Pengembang Usulkan Pemberian Insentif Pajak Properti Hijau

IKPI, Jakarta: Para pengembang properti Tanah Air semakin giat mendorong pengembangan proyek berkonsep hijau dan berkelanjutan. Namun, tingginya biaya investasi menjadi tantangan utama dalam merealisasikan properti ramah lingkungan secara masif. Karena itu, sejumlah pengembang besar mengusulkan agar pemerintah memberikan insentif fiskal berupa pembebasan atau pengurangan pajak untuk mempercepat adopsi bangunan hijau di Indonesia.

Managing Director PT Ciputra Development Tbk (CTRA), Budiarsa Sastrawinata menuturkan, komitmen membangun properti hijau membutuhkan biaya besar, mulai dari perencanaan desain berorientasi iklim, penggunaan material rendah karbon, hingga pemasangan teknologi hemat energi dan air. “Biaya itu dikeluarkan untuk memenuhi standar agar proyek bisa memperoleh sertifikat properti hijau, seperti EDGE atau Greenship,” katanya, Jumat (27/6/2025).

Ciputra Development sendiri telah mengembangkan tujuh proyek bersertifikat hijau yang terdiri atas lima bangunan tinggi (high rise) dan dua proyek hunian. Enam proyek meraih sertifikasi EDGE dari International Finance Corporation (IFC), dan satu proyek memperoleh Greenship dari Green Building Council Indonesia (GBCI). Budiarsa menjelaskan, efisiensi dari bangunan hijau mencapai 20% dalam penggunaan air, energi, dan bahan bangunan.

Namun, dia tak menampik bahwa implementasi properti hijau belum berjalan mulus. Tantangan besar di lapangan mencakup minimnya baseline data untuk memenuhi kriteria taksonomi hijau, lemahnya ekosistem regulasi, hingga kebutuhan akan kebijakan insentif agar investasi hijau lebih menarik secara komersial.

Senada, Direktur Utama PT Summarecon Agung Tbk (SMRA), Adrianto Pitojo Adhi, mengungkapkan bahwa pembangunan hunian hijau membutuhkan biaya tambahan sebesar 30% hingga 35% dibanding hunian konvensional. “Pemerintah seharusnya mempertimbangkan skema insentif fiskal bagi pengembang hijau agar proyek berkelanjutan ini bisa dijangkau pasar yang lebih luas,” ucapnya.

Sementara itu, PT Intiland Development Tbk (DILD) juga menunjukkan keseriusannya dalam membangun gedung ramah lingkungan. Wakil Direktur Utama Intiland, Utama Gondokusumo, menjelaskan bahwa pendekatan ramah lingkungan diterapkan sejak tahap pengadaan material. Misalnya, pada proyek apartemen Fifty Seven Promenade, mereka bekerja sama dengan produsen kaca untuk meminimalkan limbah hingga tinggal 5%, dari sebelumnya 34%.

Namun, dia mengakui bahwa penerimaan pasar terhadap properti hijau masih rendah, terutama karena harganya lebih tinggi. “Tantangannya memang soal harga. Tapi tren ke depan menunjukkan konsumen, khususnya generasi muda, semakin peduli pada isu keberlanjutan,” imbuhnya.

Hal ini diperkuat oleh Vice President Market Research & Product Strategy Sinar Mas Land, Dwi Novita Yeni, yang menyebutkan bahwa generasi milenial dan Z mulai beralih ke gaya hidup eco-living. Dalam survei global Deloitte, mayoritas generasi muda kini mengutamakan lingkungan dan mendukung produk yang ramah bumi. “Namun teknologi hijau masih mahal, dan untuk bisa menjangkau segmen menengah, diperlukan insentif pemerintah,” jelasnya.

Sinar Mas Land sendiri telah menerapkan penghematan energi, pengelolaan air limbah, dan pemanfaatan panel surya. Bahkan, 29% material bangunan yang digunakan sudah tergolong ramah lingkungan.

Ketua Umum Green Building Council Indonesia (GBCI) Ignesjz Kemalawarta menyebut jumlah properti hijau di Indonesia masih sangat minim dibanding negara tetangga. Per 2024, baru ada sekitar 100 proyek tersertifikasi Greenship dan 150 proyek tersertifikasi EDGE. “Malaysia, Singapura, dan Filipina sudah memberikan insentif fiskal untuk bangunan hijau. Indonesia justru belum punya regulasi insentif sama sekali,” ujarnya.

GBCI menilai penting adanya insentif seperti diskon Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 30% selama 3 tahun, atau pemberian tambahan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) untuk proyek hijau. Menurut Ignesjz, investasi awal properti hijau memang lebih mahal 3%-4%, namun penghematan jangka panjang dapat mencapai 15%-40% selama usia bangunan 40 tahun.

Tak hanya pengembang, kalangan analis properti juga menilai insentif fiskal sebagai langkah strategis untuk mempercepat adopsi green building. CEO Indonesia Property Watch, Ali Tranghanda mengusulkan skema insentif pajak khusus untuk green financing, agar hunian hijau bisa lebih terjangkau. “Selama ini, konsep green living baru dinikmati oleh kelas menengah atas. Segmen menengah ke bawah belum tersentuh karena harga masih menjadi kendala,” jelasnya.

CEO PT Leads Property Services Indonesia, Hendra Hartono menambahkan, walau kesadaran masyarakat akan pentingnya hunian hijau mulai tumbuh, namun faktor harga masih menjadi penentu utama dalam keputusan pembelian rumah. Oleh karena itu, ia menilai insentif bagi pengembang dan konsumen sama-sama penting untuk menciptakan keseimbangan antara keberlanjutan dan keterjangkauan.

Dengan tren properti hijau yang mulai menggeliat, dorongan kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan menjadi krusial. Apalagi, pengembang mulai menyadari bahwa proyek ramah lingkungan dapat membuka akses pembiayaan yang lebih mudah, suku bunga lebih rendah, serta peluang kemitraan dengan investor global. (alf)

 

 

Apindo Dukung Pungutan Pajak E-Commerce, Sebut Langkah Pemerintah Sejalan dengan Perkembangan Bisnis Digital

IKPI, Jakarta: Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyambut positif rencana pemerintah untuk menetapkan pungutan Pajak Penghasilan (PPh) 22 atas transaksi penjualan oleh pedagang daring (online merchant) melalui platform niaga elektronik atau marketplace.

Sekretaris Dewan Pertimbangan Apindo, Suryadi Sasmita, menegaskan bahwa kebijakan tersebut bukan hal baru, melainkan bagian dari penyesuaian terhadap pola bisnis yang terus berkembang di era digital. Menurutnya, langkah ini justru memberi kepastian hukum sekaligus kemudahan bagi pelaku usaha dalam memenuhi kewajiban perpajakan.

“Kami sebagai pelaku usaha mendukung langkah pemerintah dalam menerapkan kebijakan pengenaan PPh final 0,5 persen bagi pelaku usaha online,” ujar Suryadi dalam pernyataannya di Jakarta, Jumat (27/6/2025).

Suryadi menjelaskan bahwa aturan ini merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 yang sebelumnya telah menetapkan tarif PPh final bagi pelaku UMKM. Dengan rencana ke depan, mekanisme pungutan PPh oleh marketplace akan membuat proses pembayaran pajak menjadi lebih praktis dan efisien.

“Di tengah digitalisasi dan penerapan sistem inti perpajakan (Coretax), pemerintah semakin memiliki kemampuan untuk mengakses data usaha secara transparan. Ini mendukung ekosistem perpajakan yang modern dan akuntabel,” tambahnya.

Ia juga menegaskan bahwa pengusaha dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun tidak akan dikenakan PPh final, sehingga tidak perlu merasa khawatir. “Regulasi ini tetap berpihak pada pelaku usaha kecil,” tegasnya.

Lebih jauh, Apindo mengajak seluruh pelaku usaha daring untuk aktif mendukung kebijakan ini. “Dengan kepatuhan bersama, kita bisa menciptakan iklim usaha yang adil, sehat, dan berkelanjutan. Ini adalah bagian dari kontribusi menuju ekonomi nasional yang inklusif dan pencapaian visi Indonesia Emas 2045,” kata Suryadi.

Sementara itu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, Rosmauli, menyebut bahwa kebijakan penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh 22 merupakan bentuk pergeseran (shifting) dari sistem pelaporan mandiri menjadi pemungutan otomatis di titik transaksi.

“Kebijakan ini tidak mengubah prinsip dasar pajak penghasilan. Justru memberikan kemudahan karena sistem pemungutan dilakukan langsung oleh platform, sehingga pedagang tidak perlu lagi melapor dan menyetor sendiri,” jelas Rosmauli.

DJP menegaskan bahwa langkah ini bertujuan menyederhanakan administrasi perpajakan dan mendorong kepatuhan sukarela di sektor perdagangan digital yang kian berkembang pesat. (alf)

 

DJP Kembali Lakukan Mutasi, 993 Pejabat Dilantik Awal Juli

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali melakukan rotasi besar dalam struktur organisasinya. Melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-119/PJ/2025, sebanyak 993 pejabat pengawas resmi dimutasi dan diangkat dalam jabatan baru. Langkah strategis ini diumumkan secara resmi oleh Sekretaris DJP, Sigit Danang Joyo, pada 26 Juni 2025.

Pelantikan akan digelar pada Selasa, 1 Juli 2025 pukul 09.00 WIB secara hybrid. Pejabat dari Kantor Pusat DJP (KPDJP) dijadwalkan hadir secara fisik di Auditorium Cakti Buddhi Bhakti, Gedung Marie Muhammad, Jakarta Selatan. Sementara itu, pejabat dari luar KPDJP akan mengikuti pelantikan secara virtual dari unit kerja masing-masing.

Dalam pengumuman ditegaskan bahwa pelantikan bukan sekadar seremonial, melainkan awal dari tanggung jawab baru. Para pejabat diwajibkan hadir tepat waktu, baik secara fisik maupun virtual, serta mengikuti seluruh rangkaian acara pelantikan dengan khidmat, termasuk pengucapan sumpah jabatan sesuai agama masing-masing.

DJP juga menekankan pentingnya menyusun memori alih tugas dan menyelesaikan penilaian kinerja sebelum pelantikan. Bila dalam waktu 30 hari kerja sejak penetapan keputusan terdapat pejabat yang tidak mengikuti pelantikan tanpa alasan sah, maka pejabat tersebut akan diberhentikan dari jabatannya dan dialihkan sebagai pelaksana di unit kerja tujuan.

Selain itu, penerbitan dokumen kepegawaian seperti SPMT, SPP, dan SPMJ harus diselesaikan paling lambat 14 hari kalender setelah pelantikan, untuk menjamin kelancaran pembayaran hak-hak pegawai yang dimutasi.

DJP mengimbau seluruh unit kerja dan pejabat terkait agar segera menyesuaikan diri dengan pengumuman ini, dan memastikan kelancaran transisi di lingkungan masing-masing.

Pengumuman lengkap disampaikan melalui surat resmi PENG-246/PJPJ.01/2025. (bl)

Marketplace Bakal Dipilih Jadi Pemungut Pajak, DJP Tegaskan Bukan Pajak Baru

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan akhirnya buka suara terkait rencana penunjukan marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi penjualan barang yang dilakukan oleh pedagang dalam ekosistem Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menegaskan bahwa kebijakan ini bukanlah pengenaan pajak baru, melainkan penyesuaian mekanisme pemungutan pajak yang lebih praktis dan efisien.

“Ini bukan menambah jenis pajak. Kami hanya menggeser mekanisme pembayaran PPh dari sebelumnya dilakukan mandiri oleh pedagang, menjadi sistem pemungutan otomatis oleh marketplace,” tegas Rosmauli dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat (27/6/2025).

UMKM Kecil Tak Kena Pajak

Rosmauli memastikan bahwa pelaku usaha mikro yang beromzet di bawah Rp500 juta per tahun tetap dibebaskan dari kewajiban pajak ini. Skema penunjukan marketplace sebagai pemungut hanya berlaku bagi pelaku usaha yang sudah melampaui batas penghasilan tidak kena pajak sesuai peraturan yang berlaku.

Adil, Mudah, dan Proporsional

Lebih jauh, DJP menyebut bahwa tujuan utama dari kebijakan ini adalah menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan mudah. Melalui skema pemungutan terintegrasi oleh marketplace, para pedagang online tak perlu lagi repot menghitung dan membayar pajaknya sendiri.

“Ini akan meningkatkan kepatuhan sekaligus menyederhanakan administrasi perpajakan bagi para pedagang,” ujar Rosmauli.

Lawan Shadow Economy

Selain meningkatkan kepatuhan, kebijakan ini juga diarahkan untuk menutup celah shadow economy, yaitu aktivitas ekonomi digital yang luput dari radar pajak. Dengan melibatkan marketplace sebagai pihak pemungut, DJP berharap mampu menjangkau pelaku usaha yang selama ini belum tersentuh kewajiban perpajakan.

Masih dalam Proses Finalisasi

Meski begitu, Rosmauli mengungkapkan bahwa aturan ini masih berada dalam tahap finalisasi internal pemerintah. DJP menjanjikan, begitu beleid resmi ditetapkan, pihaknya akan menyampaikannya kepada publik secara transparan.

Libatkan Industri dan Pemangku Kepentingan

DJP juga menegaskan bahwa penyusunan kebijakan ini telah melalui proses komunikasi lintas sektor dan melibatkan pelaku industri e-commerce, kementerian, serta lembaga terkait lainnya.

“Prosesnya dilakukan melalui prinsip meaningful participation. Kami bersyukur karena sejauh ini, banyak pihak mendukung langkah ini demi tata kelola perpajakan yang adil dan sejalan dengan perkembangan teknologi,” ujarnya.

Kebijakan ini menjadi langkah penting pemerintah dalam menata ulang sistem perpajakan di era digital, sekaligus menjaga kesetaraan perlakuan antara pelaku usaha konvensional dan digital. (bl)

Laos Selaraskan UU Pajak Penghasilan dengan Standar Internasional

IKPI, Jakarta: Pemerintah Laos terus memperkuat komitmennya dalam membangun sistem keuangan negara yang transparan dan berdaya saing melalui langkah besar dengan merevisi Undang-Undang Pajak Penghasilan. Revisi ini menjadi bagian dari strategi reformasi fiskal menyeluruh yang dirancang untuk menutup celah hukum, meningkatkan efektivitas pengumpulan pajak, dan menyelaraskan sistem perpajakan nasional dengan standar internasional.

Langkah tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan Laos, Santiphab Phomvihane, dalam sidang Majelis Nasional pada Selasa (24/6/2025).

Ia menegaskan bahwa perubahan ini merupakan bagian penting dari upaya modernisasi hukum perpajakan, sejalan dengan kebutuhan ekonomi Laos yang semakin kompleks dan terhubung dengan dinamika global.

“Kerangka hukum perpajakan kita harus mampu menjawab tantangan masa depan. Amandemen ini dirancang untuk memberikan kepastian hukum, meningkatkan efisiensi, dan menciptakan kepercayaan publik terhadap sistem pajak,” ujar Santiphab.

Menurut laporan resmi Kementerian Keuangan Laos yang dirilis keesokan harinya (25/6), fokus revisi tidak hanya terletak pada penyesuaian teknis terhadap praktik perpajakan global, tetapi juga pada penguatan sistem administrasi dan pengawasan pajak di dalam negeri.

Reformasi ini dipandang strategis dalam memperkokoh fondasi fiskal nasional, sekaligus mempersiapkan Laos menghadapi transisi menuju ekonomi yang lebih mandiri dan kompetitif. Pemerintah berharap dengan harmonisasi regulasi internasional, Laos dapat memperluas jalinan kerja sama global serta meningkatkan minat investor asing melalui sistem perpajakan yang kredibel dan akuntabel.

Undang-undang hasil revisi nantinya akan menjadi landasan utama dalam mengelola penerimaan negara, sekaligus simbol dari tekad pemerintah untuk menciptakan iklim investasi yang stabil dan transparan.

Langkah ini pun mendapat sorotan positif dari berbagai pihak, terutama pelaku ekonomi dan komunitas internasional, yang menilai inisiatif tersebut sebagai bagian dari komitmen Laos untuk membangun ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. (alf)

 

Lelang Aset Sitaan, Kanwil DJP Jakbar Raih Rp840 Juta

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Barat (Kanwil DJP Jakbar) sukses meraup Rp840 juta dari hasil lelang 12 aset sitaan penunggak pajak dalam gelaran Lelang Bersama Barang Sitaan Pajak Kanwil DJP se-Jakarta Raya yang berlangsung di Aula Chakti Buddhi Bhakti, Kantor Pusat DJP Jakarta, pada Selasa (25/6/2025).

Barang-barang yang dilelang meliputi mobil, alat berat, sepeda motor, dan peralatan elektronik, yang sebelumnya disita oleh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di lingkungan Kanwil DJP Jakbar. Aset tersebut merupakan bagian dari 19 barang sitaan yang dilelang secara serentak oleh seluruh Kanwil DJP se-Jakarta Raya dengan total nilai mencapai Rp2,9 miliar.

Kepala Kanwil DJP Jakbar, Farid Bachtiar, menegaskan bahwa lelang ini merupakan bagian dari strategi Pengawasan Kepatuhan Material (PKM) penagihan untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan. “Hingga Mei 2025, capaian realisasi PKM masih di angka 31,7 persen. Oleh karena itu, perlu langkah penagihan yang lebih terukur, masif, dan berdampak nyata terhadap kepatuhan,” ujar Farid dalam keterangan resminya, Kamis (26/6/2025).

Farid mengungkapkan, Kanwil DJP se-Jakarta Raya mengemban target penerimaan dari kegiatan lelang senilai Rp11 triliun atau 52 persen dari total target nasional sebesar Rp20 triliun. Untuk mengejar target tersebut, kegiatan lelang bersama akan digelar dua kali setahun, dengan pelaksanaan berikutnya direncanakan pada November 2025.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, turut mengapresiasi inisiatif ini. Ia menyebut, penyelenggaraan lelang bersama seperti ini membuat proses lebih fokus dan efisien dalam penggunaan sumber daya. “Inisiatif ini luar biasa. Selain efektif dalam menekan tax gap, lelang bersama juga memperkuat sinergi antarunit DJP,” katanya.

Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Jakarta, Dodok Dwi Handoko, menambahkan bahwa pelaksanaan lelang kini makin modern dan terbuka berkat sistem digital yang terus diperbarui. Ia menjelaskan, proses lelang dilakukan sepenuhnya secara daring melalui situs lelang.go.id dengan mekanisme open bidding yang transparan dan efisien.

“Versi terbaru Portal Lelang Indonesia kami hadirkan dengan fitur yang lebih ramah pengguna dan responsif. Ini memudahkan masyarakat dan pelaku usaha untuk mengikuti proses lelang dari mana saja,” jelas Dodok.

Untuk bisa ikut serta, calon peserta harus memiliki akun yang sudah terverifikasi dan menyetorkan uang jaminan paling lambat sehari sebelum lelang. Pemenang ditentukan secara otomatis oleh sistem berdasarkan penawaran tertinggi, dan diwajibkan melunasi seluruh kewajiban maksimal lima hari kerja setelah pengumuman. (alf)

 

Mendag Budi: Tarif Trump Belum Pasti, Indonesia Masih Negosiasi

IKPI, Jakarta: Menteri Perdagangan Budi Santoso memastikan bahwa hingga kini belum tercapai kesepakatan final antara Indonesia dan Amerika Serikat terkait kebijakan tarif impor yang dirancang oleh Presiden AS Donald Trump.

“Belum ada kesepakatan soal tarif Trump,” ujar Budi usai menandatangani Perjanjian Kerja Sama dengan Global Australia Halal Certification di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta Pusat, Kamis (26/6/2025).

Menurut Budi, proses negosiasi antara kedua negara masih berlangsung intens. “Sampai sekarang prosesnya masih berjalan. Belum ada bentuk finalnya seperti apa,” tegasnya.

Trump sebelumnya mengumumkan kebijakan tarif resiprokal terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, pada 2 April 2025. Produk-produk ekspor asal Indonesia dikenai tarif tambahan sebesar 32 persen. Meski begitu, Trump memberikan jeda waktu 90 hari untuk membuka ruang dialog dan mencegah perang dagang terbuka. Masa penundaan itu akan berakhir pada 8 Juli mendatang.

Budi tak memungkiri bahwa tenggat waktu tersebut semakin dekat. Namun, ia tetap optimistis akan tercapai titik temu sebelum batas waktu habis. “Ya, pasti ada kesepakatan. Mudah-mudahan bisa segera rampung karena memang belum ada keputusan resmi dari Presiden Trump,” jelasnya.

Negosiasi yang mewakili Indonesia dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Sejak 17 April, tim Indonesia sudah melakukan rangkaian pertemuan dengan pejabat tinggi AS, termasuk Menteri Perdagangan Howard Lutnick, Menteri Keuangan Scott Bessent, hingga pejabat USTR, Duta Besar Jamieson Greer.

Bahkan Airlangga sempat menyatakan bahwa kesepakatan bisa tercapai dalam waktu 60 hari. Dengan perhitungan itu, seharusnya kejelasan mengenai nasib tarif sudah terlihat sejak pertengahan Juni. Sayangnya, hingga akhir Juni belum ada kepastian dari pihak AS.

Ketidakpastian ini membuat para pelaku usaha di dalam negeri waswas. Jika tarif benar-benar diberlakukan mulai 8 Juli, maka beban ekspor Indonesia ke pasar Amerika akan meningkat drastis, menurunkan daya saing produk dalam negeri.

Pemerintah Indonesia masih menunggu sinyal positif dari Washington, sembari terus mendorong penyelesaian yang adil dan menguntungkan kedua belah pihak.(alf)

 

Pedagang di E-Commerce akan Dipungut Pajak, DJP Siapkan Aturannya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan akhirnya angkat bicara soal rencana pungutan pajak terhadap penjual atau merchant yang berjualan melalui platform e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, dan TikTok Shop.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, mengonfirmasi bahwa skema penunjukan platform e-commerce sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) tengah difinalisasi.

“Saat ini, ketentuan mengenai penunjukan platform e-commerce sebagai pihak pemungut Pajak Penghasilan (PPh) memang sedang dalam pembahasan kami bersama Kemenkeu,” ujarnya seperti dikutip, Kamis (26/6/2025).

Menurut Rosmauli, kebijakan ini bukanlah pajak baru, melainkan bagian dari upaya pemerintah untuk menyederhanakan administrasi perpajakan serta menciptakan level playing field antara pelaku usaha daring dan luring.

“Prinsipnya, ini hanya penyederhanaan mekanisme pembayaran pajak saja, bukan jenis pajak tambahan,” tegasnya.

Rencana ini mencuat setelah laporan Reuters mengungkap bahwa Indonesia berencana mewajibkan platform e-commerce untuk memungut dan menyetorkan pajak atas pendapatan pelapak sebesar 0,5%. Ketentuan ini akan berlaku untuk pedagang dengan omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar segmen yang selama ini masuk kategori UMKM.

Angka 0,5% tersebut merujuk pada tarif PPh Final yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018. Artinya, para pelapak online yang sebelumnya membayar pajak secara mandiri akan dikenakan pemotongan langsung oleh platform tempat mereka berjualan.

Wacana ini memunculkan pro dan kontra. Di satu sisi, pemerintah ingin meningkatkan kepatuhan pajak dan efisiensi administrasi. Di sisi lain, para pelaku usaha online khawatir akan dampak langsung terhadap margin usaha mereka.

Meski demikian, pemerintah menegaskan bahwa kebijakan ini dirancang agar lebih memudahkan pelaku usaha dan bukan untuk membebani. Dengan platform sebagai pemungut, UMKM tidak lagi perlu melaporkan dan menyetor pajak secara terpisah.

DJP bersama Kementerian Keuangan saat ini terus melakukan harmonisasi regulasi dan koordinasi teknis dengan para pelaku industri digital. Jika disepakati, aturan ini akan menjadi langkah signifikan dalam transformasi sistem perpajakan di era ekonomi digital. (alf)

 

Wamenkeu Beberkan Strategi Tutup Tax Gap Rp1.300 Triliun, Coretax dan Royalti Jadi Andalan

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus mencari terobosan untuk menutup jurang penerimaan pajak atau tax gap yang kini diperkirakan mencapai Rp1.300 triliun. Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono mengungkapkan bahwa nilai tax gap itu membengkak akibat banyaknya sektor yang dibebaskan dari kewajiban pajak, seperti pendidikan dan makanan.

“Kalau berdasarkan perhitungan awal, sebetulnya tax gap hanya sekitar Rp800 triliun. Tapi karena banyak sektor yang tidak dikenakan pajak, nilainya membesar hingga Rp1.300 triliun,” ujar Thomas dalam Energy Transition Summit Asia di Jakarta, Rabu (25/6/2025).

Thomas menambahkan, pembatalan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen juga berdampak signifikan terhadap potensi penerimaan negara. Menurutnya, keputusan itu membuat negara kehilangan potensi pendapatan sekitar Rp71 triliun.

Meski demikian, pemerintah tidak tinggal diam. Salah satu langkah strategis yang diandalkan adalah implementasi sistem administrasi perpajakan terbaru, Coretax.

“Memang kami dengar dari pelaku usaha bahwa Coretax masih belum optimal. Tapi ini sistem baru dan kami proyeksikan dapat meningkatkan rasio penerimaan pajak sekitar 2 persen,” jelasnya.

Tak hanya mengandalkan digitalisasi perpajakan, pemerintah juga mendorong peningkatan penerimaan negara dari sektor sumber daya alam. Kementerian Keuangan menggandeng Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk mengoptimalkan royalti dari berbagai komoditas.

“Tahun ini, target kami Rp100 triliun dulu. Kami percaya ini bisa dicapai. Kami terus bekerja keras menggali potensi yang bisa mempersempit tax gap,” ujar Thomas.

Dalam APBN 2025, target penerimaan perpajakan dipatok sebesar Rp2.183,9 triliun. Hingga akhir Mei, realisasi penerimaan pajak bruto telah mencapai Rp895,77 triliun, sedangkan pajak neto tercatat Rp683,26 triliun atau 31,2 persen dari target tahunan.

Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menyebut bahwa kinerja penerimaan pajak tetap menunjukkan tren positif meski terjadi perlambatan usai puncak pembayaran pada Maret–April.

“Secara siklus, Mei memang cenderung menurun dibanding bulan sebelumnya. Namun secara tahunan, bruto masih tumbuh 5,2 persen,” kata Anggito dalam paparan APBN KiTA, Selasa (17/6/2025). (alf)

 

DJP Blokir Serentak 3.443 Rekening Penunggak Pajak di Jawa Timur

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan aksi serentak penegakan hukum di bidang penagihan pajak melalui pemblokiran rekening Wajib Pajak pada 24–26 Juni 2025. Langkah ini dilakukan secara menyeluruh oleh seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di bawah naungan Kanwil DJP Jawa Timur I, II, dan III.

Diketahui, total terdapat 3.443 berkas penunggak pajak yang menjadi sasaran dalam operasi ini. Pemblokiran dilakukan terhadap rekening di 11 bank besar yang berkantor pusat di Jakarta dan Tangerang, sebagai tindak lanjut terhadap Wajib Pajak yang telah menerima surat teguran dan surat paksa, namun belum juga menyelesaikan kewajiban perpajakannya.

“Pemblokiran rekening ini merupakan bagian dari pelaksanaan kewenangan penagihan aktif yang telah didahului pendekatan persuasif. Ini adalah upaya terakhir setelah berbagai tahapan imbauan tidak diindahkan,” kata Kepala Kanwil DJP Jawa Timur II, mewakili seluruh Kanwil DJP di Jawa Timur, Agustin Vita Avantin, melalui keterangan tertulisnya, Kamis (26/6/2025).

Ia menegaskan bahwa langkah pemblokiran telah sesuai dasar hukum, yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 jo. UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, serta Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61 Tahun 2023 mengenai tata cara pelaksanaan penagihan pajak.

Tak hanya rekening bank, DJP juga menyasar aset keuangan lainnya milik penunggak pajak, seperti subrekening efek, polis asuransi, serta instrumen keuangan yang tersimpan di berbagai lembaga keuangan.

Agustin mengimbau, untuk Wajib Pajak yang akunnya diblokir segera menghubungi KPP tempat terdaftar untuk klarifikasi dan penyelesaian utang. Fasilitas permohonan angsuran maupun penghapusan sanksi tetap tersedia sesuai ketentuan yang berlaku.

Melalui tindakan ini, DJP berharap bisa mendorong peningkatan kepatuhan sukarela, menjaga momentum penerimaan negara, serta memberikan kepastian hukum dengan tetap mengedepankan asas keadilan, kemanusiaan, dan efisiensi dalam pelaksanaan hukum perpajakan. (bl)

 

 

en_US