DJP Sampaikan Permohonan Maaf atas Kendala Penggunaan Coretax: Ini Perbaikan yang Sedang Dilakukan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh wajib pajak atas kendala-kendala yang terjadi dalam penggunaan fitur layanan aplikasi Coretax, yang menyebabkan ketidaknyamanan dan keterlambatan layanan administrasi perpajakan. DJP menjamin bahwa mereka terus berupaya untuk memperbaiki masalah tersebut dan memastikan layanan dapat berjalan dengan baik.

Dalam keterangan tertulisnya yang diterima, Jumat (10/1/2025), Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat, DJP, Dwi Astuti menyatakan bahwa pihaknya telah melakukan beberapa upaya perbaikan yang telah dilakukan hingga saat ini antara lain:

1. Memperluas jaringan dan meningkatkan kapasitas bandwidth.

2. Penunjukan penanggung jawab perusahaan dan PIC untuk pembuatan faktur pajak.

3. Peningkatan kapasitas untuk menerima pengiriman faktur pajak dalam format *.xml hingga 100 faktur per pengiriman.

4. Pembaruan dalam pendaftaran, termasuk pengaturan ulang kata sandi, pemadanan NIK-NPWP, dan penggunaan kode otorisasi sertifikat elektronik dengan face recognition.

5. Penyempurnaan layanan pembayaran, termasuk pembuatan kode billing, pemindahbukuan, dan pembayaran tunggakan utang pajak.

6. Peningkatan layanan pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) dan Konfirmasi Status Wajib Pajak (KSWP).

Ia mengungkapkan, per 9 Januari 2025, sekitar 126.590 wajib pajak telah berhasil memperoleh sertifikat elektronik untuk menandatangani faktur pajak, sementara 34.401 wajib pajak telah berhasil membuat faktur pajak, dengan total 845.514 faktur yang dibuat dan 236.221 faktur yang telah divalidasi.

Dengan demikian lanjut Dwi, ia mengimbau agar wajib pajak tidak perlu khawatir mengenai sanksi administrasi atas keterlambatan penerbitan faktur pajak atau pelaporan pajak selama masa transisi ini. DJP memastikan tidak ada beban tambahan yang akan dikenakan kepada wajib pajak terkait peralihan ke sistem baru.

Selain itu, Dwi juga menyampaikan terima kasih atas kerja sama dan kesabaran wajib pajak dalam mendukung pengembangan sistem informasi perpajakan yang lebih baik. “Untuk informasi lebih lanjut, wajib pajak dapat mengakses laman FAQ di www.pajak.go.id atau menghubungi Kring Pajak di 1500 200,” ujarnya. (alf)

Dukung Efisiensi Logistik dan Konektivitas Nasional, Tarif Penyeberangan ASDP Bebas PPN

IKPI, Jakarta: PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) memastikan bahwa tarif layanan penyeberangan yang dikelolanya tetap bebas dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk menjaga efisiensi biaya logistik serta memperkuat konektivitas antar pulau di Indonesia yang merupakan negara kepulauan.

Corporate Secretary ASDP, Shelvy Arifin, menjelaskan bahwa pembebasan PPN pada tarif penyeberangan ini berdasarkan amanat Pasal 4A ayat 3 Huruf J dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai, sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). “Layanan kapal penyeberangan termasuk dalam kategori jasa angkutan umum yang dibebaskan dari PPN. Dengan demikian, tarif tetap terjangkau bagi masyarakat di seluruh wilayah Indonesia,” ujar Shelvy dalam keterangan resminya Kamis, (9/1/2025).

Pembebasan PPN ini juga diharapkan dapat membantu stabilitas harga barang di daerah-daerah terpencil, sekaligus mendukung penguatan konektivitas logistik di wilayah-wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar). “Kebijakan ini sangat strategis untuk menekan biaya logistik dan menjaga harga kebutuhan pokok, khususnya di daerah 3T,” kata Shelvy.

Selain menjaga tarif tetap stabil, ASDP berkomitmen untuk meningkatkan kualitas layanan transportasi laut yang melayani lebih dari 300 lintasan penyeberangan dengan lebih dari 200 kapal, serta mengoperasikan 37 pelabuhan di seluruh Indonesia. Sekitar 66 persen dari lintasan tersebut merupakan lintasan perintis yang menjadi tulang punggung konektivitas di daerah-daerah terpencil.

Meski layanan penyeberangan ASDP dibebaskan dari PPN, perusahaan tetap memenuhi kewajiban perpajakan lainnya, termasuk membayar Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 15 sebesar 1,2 persen atas penghasilan bruto dari jasa angkutan laut. “Kami memastikan tarif yang diterapkan mematuhi regulasi dan tidak membebani masyarakat, sembari tetap mendukung pendapatan negara,” ujar Shelvy.

Dengan kebijakan ini, ASDP berharap dapat meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap transportasi laut yang aman, nyaman, dan terjangkau. Pembebasan PPN dipandang sebagai langkah yang mendorong efisiensi logistik nasional dan memperkuat daya saing Indonesia, dengan harapan dapat mendukung pembangunan ekonomi yang merata dan kesejahteraan masyarakat di seluruh tanah air. (alf)

Mantan Staf Khusus Menkeu Beri Delapan Solusi Atasi Kendala Coretax

IKPI, Jakarta: Mantan Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Yustinus Prastowo, menyarankan agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) segera memberikan solusi praktis untuk mengatasi berbagai permasalahan yang muncul pasca-peluncuran Coretax System. Sistem inti administrasi perpajakan yang resmi diluncurkan pada 1 Januari 2025 ini menghadapi sejumlah kendala, mulai dari kesulitan penerbitan faktur pajak hingga masalah impersonasi sistem.

Prastowo mengungkapkan bahwa dirinya menerima banyak keluhan baik dari wajib pajak maupun petugas pajak di lapangan. Wajib pajak, kata Prastowo, menghadapi kesulitan dalam menuntaskan kewajibannya untuk menghindari kesalahan dan sanksi, sementara petugas pajak kesulitan mengatasi kendala yang muncul.

Menurutnya, banyak petugas pajak yang belum dibekali dengan pedoman yang jelas atau solusi praktis terkait masalah yang timbul. Sebagai respons, Prastowo memberikan delapan solusi untuk DJP agar masalah yang dihadapi oleh para pengguna Coretax dapat segera teratasi. Adapun solusi tersebut adalah:

1. Permintaan Maaf: DJP diminta untuk segera meminta maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi dan menghindari unggahan-unggahan yang tidak sensitif terhadap permasalahan yang ada.

2. Aktif Menjemput Masalah: DJP disarankan lebih aktif menanggapi keluhan dan komplain dari wajib pajak, serta memberikan solusi dan panduan yang jelas.

3.Panduan untuk Petugas Lapangan: DJP perlu menyusun panduan yang memadai bagi petugas lapangan agar dapat memberikan respons yang tepat kepada wajib pajak, serta melakukan sosialisasi yang berkelanjutan.

4. Laman atau Kanal Pengaduan: DJP diminta menyediakan laman atau contact center yang dapat digunakan untuk menampung keluhan dengan cepat dan tepat.

5.Update Berkala: DJP sebaiknya memberikan update secara berkala mengenai penanganan masalah yang ada kepada wajib pajak, termasuk melalui konsultan atau akuntan.

6. Alternatif Solusi: DJP diharapkan menyiapkan alternatif solusi, terutama terkait faktur pajak dan registrasi, seperti dengan parallel run SI DJP.

7. Skenario Keadaan Kahar:DJP perlu mempersiapkan skenario untuk mengantisipasi terjadinya sanksi administratif yang bukan disebabkan oleh kesalahan wajib pajak atau petugas.

8. Sikap Belarasa dan Tanggung Jawab: DJP perlu menunjukkan sikap belarasa, bertanggung jawab, dan memegang kendali penuh dalam menyelesaikan masalah, dengan pendekatan top-down.

“Baru saja kita berupaya solusi yang baik untuk PPN 12%. Semoga Coretax juga dapat diatasi dengan baik,” tutup Prastowo melalui akun X-nya.

Diberitakan sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo, menegaskan bahwa tidak akan ada sanksi atau denda yang dikenakan kepada wajib pajak terkait masalah yang timbul akibat penggunaan sistem Coretax.

Suryo menjelaskan bahwa pengaplikasian Coretax masih dalam tahap transisi dan pihaknya akan memonitor perkembangan sistem tersebut setiap hari. Ditjen Pajak pun berkomitmen untuk segera menyelesaikan masalah yang ditemukan, dengan fokus pada optimalisasi kapasitas sistem dan pengelolaan beban akses.

“Ini baru hari keenam setelah peluncuran Coretax, jadi kami mohon maklum,” kata Suryo, yang juga menambahkan bahwa pihaknya terus berupaya untuk memperbaiki dan memperluas bandwidth guna mengatasi kendala yang ada.

Suryo memastikan bahwa wajib pajak tidak perlu khawatir mengenai keterlambatan penerbitan faktur atau masalah pelaporan lainnya selama proses transisi ini. “Kami akan memastikan tidak ada beban tambahan kepada masyarakat pada waktu menggunakan sistem yang baru ini,” ujarnya.(alf)

Rendahnya Kepatuhan Pajak Hambat Indonesia jadi Negara Maju

IKPI, Jakarta: Dewan Ekonomi Nasional (DEN) menyoroti rendahnya tingkat kepatuhan pajak di Indonesia yang dianggap menghambat ambisi negara ini untuk mencapai status negara maju pada tahun 2045. Anggota DEN Arief Anshory Jusuf, menegaskan bahwa hanya sebagian kecil individu dan perusahaan yang membayar pajak, dengan jumlah yang tidak sebanding dengan populasi Indonesia yang mencapai lebih dari 300 juta jiwa.

“Dengan hanya 7-8 juta orang yang membayar pajak dari 300 juta penduduk, serta hanya 0,5% perusahaan yang melaporkan pembayaran pajaknya, bagaimana kita bisa menjadi negara modern?” ujar Arief dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (9/1/2025).

Arief mengungkapkan bahwa rendahnya tingkat kepatuhan pajak ini menjadi salah satu faktor utama yang menghalangi Indonesia untuk mencapai tujuannya menjadi negara maju. Ia menjelaskan tentang teori Wagner’s Law yang menggambarkan bahwa semakin modern sebuah negara, semakin besar belanja negara yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang juga bergantung pada penerimaan pajak yang tinggi.

“Semakin modern suatu negara, negara semakin hadir dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat melalui belanja negara. Jika kita ingin menjadi negara maju, negara harus lebih hadir. Namun, ini bukan hanya tugas negara, kita semua harus berperan dalam mewujudkannya,” kata Arief.

Masalah ini, menurut Arief, tidak hanya terletak pada pemerintah, tetapi juga pada partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat dalam membayar pajak secara jujur dan tepat waktu. Ia berharap agar ke depan, kepatuhan pajak dapat meningkat untuk mendukung pembangunan negara yang lebih adil dan sejahtera. (alf)

Rendahnya Penerimaan Pajak RI di Kritik Bank Dunia

IKPI, Jakarta: Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan, mengungkapkan kritik dari Bank Dunia terkait rendahnya penerimaan pajak Indonesia. Dalam konferensi pers perdana Dewan Ekonomi Nasional pada Kamis, (9/1/2025) ia menyebut Republik Indonesia (RI) memiliki kesamaan dengan Nigeria dalam hal pengumpulan pajak yang belum maksimal.

Luhut menegaskan bahwa implementasi program digitalisasi pemerintahan dapat menjadi langkah strategis untuk meningkatkan pendapatan negara. “Jika program ini dijalankan dengan baik, penerimaan negara bisa bertambah hingga Rp1.500 triliun atau setara dengan 6,4 persen dari PDB,” ujar Luhut.

Luhut juga menyoroti pentingnya dukungan terhadap program Kartu Kredit Pemerintah (KKS) yang digagas Kementerian Keuangan. Program ini dianggap dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pengelolaan pajak serta memperbaiki tata kelola keuangan negara.

“Angka Rp1.500 triliun itu bisa dicapai jika semua pihak bekerja sama, tanpa terus-menerus memberikan kritik yang tidak konstruktif,” ujarnya.

Ia mengajak seluruh pihak untuk memberikan kritik yang membangun terhadap kebijakan yang sedang diimplementasikan. Ia juga menekankan bahwa masalah yang ada perlu diselesaikan secara bertahap, bukan dengan saling menyalahkan. “Biarkan program ini berjalan terlebih dahulu,” katanya.

Pernyataan Luhut ini muncul sebagai respon atas tantangan yang dihadapi Indonesia dalam meningkatkan kapasitas penerimaan pajak di tengah kebutuhan pembangunan yang semakin mendesak. Pemerintah berharap berbagai kebijakan baru, termasuk digitalisasi, akan membawa perubahan signifikan dalam sistem perpajakan Indonesia.(alf)

Pemerintah Ajak Masyarakat Dukung Implementasi Coretax untuk Kepentingan Negara

IKPI, Jakarta: Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Panjaitan mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk mendukung implementasi sistem pajak baru, Coretax, yang resmi dimulai pada 1 Desember 2025. Luhut mengakui bahwa sistem ini menghadapi berbagai tantangan, namun dia menegaskan bahwa Coretax sangat penting untuk meningkatkan penerimaan pajak dan mendukung kepentingan negara secara keseluruhan.

Dalam konferensi pers yang digelar di kantor BPPT, Kamis (9/1/2025) Luhut menyatakan, jika dilakukan dengan baik dan semua sepakat, serta jangan terus ada perdebatan dan kritik mengenai program ini, maka diyakini penerimaan negara akan terus bertumbuh dengan system yang transparan, cepat dan efisien. “Jadi biarkan jalan dulu sistem ini, kan umurnya baru Sembilan hari,” kata Luhut.

Ia juga mengimbau para pejabat dan pengamat untuk mendukung sistem Coretax, yang menurutnya akan memberikan dampak positif bagi Indonesia. “Ini untuk kepentingan republik,” tambahnya.

Luhut optimistis bahwa dengan Coretax, pemerintah bisa memperoleh tambahan penerimaan negara hingga Rp 1.200 triliun. Sistem ini dirancang untuk terhubung dengan teknologi pemerintahan terpusat, atau Govtech, yang akan mempermudah pemerintah dalam memonitor kepatuhan masyarakat terhadap kewajiban perpajakan.

“Dengan itu nanti kalau potensi dana Rp 1.500 triliun, kalau kita asumsinya Rp 1.200 triliun bisa kita collect bertahap,” katanya.

Luhut juga meyakini bahwa sistem ini akan membawa Indonesia menuju transparansi yang lebih baik dalam hal pajak, karena teknologi seperti Kecerdasan Buatan (AI) dan Big Data akan membantu memantau transaksi dan aset wajib pajak dengan lebih efisien. “Ini yang buat Indonesia betul-betul transparan ke depan,” tegasnya.

Namun, meskipun pemerintah berharap Coretax bisa mendatangkan manfaat besar, sistem ini belum sepenuhnya mulus dalam implementasinya. Keluhan dari wajib pajak mengenai kesulitan mengakses sistem terus bermunculan di media sosial. Sebuah akun Instagram @pajaksmart, misalnya, memposting keluhan terkait server Coretax yang sering down sejak 1 hingga 6 Januari 2025. Akun tersebut juga menunjukkan bahwa situs Coretax DJP tidak dapat diakses dan hanya menampilkan pesan “403 Forbidden.”

Sementara itu, akun X @txtdrlia mengungkapkan kekecewaannya terhadap sistem Coretax yang dianggap menghambat pekerjaan para wajib pajak. “Ada apa dengamu wahai Coretax DJP. Niat hati ingin memperbaiki sistem, eh ga taunya jadi ngehambat banyak kerjaan orang,” tulis akun tersebut.

Seiring dengan tantangan yang dihadapi, Luhut tetap berharap masyarakat dapat memberi waktu bagi sistem ini untuk berkembang dan memberikan kritik konstruktif setelah berjalan. Pemerintah berkomitmen untuk terus memperbaiki dan menyempurnakan sistem Coretax agar dapat memenuhi tujuan jangka panjangnya dalam meningkatkan kepatuhan pajak di Indonesia.(alf)

Ketua Umum IKPI Tegaskan Pentingnya Undang-Undang Konsultan Pajak untuk Perlindungan Wajib Pajak dan Profesi

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menegaskan pentingnya pengesahan Undang-Undang Konsultan Pajak untuk memperkuat posisi profesi konsultan pajak dan perlindungan wajib pajak di Indonesia. Hal ini diungkapkannya menyusul pengakuan profesi konsultan pajak sebagai penunjang sektor keuangan melalui Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).

“Kami menyambut baik langkah pemerintah dalam mengakui profesi konsultan pajak sebagai bagian penting dari ekosistem sektor keuangan. Pengakuan ini adalah langkah maju yang signifikan. Namun, kami juga menilai bahwa profesi ini membutuhkan landasan hukum yang lebih kuat melalui Undang-Undang Konsultan Pajak,” ujar Vaudy, Jumat (10/1/2025).

Menurutnya, regulasi khusus melalui UU Konsultan Pajak akan memberikan perlindungan hukum, standar profesionalisme, dan penguatan peran konsultan pajak sebagai mitra strategis pemerintah dalam meningkatkan kepatuhan perpajakan nasional.

Menurutnya, IKPI bersama empat asosiasi konsultan pajak lainnya, pemerintah, serta organisasi terkait seperti KADIN dan APINDO, akan terus mendorong percepatan pembahasan dan pengesahan RUU Konsultan Pajak.

Ia menegaskan, sebagai organisasi profesional konsultan pajak yang berdiri sejak 59 tahun lalu, IKPI berkomitmen untuk mendukung kemajuan sistem perpajakan nasional, memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan ekonomi, dan menjaga kepentingan para konsultan pajak di Indonesia.

“Ke depan, IKPI akan terus berkolaborasi dengan semua pihak untuk memastikan profesi konsultan pajak memiliki fondasi yang kuat, sehingga dapat memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat dan mendukung terciptanya sistem perpajakan yang adil dan berkelanjutan,” kata Vaudy. (bl)

Ini Pesan dan Harapan Ketua Umum IKPI di Perayaan Natal Nasional 2024

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld, menyampaikan pesan penuh semangat pada acara Perayaan Natal Nasional IKPI 2004, yang diselenggarakan di GBI House of Bleasing, Puri Indah, Jakarta, Kamis (9/1/2025).

Dalam sambutannya, ia menyampaikan harapan besar bagi seluruh anggota IKPI untuk menghadapi tahun 2025 ini dengan optimisme dan kesiapan menghadapi berbagai tantangan.

“Kami pengurus pusat mengucapkan Selamat Natal bagi Bapak Ibu yang merayakan dan Selamat Tahun Baru bagi kita semua anggota IKPI. Harapan kami, tahun 2025 adalah tahun penuh perubahan ke arah positif. Kita lebih sehat, sukses, maju, dan mendapatkan lebih banyak klien,” ujar Vaudy.

Ia menekankan pentingnya adaptasi terhadap tantangan baru, terutama dalam menghadapi implementasi sistem pajak digital Cortex yang mulai diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Vaudy menyebutkan bahwa sistem baru ini memberikan kemudahan administrasi, penghematan waktu, serta peningkatan rasio pajak.

Namun, ia juga mengakui adanya kendala teknis di awal penerapan sistem yang digunakan oleh jutaan wajib pajak secara serentak. “Kami berharap DJP segera melakukan perbaikan agar kendala yang ada bisa segera teratasi,” ujarnya.

Selain itu, Vaudy juga mengingatkan anggota IKPI untuk terus meningkatkan kompetensi melalui pendidikan dan pemahaman terhadap peraturan pajak yang terus berkembang.

“Sebagai konsultan pajak, kita harus selalu beriringan dengan peraturan. Dengan memahami peraturan, kita dapat membantu klien menjadi wajib pajak yang patuh secara sukarela,” katanya.

Ia berharap, acara ini menjadi momentum untuk merefleksikan perjalanan di tahun sebelumnya sekaligus mempersiapkan langkah strategis untuk menghadapi tantangan dan peluang di tahun 2025.

Vaudy optimis bahwa kerja sama antara konsultan pajak dan DJP dapat membawa dampak positif bagi sistem perpajakan Indonesia. (bl)

Pemerintah Hapus Sejumlah Pungutan untuk Pembelian Rumah, Masyarakat Diharapkan Terbantu

IKPI, Jakarta: Dalam langkah terobosan untuk mempermudah masyarakat memiliki rumah, pemerintah mengumumkan penghapusan sejumlah pungutan yang selama ini dikenakan pada pembelian rumah. Keputusan ini diambil melalui kerja sama antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman.

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), yang biasanya sebesar 5 persen dari harga jual dikurangi Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), akan dihapus sepenuhnya menjadi 0 persen.

Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait, menyatakan bahwa penghapusan ini bertujuan untuk meringankan beban masyarakat.

“BPHTB itu harusnya 5 persen, itu bisa menjadi 0 persen. Ini sangat membantu rakyat membeli rumah,” ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, baru-baru ini.

Selain BPHTB, pemerintah juga menghapus biaya Persetujuan Bangun Gedung (PBG). PBG adalah izin yang diperlukan untuk pembangunan atau renovasi gedung. Biaya PBG sebelumnya bervariasi antara Rp5 juta hingga Rp12 juta, tergantung faktor seperti luas bangunan, administrasi, dan retribusi daerah.

“PBG untuk bangunan gedung, ya itu juga 0 persen,” lanjut Maruarar.

Kebijakan lainnya adalah penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk pembelian rumah dengan harga di bawah Rp2 miliar. Kebijakan ini akan berlaku selama enam bulan ke depan.

“Ini sesuatu yang tadinya bayar, sekarang menjadi gratis buat rakyat kecil berpenghasilan rendah,” kata Maruarar.

Selain penghapusan pungutan, pemerintah juga mempercepat proses penerbitan PBG dari sebelumnya 45 hari menjadi hanya 10 hari. Langkah ini diharapkan semakin mempermudah masyarakat mendirikan rumah.

Kebijakan ini merupakan bagian dari komitmen pemerintah untuk mendukung masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) agar memiliki rumah dengan lebih mudah dan terjangkau. “Ini adalah wujud nyata keberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil,” kata Maruarar. (alf)

Target Pajak 2025 Dinilai Tidak Realistis, Ekonom Soroti Wacana Kebijakan Baru

IKPI, Jakarta: Target penerimaan pajak sebesar Rp2.183,9 triliun pada 2025 dinilai terlalu tinggi dan sulit tercapai, terutama mengingat target 2024 sebesar Rp1.988,9 triliun diproyeksikan akan mengalami shortfall atau tidak terpenuhi. Hal ini disampaikan oleh ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, dalam sebuah diskusi daring, Rabu (8/1/2025).

“Dengan shortfall itu, target 2025 menjadi sangat berat. Karena dalam outlook 2024 diasumsikan tercapai, artinya butuh kenaikan sebesar 11,56% pada 2025,” ujar Awalil.

Menurutnya, kenaikan sebesar itu tidak realistis tanpa adanya perubahan kebijakan signifikan. Pemerintah diduga akan mengubah aturan perpajakan, baik dengan menaikkan tarif atau menambah jumlah wajib pajak.

Awalil juga mengungkapkan adanya beberapa wacana kebijakan yang berpotensi diambil pemerintah untuk mendongkrak penerimaan pajak:

1. Penurunan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Bank Dunia dan OECD merekomendasikan agar Indonesia menurunkan ambang batas penghasilan tidak kena pajak dari Rp56 juta per tahun menjadi Rp36 juta per tahun. Dengan perubahan ini, jumlah wajib pajak akan meningkat, sehingga penerimaan pajak penghasilan (PPh) bertambah.

“Jika penghasilan di atas Rp3 juta per bulan sudah dikenakan pajak, maka setoran PPh 21 bisa meningkat signifikan,” kata Awalil.

2. Penurunan ambang batas omzet kena pajak untuk UMKM. Saat ini, pelaku usaha dengan omzet hingga Rp4,8 miliar per tahun tidak dikenakan pajak. Namun, wacana penurunan ambang batas ini bertujuan menambah jumlah pembayar pajak dari sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Meskipun demikian, pemerintah sempat membantah adanya rencana ini.

3. Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) Jilid III. Program ini kembali diwacanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Meski dapat menambah penerimaan melalui denda, pelaksanaan tax amnesty yang berulang dianggap tidak mencerminkan keadilan dan menunjukkan kelemahan reformasi perpajakan di Indonesia.

“Tax amnesty dalam waktu singkat, hanya tiga tahun sejak program sebelumnya, adalah bukti kegagalan pemerintah dalam mereformasi pajak,” kata Awalil.

Dengan berbagai wacana kebijakan ini, ia menilai bahwa target pajak 2025 tetap membutuhkan langkah ekstra yang komprehensif. Reformasi yang adil dan berkelanjutan harus menjadi prioritas agar kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan dapat terjaga. (alf)

id_ID