPnBM hanya mereka yang dikenakan PPN 12%,” kata Misbakhun.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, menjelaskan lebih lanjut bahwa barang-barang yang termasuk dalam kategori barang mewah yang diusulkan untuk dikenakan PPN 12% adalah seperti mobil mewah, apartemen mewah, dan rumah mewah.

Barang-barang yang selama ini dikenakan PPnBM adalah barang yang tergolong mewah dan tidak termasuk dalam kategori kebutuhan pokok masyarakat. Adapun barang yang dikenakan PPnBM meliputi:

1. Kelompok kendaraan bermotor mewah,

2. Kelompok hunian mewah (seperti rumah mewah, apartemen, dan kondominium),

3. Kelompok Pesawat udara (kecuali untuk kepentingan negara),

4. Kelompok Balon udara,

5. Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali keperluan negara,

6. Kelompok kapal pesiar mewah yang tidak digunakan untuk kepentingan negara atau angkutan umum.

Dasco berharap usulan DPR ini dapat memberikan kejelasan dan keadilan dalam penerapan pajak, serta mendukung pengendalian konsumsi barang mewah di kalangan masyarakat.

Sekadar informasi, berdasarkan keterangan dari laman resmi Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), dijelaskan bahwa PPnBM juga dikenakan pada barang mewah yang dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi atau untuk menunjukkan status sosial. Namun, pajak ini hanya dikenakan satu kali, yakni hanya pada saat penyerahan barang dari produsen dan bertujuan untuk mengatur konsumsi barang-barang mewah yang tidak esensial. (alf)

OJK Dorong Pengaturan Batas Emisi dan Penerapan Carbon Tax 

IKPI, Jakarta: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan pentingnya pengaturan batas atas emisi gas rumah kaca di setiap sektor industri untuk meningkatkan permintaan terhadap kredit karbon di bursa karbon Indonesia. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Mirza Adityaswara, dalam sebuah webinar yang bertajuk “The Greenwashing Trap: How to Build Public Awareness” pada Kamis (5/12/2024).

Mirza menekankan, selain aturan mengenai batas atas emisi, penerapan carbon tax yang mencakup insentif dan disinsentif juga diperlukan untuk mendorong pelaku usaha agar lebih serius dalam mengurangi emisi mereka.

Menurutnya, tanpa adanya batasan yang jelas dan tanpa adanya sanksi bagi yang melanggar, permintaan terhadap kredit karbon tidak akan berkembang dengan signifikan.

“Karena kalau tidak ada batas atasnya dan tidak ada disinsentif, jika melanggar maka demand-nya terhadap kredit karbon tidak terjadi,” kata Mirza.

OJK juga mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk mempelajari praktik-praktik terbaik dari kebijakan pengurangan emisi yang diterapkan di berbagai negara. Tujuannya adalah untuk mencapai target penurunan emisi yang termuat dalam Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia.

Selain itu, OJK melaporkan perkembangan positif dari bursa karbon Indonesia yang telah diluncurkan pada 26 September 2023. Sejak peluncurannya hingga 27 September 2024, nilai perdagangan bursa karbon tercatat mencapai Rp37,06 miliar dengan total volume perdagangan 613.894 ton CO2e.

Dalam laporan tersebut, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Dajajadi, menjelaskan rincian transaksi, yang terdiri dari 26,75 persen di Pasar Reguler, 23,18 persen di Pasar Negosiasi, 49,87 persen di Pasar Lelang, dan 0,21 persen di marketplace.

Untuk mencapai hasil yang optimal, Mirza menegaskan bahwa OJK mendorong agar semua sektor industri di Indonesia berpartisipasi aktif dalam menurunkan emisi mereka dan memanfaatkan kredit karbon. “Kredit karbon Indonesia sebaiknya harus berkembang, baik dari volume maupun sektor industri, agar emisi dari berbagai sektor bisa turun,” ujarnya.

Dengan kebijakan yang tepat dan keterlibatan berbagai pihak, OJK berharap perdagangan kredit karbon di Indonesia dapat meningkat, sekaligus mendukung pencapaian target pengurangan emisi gas rumah kaca yang telah ditetapkan negara. (alf)

Berbagai Kalangan Tanggapi Kenaikan PPN 12% Selektif

IKPI, Jakarta: Kontroversi rencana pemerintah menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% mulai 1 Januari 2024, melahirkan wacana kenaikan pajak hanya untuk barang mewah sedangkan sembako dan layanan publik tetap dikenakan pajak 11 persen.

Ketentuan PPN 12% itu diperintahkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dalam beleid ini, PPN naik dari 10% menjadi 11 % per 1 April 2022 dan naik menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.

Namun banyak elemen masyarakat minta Presiden Prabowo menunda atau bahkan membatalkan kenaikan karena kondisi ekonomi sedang tidak baik.

Munculnya wacana PPN 12% tetap berlaku mulai 1 Januari 2025 namun hanya untuk barang mewah, ketika pimpinan DPR menemui Presiden Prabowo di Istana, Kamis, 5 Desember 2024. Menurut Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco, dalam pertemuan itu DPR mengusulkan PPN 12% diterapkan secara selektif dan menyasar pembeli barang-barang mewah.

Sementara untuk kebutuhan pokok dan pelayanan publik seperti jasa kesehatan, jasa perbankan dan jasa pendidikan dipastikan tidak diberikan pajak 12% dan dikenakan pajak yang saat ini sudah berjalan yaitu 11%.

Usulan ini ditanggapi beragam. Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai rencana pengenaan tarif PPN secara selektif berpotensi menimbulkan kebingungan.

“Indonesia mengenal PPN satu tarif, yang berarti perbedaan PPN 12% untuk barang mewah dan PPN 11% untuk barang lainnya merupakan yang pertama kali dalam sejarah,” kata Bhima seperti dikutip dari ANTARA, Jumat, 6 Desember 2024.

Maka, pengenaan multitarif ini berpotensi menimbulkan kebingungan banyak pihak, terutama bagi pelaku usaha dan konsumen. Seperti misalnya bila satu toko ritel menjual objek pajak yang terkena tarif PPN dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM), maka penjual perlu menghitung tarif yang berbeda terhadap barang-barang yang dijual.

Ketika mengurus administrasi perpajakan pun, kemungkinannya, faktur pajak akan menjadi lebih kompleks.

“Hanya karena sudah injury time jelang pelaksanaan PPN 12% per Januari 2025, maka aturan dibuat mengambang. Seharusnya, kalau mau memperhatikan daya beli masyarakat, terbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menghapus Pasal 7 di UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) soal PPN 12%. Itu solusi paling baik,” ujar dia.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan pemerintah tidak akan mengenakan PPN sama sekali untuk komoditas bahan pokok dan penting seperti fasilitas transportasi publik, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan.

Ketentuan barang yang bebas PPN itu tercantum juga dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 49 tahun 2022 tentang PPN Dibebaskan dan PPN serta Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Tidak Dipungut atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tertentu dari Luar Daerah Pabean.

Menurut Airlangga, pemerintah tengah menyiapkan paket kebijakan ekonomi yang di dalamnya membahas soal PPN dan ditargetkan bisa rampung dalam waktu satu pekan ke depan.

Kaji Secara Komprehensif

Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR Herman Khaeron menyebut pemerintah perlu melakukan kajian komprehensif sebelum menaikkan PPN menjadi 12% pada 2025 guna mengetahui dampak yang ditimbulkannya terhadap masyarakat.

“Ini pilihan pemerintah, kemudian kaji secara komprehensif, dipertimbangkan apa keuntungan dan kerugiannya bagi masyarakat,” kata Herman, Kamis.

Sebab, menurut dia, meski penerapan kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025 telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), namun pemerintah dapat mengambil pilihan ataupun pengaturan agar kebijakan itu tidak membebani masyarakat.

“Tadi mendengar apa yang disampaikan oleh pimpinan DPR bahwa pemberlakuan 12% itu adalah untuk pajak barang mewah, dan ya tentu kalau diberlakukan pada pajak barang mewah terus kompensasinya bagaimana untuk kalangan menengah ke bawah misalkan, karena bagaimanapun dampak ini pasti ada,” katanya.

Dia mengingatkan agar pemerintah mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif terkait rencana kenaikan PPN menjadi 12%, mulai dari dampaknya terhadap prospek ekonomi ke depan hingga daya beli masyarakat.

“Apakah dengan menaikkan pajak ini akan memberikan dampak positif atau tidak kepada masyarakat,” ujarnya.

Dia menyebut pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani perlu memberikan penjelasan secara gamblang dan komprehensif kepada publik mengenai pertimbangan yang diambil pemerintah apabila nantinya PPN tetap dinaikkan menjadi 12% per 1 Januari 2025.

“Sepanjang bahwa bisa menggaransi terhadap menjaga daya beli masyarakat, menjaga masyarakat bisa survive dalam kehidupannya, menurut saya ya harus dijelaskan,” ucapnya.

Sebaliknya, dia meminta pemerintah tak memaksakan untuk menerapkan kebijakan PPN menjadi 12% per 1 Januari 2025 sekiranya hasil kajian menunjukkan kenaikan tersebut membebani rakyat.

en_US