Transformasi Administrasi Perpajakan dan Peran Konsultan Pajak

Sebagai seorang Konsultan Pajak, memandang perubahan dalam sistem administrasi perpajakan adalah hal yang wajar. Seiring dengan bertambahnya jumlah Wajib Pajak, meningkatnya kompleksitas aturan perpajakan, serta beragamnya proses bisnis dan usaha, sistem perpajakan harus terus berkembang.

Salah satu perubahan terbaru dalam sistem perpajakan di Indonesia adalah hadirnya Coretax, sebuah aplikasi yang dirancang untuk mengintegrasikan seluruh proses perpajakan secara digital.

Coretax hadir dengan tujuan utama untuk menyederhanakan dan mengintegrasikan berbagai proses perpajakan, mulai dari registrasi, pelaporan, pembayaran, pengawasan, hingga pemeriksaan. Dengan sistem yang lebih terstruktur dan terotomasi, Coretax diharapkan dapat memberikan kemudahan dan keandalan data bagi Wajib Pajak dalam menjalankan hak serta kewajibannya. Hal ini tentu membawa manfaat tidak hanya bagi Wajib Pajak tetapi juga bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai otoritas fiskal.

Peran Konsultan Pajak dalam Ekosistem Coretax

Dari perspektif seorang Konsultan Pajak, Coretax juga menghadirkan inovasi yang menarik, yaitu fitur integrasi data Konsultan Pajak yang terdaftar pada SIKOP (Sistem Informasi Konsultan Pajak) dengan sistem DJP. Fitur ini memungkinkan Konsultan Pajak yang telah terdaftar dan berstatus aktif di SIKOP untuk otomatis ditunjuk sebagai kuasa oleh Wajib Pajak. Dengan adanya sistem ini, proses penunjukan Konsultan Pajak menjadi lebih transparan dan mudah, serta memastikan bahwa hanya Konsultan Pajak yang memiliki legalitas resmi yang dapat menjalankan perannya.

Selain itu, keamanan data Wajib Pajak menjadi perhatian utama dalam Coretax. Hanya pihak yang telah diberikan akses sesuai kewenangan yang dapat mengakses akun Wajib Pajak. Hal ini juga mencakup pemberian kuasa kepada Konsultan Pajak. Wajib Pajak memiliki fleksibilitas dalam menentukan kewenangan yang diberikan, misalnya untuk pelaporan SPT, pembuatan faktur, atau mewakili Wajib Pajak dalam pemeriksaan dan keberatan.

Meskipun memiliki potensi besar dalam menyederhanakan administrasi perpajakan, implementasi Coretax sejak Januari 2025 masih menghadapi berbagai kendala teknis. Beberapa pengguna, baik Wajib Pajak maupun Konsultan Pajak, masih mengalami hambatan dalam penggunaan sistem ini secara maksimal.

Sebagai sistem yang dirancang untuk menjadi solusi jangka panjang, Coretax perlu terus dikembangkan agar dapat berfungsi sesuai dengan grand design yang telah dirancang. Dalam hal ini, keterlibatan berbagai pihak, termasuk Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) sebagai asosiasi Konsultan Pajak terbesar di Indonesia, sangat penting.

Tentu tidak dapat dipungkiri, Konsultan Pajak mempunyai peran penting dalam membangun sektor perpajakan nasional. Perannya yang sentral dalam membantu peningkatan kepatuhan Wajib Pajak, serta ikut menyosialisasikan segala kebijakan yanh dikeluarkan pemerintah dalam hal ini adalqh DJP.

Dengan peran yang besar tersebut, IKPI sebagai organisasi yang menangungi sekitar 90 persen dari total konsultan pajak terdaftar yang ada di Indonesia, seharusnya dilibatkan dalam memberikan masukan dan saran terkait segala kebijakan serta implementasi peraturan perpajakan yang akan dikeluarkan, termasuk Coretax. Hal ini dimaksudkan, agar sebagai mitra strategis DJP, organisasi ini bisa membantu dan mengimplementasikan program pemerintah secara efektif dan efisien melalui lebih dari 7.000 anggota yang tersebar di seluruh Indonesia.

Harapan ke Depan

Keberadaan Coretax adalah langkah besar dalam modernisasi administrasi perpajakan di Indonesia. Namun, agar manfaatnya benar-benar bisa dirasakan oleh semua pihak, terutama Wajib Pajak dan Konsultan Pajak, perbaikan teknis dan penguatan infrastruktur sistem menjadi prioritas utama.

Harapannya, dengan keterlibatan IKPI dan masukan dari para pengguna, Coretax bisa menjadi sistem yang lebih handal, aman, dan sesuai dengan kebutuhan dunia perpajakan yang terus berkembang.

Penulis: Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Pengda Banten

Kunto Wiyono

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Pertanggung Jawaban Perpajakan dan Pidana Perpajakan untuk Pegawai yang diberikan Kuasa untuk menandatangani Faktur Pajak di Aplikasi Core Tax

Dengan berjalannya aplikasi Core Tax, Terdapat keadaan di mana seorang pegawai dari sebuah perusahaan diberikan kuasa oleh PIC/Direktur untuk membuat draft serta melakukan proses upload faktur pajak. Sehingga atas rangkaian proses tersebut, Mengakibatkan munculnya nama pegawai yang diberikan kuasa sebagai penandatangan di faktur pajak. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya potensi pertanggung jawaban perpajakan atau bahkan pertanggungjawaban pidana perpajakan bagi pegawai.  

Sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 39A Undang-undang ketentuan umum perpajakan. Setiap orang yang dengan sengaja menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.

Jika kita mengacu pada penjelasan pasal 43 ayat (1) Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Jerat Pidana berlaku juga Baik Bagi Wajib Pajak maupun bagi Wakil, Kuasa, pegawai dari Wajib Pajak atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.[1]  Jelas diatur dalam Pasal  43 ayat (1) tersebut pegawai dapat dijerat pidana pajak. Tetapi menurut pandangan penulis, Hal tersebut tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Di dalam Pertanggungjawaban pidana (criminal liability). Seseorang dihukum bukan hanya karena perbuatannya jahat (actus reus), tetapi juga karena pikirannya yang salah (mens rea), yang merupakan alasan yang layak untuk dihukum. Seorang pegawai tidak dapat dipidana, Sepanjang di dalam melaksanakan pekerjaan mempunyai itikad baik dan tidak mengetahui adanya maksud jahat dari pekerjaan itu. Misalnya pegawai tersebut diberikan tugas membuat faktur pajak dan secara sistem di Core Tax otomatis juga sebagai penanda tangan faktur pajak dan dikemudian hari di ketahui bahwasanya. Faktur pajak tersebut merupakan faktur pajak yang dibuat tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya (TBTS). Sepanjang pegawai tersebut tidak mengetahui adanya maksud jahat (mens rea) dari penerbitan faktur TBTS tersebut. Pandangan penulis pegawai tersebut tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Kecuali bilamana dari awal proses penerbitan faktur pajak, Pegawai tersebut mengetahui adanya maksud jahat (mens rea) tetapi tetap membantu menerbitkan/membuat faktur tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya(TBTS). Sudah layak dan sepantasnya pegawai tersebut dijerat Pidana Pajak Pasal 43 KUP.  

Bilamana kita lakukan Kajian dari sisi pertanggung jawaban perpajakan. Penulis berpendapat, Tidak perlu juga dikhawatirkan secara berlebihan oleh pegawai yang di tugaskan untuk membuat Faktur Pajak. Mengacu kepada penjelasan mengenai penanggung jawab perpajakan, Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.[2] Penagihan Pajak terhadap penanggung Pajak untuk Wajib Pajak Badan dilakukan terhadap Wajib Pajak Badan yang bersangkutan dan Pengurus dari Wajib Pajak tersebut. Pengurus dari Wajib Pajak Badan Perseroan Terbatas meliputi Direksi, Dewan Komisaris, Pemegang Saham dan Orang yang nyata nyata mempunyai wewenang untuk menentukan kebijakan dan atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan usaha pada Perseroan Terbatas.[3]  Termasuk orang yang nyata nyata mempunyai wewenang adalah orang yang berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga dan atau menandatangani cek, Orang yang berwenang mengangkat, menghentikan atau memberhentikan anggota direksi, anggota dewan komisaris, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pengurus, pengawas, pimpinan, atau jabatan setingkat; dan/atau orang yang berwenang atau berkuasa untuk mempengaruhi atau mengendalikan Wajib Pajak Badan tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun. Juga dalam hal Wajib Pajak Badan memiliki cabang, pengurus termasuk kepala cabang yang bertanggung jawab atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dari cabang yang bersangkutan.[4] Dari penjelasan ini dapat kita tarik kesimpulan, Pegawai yang diberikan kuasa untuk menandatangani Faktur Pajak. Sepanjang tidak masuk kriteria sebagai Orang yang nyata nyata mempunyai wewenang untuk menentukan kebijakan dan atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan usaha pada perusahaan tempatnya bekerja. Maka pegawai tersebut tidak dapat dimintai pertanggung jawaban perpajakan sebagai Penanggung Pajak.

 ______________________________

[1] Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007. Diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020. Terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Penjelasan Pasal 43

[2] Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61 Tahun 2023 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak Atas Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar. Pasal 1 angka 5.

[3] Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61 Tahun 2023 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak Atas Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar. Pasal 9 ayat (2).

[4] Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61 Tahun 2023 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak Atas Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar. Pasal 9 ayat (3).

 

Penulis: Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Bogor

Andi Deswanta

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

Deposit Pajak di Era Coretax

Awal bulan menjadi penanda dimulainya proses pemenuhan kewajiban perpajakan bagi wajib pajak dari periode sebelumnya. Pada tahap awal bulan kita disodori oleh penghitungan, penyetoran, dan pelaporan pajak menjadi sebuah rutinitas kerja. Sejak awal tahun 2025, pelaporan perpajakan sepenuhnya bertumpu pada aplikasi Coretax dan dari sini juga kita menyadari bahwa aplikasi Coretax masih belum sempurna.

Salah satu kendala yang terjadi beberapa hari ini mengenai pembayaran atau pembuatan e-billing, yang menyebabkan hambatan bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan.

Meskipun Coretax masih dalam tahap penyempurnaan, sistem ini sudah dirancang untuk mempermudah proses pembayaran pajak dengan cara lain.
Salah satu inovasi dalam sistem Coretax adalah adanya fitur deposit pajak, yang memungkinkan wajib pajak menyetor dana terlebih dahulu sebelum melakukan pembayaran pajak.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan Dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. Pasal 1 Nomor 112 menjelaskan bahwa Deposit Pajak adalah pembayaran pajak yang belum merujuk pada kewajiban pajak tertentu. Artinya, dana yang disetorkan ke sistem Coretax belum ditentukan jenis pajak atau periode pajak tertentu, sehingga wajib pajak memiliki fleksibilitas dalam penggunaan dana tersebut.

Deposit ini berfungsi sebagai saldo yang dapat dialokasikan sesuai dengan kebutuhan perpajakan di kemudian hari, baik untuk Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), maupun jenis pajak lainnya. Dengan adanya fitur ini dalam sistem Coretax, wajib pajak dapat lebih mudah mengelola kewajiban perpajakannya tanpa harus membuat e-billing setiap kali akan melakukan pembayaran.

Langkah awal untuk pembuatan e-billing deposit pajak yaitu kita harus masuk ke aplikasi coretax, lalu menu untuk pembuatan e-billing deposit pajak terdapat pada bagian pembayaran dan memilih Layanan Mandiri Pembuatan Kode Billing. Langkah selanjutnya adalah memasukan KAP – KJS dengan kode pajak 411618-100-Setoran untuk Deposit Pajak.

Setelah mengisi data yang diperlukan, sistem akan menghasilkan kode billing untuk pembayaran deposit pajak yang selanjutnya kode billing tersebut digunakan untuk melakukan pembayaran melalui kanal yang tersedia, seperti ATM, internet banking, mobile banking, atau teller bank.

Setelah pembayaran berhasil, saldo deposit akan muncul di akun wajib pajak dalam sistem Coretax dan dapat digunakan untuk pembayaran pajak di kemudian hari.
Penyetoran deposit pajak dalam Coretax dapat dianggap sebagai second choice dalam pelunasan pembayaran pajak.

Metode deposit pajak berfungsi sebagai alternatif yang lebih fleksibel, mengurangi risiko keterlambatan, dan mempermudah proses administrasi bagi wajib pajak yang ingin menyiapkan dana pajak lebih awal.

Meskipun fitur deposit pajak dalam Coretax memberikan kemudahan, masih ada beberapa kekhawatiran dari wajib pajak terkait penggunaannya, salah satunya penggunaan saldo yang tidak sesuai dengan kewajiban pajak yang harus dibayar. Wajib pajak juga mungkin khawatir terhadap transparansi dan kemudahan monitoring saldo deposit.

Tapi percayalah jika semua dikelola dengan baik oleh Person in Charge (PIC) yang berkompeten ataupun pihak perusahaan yang bertangungjawab, deposit pajak akan menjadi salah satu fitur dan fasilitas Coretax yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pajak, karena dapat memastikan kepatuhan pajak tetap terjaga tanpa risiko keterlambatan atau kesalahan administrasi.

Penulis : Anggota Departemen Pendidikan, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Tintje Beby S.E, Ak, A-CPA, BKP

Disclamer : Tulisan adalah pendapat pribadi penulis

Tantangan dan Harapan Implementasi Coretax dalam Administrasi Perpajakan Indonesia

Indonesia resmi mengimplementasikan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) sebagai langkah besar dalam reformasi sistem perpajakan. Berlandaskan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, sistem ini bertujuan untuk meningkatkan transparansi, efektivitas, efisiensi, akuntabilitas, dan fleksibilitas dalam administrasi perpajakan.

Namun, transisi ke Coretax tentu tidak terlepas dari tantangan. Masa Pajak Januari 2025 menjadi momen penting karena wajib pajak harus menggunakan sistem baru ini untuk pertama kalinya. Beberapa aspek teknis dan administratif mengalami perubahan, termasuk batas waktu penyetoran dan pelaporan pajak:

• PPh 21 dan PPh Unifikasi: Setor dan lapor paling lambat 17 Februari 2025

• PPN: Setor dan lapor paling lambat 28 Februari 2025

• Upload Faktur Pajak Keluaran: Paling lambat 15 Februari 2025

• Lapor PPh 21 dan Unifikasi: Paling lambat 20 Februari 2025

Tantangan Implementasi Coretax

Seperti sistem baru pada umumnya, Coretax di awal penerapannya mengalami gangguan teknis yang dapat menghambat kelancaran administrasi perpajakan. Beberapa kendala yang mungkin dihadapi meliputi:

• Adaptasi Wajib Pajak: Tidak semua wajib pajak familiar dengan sistem digital baru, sehingga diperlukan sosialisasi dan pelatihan yang lebih intensif.

• Kendala Teknis: Gangguan sistem atau downtime dapat menghambat penyetoran dan pelaporan pajak tepat waktu.

• Integrasi Data: Perubahan sistem memerlukan penyesuaian data dari sistem lama ke Coretax, yang bisa menyebabkan inkonsistensi jika tidak dikelola dengan baik.

• Beban Administratif bagi Pengusaha Kecil: Pengusaha yang belum terbiasa dengan sistem digital mungkin menghadapi tantangan tambahan dalam memahami dan mengoperasikan Coretax.

Harapan dan Manfaat Coretax

Meski di awal banyak tantangan, Coretax membawa harapan besar bagi sistem perpajakan Indonesia. Dengan 484 pasal yang mengatur berbagai aspek perpajakan, Coretax menawarkan kemudahan dalam:

• Pendaftaran Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak (PKP) secara lebih efisien.

• Penyetoran dan pelaporan pajak yang lebih cepat melalui sistem digital.

• Pengolahan SPT tahunan dan masa yang lebih terintegrasi.

• Transparansi dalam administrasi perpajakan, sehingga mengurangi potensi manipulasi data.

Ke depan, Coretax diharapkan terus mengalami penyempurnaan untuk meningkatkan keandalan sistem dan mengurangi kendala teknis yang mungkin dihadapi oleh wajib pajak. Dukungan penuh dari Direktorat Jenderal Pajak dalam bentuk bimbingan, pelatihan, dan respons cepat terhadap kendala teknis menjadi faktor kunci keberhasilan sistem ini.

Kesimpulan

Pemberlakuan Coretax menandai era baru dalam administrasi perpajakan Indonesia. Meskipun terdapat tantangan di awal implementasi, sistem ini memiliki potensi besar untuk menciptakan tata kelola pajak yang lebih modern dan efisien. Yang terpenting, sinergi antara pemerintah dan wajib pajak dalam beradaptasi dengan sistem baru ini akan menentukan keberhasilannya dalam jangka panjang.

Penulis: Anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Kota Tangerang

Ratri Widiyanti, SE, BKP

Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis

Kode Barang dan Jasa Sebagai Syarat Formal Dalam Faktur Pajak

Sejak 1 Januari 2025 Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melakukan implementasi Core Tax Administration System (Coretax). Pada dasarnya, pembuatan aplikasi ini ingin menawarkan berbagai fitur yang memudahkan proses administrasi perpajakan bagi wajib pajak, termasuk dalam pembuatan faktur pajak.

Salah satu elemen yang tidak boleh diabaikan dalam pembuatan faktur pajak adalah kewajiban pengisian kode barang/jasa. Pencantuman kode barang dan jasa dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi wajib pajak dalam proses pengisian faktur pajak dan administrasi transaksinya.

Dengan adanya kode barang dan jasa, setiap transaksi dapat diidentifikasi secara unik dan membantu wajib pajak dalam mengklasifikasikan barang dan jasa yang dijual atau dibeli, sehingga meminimalisir risiko kesalahan dan meningkatkan akurasi pencatatan.

Kode barang/jasa ini memiliki peran yang sangat penting. Faktur pajak yang tidak mencantumkan kode barang/jasa dengan benar mungkin saja dapat dianggap tidak lengkap dan berisiko menimbulkan permasalahan di kemudian hari.

Ketentuan Formal

Berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku, terdapat beberapa ketentuan formal yang harus dipenuhi dalam pembuatan faktur pajak. Pertama, menurut Pasal 391 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, Faktur Pajak wajib diisi secara benar, lengkap, dan jelas.

Selain itu, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 memberikan petunjuk teknis mengenai pembuatan faktur pajak dalam rangka pelaksanaan PMK Nomor 131 Tahun 2024 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor Barang Kena Pajak, Penyerahan Barang Kena Pajak, Penyerahan Jasa Kena Pajak, Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean, dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean.

Menurut peraturan tersebut, faktur pajak wajib diisi secara benar, legkap dan jelas dimana harus mencantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:

a. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;

b. Identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang meliputi:

1. nama, alamat, dan nomor pokok wajib pajak, bagi wajib pajak dalam negeri badan dan instansi pemerintah;

2. nama, alamat, dan nomor pokok wajib pajak atau nomor induk kependudukan, bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

3. nama, alamat, dan nomor paspor, bagi subjek pajak luar negeri orang pribadi; atau

4. nama dan alamat, bagi subjek pajak luar negeri badan atau bukan merupakan subjek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang mengenai pajak penghasilan;

c. Jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga;

d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;

e. Pajak penjualan atas Barang mewah yang dipungut;

f. Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan

g. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak

Teknis Pengisian Kode Barang dan Jasa

Dalam proses pembuatan faktur pajak, wajib pajak memiliki fleksibilitas untuk memilih lebih dari 1.900 kode barang dan jasa yang telah disediakan dalam sistem coretax. Kode – kode ini dirancang agar wajib pajak dapat memilih kode yang sesuai dengan berbagai karakteristik barang dan jasa yang dijual, sehingga mempermudah wajib pajak dalam mengklasifikasikan dan mengidentifikasi transaksinya secara akurat.

Apabila wajib pajak tidak menemukan kode yang sepenuhnya cocok dengan karakteristik barang atau jasa yang dijual, sistem coretax menyediakan opsi kode “000000” sebagai solusi. Kode ini dapat digunakan ketika wajib pajak tidak menemukan kode barang atau jasa yang sesuai dengan transaksinya.

Meskipun demikian, wajib pajak sangat disarankan untuk menggunakan kode yang paling mendekati karakteristik barang atau jasa yang dijual agar pelaporan tetap akurat dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kesimpulan

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-1/PJ/2025 tidak mengatur mengenai kode barang dan jasa sebagai syarat minimal pengisian faktur pajak agar dianggap benar, lengkap, dan jelas. Pengisian faktur pajak yang mencantumkan kode “000000” untuk barang dan jasa yang wajib pajak, masih dapat dianggap sah selama faktur pajak paling sedikit memuat keterangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dalam PER-1/PJ/2025.

Namun, sangat disarankan agar wajib pajak tetap mencantumkan kode barang dan jasa yang sesuai dengan karakteristik barang dan jasa yang diperdagangkan. Pencantuman kode yang tepat membantu wajib pajak mengklasifikasikan barang dan jasa yang dijual atau dibeli, sehingga meminimalisir risiko kesalahan dan meningkatkan akurasi pencatatan.

Penulis : Anggota Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Andry Dermawanto

Disclamer : Tulisan berdasarkan pendapat pribadi penulis

Pagar Laut dari Aspek Pajak Bumi dan Bangunan

Akhir akhir ini ramai di perbincangkan istilah “pagar laut” di daerah Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten, yang kemudian menjadi isu nasional dan ramai diberitakan di media massa dan media sosial.

Barisan bambu yang disusun rapih sepanjang 30,16 kilometer di perairan laut wilayah tersebut, pasalnya bertujuan untuk melindungi wilayah pesisir dari ancaman abrasi dan banjir rob. Namun, keberadaanya malah menarik perhatian berbagai pihak, salah satunya adalah konsultan pajak.

Sebagai seorang konsultan pajak, isu pagar laut sangat menarik untuk dikaji dan dikupas melalui pendekatan Pajak Bumi dan Bangunan . Berdasarkan, Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, pada Bab I tentang ketentuan umum: konteks Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terdapat lima elemen utama yang harus dikaji.

Pertama adalah, bumi yang mencakup permukaan tanah dan tubuh bumi di bawahnya. Wilayah yang berada di pesisir pantai juga dapat dimasukkan dalam definisi bumi, karena daerah tersebut merupakan bagian dari tanah atau kawasan pesisir yang dimiliki oleh negara atau pihak tertentu.

Kedua, mengenai bangunan yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Pada kenyataannya, pagar laut hanya menancapkan batangan bambu (kontruksi ringan) yang hanya bersifat sementara, mudah dilepas atau diganti, dan tidak memiliki fondasi permanen yang mengikatnya ke tanah. Oleh karena itu, pancang bambu tidak memenuhi kriteria bangunan karena sifatnya yang sementara dan tidak permanen.

Ketiga, Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, atau nilai objek pajak pengganti. Untuk hal itu, bisa juga dikaitkan dengan UU PBB pasal pasal 3.1.c yang membahas “yang bukan objek PBB”.

Salah satu objek yang tidak termasuk dalam PBB merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.

Jelas sekali bahwa kekayaan alam Indonesia meliputi laut, udara, dan tanah yang merupakan sumber daya yang sangat berharga dan menjadi bagian dari warisan bangsa yang tidak dimaksudkan untuk diperdagangkan atau dijual-belikan secara bebas.

Artinya, dalam hal ini laut bukanlah objek yang bisa dijual secara langsung, tetapi dikelola melalui peraturan yang bertujuan untuk konservasi, pemanfaatan berkelanjutan, dan keamanan ekosistem laut

Keempat, Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) atau surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data tentang objek pajak yang dimiliki, seperti tanah dan bangunan, kepada dinas pajak yang berwenang. Di dalam SPOP berisi informasi penting seperti identitas wajib pajak dan data lainnya.

Kelima, Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) atau surat yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan kepada wajib pajak tentang besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan data objek pajak yang telah dilaporkan dalam SPOP.

Berdasarkan penjelasan tersebut, jika statement Point 3 (Objek) tidak terpenuhi maka Point 4 (SPOP) dan 5 (SPPT) tidak dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan “laut”, sebagai kekayaan alam negara yang tidak dapat diperdagangkan, tidak memenuhi kriteria sebagai objek pajak dalam PBB.

Oleh karena itu, tanpa objek yang dapat dikenakan pajak (seperti tanah atau bangunan), maka tidak ada kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi, sehingga SPOP dan SPPT tidak perlu diterbitkan.

Kesimpulannya, pagar laut dalam konteks Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah bahwa pagar laut yang umumnya terbuat dari bambu dan bersifat sementara, tidak memenuhi kriteria bangunan tetap. Laut sebagai kekayaan alam negara juga tidak dapat diperjualbelikan, sehingga tidak dapat dihitung menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

Dengan demikian, tanpa adanya NJOP maka Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) tidak akan diterbitkan, yang berakibat pada tidak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT).

Laut merupakan kekayaan alam yang sangat berharga milik bangsa Indonesia. Sebagai bagian integral dari ekosistem dan budaya, laut bukan hanya memberikan potensi ekonomi yang luar biasa, tetapi juga berfungsi sebagai penyeimbang alam yang harus dijaga dan dilestarikan.

Dengan pengelolaan yang bijaksana, laut Indonesia dapat menjadi sumber daya yang mendukung kesejahteraan rakyat, menjaga keberlanjutan lingkungan, dan melindungi warisan bangsa untuk generasi mendatang. Laut Indonesia adalah aset negara yang perlu dikelola dengan penuh tanggung jawab untuk kemakmuran rakyat Indonesia.

Penulis : Anggota Departemen Pendidikan PP Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Tintje Beby S.E, Ak, A-CPA, BKP

Disclamer : Tulisan berdasarkan pendapat pribadi penulis.

 

 

Refleksi Kewenangan AR dalam Pengawasan Pajak Hendak Kadaluwarsa

Account Representative (AR) merupakan ujung tombak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam menjembatani kepentingan Wajib Pajak (WP) dengan negara. Tugas utama AR adalah memastikan hak dan kewajiban perpajakan WP dapat terpenuhi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Namun, dalam praktiknya, AR lebih menitikberatkan pada pengawasan kepatuhan kewajiban WP dibandingkan dengan pemenuhan hak WP, seperti insentif pajak atau upaya hukum atas sengketa perpajakan.

Dalam konteks pengawasan terhadap kewajiban perpajakan yang mendekati masa kadaluwarsa, peran AR menjadi sangat strategis. Pasal 8 Ayat (1) dan Ayat (1a) Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 jo. UU No. 7 Tahun 2021 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) menjadi acuan penting dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan (SPT).

WP diberikan kesempatan untuk melakukan pembetulan SPT secara mandiri, selama belum dilakukan pemeriksaan oleh DJP. Namun, jika SPT yang hendak dibetulkan menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan tersebut hanya dapat dilakukan paling lama dua tahun sebelum daluwarsa penetapan.

AR dan Pengawasan SP2DK

Dalam praktiknya, pengawasan oleh AR kerap dilakukan melalui Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK). Surat ini meminta WP memberikan penjelasan terkait data perpajakan tertentu, sering kali diiringi dengan pembetulan SPT. Masalah muncul ketika pengawasan ini dilakukan terhadap SPT yang mendekati masa kadaluwarsa.

WP sering kali merasa “dipaksa” untuk membetulkan SPT dalam kondisi kurang bayar, tambahan kurang bayar, atau nihil, meskipun tidak sesuai dengan kondisi yang diatur dalam Pasal 8 Ayat (1a). Hal ini memunculkan kesan bahwa proses tersebut lebih condong kepada kepentingan administrasi DJP dibandingkan memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi WP.

Usulan Perubahan Kewenangan

Salah satu solusi yang diusulkan adalah mengalihkan kewenangan pengawasan terhadap SPT yang mendekati masa kadaluwarsa dari AR ke tahap pemeriksaan oleh Tim Fungsional Pemeriksa.

Dengan demikian, AR dapat lebih fokus pada tugas-tugas yang bersifat analisis, konkrit serta terpenuhinya unsur benar, lengkap dan jelas terhadap SPT WP, meningkatkan kepatuhan sukarela, dan menjalankan pengawasan secara sistematis. Hal ini juga memungkinkan AR bekerja secara lebih profesional tanpa tekanan waktu yang sempit.

Di sisi lain, pengalihan kewenangan ini akan memberikan ruang relaksasi bagi WP, sehingga mereka dapat menjalankan kewajiban perpajakannya dengan lebih tenang dan percaya diri.

Kebijakan ini mencerminkan pendekatan low enforcement yang lebih humanis, memberikan kepercayaan kepada WP, serta mendorong hubungan yang lebih harmonis antara DJP dan WP.

Pengawasan yang dilakukan oleh AR terhadap SPT yang mendekati masa kadaluwarsa memang krusial, tetapi pelaksanaannya perlu dievaluasi untuk memastikan terciptanya keadilan dan kepastian hukum.

Dengan melepas kewenangan pengawasan tersebut kepada Tim Fungsional Pemeriksa saja, diharapkan AR dapat lebih optimal dalam menjalankan tugasnya, sementara WP mendapatkan perlakuan yang lebih adil.

Langkah ini tidak hanya akan meningkatkan profesionalisme DJP, tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan di Indonesia.

Penulis: Anggota Departemen Pengembangan Organisasi, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Muhammad Fadhil, S.Ak., S.AP., Ak., BKP

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

Penguatan Regulasi Profesi Konsultan Pajak Melalui UU PPSK

Profesi konsultan pajak merupakan salah satu pilar penting dalam sistem perpajakan dan ekosistem profesi keuangan di Indonesia. Keberadaannya membantu wajib pajak, baik individu maupun badan usaha, dalam memahami dan memenuhi kewajiban serta melaksanakan hak hukum perpajakan yang sering kali dianggap kompleks.

Dalam konteks ini, hadirnya regulasi dalam Pasal 259 UU PPSK (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan) menjadi langkah strategis untuk memperkuat peran, akuntabilitas, dan integritas konsultan pajak.

Pasal 259 ayat (6) UU PPSK menekankan bahwa konsultan pajak harus memiliki izin praktik yang diatur dalam peraturan menteri, lembaga, atau otoritas terkait.

Profesi Konsultan Pajak merupakan Profesi Penunjang Sektor Keuangan yang diwajibkan memberikan jasa yang independen, memenuhi persyaratan tertentu, termasuk memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai. Hal ini menunjukkan bahwa profesionalisme menjadi syarat mutlak bagi seseorang untuk menjadi konsultan pajak.

Langkah ini tidak hanya memastikan kualitas layanan yang diberikan kepada wajib pajak, tetapi juga mencegah masuknya oknum yang tidak kompeten dan berpotensi merugikan sistem keuangan negara oleh profesi penunjang sektor keuangan, khususnya dari sektor perpajakan.

Bahwa masuknya profesi konsultan pajak sebagai Profesi Penunjang Sektor Keuangan, sangat penting memperhatikan dan menjalankan kode etik dan kerahasiaan informasi sebagai fondasi hubungan antara konsultan pajak dan wajib pajak.

Kode etik yang diatur dan ditegakkan oleh pihak asosiasi konsultan pajak, dalam hal ini IKPI, menjadi pedoman moral sekaligus instrumen pengawasan terhadap perilaku profesional Konsultan Pajak yang menjadi Anggotanya.

Selain itu, kewajiban menjaga kerahasiaan informasi wajib pajak menjadi elemen kunci untuk menjaga kepercayaan publik terhadap profesi ini.

Namun, di sisi lain, penerapan kode etik ini menuntut pengawasan yang konsisten dan tegas.

Tanpa pengawasan yang memadai, pelanggaran kode etik atau penyalahgunaan informasi berpotensi mencederai integritas profesi konsultan pajak sekaligus merugikan kepentingan negara dan wajib pajak.

Pengenaan sanksi administratif dan pidana terhadap konsultan pajak yang melanggar aturan menunjukkan komitmen negara dalam menciptakan sistem perpajakan yang bersih dan terpercaya.

Sanksi ini tidak hanya berfungsi sebagai hukuman, tetapi juga sebagai alat pencegahan terhadap tindakan yang dapat merugikan wajib pajak atau sistem perpajakan.

Dengan demikian, keberadaan sanksi yang tegas sekaligus proporsional diharapkan dapat mendorong konsultan pajak untuk selalu bertindak sesuai dengan ketentuan.

Konsultan Pajak ke depannya harus paham bahwa laporan keuangan pihak wajib pajak harus sesuai dengan standar laporan keuangan, dan pihak otoritas akan menerapkan platform bersama pelaporan keuangan (finansial reporting single window), sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 272 ayat (1) UU PPSK.

Meskipun ketentuan dalam UU PPSK ini sudah cukup komprehensif, tantangan utama terletak pada implementasinya. Penegakan aturan, pelaksanaan pengawasan, dan pemberian sanksi harus dilakukan secara adil dan konsisten.

Selain itu, Pemerintah dalam hal ini PPPK, perlu memastikan bahwa proses perizinan konsultan pajak dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Ketentuan yang diatur dalam klausul Profesi Penunjang Sektor Keuangan yang dimaksud dalam UU PPSK, merupakan langkah positif dalam memperkuat regulasi profesi konsultan pajak di Indonesia.

Dengan aturan yang jelas, konsultan pajak diharapkan dapat menjalankan perannya secara profesional dan berintegritas. Namun, keberhasilan regulasi ini sangat bergantung pada pengawasan yang efektif serta kerja sama semua pihak, termasuk wajib pajak, otoritas perpajakan, dan konsultan pajak itu sendiri.

Sebagai pilar penting dalam ekosistem keuangan negara dalam sistem perpajakan, konsultan pajak harus mampu menjadi mitra strategis bagi negara dalam mengoptimalkan penerimaan pajak dan menciptakan keadilan perpajakan.

Konsultan Pajak sangat memerlukan ketentuan dalam bentuk undang-undang profesinya sendiri, yaitu Undang-undang Konsultan Pajak Indonesia.

Penulis: Ketua Departemen Humas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Jemmi Sutiono

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

Aturan Baru Pengkreditan Pajak Masukan pada Coretax

Sistem PPN di Indonesia mengenal metode pengkreditan pajak. Ketika Pengusaha Kena Pajak (PKP) melakukan pembelian Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) akan dikenakan (dipungut) PPN oleh pihak PKP Penjual, ini yang dinamakan sebagai Pajak Masukan. Ketika melakukan penjualan PKP ini akan memungut PPN atas tagihan penjualan yang diterbitkan kepada pihak pembeli (konsumen). PPN yang dipungut ini yang dinamakan sebagai Pajak Keluaran. Pada setiap masanya, PKP ini memiliki kewajiban untuk menyetorkan PPN yang telah dipungutnya dari konsumen dengan terlebih dahulu memperhitungkan (mengurangkan) Pajak Masukan yang berhubungan dengan Pajak Keluaran dan memenuhi syarat untuk dapat dikreditkan. Proses ini yang disebut sebagai proses pengkreditan Pajak Masukan.

Ketentuan yang berlaku selama ini (sesuai Pasal 9 ayat (2) dan ayat (9) UU PPN) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya atau belum dilakukan pemeriksaan. Petunjuk pelaksanaan dari Pasal 9 ayat (2) dan ayat (9) UU PPN ini diatur lebih lanjut pada Pasal 62 ayat (1) PMK 18/PMK.03/2021 dan Pasal 63 ayat (1) PMK 18/PMK.03/2021.

Artinya bahwa Pajak Masukan yang diperoleh dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama atau dapat dikreditkan pada pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah Masa Pajak diterbitkannya Faktur Pajak Masukan tersebut. Sebagai contoh (seperti yang dicontohkan pada Lampiran XV PMK 18/PMK.03/2021), untuk Faktur Pajak Masukan yang diterbitkan oleh PKP Penjual pada tanggal 8 Agustus 2021 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak Agustus 2021, atau Masa Pajak September 2021, Masa Pajak Oktober 2021, dan paling lambat Masa Pajak November 2021.

Ketentuan Baru Mengenai Jangka Waktu Pengkreditan Pajak Masukan

Sejak 1 Januari 2025, PKP yang akan mengkreditkan Faktur Pajak Masukan, hanya dapat mengkreditkan Faktur Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak diterbitkannya Faktur Pajak Masukan oleh pihak PKP Penjual. Prosedur pengkreditan Pajak Masukan yang baru ini diatur dalam Pasal 375 ayat (1) PMK 81 Tahun 2024 bahwa Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.

Kemudian pada Pasal 376 ayat (1) PMK 81 Tahun 2024 yang menegaskan bahwa Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 375 ayat (1), yang tercantum dalam dokumen tertentu yang kedudukanya dipersamakan dengan Faktur Pajak, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dibuat.

Dari Pasal 376 ayat (1) PMK 81 Tahun 2024 ini dapat kita lihat perbedaan pengaturan dengan ketentuan yang selam ini berlaku (PMK 18/PMK.03/2021 dan PMK 18/PMK.03/2021) yaitu untuk Pajak Masukan yang dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya untuk paling lama 3 (tiga) Masa Pajak adalah hanya dibatasi untuk Pajak Masukan yang berupa dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Pada Pasal 470 PMK 81 Tahun 2024 menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pengkreditan Pajak Masukan pada Masa Pajak yang tidak sama yang dicontohkan pada Lampiran huruf WWW (halaman 547) PMK 81 Tahun 2024 ini.

Artinya bahwa mulai 1 Januari 2025, Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak (selain dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak) hanya dapat dikreditkan pada Masa Pajak sesuai dengan Masa Pajak Faktur Pajak Masukan tersebut diterbitkan.

Dan perlu menjadi perhatian bagi Para Pembaca bahwa ketentuan ini berlaku mulai 1 Januari 2025, artinya semua Faktur Pajak yang diterbitkan di tahun pajak 2024, hanya dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya untuk paling lama 3 (tiga) Masa Pajak, paling lambat hanya dapat dilakukan untuk Masa Pajak Desember 2024.

Jadi misalkan Faktur Pajak Masukan yang terbit di Masa Pajak November 2024, hanya dapat dikreditkan di Masa Pajak November 2024 dan Masa Pajak Desember 2024. Untuk Faktur Pajak Masukan yang terbit di Masa Pajak Desember 2024, hanya dapat dikreditkan di Masa Pajak Desember 2024 saja.

Penulis Anggota Departemen Pengembangan Organisasi, PP-Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Syafrianto

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

 

Urgensi Pembentukan Undang-Undang Konsultan Pajak Sebagai Payung Hukum Penegak Kode Etik Profesi Konsultan Pajak

Toto   

Universitas Esa Unggul Bekasi

A. PENDAHULUAN  

Kata Profesi yang bersumber dari kata “profesional” berasal dari kata bahasa Inggris “profession” yang berarti pekerjaan. Seseorang yang mahir atau ahli dalam menjalankan suatu profesi disebut sebagai profesional. Prinsip dasar profesi adalah bidang pekerjaan yang berlandaskan pada keahlian pendidikan tertentu (keterampilan, profesi, dan sebagainya). Dalam praktiknya, istilah pekerjaan dan profesional sering digunakan secara bergantian dan memiliki beberapa makna. Dalam konteks sehari-hari, istilah pekerjaan dipahami sebagai aktivitas (permanen) (Belanda: baan, Inggris: job atau profesional) untuk mencari penghidupan, baik yang legal maupun yang tidak. (Hornby dkk,  

1995:791) dalam Kamus “The Advanced Learner’s Dictionary of Current English” dinyatakan bahwa “profession is occupation, especially one requiring advanced education and special training.”  

Profesi Konsultan Pajak yang telah ada sejak tahun 1960-an atau saat ini sudah berkisar 65 tahun keberadaannya, masih harus menghadapi dinamika dalam implementasi pengaturan praktiknya terlepas dari permasalahan lainnya yang muncul seputar profesi Konsultan Pajak.  

Sejak awal keberadaannya, Konsultan Pajak telah memainkan peranan penting dalam hal membantu pemerintah untuk mendorong Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya. Melalui kebijakan pengampunan pajak yang pertama dilakukan pada Tahun 1964, memperlihatkan salah satu wujud peran serta Konsultan Pajak sebagai mitra pemerintah (Toto, 2022).   

Kombinasi sistem penilaian mandiri, Undang – Undang perpajakan yang rumit, hukuman serius bagi ketidakpatuhan, peningkatan aktivitas internasional, dan prospek pengurangan tagihan pajak telah meningkatkan ketergantungan wajib pajak

pada praktisi perpajakan. Namun para praktisi perpajakan tidaklah homogen. Nasihat perpajakan saat ini diberikan oleh berbagai profesional termasuk akuntan, auditor, pengacara, mantan dan pegawai administrasi perpajakan. Otoritas dan ahli pajak yang bekerja di perusahaan, serta mereka yang secara resmi diidentifikasi sebagai Konsultan Pajak karena keanggotaan mereka di lembaga perpajakan profesional.  

Ungkapan “praktisi pajak” berupaya untuk mencakup berbagai macam individu. Beberapa beroperasi sebagai praktisi tunggal atau dalam kemitraan spesialis hukum, akuntansi, atau pajak dan memberikan beragam kategori nasihat perpajakan kepada mereka klien. Profesional pajak yang bekerja in-house biasanya dipekerjakan oleh organisasi dan akan bertindak semata-mata demi kepentingan organisasi tersebut sebagai anggota tim pajak internal.

Praktisi perpajakan telah diakui sebagai aktor kunci dalam proses kepatuhan pajak, yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk tindakan kepatuhan pajak kliennya. Laporan tahun 2008 yang berasal dari  OECD mengakui kekuatan ini serta mengidentifikasi praktisi perpajakan sebagai salah satu faktor risiko kepatuhan pajak yang harus diawasi oleh administrasi perpajakan (Doyle, 2022).   

Namun Fakta maraknya praktik Konsultan Pajak oleh mereka yang belum jelas kompetensinya sudah dialami oleh beberapa figur publik seperti penyanyi Inul Daratista ataupun Maia Estianti serta entertainer lain seperti Deddy Cobuzier yang kapok menggunakan jasa Konsultan Pajak dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi mereka selaku pengguna (mkl/hn, detik finance, 2015).  

Kondisi ini terjadi karena pengaturan Konsultan Pajak menetapkan standar kompetensi ketat melalui sertifikasi dan pelatihan berkelanjutan, sementara kuasa bukan Konsultan Pajak belum memiliki pengaturan teknis terkait kompetensi, hanya diwajibkan memahami peraturan perpajakan sesuai Undang – Undang dan Peraturan Pemerintah.

Selain itu, pengaturan kode etik hanya diberlakukan bagi kuasa wajib pajak yang berstatus sebagai Konsultan Pajak, sedangkan kuasa yang bukan Konsultan Pajak tidak diwajibkan untuk mematuhi standar etik tersebut. Berbeda halnya dengan Indonesia, negara pembanding dalam penelitian ini telah mengatur kode etik Konsultan Pajak secara tegas dan jelas melalui Undang – Undang yang mengatur profesi tersebut.   

Dari penulisan ini dapat dirumuskan dua hal,  

1). Bagaimana Urgensi Pembentukan Undang – Undang Konsultan Pajak Sebagai Payung Hukum Penegakan Kode Etik Profesi  

Konsultan Pajak? 2). Bagaimana Perbandingan Pengaturan Undang – Undang Tentang  

Konsultan Pajak dibeberapa Negara?   

  1. METODE PENELITIAN 

Jenis Penelitian  

Metode Penelitian Urgensi Pembentukan Undang – Undang Konsultan Pajak Sebagai Payung Hukum Penegakan Kode Etik Profesi Konsultan Pajak menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang memaparkan permasalahan mengenai praktik Konsultan Pajak dengan menganalisa peraturan perundang-undangan perpajakan dan pengalaman penulis sebagai Konsultan Pajak dengan mempelajari dan mengkaji peraturan yang mengatur tentang praktik Konsultan Pajak serta peraturan organisasi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) serta perbandingan dengan ketentuan hukum yang sudah diterapkan di negara Jepan dan Australia yang mengatur praktik Konsultan Pajak.  

Sumber Data.  

Bahan Hukum Primer  

Bahan hukum primer yaitu bahan ilmu hukum yang berasal dari Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175 Tahun 2022, Tax Agent Service Act Tahun 2009 dan Japan Zeirishi Act.  

Bahan Hukum Sekunder  

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer seperti Undang – Undang. Selain itu ada juga pendapat para ahli dan sumber informasi dari internet yang selaras dengan penulisan.  

Teknik Pengumpulan Bahan Hukum  

Penelitian hukum normatif menggunakan metode studi pustaka yang mencakup kajian dokumen. Proses ini meliputi pengumpulan dan analisis bahan hukum, serta penelaahan informasi relevan dari berbagai sumber, seperti buku, artikel, dan dokumen resmi terkait peraturan perundang-undangan, untuk mendukung kajian secara mendalam. Pendekatan ini memungkinkan peneliti menggali dan memahami berbagai aspek hukum secara sistematis dan komprehensif. Analisis Bahan hukum  

Setelah semua bahan hukum berhasil dikumpulan maka selanjutnya diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode deduktif. Penyusunan dilakukan dengan menggunakan cara deskriptif analitis melalui pengumpulan, Menyusun dan menganalisis bahan hukum tersebut. Interpretasi dilakukan secara gramatikal dan sistematis, penafsiran Undang – Undang menurut istilah yang ada didalamnya dan merupakan keterkaitan pasal satu dengan lainnya dalam perundangundangan (Sidharta, 2013).

Selanjutnya, disampaikan dalam bentuk penjelasan yang logis dan sistematis guna memperoleh kejelasan dalam penyelesaian, kemudian diambil kesimpulan untuk menjawab masalah penelitian dengan mengandalkan prinsipprinsip umum lalu diambil faktor-faktor khusus sehingga dapat dihasilkan kesimpulan dari halhal yang bersifat umum.  

C. ANALISIS DAN PEMBAHASAN  

Bagaimana Urgensi Pembentukan Undang – Undang Konsultan Pajak Sebagai Payung Hukum Penegakan Kode Etik Profesi Konsultan Pajak.  

Keberadaan kuasa menurut Undang – Undang adalah untuk memberi kesempatan bagi Wajib Pajak meminta bantuan pihak lain yang dianggap lebih memahami perpajakan sebagai kuasanya. Bantuan ini meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan perpajakan.  

Konsultan Pajak merupakan salah satu pihak yang dapat bertindak sebagai kuasa Wajib Pajak yang telah diakui sejak tahun 1960-an hingga terbitnya Undang – Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pengaturan teknis dan ketat mengenai peran Konsultan Pajak sebagai kuasa Wajib Pajak diatur dalam beberapa regulasi.

Berbagai regulasi terkait kuasa wajib pajak dalam hal Konsultan Pajak di Indonesia meliputi Keputusan Menteri Keuangan Nomor PMK 97/PMK.03/2005, lalu ada juga PMK  22/PMK.03/2008, ditambahkan juga PMK  229/PMK.03/2014, kemudian PMK 175/PMK.01/2022. Terakhir PMK 175/PMK.01/2022 mengatur tentang  Konsultan Pajak, termasuk hak, kewajiban, dan persyaratan profesi tersebut.  

Kuasa Konsultan Pajak disyaratkan harus berpendidikan minimal Sarjana (S1) dan memiliki Sertifikasi Konsultan Pajak yang hanya bisa diperoleh jika seseorang telah dinyatakan lulus mengikuti uji sertifikasi yang diselenggarakan oleh Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak Kementrian Keuangan Republik Indonesia dengan tingkatan yang berbeda dari tingkat A sampai C. Bagian terpenting lainnya, kuasa sebagai Konsultan Pajak diwajibkan mematuhi kode etik yang dimiliki oleh asosiasi profesi (jdihkemenkeugoid, 2022).

Lalu bagaimana dengan kuasa bukan Konsultan Pajak?  

Kuasa bukan Konsultan Pajak secara umum, dalam pengaturannya disebutkan hanya memerlukan bukti kepemilikan sertifikat brevet atau ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh perguruan tinggi negeri atau swasta berstatus akreditasi A, minimal jenjang Diploma III, yang dibuktikan dengan menyerahkan salinan sertifikat brevet atau ijazah.  

Dalam Pasal 49 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan dinyatakan bahwa seorang kuasa meliputi Konsultan Pajak dan bukan Konsultan Pajak. Lalu dinyatakan kembali dalam Pasal 32 ayat (3) dan ayat (3a) Undang – Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan beserta penjelasannya, menyatakan bahwa Wajib Pajak Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan. Selanjutnya diamanatkan oleh Undang – Undang untuk mengatur secara teknis melalui Peraturan Menteri Keuangan.  

Hingga saat skripsi ini ditulis, Peraturan teknis yang terbit sebagai pemenuhan amanat Undang – Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan (atau aturan sebelumnya dalam pasal 32 ayat (3a) Undang – Undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan) baru sebatas pengaturan terhadap Konsultan Pajak yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175 tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014 Tentang Konsultan Pajak.   

Jika pengaturan yang jelas dalam tataran teknis yang meliputi standar kompentensi masih belum ada bagi seorang kuasa wajib pajak khususnya kuasa bukan Konsultan Pajak, lalu bagaimana dengan standar etika yang merupakan bagian penting dalam pelaksanaan profesi seorang kuasa wajib wajib pajak.

Sejauh ini pengawasan terhadap etika dalam pelaksanaan kuasa oleh Konsultan Pajak merujuk kepada kode etik yang disusun oleh Asosiasi Konsultan Pajak yang dalam penulisan ini menggunakan rujukan kode etik Konsultan Pajak dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia. Dalam kode etik tersebut isi pengaturannya dapat diringkas sebagai berikut:

Konsultan Pajak Indonesia wajib memenuhi prinsip kepribadian, keahlian, integritas, kerahasiaan, kepatuhan hukum, serta menghindari benturan kepentingan.

Kepribadian: Konsultan Pajak harus warga negara Indonesia yang bertakwa, jujur, menjunjung keadilan, dan mematuhi hukum serta UUD 1945.

Keahlian: Dapat menolak memberikan jasa di luar keahliannya, namun tidak atas dasar diskriminasi agama, suku, atau keyakinan.

Integritas: Menjaga kepercayaan klien, bersikap jujur, dan melindungi rahasia penerima jasa tanpa mengorbankannya.

Kerahasiaan: Informasi klien wajib dijaga kecuali atas perintah hukum. Prinsip ini juga berlaku bagi staf dan pihak terkait.

Kepatuhan hukum: Tidak menangani kasus tanpa dasar hukum.

Benturan kepentingan: Wajib mundur jika terjadi konflik kepentingan.

Larangan: Meliputi menjalankan profesi lain yang berkaitan dengan ASN (kecuali riset dan pendidikan), memberikan informasi menyesatkan, menjamin hasil, atau melakukan tindakan yang melanggar hukum dan etika profesi. Konsultan wajib menyerahkan dokumen klien saat penggantian konsultan, melapor pelanggaran kode etik, serta menjaga solidaritas profesi dengan tidak merebut klien atau karyawan dari teman seprofesi. Pelanggaran kode etik terhadap teman seprofesi tidak boleh diumumkan melalui media.  

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) sebagai organisasi Konsultan Pajak satusatunya hingga pertengahan tahun 2019 dimana seluruh anggotanya 100% telah memenuhi standar sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175 tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014 Tentang Konsultan Pajak mengupayakan terbitnya Undang – Undang Konsultan Pajak sebagai upaya menetapkan standar yang jelas mengenai kompetensi, integritas, dan akuntabilitas Konsultan Pajak, serta memberikan kewenangan kepada asosiasi profesi untuk mengawasi dan memberikan sanksi kepada anggotanya yang melanggar kode etik untuk menjaga etika, standar dan kompetensi yang jelas.

Melalui proses politik, perjalanan mengusulkan Undang – Undang dimulai sejak tahun 2007 dilanjutkan tahun 2009 hingga 2011 melalui diskusi para ahli di Dewan Perwakilan Daerah. Rancangan Undang – Undang Konsultan Pajak pada saat itu mulai disusun, namun prosesnya terhenti disaat penyusunan naskah akademik yang menjadi salah satu syarat utama yang disebutkan dalam Undang – Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 12 tahun 2011. (jdihkemenkeu, 2011)  

Selanjutnya sejak 2014 hingga menjelang pertengahan 2018 berangkat dari kesadaran yang terus terjaga dalam diri Ketua Umum IKPI saat itu Bapak Mochamad Soebakir, melihat pernyataan seorang Anggota Dewan dari Komisi XI Fraksi Golkar yakni Bapak Mukhamad Misbahkun tentang pentingnya peranan Konsultan Pajak dalam meningkatkan kepatuhan sukarela (Redaktur DDTC News, 2018) di media masa, beliau langsung bergerak untuk mengundang sang anggota dewan pada perayaan hari ulang tahun IKPI yang ke 53 di bulan Agustus 2018.  

Proses penyusunan Rancangan Undang – Undang dilanjutkan untuk dimatangkan dengan koordinasi bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR. Hingga akhirnya proses berlanjut dalam pembahasan yang dituangkan dalam risalah rapat pleno rancangan Undang – Undang tentang Konsultan Pajak tertanggal 4 Juli 2018 yang dalam kesimpulan akhirnya sepakat untuk menyempurnakan draft rancangan Undang – Undang diserahkan kepada tenaga ahli dan pengusul dan nanti akan ditetapkan pada rapat berikutnya, apakah langsung panja atau langsung dibawa ke rapat pleno Baleg.

Dalam laporan singkat rapat, Badan Legislasi menyimpulkan bahwa hasil rapat terkait pengambilan keputusan atas konsepsi RUU Konsultan Pajak menyepakati dan menyetujui RUU tersebut, yang telah melalui proses pengharmonisasian dan pemantapan konsepsi, untuk disampaikan kepada Pengusul RUU guna diproses lebih lanjut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hingga September 2018, sosialisasi melalui gelar diskusi publik terus dilakukan, salah satunya adalah bersama Vokasi Universitas Indonesia di Depok dengan kegiatan yang diberi judul Optimalkan Peran Akademisi, Vokasi UI, dan FIA UI Gelar Diskusi Publik RUU Konsultan Pajak. Melalui Surat Keputusan (SK) DPR Nomor 19 tertanggal 31 Oktober 2018 RUU Konsultan Pajak masuk kedalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas dengan nomor urut 18.  

Landasan filosofis RUU Konsultan Pajak adalah meningkatkan profesionalisme dan kemandirian profesi melalui pengaturan kualifikasi, etika, serta hak dan tanggung jawab. Regulasi ini melindungi Wajib Pajak dari praktik tidak kompeten, mendukung otoritas pajak meningkatkan penerimaan negara, dan mewujudkan tata kelola perpajakan yang terpercaya. Sedangkan landasan sosilogisnya adalah Pajak sebagai tulang punggung negara, menyumbang 85,63% APBN 2017. Meski rasio pajak  

Indonesia rendah (11%) dan kepatuhan Wajib Pajak masih kurang (63,16%), peran Konsultan Pajak strategis. Mereka mendukung otoritas pajak meningkatkan kepatuhan, mengurangi sengketa, serta melindungi Wajib Pajak. Undang-Undang Konsultan Pajak diperlukan untuk menjamin profesionalisme dan integritas profesi ini. Lalu landasan yuridisnya adalah Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menetapkan Indonesia sebagai negara hukum, di mana semua aspek kehidupan harus berdasarkan hukum nasional. Saat ini, profesi Konsultan  Pajak diatur melalui PMK No.  111/PMK.03/2014 dan Perdirjen Pajak No. PER-13/PJ/2015.

Namun, aturan ini hanya setingkat Peraturan Menteri, tidak memiliki landasan hukum yang kuat sebagaimana diatur UU No. 12 Tahun 2011. Profesi lain seperti Akuntan Publik (UU No. 5/2011) dan Advokat (UU No. 18/2003), memiliki pengaturan setingkat undang-undang. Negara lain, seperti Jepang dan Australia, juga mengatur profesi ini pada tingkat undang-undang. Oleh karena itu, UU Konsultan Pajak diperlukan untuk memperkuat landasan hukum, menyelaraskan regulasi internasional, dan mendukung pelaksanaan peraturan perpajakan secara efektif. (Badan Legislasi DPR, 2017).  

Membandingkan dengan profesi lain yang ada di Indonesia seperti diuraikan diatas, yakni Akuntan Publik dimana lingkup pekerjaan yang dilakukan dapat dikatakann hampir mirip dengan Profesi Konsultan Pajak, problematika kode etik juga kerap terjadi dikalangan anggotanya, namun pengaturan dengan sangat jelas telah ada melalui Undang – Undang Akuntan Publik tahun 2011, yang mendefenisikan Profesi Akuntan Publik adalah seseorang yang telah memperoleh izin untuk memberikan jasa atau menjalankan praktik Akuntan Publik dan selanjutnya Undang – Undang tersebut menjadi rujukan dalam penegakan kode etik profesi (Aflii, 2016).  

Bagaimana Perbandingan Pengaturan Undang – Undang Tentang Konsultan Pajak dibeberapa Negara?  

Merujuk pada Teori Perbandingan Hukum. Perbandingan Hukum hendaknya dilakukan sebagai jalan untuk mencari kebenaran. Perbandingan Hukum tidak boleh berhenti hanya pada tataran legal text tetapi lebih mendalam atau pre “text” yakni alasan atau latar belakang yang menyebabkan keluarnya teks tersebut. (Buana, M. S., & SH, 2024). Perbandingan hukum juga dapat dilakukan baik secara luas ataupun terbatas merujuk pada teori komparabilitas. Perbandingan hukum yang dilakukan secara luas memiliki sifat inklusif berpegang pada prinsip everything is comparable even if looks incomparable sehingga perbandingan tersebut dilakukan terhadap subjek hukum apapun.

Sedangkan perbandingan hukum secara terbatas memiliki sifat ekslusif dengan prinsip comparison is possible only if the instances are comparable and the results interpretable dengan berpegang pada tiga unsur dalam kegiatan kajian perbandingan hukum yaitu, comparatum (elemen perbandingan dalam kajian), comparandum (subjek perbandigan) dan tertium comparationis (elemen umumyang terdapat dalam masing-masing entitas hukum yang diperbandingkan). (Lukito, 2019). Sehingga kita dapat membandingkan juga bagaimana pengaturan Seorang Kuasa Wajib Pajak di Negara lain.  

Dalam penulisan skripsi ini sebagai bahan perbandingan digunakan negara Australia dan Jepang yang diketahui telah memiliki pengaturan setingkat Undang – Undang. Diketahui keberadaan Undang – Undang tersebut telah ada sejak tahun 1951, Zeirishi Act di Jepang dan sejak tahun 2009, Tax Agent Services Act di Australia.  

Mission Zeirishi atau dalam terjemahan bebas adalah Akuntan Pajak di Jepang sebagai pakar dalam masalah perpajakan, adalah berusaha dari sudut pandang yang independen dan adil, sesuai dengan prinsip sistem penilaian mandiri, untuk membuktikan diri layak mendapatkan kepercayaan para pembayar pajak dan memastikan pemenuhan kewajiban pajak yang ditetapkan dalam Undang – Undang dan peraturan terkait pajak (Japan Federation of Zeirishi Associations/JFCPTAA, 2016). Dalam pasal 36 sampai dengan pasal 38 terdapat larangan yang jelas diatur di dalamnya dan wajib untuk ditaati tentang suatu sikap dan etika yang harus dimiliki oleh seorang Zeirishi.  

Menariknya dalam pasa 39 disebutkan, Seorang Zeirishi harus mematuhi peraturan asosiasi dari Asosiasi Zeirishi yang berafiliasi dengannya dan Federasi Asosiasi Zeirishi Jepang. Secara tegas juga disebutkan dalam pasal 58 Bab 8 tentang Ketentuan Pidana, Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 36 (termasuk dalam hal pasal tersebut diberlakukan mutatis mutandis sesuai dengan Pasal 48-16 atau Pasal 50 Ayat 2) dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak dua juta yen (Japan Federation of Zeirishi Associations/JFCPTAA, 2016). Melalui pengaturan yang demikian di dalam   – Undang, secara tegas mendorong secara langsung profesionalisme Zeirishi dalam menjalankan prakteknya.  

Serupa dengan Jepang, dalam Tax Agent Services Act disebutkan, tujuan dari Undang – Undang tersebut adalah untuk mendukung kepercayaan dan keyakinan publik terhadap integritas profesi pajak dan sistem perpajakan dengan memastikan bahwa layanan agen pajak diberikan kepada masyarakat sesuai dengan standar perilaku profesional dan etika yang tepat (the Office of Parliamentary Counsel, 2009). Part 3 Tax Agent Services Act secara khusus mengatur Kode Etik Profesional yang mencakup kewajiban, sanksi administratif, dan tanggung jawab lain bagi agen pajak.

Agen pajak wajib menerapkan hukum perpajakan dengan benar sesuai kondisi klien, memberi nasihat tentang hak dan kewajiban pajak, serta tidak menghalangi administrasi hukum perpajakan. Mereka diwajibkan memiliki asuransi ganti rugi profesional untuk melindungi dari potensi kerugian akibat kesalahan atau kelalaian. Agen pajak juga harus bertindak bertanggung jawab saat bekerja dengan entitas lain, tidak mempekerjakan pihak yang tidak memenuhi syarat tanpa persetujuan Dewan, dan menghindari hubungan dengan entitas yang didiskualifikasi untuk mencegah praktik pajak yang tidak etis.

Selain itu, agen pajak harus menjalin komunikasi tepat waktu dengan Dewan, termasuk menanggapi permintaan atau arahan dengan cepat. Kepatuhan terhadap standar hukum dan kewajiban tambahan yang ditetapkan memastikan integritas profesional serta melindungi klien dan sistem perpajakan. (the Office of Parliamentary Counsel, 2009)  

D. KESIMPULAN DAN SARAN  

Pengaturan kuasa wajib pajak di Indonesia masih belum memadai, terutama bagi kuasa bukan Konsultan Pajak. Saat ini, hanya Konsultan Pajak yang diwajibkan memiliki sertifikasi, pendidikan berkelanjutan, dan mematuhi kode etik, sedangkan kuasa bukan Konsultan Pajak diatur secara minimal tanpa standar kompetensi yang jelas. Kondisi ini berisiko memberikan layanan yang tidak profesional dan merugikan wajib pajak. Pentingnya Pengesahan Undang – Undang Konsultan Pajak di Indonesia mendesak dilakukan guna menetapkan standar kompetensi, sekaligus penegakan etika, dan pengawasan, melindungi wajib pajak, serta mendukung sistem perpajakan yang profesional dan akuntabel apalagi sudah pernah berproses di DPR.  

Negara seperti Jepang (melalui Zeirishi Act) dan Australia (melalui Tax Agent Services Act) telah menetapkan standar kompetensi, penegakan etika, dan sanksi pelanggaran, sehingga meningkatkan profesionalisme profesi Zeirishi dan Tax Agent. Penting bagi Indonesia untuk dapat mengimplementasikan hal serupa dengan mencontoh kedua negara tersebut yang secara geografis sangat dekat dengan Indonesia serta memiliki konsep pemajakan yang sama yakni self-assessment  system. 

REFRENCE  

Aflii. (2016). PENEGAKAN KODE ETIK PROFESI PADA SUATU KANTOR AKUNTAN PUBLIK 

0, 1–23.  

Badan Legislasi DPR. (2017). Naskah Akademik RUU Konsultan Pajak-2017 

Buana, M. S., & SH, M. H. (2024). Perbandingan Hukum Tata Negara: Filsafat, Teori, dan Praktik.  

Sinar Grafika.  

Doyle, E. (2022). Encouraging Ethical Tax Compliance Behaviour: the Role of the Tax Practitioner in Enhancing Tax Justice. Law and Contemporary Problems, 85(4), 137–157.  

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia. (2019). ANGGARAN DASAR ANGGARAN RUMAH TANGGA IKPI – KONGRES XI. In Ikpi.Com 

Japan Federation of Zeirishi Associations/JFCPTAA. (2016). CERTIFIED PUBLIC TAX  

ACCOUNTANT ACT (Zeirishi Act) International Relations Department Japan Federation of  

Zeirishi Associations/JFCPTAA. https://www.nichizeiren.or.jp/eng/pdf/Zeirishi_Act.pdf jdihkemenkeu. (2011). Undang – Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 

jdihkemenkeugoid. (2022). 175/PMK.01/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014 tentang Konsultan Pajak. 2.  

Kurniawati, putri. (2017). Apakah Standar Kompetensi itu? Universitas Nusantara PGRI Kediri, 01, 1–7.  

Lukito, R. (2019). Perbandingan Hukum (Fara, Ed.; Kedua). Gadjah Mada University Press.  

mkl/hn (detik finance). (2015, February). Kapok Pakai Konsultan Pajak 

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-2831299/pernah-ketipu-inul-kapok-pakaikonsultan-pajak.  

Redaktur DDTC News. (2018). Konsultan Pajak Punya Peran Tingkatkan Kepatuhan Sukarela 

https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/12713/misbakhun-konsultan-pajak-punya-perantingkatkan-kepatuhan-sukarela  

Redi, A. (2022). Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Tarmizi, Ed.; Ketiga). Sinar Grafika.  

Sidharta, B. A. (2013). Etika dan Kode Etik Profesi Hukum. 1, 30.  

Suhayati, E. (2020). Definisi Perilaku, Sikap, Kode Etik Dan Etika Profesi. 1–11.  

the Office of Parliamentary Counsel, C. (2009). Tax Agent Services Act 2009. www.legislation.gov.au  

Toto. (2022). Jajak Pajak (Rais Rozali, Ed.; 1st ed., Vol. 1). AkuprimPublishing.  

Wajdi, F. (2020). Etika profesi hukum / Dr.Mardani. Buku Ajar Eitka Profesi Hukum, 132.  

   

 

en_US