IKPI Makassar Gelar Pelatihan Brevet A & B, Cetak Konsultan Pajak Profesional 

IKPI, Makassar: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Makassar resmi memulai kelas perdana pelatihan Brevet A dan B pada Senin (16/6/2025), menandai tonggak penting dalam pengembangan kapasitas profesional perpajakan di kawasan Indonesia Timur.

Peluncuran program Brevet AB ini dilangsungkan bersamaan dengan peresmian sekretariat baru IKPI Makassar, yang dihadiri oleh perwakilan Kanwil DJP Sulselbatra dan Ketua Pengurus Daerah IKPI Sulawesi, Maluku, dan Papua, Drs. Mustamin Anshar.

Ketua IKPI Cabang Makassar, Ezra Palisungan, menjelaskan bahwa kelas perdana Brevet AB diikuti oleh 17 peserta dari berbagai latar belakang, termasuk staf perpajakan, mahasiswa, dan profesional muda. Pelatihan dijadwalkan berlangsung selama 28 pertemuan, dengan sesi kelas digelar setiap Senin, Rabu, dan Jumat pukul 18.00–21.00 WITA.

“Kami menyelenggarakan Brevet AB dengan pendekatan praktis dan aplikatif. Semua instruktur merupakan anggota IKPI Makassar yang juga berpengalaman sebagai dosen dan konsultan pajak profesional, sehingga peserta akan mendapatkan kombinasi ilmu teori dan praktik lapangan,” ujar Ezra, Rabu (18/6/2025).

Dikatakannya, kelas Brevet ini dilaksanakan sepenuhnya di Sekretariat baru IKPI Cabang Makassar, yang kini menjadi pusat kegiatan pendidikan, diskusi profesional, serta sinergi antaranggota dan pemangku kepentingan perpajakan.

Pelatihan Brevet AB ini menjadi bukti komitmen IKPI Makassar dalam mencetak konsultan pajak yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga menjunjung etika dan profesionalisme tinggi.

“Kami ingin Makassar menjadi pusat pengembangan konsultan pajak unggulan di kawasan timur. Brevet ini adalah langkah awal menuju tujuan tersebut,” tambah Ezra.

Dengan dimulainya program ini, IKPI Makassar berharap dapat mendorong lahirnya generasi konsultan pajak yang siap menghadapi tantangan regulasi dan dinamika perpajakan nasional. (bl)

 

Ekonom Ingatkan Menaikkan Tarif Pajak Ciptakan Perlambatan Ekonomi

IKPI, Jakarta: Pemerintah diingatkan untuk berhati-hati dalam menaikkan tarif pajak. Bukannya menambah pemasukan negara, kebijakan ini justru berisiko menciptakan masalah baru yang berujung pada penurunan penerimaan negara dan perlambatan ekonomi.

Peringatan tersebut disampaikan oleh ekonom senior asal Amerika Serikat, Arthur Betz Laffer, dalam acara Economic Update 2025 yang digelar Rabu, 18 Juni 2025.

Laffer, yang dikenal luas lewat teori Kurva Laffer, menilai bahwa penaikan tarif pajak sering kali menghasilkan efek sebaliknya dari yang diharapkan.

“Ketika tarif pajak dinaikkan 10 persen, pembuat kebijakan kerap berasumsi pendapatan juga akan naik 10 persen. Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu,” kata Laffer.

Menurutnya, respons wajib pajak terhadap kenaikan tarif bisa sangat beragam, mulai dari mencari celah legal untuk menghindari pajak, mengurangi aktivitas usaha, hingga hengkang ke negara lain yang tarifnya lebih rendah. Akibatnya, basis pajak menyusut dan penerimaan negara justru bisa merosot.

“Mereka bisa berhenti bekerja, mengalihkan usahanya ke tempat lain, dan negara kehilangan potensi pendapatan,” tambahnya.

Laffer menekankan bahwa pendekatan ideal adalah menerapkan tarif pajak yang rendah, stabil, dan berbasis luas. Dengan begitu, beban pajak terbagi lebih merata tanpa menekan satu kelompok secara berlebihan.

“Pajak yang rendah, berbasis luas, dan tetap itulah resep utama agar sistem perpajakan tidak menjadi beban ekonomi,” ujar Laffer.

Namun ia juga mengakui bahwa dampak dari kenaikan tarif bisa berbeda-beda di tiap negara. Ada kalanya kenaikan tarif memang meningkatkan penerimaan, tapi dalam banyak kasus, data justru menunjukkan sebaliknya.

“Efek ekonomi dan efek akuntansi bekerja ke arah yang berlawanan. Kuncinya ada pada data dan konteksnya,” tegasnya.

Pandangan Laffer ini menjadi bahan refleksi penting di tengah tekanan fiskal yang dihadapi banyak negara, termasuk Indonesia, agar tidak gegabah menjadikan penaikan tarif sebagai jalan pintas dalam mengejar target penerimaan. (alf)

 

DJP – Satgassus Polri Kolaborasi Bongkar Shadow Economy di Sektor SDA

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menggandeng Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Optimalisasi Penerimaan Negara dari Polri untuk memberantas aktivitas ekonomi tersembunyi atau shadow economy, khususnya yang merugikan negara dari sektor-sektor strategis. Kolaborasi ini menyasar aktivitas ekonomi ilegal yang kerap luput dari pengawasan dan pelaporan perpajakan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menjelaskan bahwa sinergi antara DJP dan Satgassus difokuskan pada sektor berbasis sumber daya alam.

“Sektor yang menjadi perhatian utama adalah illegal fishing, illegal mining, dan illegal logging. Aktivitas-aktivitas ini tidak hanya merusak lingkungan tetapi juga menyebabkan kerugian besar bagi penerimaan negara,” ujar Rosmauli dalam keterangan tertulis, Rabu (18/6/2025).

Tak hanya tiga sektor itu, DJP dan Satgassus juga akan menelusuri potensi aktivitas ekonomi ilegal lainnya yang diduga menjadi sumber kejahatan terorganisir dan pencucian uang.

Langkah konkret yang diambil meliputi penguatan pertukaran data, pemetaan potensi penerimaan yang belum tergarap, serta penegakan hukum berbasis intelijen dan analisis risiko.

“Pendekatannya menyeluruh, dari pencegahan hingga penindakan,” tegas Rosmauli.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto telah mengadakan pertemuan intensif dengan jajaran Satgassus, termasuk Ketua Herry Muryanto. Tim Satgassus, kecuali Wakil Ketua Novel Baswedan yang berhalangan hadir, menyambangi kantor DJP guna membahas strategi koordinatif pengamanan penerimaan negara.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati turut menanggapi inisiatif ini. Ia mengungkapkan bahwa keberadaan Satgassus bukanlah hal baru, melainkan revitalisasi dari upaya serupa yang pernah diluncurkan.

“Saya pernah hadir saat peluncuran sebelumnya. Ini inisiatif yang baik dan sejalan dengan upaya memperkuat APBN,” ujar Sri Mulyani.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebelumnya menyampaikan bahwa Satgassus ini bertugas mendampingi kementerian terkait, termasuk Kementerian Keuangan, agar lebih optimal dalam menghimpun penerimaan negara. Tim ini terdiri dari mantan penyidik KPK yang dulu aktif dalam Satgassus Pencegahan Korupsi Polri.

Dengan pengalaman investigatif yang kuat, Satgassus di bawah kepemimpinan Herry Muryanto dan Novel Baswedan diharapkan mampu membongkar praktik-praktik ekonomi ilegal yang selama ini menjadi titik lemah pengawasan fiskal nasional.

Pemerintah optimistis kolaborasi ini akan menjadi salah satu kunci dalam mengamankan target penerimaan negara sekaligus mempersempit ruang gerak ekonomi gelap di Indonesia. (alf)

 

Dirjen Pajak Gandeng Satgassus Polri Amankan Penerimaan Negara, Fokus Pajaki Transaksi Digital

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, menegaskan komitmennya untuk menjaga stabilitas penerimaan negara melalui sinergi erat dengan Satgassus Optimalisasi Penerimaan Negara Polri. Kolaborasi ini mencakup langkah-langkah strategis dari sisi pencegahan hingga penindakan terhadap potensi kebocoran pajak.

Dalam pertemuan yang digelar pada Senin sore (17/6/2025), Bimo mengundang seluruh anggota Satgassus kecuali Novel Baswedan ke kantor pusat Ditjen Pajak. Ia menyatakan bahwa pertemuan ini menjadi tonggak awal koordinasi lintas lembaga demi mengamankan setoran negara dari potensi pelanggaran perpajakan.

“Satgassus datang full team ke kantor kami, dan kami berkomitmen untuk bersinergi mengamankan penerimaan negara, baik dari sisi pencegahan maupun penindakan,” ujar Bimo.

Bimo juga mengungkapkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak tengah menyiapkan strategi khusus untuk mengoptimalkan penerimaan negara, terutama dalam rangka mendongkrak tax ratio nasional yang selama satu dekade terakhir stagnan di kisaran 10 persen.

Salah satu fokus utama adalah ekstensifikasi perpajakan lewat pengenaan pajak pada transaksi digital. Menurutnya, regulasi terkait sudah rampung dan siap diterapkan.

“Beberapa kerangka regulasi pemajakan transaksi digital sudah kami selesaikan. Ini menjadi langkah konkret kami untuk memperluas basis pajak,” jelasnya.

Sementara itu, dari sisi intensifikasi, Bimo menekankan pentingnya peningkatan layanan perpajakan. Ia menyebut sistem administrasi Coretax atau Cortex telah menunjukkan perkembangan positif. “Registrasi dan pembayaran melalui Cortex kini sudah stabil. Kami sedang menyempurnakan aspek pelaporan SPT dan pelayanan lainnya,” imbuhnya.

Langkah-langkah ini dinilai krusial untuk memastikan pencapaian target penerimaan negara 2025 dan memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan nasional. (alf)

 

 

APBN Mei 2025 Kembali Defisit Rp21 Triliun, Penerimaan Pajak Masih Loyo

IKPI, Jakarta: Setelah sempat mencatatkan surplus di bulan April, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kembali mengalami defisit pada Mei 2025 sebesar Rp21 triliun. Angka ini setara dengan 0,09% dari Produk Domestik Bruto (PDB), menunjukkan tekanan fiskal yang mulai terasa akibat lemahnya kinerja penerimaan negara.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam konferensi pers APBN KiTa yang digelar di Kementerian Keuangan, Selasa (17/6/2025), menjelaskan bahwa total pendapatan negara hingga akhir Mei tercatat sebesar Rp995,3 triliun atau baru 33,1% dari target tahun 2025.

Di sisi lain, belanja negara mencapai Rp1.016,3 triliun, terdiri atas belanja pemerintah pusat Rp694,2 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp322 triliun.

“Posisi defisit terjadi karena belanja negara lebih besar dari pendapatan. Ini juga mencerminkan tantangan dari sisi penerimaan, khususnya pajak,” ujar Sri Mulyani.

Pendapatan dari sektor pajak memang menunjukkan tren perlambatan. Hingga Mei, penerimaan pajak hanya terkumpul Rp683,3 triliun atau 31,2% dari target tahunan senilai Rp2.189,2 triliun. Angka ini turun signifikan 11,28% dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp760,38 triliun.

Sebelumnya, pada April 2025, APBN mencatatkan surplus Rp4,3 triliun atau 0,02% dari PDB, mengakhiri tren defisit tiga bulan berturut-turut sejak awal tahun. Surplus tersebut sempat menjadi sinyal positif sebelum akhirnya defisit kembali terjadi di bulan berikutnya.

Meski demikian, Sri Mulyani mencatat adanya capaian positif dari sisi keseimbangan primer. Per Mei 2025, keseimbangan primer surplus sebesar Rp192,1 triliun, naik dari Rp184,2 triliun pada Mei tahun lalu dan Rp173,9 triliun pada April 2025.

Pemerintah sendiri telah merancang defisit fiskal 2025 sebesar Rp616,2 triliun atau 2,53% terhadap PDB. Dengan realisasi defisit yang masih di bawah 5% dari target tahunan, pemerintah menganggap posisi fiskal masih cukup terjaga, meskipun tekanan penerimaan perlu diwaspadai, terutama dari sektor pajak. (alf)

 

 

Genjot Rasio Pajak, DJP Siapkan Strategi Digital dan Reformasi Bisnis

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, menegaskan komitmennya untuk meningkatkan rasio pajak nasional pasca pelantikannya pada 23 Mei 2025 lalu. Dalam konferensi pers “APBN KiTA” yang digelar di Jakarta, Selasa (17/6/2025), Bimo menyampaikan bahwa upaya tersebut sejalan dengan amanat Undang-Undang APBN dan menjadi prioritas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam menjaga kesinambungan fiskal.

“Strategi kami tidak hanya mengandalkan reformasi Coretax, tapi juga melalui intensifikasi, ekstensifikasi, serta optimalisasi pemajakan atas sektor-sektor potensial, termasuk transaksi digital,” ujar Bimo.

Menurutnya, sejumlah regulasi yang mengatur pemajakan digital sudah disiapkan dan akan segera diumumkan ke publik. “Beberapa kerangka regulasi sudah kami rampungkan, dan dalam waktu dekat akan kami sampaikan secara rinci,” tambahnya.

Dari sisi reformasi sistem, implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (Coretax) disebut telah mencatat kemajuan positif, khususnya pada aspek registrasi dan pembayaran yang kini diklaim sudah berjalan stabil. Fokus pembenahan kini beralih ke penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) dan layanan perpajakan lainnya.

Lebih jauh, DJP juga tengah merevisi pendekatan terhadap sektor-sektor unggulan penerimaan negara, seperti komoditas dan sektor yang sedang mengalami lonjakan pertumbuhan. Langkah ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa kebijakan perpajakan benar-benar mampu menangkap potensi penerimaan yang optimal.

“Sesuai arahan Ibu Menteri Keuangan, kami akan evaluasi apakah kebijakan yang ada saat ini sudah cukup memadai dalam mengoptimalkan penerimaan dari sektor-sektor tersebut,” ujar Bimo.

Tak hanya fokus pada sistem dan regulasi, penguatan sumber daya manusia dan kelembagaan juga menjadi perhatian utama. “Peningkatan kualitas SDM dan institusi menjadi kunci untuk membangun kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan kita,” tegasnya.

Sebagai gambaran, rasio pajak Indonesia pada tahun 2024 tercatat sebesar 10,08% dari Produk Domestik Bruto (PDB), mengalami penurunan dibanding tahun 2023 yang mencapai 10,31%. Kondisi ini menjadi tantangan nyata bagi DJP di bawah kepemimpinan baru.

Dengan kombinasi antara reformasi struktural, regulasi adaptif, dan penguatan kapasitas kelembagaan, DJP berharap mampu mendorong kepatuhan sukarela dan memperkuat basis pajak nasional di tengah dinamika ekonomi global. (alf)

 

 

 

 

 

IKPI Makassar Resmikan Sekretariat Baru, Perkuat Peran IKPI di Timur Indonesia

IKPI, Makassar: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Makassar meresmikan sekretariat barunya pada Senin, 16 Juni 2025. Peresmian ini menjadi bagian dari rangkaian kegiatan penting yang digelar dalam suasana penuh keakraban, bersamaan dengan Halal Bihalal.

Kantor Sekretariat baru ini diresmikan secara simbolis melalui prosesi pemotongan pita oleh Ketua Pengurus Daerah IKPI Sulawesi, Maluku, dan Papua, Mustamin Anshar, bersama perwakilan dari Kanwil DJP Sulselbatra.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Makassar)

Ketua IKPI Cabang Makassar, Ezra Palisungan, menyampaikan bahwa keberadaan sekretariat baru ini bukan sekadar tempat berkegiatan, tetapi juga pusat koordinasi, pendidikan, dan pengembangan kompetensi para anggota.

“Dengan adanya sekretariat baru, kami ingin menciptakan ruang yang nyaman, terbuka, dan produktif untuk mendukung seluruh agenda organisasi baik pelatihan, diskusi profesional, hingga penguatan sinergi dengan DJP dan masyarakat,” ujar Ezra, Rabu (18/6/2025).

Acara peresmian turut dihadiri anggota IKPI Cabang Makassar dari berbagai wilayah, terutama yang berdomisili di kota Makassar. Sementara anggota yang berada di luar kota menunjukkan dukungan dengan mengirimkan karangan bunga ucapan selamat.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Makassar)

Meskipun sejumlah pejabat dari Kanwil DJP Sulselbartra dan Kepala KPP Pratama se-Makassar tidak dapat hadir secara langsung karena agenda serah terima jabatan dan rapat koordinasi, kehadiran perwakilan dari Humas Kanwil dan Kepala Seksi Umum dari masing-masing KPP tetap menandai sinergi dan komunikasi yang terjalin baik antara IKPI dan otoritas perpajakan.

Menurutnya, Sekretariat baru IKPI Makassar diharapkan menjadi rumah bersama bagi para konsultan pajak dalam memperkuat profesionalisme, integritas, dan kontribusi nyata di bidang perpajakan nasional. (bl)

 

IKPI Surabaya Perkuat Sinergi dengan DJP Jatim I, Dorong Edukasi Pajak

IKPI, Surabaya: Dalam upaya mempererat sinergi dan meningkatkan kualitas edukasi perpajakan di masyarakat, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Surabaya menerima kunjungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Timur I pada Selasa (17/6/2025). Kunjungan ini menjadi momentum penting bagi kedua pihak untuk membahas sejumlah agenda kolaboratif serta menyampaikan aspirasi masyarakat wajib pajak yang selama ini ditangani oleh para konsultan pajak.

Pertemuan dengan perwakilan DJP yang dipimpin oleh Kepala Bidang P2Humas Kanwil DJP Jatim I, Sugeng Pemilu Karyawan, bersama sejumlah pejabat lainnya. Dari IKPI Surabaya hadir langsung Ketua Cabang Enggan Nursanti, Wakil Ketua Ali Yus Isman, Sekretaris Renny Anggraini, serta jajaran pengurus cabang lainnya.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Surabaya)

Menurut Enggan, dalam dialog tersebut, Kanwil DJP Jatim I menyampaikan ajakan resmi kepada IKPI Surabaya untuk bekerja sama dalam berbagai program strategis yang difokuskan pada edukasi dan pembinaan masyarakat. Salah satu agenda utama adalah pembinaan berkelanjutan bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di wilayah Surabaya, guna meningkatkan pemahaman mereka terhadap hak dan kewajiban perpajakan.

Ia menyatakan, Kanwil DJP Jatim I juga tengah menyiapkan pelaksanaan Olimpiade Pajak bekerja sama dengan Tax Center dari berbagai perguruan tinggi di Surabaya. Dalam program ini, IKPI Surabaya diundang berperan sebagai mentor, pembicara, hingga fasilitator edukasi.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Surabaya)

“Program-program seperti ini sangat relevan dan strategis. Kami siap mendukung, karena sejalan dengan komitmen IKPI dalam mendorong kesadaran pajak dan pemahaman yang benar di tengah masyarakat,” ujar Enggan.

Selain itu lanjut Enggan, IKPI juga diminta terlibat dalam memberikan edukasi perpajakan kepada anggota Koperasi Merah Putih, yang baru mulai beroperasi dan menyasar pelaku usaha baru di Surabaya.

Meski berlangsung dalam suasana sinergis, IKPI Surabaya juga menyampaikan sejumlah catatan kritis berdasarkan keluhan yang mereka terima dari masyarakat wajib pajak.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Surabaya)

Salah satu hal yang disoroti adalah kualitas layanan Account Representative (AR) di beberapa kantor pelayanan pajak, yang dinilai masih kurang memberikan solusi konkret terhadap permasalahan yang dihadapi wajib pajak.

Selain itu, produk Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) juga dinilai belum mencerminkan pendekatan substansi dan edukatif.

“Beberapa SP2DK yang diterbitkan terkesan administratif semata, tidak menjawab permasalahan yang sebenarnya. Ini justru menimbulkan ketidakpastian bagi wajib pajak dan bisa menghambat kepatuhan,” tegas Enggan.

Tak hanya itu, IKPI juga menyoroti kelemahan teknis dalam implementasi sistem Coretax, khususnya dalam pembuatan surat kuasa oleh konsultan pajak perempuan yang NPWP-nya masih bergabung dengan suami. Persoalan ini dianggap menghambat kerja profesional konsultan pajak perempuan yang sah secara hukum dan praktik.

“Ini persoalan serius yang seharusnya bisa diantisipasi oleh sistem. Jika tidak segera dibenahi, akan muncul kesan bahwa sistem perpajakan kita belum ramah terhadap profesional perempuan,” jelas Enggan.

Selain utu, IKPI Surabaya berharap agar ke depan, forum komunikasi dan konsultasi dengan DJP dapat dilakukan secara berkelanjutan dan terstruktur, tidak hanya terbatas pada kegiatan seremonial.

“Sebagai mitra strategis, kami berharap IKPI bisa terus dilibatkan dalam proses evaluasi kebijakan maupun teknis di lapangan. Masukan dari asosiasi profesi seperti kami bisa menjadi jembatan antara DJP dan masyarakat,” kata Enggan. (bl)

Wajib Pajak Bisa Jadi Pemungut Bea Meterai, Ini Kriterianya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menetapkan ketentuan baru terkait penunjukan pihak tertentu sebagai pemungut bea meterai melalui Peraturan Dirjen Pajak No. PER-7/PJ/2025. Aturan ini memberikan pedoman tentang kriteria wajib pajak yang bisa ditunjuk sebagai pemungut bea atas dokumen-dokumen tertentu yang memiliki nilai hukum dan finansial.

Dalam beleid tersebut, disebutkan bahwa pemungut bea meterai adalah pihak yang berkewajiban memungut bea dari pihak yang terutang, menyetorkannya ke kas negara, serta melaporkan proses pemungutan dan penyetoran ke DJP.

Salah satu kategori wajib pajak yang berpeluang ditetapkan sebagai pemungut adalah mereka yang memfasilitasi penerbitan surat berharga, seperti cek dan bilyet giro. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 62 ayat (4) PER-7/PJ/2025 yang menyebut bahwa penunjukan dilakukan terhadap wajib pajak yang secara aktif terlibat dalam transaksi bernilai dokumen tinggi.

Tak hanya itu, wajib pajak yang menerbitkan atau memfasilitasi dokumen transaksi surat berharga atau kontrak berjangka dengan bentuk dan nama apa pun juga masuk dalam kriteria. Termasuk pula pihak yang rutin menerbitkan surat pernyataan, surat keterangan, serta dokumen yang mencantumkan nilai uang lebih dari Rp5 juta terutama jika volume dokumen tersebut mencapai rata-rata 1.000 lembar per bulan.

Permohonan Penetapan Bisa Lewat Coretax

Wajib pajak yang ingin ditetapkan sebagai pemungut bea meterai dapat mengajukan permohonan secara daring melalui Portal Wajib Pajak (Coretax) atau datang langsung ke kantor pajak jika akses elektronik tidak memungkinkan.

Untuk pengajuan daring, formulir permohonan harus diisi, ditandatangani secara elektronik, dan dilengkapi dengan salinan dokumen persyaratan seperti surat permohonan penetapan dan surat pernyataan kesediaan sebagai pemungut.

Sementara itu, untuk pengajuan manual di kantor pajak, dokumen disampaikan secara fisik dengan formulir yang sudah ditandatangani dan dilampiri dokumen pendukung serupa. (alf)

 

 

Pelaku Usaha Digital Bisa Pilih Jadi Pemungut PPN, Ini Ketentuannya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan ruang bagi pelaku usaha digital atau Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) untuk secara sukarela menjadi pihak lain yang berwenang memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-12/PJ/2025.

Langkah ini menjadi terobosan bagi pelaku usaha PMSE yang belum ditunjuk secara resmi, tetapi bersedia terlibat aktif dalam administrasi perpajakan. Mereka cukup mengajukan pemberitahuan melalui Portal Wajib Pajak di sistem Coretax, atau datang langsung ke kantor pelayanan pajak.

“Pemberitahuan disampaikan secara langsung ke kantor pelayanan pajak atau melalui Portal Wajib Pajak atau laman lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi DJP,” demikian tertulis dalam Pasal 5 ayat (2) aturan tersebut.

Pemberitahuan ini akan menjadi bahan evaluasi bagi DJP untuk mempertimbangkan penunjukan resmi sebagai pihak lain. Adapun format surat pemberitahuan telah diatur dalam Lampiran B PER-12/PJ/2025.

Siapa yang Dimaksud “Pihak Lain”?

Dalam beleid ini, “pihak lain” adalah entitas yang memfasilitasi atau terlibat langsung dalam transaksi digital, yang diberi mandat untuk mengelola PPN sesuai ketentuan Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Pihak lain ini dibedakan dalam dua kategori:

1. Pihak dalam negeri (berdomisili di Indonesia)

2. Pihak luar negeri (berdomisili di luar Indonesia)

Pelaku usaha PMSE yang telah ditetapkan sebagai pihak lain memiliki kewajiban penuh untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) tidak berwujud serta Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar negeri di Indonesia.

Kriteria Penunjukan

DJP dapat menunjuk pelaku usaha digital sebagai pihak lain apabila memenuhi dua batasan kriteria utama:

1. Nilai transaksi atas barang atau jasa di Indonesia melebihi Rp600 juta dalam setahun atau Rp50 juta dalam sebulan.

2. Jumlah pengakses dari Indonesia mencapai lebih dari 12.000 dalam setahun atau 1.000 dalam sebulan.

Kebijakan ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor ekonomi digital yang terus berkembang pesat. (alf)

 

 

 

 

 

id_ID