IKPI Mantapkan Diri Jadi Center of Knowledge Perpajakan Nasional, Ketua Umum: Saatnya Konsultan Pajak Menjadi Pilar Akademik

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menegaskan komitmen IKPI untuk menjadi pusat pengetahuan (Center of Knowledge) dalam sektor perpajakan nasional. Dalam pernyataannya, Vaudy menyebut peran konsultan pajak tak hanya terbatas pada praktik profesional, melainkan juga harus berkontribusi dalam dunia akademik dan pendidikan tinggi.

“Di era digital dan ekonomi yang semakin kompleks, perpajakan membutuhkan fondasi keilmuan yang kuat dan terus berkembang. IKPI harus menjadi pusat rujukan ilmu, riset, dan kebijakan perpajakan di Indonesia,” ujar Vaudy, Rabu (29/4/2025).

Sebagai langkah konkret kata Vaudy, IKPI mengundang seluruh anggotanya yang berkarier sebagai dosen atau pengajar pada perguruan tinggi untuk berpartisipasi dalam kegiatan penting bertajuk “Menuju IKPI sebagai Center of Knowledge Perpajakan Indonesia”. Kegiatan ini akan digelar secara daring melalui Zoom pada:

• Hari/Tanggal: Jumat, 2 Mei 2025

• Pukul: 15.30 – 16.30 WIB

• Tempat: Zoom Meeting Conference

• Agenda: Diskusi dan sinergi akademisi-IKPI dalam membangun ekosistem keilmuan perpajakan

Menurut Vaudy, peran anggota IKPI yang berkiprah di dunia akademik menjadi kunci dalam menyebarluaskan pemahaman perpajakan yang tepat, akurat, dan adaptif terhadap perubahan kebijakan.

“Kita ingin menjadikan IKPI bukan hanya organisasi profesional, tetapi juga pusat data, pusat riset, dan pusat edukasi perpajakan yang dapat diakses oleh pemerintah, kampus, dan masyarakat luas,” tegasnya.

Dengan menggerakkan para dosen dan pengajar, IKPI berharap dapat memperluas dampak keilmuannya ke generasi muda serta memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi tantangan global di bidang perpajakan. (bl)

PMK 15/2025: Penolakan Pemeriksaan Pajak Bisa Picu Pemeriksaan Pidana

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan kembali menegaskan prosedur hukum bagi Wajib Pajak yang menolak untuk diperiksa, sebagaimana tertuang dalam Pasal 15 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Perpajakan.

Dalam pasal tersebut dijelaskan, apabila Wajib Pajak, Wakil, atau Kuasa dari Wajib Pajak menyatakan menolak pemeriksaan, mereka wajib menyampaikan surat pernyataan penolakan yang ditandatangani paling lambat 7 (tujuh) hari sejak disampaikannya Surat Pemberitahuan Pemeriksaan. Kewajiban ini merupakan bagian dari prosedur formal yang harus dipenuhi meskipun terjadi penolakan.

Selain itu, apabila penolakan dianggap terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (9) atau Pasal 14 ayat (13), maka Wajib Pajak juga tetap diwajibkan menandatangani surat pernyataan penolakan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2).

Namun, jika mereka menolak untuk menandatangani surat pernyataan tersebut, maka Pemeriksa Pajak akan membuat Berita Acara Penolakan Pemeriksaan, yang ditandatangani oleh pemeriksa sendiri (Pasal 15 ayat 3).

Lebih lanjut, dalam Pasal 15 ayat (4) dijelaskan bahwa apabila Pemeriksaan dilakukan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, maka:

• Surat pernyataan penolakan Pemeriksaan,

• Berita acara penolakan Pemeriksaan,

• Surat penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan (Pasal 10 ayat 10), atau

• Berita acara penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan , dapat menjadi dasar bagi Pemeriksa Pajak untuk melakukan penetapan pajak secara jabatan, atau mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan apabila ditemukan indikasi tindak pidana perpajakan.

Sementara itu, jika pemeriksaan dilakukan untuk tujuan lain sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan, maka dokumen-dokumen penolakan tersebut tetap dapat menjadi dasar pertimbangan atau keputusan Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan langkah lanjutan (Pasal 15 ayat 5).

Ketentuan ini menegaskan bahwa penolakan terhadap pemeriksaan pajak tidak serta-merta menghentikan proses hukum. Sebaliknya, penolakan tersebut justru dapat membuka jalan bagi otoritas untuk melakukan tindakan lebih lanjut, termasuk penetapan pajak sepihak hingga pengusutan unsur pidana. (alf)

PMK 15/2025 Tegaskan Wajib Pajak Tak Bisa Ubah SPT Setelah Terima Surat Pemeriksaan

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 yang mengatur secara rinci tata cara pelaksanaan pemeriksaan pajak. Salah satu poin penting dalam regulasi ini tertuang dalam Pasal 10 yang menegaskan kewajiban dan prosedur penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak.

Dalam Pasal 10, ditegaskan bahwa Pemeriksa Pajak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan sebagai langkah awal sebelum proses pemeriksaan dimulai. Surat ini dapat disampaikan langsung kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga dewasa.

Jika seluruh pihak tersebut tidak dapat dijangkau, penyampaian dapat dilakukan melalui pos atau jasa pengiriman lain yang disertai bukti pengiriman.

Menariknya, aturan ini juga memperketat ruang gerak Wajib Pajak setelah menerima Surat Pemberitahuan Pemeriksaan. Mereka tidak lagi dapat menyampaikan atau membetulkan Surat Pemberitahuan (SPT) dalam ruang lingkup yang sedang diperiksa. Ini diharapkan mencegah adanya manipulasi data setelah Wajib Pajak mengetahui akan diperiksa.

Bila Wajib Pajak atau pihak terkait menolak menerima surat tersebut, maka dianggap telah menolak pemeriksaan. Pemeriksa Pajak pun berhak melanjutkan proses dengan mencatat penolakan tersebut secara resmi dalam berita acara.

Langkah ini dinilai sebagai upaya serius pemerintah dalam meningkatkan kepatuhan pajak dan memperkuat integritas pemeriksaan. (alf)

 

 

Hati-Hati! Tak Laporkan Kripto di SPT, Siap-Siap Dipotong 30%

IKPI, Jakarta: Investasi kripto memang menjanjikan keuntungan besar. Tapi jangan sampai euforia mengabaikan kewajiban pajak. Jika aset kripto tidak dilaporkan secara rutin dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), pemilik bisa kena getahnya: PPh Final sebesar 30% dari nilai aset!

Jovita Budianto, Partner di Ideatax, menegaskan pentingnya pelaporan kripto, baik oleh individu maupun korporasi. Dalam acara Cryptalk with Triv di Jakarta, Selasa (29/4/2025), ia mengingatkan bahwa kripto sudah sah secara hukum sebagai objek pajak.

Artinya, wajib dilaporkan setiap tahun. “Kalau dari awal tidak dilaporkan, lalu suatu saat dilaporkan untuk keperluan tertentu, misalnya untuk jual atau tukar aset, kantor pajak bisa langsung kenakan tarif 30%. Itu berat,” ujar Jovita.

Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), khususnya Pasal 34C. Disebutkan bahwa aset yang tidak dilaporkan tapi kemudian terdeteksi, akan dianggap sebagai penghasilan tambahan dan langsung dikenakan PPh Final.

Tak tanggung-tanggung, jika harga kripto melonjak di masa depan, potensi potongannya bisa membuat cuan jadi buntung. “Nilai aset mungkin kecil saat beli. Tapi lima tahun kemudian? Bisa naik drastis. Kalau langsung kena 30%, ya pasti nyesek,” tambahnya. (alf)

 

Pemerintah Siapkan Insentif Baru Gantikan Tax Holiday

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah mempersiapkan skema insentif investasi baru menyusul diberlakukannya kebijakan Pajak Minimum Global (Global Minimum Tax) yang mulai mengikis daya tarik fasilitas tax holiday sebagai instrumen pendorong investasi.

Hal ini disampaikan oleh Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM, Rosan Roeslani, dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (29/4/2025). Rosan menyatakan bahwa pemerintah tidak tinggal diam dan sedang menggodok sejumlah alternatif insentif investasi yang lebih adaptif terhadap lanskap pajak internasional yang baru.

Itu masih dalam kajian di Kementerian Keuangan dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,” ujar Rosan.

Kebijakan Pajak Minimum Global merupakan inisiatif dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), yang menetapkan tarif pajak minimum sebesar 15% bagi perusahaan multinasional. Tujuannya adalah menutup celah praktik penghindaran pajak melalui pemindahan laba (profit shifting) ke negara dengan tarif pajak rendah.

Selama ini, Indonesia mengandalkan tax holiday sebagai salah satu insentif fiskal utama untuk menarik investasi, khususnya di sektor industri prioritas dan proyek-proyek skala besar. Namun, kehadiran standar pajak global baru ini membuat efektivitas tax holiday dipertanyakan.

“Dengan adanya Global Minimum Tax, kita harus kreatif dan realistis dalam menyusun insentif yang tetap menarik tapi tidak melanggar prinsip perpajakan internasional,” ujar sumber di lingkungan Kemenkeu yang enggan disebutkan namanya.

Meskipun bentuk pasti dari insentif baru belum diungkapkan, pengamat menilai pemerintah kemungkinan akan mendorong insentif non-fiskal, seperti kemudahan perizinan, infrastruktur penunjang, hingga dukungan logistik dan sumber daya manusia terampil.(alf)

 

Malaysia Tunda Perluasan Pajak Penjualan dan Layanan

IKPI, Jakarta: Malaysia resmi menunda rencana perluasan pajak penjualan dan layanan (SST) yang sedianya berlaku mulai 1 Mei 2025. Penundaan ini memberi ruang bernapas bagi para produsen nasional yang tengah dihimpit kekhawatiran atas ancaman tarif impor Amerika Serikat sebesar 24%.

Dikutip dari Bloomberg, Selasa (29/4/2025), Kementerian Keuangan Malaysia mengonfirmasi kabar ini lewat pesan resmi, sejalan dengan laporan Edge Malaysia. Pemerintah menyatakan bahwa pedoman dan cakupan perluasan pajak saat ini masih dalam tahap penyempurnaan untuk memastikan pelaksanaan yang lebih mulus.

Sektor manufaktur, yang menjadi penyumbang utama penerimaan pajak negara, tengah berada di bawah tekanan berat. Presiden Federasi Produsen Malaysia, Soh Thian Lai, menegaskan bahwa penambahan beban pajak tahun ini dapat memperparah beban industri yang sudah terpukul oleh ancaman tarif AS.

Seperti diketahui, Presiden AS Donald Trump telah mengenakan tarif 10% terhadap produk Malaysia, sembari membuka negosiasi selama 90 hari untuk mencegah kenaikan lebih lanjut menjadi 24%. Tekanan ini turut memicu ketidakpastian atas proyeksi pertumbuhan ekonomi Malaysia yang ditargetkan di kisaran 4,5%-5,5% untuk tahun 2025.

Menurut Anis Rizana Mohd Zainudin, Direktur Jenderal Departemen Bea Cukai Kerajaan Malaysia, perubahan pajak baru akan diumumkan pada 1 Juni mendatang. Perluasan SST rencananya akan mencakup barang-barang impor premium seperti salmon dan alpukat, serta berbagai layanan komersial yang sebelumnya tidak dikenai pajak. (alf)

 

Presiden Prabowo Bentuk Pansel Pemilihan Calon Anggota Dewan Komisioner LPS 2025–2030

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto membentuk Panitia Seleksi (Pansel) untuk memilih Calon Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) melalui Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2025 dan Keputusan Presiden Nomor 42/P Tahun 2025. Pembentukan ini merupakan amanat dari Undang-Undang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (UUP2SK).

Ketua Pansel yang juga Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati secara resmi mengumumkan dibukanya proses seleksi untuk satu posisi jabatan Wakil Ketua merangkap Anggota Dewan Komisioner LPS untuk masa jabatan 2025–2030.

Pansel ini diketuai oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dengan anggota sebagai berikut:

  • Thomas A.M. Djiwandono (perwakilan Kementerian Keuangan)
  • Aida S. Budiman (perwakilan Bank Indonesia)
  • Dian Ediana Rae (perwakilan Otoritas Jasa Keuangan)
  • Fauzi Ichsan (perwakilan profesional di sektor perbankan)
  • Rizal Bambang Prasetijo (perwakilan profesional di sektor asuransi)

Dikutip dari Instagram @smidrawati, Selasa (29/4/2025) dijelaskan, Pansel akan menyusun jadwal, menetapkan mekanisme seleksi, dan mengumumkan penerimaan calon. Mereka juga bertugas menyampaikan sedikitnya tiga nama calon kepada Presiden untuk setiap jabatan yang dibutuhkan, serta memberikan laporan pelaksanaan tugas. Seluruh proses seleksi dijadwalkan selesai dalam waktu maksimal 20 hari kerja.

Setelah menerima nama-nama calon dari Pansel, Presiden akan memilih dan meneruskan minimal dua nama untuk setiap jabatan kepada DPR RI dalam waktu 10 hari kerja. Selanjutnya, DPR akan melakukan uji kelayakan dan kepatutan, dan menyampaikan hasilnya kembali kepada Presiden.

Pendaftaran seleksi dilakukan secara daring mulai 29 April hingga 6 Mei 2025 melalui laman resmi: https://seleksi-dklps.kemenkeu.go.id. (alf)

 

 

Mau Bebas PPN untuk Rumah Subsidi? Ini Syarat yang Harus Dipenuhi

IKPI, Jakarta: Pemerintah memberikan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk pembelian rumah subsidi. Ketentuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 60 Tahun 2023, khususnya dalam Pasal 4.

Berikut penjelasan tentang isi Pasal 4:

Pertama, untuk bisa mendapatkan fasilitas ini, pemerintah menetapkan syarat penghasilan. Penghasilan rata-rata dalam satu bulan calon penerima harus dihitung berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi urusan perumahan dan kawasan permukiman.

Kedua, rumah yang dibeli harus melalui program kepemilikan rumah umum dari pemerintah, yang menawarkan bantuan berupa subsidi bunga, subsidi uang muka, atau pembiayaan tabungan perumahan rakyat.

Ketiga, pembebasan PPN hanya diberikan jika pembeli sudah terdaftar sebagai penerima manfaat program tersebut.

Menariknya, pembebasan PPN ini tetap berlaku untuk pembayaran atau penyerahan rumah yang terjadi sebelum atau sesudah pembeli resmi terdaftar.

Namun, ada batas waktunya. Jika:

  • Dalam 3 bulan setelah akad kredit, pembeli belum terdaftar sebagai penerima manfaat, atau
  • Permohonan pembeli ditolak,
    maka PPN harus dibayarkan sesuai aturan perpajakan.

Masih ada solusi jika terjadi keterlambatan pendaftaran atau penolakan. Pembeli bisa tetap menggunakan fasilitas bebas PPN, asalkan:

  • Ia mengajukan pemberitahuan elektronik melalui sistem Direktorat Jenderal Pajak,
  • Dan mengirimkannya paling lambat 1 bulan setelah batas waktu pendaftaran atau setelah mendapatkan keputusan penolakan.

Untuk pembeli yang belum punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), pemberitahuan tersebut dapat dilakukan oleh pengembang atau pengusaha kena pajak yang menjual rumah, menggunakan sistem elektronik yang sudah disediakan pemerintah. (alf)

 

PMK 81/2024 Buka Peluang Refund Pajak Lebih Luas, Ini Daftar Pajaknya!

IKPI, Jakarta: Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 membuka peluang baru bagi Wajib Pajak untuk mendapatkan kembali kelebihan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang. Ketentuan ini diatur secara rinci dalam Pasal 122 regulasi tersebut.

Dalam aturan itu disebutkan bahwa Wajib Pajak kini bisa mengajukan permohonan pengembalian jika terbukti telah membayar pajak atas objek yang seharusnya tidak dikenakan pajak, atau terjadi kesalahan pemotongan dan pemungutan yang melebihi kewajiban sebenarnya.

Beberapa kondisi yang memungkinkan pengajuan pengembalian antara lain: pembayaran atas objek yang bukan pajak, kelebihan pembayaran terkait impor, hingga kekeliruan dalam penerapan tarif pajak akibat fasilitas perpajakan atau perjanjian penghindaran pajak berganda.

Tak hanya itu, PMK ini memperluas cakupan jenis pajak yang bisa dikembalikan, termasuk Pajak Penghasilan, PPN, PPnBM, hingga pajak karbon yang baru diterapkan. Bahkan, kelebihan pembayaran atas deposit pajak yang tidak digunakan pun bisa diminta kembali.

Kebijakan ini dipandang sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam mewujudkan sistem perpajakan yang adil dan transparan. Diharapkan, langkah ini mampu meningkatkan kepercayaan wajib pajak serta kepatuhan sukarela dalam jangka panjang. (alf)

 

Wajib Pajak Diberi Kesempatan Koreksi Data, Tapi Ada Batas Waktu Ketat!

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 memberikan ruang bagi Wajib Pajak untuk melakukan koreksi atas Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang telah mereka sampaikan. Namun, dalam regulasi baru ini, pembetulan tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu yang ketat.

Mengacu Pasal 87 PMK tersebut, Wajib Pajak dapat memperbaiki SPOP dengan mengirimkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak pembetulan. Koreksi ini wajib disampaikan paling lambat 15 hari setelah berakhirnya masa 30 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (1).

Menariknya, apabila Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengirimkan surat permintaan klarifikasi setelah periode tersebut berakhir, Wajib Pajak diberikan kesempatan tambahan. Mereka harus mengajukan pembetulan dalam waktu 7 hari sejak surat klarifikasi diterima melalui Akun Wajib Pajak.

Namun demikian, ketentuan di Pasal 88 menegaskan, bila pembetulan disampaikan melewati batas waktu yang ditentukan, maka pembetulan tersebut dianggap tidak pernah disampaikan. Ini berarti, data yang terlanjur dilaporkan tetap menjadi acuan DJP, berpotensi berdampak pada penghitungan pajak yang kurang akurat dan sanksi administrasi.

Kebijakan ini bertujuan meningkatkan ketertiban administrasi perpajakan dan memberi kesempatan adil bagi Wajib Pajak untuk memperbaiki kekeliruan, selama tetap memenuhi tenggat yang diatur.

Dengan aturan ini, para Wajib Pajak diimbau untuk lebih cermat dan cepat dalam menindaklanjuti kekeliruan laporan pajaknya demi menghindari konsekuensi hukum yang bisa merugikan. (alf)

 

en_US