Subsidi Motor Listrik Kini Pakai Skema PPN DTP

IKPI, Jakarta: Pemerintah mengubah skema subsidi untuk pembelian motor listrik pada tahun 2024. Jika sebelumnya diberikan dalam bentuk bantuan langsung sebesar Rp7 juta per unit, kini subsidi tersebut akan diberikan dalam bentuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Ditanggung Pemerintah (DTP).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyampaikan bahwa mekanisme ini mengikuti pola insentif yang diberikan untuk mobil listrik. “Jadi PPN DTP untuk pembelian motor listrik baru. Sebelumnya kan diberikan subsidi Rp7 juta. Kalau sekarang tidak, berbentuk PPN, kan mobil juga kita berikan,” ujar Airlangga, baru-baru ini.

Meski demikian, Airlangga belum mengungkapkan secara rinci mengenai mekanisme pemberian insentif dalam bentuk PPN DTP ini. Namun, ia berharap harmonisasi regulasi dapat diselesaikan sebelum perayaan Lebaran. “Ya harapannya sebulan ini. Mudah-mudahan sebelum Lebaran sudah diharmonisasi,” tambahnya.

Pada tahun 2023, pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp7 juta per unit untuk pembelian motor listrik baru. Kebijakan ini dilanjutkan hingga tahun 2024, namun realisasi pemberian subsidi tidak mencapai target yang diharapkan.

Sementara itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan bahwa insentif motor listrik saat ini sedang dalam tahap akhir penyelesaian. Dalam acara pembukaan Indonesia International Motor Show (IIMS) pada Kamis (13/2/2025), Agus menyatakan bahwa kebijakan ini akan segera diumumkan setelah perhitungan anggaran selesai.

“Insentif motor listrik dalam waktu dekat ini sudah finishing up. Angkanya masih dalam proses perhitungan, tapi yang pasti ada,” kata Agus.

Dengan perubahan skema subsidi ini, diharapkan minat masyarakat terhadap kendaraan listrik semakin meningkat seiring dengan upaya pemerintah dalam mendorong ekosistem kendaraan ramah lingkungan di Indonesia. (alf)

Mau Dapat Insentif PPN DTP Rumah dan Rusun? Ini Syaratnya!

IKPI, Jakarta: Pemerintah telah memperpanjang pemberian insentif fiskal berupa Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk pembelian rumah tapak dan satuan rumah susun hingga Desember 2025. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 13 Tahun 2025 yang mulai berlaku sejak 4 Februari 2025.

Syarat dan Tata Cara Mendapatkan PPN DTP

Menurut situs Direktorat Jenderal Pajak (DJP), insentif PPN DTP dapat dimanfaatkan oleh warga negara Indonesia yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau Nomor Induk Kependudukan (NIK), dengan ketentuan bahwa satu pribadi hanya berhak atas satu rumah tapak atau satu satuan rumah susun.

Penyerahan rumah dianggap terjadi saat ditandatanganinya akta jual beli oleh pejabat pembuat akta tanah atau perjanjian pengikatan jual beli lunas di hadapan notaris, serta dilakukan serah terima hak yang dibuktikan dengan Berita Acara Serah Terima (BAST). Periode penyerahan yang memenuhi syarat adalah antara 1 Januari 2025 hingga 31 Desember 2025.

BAST harus didaftarkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual melalui aplikasi di kementerian yang mengurus bidang perumahan atau Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat paling lambat akhir bulan berikutnya setelah bulan dilakukannya serah terima.

PKP penjual juga wajib memperoleh kode identitas atas rumah yang disediakan melalui aplikasi di kementerian terkait dan menerbitkan faktur pajak serta menyampaikan laporan realisasi PPN DTP atas transaksi yang memanfaatkan insentif ini.

Besaran Insentif PPN DTP

Berdasarkan PMK No.13 Tahun 2025, skema insentif PPN DTP ditetapkan sebagai berikut:

• Penyerahan rumah antara 1 Januari – 30 Juni 2025: PPN DTP sebesar 100% atas bagian harga jual hingga Rp2 miliar, dengan harga jual maksimal Rp5 miliar.

• Penyerahan rumah antara 1 Juli – 31 Desember 2025: PPN DTP sebesar 50% atas bagian harga jual hingga Rp2 miliar, dengan harga jual maksimal Rp5 miliar.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan sektor ekonomi lainnya. Ia mencontohkan, jika seseorang membeli rumah senilai Rp2 miliar pada 14 Februari 2025, maka seluruh PPN-nya akan ditanggung pemerintah.

Namun, jika rumah yang dibeli bernilai Rp2,5 miliar, maka pembeli harus membayar PPN sebesar 11% dari selisih Rp500 juta, yaitu Rp55 juta.

Dwi juga menegaskan bahwa insentif ini tidak berlaku bagi rumah tapak atau satuan rumah susun yang telah mendapatkan fasilitas pembebasan PPN sebelumnya. Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan semakin banyak masyarakat yang dapat memiliki rumah dengan harga lebih terjangkau. (alf)

Pemerintah Terbitkan PMK 15/2025, Atur Kepastian Hukum Pemeriksaan Pajak

IKPI, Jakarta: Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 yang mengatur kepastian hukum dalam pemeriksaan pajak. Peraturan ini mencakup berbagai aspek, termasuk pemeriksaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sebelumnya diatur dalam beberapa regulasi perpajakan.

Penerbitan PMK 15/2025 dilakukan sebagai penyesuaian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.

“Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai pemeriksaan pajak,” demikian kutipan dari PMK tersebut.

Dalam peraturan ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memiliki wewenang untuk melakukan pemeriksaan guna menguji kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya serta untuk tujuan lain sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan.

Tiga Jenis Pemeriksaan Pajak

PMK 15/2025 menetapkan tiga jenis pemeriksaan pajak, yaitu:

• Pemeriksaan Lengkap – Pemeriksaan yang dilakukan secara menyeluruh terhadap seluruh pos dalam Surat Pemberitahuan (SPT) dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak guna menguji kepatuhan wajib pajak secara mendalam.

• Pemeriksaan Terfokus – Pemeriksaan yang dilakukan hanya terhadap satu atau beberapa pos dalam SPT dan/atau Surat Pemberitahuan Objek Pajak secara mendalam.

• Pemeriksaan Spesifik – Pemeriksaan yang dilakukan secara lebih sederhana dan hanya berfokus pada satu atau beberapa pos dalam SPT, data tertentu, atau kewajiban perpajakan tertentu.

Selain itu, PMK ini mengatur bahwa pemeriksaan pajak dapat mencakup satu atau lebih jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak tertentu. Pemeriksaan ini juga mencakup satu atau beberapa Objek Pajak PBB.

Jenis pajak yang dapat dikenakan pemeriksaan dalam PMK ini mencakup berbagai pajak yang diadministrasikan oleh DJP, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Bea Meterai, Pajak Karbon, serta pajak lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Selain untuk menguji kepatuhan pajak, pemeriksaan juga dapat dilakukan untuk tujuan lain, seperti penentuan dan pencocokan data, pemenuhan kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan, serta pengumpulan materi yang relevan dengan pemeriksaan pajak.

Dengan diterbitkannya PMK 15/2025, diharapkan pemeriksaan pajak menjadi lebih terarah, transparan, dan memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. (alf)

DJP Catatkan Penerimaan Pajak Rp 33,39 Triliun dari Usaha Ekonomi Digital

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatatkan penerimaan negara dari sektor usaha ekonomi digital mencapai total Rp 33,39 triliun hingga 31 Januari 2025. Angka ini berasal dari berbagai jenis pajak yang terkait dengan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), fintech (P2P lending), dan transaksi kripto.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti, dalam keterangannya, Senin (17/2/2025) menjelaskan bahwa penerimaan tersebut berasal dari beberapa sumber pajak, yakni:

– PPN PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik) Rp 26,12 triliun

– Pajak Kripto Rp 1,19 triliun

– Pajak Fintech (P2P Lending) Rp 3,17 triliun

– Pajak atas transaksi pengadaan barang dan jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) Rp 2,90 triliun.

Rincian Penerimaan Pajak PMSE

Penerimaan pajak dari sektor PMSE menjadi yang terbesar, dengan jumlah mencapai Rp 26,12 triliun. Jumlah ini dikumpulkan dari 181 pelaku usaha PMSE yang telah ditunjuk sebagai pemungut PPN. Berdasarkan data DJP, setoran PPN PMSE tersebar dalam beberapa tahun, dengan rincian sebagai berikut:

– Rp 731,4 miliar (tahun 2020)

– Rp 3,90 triliun (tahun 2021)

– Rp 5,51 triliun (tahun 2022)

– Rp 6,76 triliun (tahun 2023)

– Rp 8,44 triliun (tahun 2024)

– Rp 774,8 miliar (tahun 2025, hingga Januari).

Penerimaan Pajak Kripto

Dwi juga mencatatkan penerimaan pajak kripto yang tercatat sebesar Rp 1,19 triliun. Angka ini diperoleh dari transaksi penjualan kripto di exchanger, yang menyumbang penerimaan pajak Penghasilan (PPh) 22 sebesar Rp 560,55 miliar dan Pajak Pertambahan Nilai dalam Negeri (PPN DN) sebesar Rp 634,24 miliar. Penerimaan ini tersebar dari tahun 2022 hingga 2025 dengan rincian sebagai berikut:

– Rp 246,45 miliar (tahun 2022)

– Rp 220,83 miliar (tahun 2023)

– Rp 620,4 miliar (tahun 2024)

– Rp 107,11 miliar (tahun 2025).

Sektor fintech (P2P lending) juga menunjukkan kontribusi signifikan terhadap penerimaan pajak, yang tercatat sebesar Rp 3,17 triliun hingga Januari 2025. Penerimaan ini terdiri dari PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dan Bentuk Usaha Tetap (BUT) sebesar Rp 830,54 miliar, PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) sebesar Rp 720,74 miliar, serta PPN DN atas setoran masa sebesar Rp 1,62 triliun.

Pajak atas Transaksi Pengadaan Barang/Jasa

Selain itu, DJP juga mencatatkan penerimaan pajak dari Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) yang tercatat sebesar Rp 2,90 triliun. Penerimaan ini terdiri dari PPh sebesar Rp 195,54 miliar dan PPN sebesar Rp 2,71 triliun.

Dwi menegaskan bahwa pemerintah terus berkomitmen untuk menciptakan keadilan dalam berusaha (level playing field) antara pelaku usaha konvensional dan digital. Oleh karena itu, pemerintah akan terus menunjuk pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia.

Selain itu, DJP berencana menggali potensi penerimaan pajak lainnya dari sektor ekonomi digital, seperti pajak kripto atas transaksi perdagangan aset kripto, pajak fintech atas bunga pinjaman yang dibayarkan oleh penerima pinjaman, dan pajak SIPP atas transaksi pengadaan barang/jasa pemerintah.

Dengan terus berkembangnya ekonomi digital, DJP berharap sektor ini dapat berkontribusi lebih besar terhadap penerimaan negara dan memberikan manfaat yang optimal bagi pembangunan ekonomi nasional. (alf)

Pemerintah Perpanjang Insentif PPN DTP untuk Rumah dan Rusun

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi memperpanjang pemberian insentif fiskal berupa pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) untuk penyerahan rumah tapak dan satuan rumah susun (rusun). Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 13 Tahun 2025 (PMK-13/2025) yang mulai berlaku pada 4 Februari 2025.

Perpanjangan insentif ini merupakan kelanjutan dari kebijakan serupa yang telah diterapkan pada tahun 2023 dan 2024. Pemerintah berharap kebijakan ini dapat menjaga daya beli masyarakat serta mendorong pertumbuhan sektor properti dan industri terkait lainnya.

“Pemberian insentif PPN ini diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan sektor ekonomi lainnya,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan melalui keterangan tertulisnya, diterima Sabtu (22/2/2025).

Rincian Insentif PPN DTP

• Periode 1 Januari – 30 Juni 2025

• Insentif PPN DTP sebesar 100% atas PPN terutang dari bagian harga jual hingga Rp2 miliar.

• Berlaku untuk rumah dengan harga jual maksimal Rp5 miliar.

• Periode 1 Juli – 31 Desember 2025

• Insentif PPN DTP sebesar 50% atas PPN terutang dari bagian harga jual hingga Rp2 miliar.

• Berlaku untuk rumah dengan harga jual maksimal Rp5 miliar.

Sebagai contoh, jika seseorang membeli rumah seharga Rp2 miliar pada 14 Februari 2025, seluruh PPN-nya akan ditanggung pemerintah. Namun, jika seseorang membeli rumah seharga Rp2,5 miliar pada 15 Februari 2025, maka PPN yang harus dibayar adalah 11% dari Rp500 juta atau sebesar Rp55 juta.

Dwi, perwakilan dari DJP, menegaskan bahwa kebijakan ini tidak berlaku bagi rumah atau rusun yang telah mendapatkan fasilitas pembebasan PPN.

“Pemerintah berharap masyarakat dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk memiliki rumah sekaligus mendukung geliat ekonomi nasional di sektor properti dan sektor-sektor pendukungnya,” kata Dwi.

Dengan kebijakan ini, pemerintah berupaya memberikan stimulus bagi industri properti, mendorong investasi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui kepemilikan hunian yang lebih terjangkau. (alf)

BKF dan IBFD Kolaborasi Bahas Implementasi Pajak Minimum Global di ASEAN

IKPI, Jakarta: Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan bekerja sama dengan International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD) menggelar workshop pemerintahan yang membahas implementasi Pajak Minimum Global di kawasan ASEAN. Acara ini dihadiri oleh para pakar perpajakan internasional IBFD serta perwakilan pemangku kepentingan dari berbagai negara ASEAN yang bertanggung jawab atas kebijakan tersebut.

Bertempat di Gedung BKF Kementerian Keuangan, workshop ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kapasitas negara-negara ASEAN dalam menerapkan Pajak Minimum Global. Selain itu, forum ini juga menjadi wadah untuk memperkuat kerja sama regional serta berbagi pengalaman antara Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam dalam mengelola kebijakan pajak ini. Dengan meningkatnya koordinasi antarnegara, diharapkan implementasi Pajak Minimum Global dapat berjalan dengan lebih efektif dan adil di seluruh kawasan.

Dikutip dari website resmi BKF (fiskal.kemenkeu.go.id), selama tiga hari pelaksanaan (17-19 Februari), workshop membahas berbagai agenda penting, termasuk implementasi Pajak Minimum Global di tingkat internasional, perkembangan terkini serta isu-isu yang muncul di berbagai negara, desain Pajak Top-Up Minimum Dalam Negeri yang memenuhi syarat, desain aturan inklusi perpajakan dan administrasi Pajak Minimum Global, serta strategi dalam mengelola sengketa dan kompetisi pasca penerapan Pajak Pilar Dua.

Para peserta juga mendapatkan wawasan mendalam mengenai tantangan yang mungkin dihadapi dalam penerapan kebijakan ini, termasuk harmonisasi regulasi antarnegara dan kesiapan infrastruktur pajak yang mendukung.

Selain sesi diskusi panel dengan para ahli, workshop ini juga menyajikan studi kasus dari beberapa negara yang telah lebih dahulu mengadopsi Pajak Minimum Global. Hal ini memberikan gambaran konkret mengenai implementasi kebijakan, kendala yang dihadapi, serta solusi yang diterapkan di negara-negara tersebut. Dengan adanya studi kasus ini, peserta workshop dapat mempelajari pengalaman nyata dan menyesuaikannya dengan kondisi fiskal di negara masing-masing.

Di samping itu, workshop juga menyoroti pentingnya digitalisasi dalam administrasi perpajakan, khususnya dalam rangka meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pengumpulan pajak. Pemanfaatan teknologi dalam sistem perpajakan diharapkan mampu mendukung pelaksanaan Pajak Minimum Global secara optimal, sehingga negara-negara ASEAN dapat menghindari praktik penghindaran pajak yang merugikan perekonomian regional.

Dengan diselenggarakannya workshop ini, diharapkan negara-negara ASEAN dapat semakin siap dalam menghadapi tantangan dan peluang terkait implementasi Pajak Minimum Global, serta memperkuat koordinasi dalam merumuskan kebijakan fiskal yang efektif dan berkeadilan di kawasan. Ke depan, kolaborasi lintas negara ini diharapkan dapat menghasilkan kebijakan pajak yang lebih solid dan mampu menciptakan lingkungan usaha yang lebih stabil bagi investor serta memberikan manfaat ekonomi yang lebih luas bagi masyarakat. (alf)

 

CEO INDODAX Soroti Tantangan dalam Implementasi Pajak Kripto di Indonesia

IKPI, Jakarta: CEO INDODAX, Oscar Darmawan, menegaskan bahwa meskipun regulasi pajak kripto telah diberlakukan sejak 2022, masih terdapat tantangan signifikan dalam implementasinya. Ia menyebutkan bahwa sebagian besar biaya transaksi di INDODAX digunakan untuk membayar pajak.

“Sebagian besar biaya transaksi di INDODAX digunakan untuk membayar pajak,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (22/2/2025).

Penerapan pajak atas aset kripto di Indonesia bermula pada tahun 2017, ketika pemerintah mengakui kripto sebagai komoditas yang sah untuk diperdagangkan berdasarkan ketetapan Kementerian Perdagangan. Hingga tahun 2022, sistem perpajakan yang berlaku masih mengandalkan mekanisme self-reporting, di mana para investor melaporkan pendapatan dari kripto melalui Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan dikenai pajak penghasilan progresif.

Namun, sejak 2022, pemerintah Indonesia beralih ke sistem pajak final bagi transaksi aset kripto melalui platform exchange berizin. Dalam skema baru ini, transaksi kripto dikenakan pajak penghasilan final sebesar 0,1% serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,11%. Meski tarif ini relatif rendah dibandingkan negara lain, Oscar Darmawan menyoroti beberapa kendala yang masih dihadapi oleh para pelaku industri.

Salah satu tantangan utama adalah penerapan PPN yang dianggap kurang ideal, sebab tetap dikenakan meskipun trader mengalami kerugian. Hal ini berbeda dengan mekanisme capital gains tax yang umumnya hanya berlaku saat terjadi keuntungan.

Selain itu, masih terdapat kesulitan dalam pemungutan pajak bagi trader yang menggunakan platform exchange luar negeri. Hingga saat ini, belum ada mekanisme yang jelas terkait pemungutan pajak atas transaksi yang dilakukan melalui platform asing, sehingga para trader harus melaporkan kewajiban pajaknya secara mandiri.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, Oscar Darmawan menyarankan agar para trader berkonsultasi dengan account representative (AR) di kantor pajak masing-masing guna memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku.

Lebih lanjut, ia berharap agar revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 dapat mempertimbangkan penghapusan PPN pada transaksi kripto.

Menurutnya, dengan status kripto yang kini diklasifikasikan sebagai aset keuangan di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), seharusnya transaksi kripto tidak lagi dikenakan PPN, seperti halnya produk keuangan lainnya.

“Diharapkan ke depannya kripto sudah tidak lagi dikenakan PPN layaknya produk keuangan lainnya,” ujarnya. (alf)

Update: 4,4 Juta Wajib Pajak Telah Lapor SPT Tahunan, DJP Ingatkan Jangan Terlambat!

IKPI, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat sebanyak 4,4 juta wajib pajak telah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) per 19 Februari 2025. DJP mengimbau wajib pajak yang belum melapor untuk segera melakukan pelaporan agar lebih nyaman dan tenang.

“Hingga saat ini sudah 4,4 juta SPT Tahunan disampaikan. Terima kasih atas partisipasi #KawanPajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan!” tulis DJP dalam pengumuman resmi di akun Instagram @ditjenpajakri, Jumat (21/2/2025).

Dari total pelaporan yang masuk, sebanyak 4,27 juta merupakan wajib pajak orang pribadi, sedangkan 130,5 ribu berasal dari wajib pajak badan. Adapun mayoritas pelaporan dilakukan melalui saluran elektronik e-Filing di djponline.pajak.go.id dengan total 4,31 juta laporan, sementara 97,8 ribu lainnya dilakukan secara manual.

DJP menegaskan bahwa pelaporan SPT Tahunan merupakan bentuk kontribusi nyata wajib pajak dalam pembangunan negara. Oleh karena itu, masyarakat yang belum melapor diimbau segera menyampaikan SPT Tahunan melalui e-Filing agar proses lebih mudah dan nyaman.

Sebagai informasi, SPT Tahunan 2024 dapat mulai dilaporkan sejak 1 Januari 2025. Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), batas akhir penyampaian SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi adalah 31 Maret 2025, sedangkan untuk wajib pajak badan paling lambat 30 April 2025.

Bagi wajib pajak yang belum melapor, DJP mengingatkan agar segera melakukan pelaporan di https://djponline.pajak.go.id untuk menghindari kendala di akhir batas waktu pelaporan.(alf)

DI Seminar Nasional STIAMI Ketua IKPI Kota Bekasi Soroti Pentingnya Sistem Bupot Bulanan dengan TER

IKPI, Bekasi: Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Kota Bekasi, Iman Julianto, menyoroti pentingnya sistem Bukti Pemotongan Bulanan Pegawai Tetap dengan TER (Monthly Payment). Dalam pernyataannya pada Sabtu (22/2/2025), ia menegaskan bahwa bukti pemotongan ini telah berpindah ke menu ISSUED setelah mendapatkan Nomor Bukti Potong.

Iman juga menjelaskan bahwa bukti pemotongan yang telah diterbitkan masih bisa dibatalkan dengan mencentang bukti pemotongan berstatus ‘Normal/Pembetulan’ dan menekan tombol ‘Cancel’.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Bekasi)

Iman menegaskan, “Dengan adanya sistem ini, diharapkan perusahaan lebih tertib dalam pemotongan pajak karyawan dan pelaporan menjadi lebih transparan serta akurat.”

Pelaporan SPT PPh Pasal 21

Dalam konteks pelaporan SPT PPh Pasal 21, Iman menekankan bahwa jika status SPT Nihil, maka saat menekan tombol ‘Pay And Submit’, SPT akan terkirim otomatis. Sementara itu, jika status SPT Kurang Bayar, metode pelunasan dapat dilakukan dengan ‘Deposit Balance Transfer’ jika saldo mencukupi atau dengan ‘Create Billing Code’ jika tidak memiliki saldo deposit pajak.

Setelah SPT berhasil ditandatangani secara elektronik:

• Untuk status SPT Masa Nihil, SPT akan langsung terkirim.

• Untuk status SPT Masa Kurang Bayar, SPT baru terkirim setelah kode billing dilunasi, tanpa perlu memasukkan kode NTPN dalam draft SPT.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Bekasi)

Apabila kode billing kadaluarsa sebelum dilunasi, maka status SPT Masa yang sebelumnya berada di ‘Tax Return Waiting for Payment’ akan kembali menjadi draft dan bergeser ke ‘Tax Return Not Submitted’.

Akses ke Bukti Pemotongan TER

Untuk mengakses bukti pemotongan bulanan pegawai tetap dengan TER, wajib pajak dapat memilih menu e-Bupot, lalu memilih opsi terkait bukti pemotongan tersebut.

Menurut Iman, perubahan sistem perpajakan dengan Coretax berdampak signifikan pada implementasi PPh 21. Ia menjelaskan bahwa akun Coretax perusahaan hanyalah wadah bagi akun Coretax pribadi para pengurus yang ditunjuk oleh direktur sebagai PIC utama.

Iman menambahkan, “Sistem Coretax memberikan kendali yang lebih besar kepada perusahaan dalam pengelolaan perpajakan mereka, sekaligus memastikan bahwa semua pemrosesan dilakukan secara aman dan terstruktur.”

(Foto: DOK. IKPI Cabang Bekasi)

Perbedaan Coretax dan DJP Online

Dalam paparannya, Iman menekankan perbedaan mendasar antara Coretax dan DJP Online:

• Di DJP Online, sertifikat elektronik milik perusahaan dalam format .p12 harus dipasang di browser.

• Di Coretax, sertifikat elektronik bersifat personal dan berupa tanda tangan digital dengan passphrase.

Menurutnya, Alakun Coretax pribadi menjadi sangat penting karena akun perusahaan hanya berfungsi sebagai wadah, sehingga direktur perlu menetapkan peran akses kepada para pengurus yang ditunjuk.

Menurut Iman, penerapan Coretax memberikan beberapa manfaat, baik bagi pemberi penghasilan (perusahaan) maupun penerima penghasilan (karyawan dan freelancer):

• Data bukti potong otomatis terisi dalam SPT (prepopulated), mempermudah pengisian dan pelaporan.

• Memudahkan pembuatan bukti potong pegawai tetap (A1 dan A2) di akhir tahun.

• Transparansi pemotongan PPh karena bukti potong dapat langsung diterima melalui akun wajib pajak.

Pembuatan Bukti Potong PPh Pasal 21

Iman menjelaskan bahwa ada tiga skema pembuatan bukti potong PPh dalam Coretax DJP:

• Input manual di Coretax DJP.

• Unggahan massal file XML pada akun wajib pajak.

• Pembuatan massal melalui Penyedia Jasa Aplikasi Perpajakan (PJAP).

Dalam sistem baru ini, pemotong wajib mengisi NPWP penerima sesuai dengan NIK yang terdaftar di Coretax DJP. Jika NIK belum terdaftar, sistem akan meminta konfirmasi penggunaan NPWP sementara (Temporary TIN).

Dengan implementasi sistem ini, Iman berharap proses perpajakan menjadi lebih transparan dan mempermudah wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban mereka. “Kami optimis bahwa dengan sistem yang lebih modern dan akurat ini, administrasi perpajakan akan semakin mudah dan efisien bagi semua pihak,” kata Iman.

Hadiri Undangan Seminar Nasional di Institut STIAMI

Sekadar informasi, kehadiran Iman sebagai narasumber utama pada seminar nasional ini diminta oleh Institut STIAMI. Acara ini merupakan kolaborasi antara dunia akademisi, usaha, dan industri, yang diselenggarakan oleh Institut STIAMI Kampus B Cikarang pada 13 Februari 2025.

Dalam seminar ini, Iman selaku Ketua IKPI Bekasi, serta perwakilan dari Kanwil DJP Jawa Barat II menjadi narasumber. Undangan juga ditujukan kepada Kepala Kanwil DJP Jawa Barat II R Dasto Ledyanto

Acara ini turut dihadiri oleh Rektor Institut STIAMI, Prof. Dr. Sylviana Murni, yang memberikan sambutan pembuka, serta Haryono Wibowo selaku dosen STIAMI.

Selain itu, seminar ini dihadiri oleh anggota APINDO DPK Kabupaten Bekasi, GNIK (Gerakan Nasional Indonesia Kompeten) Area Direktur Kabupaten Bekasi, serta para pelaku usaha.

Dalam sesi seminar, Iman menyampaikan materi terkait pemahaman Coretax dalam konteks PPh 21, sementara Benny, selaku penyuluh dari Kanwil DJP Jawa Barat II, membahas Coretax secara lebih luas.

Para peserta sangat antusias mengikuti pemaparan kami, sehingga tercipta diskusi yang interaktif. Sebagai Ketua IKPI Bekasi, ia merasa bangga dapat turut mengedukasi serta mensosialisasikan Coretax kepada masyarakat, berkolaborasi dengan DJP.

“Institut STIAMI juga sangat mengapresiasi kehadiran kami, dan acara juga dihadiri oleh para dosen dan dekan dari program baik Sarjana maupun Pascasarjana Institut STIAMI,” ujarnya. (bl)

Ragam Pilihan Registrasi Pada Coretax DJP Mudahkan Wajib Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyediakan berbagai pilihan menu registrasi dalam sistem Coretax DJP untuk mempermudah wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Dengan adanya sistem ini, wajib pajak dapat memilih menu registrasi sesuai dengan kebutuhan mereka.

Pilihan Menu Registrasi

Terdapat beberapa menu registrasi yang disesuaikan dengan kondisi wajib pajak, antara lain:

• Pendaftaran dengan Aktivasi NIK

• Ditujukan bagi wajib pajak yang ingin mendaftarkan NPWP baru.

• Status: Aktif

• Wajib lapor SPT: Ya

• NIK sebagai NPWP: Ya

• Pengecualian: Wanita kawin yang memilih bergabung dengan NPWP suami.

• Hanya Registrasi

• Ditujukan bagi wanita kawin yang memilih bergabung dengan NPWP suami.

• Status: Tidak Aktif

• Wajib lapor SPT: Tidak

• NIK sebagai NPWP: VA

• Lupa Kata Sandi

• Khusus bagi pengguna DJP Online yang mengalami kendala dalam mengakses akun mereka.

• Status: Aktif

• Wajib lapor SPT: Ya

• NIK sebagai NPWP: Ya

Pilihan Registrasi Lanjutan

Selain itu, terdapat beberapa opsi lain bagi wajib pajak yang sudah memiliki NPWP tetapi memerlukan aktivasi akun di Coretax DJP:

• Aktivasi Akun untuk Pemilik NPWP Aktif

• Ditujukan bagi pemilik NPWP aktif namun bukan pengguna DJP Online.

• Status: Aktif

• Wajib lapor SPT: Ya

• NIK sebagai NPWP: Ya

• Aktivasi Akun bagi Pengguna DJP Online yang Lupa Email atau Nomor Telepon

• Ditujukan bagi wajib pajak yang mengalami kendala akses karena lupa email atau nomor telepon seluler.

• Status: Aktif

• Wajib lapor SPT: Ya

• Aktivasi Akun untuk Wanita Kawin yang Gabung NPWP Suami tetapi Membutuhkan Akses Coretax DJP

• Ditujukan bagi wanita yang telah bergabung dengan NPWP suami namun memiliki peran sebagai wakil atau kuasa wajib pajak.

• Status: Aktif

• Wajib lapor SPT: Tidak

• NIK sebagai NPWP: Ya

• Perubahan Data Unit Keluarga Perpajakan (Tax Family Unit)

• Khusus bagi wanita menikah yang bergabung dengan NPWP suami atau anak yang belum memiliki e-KTP.

• Status: Tidak Aktif

• Wajib lapor SPT: Tidak

• NIK sebagai NPWP: Ya

Dengan berbagai pilihan registrasi ini, DJP berharap dapat memberikan kemudahan bagi wajib pajak dalam mengelola kewajiban perpajakannya dengan lebih efisien dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (alf)

id_ID