Menggali Potensi Pajak Kekayaan Bersih di Indonesia

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam kesempatan konferensi pers 15 Agustus 2025, menyampaikan postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 dan juga sekaligus memaparkan fokus kebijakan fiskal pada 8 (delapan) strategi yakni mewujudkan (i) ketahanan pangan; (ii) ketahanan energi;  (iii) Makan Bergizi Gratis; (iv) program pendidikan; (v) program kesehatan; (vi) pembangunan desa, koperasi, dan UMKM; (vii) pertahanan semesta, dan (viii) akselerasi investasi dan perdagangan global. Dalam mendukung seluruh fokus kebijakan fiskal tersebut, penerimaan pajak menjadi tumpuan utama sebagaimana terlihat pada Tabel 1, bahwa kontribusi sektor perpajakan masih terus bertumbuh dan diharapkan tetap tumbuh positif di 2026.

Tabel 1

Berdasarkan tabel diatas, target penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 adalah sebesar Rp2.189,3 triliun dan naik menjadi Rp2.357,7 triliun dalam RAPBN 2026. Tentunya angka ini tidak mudah untuk dicapai, apalagi pada semester 1-2025 angka penerimaan pajak masih di angka Rp837,8 triliun (shortfall 38% dari target APBN). Oleh karena itu, supaya tetap menjaga kinerja APBN, diperlukan kebijakan collecting more, dan ini perlu didukung oleh perluasan basis pajak dan sistem perpajakan yang kompatibel dengan kebijakan perpajakan global. Perluasan basis pajak mutlak dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) apabila menolak dikatakan pajak berburu di kebun binatang. Majas “berburu di kebun binatang” dipopulerkan oleh Bapak Gibran Rakabuming saat debat Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada 22 Desember 2023 lalu, dikatakan “Kita ini tidak ingin berburu dalam kebun binatang. Kita ingin memperluas kebun binatangnya, kita tanami binatangnya, kita gemukkan.”

Bisa dikatakan bahwa DJP telah berusaha menggali potensi pemajakan High Net Worth Individuals (HNWI) melalui skema pajak progresif yakni lapisan Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) ditambahkan dengan tarif tertinggi 35%. Namun, perluasan basis pada dasarnya bukan pada peningkatan tarif pajak, melainkan pada penambahan jenis pajak baru, dan yang paling memungkinkan diterapkan DJP adalah Pajak Kekayaaan.

Indonesia pernah menerapkan Ordonansi Pajak Kekayaan 1932 sebagaimana telah diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1967 (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 18), yang bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, Undang-Undang ini dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang beserta penjelasannya.

Konsep dan Teori Wealth-Based Taxation

Pasal 4 ayat (1) huruf p Undang Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) menyatakan bahwa : “yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.”

Tambahan kekayaan neto dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf p UU PPh menyatakan bahwa “pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak serta yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui adanya tambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah dikenakan pajak dan yang bukan Objek Pajak, maka tambahan kekayaan neto tersebut merupakan penghasilan.”

Metode pendekatan kekayaan bersih telah digunakan Pemeriksa Pajak dengan cara menghitung selisih kekayaan bersih wajib pajak orang pribadi awal dan akhir tahun yang terdapat dalam SE-65/PJ/2013 tentang Pedoman Penggunaan Metode dan Teknik Pemeriksaan, yang dilakukan sebagai berikut:

Selanjutnya, Dr. Joko Ismuhadi dalam bukunya yang berjudul Tax Accounting Equation, menjabarkan persamaan Akuntansi Pajak (Tax Accounting Equation/TAE) yang dirumuskan sebagai berikut:

Pendekatan ini digunakan untuk menguji sumber dan penggunaan dana, yaitu aset yang nantinya akan digunakan untuk menghasilkan pendapatan yang dibiayai oleh kewajiban/utang dan modal.

Dr. Joko Ismuhadi menjelaskan TAE berfungsi untuk memperhatikan arus kegiatan ekonomi (pendapatan dan biaya) dan dampak langsungnya terhadap kekayaan (aset dan kewajiban/utang). TAE ini adalah metode langsung bagi otoritas pajak menguji kemampuan wajib pajak dalam menghasilkan pendapatan dan laba kena pajak, alih-alih hanya menilai situasi keuangan wajib pajak. TAE ini memungkinkan pemeriksaan silang antara pendapatan/biaya wajib pajak yang dilaporkan dengan perubahan aset/kewajiban wajib pajak.

Perbandingan Penerapan Pajak Kekayaan di Beberapa Negara Anggota Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD)

Pada tahun 2018, OECD merilis laporan dengan judul “The Role and Design of Net Wealth Taxes in OECD” dimana OECD menjabarkan teori pajak kekayaan dikenakan atas dasar akrual dan dilakukan penilaian aset setiap tahun.  Dan, penentuan tarif Pajak Kekayaan juga harus dipertimbangkan otoritas pajak mengingat kondisi incovenient wajib pajak terkait ability to pay cash.

Berikut ini adalah tarif Pajak Kekayaan di beberapa negara anggota OECD:

Tabel 2

Permasalahan dan Konsep Usulan Pajak Kekayaan di Indonesia

Pajak memiliki 2 (dua) fungsi utama yaitu fungsi anggaran (budgetair) dan fungsi mengatur (regulerend). Dalam menjalankan fungsinya sebagai pengisi kas negara (fungsi budgetair), pajak bertugas untuk menghimpun dana dari masyarakat untuk pembiayaan pembangunan dan juga pembiayaan rutin antara lain belanja pegawai, belanja subsidi untuk daerah otonom, belanja barang pemerintahan, dan belanja cicilan utang dan bunga. Penerimaan Negara setelah dikurangi pembiayaan rutin adalah merupakan tabungan negara yang digunakan untuk pembiayaan pembangunan. Sebagai fungsi mengatur (regulerend), pemerintah dapat menggunakan pajak sebagi alat untuk mengatur kebijakan ekonomi antara lain mendorong ekspor produk Indonesia (tarif 0%) dan melindungi produsen dalam negeri (bea masuk yang tinggi).

Selain menjalankan kedua fungsi diatas, pajak juga dapat menjalankan fungsi redistribusi kekayaan untuk meminimalisir angka ketimpangan ekonomi supaya pengentasan kemiskinan dapat tercapai.

Gini Ratio adalah instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat kesenjangan pembagian pendapatan di suatu wilayah, dan penilaian Gini Ratio berada di interval dari 0 (nol) sampai dengan 1 (satu), dimana nilai 0 (nol) menunjukkan semua orang memiliki pendapatan yang sama dan nilai 1 (satu) menunjukkan 1 (satu) orang memiliki selluruh pendapatan sementara yang lain tidak memiliki apapun. Berikut ini adalah kriteria yang digunakan dalam menilai ketimpangan Gini Ratio (Hera Susanti dkk, Indikator-Indikator Makroekonomi, LPEM-FEUI,1995):

  • Gini Ratio < 0,4 dikategorikan sebagai ketimpangan rendah.
  • 0,4 ≤ Gini Ratio ≤ 0,5 dikategorikan sebagai ketimpangan sedang (moderat).
  • Gini Ratio > 0.5 dikategorikan sebagai ketimpangan tinggi.

Biro Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa gini ratio di Indonesia pada Maret 2025 adalah sebesar 0,375 yang artinya Gini Ratio Indonesia dikategorikan sebagai ketimpangan rendah.

Selanjutnya, Bank Dunia mengukur ketimpangan pendapatan dengan menggunakan persentase jumlah pendapatan penduduk dan kelompok yang berpendapatan 40% terendah dibandingkan total pendapatan seluruh penduduk dikategorikan sebagai berikut:

  • Jika rasio pendapatan 40% penduduk berpenghasilan terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk kurang dari 12%, maka distribusi pendapatan tergolong memiliki ketimpangan pendapatan tinggi.
  • Jika rasio pendapatan 40% penduduk berpenghasilan terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk berada di antara 12 dan 17%, maka distribusi pendapatan tergolong memiliki ketimpangan pendapatan sedang.
  • Jika rasio pendapatan 40% penduduk berpenghasilan terendah terhadap total pendapatan seluruh penduduk lebih besar dari 17%, maka distribusi pendapatan tergolong memiliki ketimpangan pendapatan rendah.

Berdasarkan ukuran ketimpangan Bank Dunia, BPS melaporkan pada Maret 2025, kategori 40 persen terendah adalah sebesar 18,65%, dengan rincian di daerah perkotaan tercatat 17,64% dan di daerah pedesaan tercatat 21,75%.  Angka ini menunjukkan lemahnya daya beli masyarakat kelas bawah, yang artinya pertumbuhan ekonomi tidak merata, hanya dirasakan oleh masyarakat kelas atas.

Sementara, BPS mencatat, pada Maret 2025, Produk Domestik Regional Bruto per Kapita Jakarta mencapai Rp344.350.000 mengungguli provinsi lainnya dikarenakan sebagian besar orang terkaya di Indonesia berkumpul di Jakarta.

Berangkat dari permasalahan di atas, pemungutan Pajak Kekayaan selain dapat menjadi salah satu sumber penerimaan baru, juga dapat menjadi alat redistribusi untuk pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Mengenai pemungutan Pajak Kekayaan, terdapat beberapa elemen yang perlu didiskusikan untuk diterapkan di Indonesia, antara lain sebagai berikut:

Tabel 3

HNWI berada pada kelas pemodal sehingga pengenaan Pajak Kekayaan ini tidak mempengaruhi pertumbuhan kekayaan HNWI ini menjadi negatif. DJP telah memperlihatkan upaya-upaya untuk mempermudah penerapan pemungutan Pajak Kekayaan dengan membangun sistem Coretax dan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang Automatic Exchange of Information (AEoI). Peran aktif Indonesia dalam G20 dan OECD merupakan juga langkah DJP kedepannya menerapkan Global Asset Registry (GAR) untuk mendata informasi kepemilikan aset lintas yurisdiksi. Tantangan DJP adalah resiko capital outflow apabila diterapkan Pajak Kekayaan ini.

Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Timur

Yolanda Ferida, S.Sos.,M.Ak

Email: ferida.yolanda@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis 

60 Tahun IKPI Dari Pendamping Wajib Pajak Hingga Pilar Penerimaan dan Kepatuhan Pajak Nasional

Di bulan Agustus yang termasuk bulan istimewa bagi bangsa Indonesia, tahun 2025 bertepatan dengan HUT 80 Tahun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan di bulan yang sama ada kisah menarik yaitu bertepatan juga dengan 60 tahun HUT Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI).

Tidak terasa 60 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 27 Agustus 1965, atas prakarsa J. Sopaheluwakan, Drs. A. Rahmat Abdisa, Erwin Halim, dan A.J.L. Loing dan Drs. Hidayat Saleh, yang saat itu menjabat Direktur Pembinaan Wilayah, Direktorat Jenderal Pajak ditunjuk selaku ketua Kehormatan.

Setelah terbentuk di tahun 1965, diadakan Kongres IKPI pertama kali yaitu pada tanggal 31 Oktober 1975 di Jakarta dengan menyepakati nama organisasi menjadi Ikatan Konsulen Pajak Indonesia. Selanjutnya melalui Kongres tanggal 21 Nopember 1987 di Bandung, nama organisasi diubah menjadi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia yang disingkat dengan IKPI sampai saat ini. Dan pada Kongres Pertama tersebut dipilih Drs. A.R Abdisa sebagai ketua umum, sejak pertama kali berdiri IKPI sudah melakukan kongres sebanyak 12 kali, hal ini menunjukkan roda organisasi berjalan dengan baik, walau diakui pada saat Kongres ke-11 tahun 2019 Di Malang telah terjadi gesekan yang cukup keras, dimana beberapa anggota keluar dari IKPI dan mendirikan asosiasi sejenis, namun setelahnya IKPI semakin dewasa menyikapi riak-riak pesta demokrasi 5 tahunan ini.

Usia 60 tahun bukan usia pendek bagi sebuah asosiasi profesi, IKPI telah melewati perjalanan panjang yang sarat dengan dinamika, tantangan, dan pencapaian. Perayaan 60 tahun ini bukan hanya ceremony belaka, tetapi yang paling penting ialah ajang refleksi untuk menatap masa depan yang penuh tantangan, apalagi saat ini semua negara memasuki era ekonomi digital yang batas-batas negara menjadi tidak jelas (borderless) dan di sisi lain penerimaan pajak menyumbang sekitar 75% penerimaan negara.

Sebagai asosiasi Konsultan Pajak yang tertua, dan terbesar dari sisi jumlah anggota, IKPI telah memainkan peran yang sangat penting dalam menjalankan fungsinya, tidak hanya membantu wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, tetapi sebagai mitra strategis Pemerintah dalam mendukung penerimaan negara. Dengan peran yang sangat strategis tersebut IKPI sebagai tonggak utama di dalam meningkatkan kepatuhan sukarela, atau dengan kata lain IKPI sebagai garda terdepan dalam kepatuhan pajak secara nasional.

Mau tidak mau, kita harus menerima kenyataan bahwa perekonomian global telah mengalami transformasi besar-besaran, hal ini dipicu semakin berkembangnya artificial intelligence (AI), big data, dan blockchain. Ahli ekonomi dunia Joseph Schumpeter mengungkapkan teori creative destruction (penghancuran kreatif), suatu teori yang menjelaskan mengenai pembongkaran praktik-praktik lama demi membuka jalan bagi inovasi dan dipandang sebagai kekuatan pendorong kapitalisme.

Schumpeter membuat teori kehancuran kreatif sebagai inovasi dalam proses manufaktur yang meningkatkan produktivitas, menggambarkannya sebagai “proses mutasi industri yang terus-menerus merevolusi struktur ekonomi dari dalam, tanpa henti menghancurkan sistem ekonomi” yang lama, terus-menerus menciptakan yang baru, namun prakteknya creative dectruction juga berkembang di bidang jasa dan teknologi bukan hanya di bidang manufaktur, dengan cara menawarkan produk atau jasa yang lebih mudah, lebih murah, dan lebih cepat, produk dan jasa tersebut dapat diakses secara real time tanpa dibatasi oleh jarak dan waktu sehingga hal tersebut mengubah total lanskap perekonomian dan persaingan antar negara, negara yang tidak bisa mengantisipasi perubahan tersebut akan tertinggal dan mati.

Di sisi lain, isu-isu baru seperti ekonomi digital lintas negara, pajak karbon, dan perpajakan internasional (BEPS, transfer pricing, global tax minimum dan AEOI) menuntut konsultan pajak untuk memperluas kompetensi dan wawasan globalnya.

Keterbukaan informasi perbankan baik di dalam negeri maupun antar negara mau tidak mau akan membuka kotak pandora mengenai kerahasian data perbankan, isu mengenai kerahasiaan perbankan sudah bukan tembok tebal bagi wajib pajak dalam upaya menghalangi otoritas pajak untuk dapat mengakses informasi keuangan, sehingga sudah waktunya baik wajib pajak maupun konsultan pajak untuk meninggalkan cara pandang lama, aplikasi coretax yang diluncurkan DJP di awal tahun 2025 menjadi contoh nyata begitu transparannya data-data keuangan wajib pajak.

Semua hal tersebut membuat hal-hal yang awalnya tidak terbayangkan menjadi kenyataan, keterbukaan informasi lintas negara, batasan mengenai domisili / tempat usaha menjadi tidak relevan lagi, kesepakatan multilateral (minimum global tax) untuk membatasi penghindaran pajak semakin menutup peluang bagi wajib pajak melakukan penghindaran, walau terpilihnya Presiden Donald Trump sedikit mengerem kesepakatan tersebut, karena sebagai negara no 1 di bidang ekonomi Amerika Serikat tentu mempunyai pengaruh yang signifikan bagi kesepakatan multilateral.

Pergeseran Peran Konsultan Pajak

Jika dahulu konsultan pajak identik dengan perhitungan, penyusunan laporan, serta pelaporan perpajakan dan kepatuhan administrative, maka dengan semakin dimudahkannya adminstrasi perpajakan ada kecenderungan wajib pajak lebih memilih untuk melakukan kewajiban perpajakannya sendiri, dengan perubahan lanskap system perpajakan tersebut, maka peran konsultan pajak dituntut menjadi penasihat strategis (strategic advisor) bagi dunia usaha, membantu klien tidak hanya patuh secara formal, tetapi juga mampu mengelola risiko pajak dalam konteks bisnis yang lebih luas.

Sehingga agar tetap eksis maka seorang konsultan pajak harus berubah dari sekedar compliance adviser menjadi business partner yang mendukung keputusan manajemen dan strategi perusahaan, dalam hal ini multi disiplin ilmu menjadi prasarat utama agar seorang konsultan pajak bisa berperan sebagai business partner.

Di tengah kompleksitas system perpajakan di Indonesia (malah di klaim sebagai system perpajakan paling rumit sedunia oleh salah seorang pejabat), maka integritas dan profesionalisme menjadi pondasi yang tidak bisa ditawar lagi. Seorang konsultan pajak tidak boleh dipandang sebagai pihak yang sekedar mencari celah untuk mengurangi kewajiban perpajakan (baik tax planning apalagi tax evasion) tetapi justru harus menjadi penjaga etika dan keadilan perpajakan, dengan menjunjung tinggi kode etik profesi, maka seorang konsultan pajak akan semakin dihormati tidak hanya oleh klien, tetapi juga oleh publik dan pemerintah.

Sebagai mitra strategis pemerintah, IKPI tidak hanya membantu Pemerintah dalam mengumpulkan pundi-pundi pajak negara melalui peran meningkatkan kepatuhan sukarela, namun IKPI harus juga menjadi mitra yang sejajar dan jika perlu mengingatkan Pemerintah secara professional dan sesuai keilmuannya mengenai keadilan, kepastian hukum, dan juga menjaga ekosistem perpajakan yang sehat, walaupun di sisi lain payung hukum setingkat Undang-Undang untuk profesi Konsultan Pajak masih menemui jalan yang terjal, dalam hal ini seharusnya Pemerintah melihat profesi konsultan pajak menjadi profesi yang harus dilindungi dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, karena perannya yang sangat vital bagi penerimaan negara.

Visi dan Harapan 60 Tahun ke Depan

Tentunya perjalanan yang cukup Panjang yang telah dilalui oleh IKPI menjadi bahan renungan untuk melihat visi dan harapan 60 tahun ke depan agar tujuan para founding father Indonesia yaitu menjadikan rakyat Indonesia mencapai adil dan Makmur segera terwujud, ada beberapa arah yang besar dan strategis yang harus ditempuh oleh setiap asosiasi profesi konsultan pajak di Indonesia, antara lain :

1. Penguatan kompetensi, sertifikasi dan integritas

Sumber daya manusia di profesi konsultan pajak harus terus diperbaharui agar mampu menghadapi kompleksitas perpajakan domestic dan juga global termasuk integritasnya.

2. Kolaborasi dengan Pemerintah khususnya DJP

Konsultan pajak yang menjadi mitra strategis, harus memaknai nya dalam perspektif mitra strategis yang aktif dan positif, artinya mendukung penerimaan negara dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum dan juga menjaga ekosistem yang kondusif.

3. Adaptasi teknologi khususnya artificial intelligent

Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas khususnya di bidang AI, big data, dan system perpajakan digital dengan tujuan memberikan layanan yang lebih efektif.

4. Membangun kepercayaan publik

Citra profesi harus ditingkatkan melalui integritas dan profesionalisme, seorang konsultan pajak tidak boleh menjadi bemper bagi klien nya yang tidak patuh, dia harus berdiri di posisi tengah untuk mengingatkan pentingnya kepatuhan sukarela sesuai peraturan yang berlaku.

Jika diibaratkan sebagai bangunan besar, maka periode enam puluh tahun pertama adalah pondasinya, enam puluh tahun ke depan adalah kesempatan untuk menjadikan profesi konsultan pajak bukan hanya sebagai penghitung angka-angka, tetapi menjadi profesi yang terhormat (officium nobile) baik posisinya sebagai mitra strategis bangsa dalam membangun keadilan pajak dan kemandirian ekonomi Indonesia juga sebagai intermediari wajib pajak.

Penulis adalah Ketua Departemen Penelitian dan Kebijakan Fiskal, IKPI

Pino Siddharta

Email: Pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Surat Ikatan Tugas: Perisai Hukum Konsultan Pajak di Era Transparansi

Dalam praktik perpajakan di Indonesia, hubungan antara konsultan pajak dan klien tidak cukup hanya didasarkan pada rasa percaya atau kesepakatan lisan semata. Diperlukan fondasi hukum yang jelas, tertulis, dan dapat dipertanggungjawabkan. Di sinilah pentingnya Surat Ikatan Tugas (SIT), sebuah dokumen formal yang menjadi jembatan perikatan hukum antara konsultan pajak dan wajib pajak (klien).

Surat Ikatan Tugas adalah perjanjian tertulis yang memuat lingkup pekerjaan, jangka waktu penyelesaian pekerjaan, hak dan kewajiban masing-masing pihak, serta dasar tarif jasa yang disepakati antara konsultan pajak dan kliennya. Meski kerap dianggap sebagai formalitas administratif, pada hakikatnya SIT adalah perangkat hukum yang mengikat secara kontraktual, yang bisa melindungi kedua belah pihak dari potensi sengketa di kemudian hari.

Dalam praktik yang ideal, SIT harus ditandatangani sebelum konsultan pajak mulai menjalankan tugas profesional, baik itu dalam hal kepatuhan pajak, pemeriksaan, keberatan, gugatan, maupun pendampingan di Pengadilan Pajak dan Mahkamah Agung.

Era modern perpajakan menuntut transparansi dan kepatuhan tidak hanya dari wajib pajak, tapi juga dari para profesional pajak yang mendampinginya. Dengan adanya Surat Ikatan Tugas, hak dan tanggung jawab profesional konsultan pajak dan klien menjadi terdokumentasi dan berimbang, sehingga seharusnya menghindari ruang abu-abu dan multi tafsir.

Dalam banyak kasus, bisa jadi klien tidak memahami secara utuh tugas dan batasan tanggung jawab konsultan pajak. Tanpa dokumen resmi seperti SIT, ketika terjadi masalah atau kasus, misalnya koreksi pajak besar atau temuan yang mengakibatkan hutang pajak yang signifikan, bisa saja kemudian klien menyalahkan konsultan pajak dan menuntut ganti rugi. Padahal, bisa jadi masalah terjadi karena ketidakterbukaan data dari pihak klien sendiri.

SIT adalah dokumen sebagai landasan hukum yang disepakati sejak awal antara konsultan pajak dan klien, antara lain mencakup: jenis pekerjaan atau layanan jasa, imbalan, tenggat waktu penyelesaian pekerjaan, kerahasiaan data, termin pembayaran, sampai sejauh mana tanggung jawab konsultan pajak atas laporan pajak klien. Disisi lain, klien juga harus mempunyai tanggung jawab atas keabsahan data dan informasi yang diberikan kepada konsultan selain kewajiban pembayaran imbalan kepada konsultan saat pekerjaan dilaksanakan atau saat pekerjaan selesai.

Melindungi Konsultan, Mendidik Klien

Bagi konsultan pajak, SIT adalah tameng hukum. Dalam pemeriksaan internal atau sengketa hukum, konsultan bisa menunjukkan bahwa semua tindakannya berada dalam batas tugas yang telah disepakati secara legal.

Sementara itu, bagi klien, adanya SIT mempertegas pentingnya jasa profesional yang berbasis kontrak antara pemberi jasa dan pengguna jasa, bukan hanya sekedar hubungan informal dan pertemanan semata. Dunia perpajakan adalah area yang sangat sensitif, dimana kesalahan kecil bisa berujung sanksi, denda, atau bahkan pidana. Oleh karenanya, keterlibatan konsultan pajak dalam pemberian jasa pendampingan kepada klien pun harus ditopang oleh dokumen perikatan hukum yang jelas.

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) sebagai organisasi profesi juga mewajibkan anggotanya membuat Surat Ikatan Tugas sebagai perikatan hukum yang disepakati ketika melakukan layanan pajak kepada klien. Ini sejalan dengan Kode Etik dan Standar Profesi IKPI yang mengutamakan profesionalisme dan integritas tinggi sebagai standar layanan terpercaya dan profesional.

Dengan adanya SIT, IKPI sebagai organisasi akan memberikan pendampingan hukum yang maksimal jika terjadi konflik antara konsultan dan klien. Tanpa SIT, perlindungan organisasi terhadap anggotanya pun menjadi lemah.

Sudah saatnya dunia konsultan pajak di Indonesia meninggalkan budaya lisan dan beralih ke budaya kontrak yang tertulis, profesional, dan terukur. Surat Ikatan Tugas bukan hanya selembar dokumen, tetapi manifestasi dari hubungan kerja yang bertanggung jawab, berbasis kepercayaan yang disertai kekuatan hukum.

Di tengah dinamisnya regulasi pajak yang berisiko kekeliruan dalam pemenuhan kewajiban pajak secara benar, SIT bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Untuk itu IKPI sebagai organisasi profesi dalam waktu dekat akan me- _release_ Surat Ikatan Tugas sebagai panduan untuk anggota dalam membuat dokumen perikatan hukum ketika melakukan jasa layanan pajak kepada klien.

Penulis adalah Ketua Departemen Sistem Pendukung Pengembangan Bisnis Anggota, IKPI

Donny Rindorindo

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Menelaah PMK 37/2025 dan Revolusi E-Commerce Indonesia

Benjamin Franklin pernah berkata bahwa dalam hidup ini hanya ada dua kepastian: kematian dan pajak. Namun di era digital saat ini, penulis menambahkan satu kepastian lagi perubahan. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025 yang mulai berlaku pada 14 Juli 2025 adalah manifestasi nyata dari kepastian perubahan tersebut.

Dua dekade pengalaman di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan lebih dari satu dekade berpraktik sebagai konsultan mengajarkan satu hal kepada penulis, kesenjangan antara perkembangan ekonomi dan evolusi sistem pajak seringkali menjadi sumber ketidakadilan yang sistematis. PMK 37/2025 lahir dari kesadaran bahwa dunia telah bermetamorfosis, sementara instrumen perpajakan kita masih terpaku pada kerangka konvensional.

Bayangkan seorang pedagang sepatu di Jalan Malioboro yang setiap hari membayar sewa kios lima juta rupiah per bulan, tunduk pada Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penghasilan, dan berbagai retribusi lainnya. Di sisi lain, pedagang sepatu daring dengan omzet setara dapat dengan mudah menghindari kewajiban perpajakan. Ini bukan lagi persoalan teknis—ini adalah persoalan keadilan fundamental dalam sistem ekonomi kita.

Data berbicara lebih tegas daripada argumen teoritis. Dari 1,6 juta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, hanya 653 ribu yang secara konsisten menyetorkan Pajak Penghasilan final pada tahun 2024. Sementara itu, nilai transaksi ekonomi digital Indonesia telah mencapai 487 triliun rupiah.

Inilah yang saya sebut sebagai “Paradoks Visibilitas Pajak” fenomena dimana aktivitas ekonomi raksasa berlangsung di luar jangkauan sistem perpajakan nasional.

Membedah Arsitektur Perubahan

PMK 37/2025 bukanlah sekadar penyesuaian regulasi biasa. Ini adalah intervensi bedah terhadap sistem yang tidak lagi sesuai dengan zamannya.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah perpajakan Indonesia, platform digital tidak lagi berperan sebagai “tempat berdagang” semata, tetapi berevolusi menjadi perpanjangan tangan Direktorat Jenderal Pajak di dunia maya. Tokopedia, Shopee, Lazada, dan platform sejenis kini menjadi agen resmi pemungut pajak negara.

Keputusan menunjuk penyedia platform perdagangan elektronik sebagai pemungut Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah langkah cemerlang. Mengapa demikian? Karena mereka menguasai tiga aset strategis: data transaksi real time, infrastruktur teknologi yang solid, dan yang terpenting posisi sebagai titik kontrol dalam aliran dana digital.

Formula Tarif yang Terukur

Penetapan tarif 0,5 persen bukan angka yang dipilih secara sembarangan. Ini merupakan hasil kalkulasi cermat antara optimalisasi penerimaan negara dan pemeliharaan daya saing industri digital domestik. Jika dibandingkan dengan India yang menerapkan tarif 1 persen atau Filipina dengan rentang 1-2 persen, Indonesia memilih jalan tengah yang bijaksana.

Dalam konteks margin keuntungan yang tipis di industri perdagangan elektronik Indonesia, tarif 0,5 persen masih berada dalam ambang batas yang dapat ditolerir mayoritas pelaku usaha tanpa memicu eksodus besar-besaran atau distorsi harga yang merugikan konsumen.

Pengecualian bagi pedagang orang pribadi dengan omzet tahunan hingga 500 juta rupiah bukan sekadar gestur politik kosong. Ini adalah kebijaksanaan kebijakan yang mengakui bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah adalah tulang punggung ekonomi rakyat yang perlu dilindungi sambil tetap didorong untuk berkembang dan berkontribusi.

Namun, seperti setiap narasi yang menarik, PMK 37/2025 memiliki aspek-aspek mengejutkan yang patut dicermati:

Pertama, regulasi ini memperluas definisi pedagang digital secara signifikan. Bukan hanya penjual barang, tetapi juga kurir, perusahaan asuransi, bahkan fotografer yang menawarkan jasa melalui platform. Ini adalah pendekatan ekosistem yang canggih dan komprehensif.

Kedua, persyaratan rekening penampung (escrow account) adalah langkah strategis yang brilian. Hanya platform dengan infrastruktur keuangan yang matang yang dapat ditunjuk sebagai pemungut. Ini secara tidak langsung mendorong profesionalisasi industri platform perdagangan elektronik.

Ketiga, penerapan secara bertahap menunjukkan pragmatisme pemerintah. Pengalaman internasional membuktikan bahwa pendekatan perubahan menyeluruh dalam reformasi perpajakan biasanya berakhir dengan kekacauan.

Sebagai mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang pernah menduduki posisi strategis mulai dari Pemeriksa Pajak hingga Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi, kemudian berpraktik sebagai konsultan independen sejak 2011, saya memiliki perspektif holistik dari berbagai sudut pandang.

Pengalaman 20 tahun di kantor pajak—mulai dari pemeriksaan langsung, penanganan keberatan dan banding, administrasi PPh Badan, hingga pengawasan dan konsultasi memberikan pemahaman komprehensif tentang seluk-beluk sistem perpajakan Indonesia. Sementara pengalaman lebih dari 13 tahun sebagai konsultan membuka wawasan tentang tantangan praktis yang dihadapi dunia usaha dalam pemenuhan kewajiban perpajakan.

Tidak semua penyedia platform memiliki sistem teknologi informasi yang siap untuk otomatisasi perpajakan. Integrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak, perhitungan pajak real time, dan pelaporan otomatis semua ini membutuhkan investasi teknologi yang substansial.

Dari pengalaman menangani banyak kasus pemeriksaan pajak, keberatan dan banding, serta mengawasi kepatuhan wajib pajak badan selama dua dekade di DJP, modul perpajakan mereka masih manual, pelaporan berbasis lembar kerja elektronik, dan rekonsiliasi dilakukan secara berkala. Bayangkan chaos yang akan terjadi jika mereka tiba-tiba harus mengelola kepatuhan pajak untuk ribuan pedagang.

Platform asing seperti AliExpress atau Amazon yang melayani konsumen Indonesia menghadapi dilema: patuh pada regulasi Indonesia atau mundur dari pasar. Mekanisme penegakan hukum terhadap platform luar negeri masih menjadi tanda tanya besar dalam implementasi regulasi ini.

Pertanyaan krusial yang harus dijawab: akankah pedagang mengalihkan beban pajak kepada konsumen? Elastisitas permintaan di sektor perdagangan elektronik relatif tinggi. Kenaikan harga 0,5 persen dapat bermakna signifikan dalam kategori produk tertentu, terutama yang bersaing ketat dalam hal harga.

Indonesia tidak berjalan sendiri dalam perjalanan ini. India dengan sistem Tax Collected at Source-nya, Inggris dengan Digital Services Tax, bahkan Uni Eropa dengan Digital Levy semua sedang bereksperimen dengan model perpajakan digital yang inovatif.

Pelajaran berharga yang dapat dipetik:

Dari India: Implementasi bertahap dengan ambang batas yang jelas lebih efektif dibandingkan penerapan menyeluruh sekaligus.

Dari Inggris: Political will yang kuat sangat esensial, tetapi konsultasi dengan industri sama pentingnya.

Dari Uni Eropa: Harmonisasi lintas rezim perpajakan berbeda dimungkinkan, tetapi memerlukan koordinasi yang luar biasa.

Indonesia mengambil jalan tengah: tidak seagresif India, tidak sekomprehensif Uni Eropa, tetapi lebih tegas dibanding mayoritas negara ASEAN.

Efek Domino di Luar Penerimaan Pajak

PMK 37/2025 akan memicu efek berantai yang melampaui sekadar pengumpulan penerimaan pajak:

Untuk pertama kalinya, pemerintah akan memiliki visibilitas real time terhadap ekonomi digital Indonesia. Ini adalah tambang emas informasi untuk pembuatan kebijakan ekonomi yang berbasis data empiris.

Pedagang akan dipaksa untuk menata rumah mereka: pembukuan yang proper, struktur bisnis yang legal, pola pikir kepatuhan. Ini adalah modernisasi paksa yang pada akhirnya menguntungkan semua pihak.

Platform akan berlomba mengembangkan solusi teknologi perpajakan. Kita mungkin akan menyaksikan lahirnya pemain teknologi finansial baru yang fokus pada otomatisasi perpajakan untuk usaha kecil dan menengah.

PMK 37/2025 adalah bukti konsep bahwa Indonesia mampu merumuskan kebijakan pajak digital yang canggih. Ini membuka jalan bagi kebijakan yang lebih maju di masa depan.

Panduan Strategis untuk Pemangku Kepentingan

Untuk Pemerintah: Imperatif Keunggulan Eksekusi

Berbekal pengalaman praktis dalam menangani berbagai sengketa pajak dan mengawasi kepatuhan korporasi, saya memahami betul bahwa kesuksesan suatu regulasi tidak hanya terletak pada kecanggihan rumusannya, tetapi pada kualitas implementasi di lapangan. PMK 37/2025 yang baik di atas kertas dapat menjadi kontraproduktif jika pelaksanaannya tidak mempertimbangkan realitas operasional.

Prioritas Utama Investasi besar-besaran dalam integrasi sistem dan kemampuan analisis data.

Prioritas Kedua: Membentuk gugus tugas khusus untuk menangani proses onboarding platform.

Prioritas Ketiga: Mengembangkan program edukasi komprehensif, bukan sekadar sosialisasi.

Untuk Platform: Mengubah Kepatuhan Menjadi Keunggulan Kompetitif

Platform yang cerdas akan melihat ini sebagai peluang, bukan beban.

Strategi Pertama: Mengembangkan alat otomatisasi perpajakan superior yang dapat menjadi daya tarik bagi pedagang.

Strategi Kedua: Menciptakan layanan konsultasi pajak sebagai penawaran nilai tambah.

Strategi Ketiga: Menggunakan keunggulan kepatuhan sebagai sinyal kepercayaan kepada pengguna.

Untuk Pedagang: Keharusan untuk Adaptasi

Charles Darwin benar, yang bertahan bukan yang terkuat atau terpintar, tetapi yang paling responsif terhadap perubahan.

Taktik Pertama: Audit model bisnis dan struktur biaya segera.

Taktik Kedua: Investasi dalam sistem akuntansi yang proper dan perangkat kepatuhan pajak.

Taktik Ketiga: Pertimbangkan strategi perencanaan pajak yang legitimate dan menguntungkan.

PMK 37/2025 adalah babak pertama dari cerita transformasi yang lebih besar. Kemana arah selanjutnya?

Jangka Pendek (1-2 tahun): Fokus pada implementasi dan penyempurnaan. Bersiaplah untuk penyesuaian berdasarkan bukti empiris dari lapangan.

Jangka Menengah (3-5 tahun): Ekspansi ke pajak layanan digital, kemungkinan Pajak Pertambahan Nilai atas produk digital, integrasi dengan inisiatif pajak global.

Jangka Panjang (5+ tahun): Sistem pajak yang sepenuhnya otomatis dan didukung kecerdasan buatan yang mampu melakukan penilaian dan monitoring kepatuhan secara real time.

PMK 37/2025 adalah momen bersejarah dalam evolusi perpajakan Indonesia. Ini bukan sekadar penyesuaian teknis—ini adalah pergeseran paradigma menuju sistem pajak yang modern, responsif, dan berkeadilan.

Bagi mereka yang siap beradaptasi, ini adalah peluang emas. Bagi yang enggan berubah, ini bisa menjadi ancaman eksistensial.

Yang pasti, kereta perubahan sudah bergerak. Pertanyaannya bukan apakah kita setuju atau tidak, tetapi seberapa cepat kita dapat naik dan memanfaatkannya sebaik-baiknya.

Seperti selalu dalam dunia perpajakan: perubahan adalah satu-satunya konstanta. PMK 37/2025 adalah pengingat bahwa dalam ekonomi digital yang bergerak cepat, kebijakan pajak harus sama gesit dan berwawasan ke depan.

Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Selatan

DR. Wiston Manihuruk, SE, SH, MSi, CA, CTL

Email : wistonmlg@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

Tindak Pidana Perpajakan Di Era KUHP Nasional

Salah satu hal yang paling dihindari oleh Konsultan Pajak adalah terlibat dalam tindak pidana perpajakan. Sekalipun Konsultan Pajak dengan kliennya didasari oleh hubungan keperdataan, Konsultan Pajak tidak terlepas dari ancaman sanksi pidana perpajakan ketika menjalankan hak dan pemenuhan kewajiban pajak kliennya. Pasal 43 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) menyebutkan:

“(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.”

Lebih lanjut Penjelasan Pasal 43 ayat 1 UU KUP menjelaskan:

“Yang dipidana karena melakukan perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan tidak terbatas pada Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, kuasa Wajib Pajak, pegawai Wajib Pajak, Akuntan Publik, Konsultan Pajak, atau pihak lain, tetapi juga terhadap mereka yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.”

Sebagaimana disebutkan Pasal 43 UU KUP di atas, Konsultan Pajak merupakan salah satu pihak yang terancam dikenakan sanksi pidana dalam hal terbukti melanggar Pasal 39, 39A, 41, dan 41B UU KUP. Pasal 43 ayat 1 UU KUP menyebutkan terdapat 5 (lima) peran yang diancam sanksi pidana, peran-peran tersebut yaitu:

1. Pihak yang melakukan;

2. Pihak yang menyuruh melakukan;

3. Pihak yang turut serta melakukan;

4. Pihak yang menganjurkan;

5. Pihak yang membantu melakukan;

Tindak pidana di bidang perpajakan.

Kelima peran di atas dikenakan sanksi pidana jika terbukti melanggar Pasal 39 dan Pasal 39A UU KUP, sedangkan Pasal 43 ayat 2 UU KUP menyebutkan 3 (tiga) peran yaitu pihak yang menyuruh melakukan, pihak yang menganjurkan, dan pihak yang membantu melakukan dikenakan sanksi pidana jika terbukti melanggar Pasal 41A dan Pasal 41B UU KUP disamping pelakunya itu sendiri. Pasal 43 UU KUP tersebut menyamaratakan ancaman sanksi pidana, baik terhadap pelaku maupun terhadap peran yang turut serta atau yang turut membantu melakukan tindak pidana. Hal tersebut tentunya sangat memberatkan bagi Konsultan Pajak yang sehari-hari menjalankan hak dan pemenuhan kewajiban pajak kliennya. Sewaktu-waktu Konsultan Pajak dapat terseret baik sebagai pelaku maupun sebagai penyerta atau pembantu dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 39, 39A, 41A dan Pasal 41B UU KUP.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) yang berlaku efektif pada 2 Januari 2026 mendatang, pada akhirnya akan menyudahi penyamarataan sanksi pidana yang selama ini diatur dalam Pasal 43 UU KUP. Bab XXXVI Ketentuan Peralihan Pasal 613 KUHP Nasional menyebutkan bahwa:

“(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, setiap Undang-Undang dan Peraturan Daerah yang memuat ketentuan pidana harus menyesuaikan dengan ketentuan Buku Kesatu Undang-Undang ini.

(2) Ketentuan mengenai penyesuaian ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Undang-Undang.

Penjelasan:

Dalam ketentuan ini, penyesuaian ketentuan pidana tidak termasuk bagi ancaman pidana denda yang diatur dalam Undang-Undang Pidana Administratif.”

Jika merujuk pada Pasal 613 ayat 1 KUHP Nasional di atas, maka ketentuan Pasal 43 UU KUP yang menyamaratakan ancaman sanksi pidana terhadap pelaku maupun peran yang turut serta atau yang turut membantu melakukan tindak pidana wajib disesuaikan dengan ketentuan Buku Kesatu KUHP Nasional. Sesuai amanah Penjelasan Pasal 613, penyesuaian ancaman sanksi pidana tersebut tidak mencakup pidana denda. Dengan demikian ancaman sanksi pidana denda dalam Pasal 39, 39A, 41A, 41B UU KUP yang diberlakukan terhadap penyerta dan pembantu tidak mengalami penyesuaian.

Buku Kesatu KUHP Nasional, khususnya Pasal 20 mengatur mengenai penyertaan dan Pasal 21 mengatur mengenai pembantuan tindak pidana. KUHP Nasional membedakan ancaman sanksi pidana dalam penyertaan dengan ancaman sanksi pidana dalam pembantuan. Ancaman sanksi pidana dalam penyertaan diperlakukan sama dengan pelaku tindak pidana, sedangkan ancaman sanksi pidana dalam pembantuan adalah paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari maksimum ancaman pidana pokok. Dengan demikian setelah KUHP Nasional berlaku efektif, maka ancaman maksimum sanksi pidana pokok bagi pihak yang membantu melakukan tindak pidana Pasal 39, Pasal 39A, Pasal 41A dan Pasal 41B UU KUP adalah menjadi sebagai berikut:

Adanya penyesuaian ancaman maksimum pidana pokok di atas, tentunya merupakan suatu hal yang meringankan baik bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana pihak yang membantu melakukan tindak pidana tersebut. Sesuai dengan Asas Lex Favor Reo (asas yang menetapkan bahwa sanksi diterapkan berdasarkan hukuman yang paling ringan ketika terjadi perubahan ketentuan hukum yang berlaku) yang menjiwai Pasal 3 KUHP Nasional, maka sanksi pidana yang disangkakan, dituntut dan dijalani harus disesuaikan dan didasarkan pada aturan pidana yang paling meringankan bagi pihak yang diduga, dituntut bahkan yang sedang menjalani sanksi pidana turut membantu tindak pidana tersebut.

 

 

Demikian benang merah perlakuan sanksi pidana pada pasal penyertaan dan pembantuan tindak pidana perpajakan di era KUHP Nasional yang penulis sampaikan. Semoga tulisan yang jauh dari kata sempurna ini dapat bermanfaat bagi rekan-rekan Konsultan Pajak seprofesi. Teriring harapan agar profesi Konsultan Pajak segera memiliki payung hukum Undang-Undang yang memberikan perlindungan (imunitas) terhadap para Konsultan Pajak yang menjalankan hak dan pemenuhan kewajiban pajak kliennya dengan itikad baik.

 

 

Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Kota Bandung

Hari Yanto

Email: hari_yanto_sh@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Migrasi Digital Startup Indonesia : Tinjauan Perencanaan Pajak di Balik Perpindahan ke Singapura

Tahun 2025 menjadi titik balik penting dalam lanskap ekonomi digital Indonesia ketika Traveloka salah satu perusahaan unicorn kebanggaan nasional secara resmi memindahkan kantor pusatnya ke Singapura. Keputusan ini tidak berdiri sendiri. Dalam kurun waktu satu dekade terakhir, telah terjadi gelombang perpindahan yang sistematis oleh sejumlah perusahaan teknologi Indonesia ke negeri tetangga tersebut. Gojek, Tokopedia, Bukalapak, dan kini Traveloka, telah mengalihkan domisili hukum mereka ke Singapura.

Sebagai profesional di bidang perpajakan internasional yang telah menangani restrukturisasi lintas yurisdiksi selama lebih dari sepuluh tahun, penulis menilai bahwa fenomena ini merupakan refleksi dari meningkatnya persaingan antarnegara dalam merebut basis pajak di era ekonomi digital. Meskipun alasan yang sering dikemukakan adalah “akses terhadap pendanaan global” atau “perluasan pasar,” terdapat pula strategi perencanaan pajak yang kompleks dan sistematis di balik keputusan ini.

Struktur Perpindahan: Lebih dari Sekadar Relokasi Fisik

Polanya relatif seragam, perusahaan-perusahaan ini tetap menjalankan kegiatan usaha dan operasional di Indonesia. Traveloka, misalnya, masih mengelola sekitar 2.000 karyawan di kawasan BSD—namun mereka memindahkan entitas induk (holding company) ke Singapura. Ini bukan relokasi usaha dalam pengertian konvensional, melainkan perombakan struktur korporasi yang dirancang secara cermat.

Dalam dunia perpajakan internasional, ini disebut sebagai bentuk “migrasi korporasi yang didorong oleh motif pajak” (tax-driven corporate migration). Kegiatan usaha tetap di Indonesia, namun kedudukan hukum berpindah ke yurisdiksi yang memberikan beban pajak lebih ringan. Tidak mengherankan bila dalam laporan resmi Google-Temasek, sejumlah unicorn asal Indonesia kini dikategorikan sebagai entitas asal Singapura menunjukkan bahwa secara hukum dan administratif, migrasi ini telah rampung.

Pemilihan Waktu yang Tepat

Yang menarik, keputusan relokasi dilakukan pada saat perusahaan telah menunjukkan kinerja keuangan yang stabil dan mendekati rencana penawaran saham perdana (IPO). Dalam praktik perencanaan pajak, momentum ideal untuk migrasi korporasi adalah ketika perusahaan telah mencapai kematangan finansial namun belum melakukan peristiwa likuiditas besar seperti IPO atau merger dan akuisisi (M&A).

Singapura menawarkan banyak keunggulan bagi perusahaan yang ingin berkembang secara global. Sebagai pusat keuangan utama di Asia, negara ini memiliki sistem hukum yang berbasis common law, regulasi yang stabil, dan rekam jejak yang kuat dalam mendukung IPO besar. Domisili di Singapura mempermudah akses terhadap investor institusional dan memperkecil biaya pendanaan.

Skema dual listing yang memungkinkan pencatatan saham di Singapura dan Jakarta secara bersamaan juga memberikan fleksibilitas yang lebih besar dibandingkan apabila perusahaan tetap berdomisili di Indonesia.

Perluasan ke Kawasan Regional

Secara geografis dan strategis, Singapura merupakan lokasi ideal untuk ekspansi ke kawasan Asia Tenggara. Dengan lebih dari 80 perjanjian pajak berganda (P3B), Singapura menyediakan struktur fiskal yang lebih efisien untuk ekspansi lintas batas tanpa terbebani pajak potong yang tinggi.

Selain dari sisi pajak, perusahaan juga mempertimbangkan aspek regulasi. Singapura dikenal dengan efisiensi birokrasi, kepastian hukum yang tinggi, serta kebijakan yang mendukung kegiatan usaha secara konsisten. Dalam industri teknologi yang sangat dinamis, stabilitas regulasi menjadi keunggulan tersendiri.

Jika kita telaah lebih dalam, motivasi perpindahan ini banyak dipengaruhi oleh pertimbangan perpajakan. Berikut adalah beberapa komponen utama strategi pajak yang digunakan:

1. Arbitrase Tarif Pajak Penghasilan Badan

Meskipun selisih tarif pajak antara Indonesia (22%) dan Singapura (17%) tampak kecil, lima persen perbedaan ini sangat signifikan bagi perusahaan yang memiliki laba tahunan besar. Misalnya, untuk laba sebesar US$100 juta, selisih ini berarti penghematan pajak hingga US$5 juta per tahun.

Singapura juga menawarkan berbagai insentif pajak, seperti Skema Pembebasan Pajak Startup (SUTE) yang memberikan pembebasan pajak penuh atas S$100.000 pertama dan 50% pembebasan atas S$200.000 berikutnya dalam tiga tahun pertama.

2. Optimalisasi Pajak atas Keuntungan Modal

Salah satu alasan terkuat untuk relokasi adalah karena Singapura tidak mengenakan pajak atas capital gains dari penjualan saham. Sebaliknya, Indonesia mengenakan pajak final sebesar 5% bagi entitas asing. Sebagai contoh, jika pendiri Traveloka menjual saham senilai US$1 miliar, mereka akan membayar US$50 juta di Indonesia, sedangkan di Singapura: nol.

3. Pengelolaan Pajak Dividen

Struktur holding di Singapura memungkinkan penghematan pajak atas dividen dari anak perusahaan di Indonesia. Berdasarkan P3B Indonesia–Singapura, tarif potongan pajak atas dividen dapat ditekan menjadi 10% atau 15%, tergantung persentase kepemilikan saham.

Selain dividen, repatriasi laba juga bisa dilakukan melalui pembayaran royalti, jasa manajemen, atau pinjaman antar perusahaan, dengan tarif pajak yang lebih optimal.

4. Struktur Pajak Internasional yang Lebih Kompleks

Dengan menjadi entitas hukum di Singapura, perusahaan memiliki fleksibilitas untuk menyusun struktur pajak internasional yang lebih efisien. Contohnya, untuk ekspansi ke negara-negara seperti Thailand atau Vietnam, repatriasi laba melalui Singapura akan dikenakan pajak lebih rendah dibandingkan langsung ke Indonesia.

Aset kekayaan intelektual (intellectual property) yang sering kali menjadi nilai utama dalam perusahaan teknologi dapat dialihkan ke entitas induk di Singapura. Anak perusahaan di Indonesia kemudian membayar royalti, sehingga laba dipindahkan dari yurisdiksi pajak tinggi ke yang lebih rendah.

Fungsi seperti manajemen risiko, perencanaan keuangan, litbang, hingga pembiayaan, dapat dikonsentrasikan di Singapura. Entitas di Indonesia akan membayar jasa atas fungsi-fungsi tersebut, menciptakan pengalihan laba secara sah.

Holding company di Singapura dapat memberikan pinjaman kepada anak perusahaan di Indonesia, sehingga pendapatan bunga dikenakan pajak lebih rendah. Dengan struktur yang sesuai dan kepatuhan terhadap ketentuan thin capitalization, skema ini menjadi mekanisme pengalihan laba yang efektif.

Meski strategi ini sah secara hukum, risiko tetap ada. Otoritas pajak Indonesia kini semakin canggih dalam mengidentifikasi dan menindak praktik penghindaran pajak yang agresif, termasuk melalui penerapan inisiatif BEPS (Base Erosion and Profit Shifting) serta penguatan aturan transfer pricing.

Tren global saat ini mengarah pada pajak berbasis substansi nyata. Sekadar memindahkan alamat hukum tidak lagi cukup perusahaan harus menunjukkan aktivitas bisnis riil, keputusan strategis, dan kehadiran operasional yang valid di Singapura.

Respons Pemerintah Indonesia

Pemerintah Indonesia mulai merancang kebijakan baru, seperti pajak atas layanan digital, penguatan definisi beneficial ownership, serta revisi perjanjian pajak internasional. Langkah-langkah ini dapat mengurangi efektivitas strategi migrasi yang berbasis pajak.

Jika fungsi manajemen dan strategis berpindah ke luar negeri, Indonesia berisiko kehilangan tenaga kerja terampil dalam jumlah besar terutama di bidang manajerial dan pengambilan keputusan.

Pusat pengambilan keputusan biasanya menjadi motor penggerak inovasi, kemitraan strategis, dan pengembangan ekosistem. Perpindahan ini berpotensi menghambat visi Indonesia menjadi pusat digital di kawasan.

Keberhasilan awal pelaku migrasi dalam mengoptimalkan struktur pajak dapat memicu perusahaan lain untuk mengikuti jejak serupa, memperluas skala eksodus digital dari tanah air.

Sebagai praktisi di bidang ini, penulis menyarankan agar pemerintah Indonesia mempertimbangkan langkah-langkah berikut:

Menurunkan tarif pajak penghasilan badan ke tingkat 17–19% serta memberikan insentif bagi sektor teknologi agar Indonesia tetap kompetitif.

Penerapan aturan Controlled Foreign Corporation (CFC), pelaksanaan penuh rekomendasi BEPS, serta penegakan transfer pricing secara ketat.

Menegosiasikan ulang P3B dengan memasukkan klausul anti-penyalahgunaan, persyaratan substansi minimum, dan mekanisme pertukaran informasi yang lebih efektif.

Menyusun paket insentif investasi yang menarik khususnya bagi perusahaan teknologi yang berkomitmen menjalankan kegiatan operasional substansial di Indonesia.

Fenomena perpindahan startup Indonesia ke Singapura harus menjadi peringatan serius bagi para pembuat kebijakan. Dalam ekonomi digital yang sangat mobile, negara tidak hanya perlu menarik investasi asing, tetapi juga mempertahankan perusahaan dalam negeri yang telah tumbuh.

Strategi perencanaan pajak yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan tersebut memang sah dan dirancang dengan cermat. Namun, dengan arah kebijakan global menuju tarif minimum dan pembatasan agresivitas skema pajak, ruang untuk melakukan perencanaan pajak agresif semakin menyempit.

Indonesia berada pada titik krusial: melakukan reformasi untuk tetap relevan, atau kehilangan lebih banyak perusahaan unggulan nasional ke yurisdiksi yang lebih efisien secara pajak.

Akhirnya, isu ini bukan hanya soal penerimaan negara, tetapi tentang kemampuan Indonesia dalam membina dan mempertahankan perusahaan inovatif yang akan menjadi pendorong transformasi ekonomi di masa depan.

Penulis adalah Anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Selatan

DR. Wiston Manihuruk, SE, SH, MSi, CA, CTL

Email : wistonmlg@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PPN Ditanggung Pemerintah untuk Rumah: Benarkah Impian Jadi Nyata, atau Ada “Jebakan” Lain?

Pernahkah Anda membayangkan membeli rumah impian tanpa harus membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang biasanya sebesar 11% itu? Sejak awal tahun 2025, Pemerintah Indonesia kembali meluncurkan program PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) 100% untuk pembelian rumah, melalui PMK 13/2025. Program ini digadang-gadang sebagai angin segar bagi pasar properti dan calon pembeli. Tapi, seberapa efektifkah program ini di lapangan? Mari kita bedah bersama!

Angin Segar di Tengah Badai Harga

Tujuan utama pemerintah memberikan insentif PPN DTP ini sebenarnya mulia:

1. Mendorong Penjualan Rumah: Bayangkan, harga rumah yang sudah mahal dipangkas lagi 11% (dari PPN)! Ini jelas bikin orang lebih semangat beli.

2. Meringankan Dompet Pembeli: Uang yang seharusnya buat bayar PPN, bisa dialokasikan untuk cicilan, renovasi kecil, atau bahkan beli perabotan baru. Lumayan banget, kan?

3. Memutar Roda Ekonomi: Kalau penjualan rumah naik, otomatis industri lain seperti semen, besi, keramik, sampai tukang bangunan ikut sibuk. Ekonomi jadi bergerak!

Realita di Lapangan: Siapa yang Paling Merasakan Manfaatnya?

Berdasarkan pengamatan hingga Juli 2025, program PPN DTP 100% ini memang berhasil menciptakan kehebohan di pasar properti.

Contoh Nyata: Banyak pengembang melaporkan penjualan rumah menengah (misalnya, harga Rp 500 juta – Rp 2 miliar) melonjak drastis. Ada pengembang di Tangerang yang bilang penjualan klaster rumah Rp 1,5 miliar mereka naik 35% gara-gara insentif ini. Pembeli seperti Bapak Budi, seorang karyawan swasta, mengaku sangat terbantu. “Uang PPN Rp 180 juta yang seharusnya saya bayar, sekarang bisa dipakai buat renovasi dapur impian,” ujarnya bersemangat.

Namun, ada juga sisi lain yang perlu dicermati:

• Hanya untuk yang “Mampu”: Insentif ini memang manis, tapi hanya berlaku untuk rumah dengan harga tertentu. Rumah yang terlalu mewah (di luar batas harga insentif) atau rumah subsidi yang memang sudah bebas PPN, tidak merasakan efek langsung dari program ini. Jadi, manfaatnya lebih terasa di segmen menengah ke atas.

• Suku Bunga KPR Tetap Jadi Momok: PPN sudah gratis, tapi bagaimana dengan bunga KPR (Kredit Pemilikan Rumah) yang kadang masih terasa tinggi? Banyak calon pembeli, meskipun senang dengan PPN DTP, masih mikir dua kali karena khawatir dengan cicilan bulanan yang bisa naik turun mengikuti suku bunga bank. “Meski PPN gratis, bunga KPR yang fluktuatif bikin deg-degan juga,” keluh seorang calon pembeli lain.

• Belum Sentuh Akar Masalah MBR: Kalau bicara masalah “backlog” atau kekurangan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), program PPN DTP ini belum sepenuhnya menjawab. MBR biasanya butuh rumah bersubsidi yang harganya jauh lebih terjangkau dan sudah bebas PPN dari awal. Jadi, insentif ini lebih banyak membantu masyarakat menengah yang membeli rumah komersial, bukan mereka yang paling membutuhkan rumah pertama.

Jadi, Impian Jadi Nyata atau Ada “Jebakan” Lain?

Pemberian insentif PPN DTP 100% adalah langkah positif dari pemerintah untuk merangsang sektor properti dan membantu sebagian masyarakat memiliki rumah impiannya. Bagi mereka yang memang sudah mengincar rumah di segmen harga yang mendapatkan insentif, ini jelas anugerah. Uang yang dihemat bisa dipakai untuk kebutuhan lain, dan ini mendorong mereka untuk segera mengambil keputusan.

Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa insentif ini punya batasnya. Ini bukanlah solusi tunggal untuk semua masalah perumahan di Indonesia, terutama bagi mereka yang paling membutuhkan rumah subsidi. Selain itu, faktor-faktor lain seperti suku bunga bank dan kemampuan cicilan bulanan masih menjadi penentu utama bagi banyak orang dalam membeli rumah.

Intinya, PPN DTP 100% ini adalah vitamin penyemangat bagi pasar properti, bukan obat mujarab yang menyembuhkan semua penyakit. Ini membantu, tapi kita tetap perlu program-program lain yang lebih merata dan menyentuh semua lapisan masyarakat agar impian memiliki rumah benar-benar bisa terwujud bagi seluruh rakyat Indonesia.

Penulis adalah anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Sidoarjo

Muhammad Ikmal

Email: ikmal.patarai@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

Memahami PMK 37 Tahun 2025 untuk UMKM dan Platform Digital

Ekonomi digital terus bertumbuh pesat di Indonesia, dengan UMKM menjadi salah satu penggerak utamanya. Seiring dengan perkembangan ini, pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menerbitkan regulasi terbaru untuk memastikan keadilan dan kepatuhan perpajakan di ranah digital. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, yang diundangkan pada 11 Juni 2025, menjadi sorotan penting bagi para pelaku usaha, khususnya UMKM, serta platform perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE).

PMK 37 Tahun 2025 ini secara spesifik mengatur penunjukan Pihak Lain sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pedagang Dalam Negeri melalui sistem elektronik. Ini adalah langkah maju pemerintah dalam menyederhanakan dan mengoptimalkan pemungutan pajak di era digital.

Siapa Pihak Lain yang Ditunjuk?

Berdasarkan PMK ini, “Pihak Lain” adalah pihak yang ditunjuk Menteri Keuangan sebagai pemungut PPh Pasal 22. Penunjukan ini mewajibkan platform e-commerce untuk memungut PPh Pasal 22 atas transaksi yang terjadi di platform mereka.

Pentingnya PPh Pasal 22 dalam Transaksi E-commerce

PPh Pasal 22 adalah pajak penghasilan yang dipungut oleh pihak tertentu sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang atau kegiatan usaha. Dalam konteks e-commerce, PMK 37 Tahun 2025 menjelaskan bagaimana PPh Pasal 22 ini diberlakukan:

• Pungutan oleh Pihak Lain: Platform e-commerce yang ditunjuk wajib menyetor PPh Pasal 22 yang telah dipungut dalam setiap Masa Pajak ke kas negara.

• Pelaporan Informasi: Selain penyetoran, Pihak Lain juga wajib menyampaikan informasi transaksi dan PPh Pasal 22 yang telah dipungut kepada Direktur Jenderal Pajak. Informasi ini mencakup detail pedagang, data omzet, hingga informasi pembeli barang/jasa. Pelaporan ini menjadi lampiran dari Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.

• Sanksi Kepatuhan: Jika Pihak Lain tidak memenuhi kewajiban pemungutan, penyetoran, dan pelaporan, mereka dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan dan penyelenggara sistem elektronik.

Dampak bagi Pedagang Dalam Negeri (UMKM)

Bagi UMKM sebagai Pedagang Dalam Negeri, PMK ini membawa beberapa poin penting:

• Kriteria Peredaran Bruto Rp500 Juta: PMK ini memperkenalkan ambang batas peredaran bruto. Pedagang Dalam Negeri yang memiliki peredaran bruto pada Tahun Pajak berjalan sampai dengan Rp500.000.000,00 dapat menyampaikan surat pernyataan kepada Pihak Lain. Jika batas ini terlampaui, pedagang harus mulai mempersiapkan diri untuk skema perpajakan yang berbeda.

• PPh Pasal 22 Sebagai Pembayaran di Muka atau Final: PPh Pasal 22 yang tercantum dalam dokumen pembetulan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran PPh dalam tahun berjalan, atau menjadi bagian dari pelunasan PPh yang bersifat final, bagi Pedagang Dalam Negeri yang dikenai PPh final.

• Contoh Penerapan:

• Pengecualian PPh 0,5% bagi UMKM di Bawah Rp500 Juta: Jika Tuan WY memiliki peredaran bruto di bawah Rp500 juta dan telah menyampaikan surat pernyataan, marketplace tidak melakukan pemungutan PPh Pasal 22 atas penjualannya. Namun, jika omzetnya kemudian melebihi batas tersebut, pemungutan PPh 0,5% akan mulai diberlakukan.

• Pajak Jasa Pengiriman dan Asuransi: PMK ini juga mengatur pemungutan PPh Pasal 22 atas penghasilan dari jasa pengiriman dan asuransi yang difasilitasi oleh platform e-commerce. Tarif yang dikenakan adalah 0,5%.

• Jasa Sewa atau Lainnya: Transaksi lain seperti persewaan ruangan juga dapat dikenakan PPh Pasal 22 sebesar 0,5%, yang merupakan bagian dari pelunasan PPh final atas persewaan tanah dan/atau bangunan. Pedagang masih memiliki kewajiban untuk menyetor kekurangan PPh final dan melaporkannya.

• Pengecualian Khusus: Beberapa jenis transaksi, seperti penjualan pulsa, tidak dikenakan pemungutan PPh Pasal 22 berdasarkan PMK ini. Demikian pula dengan jasa angkutan oleh mitra perusahaan aplikasi berbasis teknologi.

Transisi dan Kesiapan UMKM

Ketentuan mengenai penyampaian informasi untuk Tahun Pajak 2025 paling lama disampaikan 1 bulan terhitung sejak penunjukan Pihak Lain sebagai pemungut pajak. Ini berarti UMKM memiliki waktu untuk beradaptasi dan memastikan pencatatan omzet mereka rapi.

Langkah ke Depan bagi UMKM

• Konsolidasi Data Omzet: Penting bagi UMKM untuk mencatat semua penjualan dari berbagai platform digital ke dalam satu sistem pembukuan terpusat. Ini krusial untuk perhitungan PPh Final 0,5% dan untuk melacak status peredaran bruto terhadap batas Rp500 juta.

• Pahami Batas Omzet dan Laporkan: Jika omzet Anda mendekati atau melebihi Rp500 juta, segera siapkan diri untuk skema perpajakan yang berbeda (Pajak Penghasilan Umum) dan pertimbangkan bantuan akuntan. Pastikan untuk menyampaikan surat pernyataan yang sesuai kepada platform.

• Manfaatkan Fitur Platform: Beberapa platform e-commerce dan aplikasi pembayaran digital mulai menyediakan fitur laporan transaksi yang dapat mempermudah perhitungan pajak. Manfaatkan fitur ini semaksimal mungkin.

• Pantau Informasi Resmi DJP: Tetaplah aktif mencari informasi terbaru dari situs web pajak.go.id, media sosial resmi DJP, atau konsultasi ke KPP terdekat mengenai insentif atau program keringanan pajak yang sedang berlaku.

Dengan pemahaman yang baik tentang PMK 37 Tahun 2025, UMKM dapat beroperasi dengan lebih tenang dan patuh dalam lingkungan ekonomi digital yang terus berkembang. Regulasi ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menciptakan ekosistem perpajakan yang lebih terstruktur dan adil bagi semua pelaku ekonomi.

Penulis adalah Anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Sidoarjo

Muhammad Ikmal

Email: ikmal.patarai@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

Format SPT Tahunan Orang Pribadi Pasca Ditetapkan PER-11/PJ/2025

Sebelum ditetapkannya Peraturan Dirjen Pajak Nomor 11 Tahun 2025 (selanjutnya disebut PER-11/PJ/2025) Format SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi diklasifikasikan menjadi 3 jenis yaitu : SPT Tahunan Orang Pribadi 1770, 1770 S dan 1770SS yang mana penentuan terhadap jenisnya berdasarkan dari jumlah penghasilan dan/ atau jenis usahanya. Pasca penetapan PER-11/PJ/2025 pada tanggal 22 Mei 2025 mengakibatkan adanya perubahan jenis-jenis pajak, salah satunya mengenai format SPT Tahunan Orang Pribadi dimana berdasarkan PER ini sudah tidak ada pengklasifikasian lagi, singkatnya hanya terdapat 1 jenis format SPT Tahunan Orang Pribadi.

Adapun sistematika SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi terdiri dari 33 bagian meliputi:

  1. Induk
  2. Lampiran 1 Bagian A: Harta pada Akhir Tahun Pajak
  3. Lampiran 1 Bagian B: Utang pada Akhir Tahun Pajak
  4. Lampiran 1 Bagian C: Daftar Anggota Keluarga yang Menjadi Tanggungan
  5. Lampiran 1 Bagian D: Penghasilan Neto Dalam Negeri dari Pekerjaan
  6. Lampiran 1 Bagian E: Daftar Bukti Pemotongan/Pemungutan PPh
  7. Lampiran 2 Bagian A: Penghasilan yang Dikenakan Pajak Bersifat Final
  8. Lampiran 2 Bagian B: Penghasilan Tidak Termasuk Objek Pajak
  9. Lampiran 2 Bagian C: Penghasilan Neto Luar Negeri
  10. Lampiran 3A-1: Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Sektor Usaha Dagang)
  11. Lampiran 3A-2: Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Sektor Usaha Jasa)
  12. Lampiran 3A-3: Rekonsiliasi Laporan Keuangan (Sektor Usaha Industri)
  13. Lampiran 3A-4 Bagian A: Penghasilan Neto Dalam Negeri dari Usaha dan/atau Pekerjaan Bebas Berdasarkan Pencatatan
  14. Lampiran 3A-4 Bagian B: Penghasilan Neto Dalam Negeri Lainnya
  15. Lampiran 3B Bagian A: Rekapitulasi Peredaran Bruto Untuk WP OP yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang Dikenakan Pajak Bersifat Final
  16. Lampiran 3B Bagian B: Rekapitulasi Peredaran Bruto untuk WP OPPT
  17. Lampiran 3B Bagian C: Rekapitulasi Peredaran Bruto untuk Pengguna NPPN
  18. Lampiran 3C: Daftar Penyusutan dan Amortisasi
  19. Lampiran 3D Bagian A: Daftar Nominatif Biaya Entertainment
  20. Lampiran 3D Bagian B: Daftar Nominatif Biaya Promosi dan Penjualan, serta Penggantian dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan
  21. Lampiran 3D Bagian C: Daftar Piutang yang Nyata-Nyata Tidak Dapat Ditagih
  22. Lampiran 4 Bagian A: Penghitungan Angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak Berikutnya
  23. Lampiran 4 Bagian B: Penghitungan PPh Terutang WP dan Suami/Istri
  24. Lampiran 5 Bagian A: Penghitungan Kompensasi Kerugian Fiskal
  25. Lampiran 5 Bagian B: Pengurang Penghasilan Neto
  26. Lampiran 5 Bagian C: Pengurang PPh Terutang
  27. Laporan Keuangan/Laporan Keuangan yang Telah Diaudit
  28. Bukti Pembayaran Zakat/Sumbangan Keagamaan yang Bersifat Wajib
  29. Bukti Pemotongan/Pemungutan Sehubungan dengan Kredit Pajak Luar Negeri3
  30. Surat Kuasa Khusus
  31. Surat Keterangan Kematian
  32. Surat Setoran Pajak, Bukti Pbk, atau SKPPKP
  33. Dokumen Lain

Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang Undang KUP menegaskan bahwa setiap wajib pajak wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap dan jelas. Benar yaitu benar dalam perhitungan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangaan perpajakan, lengkap yaitu memuat semua unsur yang berkaitan dengan objek pajak serta unsur-unsur lainnya yang wajib dilaporkan dalam SPT, sedangkan jelas yaitu melaporkan asal-usul atau perolehan dari objek pajak yang harus dilaporkan dalam SPT. Oleh karena itu, terhadap penegasan pasal tersebut maka pengisian SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi untuk Tahun Pajak 2025 wajib di isi sesuai ketentuan PER-11/PJ/2025.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Surabaya

Ria Berlian Tambunan

Email: riaberliantambunan@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pentingnya Perlindungan Hukum untuk Konsultan Pajak Dalam Menjalankan Profesinya

Konsultan Pajak merupakan profesi penunjang sektor keuangan, Profesi penunjang sektor keuangan adalah Pelaku Profesi Sektor Keuangan yang memberikan suatu jasa keprofesian pada berbagai industri sektor keuangan untuk mendukung efektivitas sektor keuangan. Konsultan Pajak adalah orang yang memberikan jasa konsultasi perpajakan kepada Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Adanya penerapan sanksi Pidana di dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan sebagaimana di atur dalam Pasal 39 dan Pasal 39A. Pasal tersebut (Pasal 39 dan Pasal 39A) berlaku juga Baik Bagi Wajib Pajak maupun bagi Wakil, Kuasa, pegawai dari Wajib Pajak atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Kuasa sebagaimana di atur dalam pasal 43 ayat (1) Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan, Dapat disimpulkan termasuk juga Konsultan Pajak. Hal ini dapat di temukan di dalam penjelasan mengenai Kuasa. Seorang kuasa adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Seorang kuasa meliputi a. konsultan pajak; dan b. karyawan Wajib Pajak. Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Berbeda dengan pegawai pajak yang dilindungi, Di dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan. Dimana diatur dalam pasal 36A ayat (5) disebutkan bahwa Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sebagai perbandingan dengan Profesi lainnya yakni advokat.

Seorang advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik, Untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan. Demikian juga Profesi Penunjang Sektor Keuangan lainnya, Yakni Akuntan Publik yang diberikan perlindungan hukum sepanjang telah memberikan jasa sesuai dengan Standar Profesional Akuntan Publik.

Posisi yang berbeda untuk seorang Konsultan pajak yang bertindak sebagai Kuasa, Tidak ada aturan yang mengatur perlindungan hukum bagi konsultan pajak yang telah menjalankan profesinya didasarkan pada itikad baik. Sehingga profesi konsultan pajak rentan dikriminalisasi dengan dakwaan pasal turut serta. Yakni yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.

Sebagaimana diketahui, Salah satu tugas konsultan pajak membantu Wajib Pajak, Tidak hanya memberikan konsultasi perpajakan dan menghitung besaran pajak terutang. Tetapi juga konsultan pajak ada yang membantu wajib pajak/kliennya menyusun pembukuan/Laporan Keuangan Wajib Pajak, Membantu Menerbitkan Faktur Pajak Wajib Pajak, Melaporkan Surat Pemberitahuan baik Masa Maupun Tahunan Wajib Pajak. Sehingga bilamana kita kaitkan dengan penjelasan pasal 43 Undang Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Perpajakan.

Jerat pidana tersebut dapat menyasar kepada Profesi konsultan pajak, Misalnya dalam hal konsultan pajak diminta klien/Wajib Pajak untuk menerbitkan Faktur Pajak dan ternyata dikemudian hari diketahui Faktur pajak tersebut terindikasi faktur pajak TBTS (Tidak Berdasarkan Transaksi Sebenarnya) sedangkan konsultan tersebut tidak mengetahui akan hal tersebut.

Walaupun di dalam Tindak Pidana di kenal adanya istilah mens rea (Unsur Jahat/permufakatan jahat) sebagai salah satu unsur pembuktian perbuatan pidana. Tetapi hal tersebut tidak dapat serta merta melindungi seorang Konsultan Pajak dari jerat Pidana penyertaan.

Untuk dapat memberikan perlindungan hukum kepada konsultan pajak yang menjalankan profesinya. Perlu adanya aturan yang mengatur tentang perlindungan hukum bagi konsultan pajak yang telah menjalankan profesinya dengan itikad baik. Aturan tersebut idealnya adalah sebuah Undang-Undang. Diharapkan dengan adanya Undang-Undang tersebut, Tidak hanya memberikan perlindungan hukum, tetapi juga memberikan penegasan dan pengakuan yang kuat atas profesi konsultan pajak sebagai profesi penunjang sektor keuangan. Sehingga profesi konsultan pajak semakin profesional, mandiri dan berkualitas.

Penulis adalah Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Bogor

Andi Deswanta

Email: andideswanta@yahoo.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

en_US