DJP Ungkap 463 Wajib Pajak Terindikasi Gunakan Modus Penghindaran

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kembali menguak temuan besar terkait dugaan penghindaran pajak oleh ratusan wajib pajak. Setelah penelusuran lanjutan, jumlah entitas yang dicurigai terlibat melonjak menjadi 463 wajib pajak.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyebutkan bahwa temuan terbaru ini memperluas identifikasi terhadap wajib pajak yang diduga melakukan rekayasa transaksi untuk mengurangi kewajiban perpajakan mereka.

“Awalnya 282 wajib pajak yang terdeteksi. Setelah pendalaman, dugaan meningkat menjadi 463 wajib pajak. Ini masih dugaan, tetap kita menjunjung presumption of innocence,” ujar Bimo dalam Media Gathering di Bali, dikutip Selasa (25/11/2025).

Modus-Modus Penghindaran 

DJP mengidentifikasi sejumlah skema yang diduga digunakan oleh para wajib pajak, di antaranya:

• penghindaran pungutan ekspor,

• pengabaian kewajiban domestic market obligation (DMO),

• penundaan atau pengelakan pajak dalam negeri,

• indikasi praktik dividen terselubung.

Temuan ini memperluas laporan sebelumnya, ketika DJP mengidentifikasi 282 wajib pajak yang diduga memanipulasi nilai ekspor, terdiri atas:

• 257 wajib pajak dengan modus POME (periode 2021–2024) dengan nilai PEB Rp 45,9 triliun, serta

• 25 wajib pajak dengan modus Fatty Matter sepanjang 2025 dengan nilai PEB Rp 2,08 triliun.

Akibat praktik underinvoicing Fatty Matter, DJP menghitung potensi kerugian negara pada 2025 mencapai Rp 140 miliar. Anomali ini awalnya terdeteksi dari lonjakan ekspor Fatty Matter ke Tiongkok yang tidak sebanding dengan nilai pelaporan.

Empat perusahaan mulai diperiksa

Sebagai langkah pendalaman, DJP kini melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan (Bukper) terhadap:

• PT MMS,

• PT LPMS,

• PT LPMT, dan

• PT SUNN.

Pemeriksaan berlangsung untuk memastikan kebenaran nilai transaksi dan kepatuhan perpajakan perusahaan-perusahaan tersebut. Hasilnya akan menjadi dasar untuk menentukan apakah kasus akan ditingkatkan ke tahap penyidikan.

Penegakan hukum multi-lembaga

Bimo menegaskan bahwa DJP menerapkan pendekatan multi-door dalam penanganan kasus, dengan menggandeng:

• Satgassus OPN Polri,

• Kejaksaan Agung, dan

• Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Tujuan akhirnya bukan hanya pemulihan kerugian negara, tetapi juga memastikan adanya efek jera agar praktik ini tidak berulang,” tegas Bimo. (alf)

Dirjen Pajak Sebut 104 Pengemplang Sudah Cicil Utang, Pemerintah Aktif Lakukan Penagihan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mulai memetik hasil dari langkah penagihan aktif terhadap para pengemplang pajak. Hingga 19 November 2025, sebanyak 104 penunggak pajak telah melakukan pembayaran cicilan utang dengan total mencapai Rp 11,48 triliun, menambah kekuatan penerimaan negara di penghujung tahun.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menegaskan bahwa proses penagihan tidak berhenti hanya pada penyetoran awal. Pemerintah akan terus mengawal sisa kewajiban para penunggak hingga lunas, termasuk membeberkan usia tunggakan masing-masing wajib pajak kepada DPR.

“Kami akan sampaikan secara detail, termasuk usia utangnya,” ujar Bimo dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senin, 24 November 2025.

Menurut Bimo, 104 wajib pajak tersebut merupakan bagian dari 201 penunggak terbesar di Indonesia. Pemerintah menempuh berbagai langkah persuasif maupun represif melalui penagihan aktif, penyitaan aset, pemblokiran rekening, hingga pembekuan izin usaha jika diperlukan.

Upaya tersebut dilakukan tidak hanya oleh DJP, melainkan melalui sinergi antara jajaran eselon I Kemenkeu, lembaga jasa keuangan, dan aparat penegak hukum. Untuk kasus yang tersangkut perkara hukum, DJP berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, termasuk Jamdatun dan Badan Pemulihan Aset, guna memastikan proses hukum dan pemulihan kerugian negara berjalan bersamaan.

Pemerintah menargetkan Rp 50–60 triliun dari sekitar 200 pengemplang pajak. Untuk tahun 2025, realisasi yang diincar berada di kisaran Rp 20 triliun, sehingga penagihan akan terus digencarkan hingga akhir tahun.

Bimo juga menegaskan bahwa pelaksanaan penegakan hukum tidak hanya menyasar wajib pajak yang masih tercatat aktif, agar tidak memunculkan anggapan “berburu di kebun binatang.” DJP dipastikan memperluas basis pajak melalui penguatan data, digitalisasi platform perpajakan, dan pelacakan transaksi elektronik.

Ia menambahkan, pendekatan multi-doors akan diterapkan untuk kasus berat, menggabungkan pidana perpajakan, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana pencucian uang guna memberikan efek jera yang lebih kuat. (alf)

Kanwil DJP Jakarta Barat Gelar Lelang Eksekusi, Belasan Barang Sitaan Pajak Siap Ditawarkan ke Publik

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Barat bersiap melaksanakan “Lelang Eksekusi” atas belasan aset sitaan milik penunggak pajak. Agenda ini dijadwalkan berlangsung pada Rabu, 26 November 2025 dan seluruh proses dilakukan secara daring melalui situs resmi lelang.go.id, sehingga bisa diikuti masyarakat dari berbagai daerah tanpa harus hadir secara fisik.

Kepala Kanwil DJP Jakarta Barat, Farid Bachtiar, menegaskan bahwa pelaksanaan lelang merupakan tindak lanjut dari penelusuran dan penyitaan aset atas wajib pajak yang menunggak kewajiban. Barang-barang yang akan dilelang berasal dari hasil penagihan aktif di tujuh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di bawah koordinasi wilayah Jakarta Barat.

“Lelang ini menjadi bentuk penegakan hukum pajak yang tegas, efektif, dan terukur. Aset yang telah disita akan ditawarkan kepada publik melalui mekanisme lelang resmi negara,” jelas Farid. Menurutnya, langkah itu menunjukkan konsistensi pemerintah dalam memastikan keadilan fiskal serta meningkatkan kedisiplinan wajib pajak.

Lelang Eksekusi Serentak, Transparan, dan Terbuka untuk Umum

Kegiatan ini diselenggarakan bersamaan di seluruh Kanwil DJP se-Jakarta, di bawah koordinasi Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) DKI Jakarta. Kanwil DJP Jakarta Barat akan melelang 17 objek barang bergerak, seluruhnya dijual dalam kondisi “apa adanya”, sehingga peserta bisa menilai barang secara transparan dan objektif.

Sistem open bidding online diterapkan untuk memberikan keadilan dan keterbukaan dalam menentukan pemenang lelang. Peserta cukup melakukan registrasi dan mengikuti penawaran secara real time di platform lelang.go.id, tanpa harus datang ke kantor pemerintah.

Langkah digitalisasi lelang ini diharapkan bukan hanya memberikan kemudahan bagi masyarakat, tetapi juga memperkuat integritas dan akuntabilitas proses penyelesaian piutang pajak.

Lelang menjadi salah satu instrumen penting dalam rangkaian penagihan aktif utang pajak. Farid menegaskan bahwa penegakan hukum seperti ini penting untuk memastikan keadilan dalam sistem perpajakan, di mana wajib pajak patuh tidak terbebani akibat ulah mereka yang tidak memenuhi kewajiban.

Selain berdampak pada peningkatan kepatuhan pajak, hasil lelang nantinya langsung masuk ke kas negara sebagai kontribusi terhadap pembiayaan pembangunan dan program pemerintah.

“Kami berharap tindakan ini mampu memberikan efek jera kepada penunggak pajak dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melaksanakan kewajiban perpajakan,” kata Farid.

Dengan berbagai upaya penegakan hukum, edukasi, dan pemanfaatan teknologi, DJP menargetkan terciptanya ekosistem perpajakan yang lebih sehat, transparan, dan berkeadilan. (alf)

Kartu Anggota IKPI Beri Manfaat Nyata: Paulus Gunawan Dapat Potongan Harga di Hotel Swiss-Bel

IKPI, Makassar: Manfaat kartu anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali terbukti bukan sekadar identitas profesi. Pengurus Pusat IKPI Tjhia Paulus Gunawan membagikan pengalaman menariknya saat memanfaatkan kartu anggota IKPI untuk mendapatkan harga spesial di Hotel Swiss-Bel, Makassar.

Paulus menceritakan, sepulang kegiatan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Makassar pada Senin (24/11/2025), ia memutuskan menginap di Hotel Swiss-Bel. Saat melakukan reservasi, ia hanya menunjukkan kartu anggota IKPI di resepsionis—dan langsung mendapat corporate rate Rp 770.000, jauh lebih rendah dari harga publik Rp 1.150.000.

“Cukup tunjukkan kartu anggota IKPI, tanpa syarat tambahan. Langsung diberikan corporate rate. Ini bukti nyata manfaat keanggotaan IKPI,” ujar Paulus.

Paulus menegaskan bahwa keuntungan seperti ini sangat membantu konsultan pajak yang sering bepergian ke luar kota untuk urusan pekerjaan maupun pembinaan wajib pajak. Menurutnya, kerja sama IKPI dengan berbagai mitra sudah menjadi nilai tambah yang terasa langsung bagi para anggota.

“Kita sering diskusi manfaat organisasi secara teori. Tapi ketika manfaatnya bisa langsung dirasakan, seperti potongan harga hotel ini, rasa bangganya luar biasa. Jadi anggota IKPI memang memberikan privilege,” tambahnya.

Paulus berharap makin banyak anggota IKPI memanfaatkan fasilitas dan kerja sama yang sudah dibangun organisasi dengan berbagai pihak — mulai dari perhotelan, pendidikan, kesehatan, hingga layanan profesional lain.

Ke depannya, IKPI terus berupaya menambah daftar mitra yang memberikan benefit bagi anggota. Pengalaman Paulus ini kembali menegaskan bahwa kartu anggota IKPI bukan sekadar simbol keanggotaan, melainkan akses nyata untuk kemudahan dan kenyamanan profesi. (bl)

Vaudy Starworld Apresiasi Presiden AOTCA Ruston Tambunan dan Ajak Anggota Ramaikan AOTCA 2026 di Hong Kong

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld menyampaikan ucapan selamat dan apresiasi kepada Presiden Asia-Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA) Ruston Tambunan atas suksesnya penyelenggaraan AOTCA 2025 di Nepal. Ia menyebut Ruston berhasil menghadirkan konferensi yang tidak hanya terorganisasi dengan baik, tetapi juga memberikan wadah diskusi yang konstruktif bagi para profesional pajak dari berbagai negara.

“Atas nama IKPI, kami mengucapkan selamat kepada Presiden AOTCA, Pak Ruston, atas terselenggaranya AOTCA di Nepal berjalan sukses dari awal hingga akhir,” ujar Vaudy.

Menurutnya, keberhasilan penyelenggaraan tersebut mencerminkan kemampuan Ruston dalam memimpin AOTCA serta memperkuat kolaborasi antarnegara di bidang perpajakan.

Konferensi internasional yang berlangsung selama tiga hari tersebut mendapat partisipasi luas dari delegasi berbagai organisasi konsultan pajak di Asia dan Oseania. 

Topik-topik strategis seperti transaksi lintas negara, digitalisasi ekonomi, transparansi sistem perpajakan, dan peningkatan kepatuhan menjadi pembahasan penting dalam forum tersebut. Vaudy menilai kehadiran AOTCA sangat relevan karena dunia kini menghadapi lanskap perpajakan global yang semakin dinamis, menuntut kolaborasi lintas yurisdiksi.

Selain memberi apresiasi atas penyelenggaraan AOTCA di Nepal, Vaudy juga mengajak seluruh anggota IKPI untuk kembali berpartisipasi pada AOTCA 2026 yang dijadwalkan diselenggarakan pada minggu kedua November di Hong Kong. Ia menilai konferensi tersebut menjadi peluang yang sangat berharga bagi konsultan pajak Indonesia untuk memperluas wawasan, kompetensi, serta jaringan profesional antarnegara.

“Ini kesempatan penting, bukan hanya untuk menghadiri konferensi, tetapi juga untuk menjalin lebih banyak relasi internasional. Kami mendorong anggota IKPI untuk hadir, sekaligus memanfaatkan momentum untuk berwisata,” ujarnya.

Vaudy menegaskan bahwa partisipasi IKPI dalam agenda internasional akan terus ditingkatkan, sejalan dengan visi organisasi untuk menyiapkan konsultan pajak Indonesia yang semakin kompeten dan mampu bersaing secara global.

Menurutnya, semakin banyak anggota yang aktif mengikuti forum internasional, semakin besar pula manfaat yang bisa dibawa pulang untuk pengembangan profesi di dalam negeri.

“Kami berharap antusiasme untuk AOTCA 2026 semakin tinggi. Mari bersama-sama menunjukkan bahwa konsultan pajak Indonesia siap berperan dalam ekosistem perpajakan internasional,” tegas Vaudy. (bl)

Dirjen Pajak Respons Fatwa MUI Soal PBB: Kebijakan Ada di Pemerintah Daerah

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, angkat bicara terkait fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa pemungutan pajak atas bumi dan bangunan yang dihuni tidak layak dilakukan secara berulang. Menurutnya, kewenangan pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) saat ini sudah berada sepenuhnya pada pemerintah daerah.

“PBB itu secara undang-undang sudah diserahkan ke daerah. Jadi soal kebijakan, tarif, kenaikan dasar, maupun pengenaan semuanya menjadi kewenangan daerah,” ujar Bimo saat ditemui di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025).

Meski PBB berada di ranah pemda, Bimo memastikan pihaknya tidak menutup dialog dengan MUI. Ia menjelaskan, apa yang disoroti MUI lebih dekat dengan skema PBB-P2 atau PBB Perdesaan dan Perkotaan, bukan PBB sektor lainnya yang masih ditangani Direktorat Jenderal Pajak.

“Kami sebenarnya sudah berdiskusi sebelumnya dengan MUI. Nanti kita akan tabayun lagi karena yang dimaksud itu PBB-P2 — perdesaan, perkotaan, pemukiman — itu di daerah. Di DJP hanya PBB terkait kelautan, perikanan, pertambangan, dan kehutanan,” paparnya.

Fatwa MUI Soal Keadilan Pajak

Sebelumnya, Ketua Komisi Fatwa SC Munas XI MUI, Prof. KH Asrorun Ni’am Sholeh, menyampaikan fatwa bertajuk Pajak Berkeadilan. Fatwa tersebut menegaskan bahwa bumi dan bangunan yang menjadi tempat tinggal tidak layak dikenai pajak berulang, terutama dalam konteks kenaikan PBB yang dinilai tidak proporsional hingga membuat masyarakat resah.

“Fatwa ini diharapkan menjadi solusi untuk perbaikan regulasi,” ujar Prof Ni’am melalui situs resmi MUI.

Guru Besar Ilmu Fikih UIN Jakarta itu menambahkan, dalam perspektif hukum Islam, objek pajak seharusnya dikenakan terhadap harta yang produktif dan tidak tergolong kebutuhan pokok. Karena itu, pungutan terhadap sembako, rumah tinggal, serta tanah tempat dihuni dinilai tidak sejalan dengan prinsip keadilan dan tujuan pajak.

Pemerintah dan MUI kini berada pada jalur dialog. DJP menegaskan dukungannya terhadap diskusi yang bertujuan menciptakan sistem pajak yang berkeadilan, seraya menekankan bahwa perubahan mekanisme dan tarif PBB membutuhkan keterlibatan pemerintah daerah sebagai pemegang kewenangan.

Dengan meningkatnya sensitivitas publik terhadap kenaikan PBB, komunikasi regulatif antara pusat, daerah, dan lembaga keagamaan diperkirakan menjadi faktor penting untuk memastikan kebijakan perpajakan dapat diterima masyarakat tanpa menghilangkan fungsi penerimaan negara. (alf)

Kontribusi Pajak Sektor Pertambangan Turun ke 11,4%, DJP Soroti Tekanan di Subsektor Migas

IKPI, Jakarta: Kontribusi sektor pertambangan terhadap penerimaan perpajakan nasional mengalami penurunan pada Oktober 2025. Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, menyebutkan bahwa meski koreksinya tipis, pelemahan di sektor tersebut tetap menjadi perhatian pemerintah.

Bimo memaparkan bahwa penerimaan pajak dari sektor pertambangan per Oktober 2025 mencapai Rp205,7 triliun, turun 0,7% dibandingkan Rp207,1 triliun pada periode yang sama tahun lalu. Penurunan itu membuat kontribusi sektor pertambangan melemah menjadi 11,4% terhadap total penerimaan pajak nasional.

“Kontribusi sektor pertambangan masih terbilang besar, namun memang mengalami penurunan ke angka 11,4%,” ujar Bimo, Senin (24/11/2025).

Migas Jadi Penyebab Terbesar

Penurunan ini terutama disebabkan oleh melemahnya subsektor minyak dan gas (migas). Kontribusi pajak subsektor tersebut terkoreksi 0,5% pada Oktober 2025. Dampaknya dipicu oleh penurunan harga minyak mentah dunia, di mana harga minyak jenis Brent turun sekitar 4%, sehingga memengaruhi kinerja perusahaan migas dan penerimaan pajaknya.

Selain itu, subsektor jasa penunjang pertambangan, nikel, dan batu bara juga mengalami perlambatan, meski tidak sedalam sektor migas. Di sisi lain, subsektor pertambangan nonmigas masih mampu tumbuh 2,2%, sehingga turut meredam penurunan secara keseluruhan.

Meski pertambangan melemah, kontribusi dari sektor ekonomi lainnya justru menunjukkan tren positif. Sektor pengolahan, yang menjadi penyumbang pajak terbesar secara nasional, tumbuh 2,3% hingga mencatatkan penerimaan Rp502,3 triliun per Oktober 2025. Sementara sektor aktivitas keuangan berhasil mencatatkan pertumbuhan 5,1% dengan nilai penerimaan mencapai Rp207,5 triliun.

Kenaikan dua sektor tersebut berperan penting dalam menjaga stabilitas penerimaan pajak di tengah perlambatan sektor pertambangan. (alf)

Vaudy Starworld Ucapkan Selamat kepada Delegasi IKPI di AOTCA Nepal: Dua Pengurus Pusat Jadi Narasumber Internasional

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld menyampaikan apresiasi sekaligus ucapan selamat kepada seluruh delegasi IKPI yang telah berpartisipasi dalam ajang Asia-Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA) 2025 di Nepal. Delegasi tersebut dipimpin oleh Wakil Ketua Umum IKPI, Nuryadin Rahman bersama jajaran anggota serta pengurus pusat, pengurus daerah, hingga pengurus cabang.

Vaudy menegaskan bahwa perjalanan IKPI ke Nepal bukan sekadar menghadiri pertemuan tahunan organisasi konsultan pajak Asia–Oseania, tetapi membawa misi diplomasi perpajakan Indonesia di tingkat internasional. Kehadiran IKPI disebutnya sebagai bukti kontribusi profesi konsultan pajak nasional dalam percakapan global mengenai arah kebijakan perpajakan.

Kebanggaan IKPI semakin lengkap setelah dua pengurus pusat dipercaya sebagai narasumber internasional dalam sesi utama konferensi.

Pada forum tersebut, Ketua Departemen Hubungan Internasional IKPI David Tjhai memaparkan materi berjudul “Challenges and Opportunities of International Tax Cooperation in the Digital Economy”, sementara Wakil Ketua Departemen Hubungan Internasional IKPI Ichwan Sukardi membawakan tema “Strengthening Tax Compliance Through Global Transparency and Information Exchange”.

Kedua pemaparan tersebut mendapatkan apresiasi dari peserta konferensi karena dinilai relevan dengan dinamika global, terutama terkait digitalisasi ekonomi dan pertukaran informasi perpajakan lintas negara.

“Kami bangga karena delegasi IKPI bukan hanya hadir sebagai peserta, tetapi juga memberikan kontribusi nyata dalam kapasitas keilmuan. Ini menegaskan posisi IKPI dalam ekosistem perpajakan internasional,” ujar Vaudy, Senin (24/11/2025).

Ia berharap partisipasi aktif IKPI di AOTCA dapat terus diperkuat untuk membuka peluang kolaborasi internasional dan meningkatkan kompetensi konsultan pajak Indonesia agar mampu menjawab tantangan global. (bl)

MUI Desak Evaluasi Pajak Progresif PKB dan PBB: Keadilan Wajib Pajak Harus Jadi Prioritas Negara

IKPI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa sistem perpajakan nasional harus diarahkan kembali pada prinsip keadilan dan kemampuan wajib pajak. Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh, mengatakan beban pajak progresif yang semakin tinggi telah menimbulkan kekhawatiran masyarakat dan dapat menjauhkan sistem perpajakan dari tujuan kesejahteraan.

“MUI merekomendasikan agar beban perpajakan dikaji ulang, khususnya pajak progresif yang nilainya dirasakan terlalu besar,” ujar Asrorun dalam Munas XI MUI di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, pemerintah sering melakukan penyesuaian pajak tanpa analisis mendalam mengenai dampaknya terhadap masyarakat. Ia menyoroti beberapa jenis pajak yang dinilai berpotensi menimbulkan ketimpangan seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).

“Kemendagri dan pemerintah daerah harus mengevaluasi aturan berbagai pajak yang sering kali dinaikkan hanya untuk meningkatkan pendapatan daerah tanpa mempertimbangkan rasa keadilan,” tegasnya.

Asrorun mengingatkan bahwa pajak merupakan salah satu bentuk pengabdian masyarakat kepada negara, sehingga pemerintah harus memastikan bahwa wajib pajak tidak diperlakukan sebagai objek semata, melainkan sebagai mitra dalam pembangunan.

Ia menambahkan, keadilan pajak bukan hanya soal tarif, tetapi juga penggunaan anggaran. Pemerintah diminta memperkuat pengelolaan kekayaan negara, dan memastikan penerimaan perpajakan kembali kepada masyarakat dalam bentuk layanan publik yang nyata.

“Pemerintah harus mengoptimalkan sumber-sumber kekayaan negara dan menindak mafia pajak demi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

MUI menekankan bahwa reformasi perpajakan bukan sekadar teknis fiskal, tetapi termasuk dimensi etika pengelolaan negara. Ketika kepercayaan publik terbangun melalui penggunaan anggaran yang transparan dan tepat sasaran, kepatuhan pajak akan meningkat secara alami. (alf)

Pajak Daerah: MUI Tegaskan PBB dan Pajak Hunian Tak Boleh Bebani Kebutuhan Pokok

IKPI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pajak berkeadilan dalam Munas XI untuk menegaskan batasan moral dan etis dalam memungut pajak, terutama setelah banyak masyarakat mengeluhkan lonjakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan tagihan pajak hunian. Fatwa ini menjadi sinyal kuat agar kebijakan fiskal nasional tidak membebani kebutuhan pokok rakyat.

Ketua Bidang Fatwa MUI, Asrorun Niam Sholeh, menjelaskan bahwa pengenaan pajak tidak boleh dikenakan kepada sesuatu yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat. Hal itu termasuk sembako, rumah tinggal, serta tanah yang digunakan untuk tempat tinggal keluarga.

“Pungutan pajak terhadap sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok, seperti sembako dan rumah serta bumi yang kita huni, tidak mencerminkan keadilan dan tujuan pajak,” kata Asrorun, pada Munas XI MUI di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, dalam perspektif syariat Islam, pajak hanya dipungut dari pihak yang memiliki kemampuan finansial. Ia menambahkan bahwa kemampuan ini dapat dianalogikan dengan ketentuan nisab zakat, yakni kepemilikan kekayaan setara dengan 85 gram emas. Standar tersebut dinilai dapat menjadi rujukan filosofis ketika pemerintah menentukan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) atau kriteria objek pajak.

Ia menegaskan bahwa fatwa tersebut bukan dimaksudkan untuk mendorong penolakan pembayaran pajak, melainkan mengharapkan penyempurnaan tata kelola perpajakan agar tidak bertentangan dengan prinsip kesejahteraan masyarakat dan konstitusi.

“Masyarakat tetap wajib menaati pembayaran pajak bila digunakan untuk kemaslahatan umum,” ujarnya.

Melalui fatwa ini, MUI mendesak pemerintah dan DPR melakukan evaluasi terhadap ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berpotensi tidak berkeadilan. Ia menyebut perlunya penyelarasan antara regulasi fiskal dan nilai kemaslahatan, termasuk mekanisme perlindungan bagi masyarakat menengah ke bawah dari potensi beban pajak yang berlebihan.

Selain fatwa pajak berkeadilan, Munas XI juga menghasilkan beberapa fatwa lain, di antaranya ketentuan mengenai rekening bank dormant, status saldo pada kartu elektronik yang hilang atau rusak, pedoman pengelolaan sampah di perairan untuk kemaslahatan publik, serta fatwa mengenai manfaat asuransi kematian dalam Asuransi Jiwa Syariah.

Kelima fatwa tersebut memperlihatkan komitmen MUI untuk merespons isu-isu sosial kontemporer melalui perspektif syariat dan kemaslahatan publik. (alf)

en_US