Dirjen Pajak Soroti Sulitnya Memajaki Minerba dan Sawit

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, kembali menegaskan bahwa sektor mineral dan batu bara (minerba) serta sawit masih menjadi tantangan terbesar dalam penerimaan negara. Pernyataan itu ia sampaikan dalam acara Kolaborasi Optimal Menuju Pajak Adil dan Konsisten Episode 2—Meneropong Tax Gap & Efektivitas Tata Kelola Fiskal Sektor Minerba yang disiarkan melalui YouTube Pusdiklat Pajak, Kamis (11/12/2025).

Bimo mengungkapkan bahwa problem klasik ini sudah ia temui sejak pertama kali berkarier di Direktorat Jenderal Pajak pada tahun 2002. Dua dekade berlalu, kesulitannya tetap sama: memastikan pemilik usaha ekstraktif memenuhi kewajiban pajak secara adil dan konsisten.

“Sejak 2002 saya bekerja di pajak itu, selalu sektor strategis yang dikejar-kejar pajaknya dan enggak rampung-rampung sampai hari ini, sektor minerba dan sawit,” tegasnya.

Sebagai industri yang mengolah kekayaan alam dalam jumlah besar, Bimo menilai seharusnya minerba dan sawit menjadi penyumbang utama penerimaan negara. Namun ia menyinggung bahwa praktik pemanfaatan sumber daya alam justru belum sepenuhnya mencerminkan amanat Pasal 33 UUD 1945, yang menempatkan kemakmuran rakyat sebagai tujuan utama pengelolaan kekayaan negara.

“Betapa sebenarnya value added belum bisa kami secure. ESDM, DJP, DJSEF, pemerhati, akademisi, dan konsultan ini PR kita bersama,” kata Bimo.

Menurutnya, masih banyak celah tata kelola fiskal yang menyebabkan negara tidak memperoleh nilai tambah optimal dari sektor yang selama ini menjadi tulang punggung ekspor Indonesia tersebut.

Bimo juga menyoroti hubungan erat industri ekstraktif dengan para high net worth individual (HNWI) atau kelompok orang super kaya di Indonesia. Ia menyebut pemungutan pajak terhadap kelompok ini masih membutuhkan pembenahan serius, terutama menyangkut transparansi dan pelaporan yang akurat.

Ia menegaskan bahwa perkembangan teknologi dan integrasi data antarinstansi kini menjadi amunisi kuat bagi otoritas pajak untuk menilai kepatuhan wajib pajak secara lebih presisi.

“Sekarang itu data luar biasa untuk benchmarking kepatuhan. Terkadang wajib pajak mungkin merasa kita enggak punya akses pada data tersebut, sehingga di SPT-nya tidak dimasukkan,” ujarnya.

Dorong Reformasi Tata Kelola dan Keterbukaan Data

Bimo meyakini bahwa penguatan basis data, kerja sama lintas otoritas, serta peningkatan integritas sistem perpajakan menjadi kunci untuk menutup tax gap di sektor ekstraktif. Dirinya menegaskan bahwa tantangan besar ini tidak bisa diselesaikan hanya oleh DJP, tetapi memerlukan kolaborasi semua pihak.

Dengan tekanan publik terhadap transparansi dan penerimaan negara yang semakin besar, Bimo menegaskan komitmennya untuk mendorong reformasi perpajakan yang mampu memastikan kekayaan alam Indonesia benar-benar kembali untuk kemakmuran rakyat. (alf)

Bea Keluar Emas Resmi Berlaku: Purbaya Tegaskan Aturan Baru untuk Jaga Cadangan Nasional

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa meresmikan kebijakan baru yang mengatur ekspor komoditas emas melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 80 Tahun 2025. Aturan ini menandai babak baru tata kelola mineral berharga nasional, sebab setiap produk emas yang diekspor kini resmi dikenakan bea keluar.

Dalam beleid tersebut, pemerintah menegaskan kewenangannya untuk memungut tarif ekspor emas. “Terhadap barang ekspor berupa emas dapat dikenakan Bea Keluar,” bunyi Pasal 2 PMK 80/2025, dikutip Kamis (11/12/2025).

Alasan Kuat di Balik Kebijakan Baru

Purbaya menjelaskan bahwa kebijakan ini bukan sekadar instrumen fiskal, melainkan langkah strategis untuk mengamankan cadangan emas nasional yang terus menurun. Padahal, Indonesia tercatat sebagai negara dengan cadangan emas terbesar keempat di dunia.

“Cadangan bijih emas kita menunjukkan tren menurun, sementara kebutuhan dalam negeri meningkat seiring pengembangan ekosistem bullion bank,” ujar Purbaya saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (8/12/2025).

Situasi global juga menjadi pertimbangan. Harga emas dunia melesat hingga US$ 4.076,6 per troy ons pada November 2025, yang berpotensi mendorong ekspor berlebihan jika tidak diatur.

Landasan Hukum: Pasal 2A UU Kepabeanan

Penerapan bea keluar emas berlandaskan Pasal 2A Undang-Undang Kepabeanan, yang mengatur bahwa bea keluar digunakan untuk:

Menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, Melindungi kelestarian sumber daya alam, Mengantisipasi lonjakan harga komoditas ekspor tertentu di pasar internasional, Menjaga stabilitas harga di dalam negeri.

Purbaya menegaskan bahwa seluruh tujuan tersebut relevan dengan kondisi emas Indonesia saat ini.

Dorong Hilirisasi dan Penguatan Ekosistem Bullion Bank

Lebih jauh, bea keluar emas dirancang untuk mendorong:

Peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi industri emas, Pemenuhan kebutuhan emas domestik bagi ekosistem bullion bank, Optimalisasi pengawasan transaksi emas, Peningkatan penerimaan negara.

“Bea keluar ini diperlukan untuk memastikan suplai emas di dalam negeri tetap tersedia dan dapat mendorong hilirisasi yang memberi manfaat ekonomi lebih besar,” tegas Purbaya.

Dengan diberlakukannya PMK 80/2025, pemerintah berharap tata kelola emas nasional semakin kuat, pasokan domestik terjaga, dan industri hilir mampu tumbuh lebih cepat di tengah momentum kenaikan harga emas global. (alf)

IKPI Pengda DKJ Kunjungi Kanwil DJP Jakpus, Bahas Tantangan Coretax 2026

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengurus Daerah Khusus Jakarta (DKJ) melakukan kunjungan silaturahmi ke Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Pusat (Jakpus), Rabu (10/12/2025). Rombongan yang dipimpin Ketua Pengda DKJ, Tan Alim, disambut langsung oleh Kepala Kanwil DJP Jakarta Pusat Eddi Wahyudi bersama jajaran pimpinan.

Pada kesemptan itu, Tan Alim memperkenalkan struktur kepengurusan pengurus daerah dan cabang yang hadir yang dilanjutkan oleh Eddi Wahyudi yang juga memperkenalkan jajaran Kanwil kepada rombongan IKPI sebelum memasuki diskusi terkait kesiapan menghadapi implementasi Coretax 2026, yang akan mulai digunakan untuk pelaporan SPT Tahunan 2025.

(Foto: Istimewa)

Dalam dialog tersebut, Eddi menyampaikan bahwa program kerja IKPI untuk tahun 2026 akan beririsan dengan transformasi sistem DJP. Ia menjelaskan bahwa DJP dan relawan pajak baru saja melakukan stress test pelaporan SPT, dan hasilnya dinilai cukup berhasil. Karena itu, ia berharap konsultan pajak turut membantu mengawal kelancaran operasional Coretax. DJP, tambahnya, siap memberikan pendampingan jika dibutuhkan.

Eddi menegaskan bahwa DJP kini lebih menitikberatkan penggunaan teknologi informasi sebagai tulang punggung administrasi pajak. Efisiensi menjadi salah satu hasil nyata, di mana penggunaan kertas kini tinggal kurang dari 30 persen dibandingkan sebelumnya.

(Foto: Istimewa)

Ia juga menyampaikan pentingnya sinkronisasi data dan teknologi antara wajib pajak, DJP, dan konsultan pajak, mengingat potensi edukasi perpajakan masih sangat besar.
Menurut Eddi, apabila sistem berjalan efektif, kualitas pelaporan SPT Tahunan dan tingkat kepatuhan wajib pajak akan meningkat signifikan. Penguasaan sistem oleh konsultan pajak juga diyakini mampu mempersempit tax gap di lapangan. Ia turut mencontohkan pengalaman Australian Tax Office (ATO) yang membutuhkan 15 tahun membangun sistem sejenis, namun Indonesia dinilainya bisa bergerak lebih cepat karena fondasi digital sudah lebih matang.

Dalam kesempatan tersebut, IKPI juga memberikan masukan melalui Santoso Aliwarga yang menyinggung perlunya evaluasi terhadap PMK 15, terutama menyangkut batas waktu penanganan SP2DK, pemeriksaan, dan keberatan. Menurutnya, penerapan aturan tersebut dapat menjadi tidak selaras dengan kesiapan Coretax yang masih dalam pengembangan. Karena itu IKPI menilai revisi atau penyesuaian waktu implementasi penting untuk memastikan regulasi dan teknologi bergerak sejalan.

(Foto: Istimewa)

Hadir rombongan dari IKPI

Pengda DKJ
• Tan Alim
• Mardi D. Muljana
• Onny Ritonga
• Hery Juwana

Pengurus Cabang
• Suryani (Ketua Jakpus)
• Santoso Aliwarga (Jakpus)
• Heri Purwanto (Jakpus)
• Tri Muryani (Jakpus)
• Maykel Susanto (Jakpus)
• Edwin Setiadi (Jakpus)
• Rian Sumarta (Jakut)
• Sophia Rengganis (Jakbar)
(bl)

Restitusi Rp25 Triliun per Tahun, Menkeu Purbaya Sebut UU Ciptaker Tekan Negara

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan bahwa penerapan UU Nomor 10 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) telah menekan penerimaan negara dari sektor batu bara. Perubahan status batu bara menjadi barang kena pajak (BKP) membuat pemerintah harus menganggarkan restitusi PPN dalam jumlah yang sangat besar.

“Sejak batu bara menjadi BKP, industri bisa meminta restitusi PPN ke pemerintah. Nilainya sekitar Rp25 triliun per tahun,” ujar Purbaya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Jakarta Pusat, Senin (8/12/2025).

Purbaya menjelaskan bahwa besarnya restitusi yang harus dibayarkan negara bahkan mengubah posisi penerimaan batu bara dari positif menjadi negatif. Meski biaya produksi perusahaan tambang terbilang tinggi, nilai restitusi yang diklaim industri jauh lebih besar daripada penerimaan pajak yang masuk.

“Net income kita dari industri batu bara bukannya positif, malah dengan pajak segala macam jadi negatif,” tegasnya. Ia menyebut kondisi tersebut seperti memberikan subsidi tidak langsung kepada industri yang sebenarnya telah menikmati keuntungan ekspor. “Ini orang kaya, ekspor untungnya banyak, saya subsidi secara enggak langsung,” ucapnya.

Untuk mengoreksi distorsi fiskal tersebut, pemerintah kini menyiapkan kebijakan bea keluar untuk komoditas batu bara dan emas. Langkah ini, menurut Purbaya, tidak akan mengganggu daya saing industri di pasar global karena hanya mengembalikan situasi seperti sebelum UU Ciptaker diberlakukan. “Daya saing tidak akan berkurang karena hanya kembali seperti sebelum 2020, dan saat itu mereka tetap bisa bersaing,” katanya.

Purbaya menambahkan bahwa besarnya restitusi batu bara juga menjadi salah satu faktor utama penurunan penerimaan pajak tahun ini. “Makanya kenapa pajak saya tahun ini turun, karena bea restitusi cukup besar,” jelasnya. (alf)

DJP Kembali Imbau Wajib Pajak Waspada Penipuan Bermodus Coretax dan Pengalihan Akun Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengeluarkan imbauan resmi melalui pengumuman PENG-50/PJ.09/2025 sebagai respons atas meningkatnya kasus penipuan yang mengatasnamakan DJP di tengah percepatan aktivasi akun Coretax DJP. Masyarakat diminta meningkatkan kewaspadaan dan hanya memercayai informasi serta layanan melalui kanal resmi pemerintah.

Dalam imbauan tersebut, DJP menegaskan bahwa pelaku penipuan kini semakin agresif memanfaatkan proses aktivasi Coretax untuk mengelabui wajib pajak. Sejumlah modus yang kerap digunakan antara lain:

1. Menghubungi korban melalui telepon, pesan singkat, atau media digital sambil mengaku sebagai pihak DJP;

2. Menawarkan bantuan aktivasi Coretax, termasuk pembuatan kode otorisasi atau sertifikat elektronik (KO/SE), serta meminta akses ke akun wajib pajak;

3. Meminta OTP, kata sandi, atau passphrase dengan dalih proses migrasi data ke M-Pajak;

4. Mengirim tautan palsu yang menyerupai situs resmi DJP guna mencuri data atau mengakses perangkat wajib pajak.

DJP menekankan bahwa petugas resmi tidak pernah meminta OTP, kata sandi, passphrase, ataupun akses perangkat pribadi. Aktivasi akun hanya dilakukan melalui situs resmi Coretax, sementara informasi lengkap tersedia di https://t.kemenkeu.go.id/akuncoretax.

Sebagai langkah perlindungan, DJP mengimbau wajib pajak untuk menjaga kerahasiaan data pribadi, tidak membuka tautan yang mencurigakan, serta segera melaporkan setiap bentuk dugaan penipuan. Otoritas pajak menyediakan sejumlah kanal aduan, antara lain:

Kanal DJP:

• Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat

• Kring Pajak 1500200

• Email: pengaduan@pajak.go.id / informasi@pajak.go.id

• Akun X: @kring_pajak

• Situs pengaduan: https://pengaduan.pajak.go.id

• Live chat melalui www.pajak.go.id

Kanal Kementerian Komunikasi dan Digital:

• Pelaporan nomor telepon penipu: https://aduannomor.id

• Pelaporan tautan/konten/aplikasi penipuan: https://aduankonten.id

Kanal Penegak Hukum:

Masyarakat dapat melapor kepada kepolisian atau aparat hukum terkait jika menerima panggilan, pesan, atau tautan yang berindikasi penipuan.

DJP menutup imbauannya dengan mengingatkan bahwa kewaspadaan wajib pajak sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan akun perpajakan dan menjaga keamanan data di tengah proses modernisasi sistem pajak nasional. (alf)

Ketum IKPI Tegaskan Peran Konsultan Pajak dalam Mendorong Emiten Tumbuh Berkelanjutan

IKPI, Jakarta: Ketua Umum (Ketum) Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menegaskan bahwa profesi konsultan pajak memegang peran strategis dalam menjaga keberlanjutan pertumbuhan emiten, terutama di tengah meningkatnya dinamika pasar modal dan meningkatnya minat perusahaan untuk melantai di bursa. Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam kegiatan kolaboratif antara IKPI dan Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) yang digelar secara dari, Rabu (10/12/2025).

Dalam sambutannya, Vaudy menunjukkan apresiasi kepada AEI dan menegaskan bahwa forum ini bukan sekadar pertemuan seremonial, melainkan ruang untuk memperkuat ekosistem usaha secara menyeluruh. Ia menjelaskan bahwa perkembangan pasar modal tidak dapat dibaca secara parsial.

Menurutnya, proses bisnis emiten, termasuk perjalanan menuju Initial Public Offering (IPO), sangat dipengaruhi oleh kepastian perpajakan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kesehatan keuangan perusahaan.

Dengan demikian, konsultan pajak memiliki peran penting dalam menjembatani pemahaman antara regulasi pemerintah, kebutuhan dunia usaha, dan ekspektasi investor. Di tengah regulasi pajak yang terus berkembang, kehadiran konsultan pajak menjadi penentu bagi perusahaan agar tidak salah langkah dalam menyikapi kewajiban perpajakannya.

“Situasi ekonomi dan proses bisnis emiten di Indonesia tidak berdiri sendiri. Perpajakan adalah bagian dari perjalanan mereka. Konsultan pajak hadir untuk memastikan setiap keputusan bisnis dipahami konsekuensi pajaknya secara tepat, sehingga emiten dapat tumbuh secara sehat dan berkelanjutan,” ujar Vaudy.

Ia menambahkan bahwa kemampuan konsultan pajak untuk menerjemahkan kompleksitas aturan menjadi langkah-langkah praktis menjadikan profesi ini sangat dibutuhkan, terutama pada saat perusahaan bersiap memasuki pasar modal. Sejumlah perusahaan yang tengah gencar mengejar IPO membutuhkan pendampingan yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga strategis.

Vaudy mencermati bahwa meningkatnya pembukaan Kantor Perwakilan Operasional (KPO) baru dan pertumbuhan jumlah emiten menunjukkan bahwa bursa sedang bergerak cepat. Pergerakan cepat ini, menurutnya, harus diimbangi dengan kepastian perpajakan agar emiten tidak terjebak pada risiko kepatuhan yang dapat menghambat pertumbuhan jangka panjang.

“Ketika perpajakan dipahami dengan baik, risiko turun, kepercayaan meningkat, dan perusahaan mampu bertahan dalam persaingan yang semakin ketat. Inilah kontribusi nyata yang diberikan konsultan pajak bagi emiten,” lanjutnya.

Vaudy juga menyoroti perlunya sinergi berkelanjutan antara IKPI dan AEI sebagai dua organisasi yang berada dalam satu ekosistem yang sama, yakni ekosistem pertumbuhan usaha.

Melalui kegiatan bersama seperti ini, kedua organisasi dapat bertukar gagasan, membahas perubahan regulasi terkini, dan memadukan sudut pandang bisnis serta perpajakan untuk menghasilkan pemahaman yang lebih komprehensif.

Ia menegaskan bahwa IKPI terbuka untuk terus memperluas kolaborasi dengan asosiasi profesi lain, terutama yang terlibat dalam proses pembentukan tata kelola perusahaan, audit, dan manajemen risiko. Semakin banyak pihak yang saling memahami fungsi dan proses bisnis masing-masing, semakin solid pula fondasi pertumbuhan usaha Indonesia.

“Acara seperti ini bukan hanya tentang berbagi materi, tetapi menyambungkan pengetahuan yang sebelumnya terpisah. Ketika dunia usaha dan perpajakan saling memahami, kita menghadirkan ruang bagi emiten untuk tidak sekadar tumbuh, tetapi tumbuh berkelanjutan,” ujarnya.

Vaudy berharap kegiatan serupa dapat terus dilaksanakan agar konsultan pajak, emiten, dan asosiasi profesi lainnya bergerak dalam pemahaman yang sama. Dengan perpajakan yang jelas dan proses bisnis yang dipahami menyeluruh, ia yakin perusahaan Indonesia akan semakin siap menghadapi persaingan global dan memperkuat kepercayaan investor. (bl)

Misbakhun Dukung Bea Keluar Emas 2026 untuk Perkuat Hilirisasi dan Ekosistem Keuangan Nasional

IKPI, Jakarta: Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mendukung penuh kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang mulai 2026 akan mengenakan bea keluar emas dengan tarif 7,5–15 persen, bergantung pada harga referensi dan jenis emas yang diekspor. Ia menilai langkah tersebut penting untuk menghentikan praktik ekspor emas mentah atau setengah jadi yang selama ini tidak memberikan nilai tambah maksimal bagi perekonomian.

“Indonesia tidak boleh terus-menerus menjadi pemasok bahan mentah. Hilirisasi emas adalah agenda jangka panjang untuk memperkuat sektor industri dan keuangan nasional,” ujar Misbakhun dalam keterangan tertulis, Rabu (10/12/2025).

Menurutnya, pengenaan bea keluar akan mendorong pelaku usaha memindahkan proses pemurnian dan pengolahan ke dalam negeri. Dengan disinsentif ekspor setengah jadi, rantai nilai emas diharapkan semakin terintegrasi mulai dari pertambangan hingga produksi emas batangan dan perhiasan berstandar internasional. “Integrasi ini penting agar posisi tawar Indonesia meningkat di pasar global yang selama ini didominasi negara-negara pemurni,” tuturnya.

Misbakhun juga menilai hilirisasi emas harus berjalan beriringan dengan penguatan ekosistem keuangan berbasis komoditas. Ia menyebut pembentukan bank emas sebagai elemen penting untuk menambah likuiditas pasar domestik dan memperkuat cadangan devisa. Menurutnya, emas memiliki fungsi ganda sebagai komoditas dan instrumen keuangan sehingga menjaga pasokan dalam negeri menjadi kunci dalam memperkuat pasar keuangan nasional.

Dari sisi regulasi, Misbakhun meminta pemerintah memastikan aturan teknis bea keluar disusun jelas, konsisten, dan akuntabel. Kepastian hukum menjadi syarat bagi pelaku industri untuk menambah kapasitas pemurnian maupun berinvestasi pada fasilitas pengolahan. Selain itu, ia mengingatkan agar pengawasan perdagangan emas diperketat untuk mencegah penyimpangan seperti under-invoicing, manipulasi kadar, dan penyelundupan. “Kelemahan pengawasan akan langsung menggerus manfaat kebijakan ini,” tegasnya.

Kebijakan bea keluar emas diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80 Tahun 2025. Ketentuan tersebut mewajibkan ekspor hanya untuk emas dengan kadar minimal 99 persen dan telah diverifikasi melalui Laporan Surveyor. Pemerintah memperkirakan kebijakan ini dapat menambah penerimaan negara sekitar Rp3 triliun per tahun sekaligus memperkuat pasokan emas bagi industri dan sektor keuangan domestik sebagai bagian dari strategi hilirisasi mineral nasional. (alf)

Pusat–Jabar Perkuat Ketahanan Pangan dan Fiskal Jelang Natal–Tahun Baru 2026

IKPI, Jakarta: Menjelang penutupan tahun 2025, pemerintah pusat bersama Pemerintah Provinsi Jawa Barat mulai merapatkan barisan untuk menghadapi tantangan ekonomi akhir tahun. Fokus utama diarahkan pada ketahanan pangan dan penguatan tata kelola fiskal daerah, terutama menghadapi potensi lonjakan harga yang biasanya muncul pada periode Natal dan Tahun Baru—yang kali ini diperburuk oleh ancaman cuaca basah ekstrem.

Meski pemerintah menilai fundamental ekonomi nasional masih solid, tekanan musiman di akhir tahun dinilai membutuhkan langkah yang lebih taktis dan responsif. Lonjakan permintaan masyarakat, gangguan distribusi akibat cuaca, serta potensi fluktuasi pasokan komoditas pangan disebut sebagai kombinasi risiko yang tidak boleh disepelekan.

Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha BUMN Kemenko Perekonomian, Ferry Irawan, menegaskan bahwa periode ini adalah momentum pengujian efektivitas koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

“Kebijakan harus cepat, akurat, dan memberikan dampak langsung kepada masyarakat. Akhir tahun bukan sekadar rutinitas, tetapi ujian penting bagi ketahanan pangan dan inovasi kebijakan daerah,” ujar Ferry dalam High Level Meeting TPID dan TP2DD Jawa Barat di Kabupaten Garut, Rabu.

Ferry menjelaskan bahwa pemerintah kini bertumpu pada dua pilar utama:

1. Penguatan basis data neraca pangan untuk memetakan kebutuhan dan pasokan secara presisi.

2. Optimalisasi digitalisasi fiskal daerah, termasuk dorongan penggunaan Kartu Kredit Indonesia (KKI) untuk mempercepat realisasi belanja pemerintah.

Kedua pilar tersebut diharapkan dapat menjaga ritme konsumsi publik sekaligus memperkuat stabilitas harga di saat kritis.

Jawa Barat Jadi Faktor Penentu Inflasi Nasional

Sebagai provinsi dengan populasi terbesar di Indonesia, Jawa Barat memainkan peran strategis dalam menentukan arah inflasi nasional. Karena itu, pemerintah pusat memberi perhatian khusus terhadap dinamika pasokan dan permintaan komoditas di wilayah ini.

Wakil Gubernur Jawa Barat, Erwan Setiawan, mengingatkan jajarannya agar tidak terlena oleh capaian inflasi yang masih dalam batas target.

“Tekanan akhir tahun biasanya cepat muncul dan langsung mengena pada komoditas tertentu. Ketersediaan barang, kelancaran distribusi, dan komunikasi publik harus dijaga agar masyarakat tidak terbebani,” kata Erwan.

Ia juga meminta TPID dan TP2DD memperkuat koordinasi, terutama dalam memanfaatkan Kerja Sama Antar Daerah (KAD) sebagai mekanisme pengaman jika terjadi ketimpangan pasokan di suatu wilayah.

Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Barat menilai kebijakan stabilisasi akhir tahun ini akan menjadi fondasi penting memasuki tahun 2026. Upaya pemerintah dianggap krusial untuk menjaga daya beli masyarakat dari guncangan harga serta memperkuat ketahanan ekonomi daerah.

BI menekankan tiga prioritas yang harus diamankan seluruh pemangku kebijakan:

1. Menjaga stok pangan strategis,

2. Mengendalikan tarif transportasi,

3. Memitigasi risiko distribusi akibat cuaca ekstrem. (bl)

Mulai Oktober 2025, Akses e-Faktur Bisa Dihentikan: DJP Perketat Kepatuhan Pajak Lewat Coretax 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali memperkuat fondasi kepatuhan perpajakan nasional dengan menerapkan kebijakan baru yang mulai berlaku pada Oktober 2025. Melalui sistem Coretax 2025, DJP kini memiliki mekanisme untuk menonaktifkan akses pembuatan faktur pajak elektronik bagi pengusaha kena pajak (PKP) yang tidak memenuhi ketentuan pajak secara konsisten.

Langkah ini tertuang dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-19/PJ/2025, yang efektif diberlakukan pada 22 Oktober 2025, bertepatan dengan peluncuran sistem administrasi perpajakan terintegrasi Coretax 2025. Regulasi tersebut menjadi sinyal kuat bahwa era baru digitalisasi pajak tidak hanya berorientasi pada kemudahan, tetapi juga pada penegakan kepatuhan berbasis data otomatis.

Di sisi lain, DJP juga mengatur status NPWP non-aktif melalui PER-7/PJ/2025. Status ini melekat pada wajib pajak yang tidak lagi memenuhi syarat subjektif atau objektif, seperti menghentikan usaha, tidak memiliki penghasilan, tinggal di luar negeri, atau sedang menunggu proses penghapusan NPWP. Wajib pajak yang berstatus non-aktif dibebaskan dari kewajiban melaporkan SPT tahunan hingga statusnya kembali aktif.

Kedua aturan baru ini memperjelas arah kebijakan DJP: administrasi pajak harus sinkron, bersih, dan mencerminkan aktivitas ekonomi yang nyata, bukan sekadar formalitas pendaftaran.

Dalam PER-7/PJ/2025, terdapat sejumlah kategori wajib pajak orang pribadi yang berpotensi dinonaktifkan NPWP-nya. Mulai dari individu yang telah menutup usaha, tidak memiliki penghasilan, menggunakan NPWP hanya untuk kepentingan administratif, hingga mereka yang telah menjadi subjek pajak luar negeri karena tinggal lebih dari 183 hari di luar Indonesia. DJP juga berwenang menetapkan non-aktif secara jabatan bagi wajib pajak yang tidak menyampaikan SPT selama dua tahun, memiliki alamat fiktif, atau tidak memenuhi ketentuan administrasi pendaftaran.

Sementara itu, bagi pelaku usaha, risiko yang dihadapi lebih signifikan. PER-19/PJ/2025 memungkinkan DJP memblokir akses e-Faktur apabila PKP tidak menyampaikan SPT masa PPN selama tiga bulan berturut-turut, tidak melaporkan SPT tahunan PPh setelah jatuh tempo, atau tidak melakukan pemotongan dan pemungutan pajak selama tiga bulan.

Dampaknya tidak main-main. Tanpa akses e-Faktur, perusahaan tidak dapat menerbitkan faktur pajak, yang pada akhirnya menghambat proses penagihan, memperlambat arus kas, bahkan berpotensi menghentikan operasional secara keseluruhan. Kebijakan ini diharapkan menjadi peringatan dini bagi PKP agar memperbaiki kepatuhan sebelum terkena pembatasan sistem.

Meski demikian, aturan non-aktif NPWP justru memberi ruang bagi individu yang memang sudah tidak memiliki kegiatan ekonomi. Dengan status non-aktif, mereka tidak lagi dibebani kewajiban SPT. Namun, bagi pelaku usaha, penyelarasan data dan kepatuhan berkala menjadi kunci agar aktivitas tetap berjalan tanpa gangguan.

DJP memberikan sejumlah langkah pencegahan agar wajib pajak terhindar dari status non-aktif maupun pemblokiran akses faktur. Mulai dari menyampaikan seluruh SPT tepat waktu, melunasi kewajiban pajak, memperbarui data identitas dan alamat di Coretax, hingga segera mengajukan klarifikasi ke kantor pajak apabila terjadi penonaktifan akses e-Faktur yang tidak sesuai.

Penerapan PER-19/PJ/2025 dan PER-7/PJ/2025 menunjukkan bahwa digitalisasi perpajakan bukan sekadar transformasi teknologi, tetapi juga transformasi perilaku. Dengan sistem yang semakin transparan dan terintegrasi, DJP memastikan setiap aktivitas perpajakan memiliki rekam jejak yang dapat dipantau secara otomatis. Bagi wajib pajak, memahami aturan ini menjadi langkah penting agar tidak terkena status non-aktif maupun pemblokiran akses faktur di era Coretax 2025. (alf)

Pemkot Bekasi Siapkan Aturan Baru: Kendaraan Menunggak Pajak Terancam Tak Bisa Masuk Area Perkantoran

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi mulai menyiapkan aturan pembatasan akses bagi kendaraan yang belum membayar pajak untuk memasuki kawasan perkantoran pemerintah. Kebijakan ini masih dalam tahap sosialisasi, namun diarahkan menjadi langkah penertiban yang lebih tegas bagi aparatur dan tamu yang keluar-masuk lingkungan Pemkot Bekasi.

Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, menjelaskan bahwa tahap awal kebijakan ini baru berupa penyampaian informasi kepada pegawai dan masyarakat. Ia menegaskan bahwa dalam penerapannya nanti, pemeriksaan dan penindakan dapat melibatkan kepolisian.

“Untuk aturan itu masih tindakan awal yang bentuknya sosialisasi. Mungkin Pak Kapolres nanti akan melakukan tindakan yang lebih represif,” kata Tri, Rabu (10/12/2025).

Tri menyampaikan bahwa apabila kebijakan ini diberlakukan penuh, seluruh kendaraan yang memasuki kawasan perkantoran Pemkot Bekasi akan diwajibkan menjalani pemeriksaan STNK, terutama terkait masa berlaku pajak kendaraan. Pemeriksaan dilakukan untuk memastikan setiap kendaraan memenuhi kewajiban pajaknya.

“Kami mulai dari sosialisasi. Tahap berikutnya kami evaluasi satu minggu ke depan apakah efektif. Kami juga menunggu dukungan dari Pak Kapolres beserta jajarannya karena yang berwenang melakukan pemeriksaan adalah pihak kepolisian,” ujarnya.

Gagasan pembatasan akses ini muncul setelah pemerintah menemukan bahwa tidak sedikit aparatur Pemkot Bekasi belum melunasi pajak kendaraan pribadi. Kondisi tersebut dinilai bertentangan dengan upaya pemerintah meningkatkan pendapatan daerah dari sektor pajak, sehingga keteladanan harus dimulai dari internal pemerintahan.

“Disinyalir justru banyak pegawai kami yang belum membayar pajak. Keteladanan harus dimulai dari aparatur pemerintah, apalagi kami sedang gencar meningkatkan pendapatan daerah,” ucap Tri.

Pemkot Bekasi akan mengevaluasi masa sosialisasi selama satu pekan. Jika dinilai tidak efektif, tahapan penindakan akan mulai dilakukan bekerja sama dengan kepolisian. Pemeriksaan STNK di lingkungan kantor pemerintah diharapkan mampu menekan tunggakan pajak sekaligus meningkatkan kedisiplinan aparatur sebagai contoh bagi masyarakat. (alf)

en_US