Peta Jalan Pajak Asia-Pasifik: Kolaborasi, Penyelesaian Sengketa, dan Strategi Baru

Konstelasi perpajakan internasional tengah mengalami transformasi besar. Di tengah gempuran digitalisasi ekonomi, krisis geopolitik, dan tekanan transparansi global, negara-negara di Asia-Pasifik menunjukkan geliat yang tidak bisa diabaikan.

Kongres International Fiscal Association (IFA) Asia-Pacific Regional yang ke-8 di Kuala Lumpur pada 29-30 April 2025 menjadi momen penting dalam menggambar ulang peta jalan pajak kawasan ini.

Semangat kolaborasi menjadi denyut utama kongres ini. Lebih dari 150 peserta dari berbagai negara hadir bukan hanya untuk berbagi kebijakan, tapi untuk menyusun fondasi kesepahaman lintas yurisdiksi.

Topik seperti BEPS 2.0, Global Minimum Tax (GMT), transfer pricing, sengketa pajak, dan Country-by-Country Reporting (CbCR) dibedah dalam konteks regional, dengan fokus pada bagaimana negara-negara seperti Indonesia, Australia, India, Malaysia, dan Singapura menyelaraskan regulasi domestik dengan standar global.

Pembahasan mengenai compliance dan transparansi menandai titik temu baru antara kepentingan nasional dan komitmen internasional. Asia-Pasifik tak lagi sekadar “penerima dampak”, melainkan kini tampil sebagai aktor yang berani membentuk arah.

Namun, kolaborasi bukan tanpa tantangan. Meningkatnya jumlah sengketa pajak internasional, khususnya yang melibatkan transaksi afiliasi dan perpindahan laba, menjadi bukti bahwa sistem perpajakan global masih terus mencari keseimbangannya. India, misalnya, mencatat lebih dari 170 kasus APA, sementara Australia menghadapi landmark cases yang menguji batas kewenangan domestik atas praktik global perusahaan multinasional.

Indonesia juga menunjukkan peningkatan intensitas pemeriksaan pajak audit dan permintaan MAP, menandakan bahwa Wajib Pajak kini lebih sadar risiko dan lebih siap untuk menempuh jalur formal penyelesaian. Sementara itu, Singapura menjadi contoh bagaimana kecepatan dan efisiensi dalam menyelesaikan sengketa pajak bisa menjadi keunggulan kompetitif.

Tren baru juga terlihat dari pergeseran fokus kebijakan pajak. Jika dulu perhatian tertuju pada perusahaan multinasional, kini negara-negara seperti Australia mulai membidik family office dan individu berpenghasilan tinggi. Indonesia memperkuat insentif fiskal sekaligus membangun ulang sistem teknologi perpajakan.

Di India, pencabutan Equalization Levy menjadi langkah strategis untuk meredam tensi dagang dengan Amerika Serikat. Isu geopolitik seperti tarif Trump juga menciptakan tantangan yang dinamis. Negara-negara Asia-Pasifik tak lagi bereaksi dengan defensif, melainkan secara strategis. Indonesia memilih negosiasi dua arah, sementara Singapura dan Australia mengambil posisi waspada dan cermat.

Sistem Pajak yang Berkelanjutan

Kongres ini juga menyiratkan bahwa masa depan perpajakan tidak hanya soal penerimaan negara. Cross-border services, sustainable tax system, dan posisi strategis direktur pajak di perusahaan multinasional menjadi diskursus penting. Dunia usaha membutuhkan kepastian hukum, sementara pemerintah menginginkan kepatuhan tanpa mengorbankan daya saing.

IFA Asia-Pacific Conference 2025 bukan sekadar forum diskusi. Ini adalah ruang strategis untuk menyusun peta jalan bersama di mana kolaborasi regional menjadi kunci, penyelesaian sengketa menjadi jembatan keadilan, dan strategi baru menjadi jawaban atas perubahan dunia.

Tahun depan kongres yang sama akan diadakan Tokyo, dan dua tahun lagi di Jakarta, Asia-Pasifik berpeluang memimpin diskursus pajak global. Dengan modal kolaborasi dan keberanian untuk berubah, kawasan ini siap menjadi episentrum reformasi perpajakan internasional yang inklusif dan berkelanjutan.

Penulis adalah Presiden IFA Asia-Pacific yang juga Wakil Ketua Departemen Hubungan Kerja Sama Internasional, IKPI

Ichwan Sukardi

Email: ichwan.sukardi@rsm.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

Memahami Hubungan Antara Tax Buoyancy Dan Tax Ratio di Indonesia

Sebagai seorang konsultan pajak, apalagi anggota asosiasi konsultan pajak tertua dan terbesar di Indonesia (IKPI), maka konsultan pajak pasti terlihat langsung dalam dinamika fiskal nasional, karena kita bersentuhan langsung dengan penerimaan pajak itu sendiri, dalam hal ini sebagai WP dan sekaligus sebagai pendamping WP. Walaupun kita tidak menentukan kebijakan fiskal, namun kita wajib memahami betapa pentingnya indikator perpajakan yang tepat dalam mengukur efektifitas kebijakan fiskal suatu negara.

Ada dua indikator utama yang biasa para ahli perpajakan pakai yaitu tax ratio dan tax buoyancy. Keduanya bukan sekedar angka semata, melainkan cerminan dari kualitas sistem perpajakan suatu negara dan sejauh mana sistem perpajakan tersebut mampu menopang Pembangunan nasional, utamanya mencapai Indonesia emas tahun 2045.

Dalam artikel ini, penulis mencoba mengulas hubungan antara tax buoyancy dan tax ratio Indonesia selama lima tahun terakhir, serta membahas faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi. Karena yang selama ini didengungkan hanya rendahnya Tax Ratio saja tanpa menyinggung Tax Buoyancy, diharapkan artikel ini dapat memperkaya diskusi di lingkungan asosiasi dan menjadi referensi bagi agenda reformasi fiskal yang lebih inklusif.

Definisi Singkat Tax Ratio (TR) dan Tax Buoyancy (TB)

Tax Ratio (TR) adalah persentase penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB), yang mencerminkan kontribusi pajak terhadap ekonomi nasional. Sedangkan Tax Buoyancy seberapa responsive penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi, Jika nilai TB > 1, menunjukkan bahwa penerimaan pajak tumbuh lebih tinggi dari PDB, begitu juga sebaliknya.

Dari tabel tersebut terlihat bahwa setelah lonjakan positif pada Tahun 2021-2022, tren tax buoyancy mengalami penurunan hingga 2024, sementara tax ratio cenderung stagnan di kisaran 10%.

Hubungan Antara Tax Buoyancy dan Tax Ratio :

Secara konseptual, tax buoyancy yang tinggi akan mendahului kenaikan tax ratio. Jika tax buoyancy tinggi, saat perekonomian tumbuh dan system pajak mampu menangkap pertumbuhan tersebut, maka penerimaan pajak juga ikut terdongkrak. Namun Ketika tax buoyancy menurun, seperti kasus tahun 2023 sd 2024, maka tax ratio sulit meningkat meskipun PDB naik. Artinya rendahnya tax buoyancy menjadi penghambat structural terhadap pencapaian tax ratio yang lebih tinggi.

Mengapa Tax Buoyancy Indonesia Cenderung Menurun ?

Terdapat sejumlah faktor struktural dan teknis yang menyebabkan tax buoyancy Indonesia cenderung menurun, antara lain :

1. Basis Pajak Yang Sempit, artinya jumlah potensi wajib pajak belum tergali dengan maksimal, hal ini dapat dijelaskan dengan masih tingginya porsi sektor informal dalam perekonomian, sehingga Pemerintah kesulitan untuk menjangkau sektor tersebut, selain itu masih rendahnya kepatuhan wajib pajak dari kalangan menengah ke atas yang mengakibatkan system pajak tidak mencerminkan aktivitas ekonomi secara menyeluruh.

2. Volatilitas Sumber Penerimaan, artinya penerimaan pajak masih tergantung kepada komoditas-komoditas primer, dimana harga komoditas tersebut cenderung mengalami volatilitas yang tinggi, misalnya batu bara, sawit, nikel, dsbnya.

3. Insentif Pajak Yang Masif, insentif pajak yang terlalu tinggi kadang bermata dua, di satu sisi bertujuan untuk merangsang sektor-sektor tertentu, namun insentif pajak tersebut pasti akan menggerus penerimaan negara, untuk itu perlu titik keseimbangan antara insentif fiskal yang diberikan tergantikan dengan potensi pajak yang lainnya.

4. Kepatuhan dan Kapasitas Administrasi Pajak, kemampuan administrasi fiskal yang bagus dalam mendeteksi setiap kecurangan akan mendorong Tingkat kepatuhan, dalam hal penggunakan teknologi digital akan memudahkan aparat pajak untuk melakukan pengawasan yang lebih efektif.

5. Ketidaksesuaian antara Pertumbuhan Ekonomi dan Sektor Pajak, kadangkala peningkatan PDB bisa berasal dari sektor-sektor yang bukan penyumbang pajak utama, misalkan sektor pertanian maupun umkm informal tidak otomatis akan menyumbang penerimaan pajak. Dalam hal ini tugas Pemerintah untuk dapat mengintegrasikan sektor-sektor informal tersebut ke dalam bentuk formal.

Rekomendasi dan Saran :

Sebagai asosiasi professional di bidang perpajakan yang memiliki peran strategis dan penting dalam mendampingi wajib pajak, maka kita perlu juga memberikan usulan kepada Pemerintah untuk meningkat Tax Buoyancy dengan mendorong Langkah-langkah sebagai berikut :

1. Perluasan basis pajak melalui pendekatan berbasis data yang terintegrasi secara cepat dan efektif yang melibatkan lintas Lembaga.

2. Penguatan administrasi perpajakan berbasis teknologi, dalam hal ini system coretax merupakan Langkah yang tepat untuk dijalankan, hanya masih ada kendala-kendala yang bersifat teknis yang perlu terus diperbaiki dan disempurnakan.

3. Rasionalisasi insentif fiskal agar tetap mendukung pertumbuhan ekonomi tapi tidak menggerus penerimaan pajak.

4. Memberikan Pendidikan pajak sejak usia dini dengan meningkatkan kesadaran pentingnya kontribusi warga negara dalam membayar pajak, sehingga kepatuhan sukarela dapat tumbuh dan berkembang.

5. Berikan sosialisasi terus menerus mengenai alokasi pajak yang dipungut dan diberikan kembali kepada Masyarakat, sehingga Masyarakat merasa pajak yang dibayar oleh mereka kembali kepada Masyarakat.

6. Penerapan aturan perpajakan secara professional, berkepastian hukum dan adil, sehingga Wajib Pajak tidak merasa sudah benar namun masih tetap disalahkan dengan alasan yang mengada-ada (alasan target penerimaan pajak).

7. Penegakan hukum yang tegas namun terukur kepada mereka yang melakukan melakukan tax evasion.

Artikel ini ditulis sebagai bagian dari konstribusi anggota dalam menyambut perayaan 60 tahun Ikatan Konsultan Pajak Indonesia pada tahun 2025, dengan harapan dapat memperkuat posisi profesi sebagai mitra strategis dalam Pembangunan fiskal nasional.

Sumber data :

1. Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI)

a. Laporan APBN (Nota Keuangan Tahun 2019 sd 2024)

b. Laporan Kinerja DJP dan Statistik APBN

2. Direktorat Jenderal Pajak (DJP)

a. Statistik Pajak Tahunan

b. Paparan Hasil Reformasi Perpajakan dan Outlook Penerimaan

3. Badan Kebijakan Fiskal (BKF)

a. Laporan Tax Ratio dan Evaluasi Kebijakan Fiskal

4. Badan Pusat Statistik (BPS)

a. Data Produk Domestik Bruto (PDB) Tahunan

b. Pertumbuhan Ekonomi Ril dan Nominal

5. Laporan dan Kajian Eksternal

a. Laporan IMF Article IV Consultation Indonesia

b. OECD Revenue Statistics In Asia and the Pasific.

Penulis adalah Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Pino Siddharta

Email: pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

Mobil Listrik: Antara Tren Gaya, Kepedulian Lingkungan, dan Keuntungan Pajak

Saat ini lalu-lalang mobil listrik semakin banyak kita lihat dijalan. Mobil Listrik memang keren jika ditinjau dari perspektif penampilan, aspek lingkungan, dan pajak.

Selain itu mobil Listrik dapat menghemat bahan bakar bagi pemakainya yang berkolerasi dengan dompet pengguna.

Sebagai perbandingan biaya yang perlu ditanggung atas penggunaan mobil listrik. Sebagai contoh, penggunaan MG 4 EV, yang memiliki baterai 64 kWh dan dapat menempuh jarak hingga 425 km dalam satu kali pengisian penuh. Tarif listrik rumah tangga di Indonesia adalah sekitar Rp1.444 per kWh (tarif PLN per 2024). Biaya pengisian penuh baterai MG 4 EV: 64 kWh × Rp1.444 = Rp92.416 Biaya per km: Rp92.416 ÷ 425 km = Rp217/km.

Biaya Bahan Bakar Mobil Bensin Konvensional

Sebagai perbandingan, mobil berbahan bakar bensin dengan konsumsi rata-rata 12 km per liter memiliki perhitungan berikut. Harga bensin Pertalite Rp10.000/liter (2024). Untuk menempuh 425 km, dibutuhkan 425 ÷ 12 = 35,4 liter bensin. Biaya bahan bakar per 425 km: 35,4 liter × Rp10.000 = Rp354.000. Biaya per km: Rp833/km. Jelas biaya mobil Listrik jauh lebih murah dibanding mobil bensin.

Alasan lainya transisi ke mobil listrik adalah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan oleh kendaraan berbahan bakar fosil. Mobil konvensional yang menggunakan bensin atau diesel mengeluarkan karbon dioksida (CO₂), nitrogen oksida (NOx), dan partikel halus (PM2.5) yang berkontribusi terhadap perubahan iklim dan polusi udara.

Menurut laporan terbaru dari International Energy Agency (IEA), mobil listrik memiliki emisi karbon 50-70% lebih rendah dibandingkan mobil berbahan bakar bensin selama masa penggunaannya.

Bagaimana dari aspek PPN nya? PMK 12 tahun 2025 menjelaskan bagaimana PPN mobil listrik sebagian ditanggung pemerintah (DTP). Kode Faktur Pajak untuk yang ditanggung pemerintah adalah 07. Sedangkan yang tidak ditanggung pemerintah memiliki kode Faktur Pajak 01. Sesuai dengan beleid PMK 12 tahun 2025 di pasal 12 tersebut, PPN yang ditanggung pemerintah tidak bisa dikreditkan dan yang tidak ditanggung pemerintah dapat di kreditkan.

Tentunya hal ini berlaku bagi pembeli mobil listrik yang PKP (Pengusaha Kena Pajak). Sesuai dengan PMK tersebut Insentif PPN DTP ini hanya berlaku di bulan Januari 2025 sampai degan Desember 2025.

Melihat sisi benefitnya yang dintinjau dari aspek ekonomis, lingkungan dan pajak.Apakah kita tertarik memiliki mobil Listrik?

Penulis: Anggota Litbang IKPI Pusat,

Dr. Irwan Wisanggeni

  • Email: irwanwisanggeni@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

Pajak Global di Persimpangan Jalan: Mampukah Indonesia Bermain Cerdas?

Pada 27 Maret 2025, para pemikir, pembuat kebijakan, dan praktisi perpajakan internasional berkumpul di Brussels dalam acara CFE’s 2025 Forum yang mengangkat tema “Navigating Tax Transformation: From Compliance to Competitiveness”.

Forum ini bukan sekadar ajang diskusi teknis pajak, melainkan panggung bagi negosiasi kepentingan global yang berpotensi mengubah wajah sistem perpajakan dunia.

Dalam forum ini, penulis tampil sebagai pembicara kunci dan membahas dua isu strategis yang saat ini memecah arah kebijakan perpajakan global: potensi penarikan diri Amerika Serikat dari Two Pillars Solution yang dipelopori OECD/G20, serta masa depan UN Framework Convention on International Tax Cooperation yang digagas oleh PBB.

Penulis menggarisbawahi bahwa mundurnya AS dari Pilar 1 dan Pilar 2 bukan hanya soal geopolitik, tetapi soal nyawa konsensus global. Pilar 1, yang berupaya mendistribusikan kembali hak pemajakan ke negara-negara pasar, bergantung pada partisipasi negara-negara tempat induk perusahaan multinasional bermarkas dan banyak di antaranya ada di AS. Tanpa mereka, kesepakatan ini bisa karam sebelum sempat berlayar.

Pilar 2, yang mengusung Global Minimum Tax 15% bagi perusahaan multinasional, pun menghadapi tantangan serupa. Negara-negara mungkin memilih bersikap wait and see termasuk Indonesia. Jika diterapkan secara sepihak tanpa dukungan AS, bukan mustahil terjadi retaliasi dan konflik ekonomi. Perang tarif bisa kembali menghantui dunia.

Sebagai alternatif, PBB mendorong lahirnya UN Framework Convention on International Cooperation in Tax Matters. Ambisinya jelas: membangun sistem perpajakan global yang lebih adil dan inklusif bagi negara-negara berkembang. Indonesia, bersama China dan Vietnam, termasuk pendukung inisiatif ini.

Namun, jalan ini tidak mulus. Negara-negara seperti Jepang, Australia, dan Korea Selatan menentangnya dengan alasan tumpang tindih kebijakan dan potensi ketidakpastian regulasi. Mekanisme pengambilan keputusan berbasis mayoritas yang diusung PBB juga ditolak, karena dianggap melemahkan prinsip konsensus yang selama ini dijunjung tinggi dalam OECD.

Satu hal yang menarik dan perlu ditelaah lebih dalam adalah sikap Indonesia. Di satu sisi, Indonesia mendukung OECD dan bahkan bercita-cita menjadi anggota penuh. Di sisi lain, Indonesia juga mendukung penuh kerangka kerja PBB, yang justru digagas sebagai tandingan OECD.

Apakah ini strategi jitu menjaga keseimbangan? Ataukah cerminan kegamangan dalam mengambil posisi? Yang jelas, Indonesia harus jeli membaca arah angin. Dunia sedang membentuk ulang aturan main perpajakan lintas negara.

Jika Indonesia tak menentukan posisi dengan cermat, bukan hanya kehilangan kesempatan memungut pajak dari ekonomi digital global, tetapi juga terjebak dalam sistem yang tidak menguntungkannya.

Saatnya Strategi, Bukan Sekadar Simpati

Forum di Brussels adalah pengingat bahwa pajak kini bukan hanya urusan fiskal, tetapi juga geopolitik. Indonesia, dengan posisinya sebagai negara berkembang dan anggota G20, punya peluang untuk menjadi suara penengah yang menjembatani dua kutub kekuatan pajak global ini.

Namun untuk itu, dibutuhkan strategi yang tak hanya berbasis kepentingan jangka pendek, tetapi visi jangka panjang: bagaimana memastikan sistem perpajakan global yang adil, berkelanjutan, dan memberi ruang yang layak bagi negara-negara seperti kita. Dunia sedang menyusun ulang peta pajak global Indonesia tidak boleh sekadar jadi penonton.

Penulis adalah Presiden Asia Oceania Tax Consultants’ Association (AOTCA)

Ruston Tambunan

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

PMK 15/2025: Saatnya Wajib Pajak Lebih Siap Hadapi Pemeriksaan

Kita tahu bahwa aturan terkait Pemeriksaan Pajak telah diperbaharui melalui PMK 15/ PMK.03/2025. Namun apakah akan lebih berkeadilan? Apa saja yang menjadi dasar perubahannya?

Apa itu Pemeriksaan?

Pemeriksaan Pajak merupakan salah satu system dalam siklus perpajakan indonesia. Dimana prinsip yang dianut oleh Indonesia adalah, Self Assesment System. Dimana Wajib Pajak diberi kebebasan untuk, Menghitung, menyetorkan dan melaporkan pajaknya secara mandiri. Pemeriksaan Pajak adalah sebagai alat

Kontrolnya apakah yang disetorkan dan dilaporkan oleh Wajib Pajak telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemeriksaan pajak adalah salah satu proses penting dalam sistem perpajakan Indonesia. Untuk memastikan bahwa kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan baik dan benar1

Dasar Hukum Pemeriksaan Pajak

UU KUP

Pasal 1

25. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/ atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/ atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pasal 29

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

—–‐——–‐————–

https://jhontax.co/pentingnya-pemahaman-pmk-15-tahun-2025-tentang pemeriksaan-pajak/

Poin-poin apa saja yang berubah di PMK 15/ 2025?

1. Pemeriksaan dalam rangka uji kepatuhan dibagi tipe:

a. Pemeriksaan Lengkap

Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang mencakup seluruh pos dalam Surat Pemberitahuan dan /atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak secara mendalam.

b. Pemeriksaan Terfokus

Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang terfokus pada beberapa pos dalam surat satu atau Pemberitahuan dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak secara mendalam.

c. Pemeriksaan Spesifik

Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan secara spesifik atas satu atau beberapa pos dalam Surat Pemberitahuan dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak, data, atau kewajiban perpajakan tertentu secara sederhana.

2. Batas Waktu Pemeriksaan

a. Pemeriksan Lengkap; 5 Bulan

b, Pemeriksaan Terfokus; 3 Bulan

c. Pemeriksaan Spesifik; 1 Bulan

Terhitung sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, Wakil, Kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, Wakil, Kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.

Dalam PMK 15/2025 ini Tidak ada perpanjangan waktu pemeriksaan seperti dalam PMK sebelumnya serta jangka waktu menjawab Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) adalah 5 Hari kerja serta tidak ada perpanjangan waktu.

Penanguhan Pemeriksaan

Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan ditangguhkan dalam hal ditemukan adanya dugaan tindak pidana di bidang perpajakan dan ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.

Pembahasan Temuan sementara

Dalam PMK terdahulu temuan sementara tidak diatur namun dalam PMK 15/2025 Temuan Sementara diatur. Dalam hal Pemeriksaan dilakukan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Pemeriksa Pajak melakukan Pembahasan Temuan Sementara. Dalam pelaksanaan

Pembahasan Temuan Sementara, Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk:

a. memberikan buku, catatan, data, informasi, atau keterangan lain, termasuk Data Elektronik

b. memperlihatkan buku, catatan, data, informasi, atau keterangan lain, termasuk Data Elektronik

c. memberikan buku, catatan, dan/atau dokumen termasuk Data Elektronik, yang dipinjam atau diminta berdasarkan surat permintaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) yang berada di pihak ketiga dan belum diperoleh Wajib Pajak menghadirkan saksi, ahli, atau pihak ketiga dengan menyampaikan surat penunjukan saksi, ahli, atau pihak ketiga oleh Wajib Pajak.

Dapat Menunjuk Ahli

Dalam pasal 17 PMK 15/2025, Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk menghadirkan ahli, atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf f dengan menyampaikan surat penunjukan saksi, ahli, atau pihak ketiga oleh Wajib Pajak Penunjukan Ahli dalam PMK 15/2025 tidak sebutkan secara jelas, namun mengacu kepada Bahasa hukum, Ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus dalam suatu bidang.

Ahli juga bisa diartikan sebagai orang yang mahir atau paham sekali alam suatu ilmu atau kepandaian.

Menurut penulis, ahli disini adalah tenaga ahli yang melakukan Pekerjaan Bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, pejabat pembuat akta tanah, penilai, dan aktuaris.

Penulis dapat menarik kesimpulan bahwa PMK 15/2025 mencermin pemeriksaan kedepan akan menjadi lebih Profesional, transparan dan terbuka. Terlebih dengan adanya penambahan tentang penunjukan Ahli.

Pemeriksaan Pajak, ayo Hadapi!!!

 


  • Kamus Besar Bahasa Indonesia
  • PMK 168/2023

Penulis adalah Ketua Departemen Bantuan Hukum dan Advokasi, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Andreas Budiman

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Dewan Kehormatan IKPI: Pilar Baru Penegakan Kode Etik dan Standar Profesi

Kongres adalah tonggak penting bagi perjalanan organisasi mana pun, tak terkecuali Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI). Di setiap kongres, hampir selalu terjadi perubahan atau pembaharuan, menyentuh aspek-aspek fundamental seperti Anggaran Dasar (AD), Anggaran Rumah Tangga (ART), Kode Etik, dan Standar Profesi.

Termasuk Kongres IKPI ke-XII yang berlangsung pada tanggal 18–20 Agustus 2024 di Bali pun. Hasilnya menetapkan pembaruan pada AD-ART melalui SK Kongres No. 06/KONGRES XII/IKPI/2024, dan pembaruan Kode Etik serta Standar Profesi melalui SK No. 07/KONGRES XII/IKPI/2024.

Salah satu hasil penting yang perlu digarisbawahi adalah hadirnya organ baru dalam tubuh IKPI, yakni Dewan Kehormatan (DK). Hal ini termuat dalam Pasal 35 ayat (1) ART, yang menyebutkan bahwa untuk pertama kalinya, Ketua Umum terpilih memiliki kewenangan menetapkan dan mengangkat Ketua DK.

Berdasarkan SK Ketua Umum No. 09/KEP-KTU-IKPI/IX/2024, Bp.Christian Binsar Marpaung secara resmi ditunjuk sebagai Ketua Dewan Kehormatan IKPI masa bakti 2024–2029.

Sesuai amanat Pasal 35 ayat (3) ART, Ketua DK mengangkat anggotanya melalui SK No. 01/KEP-DK-IKPI/IX/2024 tertanggal 12 September 2024. Terdapat 10 nama yang ditetapkan sebagai Anggota Dewan Kehormatan Periode 2024–2029:

• Sukiatto Oyong • Tonggo Aritonang • Lam Sunjaya Dharma • I Kadek Sumadi • Hariyasin • Daniel Benyamin De Poere • Supardi Djoko Susilo • JM Harjanto Slamet • Fransiska Ivonila M.S • Vivi Evasari Tjokro

Kehadiran DK masih relatif baru dan belum sepenuhnya dikenal oleh anggota IKPI. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan mensosialisasikan eksistensi, fungsi, serta tugas Dewan Kehormatan. Dengan semangat seperti pepatah: “Ikan sepat ikan gabus, makin cepat makin bagus”, kami ingin menyampaikan informasi secara singkat, padat, dan bermakna.

3 (Tiga) Pertanyaan umum terkait Dewan Kehormatan:

1. Mengapa Ketua Dewan Kehormatan tidak dipilih dalam Kongres IKPI ke-XII?

Karena pada Kongres IKPI ke-XI, Dewan Kehormatan belum menjadi bagian dari struktur organisasi. Maka, dalam Kongres ke-XII, belum ada pemilihan Ketua DK. Organ ini baru resmi dibentuk berdasarkan hasil Kongres ke-XII, dan ditetapkan melalui Pasal 35 ART pada Ketentuan Peralihan.

Untuk masa bakti ini, Ketua Umum yang terpilih secara resmi menunjuk Ketua DK. Namun, pada Kongres ke-XIII nanti, Ketua DK akan dimintai pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan tugas selama masa jabatannya, sebelum dinyatakan demisioner.

2. Apakah Kongres ke-XIII akan memilih Ketua Dewan Kehormatan?

Ya, mulai Kongres ke-XIII, pemilihan Ketua DK akan dilakukan melalui kongres atau kongres luar biasa. Hal ini diatur dalam Pasal 31 ayat (1) ART, di mana calon Ketua DK diajukan oleh Pengurus Cabang melalui Rapat Anggota Cabang.

3. Apa saja tugas, tanggung jawab, dan kewenangan Dewan Kehormatan?

Berdasarkan Pasal 15 ayat (8) ART IKPI, tugas utama DK adalah menyelenggarakan sidang termasuk sidang koneksitas untuk memeriksa dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Standar Profesi oleh anggota. DK membentuk Majelis Kehormatan, yang dapat menjatuhkan putusan sebagai berikut: • Tidak bersalah • Teguran tertulis ringan • Teguran tertulis keras • Pemberhentian sementara • Pemberhentian tetap • Pemulihan nama baik.

Putusan yang dihasilkan bersifat final dan mengikat, serta tidak dapat diajukan upaya hukum.

Himbauan bagi Pengadu: Kepada pihak-pihak yang merasa dirugikan baik klien, sesama profesi, pejabat DJP, pengurus, atau masyarakat umum, pengaduan dapat diajukan secara:

• Tertulis ke Pengurus Pusat • Pengurus Pusat akan melakukan pemeriksaan awal • Berdasarkan hasil pemeriksaan, PP akan menentukan apakah kasus diteruskan ke DK atau cukup melalui pembinaan internal.

Harapan Penulis: melalui tulisan ini, seluruh anggota IKPI dapat lebih mengenal fungsi strategis Dewan Kehormatan. Kami optimis bahwa pada masa bakti 2024–2029, tidak akan ada anggota yang dikenai sanksi serius terkait pelanggaran Kode Etik maupun Standar Profesi. Mari kita jaga bersama integritas profesi.

Penulis adalah Anggota Dewan Kehormatan IKPI Periode 2024–2029

Hariyasin & I. Kadek Sumadi

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tax Holiday dan Swatantra di Kerajaan Mataram

Kita tahu tax holiday merupakan hal yang sangat di impikan oleh negara negara investor dalam memilih tempat investasinya? mengapa demikian, alasanya adalah:

Tax holiday adalah sebuah kebijakan pemerintah yang memberikan pengurangan atau penghapusan pajak untuk jangka waktu tertentu.

Tujuan dari tax holiday adalah untuk meningkatkan investasi. Dengan mengurangi atau menghapus pajak, pemerintah berharap dapat meningkatkan investasi di berbagai sektor, seperti industri, pertanian, dan pariwisata, serta mendorong pertumbuhan ekonomi.

Tax holiday dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan konsumsi dan produksi. Mengurangi beban pajak. Tax holiday dapat membantu mengurangi beban pajak bagi warga negara dan perusahaan, sehingga mereka dapat memiliki lebih banyak uang untuk diinvestasikan atau dikonsumsi. Tax holiday dapat berupa pengurangan pajak, penghapusan pajak dan pajak rendah.

Kebijakan model tax holiday sebenarnya sudah diterapkan di Nusantara sejak zaman kerajaan Mataram sejak abad ke 8 Masehi dengan nama Swatantra. Bagaimana Swatantra ini berawal?

Prasasti perunggu bernama Masahar ini salah satunya berisi titah Raja Mpu Sindok tentang penetapan sima atau tanah bebas pajak untuk peribadatan bernama Prasada Kabhaktyan Pangurumbigyan. Bagian puncak batu prasasti di Situs Gemekan meruncing atau berbentuk prisma.

Dari epos sejarah ini kita belajar bahwa sistem administrasi nenek moyang kita sudah modern dan visioner.

Semoga ke arifan lokal ini menjadi pemantik yang mencerahkan dalam dunia perpajakan di tanah air.

Penulis adalah Anggota Litbang Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Dr. Irwan Wisanggeni

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Ketika SPT Lebih Bayar, Berkah atau Bencana?

Mengelola SPT lebih bayar memerlukan pemahaman yang tepat agar sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. SPT merupakan Surat Pemberitahuan Tahunan bagi wajib pajak, di mana kelebihan pembayaran pajak yang tercatat dalam SPT ini disebut PPh Pasal 28A1 UU N0 6 tahun 2023.

Sebelum tahun 2008, SPT lebih bayar merupakan “aip” bagi Fiskus, sehingga wajib pajak sangat ketakutan jika statusnya lebih bayar. Padahal yang menjadi konsen adalah apakah SPT tersebut isinya benar, lengkap dan jelas sesuai amanat Pasal 3 UU KUP.  Kebanyakan wajib pajak menyatakan lebih bayar ketika diperiksa “babak belur” bahkan dari lebih bayar menjadi kurang bayar. Lantas bagaimana menyikapinya? apakah aman jika dibuat kurang bayar?

Apa itu status lebih bayar?

Lebih bayar umumnya merupakan kondisi dimana PPh yang dipotong oleh pihak lain lebih besar dari perhitungan PPh terutang. Hal ini kebanyakan terjadi wajib pajak dibidang distributor terutama elektronik, dan dealer kendaraan bermotor. Mengapa demikian? wajib pajak-wajib pajak ini sering menerima penghasilan berupa price protection, penghargaan dan hadiah, dimana atas penghasilan tersebut PPh nya dipotong sebesar 15%.

Apa persiapan wajib pajak jika lebih bayar tidak bisa dihindari?

Dalam mengisi SPT Tahunan tetap berpedoman pada pengisian SPT harus benar lengkap dan jelas (pasal 3 UU KUP), langkah nya adalah wajib pajak harus mereview kembali apa yang membuat lebih bayar, pastikan laporan keuangan disusun sesuai dengan keadaan sebenarnya, lakukan tax review sebelum melaporkan SPT tersebut. Karena apa, wajib pajak yang menyatakan lebih bayar secara otomatis minta “diperiksa”.

Apakah boleh lebih bayar dibuat kurang bayar?

Sebenarnya hal ini merupakan pandangan “lama” dimana dulu SPT lebih bayar adalah “aip”, bahkan saat itu fiskus tidak jarang mengarahkan wajib pajak menjadi lebih bayar. Kembali lagi prinsip Self Assessment System lebih menitikberatkan kepada kemandirian wajib pajak.  Artinya, penentuan besar kecilnya pajak terutang yang harus dibayarkan dilakukan secara mandiri oleh wajib pajak. Namun jangan lupa Dalam mengisi SPT Tahunan.

_______________

  1. Pasal 28 A UU N0 6 Tahun 2023
  2. https://artikel.pajakku.com/mengenal-spt-kuranglebih-bayar diunduh 24 Maret 2025
  3. https://pajak.go.id/id/artikel/asas-dan-tiga-sistem-pemungutan-pajak-indonesia

tetap berpedoman pada Pengisian SPT harus benar lengkap dan jelas (pasal 3 UU KUP).

Apakah kondisi lebih bayar wajib pajak akan diperiksa?

Berdasarkan UU Pajak Penghasilan Pasal 28A, PPh lebih bayar terjadi apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak, maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya. Selain itu, wajib pajak juga dapat memilih untuk mengkompensasikannya dengan utang pajak tahun berikutnya.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan pemeriksaan sebelum dilakukan pengambilan atau perhitungan kelebihan pajak. Maksud pemeriksaan ini untuk memastikan bahwa uang yang akan dibayar kembali kepada Wajib Pajak sebagai restitusi itu adalah benar merupakan hak wajib pajak.

Tujuan dari proses pemeriksaan ini adalah untuk memastikan bahwa uang pajak yang akan dibayar kembali kepada wajib pajak sebagai restitusi itu adalah benar merupakan hak wajib pajak.

Kriteria wajib pajak yang akan diperiksa

Berdasarkan PMK Nomor 15 Tahun 2025, berikut adalah beberapa kategori wajib pajak yang akan diperiksa DJP:

  • Wajib pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan
  • Pembayaran pajak (restitusi), sesuai Pasal 17B Undang-Undang
  • Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
  •  Wajib pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan atau masa yang menyatakan lebih bayar, selain yang mengajukan permohonan restitusi.
  •  Wajib pajak yang melaporkan rugi dalam SPT tahunannya.
  •  Wajib pajak yang telah mendapatkan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.
  •  Wajib pajak yang melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan.
  •  Wajib pajak yang melakukan penilaian kembali aktiva tetap.
  •  Wajib pajak yang mengalami penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia secara permanen.

________________

https://ikpi.or.id/ini-kriteria-wajib-pajak-yang-diperiksa-berdasarkan-pmk-15-2025/

  •  Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang tidak melakukan penyerahan barang/jasa kena pajak tetapi mengajukan pengembalian pajak masukan.
  •  Wajib pajak yang dipilih untuk diperiksa berdasarkan risiko kepatuhan pajak.
  •  Pihak lain yang tidak melaksanakan kewajiban pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 32A ayat (1) UU KUP.
  •  Terdapat data konkret yang menunjukkan pajak terutang tidak atau kurang dibayar.
  •  Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT Objek Pajak meskipun telah ditegur secara tertulis.
  •  Terdapat indikasi bahwa jumlah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terutang lebih besar dari yang dilaporkan dalam SPT Objek Pajak berdasarkan hasil analisis dan penilaian lapangan.

Dari paparan diatas penulis mengajak wajib pajak bersikap hati-hati apabila kondisi SPT Tahunan lebih bayar, selanjutnya pada akhirnya wajib pajak yang harus memilih apakah berani menyatakan lebih bayar atau tidak?

Penulis: Ketua Departemen Bantuan Hukum dan Advokasi, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Andreas Budiman

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Menanti terbitnya PP terkait Tarif Pajak UMKM

Saat ini wajib pajak menanti nanti terbitkan aturan tentang perpanjangan waktu penggunaan Tarif Pajak untuk Wajib Pajak UMKM. Sebelum itu kita refresh kembali apa itu PP 55 Tahun 2022.

Apa itu PP 55 Tahun 2022?

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 merupakan peraturan terkait perubahan peraturan pajak yang mengatur Pajak Penghasilan, termasuk Pajak Penghasilan (PPh) Final dengan tarif 0,5%. Perubahan tersebut dilakukan terhadap ketentuan yang sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018.

Perubahan yang terjadi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 mencakup berbagai aspek yang berkaitan dengan Pajak Penghasilan terutama Pajak penghasilan Orang Pribadi dan Pajak Badan, termasuk perubahan dalam tarif PPh Final. Dalam ketentuan sebelumnya, tarif PPh Final adalah 0,5%. Namun, dengan adanya revisi ini, terdapat beberapa penyesuaian dan perubahan dalam hal tarif serta pengaturan lainnya terkait PPh Final.

Perubahan lainnya yakni adanya Insentif Pajak bagi wajib pajak UMKM dimana untuk Peredaran usaha dibawah 500 jt pertama dikenakan pajak dengan tarif 0%. Sehingga dengan demikian perhitungan seperti dalam contoh dibawah ini:

Melihat tabel diatas Pajak Penghasilan Final 2024 Tn. A sebesar Rp. 9.500.000,00

Revisi yang dilakukan dalam peraturan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam meningkatkan ekstensifikasi sistem perpajakan, serta memberikan kepastian hukum yang lebih jelas bagi Wajib Pajak. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 memuat berbagai perubahan yang bertujuan untuk memperbaiki dan mengoptimalkan pengaturan mengenai Pajak Penghasilan, termasuk PPh Final dengan tarif 0,5% disamping itu menjaring wajib pajak-wajib pajak baru.

Bagaimana Jika Tarif UMKM ini tidak diperpanjang?

Sebagai wajib pajak tentu mengharapkan Tarif UMKM diperpanjang namun jika tidak diperpanjang tentu wajib pajak harus memikirkan ulang tax planning kedepan. Langkah yang harus dilakukan adalah mengajukan Pemberitahuan Norma Penghitungan Penghasilan Netto dimana harus diajukan paling lambat 3 bulan setelah awal tahun pajak ; 31 Maret 2025.

Norma penghitungan adalah pedoman yang dipakai untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus. Hal ini sebagaimana dijabarkan dalam Penjelasan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Norma ini berupa persentase yang akan dikalikan dengan penghasilan bruto untuk mendapatkan penghasilan neto. Adapun persentase tersebut dikenakan berdasarkan kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) dan wilayah wajib pajak.

Norma ini dapat digunakan oleh WP OP dengan catatan apabila WP OP tersebut tidak memilih untuk menyelenggarakan pembukuan atau apabila dalam satu tahun penghasilan bruto mereka kurang dari Rp4,8 miliar. Kemudian, bagaimana jika wajib pajak lupa mengajukan pemberitahuan penggunaan norma? Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 PER-17/PJ/2015, wajib pajak tersebut akan dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan jika tidak menyampaikan pemberitahuan norma.

Sehingga Pajak Terhutang Tn. A tahun 2025 sebagai berikut:

Dalam hal ini wajib pajak orang pribadi berada dalam dilema, jika memberitahukan menggunakan NPPN maka Pajaknya akan sangat besar sekali tp jika tidak mengajukan NPPN akan dianggap memilih pembukuan terlebih aturan perpanjangan yang dijanjikan tidak kunjung terbit.

Menggunakan pembukuan juga tentu perhitungan pajaknya dapat lebih kecil dibandingkan dengan menggunakan NPPN namun wajib pajak orang pribadi pada umumnya tidak familiar dengan Pembukuan. Tapi ini bisa jadi titik balik untuk wajib pajak orang pribadi untuk melaporkan pajaknya menjadi lebih rapi.

Dari ulasan diatas penulis mencoba mengilustrasikan perbandingan penggunakaan antara tarif UMKM dan NPPN serta Pembukuan. Selanjutnya penulis mengembalikan semuanya kepada wajib pajak mana yang akan di jalankan

Penulis adalah Ketua Departemen Advokasi dan Bantuan Hukum, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Andreas Budiman

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Pajak Minimum Global: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia

Penerapan pajak minimum global (global minimum tax) yang digagas oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merupakan langkah monumental dalam reformasi perpajakan internasional. Aturan ini bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional (multinational enterprises/MNEs) dengan menetapkan tarif pajak minimum sebesar 15%. Indonesia, sebagai bagian dari komunitas global, tentu akan merasakan dampak dari implementasi aturan ini.

Dari sudut pandang praktisi perpajakan, terdapat sejumlah dampak positif dan negatif yang perlu dicermati. Salah satu manfaat utama dari pajak minimum global adalah pengurangan praktik penghindaran pajak.

Sebelumnya, banyak perusahaan multinasional yang memanfaatkan yurisdiksi dengan tarif pajak rendah untuk mengalihkan laba (profit shifting). Dengan adanya pajak minimum global, celah untuk melakukan strategi ini semakin sempit, sehingga potensi penerimaan pajak bagi negara seperti Indonesia meningkat.

Penerapan pajak minimum global berpotensi meningkatkan penerimaan pajak Indonesia, terutama dari perusahaan multinasional yang sebelumnya membayar pajak rendah di negara lain. Dengan mekanisme “top-up tax”, Indonesia berpeluang memungut pajak tambahan dari entitas yang sebelumnya mengalihkan laba ke negara dengan tarif pajak lebih rendah dari 15%.

Regulasi ini membantu menciptakan persaingan usaha yang lebih adil antara perusahaan domestik dan perusahaan multinasional. Sebelumnya, perusahaan lokal kerap dirugikan karena harus membayar pajak lebih tinggi dibandingkan MNEs yang bisa menghindari pajak dengan berbagai skema agresif. Dengan aturan baru, persaingan usaha menjadi lebih setara.

Bagi praktisi perpajakan, adanya standar global mengenai tarif pajak minimum dapat meningkatkan transparansi dan kepastian hukum dalam sistem perpajakan Indonesia. Hal ini berpotensi mengurangi ketidakpastian bagi investor yang ingin menjalankan bisnisnya di Indonesia tanpa khawatir terhadap perubahan kebijakan perpajakan yang mendadak.

Meskipun pajak minimum global bertujuan untuk menciptakan keadilan pajak, implementasi aturan ini dapat membuat Indonesia kurang menarik bagi investor asing. Negara-negara yang selama ini menawarkan insentif pajak untuk menarik investasi harus meninjau kembali kebijakan mereka.

Jika insentif tersebut tidak lagi efektif, investor bisa mencari negara lain dengan faktor produksi yang lebih murah atau keuntungan lain di luar pajak.

Indonesia memiliki berbagai skema insentif pajak, seperti pembebasan atau pengurangan pajak di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan insentif untuk industri tertentu. Jika tarif pajak minimum harus diterapkan, maka efektivitas insentif-insentif ini akan dihilangkan. Hal ini dapat berdampak negatif pada sektor-sektor yang bergantung pada kebijakan fiskal sebagai daya tarik investasi.

Selain itu, pemerintah juga memberikan pengurangan dalam menghitung global income sebagai dasar penghitungan pajak minimum global. Adapun, persentase biaya gaji sebagai pengurang SBIE di th 2023 sebesar 10% dan sampai dengan tahun 2033 sebesar 5%. Sedangkan persentase harta berwujud sebagai pengurang SBIE di tahun 2023 sebesar Rp 8% dan hingga tahun 2033 sebesar 5%.

Artinya, Substance Based Income Exclusion yang selanjutnya disingkat SBIE adalah pengecualian pengenaan pajak tambahan atas Laba GloBE Bersih yang dihitung dengan formula tertentu. Sedangkan SBIE merupakan jumlah kumulatif dari pengecualian

berdasarkan biaya gaji dan pengecualian berdasarkan jumlah tercatat harta berwujud untuk setiap Entitas Konstituen yang bukan merupakan entitas investasi di negara atau yurisdiksi tersebut.

Dengan demikian, pajak minimum global merupakan kebijakan yang kompleks dan membutuhkan kesiapan regulasi di tingkat domestik. Implementasinya akan memerlukan perubahan signifikan dalam peraturan perpajakan Indonesia, termasuk harmonisasi dengan aturan OECD serta penyusunan kebijakan teknis seperti perhitungan “top-up tax”. Hal ini bisa menambah beban administrasi bagi otoritas pajak dan wajib pajak.

Dalam dunia perpajakan internasional, setiap perubahan kebijakan dapat memicu reaksi dari negara lain. Beberapa negara yang selama ini menjadi tujuan pengalihan laba bisa mengambil langkah retaliasi atau menciptakan skema baru yang tetap memberikan keuntungan bagi MNEs. Jika tidak diantisipasi dengan baik, hal ini bisa mengurangi efektivitas dari kebijakan pajak minimum global.

Dari perspektif praktisi perpajakan, penerapan pajak minimum global di Indonesia memiliki sisi positif dan negatif yang harus diperhitungkan dengan cermat. Di satu sisi, kebijakan ini dapat meningkatkan penerimaan pajak, mengurangi praktik penghindaran pajak, dan menciptakan iklim persaingan yang lebih adil. Namun, di sisi lain, ada tantangan besar terkait daya saing investasi, efektivitas insentif pajak, serta kompleksitas implementasi regulasi baru.

Pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah strategis untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan dampak negatif dari aturan ini. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan menyesuaikan kebijakan insentif pajak agar tetap menarik bagi investor tanpa melanggar ketentuan global.

Selain itu, kesiapan regulasi dan sistem administrasi perpajakan juga menjadi kunci dalam menghadapi perubahan ini. Dengan pendekatan yang tepat, Indonesia dapat mengambil manfaat maksimal dari kebijakan pajak minimum global sambil tetap menjaga daya saing ekonominya di kancah internasional.

Penulis: Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Pusat

Suryani

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

en_US