Tunggakan Pajak Daerah: Antara Pemutihan dan Mandeknya Pembangunan

Pembangunan di daerah seringkali terhambat bukan semata karena keterbatasan anggaran pusat, tetapi karena potensi pendapatan asli daerah yang gagal digarap maksimal. Kota Bontang adalah contoh nyata.

Hingga akhir 2024, tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) mencapai Rp 55,24 miliar. Angka ini mencerminkan besarnya potensi yang hilang untuk membiayai pembangunan jalan, fasilitas publik, hingga program sosial yang sangat dibutuhkan masyarakat.

Lebih ironis lagi, tunggakan tersebut menumpuk sejak 2018 tanpa penyelesaian berarti. Validasi data objek pajak baru rampung di tiga kelurahan, sosialisasi manfaat PBB masih terbatas, pilihan metode pembayaran belum fleksibel, sementara sebagian warga justru terbiasa menunggu pemutihan. Alhasil, alih-alih mempercepat penerimaan, kebijakan pemutihan yang kerap diberlakukan justru menumbuhkan budaya menunda.

Kondisi ini seolah menjadi lingkaran setan: tunggakan menumpuk, pemutihan diumumkan, masyarakat menunda, pembangunan pun mandek. Padahal, pajak daerah sejatinya adalah kontrak sosial: warga membayar kewajiban, pemerintah mengembalikan dalam bentuk pembangunan.

Bontang tidak sendirian. Di berbagai daerah, masalah serupa dihadapi, namun strategi yang dipilih berbeda. Batam menekan tunggakan dengan membebaskan denda sebulan penuh sambil memperluas kanal pembayaran digital melalui e-wallet dan QRIS.

Tarakan memberi insentif berupa diskon progresif, dari 50% untuk tunggakan lama hingga 10% untuk tunggakan baru. Pekanbaru memilih pemutihan dengan tenggat waktu ketat, mencegah warga menunda. Bengkulu meluncurkan aplikasi PADEK untuk distribusi SPPT digital. Sementara DKI Jakarta mengambil jalur keadilan sosial dengan membebaskan PBB untuk rumah dengan NJOP di bawah Rp 2 miliar.

Dari sini terlihat bahwa solusi tidak bisa seragam. Ada yang mengandalkan teknologi, ada yang memikat dengan insentif, ada pula yang mengedepankan keberpihakan sosial. Semua menyesuaikan dengan karakter wajib pajak di daerahnya.

Untuk Bontang, pemutihan denda hingga Desember 2025 bisa menjadi pintu masuk, tapi tidak boleh berhenti di sana. Tanpa digitalisasi penuh, pendataan ulang berbasis teknologi GIS, serta sosialisasi intensif di daerah dengan tunggakan tinggi, kebijakan ini hanya akan mengulang siklus lama. Batas waktu pemutihan pun perlu ditegaskan agar masyarakat tak lagi bergantung pada “pengampunan pajak” berikutnya.

Tunggakan Rp 55 miliar memang tampak sebagai masalah fiskal, tetapi dampaknya jauh lebih luas, terhambatnya pembangunan yang seharusnya dinikmati warga. Pemutihan bisa jadi solusi sementara, namun reformasi tata kelola pajaklah yang menentukan apakah Bontang mampu mengubah beban ini menjadi peluang.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Sidoarjo

Muhammad Ikmal

Email: ikmal.patarai@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

Pajak Kekayaan, Obat atau Racun?

Pajak kekayaan kembali mengemuka sebagai opsi kebijakan di berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk mengurangi ketimpangan dan meningkatkan penerimaan negara, apalagi realisasi penerimaan pajak sampai dengan 11 Agustus 2025 baru mencapai 996 triliun atau 45,5% dari target sehingga sebagian pihak mengusulkan agar Pemerintah menetapkan pajak kekayaan.

Namun, efektivitasnya dan manfaatnya diperdebatkan baik secara teori maupun prakteknya di beberapa negara, sehingga jika jadi diterapkan : apakah pajak kekayaan benar-benar menjadi instrumen solusi (obat) atau justru menimbulkan masalah baru (racun).

Dalam pengklasifikasian mengenai orang kaya, ada 2 pendekatan yang umum dipakai di dunia yaitu (asumsi 1 usd – Rp. 15.000,-) :

1.      HNWI = High Net Worth Individual, yaitu individu yang memiliki asset > 1 juta USD (Rp. 15 milyar  atau lebih, termasuk tempat tinggal utama.

2.      UHNWI = Ultra High Net Worth Individual, yaitu individu yang memiliki asset > 30 juta USD (Rp. 450 milyar, atau lebih termasuk tempat tinggal utama.

Pajak Kekayaan Obat atau Racun

1.      Pajak Kekayaan sebagai Obat

a)      Alasan Normatif & Keadilan

·        Mengurangi ketimpangan: Di negara dengan konsentrasi kekayaan tinggi pada kelompok 1% teratas, pajak kekayaan dianggap adil untuk redistribusi. Dimana 1% orang kaya Indonesia menguasai 36% perekonomian nasional (CNN : 5 Feb 2025).

Prinsip kemampuan membayar (ability to pay): Wajib pajak yang memiliki akumulasi aset besar dianggap punya kewajiban lebih besar untuk berkontribusi.

b)      Alasan Fiskal

Potensi penerimaan tambahan: Pajak kekayaan bisa membuka ruang fiskal baru di tengah keterbatasan basis pajak penghasilan (karena banyak sektor informal).

Sumber jangka panjang: Bila dirancang baik, bisa menopang belanja sosial, pendidikan, dan kesehatan, yang terbukti efektif menurunkan kemiskinan (lihat kajian Bank Dunia dan OECD).

c)       Alasan Politik-Ekonomi

Simbol keadilan sosial: Mengirim sinyal bahwa negara serius menekan oligarki dan memperluas rasa keadilan.

Legitimasi pemerintah: Dalam konteks demokrasi, dapat memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi fiskal.

2.      Pajak Kekayaan sebagai Racun

a)      Masalah Teknis & Administratif

Sulit valuasi aset: Kekayaan berbentuk tanah, saham perusahaan tertutup, karya seni, atau aset digital sulit diukur secara tepat.

Biaya administrasi tinggi: Pemungutan dan penegakan hukum lebih mahal dibandingkan pajak konsumsi/PPh.

b)      Masalah Ekonomi

Capital flight & tax avoidance: Orang kaya bisa dengan mudah mengalihkan kekayaannya ke luar negeri (contoh: Prancis, yang akhirnya mencabut wealth tax pada 2017 karena banyak miliarder pindah domisili).

Dampak pada investasi: Bisa mengurangi insentif menanam modal di dalam negeri, jika tidak ada insentif yang menyeimbanginya.

c)       Masalah Politik

Resistensi kelompok elit: Potensi lobi kuat dari kelompok kaya untuk melemahkan atau menggagalkan implementasi.

Distorsi kebijakan: Bisa memicu kompromi politik yang justru menghasilkan aturan setengah hati, sehingga manfaatnya minim, tapi biayanya besar.

Matriks: Pajak Kekayaan, Obat atau Racun?

Aspek

Manfaat (Obat)

Kerugian (Racun)

Keadilan Sosial

Mengurangi ketimpangan, sesuai prinsip ability to pay.

Resistensi politik dari elit, berpotensi melemahkan legitimasi jika gagal.

Fiskal

Sumber penerimaan tambahan untuk membiayai belanja sosial & infrastruktur.

Penerimaan cenderung kecil di banyak negara; biaya administrasi relatif tinggi.

Ekonomi

Redistribusi bisa meningkatkan daya beli kelas menengah & miskin.

Risiko capital flight, penghindaran pajak, menurunkan insentif investasi.

Administrasi

Mendorong transparansi aset & perbaikan sistem data kekayaan.

Sulit valuasi aset (tanah, saham tertutup, karya seni, aset digital).

Politik-Ekonomi

Menjadi simbol komitmen pemerintah melawan ketimpangan & oligarki.

Bisa dipolitisasi; jika gagal, menurunkan kepercayaan publik terhadap fiskus.

Pengalaman Negara

Norwegia & Spanyol masih menerapkan dengan tingkat keberhasilan tertentu.

Prancis, Jerman, Swedia, Denmark mencabut karena biaya > manfaat.

3.      Pengalaman Negara Lain

• Berhasil (sebagian):

• Spanyol: Wealth tax digunakan kembali pasca krisis 2008 sebagai instrumen darurat penerimaan.

• Norwegia: Masih memberlakukan pajak kekayaan, tapi didukung sistem informasi pajak yang transparan dan budaya kepatuhan tinggi.

• Gagal / Dihapus:

• Prancis: Dicabut pada 2017 karena mendorong eksodus kapital.

• Jerman, Swedia, Denmark: Menghapus karena biaya administrasi lebih besar daripada penerimaan.

4.      Analisis Pragmatik

• Jika diterapkan di Indonesia, tantangan besar:

• Kapasitas administrasi pajak masih terbatas (data aset belum terintegrasi penuh).

• Potensi penghindaran pajak tinggi karena lemahnya regulasi harta luar negeri.

• Kultur kepatuhan pajak di kalangan HNWI (high net worth individuals) masih rendah.

• Namun, manfaatnya bisa signifikan, jika:

• Basis data harta nasional (wealth registry) kuat dan transparan.

• Diiringi kerja sama internasional (automatic exchange of information/AEOI).

• Disertai strategi komunikasi publik yang menekankan keadilan sosial.

5.      Berapa potensi Pajak Kekayaan :

Simulasi Pajak Kekayaan di Indonesia

A.      Asumsi Dasar

1.      Jumlah HNWI (High Net Worth Individuals)

o   Menurut Knight Frank (2022), jumlah HNWI di Indonesia sekitar 36.742 orang (memiliki kekayaan > USD 1 juta ≈ Rp 15 miliar). Sedangkan menurut The Wealth Report 2022 estimasi HNWI di Indonesia sebanyak 134.015 orang.

2.      Total kekayaan HNWI Indonesia

o   Pada faktanya tidak ditemukan riel asset dari seluruh HNWI + UNHWI di Indonesia, namun kita bisa membuat estimasi secara konservatif. Dengan menggabungkan beberapa data dari forbes, dan Knight Frank.

o   Total asset 50 orang terkaya Indonesia menurut Forbes sebanyak USD 262,57 Milyar.

o   Total asset UNHWI = 1.479 orang – 50 terkaya = 1.229 orang x USD 50 juta = USD 61,45 milyar.

o   Total asset NHWI = 134.015 orang x USD 2 juta = USD 268 milyar

o   Sehingga total estimasi asset = USD 595,02 milyar

o   Jika angka 595,02 Milyar dibulatkan menjadi USD 600 miliar (≈ Rp 9.000 triliun). Dengan asumsi kurs 1 USD = Rp. 15.000,- total kekayaan sebesar Rp. 9.000 triliun.

3.      Skema pajak kekayaan (hipotetis)

o   Tarif 1% per tahun untuk kekayaan bersih di atas Rp 100 miliar.

o   Diasumsikan 20% dari total kekayaan HNWI masuk kategori > Rp 100 miliar (karena distribusi sangat terkonsentrasi di top tier).

B.      2. Perhitungan Kasar

• Kekayaan yang kena pajak:

20% × Rp 9.000 triliun = Rp 1.800 triliun

• Potensi penerimaan pajak (1%):

1% × Rp 1.800 triliun = Rp 18 triliun per tahun

3. Interpretasi

• Angka Rp 18 triliun ≈ setara dengan:

• Hampir 1,5 kali anggaran Program Keluarga Harapan (PKH) tahun 2024.

• Dapat membiayai pembangunan ribuan sekolah atau puskesmas.

• Namun, potensi ini bisa berkurang drastis karena:

• Tax avoidance: HNWI memindahkan aset ke luar negeri atau menyamarkannya.

• Kapasitas administrasi pajak: Sulit mendata dan menilai nilai wajar aset (tanah, saham non-publik, dll).

• Biaya kepatuhan: Tinggi bagi fiskus untuk mengawasi kepemilikan aset global.

6.      Kesimpulan

Apakah pajak kekayaan obat atau racun?

• Sebagai obat, pajak kekayaan bisa memperluas penerimaan negara dan menekan ketimpangan, terutama bila didukung sistem data aset yang kuat dan budaya kepatuhan tinggi.

• Sebagai racun, ia bisa kontraproduktif bila diterapkan dengan administrasi lemah, menimbulkan eksodus modal, dan hanya menghasilkan penerimaan kecil dengan biaya tinggi.

Ringkasan

• Lebih banyak risikonya jika diterapkan dengan sistem perpajakan yang lemah (contoh: Indonesia saat ini).

• Lebih banyak manfaatnya bila diterapkan di negara dengan administrasi pajak yang kuat, basis data aset jelas, dan kepatuhan tinggi (contoh: Norwegia).

• Alternatif lebih realistis untuk Indonesia: memperkuat pajak penghasilan progresif, pajak warisan, dan pajak kapital gain, serta mengoptimalkan belanja negara yang efektif.

Penulis Ketua Departemen Litbang dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI

Pino Siddharta

Email: pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini adalah pribadi penulis

pendapat

Membidik Shadow Economy, Jalan Baru Menggenjot Penerimaan Pajak

Penerimaan pajak selalu menjadi nadi utama pembiayaan negara. Tahun 2025, target penerimaan pajak Indonesia tahun 2025 tercatat sebesar Rp2.189 triliun atau naik sekitar 10,08% dibandingkan tahun 2024 sebesar Rp Rp1.988 triliun. Angka tersebut memang impresif, namun tantangan sudah menanti di depan mata: pada 2026 karena pemerintah menargetkan penerimaan pajak yang lebih tinggi, yakni Rp2.357 triliun atau naik sebesar 13,,51% dari tahun 2025.

Untuk mencapai target tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dituntut mencari sumber baru yang selama ini belum tergarap optimal. Salah satu yang kini mulai serius dibidik adalah shadow economy, harta karun ekonomi yang masih berada di luar jangkauan sistem perpajakan.

Shadow economy atau disebut ekonomi bayangan merupakan aktivitas ekonomi yang disembunyikan, tidak tercatat secara resmi dan sulit terdeteksi oleh otoritas pajak, sehingga luput dari pengenaan pajak. Aktivitas ini dilakukan di luar sistem formal dengan alasan moneter berupa penghindaran pajak, dan iuran jaminan sosial, alasan regulasi mencakup penghindaran ketentuan perundang-undangan yang berlaku seperti pembayaran upah dibawah ketentuan upah minimum, dan alasan kelembagaan yang mencakup penghindaran ketentuan kelembagaan pemerintahan atau birokrasi.

Adapun karakteristik shadow economy meliputi kegiatan ekonomi yang sering dilakukan secara tunai dan informal dan tidak dilaporkan pada SPT sehingga sulit dijangkau oleh sistem perpajakan konvensional dan sistem administrasi negara termasuk dalam perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB).

Ekonomi bayangan menimbulkan beberapa tantangan bagi sistem perpajakan di Indonesia yaitu pertama, mengerus pengenaan basis pajak ketika transaksi ekonomi tidak dilaporkan sehingga pemerintah kehilangan potensi pajak atas transaksi ekonomi, kedua, ketidakadilan pengenaan pajak sehingga menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat, dan ketiga menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga akibat lemahnya tata kelola dan ketidakadilan pengenaan pajak sehingga menghambat kepatuhan pembayaran pajak secara sukarela oleh Wajib Pajak.

Oleh sebab itu shadow economy sangat berdampak besar terhadap penerimaan negara yang mengakibatkan potensi pajak yang hilang, ketimpangan fiskal karena pelaku formal menanggung beban pajak yang lebih besar dan terjadinya distorsi data ekonomi karena aktivitas shadow economy tidak tercatat dalam PDB.

Shadow economy bukan sekadar cerita mistis yang hanya bisa dirasakan namun tidak tercatat dan tidak dapat dipajaki. Kajian Nanda Puja Rezky dalam judulnya Kajian Kegiatan Shadow Economy di Indonesia: Sebuah Studi Literatur1 mencatat bahwa studi empiris yang dilakukan oleh Ramadhan (2019) melalui pendekatan moneter dan analisis sensitivitas permintaan uang untuk periode 2000-2017 menunjukkan terdapat ukuran shadow economy di Indonesia rata-rata sebesar Rp528 triliun, dan jika dibandingkan dengan PDB setiap tahunnya maka jumlah rata-rata rasionya 7,58% terhadap PDB. Sedangkan Penelitian yang dilakukan oleh Tatariyanto (2014) dengan menggunakan pendekatan Model – Multiple Indicator Multiple Cause (MIMIC) memperkirakan shadow economy di Indonesia antara tahun 2000 dan 2008 rata-rata mencapai 20% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Ukuran shadow economy ini juga serupa dengan Penelitian yang dilakukan oleh Schneider (2010) pada rentang 1999 -2007, dengan rentang ukuran shadow economy sekitar 18% hingga 21% dari PDB. Studi empiris tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat kegiatan ekonomi yang tidak tercatat dalam estimasi PDB yang berpengaruh cukup signifikan terhadap penerimaan pajak di Indonesia.

Sedangkan ukuran shadow economy menurut PPATK seperti dikutip dari laman Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2022, Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pencegahan PPATK Fithriadi Muslim menyampaikan shadow economy yang ada diperkirakan sebesar kisaran 8,3 persen hingga 10 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sehingga bila dihitung potensi kehilangan penerimaan negara dari shadow economy dengan ukuran shadow economy sebesar 10% dari estimasi PDB tahun 2025 sebesar Rp23.500 triliun, maka potensi target penerimaan pajak bisa mencapai Rp2.350 triliun. Angka ini hampir setara 5 (lima) kali lebih dari anggaran pembuatan Ibukota Negara yang mencapai Rp460 triliun, dan target penerimaan negara bisa tercapai serta bahkan bisa melampaui target penerimaan negara di tahun 2025.

Langkah Serius Pemerintah

Pemerintah tidak tinggal diam, sejumlah langkah sudah dan sedang dilakukan, antara lain melakukan Integrasi NIK dengan NPWP untuk mempersempit ruang pelaku usaha bersembunyi, memperkuat basis data dan pengawasan melalui Core Tax System, membuat ekosistem pembayaran digital melalui Payment ID yang mengintegrasikan seluruh transaksi digital termasuk QRIS dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK), membuat dan merencanakan aturan baru ketentuan pajak seperti transaksi Bitcoin, platform online, perdagangan emas, perikanan, perdagangan eceran, makan dan minuman, meningkatkan proses canvasing melalui pendataan dan menjangkau wajib pajak yang belum terdaftar, integrasi data dengan Nomor Induk Berusaha dan OSS BKPM, melakukan penunjukkan entitas luar negeri sebagai pemungut PPN atas transaksi digital PMSE dan langkah-langkah lainnya.

Namun, tentu langkah-langkah tersebut tidak mudah, karena terdapat kendala serius meliputi kepercayaan publik rendah terhadap pengelolaan pajak yang bisa menimbulkan resistensi, kesiapan sistem perpajakan, integrasi sistem antar lembaga, mengidentifikasikan aktivitas yang dilakukan secara tunai dan informal, dan kesiapan para pelaku usaha terutama pelaku usaha kecil dalam menggunakan sistem administrasi perpajakan yang modern.

Membidik shadow economy bukan hanya sekadar strategi mengejar angka, melainkan upaya membangun sistem perpajakan yang lebih adil sehingga dapat meningkatkan kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak secara sukarela dan otomatis meningkatkan kepatuhan wajib pajak secara sendirinya.

Untuk itu, pemerintah khususnya DJP harus memastikan bahwa kebijakan yang dibuat dan diterapkan tidak represif, tetapi inklusif dan edukatif. Penyederhanaan aturan, transparansi penggunaan pajak, serta digitalisasi administrasi akan menjadi kunci.

Jika momentum ini dikelola dengan baik, shadow economy bisa berubah dari “beban tersembunyi” menjadi sumber cahaya baru bagi penerimaan negara. Dengan demikian, baik target penerimaan pajak 2025 sebesar Rp2.189 triliun maupun target penerimaan pajak 2026 sebesar Rp2.357 triliun bukan hanya target diatas kertas saja, namun menjadi target penerimaan yang realistis dan menjadi langkah menuju kemandirian fiskal yang mandiri dan lebih kokoh.

Penulis adalah Pengurus Pusat IKPI – Ketua Bidang Pajak Internasional Negara Afrika.

Rianto Abimail, SE, SH, MAk, Ak, CA, CPA, Asean CPA, FCPA (Aust.), BKP, CMed,CRA, CPCLE, CFI

Email: rianto.abimail@kap-gpaa.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

Triliunan Rupiah Menanti, Mampukah Indonesia Rebut Pajak Global?

Kesepakatan Global Minimum Tax (GMT) sebesar 15 persen di bawah kerangka OECD/G20 Inclusive Framework telah menandai babak baru dalam tata kelola perpajakan dunia. Kebijakan ini ditujukan untuk menutup ruang penghindaran pajak lintas batas yang selama ini dilakukan oleh perusahaan multinasional, khususnya mereka yang beromzet global di atas €750 juta (OECD, 2021).

Bagi Indonesia, GMT membuka peluang besar. Selama ini, perusahaan digital global menikmati pasar domestik yang luas, tetapi kontribusi pajaknya masih minim. Kementerian Keuangan (2023) memperkirakan potensi tambahan penerimaan mencapai Rp20–30 triliun per tahun. Angka ini tentu penting, terutama bila dibandingkan dengan target penerimaan perpajakan 2025 sebesar Rp2.189 triliun dan target 2026 sebesar Rp2.357 triliun (Kemenkeu, 2024).

Namun, optimisme ini perlu dicermati. International Monetary Fund (IMF, 2022) mengingatkan bahwa mekanisme pembagian pajak yang kompleks berisiko lebih menguntungkan negara asal perusahaan multinasional (home country). Artinya, meskipun tarif minimum global sudah berlaku, penerimaan tambahan bisa lebih banyak masuk ke kas negara maju dibanding ke negara pasar seperti Indonesia.

Belajar dari India dan Brasil

Negara berkembang lain sudah lebih dulu bersikap tegas. India, misalnya, tidak sepenuhnya tunduk pada OECD karena khawatir hanya mendapat “sisa kue”. Mereka tetap mempertahankan instrumen domestik berupa Equalisation Levy sejak 2016 untuk menjamin adanya penerimaan dari transaksi digital asing.

Sementara itu, Brasil memilih jalur diplomasi agresif. Mereka aktif menekan negara maju dalam perundingan agar formula pembagian pajak lebih berpihak pada negara pasar. Brasil menjadi bagian dari kelompok vokal dalam OECD/G20 yang menuntut distribusi lebih adil.

Kedua contoh ini memberi pelajaran penting: negara berkembang tidak boleh pasif. Tanpa keberanian politik, potensi penerimaan bisa hilang begitu saja.

Jalan Tengah untuk Indonesia

Indonesia menghadapi tiga tantangan utama. Pertama, mekanisme pembagian pajak yang masih belum sederhana. Kedua, kapasitas administrasi pajak yang perlu ditingkatkan untuk menelusuri laba global perusahaan multinasional. Ketiga, risiko dominasi negara maju, yang dapat mengurangi porsi penerimaan bagi negara pasar.

Untuk itu, ada beberapa langkah strategis yang perlu diambil:

1. Perkuat aturan domestik. Revisi UU Pajak Penghasilan agar klausul GMT dapat diimplementasikan langsung di dalam negeri.

2. Aktif di forum internasional. Indonesia harus memperkuat peran di OECD/G20, bukan sekadar pengikut.

3. Bangun koalisi strategis. Kerja sama dengan India, Brasil, dan Afrika Selatan dapat meningkatkan posisi tawar.

4. Investasi pada transparansi data. Sistem informasi lintas negara perlu dikembangkan untuk mengawasi laba perusahaan multinasional.

Global Minimum Tax seharusnya menjadi alat pemerataan penerimaan pajak global, bukan instrumen baru yang memperkuat dominasi negara maju. Bagi Indonesia, kuncinya adalah keberanian politik untuk memperjuangkan kepentingan nasional sekaligus kapasitas teknis untuk memanfaatkan peluang.

Jika berhasil, Indonesia bukan hanya akan meraih tambahan penerimaan hingga puluhan triliun rupiah, tetapi juga menegaskan bahwa era “main aman” bagi perusahaan multinasional telah berakhir. Sebaliknya, jika pasif, potensi besar itu bisa saja mengalir keluar negeri.

Referensi

• OECD (2021). Statement on a Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy.

• OECD (2023). Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy – Global Anti-Base Erosion (GloBE) Rules.

• Kementerian Keuangan RI (2023). Outlook Perpajakan Indonesia.

• Kementerian Keuangan RI (2024). Nota Keuangan dan RAPBN 2025–2026.

• IMF (2022). Global Minimum Tax: Impact on Developing Countries.

Penulis adalah Ketua Departemen Humas PP-IKPI, Dosen, Konsultan, dan Praktisi Perpajakan

Jemmi Sutiono

Email : jemmi.sutiono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan dan pendapat pribadi penulis

HUT IKPI Ke-60: Kebersamaan yang Menguatkan Ciptakan Semangat yang Tak Pernah Padam

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) merayakan Hari Ulang Tahun ke-60 dengan penuh semangat kebersamaan. Momentum enam dekade perjalanan ini menjadi bukti nyata komitmen IKPI dalam menjaga profesionalisme, integritas, dan peran strategis konsultan pajak di Indonesia.

Kebersamaan ini tentu akan semakin memberi energi yang tak ternilai harganya. Dalam setiap langkah, rasa saling mendukung dan semangat untuk maju bersama menjadi fondasi kokoh yang membuat kita mampu melewati berbagai tantangan. Demikian pula di lingkungan IKPI, nilai kebersamaan selalu menjadi napas yang menghidupkan asosiasi ini.

Kami percaya, tanpa kebersamaan, tak mungkin lahir karya besar yang bermanfaat luas. Sinergi antaranggota, pengurus, dan seluruh pihak yang terlibat, menjadi sumber kekuatan yang membuat IKPI terus tumbuh, beradaptasi, dan berinovasi.

Kebersamaan ini tentu akan semakin memberi semangat bagi kami untuk terus berkarya bagi asosiasi yang amat kami cintai dan banggakan. Terlebih di momen istimewa ini, HUT IKPI yang ke-60, kami ingin menjadikannya sebagai momentum refleksi sekaligus motivasi untuk melangkah lebih jauh. Enam dekade perjalanan bukanlah waktu yang singkat, melainkan bukti keteguhan, loyalitas, dan kontribusi nyata dari seluruh keluarga besar IKPI.

Mari kita rawat kebersamaan ini. Mari kita jadikan IKPI sebagai rumah besar tempat kita berkontribusi, bertumbuh, dan melahirkan gagasan terbaik. Karena bersama, kita lebih kuat. Bersama, kita bisa terus melangkah, menorehkan karya, dan menjaga marwah organisasi yang kita banggakan. Sukses IKPI, sukses untuk Kita semua.

Selamat Ulang Tahun IKPI ke-60,

IKPI Untuk Nusa Bangsa…

IKPI Pasti Bisa…

IKPI Jaya… Jaya… Jaya…

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Kota Bekasi

Ratih Kumala

Email: rhaty07@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Seminar Nasional: Wadah Silaturahmi dan Kebersamaan Anggota IKPI

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menorehkan sejarah penting dalam rangkaian Hari Ulang Tahun (HUT) ke-60 yang digelar pada 26–27 Agustus 2025. Bagi para anggota, momen ini bukan sekadar perayaan, melainkan juga ruang silaturahmi yang mempertemukan kembali rekan-rekan seprofesi dalam suasana penuh kebersamaan.

Sejak terbitnya PMK 111/PMK.03/2014 tentang Sertifikat Konsultan Pajak (SKP), profesi konsultan pajak di Indonesia memasuki babak baru. Aturan tersebut menjadi tonggak penting dalam menetapkan standar kompetensi, kewajiban, serta tata cara perizinan konsultan pajak. Di balik regulasi itu, lahirlah semangat kebersamaan yang mempertemukan para konsultan dalam satu wadah profesional bernama IKPI.

Melalui asosiasi ini, perjalanan anggota bukan hanya soal berbagi pengetahuan dan berdiskusi, tetapi juga tentang menumbuhkan rasa persaudaraan. Sedikit demi sedikit, kebersamaan itu membentuk pribadi-pribadi profesional yang lebih teguh menghadapi berbagai tantangan. Tak terasa, ikatan yang terjalin hampir memasuki satu dasawarsa—sebuah bukti nyata bahwa persahabatan yang berlandaskan ketulusan mampu bertahan melewati perubahan zaman.

Seminar Nasional yang menjadi bagian dari perayaan HUT ke-60 tahun ini kembali mengingatkan bahwa IKPI lebih dari sekadar wadah profesi. Ia adalah jembatan yang menyatukan hati dan langkah, menjadikan rekan seprofesi tumbuh layaknya saudara dalam ikatan asosiasi yang kokoh.

Enam dekade perjalanan tentu bukan waktu yang singkat. Usia 60 tahun adalah tanda kematangan sebuah organisasi. Harapannya, IKPI semakin teguh berdiri sebagai rumah, perekat, sekaligus penggerak bagi para anggotanya. Dengan kepemimpinan yang solid, IKPI diyakini mampu terus menjadi pilar penguat yang menuntun setiap langkah agar sejalan dengan semangat kebersamaan.

Selamat ulang tahun yang ke-60 untuk IKPI! Teruslah berkarya, melahirkan konsultan pajak yang unggul, serta menjaga persaudaraan yang telah terjalin erat.

Happy Birthday IKPI – IKPI untuk Nusa Bangsa.

Penulis adalah Anggota Dept Pendidikan PP Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Tintje Beby S.E, Ak,A-CPA,BKP

Email: tibeb.sugandi@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

Donor Darah, Mars IKPI, dan Pesan Kemanusiaa di Ulang Tahun ke-60

Ada jiwa yang terus hidup dalam Mars IKPI, semangat kebersamaan, kebanggaan, dan pengabdian untuk Nusa dan Bangsa. Bukan sekadar lagu penyemangat, Mars IKPI menemukan bentuk nyatanya dalam sebuah aksi sederhana namun penuh makna, donor darah massal.

Di tahun 2025, tepat pada usia ke-60, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) merayakan ulang tahunnya dengan cara yang berbeda. Alih-alih hanya menggelar seremoni simbolis, IKPI memilih menyalurkan rasa syukur lewat aksi sosial. Serentak di puluhan cabang seluruh Indonesia, ribuan konsultan pajak dan masyarakat ikut berpartisipasi dalam kegiatan donor darah.

Target awal 5.000 kantong pun terlampaui, dengan capaian lebih dari 6.400 kantong darah sebuah rekor luar biasa yang mendapat pengakuan dari Museum Rekor Indonesia (MURI).

Mars IKPI dalam Aksi Sosial

Makna dari Mars IKPI sesungguhnya terwujud dalam kegiatan ini. Seperti konsultan pajak yang bekerja dalam senyap, mendampingi wajib pajak agar negara mendapatkan haknya, demikian pula donor darah, tak selalu terlihat, namun menjadi penentu bagi kehidupan orang lain. Ada pepatah yang pas menggambarkan ini. “Bagai gula yang tak terlihat, tetapi memberi rasa manis” .

Pajak, seperti darah, adalah sumber kehidupan. Mengutip sebuah ungkapan, “Jika darah menopang hidup tubuh manusia, maka pajak adalah darah bagi kehidupan negara. Keduanya sama-sama menjaga vitalitas dan kelangsungan hidup.”

Di titik temu inilah aksi sosial IKPI menjadi simbolis sekaligus inspiratif, profesi konsultan pajak bukan hanya bicara angka, melainkan juga bicara tentang denyut kehidupan.

Cerita Pribadi dari Balik Donor Darah

Saya pribadi punya pengalaman menarik terkait donor darah. Sejujurnya, saya termasuk orang yang takut jarum suntik, bahkan pernah trauma setelah donor ketiga yang cukup menyakitkan. Akibatnya, lebih dari 10 tahun saya tak lagi berani mendonorkan darah.

Namun kali ini berbeda. Demi mendukung semangat kebersamaan dan partisipasi dalam rekor MURI, saya memberanikan diri. Hasilnya? Ketakutan itu terbayar dengan rasa bangga. Bahkan tubuh saya seolah ikut “tersenyum”, seakan berkata “darahmu manis, semanis kantong darah yang kau donorkan.”

Di usia yang tak lagi muda, saya merasa menemukan rekor pribadi memenangkan rasa takut demi sesuatu yang lebih besar.

Perayaan enam dekade IKPI tidak berhenti pada nostalgia dan kebanggaan organisasi, melainkan hadir sebagai refleksi kemanusiaan. Donor darah ini adalah pesan simbolik bahwa konsultan pajak bukan profesi kaku yang hanya berkutat dengan angka-angka. Di balik profesi yang serius, ada denyut kepedulian, ada darah kemanusiaan yang mengalir untuk sesama.

IKPI menunjukkan bahwa organisasi profesi bisa melampaui batas keanggotaannya, membuka diri, melebur dengan masyarakat, dan menghadirkan manfaat nyata.

Sebagai Motivasi dan Refleksi

Lagu Mars IKPI, yang liriknya penuh semangat dan visi organisasi, menjadi pengingat bagi setiap langkah konsultan pajak dalam mengabdi. Pertama kali dikumandangkan dalam Kongres XI di Batu, Jawa Timur, lagu ini telah menyatukan semangat kebersamaan di tubuh organisasi.

Potongan makna dalam Mars IKPI terasa sangat relevan dengan momentum donor darah ini:

“Ikatan Konsultan Pajak Indonesia, wadah kita bersama…

Bekerja dengan profesional untuk Nusa Bangsa…

IKPI namamu selalu di hati, IKPI yang sehati…

IKPI asosiasi kelas dunia, siap membangun bangsa.”

Mars ini bukan sekadar lagu, tetapi cermin tekad, menjunjung tinggi etika profesi, menjaga integritas, dan berdedikasi bagi pembangunan Indonesia.

Dengan penuh kebanggaan dan haru, saya turut menyuarakan semangat Mars IKPI, “IKPI yang sehati…” sebagai bagian dari cerita nyata kepedulian dan pengabdian kami.

Visi, menjadikan IKPI organisasi konsultan pajak kelas dunia dan Misi, untuk menjadikan IKPI sebagai asosiasi konsultan pajak yang mandiri serta profesional.

Selamat Ulang Tahun IKPI ke-60 Tahun 2025!

IKPI Pasti Bisa! IKPI Jaya, Jaya, Jaya!

Untuk merasakan langsung semangat lagu kebanggaan ini, pembaca dapat menyimak Mars IKPI versi resmi di kanal YouTube IKPI melalui tautan berikut: https://youtu.be/AukJXyxAvTE?si=SNNE20QnLFyVOxc7

Penulis adalah Sekretaris IKPI Cabang Banjarmasin

Martha Leviana

Email: martha_leviana@yahoo.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Mengapa Tax Ratio Indonesia Sulit Naik? Refleksi atas Data dan Kebijakan

Artikel (2)

Rasio pajak (tax ratio) merupakan salah satu indikator penting dalam mengukur kemampuan negara untuk membiayai pembangunan dari hasil penerimaan dalam negeri. Semakin tinggi rasio pajak, semakin besar pula ruang fiskal yang dapat dimanfaatkan pemerintah untuk membiayai belanja publik, membangun infrastruktur, hingga menciptakan stabilitas ekonomi.

Namun, untuk memahami tax ratio secara utuh, kita tidak bisa melepaskannya dari konteks perhitungan Pendapatan Nasional (Gross Domestic Product/PDB). PDB sendiri dapat dihitung melalui tiga pendekatan, yakni Pendekatan Produksi (Production Approach), Pendekatan Pendapatan (Income Approach), dan Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach).

Dalam Artikel (1) saya telah menyinggung secara singkat ketiga pendekatan ini, dan pada kesempatan ini, mari kita bahas lebih rinci.

Pendekatan Produksi (Production Approach)

Pada dasarnya, kegiatan produksi adalah aktivitas yang menciptakan nilai tambah (value added). Nilai tambah ini dihitung sebagai selisih antara nilai output (produksi) dengan nilai input (biaya produksi, termasuk bahan baku dan penolong).

Menurut klasifikasi ISIC (International Standard Industrial Classification), perekonomian Indonesia terbagi ke dalam tiga sektor utama:

• Sektor Primer: Pertanian, Peternakan, Kehutanan, dan Perikanan.

• Sektor Sekunder: Pertambangan, Penggalian, Industri Pengolahan, Listrik, Gas, dan Air.

• Sektor Tersier: Perdagangan, Hotel, Restoran, Transportasi, Telekomunikasi, serta Jasa-jasa lainnya.

Rumus penghitungan Pendapatan Nasional melalui pendekatan produksi adalah:

Y = (P1 \times Q1) + (P2 \times Q2) + … + (Pn \times Qn)

Contoh perhitungan:

• 500 kg teh @ Rp50.000

• 450 kg kopi @ Rp90.000

• 350 kg coklat @ Rp35.000

Y = (50.000 \times 500) + (90.000 \times 450) + (35.000 \times 350)

Y = 25.000.000 + 40.500.000 + 12.250.000 = Rp77.750.000 

Maka, Pendapatan Nasional dengan pendekatan produksi adalah Rp77.750.000.

Pendekatan Pendapatan (Income Approach)

Pendekatan ini menghitung Pendapatan Nasional dengan menjumlahkan seluruh pendapatan yang diterima oleh faktor-faktor produksi, yaitu tenaga kerja, modal, tanah, dan kewirausahaan.

Rumusnya adalah:

Y = R + W + i + P

Keterangan:

• R = Rent (Sewa tanah)

• W = Wage (Upah tenaga kerja)

• i = Interest (Bunga modal)

• P = Profit (Laba)

Contoh penghitungan:

• Sewa tanah = Rp500.000

• Upah = Rp3.500.000

• Bunga modal = Rp600.000

• Keuntungan = Rp850.000

Y = 500.000 + 3.500.000 + 600.000 + 850.000 = Rp5.450.000

Maka, Pendapatan Nasional dengan pendekatan pendapatan adalah Rp5.450.000.

Pendekatan Pengeluaran (Expenditure Approach)

Metode ini menghitung Pendapatan Nasional berdasarkan total pengeluaran ekonomi. Rumus yang digunakan:

Y = C + i + G + (X – M)

Keterangan:

• C = Consumption (Konsumsi rumah tangga)

• i = Investment (Investasi)

• G = Government Expenditure (Belanja Pemerintah)

• X = Ekspor

• M = Impor

Contoh penghitungan (Negara Z, tahun 2024):

• Konsumsi Rp800.000

• Investasi Rp2.000.000

• Belanja Pemerintah Rp600.000

• Ekspor Rp1.000.000

• Impor Rp700.000

Y = 800.000 + 2.000.000 + 600.000 + (1.000.000 – 700.000)

Y = Rp3.700.000 

Maka, Pendapatan Nasional negara Z adalah Rp3.700.000.

Tax Ratio dan Perekonomian Nasional

Mengapa pembahasan PDB dengan tiga pendekatan ini penting dalam konteks Tax Ratio? Karena rasio pajak dihitung dengan membandingkan penerimaan pajak terhadap PDB. Artinya, kualitas perhitungan PDB sangat menentukan akurasi pengukuran kinerja perpajakan nasional.

Jika PDB dihitung lebih rendah, tax ratio terlihat lebih tinggi, seolah negara mampu memaksimalkan penerimaan. Sebaliknya, jika PDB besar tetapi tax ratio rendah, hal itu mencerminkan masih rendahnya kepatuhan pajak atau basis pajak yang sempit.

Di sinilah tantangan besar Indonesia: bagaimana meningkatkan basis pajak tanpa membebani sektor produktif, sambil tetap menjaga iklim investasi agar tidak terganggu. Tax ratio bukan sekadar angka, melainkan cerminan keadilan, kepatuhan, serta efektivitas sistem perpajakan dalam menopang pembangunan nasional.

Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) dan Dosen Program S1, Program S2 (Pasca Sarjana),

DR. H. Jalidin Koderi, SE, MM, BKP

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Menggali Potensi Pajak Kekayaan Bersih di Indonesia

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam kesempatan konferensi pers 15 Agustus 2025, menyampaikan postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 dan juga sekaligus memaparkan fokus kebijakan fiskal pada 8 (delapan) strategi yakni mewujudkan (i) ketahanan pangan; (ii) ketahanan energi;  (iii) Makan Bergizi Gratis; (iv) program pendidikan; (v) program kesehatan; (vi) pembangunan desa, koperasi, dan UMKM; (vii) pertahanan semesta, dan (viii) akselerasi investasi dan perdagangan global. Dalam mendukung seluruh fokus kebijakan fiskal tersebut, penerimaan pajak menjadi tumpuan utama sebagaimana terlihat pada Tabel 1, bahwa kontribusi sektor perpajakan masih terus bertumbuh dan diharapkan tetap tumbuh positif di 2026.

Tabel 1

Berdasarkan tabel diatas, target penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 adalah sebesar Rp2.189,3 triliun dan naik menjadi Rp2.357,7 triliun dalam RAPBN 2026. Tentunya angka ini tidak mudah untuk dicapai, apalagi pada semester 1-2025 angka penerimaan pajak masih di angka Rp837,8 triliun (shortfall 38% dari target APBN). Oleh karena itu, supaya tetap menjaga kinerja APBN, diperlukan kebijakan collecting more, dan ini perlu didukung oleh perluasan basis pajak dan sistem perpajakan yang kompatibel dengan kebijakan perpajakan global. Perluasan basis pajak mutlak dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) apabila menolak dikatakan pajak berburu di kebun binatang. Majas “berburu di kebun binatang” dipopulerkan oleh Bapak Gibran Rakabuming saat debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada 22 Desember 2023 lalu, dikatakan “Kita ini tidak ingin berburu dalam kebun binatang. Kita ingin memperluas kebun binatangnya, kita tanami binatangnya, kita gemukkan.”

Bisa dikatakan bahwa DJP telah berusaha menggali potensi pemajakan High Net Worth Individuals (HNWI) melalui skema pajak progresif yakni lapisan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) ditambahkan dengan tarif tertinggi 35%. Namun, perluasan basis pada dasarnya bukan pada peningkatan tarif pajak, melainkan pada penambahan jenis pajak baru, dan yang paling memungkinkan diterapkan DJP adalah Pajak Kekayaaan.

Indonesia pernah menerapkan Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 18), yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, Undang-Undang ini dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang beserta penjelasannya.

Konsep dan Teori Wealth-Based Taxation

Pasal 4 ayat (1) huruf p Undang Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) menyatakan bahwa : “yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.”

Tambahan kekayaan neto dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf p UU PPh menyatakan bahwa “pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.”

Metode pendekatan kekayaan bersih telah digunakan Pemeriksa Pajak dengan cara menghitung selisih kekayaan bersih wajib pajak orang pribadi awal dan akhir tahun yang terdapat dalam SE-65/PJ/2013 tentang Pedoman Penggunaan Metode dan Teknik Pemeriksaan, yang dilakukan sebagai berikut:

Selanjutnya, Dr. Joko Ismuhadi dalam bukunya yang berjudul Tax Accounting Equation, menjabarkan persamaan Akuntansi Pajak (Tax Accounting Equation/TAE) yang dirumuskan sebagai berikut:

Pendekatan ini digunakan untuk menguji sumber dan penggunaan dana, yaitu aset yang nantinya akan digunakan untuk menghasilkan pendapatan yang dibiayai oleh kewajiban/utang dan modal.

Dr. Joko Ismuhadi menjelaskan TAE berfungsi untuk memperhatikan arus kegiatan ekonomi (pendapatan dan biaya) dan dampak langsungnya terhadap kekayaan (aset dan kewajiban/utang). TAE ini adalah metode langsung bagi otoritas pajak menguji kemampuan wajib pajak dalam menghasilkan pendapatan dan laba kena pajak, alih-alih hanya menilai situasi keuangan wajib pajak. TAE ini memungkinkan pemeriksaan silang antara pendapatan/biaya wajib pajak yang dilaporkan dengan perubahan aset/kewajiban wajib pajak.

Perbandingan Penerapan Pajak Kekayaan di Beberapa Negara Anggota Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD)

Pada tahun 2018, OECD merilis laporan dengan judul “The Role and Design of Net Wealth Taxes in OECD” dimana OECD menjabarkan teori pajak kekayaan dikenakan atas dasar akrual dan dilakukan penilaian aset setiap tahun.  Dan, penentuan tarif Pajak Kekayaan juga harus dipertimbangkan otoritas pajak mengingat kondisi incovenient wajib pajak terkait ability to pay cash.

Berikut ini adalah tarif Pajak Kekayaan di beberapa negara anggota OECD:

Tabel 2

Permasalahan dan Konsep Usulan Pajak Kekayaan di Indonesia

Pajak memiliki 2 (dua) fungsi utama yaitu fungsi anggaran (budgetair) dan fungsi mengatur (regulerend). Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengisi kas negara (fungsi budgetair), pajak bertugas untuk menghimpun dana dari masyarakat untuk pembiayaan pembangunan dan juga pembiayaan rutin antara lain belanja pegawai, belanja subsidi untuk daerah otonom, belanja barang pemerintahan, dan belanja cicilan utang dan bunga. Penerimaan Negara setelah dikurangi pembiayaan rutin adalah merupakan tabungan negara yang digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Sebagai fungsi mengatur (regulerend), pemerintah dapat menggunakan pajak sebagi alat untuk mengatur kebijakan ekonomi antara lain mendorong ekspor produk Indonesia (tarif 0%) dan melindungi produsen dalam negeri (bea masuk yang tinggi).

Selain menjalankan kedua fungsi diatas, pajak juga dapat menjalankan fungsi redistribusi kekayaan untuk meminimalisir angka ketimpangan ekonomi supaya pengentasan kemiskinan dapat tercapai.

Gini Ratio adalah instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat kesenjangan pembagian pendapatan di suatu wilayah, dan penilaian Gini Ratio berada di interval dari 0 (nol) sampai dengan 1 (satu), dimana nilai 0 (nol) menunjukkan semua orang memiliki pendapatan yang sama dan nilai 1 (satu) menunjukkan 1 (satu) orang memiliki selluruh pendapatan sementara yang lain tidak memiliki apapun. Berikut ini adalah kriteria yang digunakan dalam menilai ketimpangan Gini Ratio (Hera Susanti dkk, Indikator-Indikator Makroekonomi, LPEM-FEUI,1995):

  • Gini Ratio < 0,4 dikategorikan sebagai ketimpangan rendah.
  • 0,4 ≤ Gini Ratio ≤ 0,5 dikategorikan sebagai ketimpangan sedang (moderat).
  • Gini Ratio > 0.5 dikategorikan sebagai ketimpangan tinggi.

Biro Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa gini ratio di Indonesia pada Maret 2025 adalah sebesar 0,375 yang artinya Gini Ratio Indonesia dikategorikan sebagai ketimpangan rendah.

Selanjutnya, Bank Dunia mengukur ketimpangan pendapatan dengan menggunakan persentase jumlah pendapatan penduduk dan kelompok yang berpendapatan 40% terendah dibandingkan total pendapatan seluruh penduduk dikategorikan sebagai berikut:

  • Jika rasio pendapatan 40% penduduk berpenghasilan terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk kurang dari 12%, maka distribusi pendapatan tergolong memiliki ketimpangan pendapatan tinggi.
  • Jika rasio pendapatan 40% penduduk berpenghasilan terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk berada di antara 12 dan 17%, maka distribusi pendapatan tergolong memiliki ketimpangan pendapatan sedang.
  • Jika rasio pendapatan 40% penduduk berpenghasilan terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk lebih besar dari 17%, maka distribusi pendapatan tergolong memiliki ketimpangan pendapatan rendah.

Berdasarkan ukuran ketimpangan Bank Dunia, BPS melaporkan pada Maret 2025, kategori 40 persen terendah adalah sebesar 18,65%, dengan rincian di daerah perkotaan tercatat 17,64% dan di daerah pedesaan tercatat 21,75%.  Angka ini menunjukkan lemahnya daya beli masyarakat kelas bawah, yang artinya pertumbuhan ekonomi tidak merata, hanya dirasakan oleh masyarakat kelas atas.

Sementara, BPS mencatat, pada Maret 2025, Produk Domestik Regional Bruto per Kapita Jakarta mencapai Rp344.350.000 mengungguli provinsi lainnya dikarenakan sebagian besar orang terkaya di Indonesia berkumpul di Jakarta.

Berangkat dari permasalahan di atas, pemungutan Pajak Kekayaan selain dapat menjadi salah satu sumber penerimaan baru, juga dapat menjadi alat redistribusi untuk pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Mengenai pemungutan Pajak Kekayaan, terdapat beberapa elemen yang perlu didiskusikan untuk diterapkan di Indonesia, antara lain sebagai berikut:

Tabel 3

HNWI berada pada kelas pemodal sehingga pengenaan Pajak Kekayaan ini tidak mempengaruhi pertumbuhan kekayaan HNWI ini menjadi negatif. DJP telah memperlihatkan upaya-upaya untuk mempermudah penerapan pemungutan Pajak Kekayaan dengan membangun sistem Coretax dan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang Automatic Exchange of Information (AEoI). Peran aktif Indonesia dalam G20 dan OECD merupakan juga langkah DJP kedepannya menerapkan Global Asset Registry (GAR) untuk mendata informasi kepemilikan aset lintas yurisdiksi. Tantangan DJP adalah resiko capital outflow apabila diterapkan Pajak Kekayaan ini.

Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Timur

Yolanda Ferida, S.Sos.,M.Ak

Email: ferida.yolanda@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis 

60 Tahun IKPI Dari Pendamping Wajib Pajak Hingga Pilar Penerimaan dan Kepatuhan Pajak Nasional

Di bulan Agustus yang termasuk bulan istimewa bagi bangsa Indonesia, tahun 2025 bertepatan dengan HUT 80 Tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan di bulan yang sama ada kisah menarik yaitu bertepatan juga dengan 60 tahun HUT Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI).

Tidak terasa 60 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 27 Agustus 1965, atas prakarsa J. Sopaheluwakan, Drs. A. Rahmat Abdisa, Erwin Halim, dan A.J.L. Loing dan Drs. Hidayat Saleh, yang saat itu menjabat Direktur Pembinaan Wilayah, Direktorat Jenderal Pajak ditunjuk selaku ketua Kehormatan.

Setelah terbentuk di tahun 1965, diadakan Kongres IKPI pertama kali yaitu pada tanggal 31 Oktober 1975 di Jakarta dengan menyepakati nama organisasi menjadi Ikatan Konsulen Pajak Indonesia. Selanjutnya melalui Kongres tanggal 21 Nopember 1987 di Bandung, nama organisasi diubah menjadi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia yang disingkat dengan IKPI sampai saat ini. Dan pada Kongres Pertama tersebut dipilih Drs. A.R Abdisa sebagai ketua umum, sejak pertama kali berdiri IKPI sudah melakukan kongres sebanyak 12 kali, hal ini menunjukkan roda organisasi berjalan dengan baik, walau diakui pada saat Kongres ke-11 tahun 2019 Di Malang telah terjadi gesekan yang cukup keras, dimana beberapa anggota keluar dari IKPI dan mendirikan asosiasi sejenis, namun setelahnya IKPI semakin dewasa menyikapi riak-riak pesta demokrasi 5 tahunan ini.

Usia 60 tahun bukan usia pendek bagi sebuah asosiasi profesi, IKPI telah melewati perjalanan panjang yang sarat dengan dinamika, tantangan, dan pencapaian. Perayaan 60 tahun ini bukan hanya ceremony belaka, tetapi yang paling penting ialah ajang refleksi untuk menatap masa depan yang penuh tantangan, apalagi saat ini semua negara memasuki era ekonomi digital yang batas-batas negara menjadi tidak jelas (borderless) dan di sisi lain penerimaan pajak menyumbang sekitar 75% penerimaan negara.

Sebagai asosiasi Konsultan Pajak yang tertua, dan terbesar dari sisi jumlah anggota, IKPI telah memainkan peran yang sangat penting dalam menjalankan fungsinya, tidak hanya membantu wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, tetapi sebagai mitra strategis Pemerintah dalam mendukung penerimaan negara. Dengan peran yang sangat strategis tersebut IKPI sebagai tonggak utama di dalam meningkatkan kepatuhan sukarela, atau dengan kata lain IKPI sebagai garda terdepan dalam kepatuhan pajak secara nasional.

Mau tidak mau, kita harus menerima kenyataan bahwa perekonomian global telah mengalami transformasi besar-besaran, hal ini dipicu semakin berkembangnya artificial intelligence (AI), big data, dan blockchain. Ahli ekonomi dunia Joseph Schumpeter mengungkapkan teori creative destruction (penghancuran kreatif), suatu teori yang menjelaskan mengenai pembongkaran praktik-praktik lama demi membuka jalan bagi inovasi dan dipandang sebagai kekuatan pendorong kapitalisme.

Schumpeter membuat teori kehancuran kreatif sebagai inovasi dalam proses manufaktur yang meningkatkan produktivitas, menggambarkannya sebagai “proses mutasi industri yang terus-menerus merevolusi struktur ekonomi dari dalam, tanpa henti menghancurkan sistem ekonomi” yang lama, terus-menerus menciptakan yang baru, namun prakteknya creative dectruction juga berkembang di bidang jasa dan teknologi bukan hanya di bidang manufaktur, dengan cara menawarkan produk atau jasa yang lebih mudah, lebih murah, dan lebih cepat, produk dan jasa tersebut dapat diakses secara real time tanpa dibatasi oleh jarak dan waktu sehingga hal tersebut mengubah total lanskap perekonomian dan persaingan antar negara, negara yang tidak bisa mengantisipasi perubahan tersebut akan tertinggal dan mati.

Di sisi lain, isu-isu baru seperti ekonomi digital lintas negara, pajak karbon, dan perpajakan internasional (BEPS, transfer pricing, global tax minimum dan AEOI) menuntut konsultan pajak untuk memperluas kompetensi dan wawasan globalnya.

Keterbukaan informasi perbankan baik di dalam negeri maupun antar negara mau tidak mau akan membuka kotak pandora mengenai kerahasian data perbankan, isu mengenai kerahasiaan perbankan sudah bukan tembok tebal bagi wajib pajak dalam upaya menghalangi otoritas pajak untuk dapat mengakses informasi keuangan, sehingga sudah waktunya baik wajib pajak maupun konsultan pajak untuk meninggalkan cara pandang lama, aplikasi coretax yang diluncurkan DJP di awal tahun 2025 menjadi contoh nyata begitu transparannya data-data keuangan wajib pajak.

Semua hal tersebut membuat hal-hal yang awalnya tidak terbayangkan menjadi kenyataan, keterbukaan informasi lintas negara, batasan mengenai domisili / tempat usaha menjadi tidak relevan lagi, kesepakatan multilateral (minimum global tax) untuk membatasi penghindaran pajak semakin menutup peluang bagi wajib pajak melakukan penghindaran, walau terpilihnya Presiden Donald Trump sedikit mengerem kesepakatan tersebut, karena sebagai negara no 1 di bidang ekonomi Amerika Serikat tentu mempunyai pengaruh yang signifikan bagi kesepakatan multilateral.

Pergeseran Peran Konsultan Pajak

Jika dahulu konsultan pajak identik dengan perhitungan, penyusunan laporan, serta pelaporan perpajakan dan kepatuhan administrative, maka dengan semakin dimudahkannya adminstrasi perpajakan ada kecenderungan wajib pajak lebih memilih untuk melakukan kewajiban perpajakannya sendiri, dengan perubahan lanskap system perpajakan tersebut, maka peran konsultan pajak dituntut menjadi penasihat strategis (strategic advisor) bagi dunia usaha, membantu klien tidak hanya patuh secara formal, tetapi juga mampu mengelola risiko pajak dalam konteks bisnis yang lebih luas.

Sehingga agar tetap eksis maka seorang konsultan pajak harus berubah dari sekedar compliance adviser menjadi business partner yang mendukung keputusan manajemen dan strategi perusahaan, dalam hal ini multi disiplin ilmu menjadi prasarat utama agar seorang konsultan pajak bisa berperan sebagai business partner.

Di tengah kompleksitas system perpajakan di Indonesia (malah di klaim sebagai system perpajakan paling rumit sedunia oleh salah seorang pejabat), maka integritas dan profesionalisme menjadi pondasi yang tidak bisa ditawar lagi. Seorang konsultan pajak tidak boleh dipandang sebagai pihak yang sekedar mencari celah untuk mengurangi kewajiban perpajakan (baik tax planning apalagi tax evasion) tetapi justru harus menjadi penjaga etika dan keadilan perpajakan, dengan menjunjung tinggi kode etik profesi, maka seorang konsultan pajak akan semakin dihormati tidak hanya oleh klien, tetapi juga oleh publik dan pemerintah.

Sebagai mitra strategis pemerintah, IKPI tidak hanya membantu Pemerintah dalam mengumpulkan pundi-pundi pajak negara melalui peran meningkatkan kepatuhan sukarela, namun IKPI harus juga menjadi mitra yang sejajar dan jika perlu mengingatkan Pemerintah secara professional dan sesuai keilmuannya mengenai keadilan, kepastian hukum, dan juga menjaga ekosistem perpajakan yang sehat, walaupun di sisi lain payung hukum setingkat Undang-Undang untuk profesi Konsultan Pajak masih menemui jalan yang terjal, dalam hal ini seharusnya Pemerintah melihat profesi konsultan pajak menjadi profesi yang harus dilindungi dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, karena perannya yang sangat vital bagi penerimaan negara.

Visi dan Harapan 60 Tahun ke Depan

Tentunya perjalanan yang cukup Panjang yang telah dilalui oleh IKPI menjadi bahan renungan untuk melihat visi dan harapan 60 tahun ke depan agar tujuan para founding father Indonesia yaitu menjadikan rakyat Indonesia mencapai adil dan Makmur segera terwujud, ada beberapa arah yang besar dan strategis yang harus ditempuh oleh setiap asosiasi profesi konsultan pajak di Indonesia, antara lain :

1. Penguatan kompetensi, sertifikasi dan integritas

Sumber daya manusia di profesi konsultan pajak harus terus diperbaharui agar mampu menghadapi kompleksitas perpajakan domestic dan juga global termasuk integritasnya.

2. Kolaborasi dengan Pemerintah khususnya DJP

Konsultan pajak yang menjadi mitra strategis, harus memaknai nya dalam perspektif mitra strategis yang aktif dan positif, artinya mendukung penerimaan negara dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum dan juga menjaga ekosistem yang kondusif.

3. Adaptasi teknologi khususnya artificial intelligent

Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas khususnya di bidang AI, big data, dan system perpajakan digital dengan tujuan memberikan layanan yang lebih efektif.

4. Membangun kepercayaan publik

Citra profesi harus ditingkatkan melalui integritas dan profesionalisme, seorang konsultan pajak tidak boleh menjadi bemper bagi klien nya yang tidak patuh, dia harus berdiri di posisi tengah untuk mengingatkan pentingnya kepatuhan sukarela sesuai peraturan yang berlaku.

Jika diibaratkan sebagai bangunan besar, maka periode enam puluh tahun pertama adalah pondasinya, enam puluh tahun ke depan adalah kesempatan untuk menjadikan profesi konsultan pajak bukan hanya sebagai penghitung angka-angka, tetapi menjadi profesi yang terhormat (officium nobile) baik posisinya sebagai mitra strategis bangsa dalam membangun keadilan pajak dan kemandirian ekonomi Indonesia juga sebagai intermediari wajib pajak.

Penulis adalah Ketua Departemen Penelitian dan Kebijakan Fiskal, IKPI

Pino Siddharta

Email: Pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

en_US