Proyek Kopdes Masuk APBN, Dampak ke Fiskal Diwarnai Sorotan

IKPI, Jakarta: Komitmen pemerintah membangun 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih dipastikan akan melibatkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan bahwa pembangunan fisik koperasi tersebut akan dijalankan oleh PT Agrinas Pangan Nusantara (Persero) dengan dukungan pembiayaan dari bank-bank BUMN (Himbara).

Skemanya, Agrinas akan meminjam dana dari Himbara, sementara pemerintah menanggung pembayaran cicilan sekitar Rp40 triliun per tahun selama enam tahun. Dengan demikian, total dana APBN yang teralokasi untuk proyek ini mencapai sekitar Rp240 triliun.

Menurut Purbaya, skema penjaminan tersebut membuat risiko perbankan tetap terjaga. “Pinjamannya aman, perbankan tidak menghadapi risiko signifikan karena pembayaran dijamin APBN,” ujarnya, Minggu (16/11/2025). Ia menambahkan bahwa Kementerian Keuangan segera menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) untuk mendukung pelaksanaan pendanaan ini.

Diatur Inpres 17/2025

Menteri Koperasi Ferry Juliantono menjelaskan bahwa mekanisme pembiayaan proyek Kopdes/Kel telah dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2025. Aturan tersebut memungkinkan pendanaan dari APBN, APBD, serta sumber sah lainnya.

“APBN tetap menjadi sumber utama. Skemanya lewat Himbara, lalu Himbara menyalurkan ke Agrinas,” tutur Ferry.

Setiap unit Kopdes/Kel Merah Putih memperoleh plafon pembiayaan hingga Rp3 miliar yang digunakan untuk pembangunan gudang, gerai, serta modal kerja. Karena berstatus program strategis nasional, proses penilaian kredit oleh Himbara juga akan dipermudah.

Hingga saat ini, Agrinas tengah membangun 7.923 titik gerai dengan dukungan pembayaran muka sekitar Rp600 miliar. Pemerintah menargetkan pendataan lahan mencapai 40.000 titik pada November 2025 dan pembangunan fisik meningkat menjadi 40.000–50.000 titik pada akhir tahun.

Sorotan Terhadap Ruang Fiskal

Keterlibatan APBN dalam skema penjaminan pinjaman ini memunculkan perhatian terkait ruang fiskal pemerintah, mengingat komitmen Rp40 triliun per tahun akan berlangsung dalam jangka waktu panjang. Meski pemerintah menilai kapasitas APBN masih memadai, kalangan analis melihat perlunya pengelolaan fiskal yang hati-hati agar tidak mengurangi fleksibilitas belanja negara di sektor lain.

Sementara itu, pemerintah berharap pembangunan jaringan Kopdes/Kel dapat memperkuat ekonomi desa dan memperluas basis penerimaan negara dalam jangka panjang. Aktivitas usaha, distribusi, dan perdagangan di tingkat desa diharapkan dapat meningkatkan kontribusi pajak seiring berkembangnya aktivitas ekonomi formal. (alf)

Dampak Hukum dan Fiskal atas Restatement Laporan Keuangan Auditan terhadap Kewajiban Pelaporan Pajak Penghasilan Badan

Laporan keuangan suatu entitas, dalam perspektif akuntansi, merupakan dokumen yang menyajikan informasi mengenai posisi keuangan pada tanggal pelaporan, yang direpresentasikan melalui neraca (balance sheet), serta kinerja keuangan selama periode pelaporan, yang disajikan dalam laporan laba/rugi (income statement).

Agar laporan keuangan memiliki daya banding terhadap laporan keuangan tahun buku sebelumnya maupun terhadap laporan keuangan entitas lain, penyusunannya harus dilakukan secara konsisten dan berlandaskan pada Prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum (PABU). Kepatuhan terhadap PABU memungkinkan laporan keuangan untuk diuji berdasarkan standar akuntansi yang berlaku. Apabila terdapat penyajian yang menyimpang dari standar tersebut, auditor atau pihak yang berwenang akan memberikan rekomendasi perbaikan agar laporan keuangan kembali sesuai dengan ketentuan standar atau PABU.

Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik, hanya Akuntan Publik yang berpraktik melalui Kantor Akuntan Publik dan telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan yang berwenang memberikan jasa pemeriksaan (audit) atas laporan keuangan, selanjutnya disebut dengan Akuntan Publik.

Dalam praktiknya, proses audit bertujuan untuk menilai apakah seluruh standar akuntansi yang relevan telah diterapkan secara konsisten dalam penyusunan laporan keuangan. Apabila seluruh aspek material telah disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, maka laporan keuangan tersebut layak memperoleh opini audit Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion). Namun, jika terdapat penyimpangan terhadap standar akuntansi yang berlaku dan penyimpangan tersebut terbatas pada satu kelompok akun atau area tertentu, maka auditor akan memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (Qualified Opinion). Selanjutnya, apabila sebagian besar aspek material tidak disajikan secara wajar dan menyimpang dari standar akuntansi yang berlaku, maka laporan keuangan akan memperoleh opini Tidak Wajar (Adverse Opinion). Terakhir, apabila auditor tidak memperoleh bukti yang cukup dan tepat untuk mendukung pemberian opini, maka laporan keuangan akan diberikan opini Tidak Memberikan Pendapat (Disclaimer of Opinion).

Pertanyaan yang kerap muncul di khalayak umum adalah apakah maksud dan tujuan laporan keuangan diperiksa oleh Akuntan Publik?, Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah untuk meningkatkan kualitas dan kredibilitas informasi dalam laporan keuangan. Jawaban ini berangkat dari asumsi, bahwa laporan keuangan yang belum diaudit, berpotensi mengandung salah saji material, baik disengaja maupun tidak disengaja oleh manajemen.

Secara umum, terdapat bebeberapa manfaat pelaksanaan audit terhadap sebuah laporan keuangan:

1) Laporan keuangan yang sudah diaudit oleh Akuntan Publik akan mendapatkan opini audit.

2) Tingkat kepercayaan pembaca atau pengguna laporan keuangan meningkat oleh karena adanya jaminan kualitas informasi berdasarkan opini audit.

3) Untuk mengetahui apakah laporan keuangan sudah disusun sesuai dengan standar akuntansi yang relevan.

4) Mendeteksi dan mencegah salah saji material, termasuk kesalahan pencatatan, manipulasi data, atau fraud yang berdampak signifikan terhadap laporan keuangan.

5) Mendukung pengambilan keputusan ekonomi, dimana informasi yang telah diaudit menjadi dasar yang lebih andal untuk keputusan investasi, pembiayaan, dan kebijakan manajerial.

6) Memenuhi kewajiban regulasi, dimana audit diperlukan untuk memenuhi ketentuan hukum dan peraturan, seperti UU Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal, dan ketentuan OJK.

Akuntan Publik, sebagai profesi yang menjunjung tinggi integritas dan tanggung jawab profesional, memiliki peran strategis dalam menilai aspek going concern suatu entitas yang diaudit. Dalam pelaksanaan audit, Akuntan Publik wajib melakukan pengujian atas sistem pengendalian internal entitas yang sedang atau akan diaudit. Apabila ditemukan kelemahan signifikan dalam pengendalian internal, maka hal tersebut dapat menimbulkan keraguan terhadap keberlanjutan usaha entitas di masa mendatang. Situasi ini harus menjadi perhatian utama bagi Akuntan Publik, khususnya dalam kaitannya dengan kewajiban untuk mengungkapkan Key Audit Matters sebagaimana diatur dalam Standar Audit (SA) No. 701 Tahun 2021.

Dalam praktiknya, laporan keuangan yang telah diaudit dan memperoleh opini dari Akuntan Publik tetap dapat dilakukan pemeriksaan ulang untuk menghasilkan laporan keuangan RESTATEMENT. Beberapa alasan umum yang dapat mendorong dilakukannya restatement atas laporan keuangan yang telah diaudit antara lain:

1) Perubahan standar akuntansi yang berlaku, Entitas perlu melakukan restatement agar laporan keuangan tetap sesuai (comply) dengan standar akuntansi terbaru yang telah ditetapkan oleh otoritas berwenang.

2) Ditemukannya bukti atau informasi baru yang berdampak signifikan terhadap aspek going concern. Misalnya, teridentifikasi adanya transaksi palsu dengan nilai material yang dapat mempengaruhi kelangsungan usaha entitas secara keseluruhan.

3) Permintaan dari otoritas pemerintah, pemegang saham, atau pengurus entitas. Audit ulang dapat diminta untuk memastikan kebenaran atas suatu hal yang dianggap mencurigakan oleh para pemangku kepentingan.

Restatement laporan keuangan di Indonesia diatur dalam beberapa instrumen hukum dan standar akuntansi, terutama yang berkaitan dengan perubahan kebijakan akuntansi, koreksi kesalahan, dan penyajian kembali informasi keuangan.

1) Standar Akuntansi Keuangan (SAK) – PSAK 25, Mengatur tentang kebijakan akuntansi, estimasi akuntansi, dan kesalahan. PSAK 25 mewajibkan entitas untuk melakukan restatement terhadap laporan keuangan jika ditemukan kesalahan material pada periode sebelumnya.

2) PSAK 1 – Penyajian Laporan Keuangan, PSAK 1 mewajibkan entitas untuk menyajikan laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif jika terjadi restatement atau reklasifikasi pos-pos yang material. Hal ini bertujuan untuk menjaga daya banding dan transparansi laporan keuangan antar periode.

3) Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 – Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), Dalam konteks entitas sektor publik, restatement diatur melalui PSAP 10 dan kebijakan akuntansi berbasis akrual. Perubahan kebijakan atau koreksi kesalahan harus diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan (CALK) dan disajikan dalam Laporan Perubahan Ekuitas.

4) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Menyebutkan kewajiban perusahaan untuk menyusun dan menyampaikan laporan keuangan tahunan yang akurat dan dapat dipercaya.

5) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1998 jo. PP No. 64 Tahun 1999, Mengatur tentang informasi keuangan tahunan perusahaan yang harus disampaikan kepada publik dan otoritas terkait.

6) Peraturan Menteri Keuangan No. 232/PMK.05/2022, Mengatur sistem akuntansi dan pelaporan keuangan instansi pemerintah, termasuk mekanisme koreksi dan penyajian ulang laporan keuangan.

Aspek akuntansi dalam perspektif hukum pajak sebagaimana diamanatkan dalam UU No.28 Tahun 2007, Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan:

1) Pasal 28 ayat (1), menyatakan bahwa: “Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan”.

2) Pasal 28 ayat (3), Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

3) Pasal 28 ayat (7), Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.

Sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal 28 ayat (7) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), dapat dipahami bahwa dalam rangka penyusunan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, langkah pertama yang wajib dilakukan oleh Wajib Pajak adalah menyiapkan laporan keuangan yang disusun berdasarkan standar akuntansi yang berlaku umum. Ketentuan ini diperkuat oleh regulasi terkait lainnya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2025 tentang Pelaporan Keuangan serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik, yang secara keseluruhan menegaskan pentingnya akurasi, akuntabilitas, dan kepatuhan dalam pelaporan keuangan untuk tujuan perpajakan.

Tanpa adanya laporan keuangan Wajib Pajak, penghitungan jumlah pajak terutang menjadi tidak mungkin dilakukan, kecuali bagi Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan penghasilan neto. Apabila Wajib Pajak memilih untuk tidak menyusun laporan keuangan, maka secara implisit telah memberikan kewenangan kepada fiskus untuk menetapkan besarnya pajak terutang berdasarkan metode yang dianggap relevan menurut pertimbangan fiskus.

Untuk memberikan gambaran dan pemahaman yang komprehensif terkait kasus ini, penulis akan mengangkat contoh kasus nyata yang telah diputus oleh Pengadilan Pajak. Dalam putusan tersebut, dinyatakan bahwa dampak dari restatement laporan keuangan wajib diterapkan pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan pajak yang bersangkutan melalui mekanisme pembetulan SPT Tahunan.

Laporan keuangan PT SBL, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan umum, untuk tahun buku 2013 telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik dan memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian. Dalam proses penyusunannya, PT SBL telah menerapkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 33, yang mengatur perlakuan akuntansi atas aktivitas pengupasan lapisan tanah serta pengelolaan lingkungan hidup dalam industri pertambangan umum, khususnya terkait pengakuan biaya pengupasan tanah.

Pada tahun 2014, terjadi perubahan signifikan dalam standar akuntansi yang berlaku bagi entitas pertambangan umum, ditandai dengan diterbitkannya Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) 29 dan dinyatakan memiliki sifat retrospektif. Asas retrospektif sebagaimana diatur dalam Paragraf 05 PSAK 25, penerapan retrospektif adalah penerapan kebijakan akuntansi baru untuk transaksi, peristiwa dan kondisi lain seolah-olah kejadian tersebut telah diterapkan. Interpretasi ini memberikan panduan lebih spesifik mengenai perlakuan akuntansi atas biaya pengupasan lapisan tanah pada tahap produksi, yang sebelumnya belum diatur secara rinci dalam PSAK 33.

Perubahan standar akuntansi yang terjadi pada tahun 2014, khususnya dengan diterbitkannya ISAK 29, telah memberikan dampak material terhadap laporan keuangan PT SBL untuk tahun buku 2013. Sebelumnya, PT SBL telah menyusun laporan keuangan tahun 2013 berdasarkan PSAK 33, yang mengatur perlakuan akuntansi atas aktivitas pengupasan lapisan tanah dalam industri pertambangan umum. Dengan diberlakukannya ISAK 29, yang memberikan interpretasi lebih spesifik terhadap pengakuan biaya pengupasan tanah pada tahap produksi, PT SBL melakukan restatement atas laporan keuangan tahun buku 2013. Penyesuaian ini dilakukan pada tahun 2015, setelah laporan keuangan tahun buku 2014 selesai diaudit. Restatement tersebut mengakibatkan peningkatan harga pokok penjualan tahun 2013 sebesar kurang lebih Rp50.000.000.000.

Sebagai konsekuensi dari perubahan standar akuntansi yang berlaku, PT SBL melakukan pembetulan atas Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Badan untuk Tahun Pajak 2013. Dengan asumsi tarif PPh Badan sebesar 22%, pembetulan tersebut menghasilkan posisi pajak lebih bayar sebesar kurang lebih Rp11.000.000.000.

Adapun alasan yang mendasari dilakukannya pembetulan SPT Tahun Pajak 2013 oleh Wajib Pajak adalah sebagai berikut:

1) Penyesuaian Biaya Pengupasan Tanah:

Biaya pengupasan lapisan tanah tahun 2013 perlu dihitung ulang dan disesuaikan, sehubungan dengan penetapan saldo awal atas biaya pengupasan tanah yang ditangguhkan pada tahun 2014.

2) Penerapan Metode Satuan Produksi Berdasarkan ISAK 29:

Sesuai dengan ketentuan dalam ISAK 29, Wajib Pajak diwajibkan menghitung biaya pengupasan lapisan tanah menggunakan metode satuan produksi. Penerapan metode ini menyebabkan peningkatan harga pokok produksi, sebagai akibat dari penyesuaian biaya pengupasan tanah sebesar Rp50.000.000.000.

3) Konsistensi dan Komparabilitas Laporan Keuangan:

Laporan keuangan suatu periode harus dapat dibandingkan dengan periode sebelumnya maupun sesudahnya. Untuk mencegah kesalahan dalam pengambilan keputusan oleh pengguna laporan keuangan, asas retrospektif perlu diterapkan secara konsisten..

Menanggapi tindakan Wajib Pajak yang melakukan pembetulan atas Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Badan untuk Tahun Pajak 2013, Fiskus berpendapat bahwa penyesuaian terhadap harga pokok penjualan tahun buku 2013 tidak dapat dilakukan. Adapun pertimbangan yang mendasari pandangan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Keterikatan Koreksi Fiskal pada Tahun Pajak Bersangkutan:

Koreksi fiskal, sesuai dengan definisi tahun pajak, hanya dapat dibebankan pada tahun pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu, koreksi fiskal yang terjadi sebelum tahun 2014 tidak dapat dialokasikan atau dibebankan dalam Tahun Pajak 2014.

2) Ketentuan Transisi dalam ISAK 29:

Berdasarkan ketentuan transisi yang diatur dalam ISAK 29, dampak perubahan kebijakan akuntansi dari PSAK 33 ke ISAK 29 serta penerapannya secara retrospektif terhadap Tahun Buku 2013 hanya dilakukan pada saldo neraca. Penyesuaian tersebut mencakup saldo aset berupa Biaya Pengupasan Lapisan Tanah yang Ditangguhkan (yang selanjutnya diamortisasi), serta saldo Laba Ditahan (Retained Earnings) per tanggal 1 Januari 2013 dan 1 Januari 2014.

3) Batasan Penyajian Ulang Laporan Keuangan Komersial:

Sehubungan dengan ketentuan transisi dalam ISAK 29 dan prinsip penerapan retrospektif sebagaimana diatur dalam PSAK 25, penyajian ulang Laporan Keuangan Komersial Tahun Buku 2013 seharusnya terbatas pada perubahan Saldo Neraca agar dapat dibandingkan dengan Saldo Neraca Tahun Buku 2014. Penyesuaian tersebut tidak semestinya memengaruhi biaya yang disajikan dalam Laporan Laba Rugi Komersial Tahun Buku 2013.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam pertimbangannya menyampaikan hal-hal sebagai berikut:

1) Koreksi fiskal hanya dapat dibebankan sesuai dengan tahun pajak yang bersangkutan, sebagaimana pengertian tahun pajak dalam ketentuan perpajakan. Oleh karena itu, koreksi fiskal atas transaksi yang terjadi sebelum tahun pajak 2014 tidak dapat disesuaikan atau dibebankan dalam tahun pajak 2014.

2) Berdasarkan prinsip retrospektif dalam ISAK 29, koreksi akuntansi dapat dilakukan secara dini. Dengan demikian, koreksi terhadap tahun buku 2013 secara akuntansi komersial dinilai sah dan dapat diterima.

3) Majelis berpendapat bahwa penerapan ISAK 29 dalam konteks perpajakan telah dilakukan secara tepat dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

4) Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan untuk mengabulkan seluruh permohonan banding yang diajukan oleh Wajib Pajak.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1) Koreksi fiskal hanya diperkenankan atas penghasilan dan biaya yang diakui secara akrual pada tahun terjadinya koreksi fiskal, sesuai dengan standar akuntansi yang relevan.

2) Mengingat sistem perpajakan Indonesia menganut asas Self-Assessment, maka Wajib Pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan dengan itikad baik serta mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

3) Dengan demikian, apabila dilakukan restatement atas laporan keuangan Wajib Pajak, maka pembetulan SPT Tahunan dapat dilakukan. Namun demikian, pembetulan tersebut harus tetap memperhatikan asas retrospektif, khususnya terhadap hal-hal yang menjadi dasar atau penyebab dilakukannya restatement tersebut.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Kota Bekasi

Subur Harahap, CA, CFP, CPA, CMA, BKP, WMI, PFM, MT-BNSP

Email: subur.harahap@suhaconsulting.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Between Competitiveness and Compliance: Tantangan Implementasi Refundable Tax Credit dalam Rezim Pajak Minimum Global

Situasi dan Tantangan

Dalam era globalisasi ekonomi yang semakin kompleks, persaingan antarnegara dalam menarik investasi asing langsung atau Foreign direct investment (FDI) dan membangun iklim usaha yang kompetitif menjadi faktor utama bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Bagi Indonesia, strategi fiskal seperti pemberian insentif berupa tax holiday, super tax deduction, dan tax allowance telah diterapkan sejak lama untuk menarik investasi di sektor manufaktur, energi dan industri pengolahan. Akan tetapi, rezim insentif tersebut semakin menghadapi tantangan substansial, terutama dengan adanya perubahan dalam arsitektur perpajakan internasional yang diprakarsai oleh negara-negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan G20 (Saragih, 2023).

Tercatat bahwa struktur perekonomian Indonesia masih bergantung pada kontribusi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2024), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2024 mencapai 5,03%, di mana sebesar 1,43 persen poin berasal dari pembentukan modal tetap bruto (PMTB) sebagai komponen utama investasi. Peran investasi asing langsung juga tetap signifikan dalam menopang aktivitas produksi, penciptaan lapangan kerja, serta peningkatan kapasitas ekspor. Oleh sebab itu, setiap perubahan kebijakan global yang berpotensi mempengaruhi arus modal masuk perlu diantisipasi secara cermat agar tidak mengurangi daya tarik investasi Indonesia.

Lebih jauh, aspek daya saing nasional turut menjadi fokus perhatian. Berdasarkan laporan International Institute for Management Development (IMD) World Competitiveness Ranking 2024, Indonesia naik ke peringkat 27 dari sebelumnya peringkat 34, dengan skor 71,52 yang merupakan capaian tertinggi sepanjang sejarah (AEI, 2025). Capaian ini menunjukkan adanya peningkatan iklim usaha dan kapasitas daya saing nasional, terutama pada aspek efisiensi pemerintahan dan kinerja ekonomi. Namun, peningkatan tersebut juga menimbulkan pertanyaan strategis: sejauh mana daya saing ini dapat dipertahankan ketika sistem perpajakan global bergeser menuju rezim minimum 15%?

Aspek yang tidak kalah penting adalah compliance (kepatuhan), yang dalam konteks kebijakan perpajakan memiliki dua dimensi. Pertama, kepatuhan internal wajib pajak domestik terhadap sistem perpajakan nasional, yang tercermin dalam tingkat tax ratio Indonesia yang masih berkisar pada 10%–11%, jauh di bawah rata-rata negara G20 sebesar 22,85% (Arizal, 2023). Kedua, kepatuhan eksternal Indonesia terhadap standar internasional seperti rezim Global Minimum Tax (GMT) atau BEPS Pillar 2 OECD (Limono, 2025). Tingginya tingkat kepatuhan internal menjadi penting karena mempengaruhi kapasitas fiskal untuk mempertahankan insentif yang berkelanjutan, sementara kepatuhan eksternal menentukan posisi Indonesia dalam sistem pajak global.

Secara spesifik, OECD melalui proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Pillar 2 memperkenalkan ketentuan Global Minimum Tax (GMT) yang menetapkan Effective Tax Rate (ETR) sebesar 15 % bagi grup perusahaan multinasional dengan pendapatan konsolidasi di atas EUR 750 juta atau setara dengan Rp14.477.902.500.000 Berdasarkan Kurs KMK Tahun 2025 (1 EUR = Rp19.303,87). Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi praktik penghindaran pajak lintas yurisdiksi serta mencegah negara-negara terlibat dalam race to the bottom melalui pemberian insentif pajak berlebihan (Remonda, 2025). Implikasinya, strategi fiskal konvensional yang menurunkan tarif pajak korporasi secara signifikan menjadi tidak lagi relevan karena potensi manfaatnya akan dikompensasi melalui mekanisme top-up tax di negara asal induk perusahaan.

Dalam konteks ini, skema insentif konvensional seperti tax holiday mulai menghadapi persoalan dalam hal efektivitas. Perusahaan yang memperoleh fasilitas tersebut umumnya menikmati tarif pajak efektif yang lebih rendah dari 15%. Kondisi ini berpotensi memicu penerapan top-up tax oleh negara asal investor melalui mekanisme Income Inclusion Rule (IIR) atau Undertaxed Payment Rule (UTPR) sebagaimana diatur dalam Pilar 2 OECD. Akibatnya, manfaat fiskal yang seharusnya diperoleh di Indonesia dapat berpindah ke yurisdiksi lain, sehingga tujuan awal dari insentif tersebut, yaitu menarik investasi, berisiko kehilangan relevansinya.

Sebagai respons atas tantangan tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 memperkenalkan skema Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) sebagai alternatif insentif fiskal yang tetap kompatibel dengan rezim Global Minimum Tax (GMT). Skema ini memungkinkan pemberian insentif berbasis kinerja dan kontribusi ekonomi, seperti kegiatan Research and Development (R&D), penyerapan tenaga kerja, serta penggunaan komponen lokal. Meskipun demikian, efektivitas QRTC masih menyisakan pertanyaan: apakah kebijakan ini memiliki potensi untuk meningkatkan daya saing investasi, atau sekadar dirancang untuk menjaga effective tax rate (ETR) perusahaan agar tidak berada di bawah ambang 15%? Tantangan implementasi dari sisi regulasi, administrasi, dan kesiapan sistem pelaporan menunjukkan bahwa keberhasilan QRTC akan sangat bergantung pada sejauh mana mekanisme ini dapat memberikan kepastian dan manfaat ekonomi nyata bagi investor maupun negara.

Kerangka Konseptual

Dalam konteks perpajakan modern, isu kepatuhan pajak internasional menjadi salah satu fokus utama kebijakan fiskal di Indonesia. Upaya untuk meningkatkan kepatuhan pajak tidak hanya bertujuan meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga mempertahankan reputasi fiskal di tengah kompetisi global yang semakin terbuka. OECD memperkenalkan inisiatif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) untuk mengatasi praktik penghindaran pajak lintas yurisdiksi yang dilakukan oleh perusahaan multinasional atau bisa juga disebut Multinational Enterprises (MNEs) (Saragih, 2023).

Salah satu langkah kunci dari inisiatif ini adalah BEPS Pillar 2, yang menetapkan kebijakan Global Minimum Tax (GMT) dengan Effective Tax Rate (ETR) minimum sebesar 15%. Ketentuan ini dituangkan dalam Global Anti-Base Erosion (GloBE) Rules, yang terdiri atas tiga pilar utama:

Income Inclusion Rule (IIR), peraturan penggabungan pendapatan yang memberikan negara tempat induk entitas berada berhak untuk memungut top-up tax atas laba entitas anak di luar negeri apabila ETR di negara tempat anak usaha beroperasi lebih rendah dari 15%.

Undertaxed Payment Rule (UTPR), memberikan kewenangan kepada negara tempat entitas lain dalam grup berada untuk memungut top-up tax apabila IIR tidak diterapkan oleh negara induk.

Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT), memungkinkan negara tempat entitas beroperasi (seperti Indonesia), untuk mempertahankan hak pemajakannya dengan memungut top-up tax secara domestik.

Selain itu, OECD juga memperkenalkan konsep Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) sebagai bentuk insentif fiskal yang kompatibel dengan ketentuan Global Minimum Tax (GMT) dalam Pilar 2. QRTC merupakan kredit pajak yang refundable (dapat dikembalikan) dalam jangka waktu tertentu atau transferable (dapat dialihkan), dan dalam kerangka Global Anti-Base Erosion (GloBE) Rules diperlakukan sebagai income (pendapatan), bukan sebagai covered tax (pajak yang ditanggung) (OECD, 2023). Perlakuan tersebut menjadikan QRTC berbeda dari insentif pajak konvensional seperti tax holiday atau tax allowance yang menurunkan Effective Tax Rate (ETR) dan berpotensi menimbulkan risiko top-up tax oleh negara lain.

Dengan QRTC, suatu negara tetap dapat memberikan dukungan fiskal bagi dunia usaha tanpa mengurangi kepatuhan terhadap ketentuan GMT. Secara umum, QRTC memiliki dua karakteristik utama menurut OECD:

Bersifat refundable dalam jangka waktu maksimum empat tahun sejak tahun pengajuan; dan

Dapat diberikan dalam bentuk cash refund (tunai) atau offset against other tax liabilities (dikompensasikan dengan kewajiban pajak lain).

Dua karakteristik tersebut menjadi dasar agar suatu kredit pajak dapat diperlakukan sebagai “qualified” menurut standar OECD. Namun, kriteria dan desain implementasinya ditetapkan oleh masing-masing negara yang mengadopsinya, menyesuaikan dengan kebijakan fiskal dan kapasitas anggaran domestik. Oleh karena itu, meskipun prinsip umumnya bersifat seragam, mekanisme pelaksanaan QRTC dapat berbeda antar yurisdiksi.

Dalam konteks Indonesia, skema tax holiday diatur dalam PMK Nomor 130 Tahun 2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan. Fasilitas ini diberikan kepada industri pionir dengan nilai investasi minimal Rp500 miliar hingga lebih dari Rp1 trilun dengan masa pengurangan PPh badan antara 5 hingga 20 tahun. Meskipun efektif dalam menarik investasi besar, pendekatan ini berpotensi menurunkan ETR di bawah 15%, sehingga manfaat fiskalnya dapat berpindah ke negara asal investor. Oleh karena itu, ketentuan mengenai nilai investasi minimum dan penyerapan tenaga kerja dalam skema tax holiday dapat dijadikan acuan dalam merancang tiered incentive system pada QRTC agar tetap kompetitif namun selaras dengan rezim GMT.

Selain itu, prinsip local content juga menjadi pertimbangan penting dalam desain performance-based incentive (insentif fiskal berbasis hasil). Dalam PMK Nomor 237 Tahun 2020 tentang Fasilitas Pajak di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), salah satu syarat pemberian fasilitas adalah penggunaan domestic content (kandungan lokal) minimal 40%. Ketentuan ini menunjukkan komitmen pemerintah terhadap penciptaan nilai tambah domestik dan penguatan rantai pasok nasional. Prinsip serupa dapat diintegrasikan ke dalam QRTC sebagai dasar pemberian insentif berbasis kontribusi ekonomi nyata, seperti penggunaan komponen dalam negeri, peningkatan kapasitas riset domestik, dan penyerapan tenaga kerja berkelanjutan.

Kehadiran Pilar 2 menjadi relevan bagi Indonesia karena berdampak langsung terhadap efektivitas berbagai skema insentif fiskal domestik, seperti tax holiday dan tax allowance. Dalam konteks ini, perusahaan yang menerima fasilitas tax holiday berpotensi memiliki ETR di bawah ambang 15%, sehingga negara asal investor dapat mengenakan top-up tax melalui mekanisme IIR atau UTPR. Risiko ini diperkuat oleh fakta bahwa insentif pajak yang menciptakan perbedaan permanen antara laba komersial dan fiskal, seperti pemberian tarif pajak lebih rendah, terdampak oleh ketentuan GloBE, karena secara langsung berpotensi menurunkan nilai ETR (Remonda, 2025). Akibatnya, manfaat fiskal yang semula diberikan oleh pemerintah Indonesia dapat berpindah ke yurisdiksi lain, mengurangi daya saing kebijakan insentif nasional.

Dalam sistem perpajakan Indonesia, perbedaan antara Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN) menjadi penting dalam menentukan hak pemajakan antarnegara. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) , SPDN dikenai pajak atas seluruh penghasilannya, baik dari dalam maupun luar negeri (worldwide income), sedangkan SPLN hanya atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia (source-based taxation). Melalui Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), Indonesia membagi hak pemajakan dengan negara lain untuk mencegah pajak berganda atas penghasilan lintas batas (Lubis, 2023).

Dalam konteks ini, BUT menjadi representasi kehadiran ekonomi SPLN di Indonesia dalam menjamin keadilan fiskal bagi source country (negara sumber) seperti Indonesia, karena melalui BUT, negara memiliki dasar hukum untuk memajaki penghasilan yang diperoleh SPLN dari aktivitas ekonomi nyata di wilayahnya. Namun, dalam rezim Global Minimum Tax (GMT), BUT yang memperoleh fasilitas insentif fiskal seperti tax holiday berisiko memiliki tarif pajak efektif (ETR) di bawah ambang batas 15%, sehingga potensi pemungutan top-up tax oleh negara asal investor meningkat. Kondisi ini menunjukkan perlunya kebijakan insentif seperti Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) yang tidak hanya menjaga kepatuhan terhadap ketentuan global, tetapi juga memastikan manfaat ekonomi yang nyata bagi Indonesia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2024), penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) mencapai Rp1.139,78 triliun. Diperkirakan terdapat pengaruh signifikan dari entitas asing termasuk BUT dan SPLN, khususnya di sektor manufaktur, pertambangan, migas, dan jasa. Temuan ini sejalan dengan penelitian Muhammad Iqbal et al., (2023), yang menunjukkan bahwa perusahaan multinasional memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian nasional melalui peningkatan ekspor, transfer teknologi, dan penciptaan lapangan kerja.

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, dalam rezim Global Minimum Tax, BUT penerima fasilitas insentif fiskal seperti tax holiday berisiko memiliki ETR di bawah 15%, sehingga dapat dikenai top-up tax oleh negara asal perusahaan induk. Hal ini menimbulkan tantangan baru bagi Indonesia: di satu sisi, pemerintah perlu mempertahankan daya saing fiskal untuk menarik investasi; di sisi lain, kepatuhan terhadap standar pajak internasional harus dijaga agar Indonesia tidak dianggap sebagai low-tax jurisdiction (yurisdiksi berisiko rendah).

Oleh karena itu, pengenalan Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2024 menjadi langkah strategis. Skema ini dirancang agar insentif pajak tetap diakui secara global sesuai ketentuan GloBE, sekaligus mendorong kontribusi ekonomi nyata dari investor asing. Dengan perancangan yang tepat, QRTC berpotensi menjadi jembatan antara kepatuhan internasional dan keberlanjutan daya saing nasional.

Analisis Kebijakan QRTC di Indonesia dan Penerapannya di Negara Lain

Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024 telah menetapkan kerangka kebijakan GMT sebagai tindak lanjut dari implementasi OECD/G20 BEPS Pilar 2. Kebijakan ini mengatur beberapa instrumen utama, yaitu IIR, UTPR, QDMTT, serta pengenalan QRTC sebagai bentuk insentif fiskal baru yang tetap diakui dalam perhitungan ETR minimal 15% (Limono, 2025). Namun, hingga saat ini, pelaksanaan QRTC di Indonesia belum dapat berjalan secara efektif karena belum adanya aturan teknis yang mengatur secara rinci kriteria wajib pajak penerima, formula dan besaran kredit pajak, mekanisme pengajuan serta prosedur refund (pengembalian).

Di sisi lain, sistem administrasi dan infrastruktur pelaporan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) juga dirasa belum sepenuhnya siap untuk melakukan verifikasi ETR berbasis GloBE Information. Kekosongan ini menimbulkan ketidakpastian fiskal bagi investor, terutama bagi perusahaan yang sebelumnya menikmati fasilitas tax holiday. Dalam konteks GMT, insentif yang menurunkan ETR di bawah 15% berisiko memicu top-up tax di negara asal investor, sehingga manfaat fiskal bisa berpindah dari Indonesia ke yurisdiksi lain (OECD, 2022).

Sebagai pembanding, sejumlah negara telah lebih dahulu mengadaptasi kebijakan insentif fiskal yang kompatibel dengan standar GMT. Singapura memperkenalkan Refundable Investment Credit (RIC), Vietnam menerapkan cash grant melalui Investment Support Fund, sedangkan Polandia dan Hungaria dalam tahap penyesuaian agar sistem kredit pajaknya memenuhi kriteria Qualified Refundable Tax Credit. Inti dari seluruh kebijakan tersebut adalah pergeseran dari bentuk insentif konvensional seperti tax holiday atau tax allowance menuju skema yang bersifat refundable atau transferable, yang tetap diakui sebagai covered tax dalam perhitungan GMT (PWC STUDIO, 2024). Rincian mengenai desain dan implementasi skema Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) di beberapa negara, seperti Singapura, Vietnam, Polandia, dan Hungaria disajikan secara rinci pada Tabel Lampiran 1.

 

Singapura melalui Refundable Investment Credit (RIC) mensyaratkan investasi minimal sebesar SGD 3 juta hingga SGD 7 juta dengan penyerapan 8 hingga 18 tenaga kerja lokal, tergantung pada tier proyek yang diajukan sesuai kebijakan RIC. Skema ini menerapkan tiered incentive (pendekatan bertingkat), di mana tingkat dukungan (10%, 30%, atau 50% dari pengeluaran investasi yang memenuhi syarat) ditetapkan berdasarkan skala proyek, tingkat inovasi, dan dampak ekonominya terhadap sektor strategis seperti manufaktur hijau dan digitalisasi.

Berdasarkan data Department of Statistics Singapore (2024), arus Foreign Direct Investment (FDI) ke Singapura mencapai USD 192 miliar pada 2024, meningkat 5,6% dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan ini Sebagian besar disebabkan oleh kenaikan equity capital (modal ekuitas) dan retained earnings (laba ditahan), yang bertepatan dengan implementasi skema Refundable Investment Credit (RIC) dalam Budget 2024. Meskipun peningkatan tersebut tidak sepenuhnya dapat dikaitkan langsung dengan RIC, data ini mengindikasikan bahwa insentif fiskal yang dirancang sesuai standar Pilar 2 dapat tetap menjaga daya tarik investasi tanpa menurunkan ETR.

Vietnam, melalui Decree No. 182/2024/NĐ-CP, memperkenalkan Investment Support Fund (ISF) yang berlaku sejak 31 Desember 2024 sebagai skema cash grant yang selaras dengan Pillar 2 OECD. Dukungan ini tidak menurunkan ETR karena diberikan dalam bentuk tunai dan dicatat sebagai pendapatan (PwC, 2025). Investment Support Fund mencakup dua bentuk dukungan yaitu biaya operasional dan biaya investasi awal, ditujukan bagi sektor teknologi tinggi, semikonduktor, R&D, dan kecerdasan buatan (AI). Untuk memperoleh dukungan, perusahaan wajib memiliki investasi minimal VND 12.000 miliar (±USD 470 juta) atau pendapatan tahunan VND 20.000 miliar (±USD 790 juta). Bagi industri chip dan pusat data AI, batasnya diturunkan menjadi VND 6.000 miliar, sementara proyek desain microchip harus mempekerjakan ≥300 insinyur lokal dan melatih 30 teknisi per tahun.

Dukungan diberikan secara progresif, antara lain hingga 50% untuk pelatihan tenaga kerja, 25% untuk infrastruktur sosial, dan 20–30% untuk kegiatan R&D. Untuk proyek R&D di bidang semikonduktor dan AI, pemerintah menanggung hingga 50% dari total biaya investasi awal dengan nilai investasi minimal VND 3.000 miliar dan realisasi VND 1.000 miliar dalam tiga tahun pertama. Pendekatan ini menekankan hasil ekonomi dan transfer teknologi, bukan pengurangan pajak, serta memastikan kepatuhan terhadap Pilar 2 melalui skema QRTC.

Selain itu, pengalaman Polandia dan Hungaria menunjukkan pentingnya desain transisi dan fokus tematik dalam penerapan Qualified Refundable Tax Credit (QRTC). Polandia melakukan reformasi bertahap untuk menyesuaikan sistem tax credit dan insentif kawasan ekonomi khusus atau Special Economic Zone (SEZ) agar memenuhi standar OECD, sedangkan Hungaria sudah lebih maju dengan New R&D Tax Credit yang bersifat qualified refundable dan memberikan pengembalian hingga 10% dari biaya riset dalam jangka waktu empat tahun. Kedua pendekatan ini dapat menjadi acuan bagi Indonesia untuk merancang QRTC yang tidak hanya selaras dengan ketentuan Pillar 2 OECD, tetapi juga mendukung inovasi dan riset industri domestik secara berkelanjutan.

Dapat disimpulkan bahwa negara-negara seperti Singapura dan Vietnam telah menunjukkan contoh keberhasilan dalam menyesuaikan kebijakan insentif fiskal dengan kerangka Pajak Minimum Global. Melalui mekanisme seperti refundable tax credit atau cash grant, insentif fiskal tetap memberikan manfaat ekonomi nyata bagi investor dan negara, seperti peningkatan investasi strategis, penciptaan lapangan kerja, dan penguatan kapasitas riset tanpa menurunkan ETR di bawah batas minimum 15%. Pembelajaran ini relevan bagi Indonesia, di mana arah kebijakan QRTC ke depan perlu menyeimbangkan kepatuhan terhadap ketentuan global dengan daya saing investasi nasional, serta memastikan implementasi yang efektif melalui kejelasan regulasi, kesiapan sistem administrasi, dan fokus pada sektor-sektor bernilai tambah tinggi yang meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi.

Perbandingan ETR dengan Tax Holiday dan Qualified Refundable Tax Credit (QRTC)

Perbandingan berikut menggambarkan perbedaan dampak antara skema tax holiday dan Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) terhadap Effective Tax Rate (ETR) berdasarkan ilustrasi perhitungan dalam Lampiran PMK Nomor 136 Tahun 2024, dengan penyesuaian asumsi untuk skema tax holiday.

A. Dengan QRTC

Diasumsikan A Co merupakan Entitas Induk Utama yang berlokasi di Negara A yang memiliki Tarif Nominal sebesar 20%. A Co memiliki laba setelah pajak sebesar EUR 1000,00 dan PPh terutangnya sebesar EUR 200,00. A Co mendapatkan QRTC sebesar 20% dari biaya gaji EUR 600,00 (QRTC = 20% x EUR 600,00 = EUR 120,00). Maka penyesuaian atas QRTC dan besaran ETR nya adalah sebagai berikut.

Hasil perbandingan sederhana menunjukkan bahwa skema tax holiday, meskipun efektif menarik investasi melalui pembebasan pajak, secara substansial menurunkan bahkan meniadakan beban pajak perusahaan. Akibatnya, Effective Tax Rate (ETR) entitas penerima tax holiday dapat berada jauh di bawah ambang batas 15%, sehingga tidak diakui sebagai covered tax dalam kerangka OECD Global Anti-Base Erosion (GloBE). Kondisi ini berpotensi menimbulkan pemungutan top-up tax oleh negara asal dan mengalihkan manfaat fiskal dari Indonesia ke yurisdiksi lain.

Sebaliknya, Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) menawarkan bentuk insentif yang lebih kompatibel dengan Pilar 2 OECD karena diberikan dalam bentuk kredit pajak yang refundable (dapat dikembalikan) tanpa mengurangi pajak terutang secara langsung. QRTC dicatat sebagai pendapatan perusahaan, sehingga tidak menurunkan ETR dan tetap menjaga kepatuhan terhadap ambang batas minimum 15%. Namun demikian, urgensi penerapan QRTC tidak semata-mata untuk menjaga agar ETR tidak berada di bawah 15% atau menghindari top-up tax, melainkan juga untuk memastikan bahwa kebijakan ini memberikan manfaat ekonomi nyata bagi Indonesia.

Oleh karena itu, perumusan standar yang jelas dan selektif diperlukan untuk menentukan jenis QRTC yang dapat dikategorikan sebagai refundable, dengan prioritas pada kegiatan yang memiliki efek pengganda terhadap perekonomian nasional. Seperti peningkatan riset dan pengembangan (R&D), penyerapan tenaga kerja, serta penggunaan komponen lokal. Melalui pendekatan ini, QRTC tidak hanya berfungsi sebagai instrumen kepatuhan terhadap standar pajak internasional, tetapi juga sebagai kebijakan fiskal strategis yang memiliki kemampuan untuk mendukung laju pertumbuhan ekonomi dan memperkuat daya saing investasi Indonesia.

Kesimpulan, Rekomendasi Kebijakan dan Limitasi

Kesimpulan

Penerapan Global Minimum Tax (GMT) menandai perubahan paradigma dalam arsitektur perpajakan internasional yang menuntut adaptasi kebijakan insentif fiskal di tingkat nasional. Skema konvensional seperti tax holiday terbukti kurang efektif dalam konteks rezim pajak global baru, karena berpotensi menurunkan Effective Tax Rate (ETR) di bawah ambang batas 15% dan mengalihkan manfaat fiskal ke negara asal melalui mekanisme top-up tax. Sebagai respons, Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) muncul sebagai instrumen yang lebih kompatibel dengan ketentuan OECD Pillar 2, karena memberikan insentif dalam bentuk kredit pajak yang refundable (dapat dikembalikan) tanpa menurunkan ETR.

Secara konseptual, QRTC menawarkan keseimbangan antara compliance (kepatuhan) terhadap ketentuan pajak global dan upaya mempertahankan competitiveness (daya saing) fiskal nasional, sekaligus membuka ruang bagi kebijakan berbasis kinerja yang lebih terukur. Kendati demikian, efektivitas QRTC dalam mendorong peningkatan daya saing investasi belum dapat dibuktikan secara empiris. Data Department of Statistics Singapore (2024) mencatat kenaikan Foreign Direct Investment (FDI) sebesar 5,6% setelah diperkenalkannya Refundable Investment Credit (RIC). Indikasi ini menunjukkan bahwa penerapan insentif fiskal yang refundable (dapat dikembalikan) dan selaras dengan Pilar 2 OECD berpotensi menjadi salah satu faktor pendukung dalam menjaga arus investasi dan persepsi stabilitas fiskal suatu negara, meskipun peningkatan ini belum dapat dipastikan sebagai akibat langsung dari kebijakan tersebut.

Rekomendasi Kebijakan

Dalam konteks implementasi di Indonesia, desain Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) perlu diarahkan pada prinsip selektivitas dan performance-based (berbasis hasil). Pemerintah dapat menerapkan skema tiered incentive yang menyerupai struktur tax holiday, yaitu pemberian tingkat dukungan berbeda berdasarkan skala investasi dan dampak ekonominya. Rentang dukungan dapat ditetapkan antara 10% hingga 50% dari nilai investasi dengan ambang batas minimal Rp50–500 miliar hingga lebih dari Rp1 triliun, sejalan dengan praktik di Singapura dan Vietnam yang menekankan insentif berbasis kontribusi ekonomi, bukan sekadar pengurangan tarif pajak.

Selain itu, pemberian QRTC dapat mensyaratkan penggunaan local content minimal 40%, sebagaimana diterapkan dalam fasilitas Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), untuk memastikan keterlibatan rantai pasok domestik dan penciptaan nilai tambah dalam negeri. Kriteria kelayakan lainnya meliputi peningkatan kapasitas riset nasional dan penyerapan tenaga kerja berkelanjutan. Sebagai pelengkap, pemerintah perlu menyiapkan sistem pelaporan dan verifikasi berbasis jurisdictional approach melalui pembangunan GloBE Information Return (GIR) yang terintegrasi dengan data DJP dan BKPM.

Langkah ini penting mengingat ketentuan OECD Pillar 2 menuntut transparansi dan pelaporan efektif per yurisdiksi dalam penghitungan Effective Tax Rate (ETR). Lebih jauh, Indonesia dapat mengadopsi pendekatan R&D-based refundable credit sebagaimana diterapkan di Hungaria, yang menetapkan periode pengembalian tertentu untuk menjaga akuntabilitas fiskal sekaligus mendorong riset dan inovasi industri lokal. Melalui desain yang adaptif dan terukur, QRTC berpotensi menjadi instrumen strategis dalam memperkuat daya saing investasi tanpa mengorbankan kepatuhan terhadap rezim Global Minimum Tax.

Limitasi

Policy notes ini memiliki keterbatasan dalam ruang lingkup analisis empiris maupun aspek implementatif, yang mana kajian ini belum mencakup pengujian kuantitatif yang dapat menjelaskan hubungan kausal atau korelasi antara penerapan Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) dan peningkatan daya saing investasi. Serta belum melakukan evaluasi komprehensif terhadap kesiapan sistem administrasi perpajakan nasional, khususnya terkait mekanisme pelaporan GloBE Information Return (GIR) dan verifikasi Effective Tax Rate (ETR) berbasis yurisdiksi. Selain itu, analisis ini belum mengulas secara mendalam kapasitas fiskal dan kesiapan kelembagaan pemerintah dalam menjamin keberlanjutan implementasi QRTC.

Dengan demikian, diperlukan penelitian lanjutan berbasis data mikro dan kajian evaluatif yang lebih sistematis untuk menilai dampak aktual QRTC terhadap kepatuhan pajak, arus investasi, serta daya saing fiskal Indonesia dalam kerangka rezim Global Minimum Tax.

DAFTAR PUSTAKA

AEI. (2025). Indonesia Ranked 27th in the World in Global Competitiveness. ASOSIASI EMITEN INDONESIA.

Arizal, O. R. (2023). Tax Ratio 2022 Indonesia Menjadi Salah Satu yang Paling Rendah di Antara G20 dan ASEAN.

BADAN PUSAT STATISTIK. (2024). Realisasi Pendapatan Negara (Milyar Rupiah), 2024.

Department of Statistics Singapore. (2024). Foreign Direct Investment in Singapore (Flows).

EY Global. (2023). Hungary enacts local legislation on BEPS 2.0 Pillar Two.

KPMG. (2025). Decree 182/2024/ND-CP on the establishment, management, and use of the Investment Support Fund.

Limono, H. M. (2025). Pemerintah Alihkan Skema Insentif Pajak, Tax Holiday Diganti Refundable Tax Credit. TAX CENTRE UNIVERSITAS INDONESIA.

Lubis, A. S. P. (2023). Seperempat Abad Google dan Aspek Perpajakannya sebagai BUT di Indonesia. DJP.

Muhammad Iqbal, Dhea Savitri, Lailan Nur, Risfa Dwi Andini, & Purnama Ramadani Silalahi. (2023). PERAN PERUSAHAAN MULTINASIONAL DALAM MENINGKATKAN SEKTOR PEREKONOMIAN DI INDONESIA. CEMERLANG : Jurnal Manajemen Dan Ekonomi Bisnis, 3(1), 64–76. https://doi.org/10.55606/cemerlang.v3i1.699

OECD. (n.d.). Overview of the Key Operating Provisions of the GloBE Rules.

OECD. (2022). Tax Incentives and the Global Minimum Corporate Tax.

OECD. (2023). Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy – Administrative Guidance on the Global Anti Base Erosion Model Rules (Pillar Two), July 2023.

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 130 /PMK.010/2020 (20220).

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 136 TAHUN 2024 TENTANG PENGENAAN PAJAK MINIMUM GLOBAL BERDASARKAN KESEPAKATAN INTERNASIONAL, 226 (2024).

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 237/PMK.010/2020 (2020).

PwC. (2025). Decree 182/2024/ND-CP on investment support.

PWC STUDIO. (2024). Implementation of Pillar 2 – possible directions for tax credits in Poland.

Remonda, R. A. (2025). PMK 136/2024: Liminalitas Insentif Pajak. MUC CONSULTING.

Saragih, J. G. (2023). Adapting Indonesia’s Tax Incentive Strategy In The Post Pillar Two Era. Journal Of Tax Policy, Economics, And Accounting, 1(2), 136–149. https://doi.org/10.61261/muctj.v1i2.47

Singapore Income Tax Act 1947, REFUNDABLE INVESTMENT CREDIT (RIC) (2025).

UU Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan, Pub. L. No. 36 Tahun 2008, 3 (2008).

 Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Bandung

Juan Kasma SE., SH., M.Ak., CPA., BKP., CSRS+., CSRA+ dan Tim

 Email: rachmatritax@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Pajak Gula: Solusi atau Beban Baru?

Darah kita manis, tapi kantong semakin pahit. Itulah mungkin yang dirasakan banyak orang ketika mendengar wacana penerapan pajak gula. Pemerintah berencana mengenakan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), sebuah langkah yang digadang-gadang bisa menekan konsumsi gula berlebih dan mengurangi beban penyakit seperti diabetes dan obesitas. Tapi, benarkah kebijakan ini akan efektif di Indonesia, atau hanya sekadar menjadi pemasukan baru bagi negara tanpa dampak signifikan bagi kesehatan publik?

Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, beralasan bahwa langkah ini bukan sekadar mencari tambahan pendapatan, melainkan investasi jangka panjang untuk kesehatan masyarakat. “Ini tentang mengoreksi perilaku konsumsi. Kita ingin masyarakat lebih sehat, mengurangi risiko penyakit tidak menular yang biaya pengobatannya justru sangat membebani negara,” jelas seorang pejabat Kementerian Keuangan yang enggan disebutkan namanya. Mereka merujuk pada kesuksesan negara-negara seperti Inggris, Meksiko, dan Thailand yang berhasil menurunkan konsumsi minuman manis melalui kebijakan serupa.

Namun, para ahli kesehatan masyarakat melihatnya dengan mata yang lebih skeptis sekaligus penuh harap. Dr. Ahmad Syafiq, Ph.D., Pakar Gizi Masyarakat, mengapresiasi niat baik pemerintah namun mengingatkan bahwa kebijakan ini tidak bisa berdiri sendiri. “Pajak gula ibarat pil penurun demam, bukan obat penyembuh. Ia bisa menurunkan angka konsumsi dalam jangka pendek, tetapi tanpa edukasi nutrisi yang masif dan akses pada pilihan minuman yang lebih sehat, dampaknya bisa terbatas,” ujarnya. Ia menekankan bahwa masyarakat miskin justru bisa paling terdampak secara finansial tanpa benar-benar mengubah pola konsumsi mereka jika alternatif sehatnya tidak tersedia atau terlalu mahal.

Di sisi lain, pengamat ekonomi kebijakan publik, Faisal Basri, menyoroti sisi implementasi. “Tantangan terbesarnya ada pada pengawasan dan struktur tarif. Harus jelas, apa saja yang kena pajak, berapa besar tarifnya agar benar-benar berpengaruh pada harga, dan yang paling penting, menghindari manipulasi dari industri,” tegasnya. Ia khawatir, tanpa desain yang matang, industri akan mencari celah, misalnya dengan mengurangi volume kemasan tetapi mempertahankan harga, sehingga beban akhirnya tetap jatuh ke konsumen tanpa mengubah kebiasaan beli.

Lalu, akankah efektif? Jawabannya tidak hitam putih. Keberhasilan pajak gula sangat bergantung pada apa yang dilakukan dengan penerimaannya. Jika uang dari pajak ini dialokasikan kembali (earmarked) untuk program Kesehatan, seperti subsidi buah dan sayur, edukasi gizi di sekolah, atau fasilitas olahraga public maka dampaknya akan berlipat ganda. Namun, jika hanya masuk ke kas umum tanpa tujuan yang jelas, ia berisiko menjadi sekadar pajak regresif yang membebani rakyat kecil.

Menurut Penulis, pajak gula adalah sebuah langkah berani yang patut didukung, tetapi dengan catatan. Ia bukan solusi ajaib. Ia adalah sebuah puzzle kecil dalam gambar besar reformasi sistem pangan dan kesehatan kita. Tanpa komitmen kuat untuk membangun lingkungan yang mendukung pola hidup sehat, kebijakan ini hanya akan menjadi pemanis buatan di atas masalah yang jauh lebih pahit.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Sidoarjo

Muhammad Ikmal

Email: ikmal.patarai@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Coretax dan Tantangan Modernisasi Pajak: Kemudahan atau Kebingungan?

Ketika Direktorat Jenderal Pajak (DJP) meluncurkan sistem Coretax Administration System (CTAS), publik sempat menyambutnya dengan antusias. Digitalisasi pajak dianggap sebagai tonggak baru menuju administrasi yang modern, efisien, dan transparan. Namun, setelah beberapa bulan berjalan, muncul pertanyaan di kalangan wajib pajak dan praktisi: apakah Coretax benar-benar mempermudah, atau justru menambah kebingungan?

Sebelum Coretax, sistem administrasi pajak di Indonesia terfragmentasi. Ada e-Filing, e-Bupot, e-Faktur, DJP Online, dan berbagai aplikasi lainnya yang berjalan sendiri-sendiri. Coretax hadir sebagai sistem terintegrasi yang menyatukan seluruh data dan proses administrasi perpajakan dalam satu platform.

Melalui sistem ini, DJP berambisi menciptakan “single source of truth” — satu data terpadu yang memudahkan fiskus dalam pengawasan dan analisis risiko, sekaligus menyederhanakan interaksi wajib pajak dengan otoritas. Semua tahapan — mulai dari registrasi NPWP, pelaporan, pembayaran, hingga pemeriksaan — diarahkan menuju satu portal digital yang saling terhubung.

Secara konsep, ini adalah lompatan besar menuju smart tax administration, sejalan dengan praktik terbaik di negara-negara OECD.

Janji Kemudahan di Atas Kertas

Coretax menjanjikan banyak hal, yaitu proses pelaporan yang lebih sederhana, validasi otomatis, integrasi data lintas-instansi, dan layanan berbasis profil risiko. Dengan kata lain, sistem ini diharapkan mengurangi beban administratif baik bagi wajib pajak maupun petugas pajak.

Bagi dunia usaha, terutama korporasi besar dan perusahaan multinasional, keberadaan sistem ini berarti efisiensi waktu dan biaya. Transaksi lintas entitas, pelaporan PPN, serta rekonsiliasi data dengan vendor dan pelanggan bisa dilakukan lebih cepat dan akurat.

Sementara bagi pemerintah, Coretax adalah instrumen strategis untuk meningkatkan tax ratio tanpa menambah jenis pajak baru. Dengan basis data yang luas dan akurat, potensi kepatuhan sukarela dapat meningkat, sementara upaya pengawasan dapat dilakukan secara real-time berbasis data.

Namun, seperti banyak transformasi digital lainnya, implementasi di lapangan tidak selalu semulus visi awalnya.

Antara Modernisasi dan Kompleksitas

Di balik jargon modernisasi, banyak wajib pajak mengeluhkan perubahan drastis pada alur pelaporan dan format data. Tidak sedikit staf keuangan dan konsultan pajak yang kebingungan dengan fitur-fitur baru yang belum sepenuhnya stabil.

Misalnya, pada tahap awal penerapan modul e-Bupot dan PPN terintegrasi, sejumlah pengguna melaporkan gangguan sistem setelah proses maintenance. Transaksi gagal diunggah, dokumen pajak tidak bisa diterbitkan, atau validasi gagal meskipun data sudah benar. Akibatnya, pekerjaan administrasi yang seharusnya menjadi lebih cepat justru menumpuk.

Bagi UMKM yang belum memiliki staf pajak khusus, situasi ini bisa menimbulkan frustrasi. Modernisasi digital yang tidak diiringi user support yang memadai dapat berbalik arah menjadi hambatan.

Di sinilah muncul pertanyaan reflektif, “apakah modernisasi berarti kemudahan, atau justru kebingungan?”

Masalah Bukan di Teknologi, Tapi di Transisi

Transformasi digital, khususnya dalam sistem perpajakan, bukan sekadar mengganti platform lama dengan yang baru. Ia menuntut perubahan perilaku, kebiasaan, dan budaya kepatuhan.

Sebagian besar kendala yang muncul saat ini bukan disebabkan oleh teknologi Coretax itu sendiri, tetapi oleh masa transisi — saat wajib pajak, fiskus, dan sistem lama masih beradaptasi.

Contohnya, banyak pelaku usaha yang belum memahami mekanisme baru pelaporan terintegrasi, atau belum menghubungkan sistem internal mereka dengan data DJP. Di sisi lain, masih ada petugas pajak (fiskus) yang belum sepenuhnya terlatih menggunakan sistem Coretax untuk membantu wajib pajak.

Dalam konteks ini, pemerintah perlu menyiapkan strategi komunikasi dan edukasi yang lebih intensif. Tidak cukup dengan sosialisasi formal atau panduan teknis, melainkan dengan pendekatan humanis, seperti temu wajib pajak, forum interaktif, helpdesk real-time, dan kolaborasi dengan asosiasi profesi seperti IKPI.

Keterbukaan Data dan Perlindungan Privasi

Salah satu kekuatan utama Coretax adalah integrasi data lintas-lembaga. Sistem ini menggabungkan data dari perbankan, kependudukan, kepabeanan, OSS, e-commerce, hingga transaksi digital lintas negara.

Dari sisi pengawasan pajak, ini sangat efektif. Namun, dari sisi wajib pajak, muncul kekhawatiran soal keamanan dan privasi data. Bagaimana memastikan data keuangan tidak disalahgunakan? Bagaimana DJP menjamin bahwa data tersebut hanya digunakan untuk kepentingan fiskal?

Kebijakan transparansi harus berjalan seiring dengan tata kelola data yang kuat. Pemerintah perlu membangun kepercayaan digital, di mana wajib pajak merasa aman berbagi data karena yakin ada perlindungan dan akuntabilitas.

Tantangan SDM dan Literasi Pajak Digital

Digitalisasi tidak bisa berhasil tanpa kesiapan sumber daya manusia. Di satu sisi, DJP membutuhkan pegawai yang mampu membaca dan menganalisis data besar (big data analytics). Di sisi lain, wajib pajak memerlukan literasi pajak digital yang baik agar bisa beradaptasi.

Peningkatan kapasitas SDM — baik di internal DJP maupun di dunia usaha — menjadi kunci agar sistem ini tidak hanya modern secara teknologi, tetapi juga efektif secara fungsi.

Langkah positif sebenarnya sudah terlihat. DJP mulai mengembangkan learning center digital dan pelatihan daring/luring bagi pegawai, sementara berbagai lembaga pendidikan pajak dan asosiasi profesi juga aktif membantu meningkatkan literasi masyarakat.

Namun, pekerjaan besar masih menanti menjembatani kesenjangan pemahaman antara sistem yang canggih dan pengguna yang belum siap.

Menuju Ekosistem Pajak yang Cerdas dan Humanis

Coretax tidak boleh berhenti sebagai proyek digitalisasi semata. Ia harus menjadi fondasi bagi terciptanya ekosistem pajak yang cerdas, transparan, dan humanis.

Artinya, sistem pajak yang tidak hanya berbasis data, tetapi juga memahami realitas pelaku usaha. Sistem yang bukan hanya menagih, tetapi juga mendampingi.

Bila hal itu terwujud, maka kebijakan “No New Tax” yang digaungkan pemerintah untuk tahun 2026 bisa lebih realistis: bukan karena menahan pungutan baru, tetapi karena sistem lama menjadi lebih efisien dan adil.

Pada akhirnya, keberhasilan modernisasi pajak tidak diukur dari seberapa canggih sistemnya, tetapi dari seberapa tinggi kepercayaan wajib pajak terhadap sistem tersebut.

Coretax seharusnya menjadi simbol kepercayaan baru antara pemerintah dan Masyarakat, bahwa digitalisasi bukan ancaman, melainkan alat untuk membuat pajak lebih mudah, pasti, dan transparan.

Tantangan hari ini adalah kesempatan untuk memperbaiki masa depan. Jika pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat bisa berjalan beriringan, maka modernisasi pajak bukan hanya tentang sistem, melainkan tentang membangun peradaban fiskal yang lebih matang dan berkeadilan.

Penulis adalah Anggota IKPI Kota Bekasi & Dosen Institut STIAMI

Ratih Kumala 

Email: rhaty07@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Gaya Fiskal Purbaya: Antara Inovasi dan Tantangan Bagi Konsultan Pajak

Pendahuluan

Kebijakan fiskal yang baru di bawah kepemimpinan Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan, telah membawa angin segar dalam perekonomian Indonesia. Dengan pendekatan impact-driven policy, Purbaya telah menunjukkan keberanian dan inovasi dalam menghadapi tantangan ekonomi saat ini. Namun, bagaimana gaya fiskal Purbaya ini akan mempengaruhi profesi konsultan pajak di Indonesia?

Purbaya Yudhi Sadewa membawa paradigma ekonom matematis yang memandang kebijakan ekonomi sebagai sistem rumus. Sistem tersebut dapat dijabarkan, diuji, dan dibuktikan secara empiris. Pendekatan ini mencerminkan evolusi tata kelola pemerintahan yang baik. Pengambilan kebijakan tidak lagi berdasarkan intuisi politik semata, tetapi didukung analisis kuantitatif yang ketat (Tempo, 2025).

Inovasi Fiskal Purbaya: Peluang Bagi Konsultan Pajak

Kebijakan fiskal Purbaya telah membuka peluang baru bagi konsultan pajak untuk berperan dalam meningkatkan kepatuhan pajak dan mengurangi risiko fiskal. Dengan digitalisasi perpajakan dan reformasi Coretax, konsultan pajak dapat membantu klien mereka untuk memahami dan mematuhi regulasi fiskal yang baru (Kementerian Keuangan, 2025).

Sistem Coretax mempermudah wajib pajak dalam mengurus pajaknya sendiri, namun mereka tetap membutuhkan strategi perpajakan yang optimal. Konsultan pajak bisa fokus pada layanan seperti perencanaan pajak, manajemen risiko pajak, dan optimalisasi efisiensi pajak berdasarkan regulasi terbaru (OECD, 2025).

Tantangan Bagi Konsultan Pajak

Namun, gaya fiskal Purbaya juga dapat menimbulkan tantangan bagi konsultan pajak. Dengan perubahan regulasi fiskal yang cepat dan kompleks, konsultan pajak harus dapat beradaptasi dengan cepat untuk tetap relevan dan efektif dalam membantu klien mereka (World Bank, 2025).

Konsultan pajak harus meningkatkan literasi digital dan menguasai sistem Coretax untuk memberikan layanan yang lebih efektif. Mereka juga harus dapat menghadapi persaingan yang ketat dari perusahaan teknologi keuangan yang menyediakan layanan perpajakan (KPMG, 2025).

Penutup

Dalam jangka panjang, gaya fiskal Purbaya dapat membawa dampak positif bagi profesi konsultan pajak di Indonesia. Namun, konsultan pajak harus dapat beradaptasi dengan cepat dan efektif untuk tetap relevan dan efektif dalam membantu klien mereka. Dengan meningkatkan kemampuan dan pengetahuan mereka, konsultan pajak dapat berperan sebagai mitra yang efektif bagi klien mereka dalam menghadapi kebijakan fiskal Purbaya.

Referensi

– Kementerian Keuangan. (2025). Kebijakan Fiskal 2025.

– OECD. (2025). Economic Survey of Indonesia 2025.

– Tempo. (2025). Purbaya Yudhi Sadewa: Arsitek Fiskal Baru yang Mengguncang Paradigma Lama.

– World Bank. (2025). Indonesia Economic Update 2025.

– KPMG. (2025). Taxation in Indonesia 2025.

Penulis adalah Ketua Departemen Humas IKPI, Dosen, dan Praktisi Perpajakan

Jemmi Sutiono

Email:   jemmi.sutiono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan dan pendapat pribadi penulis

Janji No New Tax 2026: Kabar Baik untuk Bisnis dan Tantangan untuk Fiskal

Kebijakan fiskal pemerintah selalu menjadi sorotan publik, terlebih ketika menyangkut pajak. Pajak bukan sekedar instrumen penerimaan negara, melainkan juga cermin hubungan antara negara dan warganya. Karena itu, ketika Menteri Keuangan menegaskan bahwa Indonesia tidak akan mengenalkan pajak baru pada tahun 2026, pernyataan tersebut langsung mengundang reaksi luas. 

Dunia usaha menyambut lega, masyarakat merasa lebih tenang, tetapi pengamat fiskal justru menaruh tanda tanya. Bagaimana caranya pemerintah memenuhi target penerimaan negara tanpa instrumen pungutan baru?

Pertanyaan itu bukan tanpa alasan. Setiap tahun, kebutuhan pembiayaan negara terus meningkat. Mulai dari pembangunan infrastruktur, subsidi energi, jaring pengaman sosial, hingga kebutuhan belanja birokrasi. Di sisi lain, penerimaan negara sangat bergantung pada pajak. Artinya, ketika ruang untuk menciptakan pajak baru ditutup, maka satu-satunya jalan adalah mengoptimalkan instrumen pajak yang sudah ada.

Tantangan Fiskal yang Nyata

Saat ini Indonesia menghadapi tantangan fiskal yang cukup kompleks. Mulai dari defisit anggaran masih menjadi bayang-bayang. Walaupun pemerintah berupaya menjaga disiplin fiskal, namun realitasnya belanja negara seringkali lebih besar dibanding penerimaan. Di samping itu, ketidakpastian global membuat proyeksi penerimaan sering meleset. Hal ini disebabkan adanya perlambatan ekonomi Tiongkok, fluktuasi harga minyak, hingga perang di beberapa kawasan dunia memengaruhi arus perdagangan dan investasi.

Kini, Basis pajak di Indonesia masih terbatas. Hal ini dibuktikan bahwa tax ratio Indonesia masih berkisar di angka 10–11% dari PDB, jauh lebih rendah dibanding negara ASEAN lain seperti Vietnam atau Thailand yang sudah mencapai 15–16%. Ini berarti masih banyak potensi penerimaan yang belum tergarap.

Di tengah tantangan itu, kebijakan “No New Tax” sebenarnya bisa dibaca sebagai bentuk keberanian pemerintah untuk fokus pada kualitas administrasi pajak, bukan sekedar menambah jenis pungutan.

Mengapa No New Tax Penting bagi Dunia Usaha

Dari sudut pandang dunia usaha, keputusan pemerintah untuk tidak menambah pajak baru pada 2026 adalah sinyal positif. Dunia usaha sedang menghadapi tekanan yang tidak ringan: inflasi tinggi, biaya energi mahal, serta bunga pinjaman yang menekan arus kas. Tambahan pajak baru tentu akan membuat situasi semakin sulit.

Selain itu, resistensi publik terhadap pajak baru sangat tinggi. Kita bisa belajar dari rencana penerapan pajak karbon yang sempat ditunda. Atau dari polemik kenaikan PPN yang dijadwalkan naik menjadi 12% sesuai UU HPP. Semua menunjukkan bahwa pajak baru tanpa kesiapan administrasi dan komunikasi yang baik hanya akan menimbulkan kegaduhan politik maupun ekonomi.

Dengan mengumumkan “No New Tax”, pemerintah seakan ingin berkata: “Mari kita perbaiki dulu rumah pajak yang ada sebelum membangun ruangan baru.”

Kalau tidak menambah pajak baru, lalu bagaimana caranya meningkatkan penerimaan? 

Ada beberapa jalur strategis yang bisa ditempuh pemerintah

1. Ekstensifikasi Basis Pajak

Banyak sektor produktif yang belum sepenuhnya tergarap, terutama ekonomi digital. Transaksi daring tumbuh pesat, tetapi tidak semuanya tercatat. Dengan integrasi data platform e-commerce, fintech, dan perbankan, potensi penerimaan bisa meningkat signifikan. UMKM juga perlu menjadi fokus. Dengan insentif dan edukasi, UMKM bisa masuk ke sistem perpajakan secara bertahap, tanpa merasa terbebani.

2. Digitalisasi Administrasi

Implementasi sistem Coretax adalah tonggak penting. Sistem ini menjanjikan administrasi yang lebih sederhana, akurat, dan terintegrasi. Namun, keberhasilan Coretax bergantung pada stabilitas sistem dan kemampuan SDM. Bila berhasil, kebocoran penerimaan bisa ditekan drastis.

3. Kepatuhan Sukarela

Pajak bukan hanya urusan sanksi, tetapi juga kepercayaan. Wajib pajak akan lebih patuh bila sistem transparan, manfaat pajak terlihat, dan pelayanan sederhana. Pemerintah perlu meningkatkan trust public dengan menunjukkan hasil nyata dari pajak, seperti jalan yang lebih baik, layanan publik yang meningkat, hingga subsidi tepat sasaran.

4. Efisiensi Belanja

Tidak kalah penting, peningkatan penerimaan harus diimbangi dengan efisiensi belanja. Percuma penerimaan naik bila belanja negara bocor. Transparansi APBN dan akuntabilitas pejabat publik menjadi bagian integral dalam membangun kepatuhan pajak.

Belajar dari Praktik Internasional

Negara lain sudah membuktikan bahwa meningkatkan penerimaan tidak selalu harus menambah pajak baru. Singapura sukses menjaga kepatuhan dengan layanan pajak yang sederhana dan digitalisasi penuh. Korea Selatan menutup celah penghindaran pajak dengan mengintegrasikan data transaksi digital lintas sektor.

Indonesia bisa mengambil Pelajaran dengan memanfaatkan data, sederhanakan sistem, dan tingkatkan pelayanan. Dengan pendekatan ini, penerimaan negara bisa naik tanpa harus menambah beban wajib pajak.

Perlu diingat, pajak bukan sekedar angka di APBN, tetapi juga kontrak sosial. Bila pemerintah berhasil menunjukkan bahwa uang pajak dikelola dengan baik, trust public akan meningkat. Sebaliknya, bila ada kasus korupsi atau pemborosan anggaran, resistensi wajib pajak akan semakin kuat.

Dalam konteks politik, “No New Tax” juga bisa dibaca sebagai strategi menjaga stabilitas. Tahun 2026 berada di awal periode pemerintahan baru hasil Pemilu 2024. Memberikan kepastian fiskal tanpa pajak baru adalah cara untuk menenangkan dunia usaha sekaligus menjaga iklim investasi.

Esensi dari kebijakan “No New Tax” pada 2026 bukan berarti pemerintah menyerah, melainkan justru ingin fokus pada optimalisasi, digitalisasi, dan trust building. Tantangan memang besar, tetapi peluang juga terbuka lebar.

Pemerintah punya kesempatan emas untuk membuktikan bahwa pajak bisa ditingkatkan tanpa menambah jenis pungutan baru. Dunia usaha pun punya kewajiban untuk mendukung, bukan hanya dengan membayar pajak, tetapi juga dengan berperan aktif dalam memperkuat ekosistem kepatuhan.

Pada akhirnya, pajak dan ekonomi bukanlah lawan, melainkan kawan. Pajak adalah kontribusi, dan kontribusi itulah yang akan memperkuat fondasi Indonesia menuju masa depan yang lebih tangguh.

Penulis adalah Anggota IKPI Kota Bekasi & Dosen Institut STIAMI

Ratih Kumala

Email: rhaty07@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Ketidakpastian Hukum Perpajakan di Indonesia: Mengurai Akar Masalah, Fakta yang Terjadi dan Pola Pembenahan

Pendahuluan

Sistem perpajakan Indonesia berada di tengah arus besar perubahan, diawali dengan omnibus UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), unifikasi pelaporan, integrasi NIK–NPWP, hingga peluncuran Coretax. Alih-alih memberi kepastian, percepatan reformasi kerap ‘tergelincir’ pada desain regulasi bertingkat, masa transisi berlapis, dan komunikasi kebijakan yang tidak seragam. 

Akibatnya, biaya kepatuhan meningkat, ketidakpastian hukum bertambah, serta sengketa pajak menumpuk. UU HPP adalah tonggak penting, namun juga memperlihatkan betapa rumitnya orkestrasi regulasi pajak ketika perubahan terjadi serentak di banyak titik sehingga Sang Dirigen seolah kehilangan arah. 

Penerimaan pajak yang lambat bukan hanya disebabkan oleh faktor situasi ekonomi global, tapi akar utamanya adalah ketidakpastian hukum khususnya hukum perpajakan dan keruwetan system perpajakan. Ini yang harus disadari oleh para Pengambil Keputusan di Pemerintahan dan solusi yang diambil cenderung “reaktif” tanpa mencari akar masalahnya.

 Masalah Utama

1. Over-regulation & disharmoni turunan

Struktur bertingkat (UU–PP/Perpres–PMK–Perdirjen–SE) memunculkan ‘bunyi’ berbeda antar aturan—terutama saat ketentuan lama belum dicabut tuntas atau masa berlakunya tumpang tindih. Implementasi Coretax, misalnya, menuntut ‘pembersihan’ puluhan aturan lama sekaligus.

2. Perubahan terlalu sering dengan jendela transisi pendek

Kenaikan tarif PPN pasca-UU HPP dari 10% ke 11% (1 April 2022) dan mandat menuju 12% menjadi ilustrasi bagaimana fase transisi dan penjelasan teknisnya menimbulkan ragam tafsir di lapangan. Direktur Jenderal Pajak menyelesaikan isu ini dengan manuver ‘cantik’ dan memuaskan semua pihak yang selama ini berbaku kata.

3. Integrasi identitas perpajakan (NIK–NPWP) bertahap

Ketentuan diaktifkan bertahap, layanan baru berjalan paralel dengan sistem lama. Secara kebijakan masuk akal, namun di sisi kepatuhan memicu kebingungan, nomor mana yang dipakai, sejak kapan, dan di kanal apa.

4. Kapasitas aparatur & infrastruktur digital 

Modernisasi butuh governance TI, migrasi data, dan manajemen perubahan. Ketika standar proses belum seragam, praktik lapangan menjadi bervariasi dari aktivasi akun, tanda tangan elektronik, hingga pelaporan terintegrasi.

5. Penegakan & penyelesaian sengketa

Kompleksitas aturan berbanding lurus dengan sengketa. Tanpa pedoman yang sederhana dan konsisten, perbedaan tafsir tetap tajam dan menekan kepastian hukum.

Fakta 2022–2025

a. PPN 12% dan fase transisi. 

UU HPP memberi mandat kenaikan tarif umum PPN. 

Ringkasnya, 11% berlaku sejak 1 April 2022.Rencana implementasi 12% menciptakan periode transisi dan penyesuaian perhitungan. Di lapangan, pelaku usaha bertanya: kapan memakai 12% penuh, bagaimana perlakuan kontrak lama, dan seperti apa rekonsiliasi dokumen menandakan komunikasi teknis belum diterima seragam.

b. NIK sebagai NPWP 

Integrasi identitas menuntut ekosistem(perbankan, vendor, perangkat lunak akuntansi) memperbarui sistem. Selama system DUKCAPIL yang menjadi dasar validasi tidak dirapihkan, maka sinkronisasi NIK – NPWP tidak akan berjalan dengan baik.

c. SPT Masa PPh Unifikasi

Sejak 2022, bukti potong/pungut unifikasi dan SPT Masa PPh Unifikasi diberlakukan (PPh 4(2), 15, 22, 23, 26). Secara konsep memudahkan, namun transisi dari aplikasi lama ke skema unifikasi menuntut penyesuaian proses dan pelatihan internal.

d. Coretax & tata kelola regulasi pelaksana

Coretax mengintegrasikan pendaftaran, pelaporan, pembayaran, pemeriksaan, dan penagihan. Agar mulus, aturan pelaksana baru perlu merapikan hak/kewajiban elektronik sekaligus mencabut aturan lama. Bagi perusahaan, ini berarti proyek perubahan multidisiplin bukan sekadar ‘update aplikasi pajak’.

e. Pajak Daerah pasca-UU HKPD 

UU 1/2022 menyatukan arsitektur pajak & retribusi daerah dengan semangat penyederhanaan. Namun sinkronisasi pusat–daerah (definisi objek, tarif, cara bayar) belum seragam sehingga WP multi daerah menghadapi variasi implementasi.

Dampak ke Wajib Pajak & Administrasi

• Biaya kepatuhan melonjak: penyesuaian kontrak & pricing (PPN), pembaruan master data (NIK/NPWP 16 digit), re-mapping proses pemotongan/pemungutan (unifikasi), dan upgrade sistem (Coretax).

• Kepastian hukum tergerus: masa transisi panjang, instrumen sosialisasi tidak seragam, dan rujukan tersebar di banyak regulasi turunan.

• Sengketa bertambah: perbedaan tafsir yang persisten menekan arus kas dan menambah biaya litigasi.

Rekomendasi Pembenahan Struktural

6. Kodifikasi & “single-source-of-truth” digital. Susun kompilasi konsolidatif dinamis per rezim (KUP, PPh, PPN, HKPD) yang menandai ketentuan dicabut/diubah dan masa transisinya lengkap dengan contoh kasus dan template dokumen. Portal resmi menjadi rujukan tunggal.

7. Regulatory calendar & sunset clause. Tetapkan kalender regulasi tahunan tanggal efektif, akhir masa transisi, dan cut-over sistem serta sunset clause yang otomatis mengakhiri aturan lama untuk menghindari paralelisme berkepanjangan.

8. Desain transisi berbasis dampak. Untuk kebijakan besar (tarif PPN, identitas pajak), gunakan periode sandbox dan uji end-to-end lintas industri sebelum efektif nasional; dokumentasikan edge cases yang umum terjadi.

9. Penyelarasan pajak pusat–daerah. Percepat standardisasi definisi objek, struktur tarif, dan format bukti bayar lintas daerah melalui regulasi turunan yang ringkas dan pedoman teknis seragam.

10. Penguatan pre-litigation. Perkuat mekanisme penyelesaian sengketa pra-litigasi (klarifikasi terstruktur, position paper dua arah, mediasi terbatas) agar perkara yang naik ke Pengadilan Pajak adalah benar-benar hard case.

11. Akuntabilitas implementasi TI. Tetapkan SLA dan rencana kontinuitas layanan Coretax yang dipublikasikan, plus playbook gangguan operasional (fallback pelaporan/pembayaran) agar WP memiliki pedoman saat downtime.

Penutup

Reformasi pajak Indonesia sedang berjalan—dan memang harus berjalan. Namun kecepatan tanpa orkestrasi regulasi yang rapi akan terus melahirkan carut-marut: aturan berlapis, tafsir tak seragam, sengketa menumpuk, dan biaya kepatuhan yang mahal. Agenda perbaikan kodifikasi dinamis, kalender regulasi, transisi berbasis dampak, standardisasi pusat–daerah, pre-litigation yang kuat, dan disiplin tata kelola TI adalah rute realistis untuk mengubah reformasi menjadi transformasi yang memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak dan fiskus sekaligus.

Faktor terpenting dari semua perubahan yang baik adalah: “Kemauan” untuk menjadi lebih baik.

Penulis adalah Anggota Departemen Humas PP-IKPI

Donny Danardono

Email: donnydanardono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Membangun Fondasi Perpajakan Unggul: Peran Pendidikan dalam Meningkatkan Kepatuhan Pajak di Indonesia

Pendahuluan

Kepatuhan pajak merupakan salah satu faktor penting dalam meningkatkan penerimaan negara dan membiayai pembangunan nasional. Namun, tingkat kepatuhan pajak di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Menurut data dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), rasio pajak di Indonesia masih sekitar 10,3% dari PDB pada tahun 2022, jauh di bawah target yang ditetapkan oleh pemerintah (DJP, 2022). Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kepatuhan pajak, salah satunya melalui pendidikan perpajakan.

Analisis

Pendidikan perpajakan memiliki peran penting dalam meningkatkan kepatuhan pajak. Dengan pendidikan perpajakan yang baik, masyarakat dapat memahami pentingnya pajak dan bagaimana cara membayar pajak yang benar. Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), pendidikan perpajakan dapat meningkatkan kesadaran pajak dan kepatuhan pajak (OECD, 2019).

Data statistik menunjukkan bahwa pendidikan perpajakan dapat meningkatkan kepatuhan pajak. Menurut survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang pajak lebih cenderung untuk membayar pajak secara tepat waktu. Pada tahun 2022, sebanyak 73,4% responden yang memiliki pengetahuan tentang pajak membayar pajak secara tepat waktu, sedangkan hanya 44,1% responden yang tidak memiliki pengetahuan tentang pajak yang membayar pajak secara tepat waktu (BPS, 2022).

Di Indonesia, pendidikan perpajakan masih belum mendapatkan perhatian yang cukup. Menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jurusan perpajakan masih belum banyak diminati oleh siswa (Kemendikbud, 2020). Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran dan minat siswa terhadap jurusan perpajakan.

Beberapa negara telah berhasil meningkatkan kepatuhan pajak melalui pendidikan perpajakan. Contohnya:

– Singapura: Pemerintah Singapura telah meluncurkan program pendidikan perpajakan yang komprehensif untuk meningkatkan kesadaran pajak dan kepatuhan pajak (IRAS, 2020). Program ini mencakup pendidikan perpajakan di sekolah-sekolah dan pelatihan bagi pegawai pajak.

– Jepang: Pemerintah Jepang telah memasukkan pendidikan perpajakan ke dalam kurikulum sekolah dasar dan menengah (MEXT, 2019). Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran pajak dan kepatuhan pajak sejak dini.

– Australia: Pemerintah Australia telah meluncurkan program pendidikan perpajakan yang interaktif dan menyenangkan untuk meningkatkan kesadaran pajak dan kepatuhan pajak di kalangan siswa sekolah (ATO, 2020).

– Swedia: Pemerintah Swedia telah memasukkan pendidikan perpajakan ke dalam kurikulum sekolah dan menyediakan pelatihan bagi guru untuk meningkatkan kesadaran pajak dan kepatuhan pajak (Skatteverket, 2020).

– Korea Selatan: Pemerintah Korea Selatan telah meluncurkan program pendidikan perpajakan yang komprehensif untuk meningkatkan kesadaran pajak dan kepatuhan pajak (NTS, 2020). Program ini mencakup pendidikan perpajakan di sekolah-sekolah dan pelatihan bagi pegawai pajak.

Kesimpulan dan Usulan

Pendidikan perpajakan memiliki peran penting dalam meningkatkan kepatuhan pajak di Indonesia. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran dan minat siswa terhadap jurusan perpajakan. Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu bekerja sama untuk mengembangkan program pendidikan perpajakan yang komprehensif dan efektif.

Usulan:

1. Pengembangan kurikulum pendidikan perpajakan: Pemerintah dan lembaga pendidikan perlu bekerja sama untuk mengembangkan kurikulum pendidikan perpajakan yang komprehensif dan efektif.

2. Pelatihan bagi guru: Pemerintah perlu menyediakan pelatihan bagi guru untuk meningkatkan kesadaran pajak dan kepatuhan pajak di kalangan siswa.

3. Program pendidikan perpajakan di sekolah: Pemerintah perlu meluncurkan program pendidikan perpajakan di sekolah-sekolah untuk meningkatkan kesadaran pajak dan kepatuhan pajak sejak dini.

4. Kerja sama dengan stakeholder: Pemerintah perlu bekerja sama dengan stakeholder, seperti organisasi profesi dan masyarakat sipil, untuk meningkatkan kesadaran pajak dan kepatuhan pajak.

Dengan demikian, diharapkan kepatuhan pajak di Indonesia dapat meningkat dan penerimaan negara dapat meningkat.

Referensi:

– DJP (2022). Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak 2022.

– OECD (2019). Tax Education and Awareness.

– Kemendikbud (2020). Data Pendidikan Indonesia 2020.

– IRAS (2020). Tax Education Programme.

– MEXT (2019). Curriculum Guidelines for Elementary and Secondary Education.

– ATO (2020). Tax Education Resources for Schools.

– Skatteverket (2020). Tax Education for Schools.

– NTS (2020). Tax Education Programme.

– BPS (2022). Survei Kepatuhan Pajak 2022.

Penulis adalah Ketua Departemen Humas IKPI, Dosen, dan Praktisi Perpajakan

Jemmi Sutiono

Email:   jemmi.sutiono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan dan pendapat pribadi penulis

Ketidaksederhanaan Administrasi PPh Dalam Industri Agen Gas LPG 3Kg 

A. PENDAHULUAN

Liquefied Petroleum Gas (LPG) adalah campuran gas hidrokarbon yang dicairkan dengan tekanan tinggi, biasanya terdiri dari Propana dan Butana. LPG digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak, pemanas, dan sebagai bahan bakar kendaraan. Tahun 2007 pengunaan minyak tanah di konversi menjadi gas LPG, program ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap energi bersih, mengurangi polusi udara dalam ruangan dan mengurangi subsidi minyak tanah, dan sampai saat ini LPG merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.

Di Indonesia ada beberapa jenis LPG yang ada dipasaran yang dibagi berdasarkan jenis peruntukannya antara lain:

1. LPG 3 kg, tabung berwarna hijau, disubsidi oleh pemerintah, dan diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu dan usaha mikro.

2. LPG 12 kg, tabung berwarna biru atau pink, digunakan oleh rumah tangga menengah ke atas dan usaha kecil.

3. Bright Gas, tabung berwarna pink atau merah muda, dilengkapi dengan fitur keamanan DSVS (Double Spindle Valve System), dan digunakan oleh rumah tangga menengah ke atas dan usaha kecil.

4. LPG 50 kg, tabung berwarna merah, digunakan oleh industri, restoran besar, dan hotel.

5. LPG Ease, tabung berwarna emas, dilengkapi dengan fitur keamanan double spindle, dan digunakan oleh rumah tangga kelas atas.

6. LPG Industri, Jenis LPG yang digunakan untuk keperluan industri, dengan volume besar dan tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah.

Dari ke 6 (enam) jenis peruntukan di atas akan menghasilkan jenis perpajakan yang berbeda, pada kesempatan ini penulis hanya membatasi kepada aspek Pajak Penghasilan (PPh) untuk pengusaha (agen) gas LPG 3 Kg. 

 B. KLASIFIKASI PERPAJAKAN

Saat ini pajak merupakan sumber pendapatan devisa yang paling utama, pajak dari industri minyak dan gas, khususnya dalam usaha pemasaran migas, pajak yang dipungut antaralain adalah Pajak PPh Pasal 22 yang wajib dipunguto leh Pertamina dan badan usaha lainnya yang bergerak dalam bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT, minyak tanah, gas LPG dan pelumas serta PPN atas penjualan hasil produksinya. 

Berdasarkan peraturan yang dikeluarkan pemerintah penulis jabarkan aspek perpajakan dan akuntansi :

a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun2008, yang telah diubah dengan Undang-UndangNomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang diantaranya mengatur :

1. Pasal 4 ayat (1), yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

2. Pasal 17, yang mengatur tentang Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap

b. Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23/2018), mengatur: atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dalamjangka waktu tertentu

c. PMK Nomor 141/PMK.03/2015 tentang Jenis Jasa Lain Sebagaimana Dimaksud Dalam Pasal 23 ayat (1) Huruf c Angka 2 UU PPh (PMK-141/2015), mengatur:

1. Pasal 1 ayat 1, Imbalan sehubungan dengan jasalain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c angka 2 UU PPh, dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% dari jumlah bruto tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai

2. Pasal 1 ayat 6 huruf b, Jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari jasa pengangkutan/ekspedisi

d. PMK Nomor 34/PMK.101/2017 tentang Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Sehubungan denganPembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain s.t.d.t.d. PMK Nomor 110/PMK.010/2018 (PMK 34/2017), mengatur:

1. Pasal 1 ayat (1) huruf h, Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 UU PPh adalah produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjuala nbahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas

2. Pasal 2 ayat (1) huruf c angka 2, Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas bahan bakar gas sebesar 0,3% dari penjualan tidak termasuk PPN

3. Pasal 9 ayat (2), Pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak dan bahan bakar gas kepada:

i. penyalur/agen bersifat final;

ii. Selain penyalur/agen bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut

e. Pasal 27, Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2010 tentang Perhitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam tahun Berjalan

1. Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah dalam hal, memiliki usaha yang penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan tidak final, menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak; atau mendapatkan dan tidak mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.

2. Biaya bersama bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanannya dialokasikan secara proporsional

C. JENIS PAJAK UNTUK AGEN GAS LPG 3 KG

Penjualan harga gas LPG 3 kg di Indonesia ditentukan oleh pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pada tahun 2020, Menteri ESDM Arifin Tasrif menetapkan harga patokan LPG 3 kg dengan formula 103,85% dari Harga Indeks Pasar (HIP) LPG Tabung 3 Kg, ditambah biaya distribusi dan margin.

Dalam industri ini ada beberapa penghasilan yang diterima atau diperoleh agen/penyalur antara lain:

a. Margin yang di dapatkan agen, yang harga nya sudah ditentukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang di dalamnya sudah memperhitungkan keuntungan/margin agen

b. Selisih antara HET dengan harga yang sudah ditentukan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan penentuan harga yang di tetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah

c. Transportation fee dari Pertamina sebagai jasa pengangkutan LPG dari depot LPG Pertamina ke lokasi agen/penyalur,

Atas penghasilan tersebut :

a. Atas margin yang sudah ditentukan oleh kementrian ESDM Dipotong PPh final pasal 22 oleh pertamina ataspenyerahan dengan margin yang sudah ditetapkankementerian ESDM

b. Atas Selisih HET tidak dipotong oleh pertamina, tetapiakan dihitung sendiri PPh nya melalui mekanisme PPhpasal 29/25

c. Atas Transport Fee akan di potong PPh pasal 23 (tidakfinal) oleh pertamina dan akan diperhitungkan menjadi kredit pajak diakhir tahun

Dalam hal Pajak Penghasilan badan atas agen bila :

1. Penghasilan bruto  di bawah 4,8 M dan belum melewati batas waktu 4 tahun sejak didirikan, maka agen mendapatkan fasilitas PP 23 tahun 2010 

2. Penghasilan bruto diatas 4,8 M, maka perhitungan yang berlaku sesuai pasal 31 E atau pasal 17, permasalahan terjadi ketika pembuatan SPT tahunan badan dikarenakan ada 2 (dua) jenis pengenaan PPh yaitu PPh final dan non final sehingga dalam perhitungan PPh pasal 29 agen harus memisahkan biaya-biaya untuk memperoleh penghasilan antara yang dipotong PPh final dan non final (menyelengarakan pembukuan terpisah).

Tentu ini sangat lah sulit untuk memisahkan biaya tersebut, dalam PP 94 tahun 2010 pasal 27 ayat 2, apabila wajib pajak tidak dapat memisahkan antara biaya final dan non final maka pembebanan biaya dilakukan secara proposional. Berikut penulis sampaikan penentuan Harga Eceran Tertinggi (HET) dan ilustrasikan untuk pengalokasian biaya (asumsi per tabung):

Penentuan Harga Eceran Tertinggi (HET)

• Harga Dasar Rp 10.391,00

• Margin Agen Rp   1.200,00

• PPN Harga Jual Eceran Rp   1.159,00 (+)

Harga Jual Eceran Rp 12.750,00

• Biaya Distribusi Rp    1.699,00

• PPN Rp         17,00 (+)

Harga Eceran Tertinggi Rp 14.465,00

Perhitungan pajak terhutang

Dalam sebelum menentukan perhitungan PPh terhutang untuk agen LPG ada beberapa langkah yang harus dilakukan :

1. Melakukan pemisahan biaya antara biaya untuk mendapatkan penghasilan final dan non final 

2. Jika point 1 tidak dapat dilakukan maka perhitungan dilakukan dengan proposional biaya dengan cara membagi berapa % antara penghasilan final, non final dengan total keseluruhan biaya

3. Atas biaya-biaya untuk memperoleh penghasilan akan dibagi sesuai dengan porsi untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak

E. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan:

1. Ketidakmudahan administrasi dalam melakukan perhitungan PPh badan yang dikarenakan dalam 1 (satu) entitas perusahaan terdapat 2 (dua) jenis pengenaan pajak yang berbeda final dan non final.

2. Sulit untuk memisahkan antara biaya untuk mendapatkan penghasilan final dan non final

3. Keterbatasan pengetahuan perpajakan yang dimiliki oleh agen tentang perhitungan yang berlaku proposional dalam menentukan pajak terutang yang akan menambah beban pajak

4. Menghasilkan instreprestasi dari masing masing subjek dalam memahami peraturan

Saran :

1. Untuk mempermudah administrasi perhitungan atas PPh badan Kembali mengunakan mekanisme PPh yang dipotong final

2. Sosialiasasi dari asosiasi dalam memahami perhitungan perpajakan

3. LPG merupakan barang yang disubsidi oleh pemerintah sehingga dalam prakteknya seharusnya tidak ada unsur-unsur perpajakan.

F. DASAR HUKUM :

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan s.t.d.t.d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun2008, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi PeraturanPerpajakan

2. PP Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (PP 23/2018), mengatur: Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34 tahun2017 sebagai terakhir diubah dengan PMK 41 Tahun2022 tentang pemungutan PPh 22

4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 tentang jenis jasa yang dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 23

5. Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2010 tentang Perhitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam tahun Berjalan

6. Penentuan Harga Eceran Tertinggi dari provinsi DKI Jakarta tahun 2025

 

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Kota Bekasi

Harcrisnowo

Email : rharcrisnowo@gmail.com

Disclaimer : Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

en_US