Menelaah PMK 37/2025 dan Revolusi E-Commerce Indonesia

Benjamin Franklin pernah berkata bahwa dalam hidup ini hanya ada dua kepastian: kematian dan pajak. Namun di era digital saat ini, penulis menambahkan satu kepastian lagi perubahan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 yang mulai berlaku pada 14 Juli 2025 adalah manifestasi nyata dari kepastian perubahan tersebut.

Dua dekade pengalaman di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan lebih dari satu dekade berpraktik sebagai konsultan mengajarkan satu hal kepada penulis, kesenjangan antara perkembangan ekonomi dan evolusi sistem pajak seringkali menjadi sumber ketidakadilan yang sistematis. PMK 37/2025 lahir dari kesadaran bahwa dunia telah bermetamorfosis, sementara instrumen perpajakan kita masih terpaku pada kerangka konvensional.

Bayangkan seorang pedagang sepatu di Jalan Malioboro yang setiap hari membayar sewa kios lima juta rupiah per bulan, tunduk pada Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penghasilan, dan berbagai retribusi lainnya. Di sisi lain, pedagang sepatu daring dengan omzet setara dapat dengan mudah menghindari kewajiban perpajakan. Ini bukan lagi persoalan teknis—ini adalah persoalan keadilan fundamental dalam sistem ekonomi kita.

Data berbicara lebih tegas daripada argumen teoritis. Dari 1,6 juta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, hanya 653 ribu yang secara konsisten menyetorkan Pajak Penghasilan final pada tahun 2024. Sementara itu, nilai transaksi ekonomi digital Indonesia telah mencapai 487 triliun rupiah.

Inilah yang saya sebut sebagai “Paradoks Visibilitas Pajak” fenomena dimana aktivitas ekonomi raksasa berlangsung di luar jangkauan sistem perpajakan nasional.

Membedah Arsitektur Perubahan

PMK 37/2025 bukanlah sekadar penyesuaian regulasi biasa. Ini adalah intervensi bedah terhadap sistem yang tidak lagi sesuai dengan zamannya.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah perpajakan Indonesia, platform digital tidak lagi berperan sebagai “tempat berdagang” semata, tetapi berevolusi menjadi perpanjangan tangan Direktorat Jenderal Pajak di dunia maya. Tokopedia, Shopee, Lazada, dan platform sejenis kini menjadi agen resmi pemungut pajak negara.

Keputusan menunjuk penyedia platform perdagangan elektronik sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah langkah cemerlang. Mengapa demikian? Karena mereka menguasai tiga aset strategis: data transaksi real time, infrastruktur teknologi yang solid, dan yang terpenting posisi sebagai titik kontrol dalam aliran dana digital.

Formula Tarif yang Terukur

Penetapan tarif 0,5 persen bukan angka yang dipilih secara sembarangan. Ini merupakan hasil kalkulasi cermat antara optimalisasi penerimaan negara dan pemeliharaan daya saing industri digital domestik. Jika dibandingkan dengan India yang menerapkan tarif 1 persen atau Filipina dengan rentang 1-2 persen, Indonesia memilih jalan tengah yang bijaksana.

Dalam konteks margin keuntungan yang tipis di industri perdagangan elektronik Indonesia, tarif 0,5 persen masih berada dalam ambang batas yang dapat ditolerir mayoritas pelaku usaha tanpa memicu eksodus besar-besaran atau distorsi harga yang merugikan konsumen.

Pengecualian bagi pedagang orang pribadi dengan omzet tahunan hingga 500 juta rupiah bukan sekadar gestur politik kosong. Ini adalah kebijaksanaan kebijakan yang mengakui bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah adalah tulang punggung ekonomi rakyat yang perlu dilindungi sambil tetap didorong untuk berkembang dan berkontribusi.

Namun, seperti setiap narasi yang menarik, PMK 37/2025 memiliki aspek-aspek mengejutkan yang patut dicermati:

Pertama, regulasi ini memperluas definisi pedagang digital secara signifikan. Bukan hanya penjual barang, tetapi juga kurir, perusahaan asuransi, bahkan fotografer yang menawarkan jasa melalui platform. Ini adalah pendekatan ekosistem yang canggih dan komprehensif.

Kedua, persyaratan rekening penampung (escrow account) adalah langkah strategis yang brilian. Hanya platform dengan infrastruktur keuangan yang matang yang dapat ditunjuk sebagai pemungut. Ini secara tidak langsung mendorong profesionalisasi industri platform perdagangan elektronik.

Ketiga, penerapan secara bertahap menunjukkan pragmatisme pemerintah. Pengalaman internasional membuktikan bahwa pendekatan perubahan menyeluruh dalam reformasi perpajakan biasanya berakhir dengan kekacauan.

Sebagai mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang pernah menduduki posisi strategis mulai dari Pemeriksa Pajak hingga Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi, kemudian berpraktik sebagai konsultan independen sejak 2011, saya memiliki perspektif holistik dari berbagai sudut pandang.

Pengalaman 20 tahun di kantor pajak—mulai dari pemeriksaan langsung, penanganan keberatan dan banding, administrasi PPh Badan, hingga pengawasan dan konsultasi memberikan pemahaman komprehensif tentang seluk-beluk sistem perpajakan Indonesia. Sementara pengalaman lebih dari 13 tahun sebagai konsultan membuka wawasan tentang tantangan praktis yang dihadapi dunia usaha dalam pemenuhan kewajiban perpajakan.

Tidak semua penyedia platform memiliki sistem teknologi informasi yang siap untuk otomatisasi perpajakan. Integrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak, perhitungan pajak real time, dan pelaporan otomatis semua ini membutuhkan investasi teknologi yang substansial.

Dari pengalaman menangani banyak kasus pemeriksaan pajak, keberatan dan banding, serta mengawasi kepatuhan wajib pajak badan selama dua dekade di DJP, modul perpajakan mereka masih manual, pelaporan berbasis lembar kerja elektronik, dan rekonsiliasi dilakukan secara berkala. Bayangkan chaos yang akan terjadi jika mereka tiba-tiba harus mengelola kepatuhan pajak untuk ribuan pedagang.

Platform asing seperti AliExpress atau Amazon yang melayani konsumen Indonesia menghadapi dilema: patuh pada regulasi Indonesia atau mundur dari pasar. Mekanisme penegakan hukum terhadap platform luar negeri masih menjadi tanda tanya besar dalam implementasi regulasi ini.

Pertanyaan krusial yang harus dijawab: akankah pedagang mengalihkan beban pajak kepada konsumen? Elastisitas permintaan di sektor perdagangan elektronik relatif tinggi. Kenaikan harga 0,5 persen dapat bermakna signifikan dalam kategori produk tertentu, terutama yang bersaing ketat dalam hal harga.

Indonesia tidak berjalan sendiri dalam perjalanan ini. India dengan sistem Tax Collected at Source-nya, Inggris dengan Digital Services Tax, bahkan Uni Eropa dengan Digital Levy semua sedang bereksperimen dengan model perpajakan digital yang inovatif.

Pelajaran berharga yang dapat dipetik:

Dari India: Implementasi bertahap dengan ambang batas yang jelas lebih efektif dibandingkan penerapan menyeluruh sekaligus.

Dari Inggris: Political will yang kuat sangat esensial, tetapi konsultasi dengan industri sama pentingnya.

Dari Uni Eropa: Harmonisasi lintas rezim perpajakan berbeda dimungkinkan, tetapi memerlukan koordinasi yang luar biasa.

Indonesia mengambil jalan tengah: tidak seagresif India, tidak sekomprehensif Uni Eropa, tetapi lebih tegas dibanding mayoritas negara ASEAN.

Efek Domino di Luar Penerimaan Pajak

PMK 37/2025 akan memicu efek berantai yang melampaui sekadar pengumpulan penerimaan pajak:

Untuk pertama kalinya, pemerintah akan memiliki visibilitas real time terhadap ekonomi digital Indonesia. Ini adalah tambang emas informasi untuk pembuatan kebijakan ekonomi yang berbasis data empiris.

Pedagang akan dipaksa untuk menata rumah mereka: pembukuan yang proper, struktur bisnis yang legal, pola pikir kepatuhan. Ini adalah modernisasi paksa yang pada akhirnya menguntungkan semua pihak.

Platform akan berlomba mengembangkan solusi teknologi perpajakan. Kita mungkin akan menyaksikan lahirnya pemain teknologi finansial baru yang fokus pada otomatisasi perpajakan untuk usaha kecil dan menengah.

PMK 37/2025 adalah bukti konsep bahwa Indonesia mampu merumuskan kebijakan pajak digital yang canggih. Ini membuka jalan bagi kebijakan yang lebih maju di masa depan.

Panduan Strategis untuk Pemangku Kepentingan

Untuk Pemerintah: Imperatif Keunggulan Eksekusi

Berbekal pengalaman praktis dalam menangani berbagai sengketa pajak dan mengawasi kepatuhan korporasi, saya memahami betul bahwa kesuksesan suatu regulasi tidak hanya terletak pada kecanggihan rumusannya, tetapi pada kualitas implementasi di lapangan. PMK 37/2025 yang baik di atas kertas dapat menjadi kontraproduktif jika pelaksanaannya tidak mempertimbangkan realitas operasional.

Prioritas Utama Investasi besar-besaran dalam integrasi sistem dan kemampuan analisis data.

Prioritas Kedua: Membentuk gugus tugas khusus untuk menangani proses onboarding platform.

Prioritas Ketiga: Mengembangkan program edukasi komprehensif, bukan sekadar sosialisasi.

Untuk Platform: Mengubah Kepatuhan Menjadi Keunggulan Kompetitif

Platform yang cerdas akan melihat ini sebagai peluang, bukan beban.

Strategi Pertama: Mengembangkan alat otomatisasi perpajakan superior yang dapat menjadi daya tarik bagi pedagang.

Strategi Kedua: Menciptakan layanan konsultasi pajak sebagai penawaran nilai tambah.

Strategi Ketiga: Menggunakan keunggulan kepatuhan sebagai sinyal kepercayaan kepada pengguna.

Untuk Pedagang: Keharusan untuk Adaptasi

Charles Darwin benar, yang bertahan bukan yang terkuat atau terpintar, tetapi yang paling responsif terhadap perubahan.

Taktik Pertama: Audit model bisnis dan struktur biaya segera.

Taktik Kedua: Investasi dalam sistem akuntansi yang proper dan perangkat kepatuhan pajak.

Taktik Ketiga: Pertimbangkan strategi perencanaan pajak yang legitimate dan menguntungkan.

PMK 37/2025 adalah babak pertama dari cerita transformasi yang lebih besar. Kemana arah selanjutnya?

Jangka Pendek (1-2 tahun): Fokus pada implementasi dan penyempurnaan. Bersiaplah untuk penyesuaian berdasarkan bukti empiris dari lapangan.

Jangka Menengah (3-5 tahun): Ekspansi ke pajak layanan digital, kemungkinan Pajak Pertambahan Nilai atas produk digital, integrasi dengan inisiatif pajak global.

Jangka Panjang (5+ tahun): Sistem pajak yang sepenuhnya otomatis dan didukung kecerdasan buatan yang mampu melakukan penilaian dan monitoring kepatuhan secara real time.

PMK 37/2025 adalah momen bersejarah dalam evolusi perpajakan Indonesia. Ini bukan sekadar penyesuaian teknis—ini adalah pergeseran paradigma menuju sistem pajak yang modern, responsif, dan berkeadilan.

Bagi mereka yang siap beradaptasi, ini adalah peluang emas. Bagi yang enggan berubah, ini bisa menjadi ancaman eksistensial.

Yang pasti, kereta perubahan sudah bergerak. Pertanyaannya bukan apakah kita setuju atau tidak, tetapi seberapa cepat kita dapat naik dan memanfaatkannya sebaik-baiknya.

Seperti selalu dalam dunia perpajakan: perubahan adalah satu-satunya konstanta. PMK 37/2025 adalah pengingat bahwa dalam ekonomi digital yang bergerak cepat, kebijakan pajak harus sama gesit dan berwawasan ke depan.

Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Selatan

DR. Wiston Manihuruk, SE, SH, MSi, CA, CTL

Email : wistonmlg@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

Tindak Pidana Perpajakan Di Era KUHP Nasional

Salah satu hal yang paling dihindari oleh Konsultan Pajak adalah terlibat dalam tindak pidana perpajakan. Sekalipun Konsultan Pajak dengan kliennya didasari oleh hubungan keperdataan, Konsultan Pajak tidak terlepas dari ancaman sanksi pidana perpajakan ketika menjalankan hak dan pemenuhan kewajiban pajak kliennya. Pasal 43 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) menyebutkan:

“(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.”

Lebih lanjut Penjelasan Pasal 43 ayat 1 UU KUP menjelaskan:

“Yang dipidana karena melakukan perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan tidak terbatas pada Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, kuasa Wajib Pajak, pegawai Wajib Pajak, Akuntan Publik, Konsultan Pajak, atau pihak lain, tetapi juga terhadap mereka yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.”

Sebagaimana disebutkan Pasal 43 UU KUP di atas, Konsultan Pajak merupakan salah satu pihak yang terancam dikenakan sanksi pidana dalam hal terbukti melanggar Pasal 39, 39A, 41, dan 41B UU KUP. Pasal 43 ayat 1 UU KUP menyebutkan terdapat 5 (lima) peran yang diancam sanksi pidana, peran-peran tersebut yaitu:

1. Pihak yang melakukan;

2. Pihak yang menyuruh melakukan;

3. Pihak yang turut serta melakukan;

4. Pihak yang menganjurkan;

5. Pihak yang membantu melakukan;

Tindak pidana di bidang perpajakan.

Kelima peran di atas dikenakan sanksi pidana jika terbukti melanggar Pasal 39 dan Pasal 39A UU KUP, sedangkan Pasal 43 ayat 2 UU KUP menyebutkan 3 (tiga) peran yaitu pihak yang menyuruh melakukan, pihak yang menganjurkan, dan pihak yang membantu melakukan dikenakan sanksi pidana jika terbukti melanggar Pasal 41A dan Pasal 41B UU KUP disamping pelakunya itu sendiri. Pasal 43 UU KUP tersebut menyamaratakan ancaman sanksi pidana, baik terhadap pelaku maupun terhadap peran yang turut serta atau yang turut membantu melakukan tindak pidana. Hal tersebut tentunya sangat memberatkan bagi Konsultan Pajak yang sehari-hari menjalankan hak dan pemenuhan kewajiban pajak kliennya. Sewaktu-waktu Konsultan Pajak dapat terseret baik sebagai pelaku maupun sebagai penyerta atau pembantu dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 39, 39A, 41A dan Pasal 41B UU KUP.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) yang berlaku efektif pada 2 Januari 2026 mendatang, pada akhirnya akan menyudahi penyamarataan sanksi pidana yang selama ini diatur dalam Pasal 43 UU KUP. Bab XXXVI Ketentuan Peralihan Pasal 613 KUHP Nasional menyebutkan bahwa:

“(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, setiap Undang-Undang dan Peraturan Daerah yang memuat ketentuan pidana harus menyesuaikan dengan ketentuan Buku Kesatu Undang-Undang ini.

(2) Ketentuan mengenai penyesuaian ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Undang-Undang.

Penjelasan:

Dalam ketentuan ini, penyesuaian ketentuan pidana tidak termasuk bagi ancaman pidana denda yang diatur dalam Undang-Undang Pidana Administratif.”

Jika merujuk pada Pasal 613 ayat 1 KUHP Nasional di atas, maka ketentuan Pasal 43 UU KUP yang menyamaratakan ancaman sanksi pidana terhadap pelaku maupun peran yang turut serta atau yang turut membantu melakukan tindak pidana wajib disesuaikan dengan ketentuan Buku Kesatu KUHP Nasional. Sesuai amanah Penjelasan Pasal 613, penyesuaian ancaman sanksi pidana tersebut tidak mencakup pidana denda. Dengan demikian ancaman sanksi pidana denda dalam Pasal 39, 39A, 41A, 41B UU KUP yang diberlakukan terhadap penyerta dan pembantu tidak mengalami penyesuaian.

Buku Kesatu KUHP Nasional, khususnya Pasal 20 mengatur mengenai penyertaan dan Pasal 21 mengatur mengenai pembantuan tindak pidana. KUHP Nasional membedakan ancaman sanksi pidana dalam penyertaan dengan ancaman sanksi pidana dalam pembantuan. Ancaman sanksi pidana dalam penyertaan diperlakukan sama dengan pelaku tindak pidana, sedangkan ancaman sanksi pidana dalam pembantuan adalah paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari maksimum ancaman pidana pokok. Dengan demikian setelah KUHP Nasional berlaku efektif, maka ancaman maksimum sanksi pidana pokok bagi pihak yang membantu melakukan tindak pidana Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 41A dan Pasal 41B UU KUP adalah menjadi sebagai berikut:

Adanya penyesuaian ancaman maksimum pidana pokok di atas, tentunya merupakan suatu hal yang meringankan baik bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana pihak yang membantu melakukan tindak pidana tersebut. Sesuai dengan Asas Lex Favor Reo (asas yang menetapkan bahwa sanksi diterapkan berdasarkan hukuman yang paling ringan ketika terjadi perubahan ketentuan hukum yang berlaku) yang menjiwai Pasal 3 KUHP Nasional, maka sanksi pidana yang disangkakan, dituntut dan dijalani harus disesuaikan dan didasarkan pada aturan pidana yang paling meringankan bagi pihak yang diduga, dituntut bahkan yang sedang menjalani sanksi pidana turut membantu tindak pidana tersebut.

 

 

Demikian benang merah perlakuan sanksi pidana pada pasal penyertaan dan pembantuan tindak pidana perpajakan di era KUHP Nasional yang penulis sampaikan. Semoga tulisan yang jauh dari kata sempurna ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan Konsultan Pajak seprofesi. Teriring harapan agar profesi Konsultan Pajak segera memiliki payung hukum Undang-Undang yang memberikan perlindungan (imunitas) terhadap para Konsultan Pajak yang menjalankan hak dan pemenuhan kewajiban pajak kliennya dengan itikad baik.

 

 

Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Kota Bandung

Hari Yanto

Email: hari_yanto_sh@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Migrasi Digital Startup Indonesia : Tinjauan Perencanaan Pajak di Balik Perpindahan ke Singapura

Tahun 2025 menjadi titik balik penting dalam lanskap ekonomi digital Indonesia ketika Traveloka salah satu perusahaan unicorn kebanggaan nasional secara resmi memindahkan kantor pusatnya ke Singapura. Keputusan ini tidak berdiri sendiri. Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, telah terjadi gelombang perpindahan yang sistematis oleh sejumlah perusahaan teknologi Indonesia ke negeri tetangga tersebut. Gojek, Tokopedia, Bukalapak, dan kini Traveloka, telah mengalihkan domisili hukum mereka ke Singapura.

Sebagai profesional di bidang perpajakan internasional yang telah menangani restrukturisasi lintas yurisdiksi selama lebih dari sepuluh tahun, penulis menilai bahwa fenomena ini merupakan refleksi dari meningkatnya persaingan antarnegara dalam merebut basis pajak di era ekonomi digital. Meskipun alasan yang sering dikemukakan adalah “akses terhadap pendanaan global” atau “perluasan pasar,” terdapat pula strategi perencanaan pajak yang kompleks dan sistematis di balik keputusan ini.

Struktur Perpindahan: Lebih dari Sekadar Relokasi Fisik

Polanya relatif seragam, perusahaan-perusahaan ini tetap menjalankan kegiatan usaha dan operasional di Indonesia. Traveloka, misalnya, masih mengelola sekitar 2.000 karyawan di kawasan BSD—namun mereka memindahkan entitas induk (holding company) ke Singapura. Ini bukan relokasi usaha dalam pengertian konvensional, melainkan perombakan struktur korporasi yang dirancang secara cermat.

Dalam dunia perpajakan internasional, ini disebut sebagai bentuk “migrasi korporasi yang didorong oleh motif pajak” (tax-driven corporate migration). Kegiatan usaha tetap di Indonesia, namun kedudukan hukum berpindah ke yurisdiksi yang memberikan beban pajak lebih ringan. Tidak mengherankan bila dalam laporan resmi Google-Temasek, sejumlah unicorn asal Indonesia kini dikategorikan sebagai entitas asal Singapura menunjukkan bahwa secara hukum dan administratif, migrasi ini telah rampung.

Pemilihan Waktu yang Tepat

Yang menarik, keputusan relokasi dilakukan pada saat perusahaan telah menunjukkan kinerja keuangan yang stabil dan mendekati rencana penawaran saham perdana (IPO). Dalam praktik perencanaan pajak, momentum ideal untuk migrasi korporasi adalah ketika perusahaan telah mencapai kematangan finansial namun belum melakukan peristiwa likuiditas besar seperti IPO atau merger dan akuisisi (M&A).

Singapura menawarkan banyak keunggulan bagi perusahaan yang ingin berkembang secara global. Sebagai pusat keuangan utama di Asia, negara ini memiliki sistem hukum yang berbasis common law, regulasi yang stabil, dan rekam jejak yang kuat dalam mendukung IPO besar. Domisili di Singapura mempermudah akses terhadap investor institusional dan memperkecil biaya pendanaan.

Skema dual listing yang memungkinkan pencatatan saham di Singapura dan Jakarta secara bersamaan juga memberikan fleksibilitas yang lebih besar dibandingkan apabila perusahaan tetap berdomisili di Indonesia.

Perluasan ke Kawasan Regional

Secara geografis dan strategis, Singapura merupakan lokasi ideal untuk ekspansi ke kawasan Asia Tenggara. Dengan lebih dari 80 perjanjian pajak berganda (P3B), Singapura menyediakan struktur fiskal yang lebih efisien untuk ekspansi lintas batas tanpa terbebani pajak potong yang tinggi.

Selain dari sisi pajak, perusahaan juga mempertimbangkan aspek regulasi. Singapura dikenal dengan efisiensi birokrasi, kepastian hukum yang tinggi, serta kebijakan yang mendukung kegiatan usaha secara konsisten. Dalam industri teknologi yang sangat dinamis, stabilitas regulasi menjadi keunggulan tersendiri.

Jika kita telaah lebih dalam, motivasi perpindahan ini banyak dipengaruhi oleh pertimbangan perpajakan. Berikut adalah beberapa komponen utama strategi pajak yang digunakan:

1. Arbitrase Tarif Pajak Penghasilan Badan

Meskipun selisih tarif pajak antara Indonesia (22%) dan Singapura (17%) tampak kecil, lima persen perbedaan ini sangat signifikan bagi perusahaan yang memiliki laba tahunan besar. Misalnya, untuk laba sebesar US$100 juta, selisih ini berarti penghematan pajak hingga US$5 juta per tahun.

Singapura juga menawarkan berbagai insentif pajak, seperti Skema Pembebasan Pajak Startup (SUTE) yang memberikan pembebasan pajak penuh atas S$100.000 pertama dan 50% pembebasan atas S$200.000 berikutnya dalam tiga tahun pertama.

2. Optimalisasi Pajak atas Keuntungan Modal

Salah satu alasan terkuat untuk relokasi adalah karena Singapura tidak mengenakan pajak atas capital gains dari penjualan saham. Sebaliknya, Indonesia mengenakan pajak final sebesar 5% bagi entitas asing. Sebagai contoh, jika pendiri Traveloka menjual saham senilai US$1 miliar, mereka akan membayar US$50 juta di Indonesia, sedangkan di Singapura: nol.

3. Pengelolaan Pajak Dividen

Struktur holding di Singapura memungkinkan penghematan pajak atas dividen dari anak perusahaan di Indonesia. Berdasarkan P3B Indonesia–Singapura, tarif potongan pajak atas dividen dapat ditekan menjadi 10% atau 15%, tergantung persentase kepemilikan saham.

Selain dividen, repatriasi laba juga bisa dilakukan melalui pembayaran royalti, jasa manajemen, atau pinjaman antar perusahaan, dengan tarif pajak yang lebih optimal.

4. Struktur Pajak Internasional yang Lebih Kompleks

Dengan menjadi entitas hukum di Singapura, perusahaan memiliki fleksibilitas untuk menyusun struktur pajak internasional yang lebih efisien. Contohnya, untuk ekspansi ke negara-negara seperti Thailand atau Vietnam, repatriasi laba melalui Singapura akan dikenakan pajak lebih rendah dibandingkan langsung ke Indonesia.

Aset kekayaan intelektual (intellectual property) yang sering kali menjadi nilai utama dalam perusahaan teknologi dapat dialihkan ke entitas induk di Singapura. Anak perusahaan di Indonesia kemudian membayar royalti, sehingga laba dipindahkan dari yurisdiksi pajak tinggi ke yang lebih rendah.

Fungsi seperti manajemen risiko, perencanaan keuangan, litbang, hingga pembiayaan, dapat dikonsentrasikan di Singapura. Entitas di Indonesia akan membayar jasa atas fungsi-fungsi tersebut, menciptakan pengalihan laba secara sah.

Holding company di Singapura dapat memberikan pinjaman kepada anak perusahaan di Indonesia, sehingga pendapatan bunga dikenakan pajak lebih rendah. Dengan struktur yang sesuai dan kepatuhan terhadap ketentuan thin capitalization, skema ini menjadi mekanisme pengalihan laba yang efektif.

Meski strategi ini sah secara hukum, risiko tetap ada. Otoritas pajak Indonesia kini semakin canggih dalam mengidentifikasi dan menindak praktik penghindaran pajak yang agresif, termasuk melalui penerapan inisiatif BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) serta penguatan aturan transfer pricing.

Tren global saat ini mengarah pada pajak berbasis substansi nyata. Sekadar memindahkan alamat hukum tidak lagi cukup perusahaan harus menunjukkan aktivitas bisnis riil, keputusan strategis, dan kehadiran operasional yang valid di Singapura.

Respons Pemerintah Indonesia

Pemerintah Indonesia mulai merancang kebijakan baru, seperti pajak atas layanan digital, penguatan definisi beneficial ownership, serta revisi perjanjian pajak internasional. Langkah-langkah ini dapat mengurangi efektivitas strategi migrasi yang berbasis pajak.

Jika fungsi manajemen dan strategis berpindah ke luar negeri, Indonesia berisiko kehilangan tenaga kerja terampil dalam jumlah besar terutama di bidang manajerial dan pengambilan keputusan.

Pusat pengambilan keputusan biasanya menjadi motor penggerak inovasi, kemitraan strategis, dan pengembangan ekosistem. Perpindahan ini berpotensi menghambat visi Indonesia menjadi pusat digital di kawasan.

Keberhasilan awal pelaku migrasi dalam mengoptimalkan struktur pajak dapat memicu perusahaan lain untuk mengikuti jejak serupa, memperluas skala eksodus digital dari tanah air.

Sebagai praktisi di bidang ini, penulis menyarankan agar pemerintah Indonesia mempertimbangkan langkah-langkah berikut:

Menurunkan tarif pajak penghasilan badan ke tingkat 17–19% serta memberikan insentif bagi sektor teknologi agar Indonesia tetap kompetitif.

Penerapan aturan Controlled Foreign Corporation (CFC), pelaksanaan penuh rekomendasi BEPS, serta penegakan transfer pricing secara ketat.

Menegosiasikan ulang P3B dengan memasukkan klausul anti-penyalahgunaan, persyaratan substansi minimum, dan mekanisme pertukaran informasi yang lebih efektif.

Menyusun paket insentif investasi yang menarik khususnya bagi perusahaan teknologi yang berkomitmen menjalankan kegiatan operasional substansial di Indonesia.

Fenomena perpindahan startup Indonesia ke Singapura harus menjadi peringatan serius bagi para pembuat kebijakan. Dalam ekonomi digital yang sangat mobile, negara tidak hanya perlu menarik investasi asing, tetapi juga mempertahankan perusahaan dalam negeri yang telah tumbuh.

Strategi perencanaan pajak yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut memang sah dan dirancang dengan cermat. Namun, dengan arah kebijakan global menuju tarif minimum dan pembatasan agresivitas skema pajak, ruang untuk melakukan perencanaan pajak agresif semakin menyempit.

Indonesia berada pada titik krusial: melakukan reformasi untuk tetap relevan, atau kehilangan lebih banyak perusahaan unggulan nasional ke yurisdiksi yang lebih efisien secara pajak.

Akhirnya, isu ini bukan hanya soal penerimaan negara, tetapi tentang kemampuan Indonesia dalam membina dan mempertahankan perusahaan inovatif yang akan menjadi pendorong transformasi ekonomi di masa depan.

Penulis adalah Anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Selatan

DR. Wiston Manihuruk, SE, SH, MSi, CA, CTL

Email : wistonmlg@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PPN Ditanggung Pemerintah untuk Rumah: Benarkah Impian Jadi Nyata, atau Ada “Jebakan” Lain?

Pernahkah Anda membayangkan membeli rumah impian tanpa harus membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang biasanya sebesar 11% itu? Sejak awal tahun 2025, Pemerintah Indonesia kembali meluncurkan program PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) 100% untuk pembelian rumah, melalui PMK 13/2025. Program ini digadang-gadang sebagai angin segar bagi pasar properti dan calon pembeli. Tapi, seberapa efektifkah program ini di lapangan? Mari kita bedah bersama!

Angin Segar di Tengah Badai Harga

Tujuan utama pemerintah memberikan insentif PPN DTP ini sebenarnya mulia:

1. Mendorong Penjualan Rumah: Bayangkan, harga rumah yang sudah mahal dipangkas lagi 11% (dari PPN)! Ini jelas bikin orang lebih semangat beli.

2. Meringankan Dompet Pembeli: Uang yang seharusnya buat bayar PPN, bisa dialokasikan untuk cicilan, renovasi kecil, atau bahkan beli perabotan baru. Lumayan banget, kan?

3. Memutar Roda Ekonomi: Kalau penjualan rumah naik, otomatis industri lain seperti semen, besi, keramik, sampai tukang bangunan ikut sibuk. Ekonomi jadi bergerak!

Realita di Lapangan: Siapa yang Paling Merasakan Manfaatnya?

Berdasarkan pengamatan hingga Juli 2025, program PPN DTP 100% ini memang berhasil menciptakan kehebohan di pasar properti.

Contoh Nyata: Banyak pengembang melaporkan penjualan rumah menengah (misalnya, harga Rp 500 juta – Rp 2 miliar) melonjak drastis. Ada pengembang di Tangerang yang bilang penjualan klaster rumah Rp 1,5 miliar mereka naik 35% gara-gara insentif ini. Pembeli seperti Bapak Budi, seorang karyawan swasta, mengaku sangat terbantu. “Uang PPN Rp 180 juta yang seharusnya saya bayar, sekarang bisa dipakai buat renovasi dapur impian,” ujarnya bersemangat.

Namun, ada juga sisi lain yang perlu dicermati:

• Hanya untuk yang “Mampu”: Insentif ini memang manis, tapi hanya berlaku untuk rumah dengan harga tertentu. Rumah yang terlalu mewah (di luar batas harga insentif) atau rumah subsidi yang memang sudah bebas PPN, tidak merasakan efek langsung dari program ini. Jadi, manfaatnya lebih terasa di segmen menengah ke atas.

• Suku Bunga KPR Tetap Jadi Momok: PPN sudah gratis, tapi bagaimana dengan bunga KPR (Kredit Pemilikan Rumah) yang kadang masih terasa tinggi? Banyak calon pembeli, meskipun senang dengan PPN DTP, masih mikir dua kali karena khawatir dengan cicilan bulanan yang bisa naik turun mengikuti suku bunga bank. “Meski PPN gratis, bunga KPR yang fluktuatif bikin deg-degan juga,” keluh seorang calon pembeli lain.

• Belum Sentuh Akar Masalah MBR: Kalau bicara masalah “backlog” atau kekurangan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), program PPN DTP ini belum sepenuhnya menjawab. MBR biasanya butuh rumah bersubsidi yang harganya jauh lebih terjangkau dan sudah bebas PPN dari awal. Jadi, insentif ini lebih banyak membantu masyarakat menengah yang membeli rumah komersial, bukan mereka yang paling membutuhkan rumah pertama.

Jadi, Impian Jadi Nyata atau Ada “Jebakan” Lain?

Pemberian insentif PPN DTP 100% adalah langkah positif dari pemerintah untuk merangsang sektor properti dan membantu sebagian masyarakat memiliki rumah impiannya. Bagi mereka yang memang sudah mengincar rumah di segmen harga yang mendapatkan insentif, ini jelas anugerah. Uang yang dihemat bisa dipakai untuk kebutuhan lain, dan ini mendorong mereka untuk segera mengambil keputusan.

Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa insentif ini punya batasnya. Ini bukanlah solusi tunggal untuk semua masalah perumahan di Indonesia, terutama bagi mereka yang paling membutuhkan rumah subsidi. Selain itu, faktor-faktor lain seperti suku bunga bank dan kemampuan cicilan bulanan masih menjadi penentu utama bagi banyak orang dalam membeli rumah.

Intinya, PPN DTP 100% ini adalah vitamin penyemangat bagi pasar properti, bukan obat mujarab yang menyembuhkan semua penyakit. Ini membantu, tapi kita tetap perlu program-program lain yang lebih merata dan menyentuh semua lapisan masyarakat agar impian memiliki rumah benar-benar bisa terwujud bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Sidoarjo

Muhammad Ikmal

Email: ikmal.patarai@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

Memahami PMK 37 Tahun 2025 untuk UMKM dan Platform Digital

Ekonomi digital terus bertumbuh pesat di Indonesia, dengan UMKM menjadi salah satu penggerak utamanya. Seiring dengan perkembangan ini, pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menerbitkan regulasi terbaru untuk memastikan keadilan dan kepatuhan perpajakan di ranah digital. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, yang diundangkan pada 11 Juni 2025, menjadi sorotan penting bagi para pelaku usaha, khususnya UMKM, serta platform perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).

PMK 37 Tahun 2025 ini secara spesifik mengatur penunjukan Pihak Lain sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pedagang Dalam Negeri melalui sistem elektronik. Ini adalah langkah maju pemerintah dalam menyederhanakan dan mengoptimalkan pemungutan pajak di era digital.

Siapa Pihak Lain yang Ditunjuk?

Berdasarkan PMK ini, “Pihak Lain” adalah pihak yang ditunjuk Menteri Keuangan sebagai pemungut PPh Pasal 22. Penunjukan ini mewajibkan platform e-commerce untuk memungut PPh Pasal 22 atas transaksi yang terjadi di platform mereka.

Pentingnya PPh Pasal 22 dalam Transaksi E-commerce

PPh Pasal 22 adalah pajak penghasilan yang dipungut oleh pihak tertentu sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang atau kegiatan usaha. Dalam konteks e-commerce, PMK 37 Tahun 2025 menjelaskan bagaimana PPh Pasal 22 ini diberlakukan:

• Pungutan oleh Pihak Lain: Platform e-commerce yang ditunjuk wajib menyetor PPh Pasal 22 yang telah dipungut dalam setiap Masa Pajak ke kas negara.

• Pelaporan Informasi: Selain penyetoran, Pihak Lain juga wajib menyampaikan informasi transaksi dan PPh Pasal 22 yang telah dipungut kepada Direktur Jenderal Pajak. Informasi ini mencakup detail pedagang, data omzet, hingga informasi pembeli barang/jasa. Pelaporan ini menjadi lampiran dari Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.

• Sanksi Kepatuhan: Jika Pihak Lain tidak memenuhi kewajiban pemungutan, penyetoran, dan pelaporan, mereka dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan dan penyelenggara sistem elektronik.

Dampak bagi Pedagang Dalam Negeri (UMKM)

Bagi UMKM sebagai Pedagang Dalam Negeri, PMK ini membawa beberapa poin penting:

• Kriteria Peredaran Bruto Rp500 Juta: PMK ini memperkenalkan ambang batas peredaran bruto. Pedagang Dalam Negeri yang memiliki peredaran bruto pada Tahun Pajak berjalan sampai dengan Rp500.000.000,00 dapat menyampaikan surat pernyataan kepada Pihak Lain. Jika batas ini terlampaui, pedagang harus mulai mempersiapkan diri untuk skema perpajakan yang berbeda.

• PPh Pasal 22 Sebagai Pembayaran di Muka atau Final: PPh Pasal 22 yang tercantum dalam dokumen pembetulan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran PPh dalam tahun berjalan, atau menjadi bagian dari pelunasan PPh yang bersifat final, bagi Pedagang Dalam Negeri yang dikenai PPh final.

• Contoh Penerapan:

• Pengecualian PPh 0,5% bagi UMKM di Bawah Rp500 Juta: Jika Tuan WY memiliki peredaran bruto di bawah Rp500 juta dan telah menyampaikan surat pernyataan, marketplace tidak melakukan pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualannya. Namun, jika omzetnya kemudian melebihi batas tersebut, pemungutan PPh 0,5% akan mulai diberlakukan.

• Pajak Jasa Pengiriman dan Asuransi: PMK ini juga mengatur pemungutan PPh Pasal 22 atas penghasilan dari jasa pengiriman dan asuransi yang difasilitasi oleh platform e-commerce. Tarif yang dikenakan adalah 0,5%.

• Jasa Sewa atau Lainnya: Transaksi lain seperti persewaan ruangan juga dapat dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 0,5%, yang merupakan bagian dari pelunasan PPh final atas persewaan tanah dan/atau bangunan. Pedagang masih memiliki kewajiban untuk menyetor kekurangan PPh final dan melaporkannya.

• Pengecualian Khusus: Beberapa jenis transaksi, seperti penjualan pulsa, tidak dikenakan pemungutan PPh Pasal 22 berdasarkan PMK ini. Demikian pula dengan jasa angkutan oleh mitra perusahaan aplikasi berbasis teknologi.

Transisi dan Kesiapan UMKM

Ketentuan mengenai penyampaian informasi untuk Tahun Pajak 2025 paling lama disampaikan 1 bulan terhitung sejak penunjukan Pihak Lain sebagai pemungut pajak. Ini berarti UMKM memiliki waktu untuk beradaptasi dan memastikan pencatatan omzet mereka rapi.

Langkah ke Depan bagi UMKM

• Konsolidasi Data Omzet: Penting bagi UMKM untuk mencatat semua penjualan dari berbagai platform digital ke dalam satu sistem pembukuan terpusat. Ini krusial untuk perhitungan PPh Final 0,5% dan untuk melacak status peredaran bruto terhadap batas Rp500 juta.

• Pahami Batas Omzet dan Laporkan: Jika omzet Anda mendekati atau melebihi Rp500 juta, segera siapkan diri untuk skema perpajakan yang berbeda (Pajak Penghasilan Umum) dan pertimbangkan bantuan akuntan. Pastikan untuk menyampaikan surat pernyataan yang sesuai kepada platform.

• Manfaatkan Fitur Platform: Beberapa platform e-commerce dan aplikasi pembayaran digital mulai menyediakan fitur laporan transaksi yang dapat mempermudah perhitungan pajak. Manfaatkan fitur ini semaksimal mungkin.

• Pantau Informasi Resmi DJP: Tetaplah aktif mencari informasi terbaru dari situs web pajak.go.id, media sosial resmi DJP, atau konsultasi ke KPP terdekat mengenai insentif atau program keringanan pajak yang sedang berlaku.

Dengan pemahaman yang baik tentang PMK 37 Tahun 2025, UMKM dapat beroperasi dengan lebih tenang dan patuh dalam lingkungan ekonomi digital yang terus berkembang. Regulasi ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menciptakan ekosistem perpajakan yang lebih terstruktur dan adil bagi semua pelaku ekonomi.

Penulis adalah Anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Sidoarjo

Muhammad Ikmal

Email: ikmal.patarai@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

Format SPT Tahunan Orang Pribadi Pasca Ditetapkan PER-11/PJ/2025

Sebelum ditetapkannya Peraturan Dirjen Pajak Nomor 11 Tahun 2025 (selanjutnya disebut PER-11/PJ/2025) Format SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu : SPT Tahunan Orang Pribadi 1770, 1770 S dan 1770SS yang mana penentuan terhadap jenisnya berdasarkan dari jumlah penghasilan dan/ atau jenis usahanya. Pasca penetapan PER-11/PJ/2025 pada tanggal 22 Mei 2025 mengakibatkan adanya perubahan jenis-jenis pajak, salah satunya mengenai format SPT Tahunan Orang Pribadi dimana berdasarkan PER ini sudah tidak ada pengklasifikasian lagi, singkatnya hanya terdapat 1 jenis format SPT Tahunan Orang Pribadi.

Adapun sistematika SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi terdiri dari 33 bagian meliputi:

  1. Induk
  2. Lampiran 1 Bagian A: Harta pada Akhir Tahun Pajak
  3. Lampiran 1 Bagian B: Utang pada Akhir Tahun Pajak
  4. Lampiran 1 Bagian C: Daftar Anggota Keluarga yang Menjadi Tanggungan
  5. Lampiran 1 Bagian D: Penghasilan Neto Dalam Negeri dari Pekerjaan
  6. Lampiran 1 Bagian E: Daftar Bukti Pemotongan/Pemungutan PPh
  7. Lampiran 2 Bagian A: Penghasilan yang Dikenakan Pajak Bersifat Final
  8. Lampiran 2 Bagian B: Penghasilan Tidak Termasuk Objek Pajak
  9. Lampiran 2 Bagian C: Penghasilan Neto Luar Negeri
  10. Lampiran 3A-1: Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Sektor Usaha Dagang)
  11. Lampiran 3A-2: Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Sektor Usaha Jasa)
  12. Lampiran 3A-3: Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Sektor Usaha Industri)
  13. Lampiran 3A-4 Bagian A: Penghasilan Neto Dalam Negeri dari Usaha dan/atau Pekerjaan Bebas Berdasarkan Pencatatan
  14. Lampiran 3A-4 Bagian B: Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya
  15. Lampiran 3B Bagian A: Rekapitulasi Peredaran Bruto Untuk WP OP yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang Dikenakan Pajak Bersifat Final
  16. Lampiran 3B Bagian B: Rekapitulasi Peredaran Bruto untuk WP OPPT
  17. Lampiran 3B Bagian C: Rekapitulasi Peredaran Bruto untuk Pengguna NPPN
  18. Lampiran 3C: Daftar Penyusutan dan Amortisasi
  19. Lampiran 3D Bagian A: Daftar Nominatif Biaya Entertainment
  20. Lampiran 3D Bagian B: Daftar Nominatif Biaya Promosi dan Penjualan, serta Penggantian dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan
  21. Lampiran 3D Bagian C: Daftar Piutang yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih
  22. Lampiran 4 Bagian A: Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak Berikutnya
  23. Lampiran 4 Bagian B: Penghitungan PPh Terutang WP dan Suami/Istri
  24. Lampiran 5 Bagian A: Penghitungan Kompensasi Kerugian Fiskal
  25. Lampiran 5 Bagian B: Pengurang Penghasilan Neto
  26. Lampiran 5 Bagian C: Pengurang PPh Terutang
  27. Laporan Keuangan/Laporan Keuangan yang Telah Diaudit
  28. Bukti Pembayaran Zakat/Sumbangan Keagamaan yang Bersifat Wajib
  29. Bukti Pemotongan/Pemungutan Sehubungan dengan Kredit Pajak Luar Negeri3
  30. Surat Kuasa Khusus
  31. Surat Keterangan Kematian
  32. Surat Setoran Pajak, Bukti Pbk, atau SKPPKP
  33. Dokumen Lain

Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang Undang KUP menegaskan bahwa setiap wajib pajak wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap dan jelas. Benar yaitu benar dalam perhitungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangaan perpajakan, lengkap yaitu memuat semua unsur yang berkaitan dengan objek pajak serta unsur-unsur lainnya yang wajib dilaporkan dalam SPT, sedangkan jelas yaitu melaporkan asal-usul atau perolehan dari objek pajak yang harus dilaporkan dalam SPT. Oleh karena itu, terhadap penegasan pasal tersebut maka pengisian SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2025 wajib di isi sesuai ketentuan PER-11/PJ/2025.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Surabaya

Ria Berlian Tambunan

Email: riaberliantambunan@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pentingnya Perlindungan Hukum untuk Konsultan Pajak Dalam Menjalankan Profesinya

Konsultan Pajak merupakan profesi penunjang sektor keuangan, Profesi penunjang sektor keuangan adalah Pelaku Profesi Sektor Keuangan yang memberikan suatu jasa keprofesian pada berbagai industri sektor keuangan untuk mendukung efektivitas sektor keuangan. Konsultan Pajak adalah orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Adanya penerapan sanksi Pidana di dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan sebagaimana di atur dalam Pasal 39 dan Pasal 39A. Pasal tersebut (Pasal 39 dan Pasal 39A) berlaku juga Baik Bagi Wajib Pajak maupun bagi Wakil, Kuasa, pegawai dari Wajib Pajak atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Kuasa sebagaimana di atur dalam pasal 43 ayat (1) Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan, Dapat disimpulkan termasuk juga Konsultan Pajak. Hal ini dapat di temukan di dalam penjelasan mengenai Kuasa. Seorang kuasa adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Seorang kuasa meliputi a. konsultan pajak; dan b. karyawan Wajib Pajak. Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Berbeda dengan pegawai pajak yang dilindungi, Di dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Dimana diatur dalam pasal 36A ayat (5) disebutkan bahwa Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sebagai perbandingan dengan Profesi lainnya yakni advokat.

Seorang advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik, Untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan. Demikian juga Profesi Penunjang Sektor Keuangan lainnya, Yakni Akuntan Publik yang diberikan perlindungan hukum sepanjang telah memberikan jasa sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik.

Posisi yang berbeda untuk seorang Konsultan pajak yang bertindak sebagai Kuasa, Tidak ada aturan yang mengatur perlindungan hukum bagi konsultan pajak yang telah menjalankan profesinya didasarkan pada itikad baik. Sehingga profesi konsultan pajak rentan dikriminalisasi dengan dakwaan pasal turut serta. Yakni yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Sebagaimana diketahui, Salah satu tugas konsultan pajak membantu Wajib Pajak, Tidak hanya memberikan konsultasi perpajakan dan menghitung besaran pajak terutang. Tetapi juga konsultan pajak ada yang membantu wajib pajak/kliennya menyusun pembukuan/Laporan Keuangan Wajib Pajak, Membantu Menerbitkan Faktur Pajak Wajib Pajak, Melaporkan Surat Pemberitahuan baik Masa Maupun Tahunan Wajib Pajak. Sehingga bilamana kita kaitkan dengan penjelasan pasal 43 Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan.

Jerat pidana tersebut dapat menyasar kepada Profesi konsultan pajak, Misalnya dalam hal konsultan pajak diminta klien/Wajib Pajak untuk menerbitkan Faktur Pajak dan ternyata dikemudian hari diketahui Faktur pajak tersebut terindikasi faktur pajak TBTS (Tidak Berdasarkan Transaksi Sebenarnya) sedangkan konsultan tersebut tidak mengetahui akan hal tersebut.

Walaupun di dalam Tindak Pidana di kenal adanya istilah mens rea (Unsur Jahat/permufakatan jahat) sebagai salah satu unsur pembuktian perbuatan pidana. Tetapi hal tersebut tidak dapat serta merta melindungi seorang Konsultan Pajak dari jerat Pidana penyertaan.

Untuk dapat memberikan perlindungan hukum kepada konsultan pajak yang menjalankan profesinya. Perlu adanya aturan yang mengatur tentang perlindungan hukum bagi konsultan pajak yang telah menjalankan profesinya dengan itikad baik. Aturan tersebut idealnya adalah sebuah Undang-Undang. Diharapkan dengan adanya Undang-Undang tersebut, Tidak hanya memberikan perlindungan hukum, tetapi juga memberikan penegasan dan pengakuan yang kuat atas profesi konsultan pajak sebagai profesi penunjang sektor keuangan. Sehingga profesi konsultan pajak semakin profesional, mandiri dan berkualitas.

Penulis adalah Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Bogor

Andi Deswanta

Email: andideswanta@yahoo.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

Mengenal Produk Konsultan Pajak

Sekilas judul di atas tampak janggal bukan ? Kejanggalan tersebut wajar adanya, muncul karena keterbatasan pemikiran bahwa Konsultan Pajak tidak membuat suatu barang untuk dijual atau diserahkan kepada kliennya. Kejanggalan pemikiran lainnya terjadi karena penggunaan kata “jasa” yang kerap dipasangkan dengan kata “barang” yang memiliki bentuk wujud tertentu (dapat dilihat dan dipegang). Namun demikian, dalam dunia profesi kata “jasa” dapat dikonkretisasi menjadi sesuatu yang berwujud (dapat dilihat dan dipegang) serta yang terpenting adalah bermanfaat bagi pengguna (klien) untuk mengambil keputusan tertentu.

Pada beberapa profesi yang ada, sebagai contoh: profesi Notaris, profesi Advokat, profesi Akuntan Publik, dan profesi Konsultan Hukum Pasar Modal, profesi-profesi tersebut memberikan jasa sesuai keahliannya masing-masing. Advokat memberikan jasa hukum baik non litigasi maupun litigasi.

Jasa hukum non litigasi dikonkretisasi melalui berbagai bentuk seperti: pendapat hukum tertulis (legal opinion), pembuatan perjanjian dan lain-lain, sedangkan jasa hukum litigasi dikonkretisasi melalui bentuk – bentuk seperti: surat gugatan, surat jawaban, nota pembelaan (pledoi) dan lain-lain.

Notaris sebagai Pejabat Umum, jasa pelayanannya dikonkretisasi dalam bentuk pembuatan akta otentik maupun akta-akta lainnya. Akuntan Publik salah satu jasanya dikonkretisasi dalam bentuk laporan keuangan audit yang memuat opini Akuntan tersebut. Konsultan Hukum Pasar Modal salah satu jasanya, berupa pendapat hukum yang dikonkretisasi dalam bentuk prospektus perusahaan yang akan melakukan penawaran saham di pasar modal.

Konsultan Pajak memberikan jasa perpajakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan kliennya. Jasa perpajakan tersebut meliputi:

Jasa konsultasi perpajakan;

Jasa pengurusan hak dan kewajiban perpajakan;

Jasa kuasa dan/atau pendampingan Wajib Pajak dalam rangka pemeriksaan pajak termasuk didalamnya pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan tindak pidana perpajakan dan sengketa perpajakan (termasuk pajak daerah) pada Direktorat Jenderal Pajak, Pengadilan Pajak dan Mahkamah Agung.

(Bagian I angka 1 huruf b Standar Profesi IKPI)

Sama halnya dengan profesi yang lain, Konsultan Pajak dapat dan bahkan dianjurkan juga untuk mengkonkretisasi jasa perpajakan yang diberikan kepada kliennya. Bagian II angka 3.3.2. Standar Profesi IKPI adalah anjuran sekaligus pedoman bagi para Konsultan Pajak untuk dapat mengkonkretisasi jasa konsultasi / informasi / pendapat profesional yang diberikannya ke dalam bentuk tertulis.

“3.3.2. Anggota disarankan untuk memberikan konsultasi secara tertulis. Namun demikian jika anggota perlu memberikan jawaban secara spontan dalam rapat atau melalui telepon, maka anggota harus membuat catatan internal tentang materi diskusi, tanggal dan saran yang diberikan. Hal ini dilakukan baik untuk klien ataupun calon klien. Anggota mempunyai pilihan untuk menyampaikannya kepada klien atau tidak.”

Lebih lanjut, bentuk tertulis dari jasa konsultasi ini dinamai dengan surat saran (Bagian II angka 3.3.3. Standar Profesi IKPI). Surat saran tersebut di dalamnya harus memuat setidaknya 6 (enam) komponen, yaitu:

Alasan saran tersebut diperlukan;

Latar Belakang fakta serta asumsi yang mendasari saran;

Dasar hukum yang menjadi rujukan;

Alternatif yang disampaikan klien;

Risiko yang melekat pada saran yang diberikan;

Peringatan yang terkait dan pengecualian.

Dengan adanya surat saran dan catatan internal yang dibuat, maka jasa konsultasi yang dilakukan oleh Konsultan Pajak telah dikonkretisasi ke dalam suatu bentuk / wujud fisik tertentu. Konkretisasi sebaiknya dilakukan secara komprehensif terhadap seluruh jasa perpajakan yang dilakukan oleh Konsultan Pajak. Jika dalam pemberian jasa konsultasi, Konsultan Pajak disarankan untuk membuat surat saran dan catatan internal, maka pada awal penugasan untuk mengurus hak dan kewajiban pajak klien, Konsultan Pajak diwajibkan untuk membuat Surat Ikatan Kerja / Tugas (SIT). Kewajiban untuk membuat SIT ini tercantum pada Bagian II angka 5.1.2. Standar Profesi IKPI yang menyebutkan:

“Saat menerima penugasan, anggota diwajibkan untuk membuat Surat Ikatan Kerja (SIT) dengan klien, berkenaan dengan lingkup kerja dan sifat penugasan, serta meminta klien menyampaikan konfirmasi dan memberikan persetujuan tertulis. SIT ini merupakan kontrak antara anggota dengan klien yang berlaku efektif walaupun tanpa adanya surat konfirmasi. Diperlukan kecermatan kalimat dalam membuat definisi lingkup penugasan, sehingga klien memahami tugas penugasan yang telah disepakati untuk dikerjakan oleh anggota. SIT yang dibuat oleh anggota wajib mencakup jumlah besaran imbalan yang akan dikenakan pada klien.”

SIT merupakan bentuk konkret awal adanya tugas pengurusan hak dan kewajiban pajak dari klien kepada Konsultan Pajak. SIT memuat ruang lingkup pelaksanaan tugas pengurusan hak dan kewajiban pajak klien yang akan dilaksanakan oleh Konsultan Pajak. Setelah SIT ditandatangani oleh Konsultan Pajak dan kliennya, maka Konsultan Pajak melaksanakan jasa pengurusan hak dan kewajiban pajak dan menuangkannya dalam kertas kerja Konsultan Pajak.

Kertas kerja Konsultan Pajak merupakan bentuk konkret atas pelaksanaan jasa pengurusan hak dan kewajiban pajak, yang didalamnya merekam aktivitas-aktivitas ekonomi klien yang masuk dalam ruang lingkup penugasan untuk menyiapkan perhitungan pajak. Pembuatan kertas kerja itu sendiri didasarkan pada informasi yang diperoleh secara simultan dari klien yang dikumpulkan berikut dengan bukti-bukti pendukungnya.

Jasa perpajakan berikutnya adalah jasa perpajakan berupa pendampingan klien dalam hal adanya pemeriksaan pajak, penyidikan dan sengketa pajak. Pada tahap awal pemberian jasa pendampingan ini ditandai dengan adanya surat kuasa dari klien kepada Konsultan Pajak sebagai bentuk konkretnya.

Surat Kuasa ini diperlukan untuk memperlengkapi Konsultan Pajak agar kehadiran dan kapasitas Konsultan Pajak pada saat mendampingi, mewakili, mengklarifikasi serta menandatangani dokumen-dokumen tertentu atas nama kliennya selama pemeriksaan, penyidikan dan penyelesaian sengketa tidak terkendala. Bentuk konkret lain dari pelaksanaan jasa Konsultan Pajak pada tahapan ini memiliki beragam bentuk antara lain: pengajuan surat keberatan, surat banding, surat gugatan, surat uraian banding, permohonan peninjauan kembali dan lain-lain bergantung tahapan proses yang sedang berjalan. Kemahiran Konsultan Pajak dalam pembuatan surat permohonan, argumentasi alasan serta penyusunan bukti yang diajukan pada akhirnya akan menentukan keyakinan Majelis Hakim dalam memutuskan sengketa pajak.

Sebagai penutup semoga tulisan ini dapat memberikan sedikit gambaran mengenai produk-produk konkret atas pelaksanaan jasa perpajakan Konsultan Pajak. Sama halnya dengan profesi-profesi lain yang memiliki bentuk konkret tertentu sebagai ciri khas atas pelaksanaan jasanya, Konsultan Pajak tentunya juga memiliki ciri khas dan bentuk konkret atas pelaksanaan jasa perpajakannya.

Akhir kata, teriring harapan dengan semakin familiarnya bentuk-bentuk konkret atas jasa perpajakan Konsultan Pajak, Undang-Undang Konsultan Pajak sebagai payung hukum profesi Konsultan Pajak dapat segera terwujud dan disahkan.

Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Kota Bandung

Hari Yanto

Email: hari_yanto_sh@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Regulasi Pajak Digital: Implementasi PMK 37 Tahun 2025 atas Transaksi PMSE

Di era yang serba maju dan digital saat ini, hampir seluruh aspek kehidupan mengalami transformasi berbasis teknologi, termasuk dalam cara manusia melakukan transaksi perdagangan. Inovasi digital telah mendorong perubahan perilaku konsumen dan pelaku usaha, yang kini lebih memilih platform daring sebagai sarana utama dalam berjual beli. Transaksi digital ini di kenal dengan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) salah satu contohnya adalah Platform yang sangat dikenal luas seperti ‘toko ijo’ dan ‘toko orange’ merupakan contoh PMSE yang mempertemukan penjual dan pembeli dalam ekosistem digital.

Menyadari perkembangan ini, Pemerintah terus berupaya menciptakan kepastian hukum dan meningkatkan pengawasan perpajakan di sektor digital. Salah satu bentuk upaya tersebut adalah dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang mengatur ketentuan perpajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik yaitu penyelenggara perdagangan PMSE yang menggunakan rekening eskro (escrow account) untuk menampung sebagai pemungut pajak. PMK ini baru relase 11 Juni 2025 dan mulai berlaku pada saat tanggal di undangkan .

Beberapa poin penting yang diatur dalam PMK Nomor 37 Tahun 2025 yang terdiri dari 5 BAB dan 18 pasal antara lain sebagai berikut :

Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), baik yang berada di dalam maupun luar wilayah Indonesia. Penunjukan dilakukan apabila PMSE menggunakan rekening escrow yaitu rekening yang menampung penghasilan dan memenuhi kriteria tertentu, yaitu memiliki nilai transaksi dengan pengguna di Indonesia melebihi jumlah tertentu dalam 12 bulan, dan atau jumlah traffic atau pengakses yang melebihi batas tertentu dalam periode yang sama. Besaran nilai transaksi dan traffic ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagai dasar penunjukan kewajiban pemungutan pajak.

Orang pribadi atau badan yang menerima penghasilan melalui rekening bank atau rekening keuangan sejenis, serta melakukan transaksi dengan alamat internet protocol (IP) di Indonesia atau nomor telepon berkode Indonesia. Termasuk dalam kategori ini adalah perusahaan jasa pengiriman, perusahaan asuransi, dan pihak lain yang melakukan transaksi barang dan/atau jasa melalui sistem elektronik. Hal ini memperjelas cakupan subjek pajak dalam perdagangan digital di domestik agar pengawasan dan pemungutan pajak dapat berjalan lebih efektif dan sesuai dengan perkembangan teknologi.

Pedagang Dalam Negeri wajib menyampaikan NPWP/NIK dan alamat korespondensi kepada pemungut pajak. Jika peredaran bruto ≤ Rp500 juta, harus melampirkan surat pernyataan. Semua informasi disampaikan sebelum penghasilan diterima. Surat pernyataan dan SKB harus diperbarui setiap tahun. Jika peredaran bruto melebihi Rp500 juta, wajib menyampaikan surat pernyataan terbaru paling lambat akhir bulan saat batas tersebut terlampaui.

Tarif pajak PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari peredaran bruto, tidak termasuk PPN dan PPnBM, dan terutang saat pembayaran diterima. PPh ini bisa diperhitungkan sebagai angsuran PPh atau pelunasan PPh final, tergantung jenis penghasilannya. Jika PPh yang dipungut lebih kecil dari yang seharusnya, kekurangannya wajib disetor sendiri. Jika lebih besar, bisa diminta kembali.Untuk transaksi dalam valuta asing, konversi ke rupiah memakai kurs Menteri Keuangan saat pembayaran.

Hal yang perlu diketahui dalam PMK 37 tahun 2025 ini adalah tidak semua transaksi dikenai pemungutan PPh Pasal 22. Beberapa jenis transaksi dikecualikan, seperti penjualan oleh Wajib Pajak orang pribadi dengan omzet tidak melebihi Rp500 juta dan telah menyampaikan surat pernyataan, jasa ekspedisi oleh mitra aplikasi, transaksi yang disertai Surat Keterangan Bebas (SKB), penjualan pulsa, kartu perdana, emas, batu permata, serta pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.

Namun pada prinsipnya atas penghasilan tersebut tetap terutang pajak, dan kewajiban pajak tetap harus dipenuhi oleh Wajib Pajak sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan dalam peraturan perpajakan,sehingga untuk penghasilan tersebut tidak lagi dikenai pemotongan atau pemungutan PPh oleh pihak lain seperti penyelenggara PMSE.

Ketentuan ini diterapkan untuk menghindari terjadinya pemungutan pajak berganda (double taxation) atas penghasilan yang sama. Dengan kata lain, pengenaan pajak ini tidak berlaku lagi untuk penghasilan yang sudah dipungut PPh Pasal 22, karena prinsip keadilan dalam perpajakan mewajibkan bahwa setiap objek pajak hanya dikenai pungutan satu kali melalui mekanisme yang berlaku, agar tidak membebani Wajib Pajak.

Dengan demikian, kehadiran PMK 37/2025 merupakan wujud nyata komitmen Pemerintah dalam mengadaptasi kebijakan fiskal guna menjawab tantangan sekaligus memanfaatkan peluang di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi. Diharapkan, peraturan ini mampu menciptakan iklim perpajakan yang lebih transparan, adil, dan selaras dengan kebutuhan zaman, sekaligus mendorong kesadaran dan kepatuhan pajak bagi para pelaku usaha di ekosistem digital Indonesia.

Penulis adalah anggota Departemen Pendidikan IKPI

Tintje Beby

Email: tibeb.sugandi@gmail.com

Disclamer : Tulisan merupakan pendapat pribadi penulis

 

Kesalahan Pengisian Kolom di SSP Atas Pembayaran PPN Untuk Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud /JKP Dari Luar Daerah Pabean

Timbulnya koreksi PPN Masukan yang semula dikreditkan oleh Wajib Pajjak menjadi tidak dapat dikreditkan oleh otoritas pajak terkait kesalahan pengisan kolom di SSP atas pembayaran PPN u/pemanfaatan BKP tdk berwujud dan/atau JKP dr luar daerah pabean.

Dasar Hukum yang dipakai oleh Pemeriksa (Fiskus) dalam melakukan koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan, antara lain :

Pasal 9 ayat (2), ayat (8), Pasal 13 ayat (5), ayat (6), ayat (8), ayat (9), Penjelasan Pasal 13 ayat (6) dan ayat (9); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah s.t.t.d dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Pasal 1 , Pasal 4, Pasal 5 ayat(2) jo PER 13 PJ-2012; Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-27/PJ/2011 tentang Perubahan Kedua atas PER-10/PJ/2010, kemudian dicabut dengan PER-13 PJ-2019 dan terakhir dicabut dengan PER-16 PJ-2021 tentang Dokumen Tertentu yang Kedudukannya Dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2); Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Perhitungan, Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.

Angka 8, angka 9 Surat Edaran Nomor SE -147/PJ/2010 tentang Penjelasan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Perhitungan, Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.

Berikut ini beberapa kutipan pasal-pasal dari peraturan diatas yang relevan langsung yang mendasari koreksi Fiskus :

Ps 9(8)huruf g UU PPN

“Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untukpemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6)”

Pasal 13 (6) UU PPN

“Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak”

Penjelasan Pasal 13 (6) UU PPN

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena :

faktur penjualan yang digunakan oleh Pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas seperti, kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara.

untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak berada di luar daerah Pabean, misalnya dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai -Faktur Pajak dan

terdapat .dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.

Pasal 6 ayat (2) PMK 40/PMK.03/2010 menyebutkan :

kolom “Nama WP” dan “Alamat WP” diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean

kolom “NPWP” diisi dengan angka 0 (nol), kecuali kode Kantor Pelayanan Pajak diisi dengan kode Kantor Pelayanan Pajak dari pihak yang memanfaatkan….

pada kotak “Wajib Pajak/Penyetor” diisi nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak.

Cara pengisian SSP diatas juga dapat ditemukan dalam angka 8 SE-147 PJ-2010

Pasal 1 huruf j PER-67 PJ-2010

“Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak adalah Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak terwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean”

Pasal4 PER 67-PJ-2010

“Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf i dan huruf j dibuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”

Pasal 5 ayat (2) PER 67 PJ/2010 tentang perubahan PER-10 PJ-2010 menyebutkan :

“Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf i dan huruf j merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sepanjang dokumen tertentu tersebut memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan nama pihak yang melakukan impor Barang Kena Pajak, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak tidak berwujud”

Angka No.9 SE-147/PJ/2010

“Dalam hal pengisian Surat Setoran Pajak untuk pembayaran PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean oleh Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tersebut, maka pembayaran PPN tersebut tidak dapat dikreditkan”

Sering terjadi Wajib Pajak melakukan kesalahan pengisian kolom-kolom yang tertera di SSP , dimana :

pada kolom pemberi jasa seharusnya diisi dengan nama dan alamat pihak yang berkedudukan di Luar Daerah Pabean yang menyerahkan Barang Kena Pahak Tidak Berwujud/Jasa Kena Pajak dan

pada kolom NPWP seharusnya diisi dengan angka 0 dan kode Kantor Pelayanan Pajak pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud/Jasa Kena Pajak ,

kedua kolom tersebut tidak di isi sesuai Pasal 6 ayat (2) PMK No.40/PMK.03/2010 dan angka 8 SE-147/PJ-2010 melainkan semuanya di isi dengan nama, alamat, npwp dari pihak yang memanfaatkan jasa (Wajib Pajak itu sendiri) sehingga oleh Fiskus, jumlah PPN yang sudah disetorkan , tidak dapat dikreditkan.

Keabsahan Pembayaran PPN

Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (4) dan ayat (6) pembayaran kepada negara dinyatakan sah dalam hal telah divalidasi dengan NTPN dan diakui sebagai pelunasan kewajibannya.

Wajib Pajak harus dapat membuktikan telah melakukan pembayaran/penyetoran PPN atas Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan Luar Daerah Pabean, dimana pembayaran tersebut telah diterima oleh Negara dengan telah terbitnya NTPN dan sistem MPN Departemen Keuangan.

Koreksi Fiskus Tidak Sesuai Peraturan Perundang-undangan

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 13 ayat (5), ayat (6) dan ayat (9) UU PPN tentang dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak hanya dapat dikreditkan apabila:

Diisi secara lengkap, jelas dan benar sesuai dengan persyaratan dalam peraturan (yaitu mencantumkan NPWP dan nama pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean) dan

Berisi keterangan yang sebenamya atau sesungguhnya mengenai penyerahan.

Menurut Penulis sepanjang SSP PPN Jasa Luar Negeri telah memenuhi ketentuan formal dan telah diisi berdasarkan keterangan yang sebesarnya maka Pemeriksa tidak dapat mempermasalahkan mengenai material (substansi) dari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Jasa Luar Negeri tersebut.

Dasar hukum yang dijadikan alasan yang menyatakan SSP PPN Jasa Luar Negeri tidak dapat dikreditkan adalah tidak tepat baik ditinjau dari sudut hierarki peraturan maupun dari sudut maksud dari peraturannya melainkan mempermasalahkan aspek formalitas.

Masalah formalitas/administratif seharusnya tidak dapat mengalahkan aspek material (substansinya) sehingga apabila Pemeriksa telah mengakui aspek material (substansinya) adalah benar maka seharusnya SSP PPN Jasa Luar Negeri tersebut tetap dapat dikreditkan.

PMK No.40/PMK.03/2010 tidak mengatur akibat hukum/sanksi apabila terdapat kekeliruan pengisian SSP. Kekeliruan tersebut adalah bersifat administratif, sehingga pemeriksa seharusnya tidak dapat mengabaikan substansi bahwa PPN telah disetor dan dilaporkan.

Menurut Penulis pengaturan tentang pengisian kolom di Pasal 6 ayat (2) PMK No.40/2010 ini sifatnya administratif saja yang tujuannya untuk penghimpunan data yang diperlukan dalam rangka pertukaran data dengan negara lain.

Sedangkan koreksi berdasarkan Pasal 9 ayat (8) huruf g UU PPN juga kurang tepat karena hanya mengatur Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6), yang menyatakan :

“Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak”.

Dimana Pasal 13 ayat(6) UU PPN hanya mengatur dokumen-dokumennya saja sehingga apabila Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan dengan menyetor sesuai dengan dokumen yang diatur dalam Pasal 6 PMK.40 maka ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf g tidak relevan diterapkan karena hanya terdapat kesalahan dalam pengisian kolom.

Kesimpulan :

Tidak terdapat ketentuan di dalam UU PPN yang mengatur tentang keterangan yang harus dicantumkan di dalam dokumen tertentu yang dipersamakan dengan faktur pajak sehingga dapat diperlakukan sama sebagaimana maksud dari ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf f UU PPN jo. Pasal 13 ayat (5) UU PPN.

PMK No.40/PMK.03/2010 tidak dapat diperlakukan sebagai petunjuk teknis pencantuman keterangan di dalam dokumen tertentu yang dipersamakan dengan faktur pajak seperti halnya yang diatur dalam ketentuan Pasal 13 ayat (5) UU PPN karena ketentuan Pasal 13 ayat (6) UU PPN tidak mengatur atribusi wewenang tentang pencantuman keterangan didalam dokuemen tertentu yang dipersamakan dengan faktur pajak.

Kesalahan pengisian kolom di SSP dalam pengisian tidak dapat digolongkan sebagai kesalahan yang mengakibatkan Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan sepanjang Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan mengenai dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak dan pajak yang disetor telah sesuai masa pajaknya dan telah terbukti masuk ke kas negara. Jadi tidak terdapat kerugian negara yang diakibatkan kesalahan administratif.

Penulis adalah anggota Departemen Keanggotaan dan Pembinaan IKPI (Bidang Pembinaan Profesi dan Etika)

Eddy Christian, SE., M.Ak., BKP

Email : eddychris1090@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

en_US