Eksistensi Modal Sosial Atas Kewajiban PPN Dalam Menjaga Kelangsungan Usaha

ABSTRACT

Berdasarkan uraian diatas bahwa modal sosial di Indonesia sangat berpengaruh besar bagi pengusaha kena pajak terhadap perubahan regulasi PPN. Adanya keberagaman pada masyarakat Indonesia ini membuat peneliti sangat tertarik untuk membahasnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang respon pelaku usaha atas peraturan perpajakan khususnya PPN yang dilakukan oleh PKP dalam upaya mempertahankan usahanya dengan memaksimalkan nilai-nilai modal sosial yang dimiliki.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis. Penelitian dilakukan pada empat distrik yang berbeda di Provinsi Nusa tenggara Timur Larantuka, Waiwerang, Lembata & Maumere. Untuk memperoleh informasi peneliti melakukan pengamatan lapangan dan wawancara. Informan memanfaatkan modal sosial yang terbentuk melalui interaksi sosial dengan relasinya dalam berbagai tindakan sosial baik dengan masyarakat sekitar, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan pelanggan. Hubungan ini bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bersama dalam kegiatan ekonomi. Sebagai upaya menjaga kelangsungan usaha pemanfaatan modal sosial yang terbentuk melalui interaksi sosial berupa hubungan kekerabatan, kepercayaan, nilai dan norma.

Keywords: PKP, VAT, Social Capital, Business Continuity

PENDAHULUAN

Sejak tahun 1984 Indonesia telah menerapkan Self Assessment System yang berarti memberikan kewenangan dan kepercayaan penuh kepada wajib pajak mulai dari mencatat, menghitung, membayar dan melaporkan pajaknya. Pemberlakuan self assesment system ini bertujuan kepada para Wajib Pajak mempunyai tanggung jawab, kesadaran diri dan kejujuran dalam melakukan kewajibannya agar patuh pada hukum perpajakan. Selain itu, self assesment system juga meningkatkan profesionalisme aparatur perpajakan, meningkatkan keterbukaan administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak. Wajib Pajak tidak secara sukarela membayar pajak sehingga mereka melakukan berbagai tindakan untuk mengurangi beban pajak mereka (Celikay, 2020).

Setidaknya perilaku ketidakpatuhan wajib pajak ada empat yaitu sikap, norma subjektif, kewajiban moral, dan kontrol perilaku yang dipersepsikan artinya perilaku wajib pajak juga terdapat norma-norma sosial yang berlaku di sekitarnya terutama bagi para pelaku usaha yang berstatus sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) terhadap kewajibannya atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PKP wajib mengenakan pajak atas penyerahan barang dan jasa dengan konsumen, maka dari situ timbul kenaikan harga jual yang diterapkan. Hal tersebut memungkinkan Wajib pajak akan melakukan perencanaan pajak dengan tujuan untuk meminimalkan beban PPN wajib pajak.

Kecenderungan seseorang dalam berperilaku terdapat adanya kepercayaan atau keyakinan dalam diri individu terhadap seseorang yang menjadi referensinya, misalnya rekan, sanak saudara, serta kerabat terdekat (Sinarwati et al., 2019). Sikap percaya ini dapat menciptakan hubungan individu dengan individu lain, kelompok dan masyarakat yang lebih luas, sehingga hubungan ini merupakan salah satu aspek dalam modal sosial.

Dalam modal sosial, kepercayaan menjadi elemen yang penting karena didalamnya terdapat ikatan sosial dan saling percaya antar individu dengan lembaga. Hal ini dapat tercermin dari kualitas pelayanan publik yang merupakan salah satu fungsi penting disamping regulasi yang bisa meningkatkan kepatuhan wajib pajak, dalam pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi masyarakat dapat menumbuhkan kesaling-percayaan sebagai upaya mengelola modal sosial yang bermanfaat untuk mendukung keberlanjutan usaha.

Indeks Modal Sosial yang ada Indonesia tentunya beragam, hal ini disebabkan karena adanya berbagai macam ras, suku, dan budaya di setiap wilayah (Sinarwati et al., 2019). Keanekaragaman budaya tersebut menyebabkan adanya perbedaan perilaku antara masyarakat di lingkungan kota dengan masyarakat di lingkungan pedesaan. Misalnya kebiasaan masyarakat di suatu tempat yang menjunjung tinggi religiusitas akan berbeda dengan kebiasaan masyarakat di tempat lainnya juga berlaku dalam urusan perpajakan. Namun seiring dengan berkembangnya norma sosial di masyarakat Indonesia, maka dapat berdampak pada perilaku individu sehingga juga berdampak secara khusus pada perilaku kepatuhan pajak di Indonesia (Permata & Kristanto, 2020). Namun jika para wajib pajak dengan sikap moral tertentu akan beranggapan bahwa pajak merupakan sesuatu yang tidak penting, sehingga dapat menjalankan penghindaran pajak (Zhang & Cain, 2017). Dengan begitu wajib pajak akan terus berusaha mencari celah membayarkan pajak dalam jumlah yang sekecil-kecilnya dan menghindari pembayaran pajak yang besar.

Berdasarkan uraian diatas bahwa modal sosial di Indonesia sangat berpengaruh besar bagi pengusaha kena pajak terhadap perubahan regulasi PPN. Adanya keberagaman pada masyarakat Indonesia ini membuat peneliti sangat tertarik untuk membahasnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang respon pelaku usaha atas peraturan perpajakan khususnya PPN yang dilakukan oleh PKP dalam upaya mempertahankan usahanya dengan memaksimalkan nilai-nilai modal sosial yang dimiliki.

STUDI LITERATUR

Peningkatan kepatuhan sukarela terhadap undang-undang perpajakan suatu negara tampaknya paling erat kaitannya dengan demokrasi yang sehat di mana watak budaya dan norma hukum mendorong toleransi, kerja sama, dan rasa tanggung jawab pribadi dan sosial untuk orang lain (Santoso et al., 2019).

Interaksi sosial baik bersifat ekonomi ataupun non-ekonomi ditentukan dengan adanya kepercayaan dari pihak-pihak yang ada. Terdapat potensi kelompok dan pola hubungan antar individu dalam suatu kelompok dan antar kelompok yang menjadi norma kelompok tersebut (Kragh, 2016). Modal sosial khususnya keragaman budaya yang dimiliki oleh pengusaha akan menimbulkan perbedaan sikap terhadap perpajakan (Permata & Kristanto, 2020).

Modal sosial menurut Putnam (2015) bahwa tiap individu dalam kelompok telah memiliki ikatan timbal balik dan kepercayaan. Dengan adanya modal sosial ini maka seseorang akan memiliki beberapa keuntungan atau privilege. Yong et al., (2019) berpendapat kelompok dapat menjadi sumber keuangan dan sumber daya manusia untuk berwirausaha dikarenakan adanya hubungan kekerabatan. Teori norma sosial berpendapat bahwa perilaku individu sering kali dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana anggota lain dalam suatu kelompok berpikir dan bertindak termasuk dalam urusan perpajakan (Salmivaara et al., 2021).

Peran modal sosial dapat dikatakan penting untuk kehidupan bermasyarakat lantaran merupakan aset sosial yang memungkinkan individu dan masyarakat bekerja lebih efisien. Menurut Putnam (2015) modal sosial merupakan komponen organisasi sosial yang meliputi kepercayaan, norma, serta jaringan yang dapat menumbuhkan efisiensi dalam bermasyarakat.

Modal sosial mendorong penguatan individu, kolektifitas, organisasi dan negara dalam menjalankan interaksi yang berulang melalui jaringan, kepercayaan dan norma. Jaringan membentuk modal sosial sebagai saluran arus informasi yang bermanfaat untuk memfasilitasi pencapaian tujuan (Baykal & Hesapci, 2022).

Robert D. Putnam menganalogikan modal sosial sama dengan modal sosial lainnya, seperti modal fisik dan pendidikan sebagai modal manusia. Menurut Putnam (2015) ide inti dari teori modal sosial adalah bahwa jaringan sosial memiliki nilai. Jaringan yang membentuk modal sosial juga berfungsi sebagai saluran informasi yang memfasilitasi pencapaian tujuan yang hendak dicapai. Kepercayaan, norma dan jaringan sosial adalah konsep inti dalam modal sosial (Baykal & Hesapci, 2022).

Putnam (2015) mendefinisikan modal sosial sebagai suatu fitur organisasi sosial, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan yang dapat meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan terkoordinasi. Modal sosial mengacu pada hubungan antara individu-individu serta jaringan sosial dan norma-norma juga kepercayaan sehingga ia beranggapan bahwa jejaring sosial memiliki nilai dan kontak sosial mempengaruhi produktivitas individu dan kelompok (Putnam, 2015)

METODE

Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis. Dengan metode ini penulis bermaksud mengumpulkan informasi historis, mengamati fenomena dan mendegarkan langsung pengalaman-pengalaman lapangan individual tertentu berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti oleh penulis. Penelitian dilakukan pada empat distrik yang berbeda di Provinsi Nusa tenggara Timur; Larantuka, Waiwerang, Lembata & Maumere yang dilaksanakan pada bulan Januari 2021 sampai dengan bulan Juli 2022. Untuk memperoleh informasi peneliti melakukan pengamatan lapangan dan wawancara kepada informan yang relevan.

Wawancara dilakukan dengan persetujuan informan dan dilakukan lebih dari satu kali dengan waktu dan kondisi yang berebeda, hal ini peneliti lakukan selain karena keterbatasan waktu dari para informan juga sebagai bahan evaluasi dan analisis singklonisasi atas informasi yang diperoleh dari fenomena dan pertanyaan penelitian. Namun dikarenakan kondisi pandemi covid-19 yang sedang terjadi maka dalam proses wawancara ini dilakukan secara daring yakni melalui aplikasi zoom virtual meeting (daring) namun untuk beberapa sesi wawancara berikutnya peneliti melakukan wawancara secara tatap muka (luring) dan melihat langsung kondisi lapangan dengan tetap menjaga protokol kesehatan.

Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis data kualitatif lebih kepada fenomenologi yang terjadi pada lingkungan target penelitian. Jenis Fenomenologi tidak terbatas pada kehidupan dari individu tetapi lebih pada konsep atau fenomena. Sebuah studi fenomenologis menggambarkan makna bagi beberapa individu mengenai pengalaman bersama mereka tentang sebuah konsep atau fenomena Creswell (2015) dalam bentuk deskriptif dengan fokus penelitian berkaitan atas fenomena perubahan regulasi PPN sebagai PKP dalam memanfaatkan modal sosial yang dimiliki.

HASIL

Eksistensi Modal Sosial

Modal sosial dianggap sebagai aset penting di kehidupan bermasyarakat, sehingga dalam konteks ini modal sosial tidak diartikan hanya sebatas modal berbentuk uang atau harta kekayaan, melainkan keseluruhan sumber daya berunsur sosial yang dimiliki masyarakat terurama bagi para pelaku usaha. Hubungan sosial merupakan tindakan saling mengakui dan saling mengenal antar manusia, sehingga dalam hubungan tersebut dapat terbangun relasi, kepercayaan, solidaritas, dan membantu dalam menyelesaikan masalah. Hal tersebut juga kemudian akan memberikan dampak terhadap fenomena-fenomena yang akan dihadapi oleh masyarakat khususnya bagi para pelaku usaha dalam menghadapi beberapa tantangan (Vecchio et al., 2017). Salah satu tantangan yang akan dibahas adalah tantangan para pelaku usaha dalam menghadapi regulasi pajak. Dalam hal ini, para pelaku usaha khususnya yang sudah bertatus PKP harus  bersaing dengan keadaan pasar dan harga setelah dikukuhkan sebagai PKP. Untuk tetap menarik konsumen, maka salah satu harapan yang dimiliki oleh para pelaku usaha adalah modal sosial

Modal sosial akan terbentuk jika terdapat jaringan, kepercayaan, norma, dan pemahaman bahasa dan istilah dalam suatu hubungan. Modal sosial dapat dijadikan sebagai strategi bagi para pelaku usaha dalam memanfaatkan hubungan baik sebagai pembentuk sebuah jaringan dalam usaha dengan harapan modal sosial yang tinggi dapat mempertahankan konsumen. Menurut Putnam (2015) Setiap individu dalam kelompok telah memiliki ikatan timbal balik dan kepercayaan.

Menjaga kepercayaan konsumen penting dilakukan oleh para pelaku usaha karena menjadi sebuah fondasi dari hubungan interaksi antara penjual dengan pembeli terutama bagi pengusaha dengan status pengusaha kena pajak atas harga barang yang dijual lebih tinggi dari pada penjual lain dikarenakan penambahan harga yang lebih tinggi dampak dari penambahan tarif PPN terhadap harga jual. Dampak harga yang tinggi tersebut pada akhirnya membentuk norma berperilaku para konsumen karena norma muncul dari pertukaran yang saling menguntungkan atau dalam istilah lain dikenal juga hubungan simbiosis mutualisme. Dengan demikian, apabila para pelaku yang terlibat dalam suatu hubungan, tidak adanya sikap saling merugikan dan dirugikan maka modal sosial akan timbul dengan sendirinya.

Secara umum kita mengenal modal sosial yang terdapat di Indonesia dapat tercermin dalam hal budaya gotong royong antar masyarakatnya. Tingginya Indeks modal sosial juga semakin terasa dengan tingkat solidaritas masyarakat dilingkungan tersebut. Modal sosial terjadi melalui hubungan sosial antar sesama manusia serta mengarah kepada norma dan jejaring antar manusia di dalam kelompok atau pada lingkungan sekitar tempat kegiatan usaha beroperasi.

”…penting menjaga hubungan sosial karena mereka merupakan pihak paling penting yang membantu kelancaran usaha saya. Dan menurut saya hubungan baik dengan relasi-relasi ini dapat menjadi jembatan rejeki saya dalam jangka panjang. Karena dengan adanya relasi yang baik, maka usaha saya bisa tetap eksis dan bisa membentuk jaringan usaha di masa depan”. (Informan TK1).

”…Begitupun dengan lingkungan sosial yang tidak bisa saya lihat sebelah mata, karena kita adalah makhluk sosial yang pasti akan membutuhkan orang lain juga, jadi selama saya mampu untuk melakukan hal itu, saya akan memberikan sumbangsi terbaik saya untuk lingkungan sosial saya karena disini tempat saya membangun usaha saya, jadi saya juga punya kewajiban untuk tetap membangun lingkungan sosial saya”. (Informan TK2)

”Bagi saya relasi merupakan hal yang paling penting dalam menjaga keberlangsungan usaha saya, baik relasi secara usaha maupun relasi dengan masyarakat sosial sekitar. Dengan menjaga hubungan relasi yang baik, maka dapat memberikan dampak secara jangka panjang bagi usaha saya”. (Informan HM3)

”Saya pun sering ikut aktif dengan kegiatan-kegiatan kampung, bahkan dengan anak-anak muda di kampung. Begitupun misalnya dengan kegiatan-kegiatan bersih-bersih atau dekat-dekat ini kegiatan 17 san, saya ikut memberikan sumbangan dana juga buat meramaikan kegiatan 17 Agustus besok”. (Informan NS5)

Modal sosial berpotensi memberikan keuntungan berhubungan dalam rangka  memperoleh potensi hidup yang lebih baik dapat ditopang oleh norma yang baik. Berdasarkan hal tersebut, modal sosial dianggap sebagai sumber daya yang berharga dalam relasi antar manusia, yang bermanfaat bagi mereka untuk mengembangkan diri atau kelompoknya.

Oleh karena itu modal sosial mengacu pada keadaan sosial, nilai, norma serta budaya di masyarakat yang mengatur interaksi antar individu atau lembaga dimana modal sosial tertanam juga termasuknya didalamnya adalah tentang bagaimana kultur, budaya serta pengiplementasian sebuah percayaan. Individu wajib memiliki modal sosial yang baik untuk menjalankan kehidupannya sebagai makhluk sosial. Sehingga dalam kehidupan bermasyarakat harus terakit dengan moral tradisional seperti bertanggung jawab terhadap norma dan pekerjaan bersifat jujur serta dapat memegang komitmen.

Interaksi sosial baik bersifat ekonomi ataupun non-ekonomi ditentukan dengan adanya trust atau kepercayaan dari pihak-pihak yang ada (Baykal & Hesapci, 2022). Kepercayaan sebagai keyakinan bahwa hasil seseorang yang ditujukan dengan tindakan akan sesuai dari sudut pandang. Ada interaksi dua arah antara kepercayaan dan kerjasama. Kepercayaan melumasi kerjasama dan kerjasama itu sendiri akan melahirkan kepercayaan. Pemahaman trust meliputi bagaimana para pelaku usaha membangun kepercayaan dengan konsumen dan identifikasi bentuk kepercayaan yang dibangun.

Kepercayaan akan terbangun jika ada hubungan yang erat antar individu, antar individu dengan kelompok, dan antar kelompok dengan alasan tertentu misalnya percaya karena sudah kenal lama atau pernah bekerjasama dengan orang yang sama. Kepercayaan bisa luntur apabila ada salah satu pihak yang tidak menjalankan kewajibannya. Baykal & Hesapci (2022) menggambarkan kepercayaan sebagai kualitas hubungan khusus, yaitu, mitra yang berinteraksi menganggap satu sama lain aspek positif dan motivasi intrinsik untuk mempertahankan hubungan.

Modal Sosial atas Regulasi PPN

Peraturan perpajakan yang mengalami perubahan selalu diikuti dengan berbagai respon termasuk didalamnya adalah mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai dengan fokus pada penelitian ini. Pajak pertambahan nilai menjadi pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang dalam peredarannya yang pengenaannya berkaitan dengan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh konsumen dan produsen.

Dinamika regulasi pajak mengharuskan setiap Wajib Pajak beradaptasi di lingkungan internal dan eksternal, namun dengan peraturan perpajakan yang ada, memungkinkan bagi beberapa wajib pajak untuk melakukan berbagai cara agar tetap diuntungkan. Tindakan tersebut muncul dikarenakan adanya faktor dari stimulus lingkungan, dorongan fisiologis, genetis, pengalaman, dan usia. Faktor-faktor tersebut dapat diukur dan diobservasi dari pelaku usaha itu sendiri. Para informan selalu mencari kepentingannya sendiri, oleh karena itu pajak akan dianggap sebagai biaya yang dapat dihindari, kecuali kemungkinan terdeteksi tinggi dan beratnya denda.

Menurut Permata & Kristanto (2020) bahwa kontrol perilaku berpengaruh terhadap sikap perpajakan. Selain itu, tingkat kepercayaan terhadap pihak berwenang juga berpengaruh terhadap sikap wajib pajak karena unsur modal sosial tidak hanya terbatas pada perilaku individu tetapi juga dapat dipengaruhi dan mempengaruhi oleh pihak yang berkaitan dengan urusan pelaksanaan perpajakan (pertugas pajak) maupun dari rekan sesama profesi di lingkungan sekitar. Apabila didalam lingkungan masyarakat terdapat norma yang saling berbalas, membantu, serta terjalin kerjasama yang baik melalui jaringan sosial masyarakat termasuk dalam keputusan perpajakan.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi beban yang dimungkinkan untuk dilakukan penghindaran oleh pengusaha kena pajak, karena menilai pengenaan PPN 10% yang tidak berkeadilan dan tidak memihak kepada para PKP, maka hal tersebut mendorong pelaku usaha untuk mencoba mencari celah-celah dalam regulasi PPN yang dapat dimanfaatkan dengan tujuan memaksimalkan pendapatan dengan tetap mempertimbangankan resiko yang akan terjadi.

”Sejauh ini saya belum ada keinginan mencoba-coba melakukan hal itu, jadi sekalipun mungkin ada peluang besar untuk melakukan itu, untuk saat ini seperti itu pak, ndak tau lagi habis ini jika memang dirasa perlu dilakukan penghindaran pajak oleh perusahaan saya, ya saya melihatlihat terlebih dahulu dampak yang akan ditimbulkan terhadap perilaku ini (Praktik penghindaran pajak)”. (Informan TK2).

“Sejujurnya ada keinginan dari saya untuk kedepan akan mencoba-coba melakukan penghindaran pajak, jadi sebelum itu saya harus lihat-lihat dulu barang kali ada celah yang kemudian nanti dapat saya manfaatkan, tapi pada saat yang bersamaan saya juga ada rasa kekhawatiran juga salah satunya disebabkan adanya sanksi perpajakan yang nantinya malah dapat mempersulit usaha saya. Jadi saya lihat-lihat peluang dulu, dan jika peluang tersebut ada maka waktu itu juga saya mencobanya”. (Informan TK3).

”…beberapa kali telah saya coba praktekan juga, ya pastinya saya melihat-lihat terlebih dahulu dampaknya nanti kepada usaha saya”. (Informan HM4).

“Terutama di usaha toko saya ini saya sangat tidak setuju, apalagi dengan banyaknya macam-macam permasalahan yang saya katakan tadi membuat saya semakin enggan dan banyak cara yang akan dilakukan. toh itu bukan hanya saya sendirian kok yang melakukan ini masih banyak teman-teman sesama pengusaha yang melakukan ini dan banyak yang beralasan ini demi kelangsungan usaha termasuk saya sendiri seperti itu”. (Informan TK1).

Respon tersebut timbul sebagai bentuk tindakan dari perilaku yang ditunjukan dalam merespon rangsangan yang ada. Wajib pajak dalam posisinya sebagai pelaku usaha terhadap adanya PPN dipandang sebagai beban yang mengurangi keuntungan.

Besaran tarif PPN yang ada saat ini para informan menilai tarif tersebut perlu disesuaikan kembali dengan anggapan bahwa tarif yang ada saat ini terlalu memberatkan para pengusa terutama bagi mereka yang telah berstatus sebagai pengusaha kena pajak. Besaran nilai PPN 10% memaksa informan untuk melakukan pejualan tanpa PPN yang padahal sisi lain daya konsumsi masyarat menurun akibat harga yang terlalu mahal.

Keputusan menaikkan harga akibat dari pengenaan PPN tersebut yang dilakukan oleh informan dikhawatirkan akan mempengaruhi jumlah konsumen akibat kepuasan yang menurun yang menyatakan bahwa harga barang memiliki pengaruh yang besar terhadap kepuasan konsumen (Schoeman et al., 2022). Umar et al., (2019) berpendapat bahwa penghindaran pajak termasuk tindakan pengendalian pajak agar terbebas dari konsekuensi kewajiban pajak yang tidak diinginkan. Sedangkan upaya untuk meminimalisir jumlah pajak dibayar, dianggap tidak menyalahi aturan. Sedangkan dengan melakukan tindakan tersebut dapat mempengaruhi dimensi modal sosial yang berdampak kondisi usaha. Ketika perusahaan tidak melakukan penghindaran pajak, maka perusahaan akan memperoleh legitimasi oleh masyarakat berupa kerpercayaan pada operasional usaha.

Trust atau kepercayaan menjadi suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain   melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung atas tindakan yang dilakukan seperti pelaku usaha yang terpaksa menaikan harga jualnya yang akan menjadi pertimbangan pembeli.

Kepercayaan dalam lingkup jaringan sosial memungkinkan adanya koordinasi dan komunikasi yang dapat menumbuhkan rasa saling percaya di antara anggota masyarakat. Kepercayaan juga memiliki implikasi positif dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dibuktikan dengan suatu kenyataan bagaimana keterkaitan perlaku usaha yang turut aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan dilingkungan sekitar tempat usaha. Selain itu, Berbagai keberhasilan yang dicapai melalui kegiatan sosial yang dilakukan informan pada waktu sebelumnya dalam hubungan sosial akan mendorong bagi keberlangsungan kerjasama pada waktu selanjutnya yang kemudian berdampak pada kelangsungan usaha informan.

Norma Sosial dan Nilai Kepercayan

Norma sosial individu sering kali dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana anggota lain dalam suatu kelompok berpikir dan bertindak, ketika mempertimbangkan pengaruh norma terhadap perilaku, penting untuk membedakan antara norma sosial yang tertanam, diyakini, atau dipercaya oleh seseorang dan norma sosial yang tergambarkan atau yang telah dilakukan oleh banyak orang dan didukung oleh bukti-bukti seperti  tindakan-tindakan orang lain yang paling umum dan sesuai untuk suatu situasi.

Jika kebanyakan orang melakukan hal tersebut, maka hal tersebut adalah bijaksana untuk dilakukan juga. Kragh (2016) berpendapat bahwa praduga seperti itu memberikan informasi dan pengambilan keputusan secara cepat untuk seseorang menentukan bagaimana berperilaku pada situasi tertentu. Hanya dengan memperhatikan apa yang dilakukan oleh banyak orang maka seseorang dapat menentukan dengan baik dan efisien untuk dilakukannya sendiri.

Norma sosial injunctive mengacu pada peraturan atau keyakinan tentang perilaku apa yang secara moral diterima dan ditolak. Berbeda dengan norma descriptive yang berdasarkan pada perilaku yang sudah muncul dan telah dilakukan, norma injunctive berdasarkan pada apa yang seharusnya dilakukan (Salmivaara et al., 2021). Artinya norma injunctive lebih berperan melalui peraturan dan sanksi sosial pada umumnya daripada melalui perilaku umum yang muncul. Maksud dari kedua norma diatas cukup serupa antara keduanya karena perilaku yang dapat diterima adalah perilaku yang biasanya dilakukan oleh banyak orang. Termasuk pandangan para informan terhadap penilain perilaku perpajakan pelaku usaha disekitar tempat operasional usaha.

Menjaga hubungan baik dengan semua orang tentu memiliki danpak tersendiri bagi pelakunya, perutama dalam dunia usaha beragamnya faktor kepentingan mendorong para pelaku usaha melakukan banyak hal untuk mencapai tujuan usaha, karena diyakini dapat menjadi sumber keuntungan dan kekuatan daya saing usaha.

”…kami melakukan pendekatan kepada masyarakat sekitar dengan ikut serta dalam kegiatan kemasyarakatan atau kegiatan sosial semisalnya ada pembangunan sarana umum kampung di sekitar maka pihak perusahaan kami akan mengambil andil, dan tak jarang kami melakukan kegiatan bersama sebagai bentuk perhatian perusahaan kepada masyarakat”. (Informan HM4).

”…Menjaga hubungan baik itu penting bagi saya pak. Begitulah yang saya rasakan meskipun tidak sebesar yang kita harapkan tapi paling tidak ada keakraban dengan orang disekitar kita, saling membantu satu sama lain. Jadi sangat senang sekali ketika ada kegiatan bersama dengan masyarakat kami bisa melakukan banyak hal ketika kami bekerja dengan gotong royong, dan hal bukan hanya memberikan pengaruh positif untuk kebaikan usaha saja melainkan juga untuk tubuh agar tetap sehat”. (Informan NS5).

Peran penting yang diperoleh dari hasil interakasi yang baik dengan masyarakat dilingkungan sekitar tempat usaha para informan yang memberikan dampak positif bagi berjalannya usaha informan. Karena kelompok dapat menjadi sumber keuangan dan sumber daya manusia untuk berwirausaha dikarenakan adanya hubungan kekerabatan. Dengan adanya interaksi secara berkala dan terciptanya hubungan kekerabatan tersebut dapat menimbulkan kepercayaan dari kelompok. Hal tersebut menjadi salah satu aspek penting dalam norma sosial yang dibangun oleh informan dengan masyarakat dilingkungan sekitar tempat usahanya yang menjadikan salah satu modal sosial yang diciptakan informan.

Unsur modal sosial dalam pasar berupa jaringan sosial, kepercayaan, dan norma memiliki peran dalam perdagangan (Putnam, 2015). Partisipasi para pelaku usaha dalam kegiatan sosial memberikan dampak positif terhadap kelangsungan usaha. Hubungan kerjasama tersebut merupakan fungsi kelompok yang digunakan untuk mempertahankan usaha yang menunjukan kemampuan masyarakat dalam kelompok untuk bekerjasama membangun jaringan untuk tujuan bersama.

Putnam (2015) menjelaskan modal sosial sebagai jaringan-jaringan, nilai-nilai, norma dan kepercayaan yang timbul diantara para anggota perkumpulan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk manfaat bersama. Dalam penelitian ini, penliti melihat bahwa informan tidak terlepas dari peran orang lain terutama keluarga yang membentuk sebuah ikatan kerjasamayang saling terikat antara satu dengan yang lain dan saling menguntungkan, sehingga pengusahs mampu mempertahankan eksistensinya.

Informan memanfaatkan sumber daya sosial yang terbentuk melalui intraksi sosial dengan relasinya dalam berbagai tindakan sosial baik dengan masyarakat sekitar, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan pelanggan. Hubungan ini bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bersama dalam kegiatan ekonomi yang telah mereka jalankan, sehingga kedua pihak dapat memperoleh keuntungan dan keuntungan tersebut dapat memenuhi keberlangsungan hidup mereka yang lebih baik bahkan dengan adanya tarif PPN yang menjadikan harga jual yang lebih mahal dari para non-PKP, bahkan fakta lapangan bahwa konsumen terpaksa mengurangi daya konsumsi mereka, artinya konsumen akan menunda pembelian barang, kecuali terpaksa dilakukan pada saat kondisi yang mendesak bagi konsumen.

Bentuk modal sosial para informan pada keberlangsungan usaha berdasarkan adanya unsur jaringan, kepercayaan, norma dan nilai. Dalam penelitian ini hubungan yang terjalin antara informan dengan pelaku usaha lain dalam suatu perkumpulan dilandasi oleh jaringan, kepercayaan, nilai dan norma dari individu yang bertujuan untuk mempertahankan dan memperluas hubungan sosial. Membangun dan mempertahankan hubungan dengan pihak-pihak lain dianggap penting termasuk didalamnya adalah nilai kepercayaan dengan anggota keluarga.

Hubungan yang dimiliki informan dengan lingkungan terdekatnya seperti teman atau keluarga sehingga hubungan tersebut bersifat terkuat. Keluarga dimanfaatkan oleh informan sebagai sebuah cara yang diharapkan dapat terus berjalan hingga kegenarasi berikutnya, nilai keyakinan tersebut di gambarkan pada keterlibatan anggota keluarga yang lainnya dalam operasional usaha. Selain diyakini dapat memperkuat kelangsungan usaha juga bertujuan sebagai cara meminimalisir beban perpajakan dengan membagi usaha kepada keluarga yang lainnya namun tetap pada pengontrolan informan.

Norma sosial merepresentasikan sebuah kelompok karena berperan sebagai karakteristik yang menggambarkan sesuatu yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh sebuah kelompok. Dengan demikian, untuk membentuk norma, harus ada kelompok yang menggambarkan karakteristik norma tersebut. Karakterisitik dari norma itu sendiri dapat menjadi suatu bentuk kekuatan norma sosial dan menjadi unsur pendukung dalam membangkitkan semangat dalam menghadapi regulasi pajak. Kekuatan norma sosial dalam membentuk perilaku terdapat dalam dinamika psikologi sosial yang muncul dalam sebuah kelompok, seperti kecenderungan anggota kelompok untuk melihat satu sama lain untuk mendapat panduan, penegasan, dan persetujuan, dan juga tekanan untuk mencapai keseragaman yang dihasilkan oleh kelompok (Yong et al., 2019). Kelompok yang dimaksud dapat berupa anggota keluarga, komunitas , lingkungan sosial, atau jaringan, dapat berupa kelompok formal atau informal dalam bentuk interaksi secara langsung atau virtual. Unsur paling penting adalah anggota kelompok mempertimbangkan dirinya sebagai teman sebaya yang setara, serupa dalam kepentingan tertentu, dan menganggap pendapat dan perilaku dari anggota kelompok lain relevan dengan dirinya.

Kesimpulan

Secara umum kita mengenal modal sosial yang terdapat di Indonesia dapat tercermin dalam hal budaya gotong royong. Tingginya Indeks modal sosial juga semakin terasa dengan tingkat solidaritas masyarakat dilingkungan tersebut. Modal sosial terjadi melalui hubungan sosial antar sesama manusia serta mengarah kepada norma dan nilai-nilai kehidupan bermasyarakat.

Modal sosial dapat terbentuk apabila dalam lingkungkan sosial tersebut terdapat kepercayaan terhadap satu sama lain, norma yang disepati bersama menjadi nilai universal, serta adanya jaringan sosial yang terjalin baik dalam lingkup internal maupun dengan ekternal dengan kelompok tertentu. Berbicara tentang modal sosial, tidak hanya akan terbatas pada sesuatu yang bernalai secara material atau financial belaka, lebih dari itu modal sosial dapat memberikan nilai keuntungan sosial yang lebih besar dan berpotensi besar menajaga kelangsungan usaha. Menjaga kepercayaan konsumen penting dilakukan karena menjadi sebuah fondasi hubungan interaksi antara penjual dengan pembeli. Interaksi sosial baik bersifat ekonomi ataupun non-ekonomi ditentukan dengan adanya trust atau kepercayaan dari pihak-pihak yang ada termasuk dalam urusan perpajakan yang menjadi kewajiban pelaku usaha terutama dalam hal PPN bagi para PKP.

Modal sosial yang ditinjau dari norma berperilaku dalam perpajakan bahwa kepercayaan terhadap pihak berwenang juga berpengaruh terhadap sikap wajib pajak karena unsur modal sosial tidak hanya terbatas pada perilaku individu tetapi juga dapat dipengaruhi dan mempengaruhi oleh pihak yang berkaitan dengan cara petugas pajak menunjukan kenerjanya kepada para wajib pajak yang merupakan sebuah norma kewajaran atas kondisi lingkungan sekitar. Hal tersebut turut membentuk nilai kepercayaan para wajib pajak dalam pelaksanaan kewajiban perpajakannya, selain itu dari rekan sesama profesi di lingkungan sekitar juga berperan dalam membentuk norma atau kewajaran dalam berperilaku. Sementara itu, bagi PKP regulasi PPN menjadi beban yang dimungkinkan untuk dilakukan penghindaran oleh pengusaha kena pajak, karena menilai pengenaan PPN 10% yang tidak berpihak kepada para PKP yang kemudian mendorong tindakan coba-caba oleh PKP dengan perhitungan resiko yang ada.

Sebagai upaya menjaga kelangsungan usaha pemanfaatan sumber daya sosial yang terbentuk melalui intraksi sosial dengan relasinya dalam berbagai tindakan dan keterlibatan dalam kegiatan sosial lingkungan sekitar untuk memperoleh serta mempertahankan legistimasi berupa hubungan kekerabatan, kepercayaan, nilai dan norma kepada PKP meskipun adanya tarif PPN yang menjadikan harga jual yang lebih mahal dari para non-PKP.

Referensi

Baykal, B., & Hesapci, K. (2022). Recommendation matters: how does your social capital engage you in eWOM? Journal of Consumer Marketing, 9(11). https://doi.org/https://doi.org/10.1108/JCM-08-2021-4842

Celikay, F. (2020). Dimensions of tax burden: a review on OECD countries. Journal of Economics, Finance and Administrative Science, 25(49), 27–43. https://doi.org/10.1108/JEFAS-12-2018-0138

Creswell, J. W. (2015). Penelitian kualitatif & Desain Riset (3rd ed.). Pustaka Pelajar.

Kragh, S. U. (2016). Tribe and village in African organizations and business. Personnel Review, 45(1), 51–66. https://doi.org/10.1108/PR-08-2012-0140

Permata, I. D., & Kristanto, A. B. (2020). Pengaruh Modal Sosial Terhadap Penghindaran Pajak Di Indonesia. Jurnal Akuntansi, 5(2), 168. https://doi.org/10.30736/.v5i2.332

Putnam, R. D. (2015). Bowling alone: America’s declining social capital (6th ed., Vol. 21, Issue 1). Routledge. http://journal.um-surabaya.ac.id/index.php/JKM/article/view/2203

Salmivaara, L., Lombardini, C., & Lankoski, L. (2021). Examining social norms among other motives for sustainable food choice: The promise of descriptive norms. Journal of Cleaner Production, 311, 127508. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2021.127508

Santoso, D., Indarto, I., & Sadewisasi, W. (2019). Pola Peningkatan Kinerja Bisnis Ukm Melalui Modal Sosial Dan Modal Manusia Dengan Kebijakan Pemerintah Sebagai Moderating. Jurnal Dinamika Sosial Budaya, 21(2), 152. https://doi.org/10.26623/jdsb.v21i2.1764

Schoeman, A. H. A., Evans, C. C., & Du Preez, H. (2022). To register or not to register for value-added tax? How tax rate changes can influence the decisions of small businesses in South Africa. Meditari Accountancy Research, 30(7), 213–236. https://doi.org/10.1108/MEDAR-05-2021-1309

Sinarwati, N. K., Yuliarmi, N. N., & Utama, M. S. (2019). Social Capital And Sustainability of MSMEs. Jurnal UNMUH Jember, 2(2), 53–70.

Umar, M. A., Derashid, C., Ibrahim, I., & Bidin, Z. (2019). Public governance quality and tax compliance behavior in developing countries: The mediating role of socioeconomic conditions. International Journal of Social Economics, 46(3), 338–351. https://doi.org/10.1108/IJSE-11-2016-0338

Vecchio, P. Del, Minin, A. Di, Petruzzelli, A. M., Pannielo, U., & Pirri, S. (2017). Big data for open innovation in SMEs and large corporations: Trends, opportunities, and challenges. Creativity and Innovation Management, 27(1), 6–22. https://doi.org/10.1111/caim.12224

Yong, S., Sawyer, A. J., & Freudenberg, B. (2019). Tac Compliance in the New Millenium: Understanding the Variables. ResearchGate,Australian Tax Forum, 31, 2.

Zhang, P., & Cain, K. W. (2017). Reassessing the link between risk aversion and entrepreneurial intention: The mediating role of the determinants of planned behavior. International Journal of Entrepreneurial Behaviour and Research, 23(5), 793–811. https://doi.org/10.1108/IJEBR-08-2016-0248

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Surabaya

Danny Wibowo

Email: –

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Catatan: Tulisan ini pernah dipublikasikan pada Riset dan Jurnal Akuntansi (SINTA 3) Tahun 2023

Menulis Bukan Sekadar Hobi, Tetapi Cara Tinggalkan Jejak dan Mengabdi pada Ilmu

IKPI, Jakarta: Menulis bukan hanya soal merangkai kata, tetapi cara meninggalkan jejak pemikiran di dunia. Hal ini disampaikan Anggota IKPI dan juga Dosen di Univesrsitas Pelita Harapan, Dr. Irwan Wisanggeni dalam sesi pelatihan penulisan artikel dan buku yang digelar IKPI secara daring, Selasa (23/12/2025).

Mengutip pemikiran sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer, Irwan menegaskan bahwa siapa pun betapapun pandainya akan hilang dari sejarah bila tidak menuliskan gagasannya.

“Menulis adalah bekerja untuk keabadian,” kata Irwan pada sesi hang dihadiri hampir 300 peserta tersebut.

Menurut Irwan, banyak tokoh Indonesia dikenang bukan hanya karena ide-idenya, tetapi karena mereka menuliskannya. Ia mencontohkan Pram dan Suhogi yang meninggalkan warisan buku, artikel, dan gagasan besar yang masih dibaca hingga kini.

Ia menekankan bahwa menulis tidak harus selalu berat. Artikel di media bisa menjadi sarana menyampaikan gagasan sederhana, tetapi bermanfaat.

Namun yang terpenting, kata dia, tulisan harus memberi nilai:

• membuka wawasan,

• memberi solusi,

• dan mendorong pembaca berpikir.

“Kalau tulisan tidak memberi pencerahan, redaksi biasanya enggan memuat. Kritik boleh tapi harus ada solusi,” ujarnya.

Selain itu, Irwan mengingatkan agar penulis tidak takut ditolak. Ia mengaku berkali-kali ditolak media besar sebelum akhirnya dimuat.

“Semakin sering ditolak, seharusnya kita semakin kuat. Itu bagian dari proses.”

Bagi Irwan, menulis adalah ladang amal berbagi ilmu, pengalaman, dan pemikiran meski tanpa imbalan. (bl)

Kilas Balik Perpajakan Indonesia 2025 dan Tantangan 2026

Tahun 2025 adalah tahun terpenting dan penuh tantangan, khususnya bagi dunia Perpajakan Indonesia. Kondisi perekonomian dunia yang tentunya berimbas ke dalam Negeri dan pada akhirnya berdampak kepada penerimaan pajak yang masih menjadi penopang utama penerimaan Negara. Modernisasi administrasi Perpajakan Indonesia, dan pastinya Coretax menjadi primadona dan trending topic selama tahun 2025. Tiada hari tanpa pembahasan Coretax yang mulai digunakan sejak 1 Januari 2025. Transformasi ini membawa dua wajah sekaligus: harapan terhadap layanan yang terintegrasi dan berbasis data, serta dinamika transisi yang menimbulkan kegaduhan teknis, ketidakpastian operasional, dan penyesuaian besar di sisi wajib pajak.

Revolusi Sistem Perpajakan 2025: Coretax dan “Riuh Rendah” Masa Transisi

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa wajib pajak dapat memanfaatkan seluruh layanan Coretax mulai 1 Januari 2025. Coretax didesain untuk melayani administrasi perpajakan terintegrasi, mulai dari registrasi, penyampaian SPT, pembayaran, hingga layanan lain dalam satu ekosistem. Dalam komunikasi resminya, DJP juga menjelaskan mekanisme akses (misalnya set ulang kata sandi/pembuatan passphrase) dan pentingnya pemutakhiran data profil.

Namun, implementasi sistem skala nasional hampir selalu memunculkan friksi pada fase awal. Pada 2025, tantangan yang banyak muncul di praktik meliputi: aktivasi akun dan autentikasi (email/nomor gawai tidak sinkron), pengelolaan kewenangan akun (PIC/penanggung jawab badan), serta adaptasi kanal administrasi PPN. DJP merespons dinamika transisi ini dengan memberikan fleksibilitas kanal, termasuk membuka kembali penggunaan e-Faktur Client Desktop bagi seluruh PKP sejak 12 Februari 2025 berdasarkan KEP-54/PJ/2025, disertai pengaturan pengecualian tertentu dan penegasan bahwa retur, pembatalan, serta pelaporan SPT Masa PPN tetap dilakukan melalui Coretax.

Di saat yang sama, DJP menerbitkan kebijakan penghapusan sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran/penyetoran dan penyampaian SPT tertentu sehubungan implementasi Coretax. Kebijakan ini pada prinsipnya memberikan relaksasi ketika sanksi timbul karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya, dengan cakupan dan periode yang dirinci dalam pengumuman DJP. Secara tata kelola, langkah semacam ini penting untuk menjaga kepastian hukum dan mengurangi beban kepatuhan pada masa transisi sistem.

Tantangan Penerimaan Pajak 2025: Tekanan Siklus, Restitusi, dan Kualitas Basis Pajak

Di sisi penerimaan, 2025 memperlihatkan tantangan yang tidak sederhana. Dalam konferensi pers APBN (Desember 2025), diberitakan penerimaan pajak sampai dengan November 2025 berada pada kisaran Rp1.634,4 triliun (sekitar 78,7% dari target/outlook), dengan dinamika komponen yang bervariasi antar jenis pajak. Angka ini memperlihatkan perlunya akselerasi di akhir tahun sekaligus menandakan bahwa kinerja penerimaan sangat dipengaruhi kondisi sektor riil dan pola pembayaran pada masing-masing jenis pajak.

Salah satu isu yang sering memunculkan salah persepsi publik adalah restitusi pajak. Dari perspektif wajib pajak, restitusi merupakan hak ketika terjadi kelebihan pembayaran dan dapat menopang arus kas dunia usaha. Namun, dari sudut pandang kas negara, peningkatan restitusi dapat menekan penerimaan pajak neto pada tahun berjalan. ANTARA mencatat bahwa hingga Oktober 2025 restitusi pajak mencapai Rp340,52 triliun dan meningkat 36,4% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Artinya, evaluasi penerimaan perlu memisahkan isu basis pajak (aktivitas ekonomi dan kepatuhan) dari isu arus kas (timing restitusi dan pembayaran).

Tantangan berikutnya adalah kualitas basis pajak dan efektivitas administrasi. Ketika sistem administrasi berpindah, beban kerja bukan hanya di pihak otoritas, tetapi juga di sisi korporasi dan pelaku usaha: penyesuaian proses bisnis, rekonsiliasi data transaksi, serta konsistensi pelaporan. Dalam konteks ini, stabilitas layanan Coretax dan kesiapan ekosistem menjadi faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi kenyamanan kepatuhan dan ketepatan pembayaran. Tidak sedikit Wajib Pajak yang apatis dengan Coretax, bisa karena ketidaktahuan atau ketidakpedulian. Tantangan ini sangat mempengaruhi kinerja penerimaan pajak 2025.

Prediksi Tantangan Perpajakan 2026: Revolusi Coretax Gelombang Berikutnya dan Integrasi CEISA

Tahun 2026 diperkirakan menjadi fase “pengetatan berbasis data” setelah fase transisi 2025. DJP telah mengumumkan bahwa mulai 2026, pelaporan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2025 dilakukan melalui Coretax, serta menghentikan penggunaan media sebelumnya seperti e-Filing dan e-Form untuk SPT Tahunan PPh. Perubahan ini menempatkan aktivasi akun Coretax dan aktivasi Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik sebagai prasyarat utama kepatuhan pelaporan.

Pada level desain formulir, DJP juga memperkenalkan konsep formulir dinamis dan pemanfaatan data terprepopulasi pada SPT Tahunan Orang Pribadi di Coretax. Konsep ini secara prinsip meningkatkan akurasi dan efisiensi, tetapi juga menuntut validitas data master (identitas, keluarga, harta, bukti potong, pembayaran) agar tidak menimbulkan salah isi yang berujung pada pembetulan berulang.

Pada saat yang sama, arah kebijakan Kementerian Keuangan menguat ke integrasi sistem penerimaan negara. Menurut pemberitaan DDTCNews, Kemenkeu berencana mengintegrasikan Coretax dengan CEISA (sistem kepabeanan dan cukai) dan SIMPONI (PNBP) untuk menciptakan pengawasan yang konsisten, andal, dan akurat, sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Jika integrasi ini berjalan bertahap pada 2026, maka konsistensi data lintas rezim (pajak, bea-cukai, PNBP) akan menjadi fokus baru.

Dalam konteks CEISA, DJBC juga terus mendorong implementasi CEISA 4.0. Salah satu penanda penting adalah terbitnya Keputusan Dirjen Bea dan Cukai KEP-231/BC/2025 tentang penerapan secara penuh (mandatory) CEISA 4.0 tahap tertentu, dengan mulai berlaku pada 8 Desember 2025. Secara praktis, hal ini menunjukkan bahwa pada 2026 semakin banyak proses kepabeanan-cukai yang terdigitalisasi dan distandarkan, sehingga jejak data transaksi lintas batas (impor/ekspor, fasilitas, kepatuhan dokumen) lebih mudah direkonsiliasi dengan pelaporan pajak.

Tantangan bagi Wajib Pajak di Era Law Enforcement 2026 dan Persiapan yang Harus Dilakukan

Jika 2025 adalah tahun adaptasi sistem, maka 2026 berpotensi menjadi tahun penguatan law enforcement berbasis data. Dengan Coretax sebagai pusat administrasi pajak dan arah integrasi ke CEISA, profil risiko wajib pajak akan semakin dibangun dari konsistensi data: kecocokan antara arus barang dan dokumen kepabeanan dengan pencatatan persediaan/COGS, kecocokan PPN masukan-keluaran dengan faktur dan pelaporan, serta kecocokan bukti potong/pungut dengan kredit pajak. Pada lingkungan seperti ini, deviasi kecil pun dapat lebih cepat muncul sebagai alert, dan proses klarifikasi cenderung menuntut respon yang cepat dan berbasis dokumen.

Untuk menghadapi 2026 secara aman, wajib pajak perlu menyiapkan empat lapisan kesiapan. Pertama, kesiapan akses dan otorisasi: pastikan akun Coretax aktif, role dan PIC jelas, serta Kode Otorisasi/Sertifikat Elektronik siap digunakan. Kedua, kesiapan data master: rapikan identitas (NIK-NPWP), alamat, email/HP, data keluarga, dan profil usaha, karena banyak fitur Coretax bergantung pada validitas data ini. Ketiga, kesiapan rekonsiliasi: buat SOP bulanan untuk rekonsiliasi PPN (e-Faktur Desktop/Coretax/PJAP), rekonsiliasi bukti potong/pungut, dan bila relevan rekonsiliasi CEISA dengan pembukuan. Keempat, kesiapan dokumen dan audit trail: tetapkan kebijakan arsip digital (kontrak, invoice, shipping documents, bukti bayar, bukti potong) yang mudah ditelusuri untuk kebutuhan klarifikasi, SP2DK, pemeriksaan, maupun keberatan/banding.

Pada akhirnya, era law enforcement modern tidak semata-mata ‘lebih keras’, tetapi ‘lebih presisi’. Wajib pajak yang menata data, proses, dan dokumen sejak hulu akan lebih siap menghadapi pengawasan yang makin cepat, sementara wajib pajak yang mengandalkan perbaikan di hilir berisiko menghadapi koreksi berulang, sanksi, dan biaya kepatuhan yang lebih tinggi.

Selamat tinggal 2025 , terima kasih sudah memberi banyak hikmah dan pelajaran.

Selamat datang 2026 yang akan jauh lebih baik.

Penulis adalah Anggota Departemen Humas IKPI

Donny Danardono

Email: donnydanardono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Natal 2025: Imanuel, Kehadiran dan Keselamatan Allah bagi Keluarga IKPI

Natal selalu menjadi momentum yang istimewa bagi umat Kristiani. Bukan sekadar perayaan tahunan, Natal adalah ruang perjumpaan iman—saat hati diajak kembali merenungkan makna terdalam dari kelahiran Sang Juruselamat. Pada perayaan Natal IKPI 2025, tema “Imanuel: Kehadiran dan Keselamatan Allah bagi Keluarga IKPI” dihadirkan sebagai undangan rohani untuk meneguhkan iman, mempererat kasih, dan memperbarui pengharapan, baik dalam keluarga maupun dalam pengabdian profesi.

Dalam konteks kekristenan, Imanuel merupakan nubuat penting yang tertulis dalam Yesaya 7:14 dan digenapi dalam Matius 1:23. Maknanya sederhana namun sangat dalam: Allah beserta kita. Melalui inkarnasi Yesus Kristus, Allah tidak tinggal jauh dan tak tersentuh, melainkan hadir nyata di tengah kehidupan manusia untuk membawa keselamatan.

Secara teologis, Imanuel bukan sekadar janji abstrak, melainkan pernyataan bahwa Allah sendiri datang dan hidup di antara manusia. Kehadiran Allah menjadi nyata, penuh kasih, dan penuh inisiatif. Ia mendekatkan diri kepada umat-Nya, menyertai setiap langkah kehidupan, bahkan hingga akhir zaman. Tidak ada jarak yang terlalu jauh, tidak ada pergumulan yang luput dari perhatian-Nya.

Lebih dari itu, Imanuel berkaitan erat dengan keselamatan. Melalui hidup, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus, Allah menyediakan jalan keselamatan sebagai anugerah, bukan hasil usaha manusia. Dialah Juruselamat yang mendamaikan manusia dengan Allah, memulihkan relasi yang rusak, dan membuka harapan baru bagi dunia.

Bagi keluarga besar IKPI, makna “Allah beserta kita” menjadi sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari. Kehadiran Allah tidak hanya dirasakan di tempat ibadah, tetapi nyata dalam rumah tangga, dalam relasi antaranggota keluarga, dan dalam dinamika organisasi profesi. Imanuel mengingatkan bahwa keluarga adalah ruang pertama di mana kasih, iman, dan pengharapan bertumbuh.

Pertama, kehadiran Allah memulihkan relasi. Dalam keluarga, Imanuel menghadirkan kasih yang menyembuhkan luka, menguatkan yang lemah, dan meneguhkan iman. Keluarga menjadi tempat di mana harapan dipupuk dan kasih Allah dialami secara konkret.

Kedua, keluarga Kristen IKPI dipanggil untuk meneladani kasih Kristus dan menjadi saksi kehadiran-Nya di tengah masyarakat. Nilai-nilai iman yang dihidupi dalam keluarga menjadi kesaksian hidup—bahwa iman bukan hanya diucapkan, tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata.

Ketiga, makna Imanuel memberi kekuatan di tengah tantangan hidup. Dalam tekanan profesi, dinamika ekonomi, dan kompleksitas zaman, keluarga IKPI diyakinkan bahwa mereka tidak berjalan sendirian. Allah menyertai, menopang, dan memampukan setiap keluarga melewati kesukaran dengan iman dan pengharapan.

Dalam konteks profesi konsultan pajak, tema Natal IKPI 2025 juga mengandung pesan yang mendalam. Keluarga IKPI adalah lingkungan utama tempat nilai kejujuran, dedikasi, dan pengabdian ditanamkan. Profesi konsultan pajak kerap bekerja “sunyi”, namun memberi kontribusi vital bagi negara—ibarat gula yang tak terlihat namun memberi rasa manis, atau darah yang mengalir menopang kehidupan bangsa.

Natal juga menyoroti realitas kehidupan keluarga IKPI di tengah tantangan kontemporer. Kehadiran Allah dihayati sebagai sumber kekuatan untuk tetap profesional, berintegritas, dan berdedikasi, sekaligus berkontribusi nyata bagi vitalitas bangsa melalui dunia perpajakan, demi Nusa dan Bangsa.

Kelahiran Yesus Kristus kembali diingat sebagai sumber terang dan damai sejahtera. Terang inilah yang menjadi landasan moral dan etika bagi setiap anggota IKPI—menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, sejalan dengan ajaran iman dan kode etik profesi. Iman yang hidup menuntun pada sikap yang benar, jujur, dan bertanggung jawab.

Perayaan Natal IKPI 2025 juga menjadi momentum untuk memperkuat ikatan kekeluargaan dan persaudaraan. Dalam kebersamaan, tema “Allah beserta kita” dimaknai secara komunal—menghadirkan solidaritas, persatuan, dan rasa sehati di antara keluarga besar IKPI di seluruh Indonesia.

Pada akhirnya, tema Natal IKPI 2025 menegaskan bahwa Natal bukan hanya perayaan seremonial, melainkan panggilan untuk mewujudkan kehadiran Allah yang menyelamatkan dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam suka maupun duka, dalam keluarga maupun profesi, Imanuel menjadi pengingat bahwa kita tidak pernah berjalan sendiri.

Bagi keluarga IKPI yang beriman, Imanuel adalah peneguhan bahwa Allah hadir, Allah menyelamatkan, dan Allah menyertai senantiasa. Amin.

“Selamat Hari Natal, 25 Desember 2025.”
Salam damai sejahtera bagi seluruh umat Kristiani, keluarga IKPI di mana pun berada.
IMANUEL — Allah beserta kita. Amin.

Penulis adalah Sekretaris IKPI Cabang Banjarmasin

Martha Leviana
Email: martha_leviana@yahoo.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Ibu Sebagai Manajer Keuangan Keluarga dan Pilar Kepatuhan Pajak

Tiada terasa di penghujung tahun 2025 tepatnya tanggal 22 desember, kita kembali diingatkan dengan sosok Ibu. Ibu menjadi wanita super dalam hidup kita semua, tapi kadang kita terlupa akan jasa beliau dalam keuangan dan perpajakan.

Sering kali kita berbicara tentang keuangan keluarga dalam bentuk angka penghasilan, pengeluaran bahkan tabungan. Namun jarang disadari, di balik semua itu ada sosok ibu yang setiap hari mengambil keputusan-keputusan kecil, tetapi menentukan. Ia yang memastikan belanja cukup sampai akhir bulan, menyisihkan uang untuk keperluan tak terduga, dan menjaga agar roda ekonomi keluarga tetap berputar, bahkan di masa sulit.

Tanpa gelar formal atau meja kerja khusus, ibu sesungguhnya menjalankan peran sebagai manajer keuangan keluarga. Ia mengenal betul kondisi ekonomi rumah tangga, tahu kapan harus berhemat, dan kapan harus mendahulukan kebutuhan. Dari tangan ibu, keuangan keluarga dijaga agar tetap seimbang.

Di era modern saat ini, maka banyak Ibu yang bekerja mencari nafkah dan kadang menjadi pengganti kepala keluarga tetapi hal ini tidak bisa diakui menurut UU PPh pasal 8, selama tidak ada surat formil yang mengakui keberadaan Ibu sebagai pencari nafkah utama. 

Ibu yang bekerja memberikan konsekwensi perpajakan misalnya, ia yang bekerja di berbagai usaha UMKM,  memiliki pekerjaan bebas atau bekerja pada pemberikerja  akan berdampak pada total penghasilan keluargayang bisa memengaruhi besarnya pajak terutang keluarga.

Bahkan, Ibu juga mampu memitigasi risiko apakah status NPWP ikut suami atau memiliki NPWP sendiri dengan Pisah Harta atau Memilih Terpisah.

Dengan hadirnya sistem Coretax, maka peran Ibu sebagai manajer keuangan keluarga menjadi semakin diperhitungkan karena ia menjadi pilar kepatuhan pajak dalam keluarga.

Coretax menuntut keteraturan sejak awal, bukan hanya menjelang pelaporan SPT. Bukti potong perlu disimpan, arus uang perlu dipahami, dan kewajiban pajak perlu diperhatikan sepanjang tahun. 

Kebiasaan ini sebenarnya bukan hal baru bagi ibu. Mengatur keuangan rumah tangga sudah lama menuntut ketelitian, kehati-hatian, dan konsistensi. Tanpa label apa pun, ibu menjalankan peran sebagai manajer keuangan keluarga, dan kini peran itu ikut menjaga kepatuhan pajak.

Kepatuhan pajak tidak selalu lahir dari diskusi formal atau ruang rapat. Kepatuhan bukan hanya sekadar urusan dokumen, kepatuhan pajak adalah soal sikap. Banyak keluarga patuh bukan karena takut diperiksa, tetapi karena terbiasa tertib. Kebiasaan ini sering dibentuk dari rumah. 

Dari cara mencatat penghasilan, menyimpan dokumen penting, hingga mengingatkan satu sama lain tentang kewajiban yang harus dipenuhi serta paling utama bersikap jujur. Dalam keseharian seperti inilah ibu berperan, membangun disiplintanpa tekanan.

Di tengah Coretax yang semakin canggih, sistem pajak membaca pola dan konsistensi. Lonjakan yang tidak wajar atau data yang tidak selaras mudah terdeteksi. Di sinilah peran ibu kembali terasa. Dengan menjaga keteraturan keuangan keluarga, ibu ikut menurunkan risiko kesalahan dan ketidak sesuaian yang bisa berujung pada persoalan pajak. Peran ini mungkin tidak terlihat, tetapi dampaknya nyata.

Di momen Hari Ibu, pajak dapat dipandang dari sisi yang lebih manusiawi. Ibu mengajarkan bahwa kepatuhan bukan didorong oleh rasa takut pada sanksi, melainkan oleh keinginan untuk menjalani peran dengan benar demi keluarga hari ini dan generasi yang akan datang.

SELAMAT HARI IBU, 22 Desember 2025

Penulis adalah Anggota Departemen PPKF, IKPI

Agustina Mappadang

Email: gustinam7808@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Implikasi Pajak penerapan Fair Value pada PSAK 68

Tahun pajak 2025 ini setiap wajib pajak yang mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan melalui Coretax, khususnya daftar harta, yang tahun sebelumnya hanya mengisi Nilai Perolehan, kini diharuskan juga mengisi nilai pasar dari aset tersebut. Pembahasan implikasi penerapan nilai wajar yang umumnya tercermin pada nilai pasar menjadi menjadi semakin menarik untuk kembali diulas.

Bagi Waji Pajak Badan penerapan nilai wajar (fair value) berdasarkan PSAK 68 (yang dalam standar terbaru mulai tahun 2024 disesuaikan penomorannya menjadi PSAK 113) dalam laporan keuangan memiliki implikasi pajak yang signifikan karena adanya perbedaan prinsip antara standar akuntansi dan ketentuan perpajakan di Indonesia (UU PPh). Ruang lingkup tulisan ini tidak membahas detail tentang PSAK 68 dalam mengukur/ menentukan nilai wajar, namun lebih mengulas nilai wajar yang tercermin dari nilai pasar dari segi aspek perpajakan.

Secara umum, otoritas pajak di Indonesia masih menganut prinsip biaya historis (historical cost) dan realisasi (realization principle) yang artinya, kenaikan nilai aset baru dianggap sebagai objek pajak apabila telah terjadi pengalihan atau penjualan, sehingga penyesuaian nilai wajar dalam akuntansi sering kali tidak diakui secara fiskal.

Berikut adalah dasar hukum Pengakuan  Penghasilan yang mendasarkan prinsip realisasi (realization principle):

1. Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh)

Secara umum, Pasal 4 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menyatakan bahwa:

“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak… yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun…”

Kata kunci “diterima atau diperoleh” mengindikasikan bahwa harus ada realisasi transaksi. Selama aset tersebut masih dimiliki (meskipun harganya naik di pasar), tambahan kemampuan ekonomis tersebut belum dianggap “diterima” secara nyata untuk tujuan perpajakan.

Begitu juga perlakukan untuk beban pencadangan, misalnya beban Pencadangan untuk kewajiban dimasa yang akan datang, (Post Eemployee benefit), Peraturan pajak menerapkan realization principle.

2. Penjelasan Pasal 4 Ayat (1) Huruf d

Pasal ini secara spesifik mengatur tentang keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta. Ini adalah penegasan bahwa gain baru menjadi objek pajak saat terjadi:

• Penjualan.

• Tukar-menukar.

• Pengalihan ke perseroan (setoran modal).

• Hibah, warisan, atau sumbangan (dengan syarat tertentu)

Jika harta tersebut tidak dijual atau dialihkan, maka kenaikan nilainya (unrealized gain) tidak masuk dalam kategori pasal ini.

Selain contoh pada pengalihan harta, beban pencadangan untuk kewajiban dimasa yang akan datang, misalnya untuk Post Eemployee benefit, Peraturan pajak juga menerapkan realization principle.

3.  Metode Historical Cost atas Penilaian Persediaan

Dalam Pasal 10 ayat (6) UU PPh, ditegaskan bahwa penilaian persediaan barang hanya boleh dilakukan berdasarkan harga perolehan. Indonesia tidak mengizinkan metode Lower of Cost or Market (mana yang lebih rendah antara harga perolehan dan harga pasar) yang diakui secara fiskal jika hal itu mengakibatkan pengakuan kerugian/keuntungan yang belum terealisasi.

4. Pengakuan Keuntungan/Kerugian Selisih Kurs mata uang asing, Pasal 6 angka 1 huruf e

Perlakuan khusus untuk Biaya Kerugian /keuntungan selisih kurs mata uang asing, UU PPh mengikuti standar Akuntansi berikut Penjelasan Pasal 6 angka 1 huruf e UU PPh menyatakan bahwa:

Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia

Keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing ini meskipun hanya penyesuaian aset/kewajiban moneter pada periode pelaporan (belum terealisasi, misalnya kewajiban dalam mata uang asing yang belum dilunasi) keuntungan dan kerugian yang dicatatkan berdasarkan akuntansi tersebut diakui secara fiskal.

Perlakuan Akuntansi (PSAK) vs Perpajakan (Fiskal)

Seringkali terjadi perbedaan (koreksi fiskal) karena standar akuntansi (PSAK) mewajibkan perusahaan mencatat aset tertentu (seperti instrumen keuangan) menggunakan nilai wajar (Fair Value).

• Secara Akuntansi: Kenaikan nilai wajar dicatat sebagai laba di laporan laba rugi.

• Secara Perpajakan: Laba tersebut harus dikoreksi negatif dalam SPT Tahunan karena belum terealisasi dan bukan merupakan objek pajak menurut UU PPh.

Berikut adalah rincian implikasi pajaknya:

1. Perbedaan Pengakuan Laba/Rugi (Unrealized Gain/Loss) selain selisih kurs

Dalam akuntansi, kenaikan atau penurunan nilai wajar aset diakui sebagai keuntungan atau kerugian pada tahun berjalan, meskipun aset tersebut belum dijual. Namun, dalam perpajakan:

•  Keuntungan Belum Terealisasi (Unrealized Gain): Tidak dianggap sebagai objek pajak (penghasilan) sampai aset tersebut benar-benar dilepaskan/dijual.

•  Kerugian Belum Terealisasi (Unrealized Loss): Tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (non-deductible expense) dalam menghitung PPh Badan.

•  Konsekuensi: Perusahaan wajib melakukan koreksi fiskal (positif atau negatif) dalam SPT Tahunan PPh Badan.

2. Timbulnya Pajak Tangguhan (Deferred Tax)

Karena nilai aset di neraca (berbasis nilai wajar) berbeda dengan nilai aset menurut pajak (berbasis biaya historis), maka muncul perbedaan temporer. Berdasarkan PSAK 46, entitas harus mencatat:

•  Liabilitas Pajak Tangguhan: Jika nilai wajar aset lebih tinggi dari dasar pengenaan pajaknya (memicu potensi pajak di masa depan saat aset dijual).

•  Aset Pajak Tangguhan: Jika nilai wajar aset lebih rendah dari dasar pengenaan pajaknya (dan dapat dipulihkan di masa depan).

3. Implikasi pada Aset Spesifik

Beberapa jenis aset memiliki aturan khusus terkait nilai wajar:

4. Risiko Pemeriksaan Pajak

Penerapan nilai wajar meningkatkan kompleksitas dalam rekonsiliasi fiskal. Perbedaan yang besar antara laba komersial dan laba kena pajak sering kali menjadi “bendera merah” (red flag) bagi fiskus untuk melakukan pemeriksaan guna memastikan bahwakeuntungan nilai wajar tersebut benar-benar belum direalisasi.

Simpulan

Secara umum Peraturan Pajak menganut prinsip realisasi (realization principle) yang artinya, kenaikan nilai aset baru dianggap sebagai objek pajak apabila telah terjadi pengalihan atau penjualan, sehingga penyesuaian nilai wajar dalam akuntansi sering kali tidak diakui secara fiskal, dengan kata lain tidak mengakui “keuntungan di atas kertas” dari kenaikan nilai wajar.

Pajak hanya akan dikenakan saat Anda mendapatkan aliran kas nyata dari penjualan aset tersebut. Selain menganut realization principle, aturan pajak juga menganut historical cost, contohnya pada penilaian Persediaan yang menggunakan harga perolehan, namun untuk pengakuan keuntungan/kerugian selisih kurs mata uang asing aturan pajak mengikuti ketentuan standar Akuntansi yang berlaku di Indonesia.

Bagi Wajib Pajak  yang menyelenggarakan pembukuan berdasarkan Standar Akuntansi tentunya berimplikasi melakukan koreksi fiskal/fiskal adjustment untuk menghitung laba kena pajak, bagi wajib pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan misalnya Wajib Pajak Orang Pribadi, tidak akan berdampak pada perhitungan penghasilan kena pajak jika aset yang dimiliki nilai pasar nya lebih besar dari nilai perolehan sepanjang belum direalisasikan keuntungan (dialihkan/dijual).

Penulis berpendapat Pencantuman informasi nilai pasar di laporan SPT WP OP,  bagi otoritas pajak tentunya berguna sebagai data/informasi untuk menilai potensi penerimaan pajak dari capital gain jika aset tersebut dialihkan.

Penulis adalah Ketua Departemen FGD, IKPI

Suwardi Hasan, S.Kom., S.H., S.E., M.Ak., Ak., CA

Email: suwardih@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Menjaring Kejernihan dalam Kerancuhan

Sebentar lagi kita akan meninggalkan tahun 2025, waktu yang kita tinggalkan ini, pasti bermakna dan penuh kenangaan. waktu itu sendiri bukanlah panggung yang terputus-putus, melainkan sebuah  panggung yang berproses  dan  terus mengalir.

Bung Karno memiliki catatan sendiri soal ini, “berubahnya tahun bukan hanya sekedar penggantian kalender, tapi kesempatan kita untuk merefeleksikan diri, memperbaiki diri juga membangun masa depan yang lebh baik”

Sebentar lagi akan masuk ke 2026, maka banyak sifat buruk yang akan kita tinggalkan dan merubahnya menjadi sifat baik dalam diri kita masing-masing. Catatan lain soal situasi nasional ditahun 2025 ada banyak, namun berapa hal yang menarik untuk dikaji adalah: 

Dalam bidang perpajakan ditahun  2025, kita diberikan sistem Coretax dan mendapat menteri keuangan baru  lalu ada banyak peraturan-peraturan perpajakan yang semuanya bertujuan memberikan kebaikan buat negara dan rakyat kebanyakan.

Dalam bidang perekonomian ditahun 2025, ada banyak kejutan-kejutan yang menarik, misalnya digelontorkan 200 triliun rupiah untuk memperkuat sektor ekonomi riil. Sistem ini meningkatnya likuditas perbankan, sehingga bank-bank dapat lebih mudah memberikan kredit  kepada sektor-sektor produkktif. Saat ini ekonomi mulai mengalami perbaikan. Hal ini dapat dilihat dengan naiknya IHSG pada 16 Desember 2025, IHSG mencapai 8.686 poin.

Dibidang politik sempat ada demo besar dan kerusuhan, namun akhirnya dapat berujung damai dan selesai. Hal ini bagai riak dalam gelombang laut yang besar.

Sekarang kita semua  sedih karena dipenghujung tahun 2025 ini Sumatra Barat, Sumatra Utara dan Aceh mengalami bencana alam banjir bandang yang sampai saat ini masih berprores penanganannya. Semoga segera pulih seperti sediakala. Amin.

Namun kita perlu sikap yang masuk akal dalam melihat zaman kedepan, sesuai dengan teori eksistensialisme dari Jean Paul Sartre, bahwa kebebasan dan tanggung jawab untuk mencapai potensi yang mumpuni.  Akhir kata dari  artikel ini salam dan doa buat kita semua, semoga tahun  depan menjadi lebih baik dari tahun 2025. Terus bersikap jernih walau ada kerancuhan…Amin.

Penulis adalah Anggota Departemen Penelitian dan Pengkajian Fiskal, IKPI

Dr. Irwan Wisanggeni

Email: irwanwisanggeni@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Perencanaan Pajak adalah Seni

Prinsip Pajak di Indonesia: Self Assessment

Sistem perpajakan Indonesia menganut prinsip self-assessment, yaitu negara memberikan kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Fiskus tidak lagi menentukan besarnya pajak, melainkan melakukan pengawasan dan penegakan hukum atas apa yang telah dilaporkan Wajib Pajak. Konsekuensinya, Wajib Pajak dituntut untuk memahami ketentuan perpajakan, mengelola pembukuan secara tertib, dan memastikan bahwa perhitungan pajak yang dilakukan sudah benar.

Di satu sisi, sistem ini memberikan keleluasaan bagi pelaku usaha untuk mengelola kewajiban pajaknya secara efisien; di sisi lain, ada risiko sanksi jika perhitungan dilakukan secara keliru, apalagi jika terbukti sengaja mengurangi pajak. Di sinilah Perencanaan Pajak (tax planning) menjadi relevan: membantu Wajib Pajak menjalankan self assessment dengan cara yang efisien namun tetap patuh hukum.

Definisi dan Jenis Perencanaan Pajak

Secara sederhana, Perencanaan Pajak adalah proses mengatur kegiatan usaha dan transaksi keuangan sedemikian rupa sehingga beban pajak berada pada tingkat serendah mungkin, tetapi tetap dalam koridor peraturan perundang-undangan.

Perencanaan Pajak bukan sekadar mencari tarif pajak terendah, melainkan mengoptimalkan struktur bisnis, alur transaksi, dan pemanfaatan fasilitas perpajakan yang tersedia.

Bila dilihat dari pendekatannya, Perencanaan Pajak dapat dibagi menjadi:

Tax Minimization

yaitu memanfaatkan pilihan-pilihan yang sah (misalnya memilih skema penyusutan, memanfaatkan fasilitas insentif, mengelola biaya yang dapat dikurangkan);

Tax Avoidance

dalam arti sempit yang masih legal, yaitu pengaturan transaksi untuk menghindari objek atau menggeser saat pengenaan pajak selama sesuai ketentuan; dan

Tax Evasion, yaitu penghindaran pajak secara ilegal yang dilakukan dengan menyembunyikan penghasilan, memalsukan dokumen, atau melakukan manipulasi lainnya.

Dua yang pertama dapat menjadi bagian dari perencanaan pajak yang benar, sedangkan tax evasion murni pelanggaran yang berpotensi pidana.

Legalitas Perencanaan Pajak di Indonesia

Pada prinsipnya, Perencanaan Pajak yang memanfaatkan ruang yang secara eksplisit maupun implisit disediakan oleh undang-undang adalah sah dan legal. Undang-undang Perpajakan di Indonesia memberi beberapa pilihan perlakuan, misalnya metode penyusutan, pengkreditan pajak, pengakuan biaya dan penghasilan, insentif bagi sektor tertentu, hingga ketentuan khusus UMKM.

Hak Wajib Pajak untuk memilih opsi yang paling menguntungkan bagi dirinya adalah bagian dari hak konstitusional untuk mengatur kegiatan ekonominya.

Perencanaan Pajak menjadi tidak legal ketika dilakukan dengan cara menyelundupkan transaksi, membuat dokumen fiktif, memecah usaha secara semu, memindahkan penghasilan ke pihak terkait hanya di atas kertas, atau praktik lain yang bertentangan dengan substansi transaksi sebenarnya.

Di tingkat regulasi, otoritas pajak juga diberi kewenangan untuk menerapkan doktrin substance over form dan ketentuan anti-penghindaran (anti-avoidance) terhadap skema yang tampak formalnya sah, tetapi secara substansi hanya dibuat untuk mengurangi pajak secara tidak wajar. Jadi, garis pembatasnya bukan pada istilah perencanaan, melainkan pada niat dan cara pelaksanaannya: apakah memanfaatkan hak secara wajar atau menyalahgunakan celah hukum.

Membayar Pajak yang Seharusnya versus Sebenarnya

Dalam konteks self-assessment, sering muncul perbedaan antara pajak yang seharusnya dibayar secara hukum dengan pajak yang sebenarnya dibayar oleh Wajib Pajak.

Pajak yang seharusnya adalah pajak terutang yang dihitung berdasarkan ketentuan undang-undang secara benar dan lengkap, dengan asumsi pencatatan dan pelaporan dilakukan apa adanya. Sedangkan pajak yang sebenarnya dibayar sering dipengaruhi oleh kualitas pembukuan, pemahaman aturan, pilihan skema perpajakan, hingga sikap kehati-hatian Wajib Pajak. Perencanaan pajak yang sehat justru bertujuan memperkecil kesenjangan antara yang seharusnya dan yang sebenarnya: membantu Wajib Pajak memahami hak dan kewajibannya sehingga ia tidak membayar lebih besar dari yang diwajibkan, tetapi juga tidak membayar lebih kecil yang berujung sengketa dan sanksi.

Dalam praktik, penghematan pajak yang legal akan mengubah komposisi pembayaran: bukan menghilangkan pajak terutang, melainkan menghindari pembayaran pajak yang secara hukum tidak wajib (misalnya karena dapat dikreditkan, dikurangkan, ditunda, atau sebenarnya bukan objek pajak).

Penghematan Pajak Dimulai dari Menentukan Bentuk Badan Usaha

Salah satu keputusan awal yang sangat menentukan profil pajak adalah pemilihan bentuk badan usaha. Apakah usaha dijalankan sebagai orang pribadi, CV, firma, koperasi, yayasan, atau perseroan terbatas (PT) akan berpengaruh pada objek pajak, tarif, serta pengenaan pajak di tingkat pemilik. Misalnya, usaha orang pribadi akan dikenai pajak langsung pada tingkat pemilik dengan tarif progresif, sementara PT dikenai pajak di tingkat badan, kemudian pembagian laba (dividen) ke pemegang saham memiliki konsekuensi pajak tersendiri.

Untuk UMKM, pilihan skema tertentu dapat memberi beban pajak yang lebih ringan dibanding skema umum sepanjang memenuhi syarat. Di sisi lain, badan usaha tertentu mungkin lebih mudah mengakses fasilitas insentif pajak, seperti pengurangan tarif, super deduction, atau fasilitas di kawasan tertentu.

Perencanaan pajak yang bijak tidak hanya melihat tarif paling rendah saat ini, tetapi juga mencermati arah ekspansi usaha, potensi investor, kebutuhan pembiayaan, dan profil risiko. Keputusan bentuk badan usaha yang tepat sejak awal dapat menciptakan struktur pajak yang efisien untuk jangka panjang, bukan sekadar menghemat pajak sesaat.

Bagaimana Perencanaan Pajak yang Legal

Perencanaan Pajak yang legal harus berangkat dari dokumentasi yang benar, transaksi yang riil, dan interpretasi undang-undang yang wajar.

Langkah-langkahnya dapat diuraikan sebagai berikut:

Pertama, memastikan pembukuan dan dokumentasi transaksi tertib, lengkap, dan mencerminkan keadaan sebenarnya. Tanpa data yang andal, perencanaan pajak akan berubah menjadi spekulasi dan mudah terpeleset ke pelanggaran.

Kedua, memetakan seluruh kewajiban pajak—PPh, PPN, dan pajak lainnya—beserta dasar pengenaan, tarif, dan jadwal pembayarannya.

Ketiga, mengidentifikasi pilihan perlakuan yang disediakan undang-undang: misalnya pengelompokan biaya, metode penyusutan, pemanfaatan kerugian fiskal, atau insentif sektoral.

Keempat, mengevaluasi setiap skema dari aspek legal, komersial, dan kepatuhan: apakah transaksi memiliki business purpose selain penghematan pajak, apakah ada risiko koreksi atau sengketa, dan apakah dokumentasi pendukung memadai.

Kelima, menuangkan hasil perencanaan dalam kebijakan internal perusahaan, misalnya kebijakan akuntansi, SOP pajak, atau struktur kontrak, sehingga pelaksanaannya konsisten dan dapat dipertanggungjawabkan. Jika setiap langkah dilakukan dengan transparan dan didukung alasan bisnis yang masuk akal, maka perencanaan pajak tersebut berada dalam koridor legal.

Menentukan Perencanaan Pajak yang Aplikatif

Tantangan di lapangan bukan hanya merancang Perencanaan Pajak yang pintar, tetapi yang benar-benar aplikatif untuk kondisi usaha. Perencanaan Pajak yang terlalu rumit, banyak bergantung pada skema teknis, atau menuntut administrasi yang berat, sering justru tidak terlaksana dengan disiplin oleh pelaku UMKM maupun korporasi skala menengah. Oleh karena itu, titik tolaknya adalah profil usaha: skala transaksi, struktur organisasi, kemampuan administrasi, dan tingkat pemahaman tim keuangan.

Bagi UMKM, perencanaan pajak aplikatif bisa sesederhana memisahkan rekening pribadi dan usaha, menertibkan bukti transaksi, memilih skema pajak yang paling praktis, serta mengatur pola penarikan laba pemilik.

Untuk badan usaha yang lebih besar, perencanaan aplikatif mencakup peninjauan rutin kontrak, review PPh pemotongan/pemungutan, manajemen PPN masukan-keluaran, dan pemanfaatan insentif secara sistematis.

Kuncinya, setiap skema harus bisa dijalankan oleh orang dan sistem yang ada, bukan hanya indah di atas kertas konsultan.

Pandangan Fiskus tentang Perencanaan Pajak

Dari sudut pandang fiskus, Perencanaan Pajak pada dasarnya tidak dilarang sejauh dilakukan dalam kerangka hukum dan tidak menyelundupkan substansi transaksi. Fiskus memahami bahwa Wajib Pajak berhak mengelola beban pajaknya secara efisien, sama seperti mengelola biaya lain dalam bisnis. Namun, fiskus berkewajiban menjaga agar perencanaan pajak tidak menjelma menjadi skema penghindaran agresif yang menggerus penerimaan negara secara tidak wajar. Di sinilah pengawasan, pemeriksaan, serta penggunaan data pihak ketiga dilakukan untuk menilai kewajaran skema yang dipakai Wajib Pajak.

Dalam pendekatan Cooperative Compliance, fiskus justru mendorong dialog terbuka: Wajib Pajak yang transparan, tertib administrasi, dan mau berkonsultasi, cenderung memiliki hubungan yang lebih konstruktif dibanding yang menyusun skema tertutup dan berisiko tinggi.

Dengan kata lain, fiskus bukan anti terhadap perencanaan pajak, tetapi menolak segala bentuk penyalahgunaan celah hukum yang hanya berorientasi pada penghindaran pajak tanpa alasan bisnis yang sehat.

Perencanaan Pajak adalah Seni

Perencanaan Pajak yang praktis dan legal adalah keniscayaan dalam sistem self assessment yang memberi kepercayaan besar kepada Wajib Pajak. Di satu sisi, Wajib Pajak wajib membayar pajak sesuai ketentuan; di sisi lain, ia berhak mengatur kegiatan usaha dan transaksi keuangannya agar beban pajak berada pada tingkat yang wajar dan efisien.

Kunci utamanya terletak pada pemahaman atas prinsip perpajakan, pemilihan bentuk badan usaha yang tepat, penataan transaksi yang memiliki alasan bisnis jelas, serta pemanfaatan fasilitas yang memang disediakan oleh undang-undang.

Perencanaan Pajak bukan seni menghindar dari pajak, melainkan seni menata usaha agar pajak yang dibayar benar-benar yang seharusnya—tidak lebih, tidak kurang.

Dalam kerangka hubungan yang kooperatif antara fiskus dan Wajib Pajak, Perencanaan Pajak yang baik justru mendorong kepastian hukum, mengurangi sengketa, dan pada akhirnya mendukung iklim usaha yang sehat sekaligus tetap menjamin penerimaan negara.

Penulis adalah Anggota Departemen Humas PP-IKPI

Donny Danardono

Email: donnydanardono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Lonjakan Kasus SPT Tidak Benar pada 2024: Peringatan Serius bagi Sistem Pajak dan Pelaku Usaha

Sepanjang 2024, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat bahwa penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) dengan data yang tidak akurat menjadi modus pelanggaran perpajakan yang paling banyak ditemukan, mengungguli berbagai tindak kejahatan pajak lain yang sebelumnya lebih dominan (DJP, Laporan Tahunan 2024). 

Tren ini menunjukkan adanya perubahan pola ketidakpatuhan dan menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas pengawasan serta kesiapan pelaku usaha dalam menjaga integritas pelaporan.

Mengapa Penyampaian SPT Tidak Benar Meningkat?

Beberapa faktor utama menjadi pendorong tingginya kasus manipulasi SPT pada 2024.

1. Persepsi Risiko yang Rendah

Studi kepatuhan pajak menunjukkan bahwa Wajib Pajak cenderung lebih berani melakukan manipulasi ketika mereka menilai risiko tertangkap rendah atau tidak signifikan (OECD, Tax Administration Series 2023). Manipulasi laporan keuangan internal dipandang sebagai tindakan sulit dideteksi, sehingga mendorong perilaku untuk melakukan pelaporan tidak benar.

2. Kompleksitas Regulasi sebagai Ruang Abu-Abu

Regulasi perpajakan yang kompleks sering dimanfaatkan untuk melakukan penafsiran yang merugikan fiskus. BPK dan Kemenkeu beberapa kali menyoroti bahwa kerumitan aturan menjadi celah regulasi yang potensial bagi terjadinya salah saji yang disengaja (BPK, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Sektor Perpajakan).

3. Lemahnya Pengawasan Internal Wajib Pajak

Banyak perusahaan belum memiliki kontrol internal yang memadai terhadap proses pelaporan pajak. Kompas dan Bisnis Indonesia pada 2024 mencatat bahwa kasus pelaporan tidak akurat sering terjadi karena pengambil keputusan menyerahkan proses sepenuhnya kepada staf tanpa verifikasi memadai (Kompas, 2024).

Dampak Serius bagi Negara dan Pelaku Usaha

1. Kerugian Fiskal Negara

Manipulasi SPT berkontribusi pada hilangnya potensi penerimaan negara yang seharusnya menopang belanja publik (Kemenkeu, APBN Kita 2024). Penegakan hukum atas kasus ini juga menyerap biaya signifikan.

2. Risiko Hukum bagi Wajib Pajak

Dengan sistem CoreTax yang semakin terintegrasi menggunakan data perbankan, kepabeanan, dan pertanahan, peluang lolos dari deteksi makin kecil. Ketika penyimpangan terbukti, Wajib Pajak menghadapi sanksi administratif berat, ancaman pidana sesuai UU KUP Pasal 38 dan 39, serta potensi penyitaan aset.

3. Ancaman Etis dan Profesional bagi Konsultan Pajak

DJP secara konsisten menindak konsultan yang terlibat dalam penyusunan laporan tidak benar, termasuk pencabutan izin praktik pada kasus tertentu (DJP, Pengawasan Profesi 2024). Hal ini menegaskan bahwa peran konsultan bukan hanya teknis, tetapi juga etis dan kepatuhan.

Langkah Perbaikan yang Perlu Diperkuat

1. Optimalisasi Sistem CoreTax

World Bank menilai bahwa integrasi data lintas lembaga merupakan langkah fundamental untuk meningkatkan efektivitas administrasi perpajakan (World Bank, Indonesia Economic Prospects 2024). DJP perlu memastikan CoreTax mampu melakukan pencocokan data secara otomatis dan real time.

2. Edukasi Publik yang Lebih Komprehensif

Sosialisasi perpajakan perlu difokuskan tidak hanya pada teknis pelaporan, tetapi juga pada konsekuensi hukum dan manfaat kepatuhan bagi keberlangsungan bisnis.

3. Penguatan Tata Kelola Internal Perusahaan

Audit internal dan reviu direksi atas SPT menjadi keharusan. Banyak studi menunjukkan bahwa keterlibatan manajemen puncak meningkatkan kualitas pelaporan dan menekan risiko manipulasi.

4. Etika Profesi Konsultan Pajak

OECD menekankan bahwa konsultan pajak memiliki tanggung jawab profesional untuk mendorong kepatuhan, bukan memfasilitasi penghindaran yang bersifat agresif (OECD, Principles for Tax Intermediaries).

Penutup

Lonjakan kasus SPT tidak benar pada 2024 menjadi sinyal kuat bahwa perbaikan sistem pengawasan perlu diakselerasi, diikuti peningkatan integritas pelaporan dari pelaku usaha. Dalam lingkungan perpajakan yang semakin transparan dan berbasis data, pelaporan tidak akurat bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi risiko bisnis yang serius.

Kepatuhan adalah investasi jangka panjang. Di era integrasi data nasional, setiap penyimpangan pada akhirnya akan terdeteksi.

Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Sidoarjo

Muhammad Ikmal

Email: ikmal.patarai@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Pengaruh Dinamika Penurunan Suku Bunga Acuan THE FED terhadap Perekonomian Indonesia (Perspektif Inflasi, Pasar Modal, Suku Bunga BI, dan Kinerja Perpajakan)

Pada hari Rabu, 10 Desember 2025 waktu Amerika Serikat, Federal Reserve (The Fed) kembali memangkas suku bunga acuan (federal funds rate) sebesar 25 basis poin (bps), sehingga suku bunga acuan berada pada rentang 3,5%–3,75%. Keputusan ini menandai fase baru pelonggaran kebijakan moneter Amerika Serikat setelah periode pengetatan agresif pada 2022–2023 yang ditujukan untuk meredam lonjakan inflasi pasca pandemi dan guncangan harga komoditas global.

Dalam proyeksi berbagai analis, The Fed diperkirakan masih memiliki ruang untuk kembali memangkas suku bunga secara bertahap pada tahun 2026, dengan kelipatan 25 bps, sepanjang data inflasi dan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat bergerak sejalan dengan target dan ekspektasi. Dengan posisi Amerika Serikat sebagai ekonomi terbesar dunia dan dolar AS sebagai mata uang cadangan utama global, setiap perubahan kebijakan suku bunga The Fed tidak hanya berdampak pada perekonomian domestik AS, tetapi juga menimbulkan gelombang (spillover) ke berbagai negara, termasuk Indonesia.

Artikel ini membahas dampak penurunan suku bunga The Fed terhadap perekonomian Indonesia dari empat perspektif utama, yaitu: (1) inflasi, (2) pasar modal, (3) suku bunga acuan Bank Indonesia, dan (4) kinerja perpajakan. Di samping itu, akan diulas secara singkat sejarah peran The Fed dalam membentuk dinamika ekonomi global, sehingga memberikan konteks akademis dan praktis bagi pembaca, baik untuk tujuan publikasi maupun pengajaran.

Sekilas Sejarah The Fed dan Pengaruhnya terhadap Ekonomi Dunia

The Fed dibentuk pada tahun 1913 melalui Federal Reserve Act sebagai respon terhadap serangkaian krisis perbankan yang mengguncang Amerika Serikat pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Tujuan awalnya adalah menciptakan bank sentral yang mampu menyediakan likuiditas darurat (lender of last resort) dan menstabilkan sistem keuangan.

Pada era Depresi Besar (Great Depression) tahun 1930-an, kebijakan moneter The Fed yang cenderung terlambat dan terlalu ketat dinilai oleh banyak ekonom sebagai salah satu faktor yang memperdalam kontraksi ekonomi, tidak hanya di Amerika Serikat tetapi juga di berbagai belahan dunia. Episode ini menjadi pelajaran penting mengenai peran bank sentral dalam menjaga stabilitas sistemik.

Pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an, di bawah kepemimpinan Paul Volcker, The Fed menaikkan suku bunga hingga di atas 15% untuk menghancurkan inflasi tinggi yang mengakar di perekonomian AS. Kebijakan yang kemudian dikenal sebagai Volcker Shock ini berhasil meredam inflasi, tetapi juga mendorong lonjakan biaya pinjaman global dan memicu krisis utang di berbagai negara berkembang, terutama di Amerika Latin.

Pada dekade 1990-an dan awal 2000-an, di bawah Alan Greenspan, The Fed mengelola suku bunga di tengah gelombang globalisasi keuangan dan liberalisasi pasar modal. Beberapa siklus kenaikan dan penurunan suku bunga AS, termasuk periode menjelang krisis finansial Asia 1997–1998, berkontribusi pada dinamika arus modal yang sangat besar ke dan dari negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia, sehingga membuat perekonomian negara-negara tersebut semakin sensitif terhadap kebijakan moneter AS.

Krisis finansial global 2008 menjadi tonggak penting lain. Menyusul kejatuhan Lehman Brothers dan disfungsi pasar keuangan global, The Fed memangkas suku bunga mendekati nol dan meluncurkan program pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE) dalam skala besar. Likuiditas global yang melimpah mengalir ke berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, mendorong penguatan nilai tukar, penurunan yield obligasi, dan kenaikan harga aset finansial.

Pada tahun 2013, ketika The Fed mulai memberi sinyal akan mengurangi skala QE (tapering), pasar global bereaksi keras dalam peristiwa yang dikenal sebagai taper tantrum. Negara-negara emerging markets mengalami arus keluar modal (capital outflows), pelemahan tajam nilai tukar, serta kenaikan yield obligasi. Indonesia merasakan dampak tersebut melalui depresiasi rupiah dan peningkatan biaya pendanaan pemerintah maupun swasta.

Setelah pandemi COVID-19 dan berbagai paket stimulus fiskal-moneter yang sangat besar, The Fed kembali menormalisasi kebijakan dengan menaikkan suku bunga secara agresif pada 2022–2023 untuk meredam inflasi yang melonjak. Siklus pengetatan ini kembali menekan mata uang negara berkembang dan memicu penyesuaian suku bunga domestik di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Dengan konteks historis tersebut, jelas bahwa The Fed bukan sekadar bank sentral nasional, melainkan salah satu aktor kunci yang membentuk lanskap ekonomi dan keuangan global. Setiap perubahan kebijakan suku bunga The Fed berpotensi membawa konsekuensi luas bagi negara-negara lain, baik melalui kanal nilai tukar, arrus modal, harga komoditas, maupun sentimen pasar.

Mekanisme Transmisi Kebijakan The Fed ke Perekonomian Indonesia

Dampak kebijakan The Fed terhadap Indonesia terjadi melalui beberapa jalur utama. Pertama, kanal suku bunga global dan yield spread. Penurunan suku bunga acuan The Fed cenderung menurunkan imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS, sehingga selisih imbal hasil (spread) antara aset berdenominasi rupiah dengan aset berdenominasi dolar AS dapat melebar. Hal ini membuat aset keuangan Indonesia tampak relatif lebih menarik bagi investor global.

Kedua, kanal nilai tukar dan arus modal portofolio. Suku bunga AS yang lebih rendah cenderung menurunkan daya tarik dolar AS sebagai instrumen investasi jangka pendek dan mendorong investor global mencari imbal hasil yang lebih tinggi di negara berkembang. Kondisi ini dapat mendorong arus modal masuk (capital inflows) ke pasar obligasi dan saham Indonesia, yang pada gilirannya mendukung penguatan atau setidaknya stabilitas nilai tukar rupiah.

Ketiga, kanal harga komoditas dan permintaan global. Sebagai bagian dari upaya mendorong pertumbuhan ekonomi, suku bunga yang lebih rendah di Amerika Serikat berpotensi mendukung aktivitas ekonomi global. Bila pertumbuhan global menguat, permintaan terhadap komoditas ekspor Indonesia seperti batubara, CPO, nikel, dan lain-lain dapat meningkat, memberikan dukungan tambahan bagi kinerja ekspor dan penerimaan negara dari sektor sumber daya alam.

Keempat, kanal ekspektasi dan sentimen pasar. Pernyataan resmi The Fed, proyeksi suku bunga (dot plot), dan komunikasi kebijakan lainnya membentuk ekspektasi pelaku pasar global. Jika pasar meyakini bahwa penurunan suku bunga The Fed akan berlanjut, harga aset keuangan global akan menyesuaikan (re-pricing) sejak dini, termasuk di pasar keuangan Indonesia.

Dampak Penurunan Suku Bunga The Fed terhadap Perekonomian Indonesia

Perspektif Inflasi

Dalam beberapa tahun terakhir, inflasi Indonesia relatif terjaga dalam kisaran sasaran Bank Indonesia. Penurunan suku bunga The Fed berpotensi memberikan dukungan tambahan bagi stabilitas inflasi Indonesia, terutama melalui kanal nilai tukar. Dengan tekanan terhadap dolar AS yang mereda dan kemungkinan menguatnya rupiah, tekanan imported inflation dari barang-barang impor seperti BBM, pangan, dan bahan baku industri dapat berkurang.

Namun demikian, dampak positif tersebut bukan berarti tanpa risiko. Apabila penurunan suku bunga The Fed mendorong pemulihan ekonomi global yang kuat, harga komoditas energi dan pangan dunia bisa mengalami kenaikan, yang kemudian menekan inflasi domestik melalui jalur harga pangan bergejolak (volatile foods) dan harga yang diatur pemerintah (administered prices). Dalam situasi ini, kebijakan koordinasi antara pemerintah dan Bank Indonesia menjadi sangat penting untuk mengendalikan ekspektasi inflasi.

Secara keseluruhan, dalam konteks penurunan suku bunga The Fed pada akhir 2025, peluang stabilitas inflasi Indonesia cenderung lebih besar daripada risikonya, selama faktor-faktor domestik seperti pasokan pangan, kebijakan harga energi, dan koordinasi kebijakan fiskal–moneter tetap terjaga dengan baik.

Perspektif Pasar Modal

Penurunan suku bunga The Fed secara historis cenderung bersifat positif bagi pasar keuangan negara berkembang, termasuk pasar modal Indonesia. Dari sisi pasar saham, penurunan suku bunga global menurunkan cost of equity dan meningkatkan valuasi teoritis saham melalui penurunan tingkat diskonto (discount rate). Sektor-sektor yang peka terhadap suku bunga seperti perbankan, properti, dan konsumsi berpotensi memperoleh sentimen positif, terutama jika didukung oleh fundamental domestik yang kuat.

Di pasar obligasi, penurunan suku bunga The Fed dan yield US Treasury akan membuat imbal hasil surat berharga negara (SBN) Indonesia semakin menarik secara relatif. Hal ini dapat mendorong permintaan SBN oleh investor global dan domestik, sehingga menurunkan yield SBN dan pada akhirnya menurunkan biaya pinjaman pemerintah. Penurunan yield SBN juga berpotensi menurunkan biaya pendanaan korporasi melalui pasar obligasi korporasi.

Meski demikian, volatilitas tetap perlu diwaspadai. Perubahan ekspektasi pasar terhadap jalur suku bunga The Fed, data ekonomi AS yang berbeda dari perkiraan, atau eskalasi risiko geopolitik dapat memicu pembalikan arus modal secara cepat. Oleh karena itu, penguatan fundamental domestik, kedalaman pasar keuangan, dan komunikasi kebijakan yang kredibel dari otoritas moneter dan otoritas pasar modal menjadi prasyarat penting untuk mengoptimalkan manfaat penurunan suku bunga The Fed bagi pasar modal Indonesia.

Perspektif Suku Bunga Acuan Bank Indonesia

Penurunan suku bunga The Fed mengurangi tekanan eksternal terhadap perekonomian Indonesia, terutama yang terkait dengan stabilitas nilai tukar rupiah dan arus modal. Dalam kondisi ini, ruang kebijakan Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan (BI-Rate) secara selektif dan bertahap menjadi lebih terbuka dibandingkan ketika The Fed berada pada fase pengetatan agresif.

Namun demikian, keputusan Bank Indonesia tidak hanya bergantung pada kebijakan The Fed. BI harus mempertimbangkan berbagai faktor lain, seperti proyeksi inflasi domestik, kesenjangan output (output gap), kondisi sektor keuangan, serta risiko eksternal lain yang mungkin timbul dari perlambatan ekonomi global atau dinamika harga komoditas. Dengan kata lain, penurunan suku bunga The Fed memberikan ruang gerak tambahan, tetapi tidak boleh mendorong BI untuk mengambil kebijakan pelonggaran yang berlebihan.

Pendekatan yang paling realistis adalah kebijakan pelonggaran yang hati-hati (cautious easing), di mana BI menurunkan suku bunga secara terbatas dan bertahap, sambil tetap mengandalkan instrumen lain seperti kebijakan makroprudensial, intervensi nilai tukar, dan pengelolaan likuiditas untuk menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.

Perspektif Kinerja Perpajakan Indonesia

Kinerja perpajakan Indonesia, yang tercermin dari rasio pajak (tax ratio) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara peers di kawasan maupun negara anggota OECD. Penurunan suku bunga The Fed tidak secara langsung mengubah struktur perpajakan Indonesia, tetapi dapat mempengaruhi basis pajak melalui dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, dan profitabilitas dunia usaha.

Apabila penurunan suku bunga The Fed berhasil menciptakan lingkungan keuangan global yang lebih kondusif, maka biaya pendanaan investasi dapat menurun dan aktivitas ekonomi domestik berpotensi meningkat. Pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat akan memperluas basis pajak, baik dari sisi Pajak Penghasilan (PPh) Badan, PPh Orang Pribadi, maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari konsumsi dan investasi.

Di sisi lain, stabilitas nilai tukar rupiah dan inflasi yang terkendali juga membantu dunia usaha dalam melakukan perencanaan keuangan dan investasi, sehingga mengurangi risiko kebangkrutan dan tunggakan pajak. Bagi pemerintah, kondisi ini bisa dimanfaatkan untuk mendorong reformasi perpajakan yang berorientasi pada perluasan basis pajak, peningkatan kepatuhan sukarela, dan penguatan administrasi perpajakan, termasuk melalui pemanfaatan teknologi informasi dan data yang lebih komprehensif.

Namun, perlu diingat bahwa jika penurunan suku bunga The Fed mencerminkan pelemahan ekonomi global yang lebih dalam, maka kinerja sektor ekspor dan komoditas Indonesia bisa tertekan, yang pada gilirannya melemahkan penerimaan pajak dari sektor tersebut. Oleh karena itu, strategi perpajakan Indonesia harus adaptif, memanfaatkan peluang ketika siklus global menguntungkan, dan memperkuat basis pajak domestik ketika siklus global berada dalam fase melemah.

Prospek 2026 dan Implikasi Kebijakan

Dengan asumsi The Fed kembali memangkas suku bunga beberapa kali pada tahun 2026, peta kebijakan moneter global akan bergerak menuju rezim suku bunga yang lebih rendah setelah periode “higher for longer”. Bagi Indonesia, skenario ini menghadirkan kombinasi peluang dan tantangan. Di satu sisi, lingkungan suku bunga global yang rendah dapat mendukung pembiayaan pembangunan melalui penurunan biaya pinjaman pemerintah dan swasta, serta mendorong arus modal masuk ke pasar keuangan domestik.

Di sisi lain, ketidakpastian tetap akan membayangi, baik dari sisi geopolitik, dinamika perdagangan internasional, maupun prospek pertumbuhan ekonomi negara-negara utama seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Uni Eropa. Dalam konteks ini, Indonesia perlu terus memperkuat fondasi domestik, termasuk menjaga disiplin fiskal, stabilitas sistem keuangan, iklim investasi, dan kualitas kelembagaan perpajakan.

Bagi pembuat kebijakan, penting untuk melihat penurunan suku bunga The Fed bukan sebagai tujuan akhir, tetapi sebagai jendela peluang untuk mempercepat reformasi struktural di dalam negeri. Bagi akademisi dan pendidik, episode ini dapat dijadikan studi kasus aktual tentang interaksi kebijakan moneter global dan perekonomian domestik, serta hubungan antara kebijakan suku bunga, pasar keuangan, dan penerimaan negara.

Ringkasan

Penurunan suku bunga acuan The Fed pada Desember 2025 ke kisaran 3,5%–3,75% merupakan bagian dari siklus pelonggaran kebijakan moneter Amerika Serikat setelah fase pengetatan yang cukup agresif. Bagi Indonesia, kebijakan ini memberikan angin segar melalui berkurangnya tekanan eksternal, stabilitas nilai tukar, dan potensi peningkatan aliran modal ke pasar keuangan domestik.

Dari perspektif inflasi, penurunan suku bunga The Fed cenderung mendukung stabilitas harga melalui kanal nilai tukar, meskipun risiko kenaikan harga komoditas global tetap perlu diwaspadai. Dari sisi pasar modal, lingkungan suku bunga global yang lebih rendah berpotensi meningkatkan valuasi aset dan menurunkan biaya pendanaan pemerintah dan sektor swasta. Bagi Bank Indonesia, kebijakan The Fed membuka ruang pelonggaran tambahan, tetapi tetap menuntut kehati-hatian demi menjaga kredibilitas dan stabilitas makroekonomi.

Sementara itu, dari perspektif perpajakan, peluang untuk meningkatkan kinerja penerimaan negara melalui perluasan basis pajak dan pemanfaatan momentum pertumbuhan ekonomi harus diimbangi dengan kebijakan yang terukur dan tidak kontraproduktif terhadap iklim usaha. Pada akhirnya, kualitas respons kebijakan domestik—baik di bidang moneter, fiskal, maupun regulasi sektor keuangan—akan menentukan sejauh mana Indonesia dapat mengonversi perubahan kebijakan The Fed menjadi manfaat nyata bagi pembangunan nasional.

Penulis adalah Anggota Departemen Humas PP-IKPI

Donny Danardono

Email: donnydanardono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

en_US