Pemerintah Siapkan Insentif Nonfiskal untuk Imbangi Dampak Pajak Minimum Global

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah mengkaji alternatif insentif guna menyeimbangkan dampak dari penerapan pajak minimum global (Global Minimum Tax/GMT) sebesar 15 persen. Menteri Investasi dan Hilirisasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan Roeslani, mengungkapkan bahwa kebijakan ini berpengaruh terhadap mekanisme pembebasan pajak (tax holiday) di Indonesia.

“Kami sedang mengkaji insentif nonfiskal untuk diberikan kepada investor sebagai kompensasi atas dampak GMT. Hal ini penting untuk tetap menjaga daya tarik investasi di Indonesia,” ujar Rosan dalam acara Semangat Awal Tahun 2025 di Jakarta, Rabu (15/1/2025).

BKPM berencana berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan dan kementerian lainnya untuk merumuskan kebijakan insentif alternatif yang efektif. “Kami sedang berdiskusi terkait bagaimana implikasi GMT terhadap kebijakan fiskal kita. Fokusnya adalah memberikan insentif dalam bentuk lain, bukan hanya tax holiday,” katanya.

Implikasi Pajak Minimum Global

GMT, yang disepakati dalam Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GLoBE), bertujuan mengurangi penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Kebijakan ini berlaku untuk perusahaan dengan pendapatan global di atas 750 juta euro, yang harus membayar pajak minimal 15 persen.

Jika pajak yang dibayar di suatu yurisdiksi di bawah 15 persen, negara asal perusahaan berhak memungut pajak tambahan (top-up tax). Contohnya, jika suatu perusahaan dikenai pajak 5 persen di Indonesia, negara asalnya dapat menambahkan 10 persen hingga mencapai tarif minimal.

Pengaruh pada Kebijakan Tax Holiday

Di Indonesia, Pajak Penghasilan (PPh) Badan saat ini sebesar 22 persen. Namun, dengan adanya GMT, pemerintah hanya dapat memberikan pembebasan pajak hingga 7 persen untuk memenuhi tarif minimum global.

Pemerintah tetap memperpanjang kebijakan tax holiday hingga 31 Desember 2025, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2024. Kebijakan ini memungkinkan perusahaan di sektor industri pionir mendapatkan pembebasan PPh Badan hingga 100 persen.

Namun, perusahaan multinasional yang memanfaatkan tax holiday tetap harus memenuhi ketentuan GMT. Bila tingkat pajak efektif yang dibayarkan di bawah 15 persen, perusahaan wajib membayar pajak tambahan minimum domestik.

Rosan menegaskan, insentif nonfiskal akan menjadi alternatif untuk menjaga iklim investasi. Insentif ini dapat berupa kemudahan perizinan, fasilitas infrastruktur, atau dukungan lainnya yang tidak melibatkan pengurangan pajak. “Kami memastikan bahwa Indonesia tetap kompetitif di mata investor meskipun ada kebijakan GMT,” tutupnya.

Dengan langkah ini, pemerintah berharap dapat mempertahankan daya saing Indonesia sebagai destinasi investasi strategis di tengah perubahan kebijakan global. (alf)

Kemenperin Usulkan Insentif dan Relaksasi Pajak untuk Pemulihan Sektor Otomotif

IKPI, Jakarta: Industri otomotif Indonesia diprediksi mengalami kontraksi signifikan sebesar 16,2% pada tahun 2024. Penurunan ini disebabkan oleh melemahnya daya beli masyarakat serta kenaikan suku bunga kredit kendaraan bermotor yang membebani konsumen. Dampaknya, sektor yang menyumbang kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia ini diperkirakan akan mengalami penurunan output sekitar Rp4,21 triliun, dengan sektor terkait (backward linkage) mengalami penurunan sebesar Rp4,11 triliun dan sektor hilir (forward linkage) Rp3,519 triliun.

Menurut Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Setia Diarta, industri otomotif Indonesia akan menghadapi tantangan yang lebih besar pada tahun 2025. Tantangan tersebut terutama terkait dengan kebijakan baru seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan penerapan opsi Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) serta Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB).

“Dengan adanya kenaikan PPN serta penerapan opsi PKB dan BBNKB, kami memperkirakan akan ada dampak yang lebih besar pada daya beli masyarakat serta industri otomotif secara keseluruhan,” ungkap Setia Diarta dalam diskusi Forum Wartawan Industri (Forwin) yang bertajuk “Prospek Industri Otomotif 2025 dan Peluang Insentif dari Pemerintah” di Jakarta, Selasa (14/1/2024).

Menyadari pentingnya sektor otomotif bagi perekonomian nasional, Kemenperin mengusulkan sejumlah insentif untuk mendukung keberlanjutan sektor ini, terutama dalam menghadapi tantangan yang muncul pada tahun 2025. Salah satu usulan utama adalah pemberian insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk kendaraan hybrid (PHEV, Full, Mild) sebesar 3%, serta insentif untuk kendaraan listrik (EV) dengan PPnBM DTP sebesar 10%.

Selain itu, pemerintah juga diminta untuk mempertimbangkan penundaan atau pemberian keringanan pada penerapan opsi PKB dan BBNKB, yang saat ini telah diberlakukan di 25 provinsi. Kebijakan ini diharapkan dapat menjaga daya beli konsumen dan meminimalisir dampak negatif bagi industri otomotif, baik di pasar domestik maupun global.

Kinerja Industri Otomotif 2024

Meski menghadapi tantangan besar, beberapa segmen industri otomotif Indonesia menunjukkan kinerja yang cukup baik sepanjang tahun 2024. Industri Kendaraan Bermotor (KBM) roda empat, misalnya, mencatatkan produksi sebesar 1,19 juta unit (113,9% dari target), penjualan 865 ribu unit (113,9%), dan ekspor CBU (Complete Built-Up) mencapai 472 ribu unit (16,5%). Sementara itu, industri KBM roda dua mencatatkan produksi sebesar 6,91 juta unit (11,5%), penjualan 6,33 juta unit (11,5%), serta ekspor CBU sebesar 572 ribu unit (10,45%).

Meskipun sektor otomotif dihadapkan pada tantangan berat, pemerintah dan pemangku kepentingan terkait terus berupaya mencari solusi guna menjaga pertumbuhan sektor ini. Langkah-langkah seperti insentif fiskal dan kebijakan relaksasi pajak diyakini dapat memberikan dorongan yang diperlukan agar industri otomotif kembali mencatatkan kinerja positif di masa depan.

Diharapkan, kebijakan ini tidak hanya mampu mengatasi tantangan jangka pendek, tetapi juga menjaga daya saing industri otomotif Indonesia di pasar global yang semakin kompetitif. (alf)

DJP Kaji Penghapusan PPN Minyakita untuk Tekan Harga

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sedang mengkaji kemungkinan penghapusan pajak pertambahan nilai (PPN) pada produk Minyakita. Langkah ini dilakukan merespons keluhan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pangan yang menilai kebijakan wajib pungut PPN menjadi penyebab lonjakan harga di pasar.

Menteri Perdagangan Budi Santoso bahkan telah menyurati Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk meminta relaksasi kewajiban tersebut. Hal ini diharapkan dapat menurunkan harga Minyakita yang saat ini dijual di kisaran Rp17 ribu hingga Rp19 ribu per liter, jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp15.700 per liter.

“Terkait penghapusan PPN dan dampaknya terhadap penjualan Minyakita, saat ini masih dalam pembahasan,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu Dwi Astuti, Selasa (14/1/2025).

Ia menegaskan bahwa kewajiban BUMN sebagai pemungut PPN bukanlah kebijakan baru. Ketentuan tersebut telah berlaku sejak 2012 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2012, yang kemudian diperkuat oleh PMK Nomor 8/PMK.03/2021.

Namun, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menilai aturan ini menjadi salah satu penyebab harga Minyakita sulit dikendalikan. “Tantangan BUMN Pangan dalam mendistribusikan Minyakita salah satunya adalah karena mereka membutuhkan relaksasi wajib pungut,” ujar Staf Ahli Kemendag, Iqbal Shoffan Shofwan, dalam rapat koordinasi pengendalian inflasi, Senin (13/1/2025).

Minyakita, yang dikenakan PPN sebesar 11 persen, menjadi lebih mahal di pasar. Meski demikian, Kemendag belum memberikan data konkret terkait kontribusi wajib pungut terhadap kenaikan harga.

Kemendag optimistis bahwa penghapusan atau relaksasi PPN dapat menjadi solusi untuk menekan harga Minyakita. Namun, Kemenkeu belum memastikan apakah usulan ini akan diterima.

“Saat ini fokus kami adalah menyeimbangkan kepentingan fiskal dengan stabilitas harga di pasar. Langkah apa pun yang diambil, akan memperhatikan kedua hal tersebut,” kata Dwi Astuti.

Masyarakat dan pelaku usaha kini menunggu keputusan pemerintah terkait kebijakan ini. Jika penghapusan PPN diterapkan, diharapkan harga Minyakita dapat kembali sesuai dengan HET dan terjangkau bagi masyarakat luas. (alf)

Dirjen Pajak Sampaikan Relaksasi Sanksi Administrasi Selama Transisi Coretax

IKPI. Jakarta: Dalam upaya mendukung implementasi sistem inti administrasi pajak (Coretax) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memberikan pembebasan sanksi administrasi bagi wajib pajak. Keputusan ini diumumkan oleh Direktur Jenderal Pajak, Suryo Utomo, dalam diskusi daring yang diadakan bersama Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).

Suryo menegaskan bahwa pembebasan sanksi ini berlaku untuk kesalahan atau keterlambatan yang disebabkan oleh kendala teknis selama masa transisi implementasi Coretax yang dimulai sejak 1 Januari 2025. “DJP memastikan tidak akan ada beban tambahan kepada wajib pajak berupa sanksi administrasi atas keterlambatan atau kesalahan dalam pembuatan Faktur Pajak yang disebabkan oleh kendala teknis dalam implementasi Coretax,” ujar Suryo dikutip dari keterangan resmi Apindo yang diterima, Rabu (15/1/2025).

Masa transisi Coretax belum memiliki tenggat waktu pasti. Menurut Suryo, periode ini masih memerlukan pengkajian lebih lanjut. “Masa transisi ini akan diatur melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) guna memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak,” tambahnya.

Sementara itu, Sekretaris Dewan Pertimbangan Apindo, Suryadi Sasmita, menyampaikan harapan agar DJP memberikan perlindungan dan pembinaan kepada pelaku usaha selama masa transisi. “Pelaku usaha membutuhkan jaminan bahwa mereka dapat tetap menjalankan aktivitas bisnis tanpa khawatir akan sanksi selama proses transisi yang menjadi ranah di luar kendali mereka,” kata Suryadi.

DJP menyatakan telah menyiapkan berbagai langkah untuk menangani kendala teknis dalam implementasi Coretax. Salah satu masalah utama adalah pelaporan PPh Pasal 26 untuk masa Desember 2024, yang sementara masih dapat dilakukan melalui aplikasi legacy seperti e-Bupot PPh Pasal 21 atau e-Bupot Unifikasi.

Selain itu, DJP mempercepat migrasi data untuk memastikan pelaporan manual tetap berjalan lancar. Masalah akses direktur tenaga kerja asing (TKA) yang memiliki NPWP namun kesulitan mendapatkan sertifikat elektronik juga tengah diatasi melalui validasi data imigrasi dan perbaikan sistem Coretax.

Pendekatan ini diharapkan dapat mendukung pelaku usaha beradaptasi lebih cepat dengan sistem baru sekaligus meningkatkan kepercayaan terhadap pemerintah. “Pendekatan yang kooperatif sangat penting untuk menjaga keberlanjutan usaha dan kepercayaan dunia usaha terhadap pemerintah,” tutup Suryadi. (alf)

Pemerintah Optimistis Coretax Tingkatkan Penerimaan Pajak dan Tutup Tax Gap Indonesia

IKPI, Jakarta: Ketua Dewan Ekonomi Nasional Luhut Binsar Pandjaitan, menegaskan dukungannya terhadap penerapan sistem administrasi perpajakan baru, Coretax, yang mulai dioperasikan pada 1 Januari 2025. Dalam kunjungannya ke Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di Jakarta Selatan, Selasa (14/1/2025), Luhut berdialog dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, guna memastikan kelancaran transisi sistem baru tersebut.

Coretax dirancang untuk menggantikan sistem perpajakan lama, dengan harapan dapat mengoptimalkan penerimaan pajak Indonesia. Meskipun sejumlah kendala teknis muncul dalam implementasi awalnya, Luhut tetap yakin bahwa sistem ini akan berfungsi lebih baik seiring berjalannya waktu. “Saya juga mendorong keberlanjutan layanan bantuan (helpdesk) selama masa implementasi awal ini agar tantangan yang dihadapi dapat segera diatasi,” ujar Luhut.

Menurut Luhut, penerapan Coretax diproyeksikan dapat memberikan dampak positif yang signifikan terhadap penerimaan pajak Indonesia. Merujuk pada analisis Bank Dunia, ia mengungkapkan bahwa sistem ini bisa meningkatkan tax ratio Indonesia hingga 2% poin dalam beberapa tahun mendatang dan menutup tax gap yang diperkirakan sebesar 6,4% dari produk domestik bruto (PDB). “Coretax membuka peluang untuk mengoptimalkan potensi pajak hingga Rp1.500 triliun dalam lima tahun ke depan,” katanya.

Seiring dengan pengoperasian Coretax, sejumlah wajib pajak melaporkan kendala teknis, terutama dalam akses aplikasi dan pembuatan faktur pajak. Direktur P2Humas, DJP, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa perbaikan telah dilakukan pada beberapa proses bisnis yang bermasalah. Tiga perbaikan utama yang dilakukan adalah: peningkatan proses masuk sistem, perbaikan pengiriman kode OTP, serta pembaruan data profil perusahaan dan karyawan.

Selain itu, DJP juga mengatasi permasalahan dalam pembuatan faktur pajak yang disampaikan dalam format *.xml, serta memperbaiki proses penandatanganan faktur menggunakan kode otorisasi Ditjen Pajak atau sertifikat elektronik. Dwi mengungkapkan bahwa perbaikan tersebut telah menghasilkan peningkatan signifikan dalam penerbitan faktur pajak. Hingga 13 Januari 2025 pukul 10.00 WIB, tercatat lebih dari 53.000 wajib pajak berhasil membuat faktur pajak, dengan total faktur yang telah diterbitkan mencapai 1,67 juta dan yang divalidasi sebanyak 670.000.

Data menunjukkan adanya kemajuan yang pesat, dengan jumlah faktur pajak yang diterbitkan meningkat dua kali lipat dalam waktu empat hari, dari 845.514 pada 9 Januari 2025 menjadi lebih dari 1,67 juta pada 13 Januari 2025. Dwi menambahkan, pihaknya terus melakukan perbaikan dan berharap tidak ada lagi masalah yang menghambat layanan Coretax bagi wajib pajak.

Penerapan Coretax diharapkan tidak hanya meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan, tetapi juga menciptakan ekosistem yang lebih transparan, akuntabel, dan berorientasi pada pelayanan. Luhut menekankan pentingnya integrasi sistem perpajakan ini dengan sistem digital pemerintahan lainnya untuk memastikan interoperabilitas data antar instansi. Pemerintah pun optimistis bahwa dengan implementasi Coretax, pondasi ekonomi Indonesia akan semakin kuat dalam menghadapi tantangan global di masa depan.

“Melalui implementasi Coretax, pemerintah berharap dapat memperkuat pondasi ekonomi Indonesia untuk menghadapi tantangan global di masa depan,” kata Luhut.(alf)

Barcelona Manfaatkan Pajak Pariwisata untuk Atasi Dampak Perubahan Iklim dan Tantangan Overtourism

IKPI, Jakarta: Barcelona, salah satu destinasi wisata terpopuler di Eropa, kini menghadapi tantangan serius akibat overtourism. Pada musim panas tahun lalu, penduduk setempat menggelar protes terhadap dampak negatif pariwisata yang berlebihan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah kota berencana memanfaatkan pajak pariwisata guna mendukung berbagai inisiatif lingkungan dan memperbaiki infrastruktur publik.

Sebagai rumah bagi 1,6 juta penduduk, Barcelona menyambut jutaan turis setiap tahun, yang tertarik dengan arsitektur ikonis, budaya semarak, dan pesona Mediterania. Namun, lonjakan jumlah wisatawan memicu sejumlah persoalan, seperti kekurangan perumahan, kenaikan harga kebutuhan, dan tekanan besar pada infrastruktur publik, terutama selama musim panas yang ekstrem akibat perubahan iklim.

Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah Barcelona mengalokasikan pendapatan dari pajak pariwisata untuk mendanai proyek-proyek berkelanjutan. Wakil Walikota Laia Bonet menjelaskan bahwa pajak ini dipungut dari wisatawan yang menginap di hotel atau apartemen wisata. “Penggunaan pajak pariwisata sangat penting agar kota kita dapat menerima pariwisata secara berkelanjutan,” ujar Bonet seperti dikutip dari CBS News.

Dana tersebut digunakan untuk berbagai program, termasuk:

1.Meningkatkan infrastruktur publik, seperti menambahkan sistem pendingin udara di sekolah-sekolah umum.

2. Menanam pohon dan memperluas ruang hijau, untuk mengurangi efek pulau panas perkotaan.

3. Memasang panel surya di gedung publik, guna mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

4. Mengembangkan sistem penangkapan air hujan, untuk menghadapi kekeringan yang berkepanjangan.

Langkah ini menunjukkan komitmen Barcelona dalam menangani dampak perubahan iklim sekaligus meningkatkan kualitas hidup warganya.

Meskipun pemerintah melihat langkah ini sebagai solusi, tidak semua pihak setuju. Aktivis antipariwisata Agnes Rodriguez menilai kebijakan ini keliru. “Pemerintah seharusnya melakukan ini tanpa bergantung pada pariwisata. Ini adalah masalah kesehatan masyarakat,” ujarnya.

Menurut Rodriguez, warga Barcelona harus menjadi prioritas utama, bukan wisatawan. “Kami bukan taman hiburan. Kami ingin tetap menjadi kota yang layak huni bagi penduduknya,” tegasnya.

Masa Depan Pariwisata di Barcelona

Kebijakan ini menunjukkan upaya Barcelona dalam mencari keseimbangan antara menjaga daya tarik wisata dan melindungi lingkungan serta kesejahteraan penduduk. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam memastikan keberlanjutan langkah-langkah ini tanpa mengorbankan kebutuhan warga lokal.

Dengan berbagai langkah inovatif ini, Barcelona mungkin dapat menjadi model bagi kota-kota lain yang menghadapi tantangan serupa akibat overtourism. (alf)

Setoran Pajak Crazy Rich Indonesia Baru 1,54% dari Total Penerimaan, Pemerintah Diminta Lakukan Optimalisasi

IKPI, Jakarta: Setoran pajak penghasilan (PPh) dari kelompok super kaya atau crazy rich Indonesia hingga Agustus 2024 masih terbilang minim. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, kelompok ini hanya menyumbang Rp 18,5 triliun ke kas negara.

Angka tersebut berasal dari 11.268 Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang membayar pajak dengan lapisan tarif tertinggi sebesar 35%. Jika dibandingkan dengan total penerimaan pajak yang mencapai Rp 1.196,54 triliun pada periode yang sama, kontribusi mereka hanya sekitar 1,54%.

Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto, menilai bahwa potensi pajak dari kelompok super kaya ini sebenarnya masih sangat besar. “Peningkatan penerimaan pajak dari individu super kaya dapat dilakukan melalui penguatan dan optimalisasi kebijakan eksisting,” ujarnya kepada media baru-baru ini.

Wahyu menyarankan pengenaan pajak atas pemberian fasilitas perusahaan untuk para pejabat serta memperkuat pengawasan melalui Automatic Exchange of Information (AEoI) dengan akses data perbankan. Untuk jangka panjang, pemerintah juga diusulkan untuk mempertimbangkan kebijakan baru seperti pajak atas warisan dan pajak atas kekayaan (wealth tax).

Ia juga menekankan pentingnya menggunakan indikator lain, seperti kepemilikan aset, untuk mengukur kepatuhan pajak kelompok super kaya. “Kepemilikan aset juga bisa menunjukkan seberapa besar penghasilan mereka,” kata Wahyu.

Dengan adanya langkah-langkah strategis ini, diharapkan penerimaan pajak dari kalangan crazy rich dapat lebih optimal, sejalan dengan potensi besar yang mereka miliki. (alf)

Pengusaha Apresiasi Penerapan Coretax, Tetapi Perlu Sosialisasi dan Persiapan Matang

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI) Sanny Iskandar, menyampaikan pandangannya terkait penerapan sistem administrasi perpajakan digital terbaru (Coretax) yang dirancang oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Meskipun mengapresiasi langkah DJP dalam memulai penerapan sistem ini, Sanny menilai ada beberapa tantangan yang harus segera ditangani, terutama dalam hal sosialisasi dan persiapan.

“Menurut saya, DJP memulai ini sudah cukup baik, tetapi persiapan dan sosialisasinya harus lebih ditekankan,” ujar Sanny saat ditemui di Jakarta, Selasa (14/1/2025).

Sanny menyoroti masih adanya banyak pertanyaan yang belum terjawab dari para pengusaha, terutama terkait prosedur penerbitan faktur dan aspek lain dalam sistem perpajakan. Ketidakpastian ini menimbulkan keraguan di kalangan wajib pajak.

“Masih banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai penerbitan faktur dan lain-lain. Ini menjadi pekerjaan rumah yang harus segera ditangani, khususnya oleh Kementerian Keuangan,” jelasnya.

Ia juga menekankan bahwa keberhasilan Coretax tidak hanya bergantung pada perangkat keras dan perangkat lunak, tetapi juga pada infrastruktur pendukung lainnya, seperti kesiapan petugas pajak dan pelatihan dalam digitalisasi. Menurutnya, dukungan Kementerian Keuangan sangat penting untuk memastikan kelancaran implementasi sistem ini.

“Coretax adalah sistem terpadu yang bagus untuk memperluas basis wajib pajak. Namun, pemerintah perlu memastikan infrastruktur, baik hardware, software, maupun petugasnya, siap mendukung digitalisasi ini,” tambah Sanny.

Meski begitu, Sanny mengapresiasi komunikasi yang dilakukan DJP dengan para pengusaha. Dirjen Pajak Suryo Utomo sebelumnya telah melakukan dialog langsung dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) untuk mendapatkan masukan terkait Coretax.

“Pak Dirjen baru saja bertemu dengan Apindo, membahas banyak hal terkait perpajakan secara menyeluruh. Ini langkah yang baik, tetapi tetap ada hal-hal yang perlu diperbaiki,” ujarnya.

Layanan Coretax dan Kendala Awal

Sebagai informasi, Coretax resmi diperkenalkan DJP pada 1 Januari 2025. Sistem ini bertujuan untuk memudahkan wajib pajak dalam berbagai layanan, termasuk registrasi, pembayaran, hingga pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT). Meski demikian, implementasi awal sistem ini sempat terkendala downtime pada Sabtu (11/1/2025), yang memicu keluhan dari beberapa pengguna. DJP segera melakukan perbaikan untuk mengatasi masalah tersebut.

Dengan potensi besar yang dimiliki Coretax, Sanny berharap sistem ini dapat membawa perubahan positif bagi sistem perpajakan Indonesia, asalkan tantangan dalam implementasinya segera diatasi. (alf)

Kementerian UMKM Siapkan Rp 20 Triliun untuk KUR Peralatan Produksi

IKPI, Jakarta: Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tengah menyiapkan kebijakan strategis untuk mendukung ketahanan pangan nasional melalui pembiayaan penyediaan peralatan produksi. Salah satu langkah yang diambil adalah mengalokasikan dana sebesar Rp 20 triliun untuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) khusus peralatan produksi.

Menteri UMKM Maman Abdurrahman menyatakan bahwa upaya ini bertujuan untuk memastikan keberlangsungan dan peningkatan kontribusi UMKM dalam mendukung ketahanan pangan. “Kami sedang menyiapkan Peraturan Menteri (Permen) untuk mengalokasikan Rp 20 triliun khusus untuk penyaluran KUR peralatan produksi,” ujar Maman di Jakarta, Selasa (14/1/2025).

Program ini dirancang untuk membantu petani, peternak, dan pelaku UMKM di sektor perikanan mendapatkan akses peralatan usaha dengan plafon pinjaman hingga Rp 2 miliar. Pembiayaan ini akan disalurkan melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) dengan bunga rendah sebesar 4 persen, khusus untuk pembiayaan UMKM non-KUR.

“Dukungan ini juga mencakup Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), membuka peluang bagi pemerintah daerah untuk memperluas akses pembiayaan di tingkat desa,” kata Maman.

Saat ini, dari 46 lembaga penyalur KUR, sebanyak 75% penyaluran dilakukan oleh Bank Himbara. Untuk memperluas jangkauan ke UMKM di daerah, Kementerian UMKM juga berencana melibatkan Bank Pembangunan Daerah (BPD) dalam proses penyaluran.

“Ini adalah langkah afirmatif untuk memastikan UMKM di seluruh pelosok tanah air mendapatkan akses pembiayaan yang adil dan merata,” ujarnya.

Langkah ini diharapkan dapat menjadi pendorong bagi UMKM untuk lebih produktif dan mendukung ketahanan pangan nasional secara berkelanjutan. (alf)

Kemendag Minta Kelonggaran PPN untuk Menurunkan Harga Minyakita

IKPI, Jakarta: Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengungkapkan bahwa salah satu tantangan utama dalam menurunkan harga Minyakita adalah kewajiban pungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang harus dibayar oleh produsen sebelum akhirnya dibebankan kepada konsumen. Kewajiban ini, yang diatur dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 2009, memberi beban tambahan pada perusahaan minyak goreng, yang berimbas pada biaya distribusi dan harga jual produk di pasar.

Menurut Staf Ahli Bidang Manajemen dan Tata Kelola Kemendag Iqbal Sofwan, pihaknya telah mengajukan permohonan kepada Kementerian Keuangan pada Senin (6/1/2025) untuk meminta kelonggaran terkait kewajiban PPN bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Pangan. Permohonan ini diharapkan dapat memperlancar distribusi Minyakita dan menekan biaya tambahan yang menyebabkan harga Minyakita di pasaran terus meroket.

“Jika Kementerian Keuangan menyetujui, rantai distribusi akan lebih pendek, volume distribusi dapat ditingkatkan, dan harga Minyakita bisa kembali sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET),” kata Iqbal kepada media di kantornya, Senin (13/1/2025). Saat ini, Kemendag masih menunggu tanggapan dari Kementerian Keuangan atas surat tersebut.

Sekadar informasi, harga Minyakita sendiri mengalami kenaikan signifikan, meskipun pada Agustus 2024 pemerintah sempat menaikkan HET Minyakita dari Rp 14.000 menjadi Rp 15.700 per liter. Namun, data terbaru Kemendag menunjukkan bahwa harga rata-rata nasional Minyakita per Senin (13/1/2025) telah mencapai Rp 17.400 per liter, jauh melampaui HET yang ditetapkan. Kenaikan harga ini, menurut Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kemendag Rusmin Amin, disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah panjangnya rantai distribusi.

Rusmin menjelaskan, harga Minyakita di tingkat distributor utama (D1 dan D2) masih sesuai dengan HET, namun harga melonjak setelah melewati pengecer dan grosir, terutama akibat praktik penjualan kembali yang terjadi sebelum minyak sampai ke konsumen akhir. Selain itu, lonjakan permintaan menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru juga turut memperburuk keadaan. Banyak konsumen yang beralih dari minyak goreng premium ke Minyakita, sehingga permintaan meningkat tajam.

“Terjadi semacam migrasi konsumen, yang memicu kenaikan harga,” kata Rusmin.

Meski harga Minyakita terus mengalami kenaikan, Rusmin menegaskan bahwa stok Minyakita tetap tersedia secara nasional. Ia juga memastikan bahwa minyak goreng kemasan premium dan minyak curah masih mudah diakses oleh masyarakat. “Dari sisi produksi maupun stok, sebenarnya tidak ada masalah,” ujarnya.

Kemendag terus berupaya untuk memastikan ketersediaan stok Minyakita sepanjang tahun dan berkoordinasi dengan produsen untuk menjaga kestabilan pasokan. Pemerintah juga akan terus memantau rantai distribusi untuk memastikan bahwa harga minyak goreng tetap terjangkau dan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.

Kemendag berharap agar kelonggaran terkait PPN dapat diterima untuk mempercepat perbaikan situasi harga dan distribusi Minyakita yang kian membebani konsumen. (alf)

en_US