Hong Kong Naikkan Pajak Keberangkatan Turis menjadi Rp 440.000 Mulai Oktober

IKPI, Jakarta: Hong Kong akan menaikkan pajak keberangkatan turis mulai Oktober mendatang. Nantinya, traveler yang berangkat dari Hong Kong akan dikenakan kenaikan Pajak Keberangkatan Penumpang Udara (APDT) sebesar 67%.

Dilansir dari Travel and Leisure Asia, pajak keberangkatan ini akan naik dari sebelumnya 120 dollar Hong Kong (Rp 264 ribu) menjadi 200 dollar Hong Kong (Rp 440 ribu). Kenaikan ini mencapai 80 dollar Hong Kong atau sekitar Rp 176 ribu.

Sekretaris Keuangan Hong Kong Paul Chan, mengumumkan kenaikan Pajak Keberangkatan Penumpang Udara selama presentasi anggaran 2025-2026 pada akhir Februari lalu. Ia menyatakan bahwa kenaikan pajak ini dimaksudkan untuk membantu mengatasi defisit keuangan dan diharapkan menghasilkan tambahan sebesar 1,6 miliar dollar Hong Kong dalam pendapatan pemerintah setiap tahunnya.

Pajak keberangkatan ini akan dibebankan kepada penumpang berusia 12 tahun ke atas yang berangkat dari Bandara Internasional Hong Kong. Biaya ini juga akan dimasukkan dalam harga tiket pesawat.

Namun, beberapa kategori traveler dapat memenuhi syarat untuk pengecualian pajak, seperti penumpang transit langsung dan penumpang singgah. Penumpang yang dikecualikan juga bisa mendapatkan pengembalian pajak keberangkatan yang telah dibayarkan melalui Departemen Penerbangan Sipil Hong Kong.

Selain itu, turis yang telah membeli tiket pesawat namun belum berangkat dari Hong Kong juga berhak atas pengembalian pajak bandara secara penuh.

Sementara itu, Hong Kong tengah berupaya memulihkan perekonomian dari dampak pandemi. Pemerintah juga sedang mengambil berbagai langkah di sektor pariwisata untuk mengatasi defisit anggaran yang mencapai 87,2 miliar dollar Hong Kong. (alf)

 

Pemerintah Tetapkan Tarif Bunga Sanksi Administratif Pajak untuk Maret 2025

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan secara resmi menetapkan tarif bunga sanksi administratif pajak untuk periode 1 Maret hingga 31 Maret 2025. Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 3/KM.10/2025 yang ditandatangani oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Febrio Nathan Kacaribu.

Dalam keputusan tersebut, tarif bunga per bulan menjadi dasar penghitungan sanksi administratif berupa bunga serta pemberian imbalan bunga kepada Wajib Pajak. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak serta menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Penurunan Tarif Bunga Sanksi Administratif Pajak

Tarif bunga sanksi administratif pajak pada Maret 2025 mengalami penurunan dibandingkan dengan Februari 2025. Tarif bunga sanksi administratif bulan Maret berkisar antara 0,57 persen hingga 2,24 persen per bulan, lebih rendah dibandingkan tarif Februari yang berada dalam rentang 0,59 persen hingga 2,26 persen per bulan.

Berikut rincian tarif bunga sanksi administratif yang berlaku untuk Maret 2025:

• Pasal 19 ayat (1) UU KUP: 0,57 persen per bulan untuk keterlambatan pembayaran pajak setelah diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau dokumen lain yang relevan.

• Pasal 19 ayat (2) dan (3) UU KUP: 0,57 persen per bulan untuk penundaan atau angsuran pembayaran pajak.

• Pasal 8 ayat (2) dan (2a) UU KUP: 0,99 persen per bulan untuk pembetulan SPT Tahunan atau SPT Masa yang menyebabkan utang pajak bertambah.

• Pasal 9 ayat (2a) dan (2b) UU KUP: 0,99 persen per bulan untuk keterlambatan penyetoran Pajak Penghasilan (PPh) Masa dan PPh Pasal 21 atau 29.

• Pasal 14 ayat (3) UU KUP: 0,99 persen per bulan untuk pajak yang kurang dibayar akibat salah tulis atau hitung.

• Pasal 8 ayat (5) UU KUP: 1,41 persen per bulan bagi Wajib Pajak yang mengungkapkan ketidakbenaran SPT setelah pemeriksaan.

• Pasal 13 ayat (2) dan (2a) UU KUP: 1,82 persen per bulan untuk SKPKB akibat kurang bayar pajak.

• Pasal 13 ayat (3B) UU KUP: 2,24 persen per bulan untuk SKPKB atas pelanggaran seperti tidak menyampaikan SPT dalam waktu yang ditentukan.

Tarif Imbalan Bunga Maret 2025

Selain sanksi administratif, Kementerian Keuangan juga menetapkan tarif bunga untuk pemberian imbalan kepada Wajib Pajak yang memenuhi syarat, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3), Pasal 17B ayat (3) dan (4), serta Pasal 27B ayat (4) UU KUP. Untuk Maret 2025, tarif imbalan bunga adalah 0,57 persen per bulan, lebih rendah dibandingkan Februari 2025 yang sebesar 0,59 persen per bulan.

Rincian pemberian imbalan bunga adalah sebagai berikut:

• Pasal 11 Ayat (3) UU KUP: 0,57 persen per bulan untuk keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

• Pasal 17B Ayat (3) UU KUP: 0,57 persen per bulan jika terjadi keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB).

• Pasal 17B Ayat (4) UU KUP: 0,57 persen per bulan jika pemeriksaan bukti awal tidak berlanjut ke penyidikan atau penyidikan tidak dilanjutkan ke penuntutan.

• Pasal 27B Ayat (4) UU KUP: 0,57 persen per bulan untuk pengembalian kelebihan pembayaran pajak akibat pengabulan keberatan, banding, atau peninjauan kembali.

Penetapan tarif bunga ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum serta mendorong kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka. (alf)

 

 

DJP Umumkan Perubahan Layanan Perpajakan Selama Ramadan 1446 H/2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengumumkan perubahan jam operasional Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di seluruh Indonesia selama bulan Ramadan 1446 H/2025. Berdasarkan kebijakan terbaru, KPP akan beroperasi mulai pukul 08.00 hingga 15.00 waktu setempat, dari Senin hingga Jumat.

“Kami siap melayani Kawan Pajak di bulan suci penuh keberkahan ini. Masing-masing kantor pajak [KPP] juga dapat menerapkan jam layanan tambahan serta menyelenggarakan layanan di luar kantor sesuai dengan kebijakan masing-masing kantor,” tulis DJP melalui akun Instagram resminya (@ditjenpajakri) pada Selasa (4/3/2025).

DJP juga mengingatkan para Wajib Pajak orang pribadi untuk segera melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) tahun pajak 2024. Batas akhir pelaporan SPT Tahunan PPh orang pribadi tetap jatuh pada 31 Maret 2025, meskipun tanggal tersebut bertepatan dengan Hari Idulfitri 1446 H.

“[Lapor SPT tahunan] tetap dapat dilaksanakan secara elektronik di DJPOnline https://djponline.pajak.go.id,” imbuh DJP.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), keterlambatan dalam melaporkan SPT Tahunan PPh orang pribadi akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp100 ribu.

Wajib Pajak Sudah Lapor SPT

Hingga 24 Februari 2025 pukul 02.00 WIB, DJP mencatat sebanyak 5,03 juta Wajib Pajak telah melaporkan SPT tahunan mereka. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP, Dwi Astuti, menyebutkan bahwa dari jumlah tersebut, 4,88 juta berasal dari Wajib Pajak orang pribadi, sementara 148,98 ribu berasal dari Wajib Pajak badan.

“Mayoritas Wajib Pajak memilih jalur elektronik [DJPOnline] dengan total 4,92 juta SPT tahunan, sementara sebanyak 109,68 ribu SPT tahunan masih disampaikan secara manual melalui kantor pajak [KPP],” ujar Dwi dalam keterangan tertulis yang diterima  pada 25 Februari 2025.

Dwi Astuti mengimbau para Wajib Pajak untuk menyampaikan SPT tahunan lebih awal guna menghindari potensi kendala sistem yang sering terjadi menjelang batas waktu pelaporan.

Bagi Wajib Pajak yang mengalami kesulitan dalam pelaporan SPT tahunan, DJP menyediakan berbagai saluran bantuan, termasuk Kring Pajak di nomor 1500 200, fitur ‘Live Chat’ pada laman www.pajak.go.id, serta layanan di KPP terdaftar. (alf)

DPR: Gangguan Coretax Bukan Hanya Soal Penghapusan Denda tetapi Ganggu Proses Bisnis

IKPI, Jakarta: Implementasi sistem Coretax yang resmi diterapkan sejak 1 Januari 2025 berdampak pada penerimaan pajak negara di awal tahun. Anggota Komisi XI DPR, Harris Turino, mengatakan bahwa permasalahan utama bukan hanya terkait penghapusan sanksi denda, tetapi juga keterlambatan pencetakan faktur pajak yang mengganggu proses bisnis dan penagihan.

Harris mengungkapkan bahwa penerimaan pajak pada Januari 2025 hanya mencapai Rp 70 triliun, jauh di bawah target Rp 175 triliun. Menurutnya, Coretax merupakan sistem yang canggih, namun belum sepenuhnya siap diterapkan. “Harapannya, dengan kondisi keuangan negara yang sedang sulit ini, Coretax bisa membantu meningkatkan atau setidaknya mencapai target penerimaan pajak di 2025,” ujar anggota DPR dari Fraksi PDIP tersebut, kemarin.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah menetapkan penerapan Coretax mulai awal tahun ini. Namun, sistem tersebut mengalami kendala, termasuk kesiapan petugas pajak dalam mengoperasikannya. Akibatnya, terjadi kekacauan dalam pencetakan faktur yang berimbas pada dunia usaha. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah dan DPR memutuskan pada 10 Februari 2025 bahwa sistem lama masih akan digunakan bersamaan dengan Coretax.

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo, mengatakan bahwa dampak dari gangguan sistem ini terhadap penerimaan pajak baru akan terlihat setelah seluruh pelaporan pajak awal tahun selesai. “Dampaknya baru bisa terlihat nanti karena penerimaan pajak Januari baru dilaporkan pada Februari,” katanya di Gedung DPR, Senin, 10 Februari 2025.

Hingga 24 Februari 2025, Kementerian Keuangan melaporkan bahwa sebanyak 19,36 juta faktur pajak telah diterbitkan dan divalidasi untuk periode Februari 2025, sementara untuk Januari 2025 jumlahnya mencapai 61,52 juta.

Untuk meredam dampak dari kendala ini, Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan Keputusan DJP Nomor 67/PJ/2025 yang menetapkan kebijakan penghapusan sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak terutang serta penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT).

Pemerintah diharapkan dapat segera menyelesaikan permasalahan teknis dalam penerapan Coretax agar tidak menghambat pencapaian target penerimaan pajak tahun ini. (alf)

Jepang Pertimbangkan Kenaikan Pajak Turis Asing untuk Atasi Overtourism

IKPI, Jakarta: Pemerintah Jepang tengah mempertimbangkan untuk menaikkan pajak bagi turis asing yang berkunjung ke negaranya. Saat ini, Jepang mengenakan tarif pajak keberangkatan sebesar 1.000 yen atau sekitar Rp110 ribu per orang kepada wisatawan yang meninggalkan negara tersebut.

Rencana kenaikan pajak ini telah dibahas oleh pemerintah serta partai-partai berkuasa di Jepang. Menurut laporan The Straits Times, kebijakan baru ini bertujuan memperluas penggunaan pendapatan pajak, termasuk untuk mengatasi overtourism yang terjadi di sejumlah destinasi populer di Jepang.

Anggota subkomite Partai Demokrat Liberal mulai mengumpulkan pendapat terkait besaran kenaikan pajak dan bagaimana dana yang diperoleh akan digunakan. Beberapa usulan yang muncul adalah menaikkan pajak keberangkatan menjadi 3.000 yen (Rp330 ribu) hingga 5.000 yen (Rp553 ribu). Saat ini, pendapatan dari pajak tersebut masih digunakan untuk mempromosikan pariwisata internasional, termasuk menarik lebih banyak wisatawan asing dan pengembangan resor.

Untuk mengatasi lonjakan wisatawan dan dampak overtourism, pemerintah Jepang berharap pendapatan pajak nantinya dapat dialokasikan untuk memperluas fasilitas transportasi serta meningkatkan kualitas layanan di bandara. Pajak keberangkatan yang berlaku sejak Januari 2019 ini tidak hanya dikenakan pada turis asing tetapi juga pada warga Jepang yang bepergian ke luar negeri. Pajak ini ditambahkan langsung pada biaya tiket pesawat dan kapal pesiar yang berangkat dari Jepang.

Pendapatan dari pajak turis meningkat drastis dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun fiskal 2023, jumlahnya naik tiga kali lipat dibanding tahun sebelumnya, mencapai 39,9 miliar yen. Diperkirakan, angka tersebut akan meningkat menjadi 49 miliar yen pada tahun fiskal 2025.

Berdasarkan data dari Badan Pariwisata Jepang (JNTO), jumlah turis asing yang mengunjungi Jepang pada 2024 mencapai 36,87 juta orang, sementara jumlah warga Jepang yang bepergian ke luar negeri sebanyak 13,01 juta orang. Dengan tren peningkatan ini, pemerintah Jepang menargetkan kedatangan 60 juta wisatawan asing pada tahun 2030.

Kebijakan kenaikan pajak ini masih dalam tahap pembahasan lebih lanjut, dan keputusan akhir akan mempertimbangkan dampak terhadap industri pariwisata serta ekonomi Jepang secara keseluruhan. (alf)

Penerimaan Pajak di Jawa Timur Turun 2,70% di Awal 2025

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat penerimaan pajak di Jawa Timur hingga 31 Januari 2025 mencapai Rp 19,05 triliun. Angka ini mengalami penurunan sebesar 2,70% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Mengutip laman resmi DJP, penurunan ini dipengaruhi oleh kebijakan pemusatan pembayaran dan administrasi Wajib Pajak cabang yang mengurangi penerimaan pajak di Jawa Timur. Selain itu, belum optimalnya implementasi sistem Coretax DJP juga berdampak pada kelancaran administrasi perpajakan.

“Penurunan ini dipengaruhi oleh kebijakan pemusatan pembayaran dan administrasi Wajib Pajak cabang yang mengurangi penerimaan pajak di Jawa Timur, serta belum optimalnya implementasi sistem Coretax DJP, yang berdampak pada kelancaran administrasi perpajakan,” dikutip dari laman resmi DJP pada Senin (3/3/2025).

Hingga akhir Januari 2025, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) menjadi penyumbang utama dengan kontribusi sebesar 66,32%, sementara Pajak Penghasilan (PPh) Non Migas berkontribusi sebesar 32,95%. Namun, penerimaan dari PPN dalam negeri masih mengalami penurunan akibat kebijakan pemusatan pembayaran.

Sebaliknya, PPN Impor dan PPh Pasal 22 Impor mencatat pertumbuhan 9,1% dibandingkan tahun sebelumnya. “Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas impor di wilayah Jawa Timur masih berjalan stabil dan tidak terlalu terdampak oleh kebijakan pemusatan Wajib Pajak cabang,” tulis DJP dalam keterangannya.

Di sisi lain, penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) mencatat pertumbuhan signifikan sebesar 693,01%, sedangkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) meningkat 311,23%. Peningkatan ini terjadi akibat perubahan administrasi yang menyebabkan pembayaran Wajib Pajak cabang yang sebelumnya tidak tercatat di Jawa Timur kini dikelola dalam wilayah administrasi provinsi tersebut.

Sektor Kepabeanan dan Cukai juga mengalami pertumbuhan positif. Peningkatan ini didorong oleh naiknya produksi rokok serta pertumbuhan volume ekspor produk turunan Crude Palm Oil (CPO) yang dipicu oleh tingginya harga referensi CPO.

Dengan berbagai dinamika ini, DJP diharapkan dapat terus mengoptimalkan sistem perpajakan guna meningkatkan penerimaan pajak di masa mendatang. (alf)

Donald Trump Resmi Bubarkan Tim Pajak Digital 18F

IKPI, Jakarta: Pemerintahan Donald Trump secara resmi membubarkan tim pegawai negeri sipil yang berperan dalam pengembangan sistem layanan pajak Internal Revenue Service (IRS) serta perbaikan berbagai situs web pemerintah. Juru bicara General Service Administration (GSA) mengonfirmasi pembubaran tim tersebut pada Sabtu (2/3/2025).

Dikutip dari Reuters, Direktur Teknologi Transformasi GSA Thomas Shedd memberi tahu anggota tim digital 18F bahwa pekerjaan mereka dihentikan karena dianggap “tidak kritis.” Akibatnya, sekitar 90 pegawai tim tersebut langsung kehilangan akses ke perangkat kerja mereka setelah keputusan diumumkan.

GSA menyatakan bahwa langkah ini diambil sebagai bagian dari implementasi sejumlah perintah eksekutif, salah satunya adalah “Inisiatif Optimalisasi Tenaga Kerja Departemen Efisiensi Pemerintahan Presiden,” yang ditandatangani pada 11 Februari.

Miliarder Elon Musk, yang memimpin tim Efisiensi Pemerintahan di bawah administrasi Trump, menanggapi pembubaran ini melalui platform X. Menanggapi unggahan yang menyebut 18F sebagai “kantor komputer yang jauh milik pemerintah,” Musk membalas dengan mengatakan bahwa kelompok itu telah “dihapus.”

Tim 18F pertama kali dibentuk pada 2014 di bawah pemerintahan Barack Obama dan beroperasi di bawah naungan GSA. Tim ini bertugas meningkatkan aksesibilitas situs web pemerintah, memodernisasi teknologi, serta memperbaiki layanan bagi masyarakat. Selain itu, 18F juga membantu meningkatkan akses data dan mendukung inisiatif transparansi informasi publik. Hingga saat ini, layanan pengisian pajak daring IRS yang dikembangkan oleh tim tersebut masih dapat diakses.

Sementara itu, The Washington Post melaporkan bahwa tim di bawah kepemimpinan Musk tertarik menggunakan data pajak pribadi untuk meninjau potensi penipuan dalam pembayaran tunjangan federal. Di sisi lain, Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS) dilaporkan meminta IRS mengungkapkan alamat rumah sekitar 700.000 imigran tanpa dokumen yang sedang dalam proses deportasi. Menurut laporan The New York Times dan The Washington Post pada Jumat (1/3/2025), IRS sejauh ini menolak permintaan DHS terkait akses data tersebut.

Hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari Gedung Putih mengenai langkah lanjutan terkait keputusan tersebut. (alf)

DJP Ingatkan Wajib Pajak Waspada Penipuan Pelaporan SPT 

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati terhadap berbagai modus penipuan yang mengatasnamakan otoritas pajak, terutama di tengah musim penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan 2024.

Kepala Subdirektorat Pelayanan Perpajakan DJP, Tirta, mengatakan bahwa penipuan semacam ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk, sehingga wajib pajak harus lebih waspada agar terhindar dari kerugian.

“Hati-hati atas upaya atau tindakan-tindakan dari para pihak yang tidak bertanggung jawab yang mencoba untuk memanfaatkan momentum pelaporan SPT ini dalam rangka mencari keuntungan pribadi,” ujar Tirta dikutip dari Podcast Cermati, Minggu (2/3/2025).

DJP menegaskan bahwa seluruh himbauan dan komunikasi resmi hanya akan disampaikan melalui saluran yang telah ditentukan. Email dari DJP dipastikan selalu menggunakan domain resmi @pajak.go.id. Jika wajib pajak menerima pesan melalui email atau WhatsApp yang mengatasnamakan otoritas pajak, mereka diminta untuk tidak ragu melakukan konfirmasi ke DJP.

Untuk memastikan keabsahan informasi, wajib pajak dapat menghubungi DJP melalui telepon Kring Pajak 1500200, akun X @DitjenPajakRI atau @kring_pajak, serta fitur Live Chat di situs www.pajak.go.id.

“Banyak aktivitas phishing yang mengatasnamakan DJP dengan tujuan mengambil keuntungan pribadi. Maka para wajib pajak jangan ragu untuk mengkonfirmasi jika menerima pesan singkat, WhatsApp, email, atau telepon yang mengatasnamakan petugas pajak,” tambah Tirta.

Sebagai informasi, sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), batas akhir penyampaian SPT Tahunan untuk wajib pajak orang pribadi adalah 31 Maret 2025, sementara untuk wajib pajak badan paling lambat 30 April 2025. Wajib pajak dapat melaporkan SPT secara online melalui e-filing atau e-form di DJP Online.

Meskipun sistem perpajakan terbaru, Coretax, telah tersedia, penyampaian SPT Tahunan 2024 masih menggunakan metode yang lama. (alf)

Target Penerimaan Pajak 2025 Berat, Pemerintah Diminta Lakukan Perbaikan

IKPI, Jakarta: Target penerimaan pajak tahun 2025 yang ditetapkan sebesar Rp2.189,3 triliun diperkirakan sulit dicapai, mengingat berbagai tantangan yang dihadapi. Meski demikian, ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Rijadh Djatu Winardi, mengajak masyarakat dan para pengamat ekonomi untuk tetap optimis.

Menurut Rijadh, pemerintah telah menyiapkan berbagai strategi guna mencapai target penerimaan pajak, antara lain dengan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, serta perbaikan administrasi perpajakan. “Penting bagi kita semua untuk mendukung pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajak. Dengan penerimaan yang kuat, pemerintah dapat menjalankan program pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya baru-baru ini.

Namun, ia menyoroti beberapa faktor yang dapat menghambat penerimaan pajak di awal tahun 2025. Salah satunya adalah implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau Core Tax Administration System (Coretax). Meskipun Coretax bertujuan memperbaiki tax gap dan manajemen basis data perpajakan, sistem ini masih menghadapi berbagai kendala sejak diluncurkan.

Rijadh menilai, kapasitas dan arsitektur sistem Coretax belum siap untuk menangani skalabilitas tinggi, sehingga rentan mengalami gangguan saat volume data melonjak. “Infrastruktur server yang digunakan nampaknya belum dioptimalkan untuk menangani pemrosesan data dalam jumlah besar serta kompleksitas transaksi perpajakan,” jelasnya.

Sebagai perbandingan, ia menyebut MyTax Portal Inland Revenue Authority of Singapore (MyTax IRAS) yang telah digunakan sejak 2007 tanpa kendala berarti. “Skala pengguna antara Indonesia dan Singapura memang berbeda, sehingga perlu perbaikan agar Coretax bisa lebih stabil dan informatif seperti MyTax IRAS,” tambahnya.

Selain itu, Rijadh juga mengkhawatirkan dampak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap inflasi dan daya beli masyarakat menengah ke bawah. Namun, ia melihat bahwa penerapan Tarif Efektif Rata-Rata (TER) untuk penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) 21 dapat memberikan kemudahan dalam perhitungan pajak karyawan serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak.

Meskipun saat ini terlalu dini untuk menilai dampak penurunan penerimaan pajak terhadap perekonomian nasional, Rijadh memperingatkan bahwa kegagalan mencapai target pajak bisa berdampak serius. “Konsekuensinya bisa berupa penurunan belanja pemerintah, defisit anggaran yang melebar, meningkatnya rasio utang, perlambatan pertumbuhan ekonomi, menurunnya daya beli masyarakat, hingga ketidakstabilan ekonomi negara,” tuturnya.

Sebagai solusi, Rijadh mengusulkan beberapa sumber penerimaan pajak alternatif. Pertama, pajak kekayaan yang dikenakan pada nilai aset seseorang, yang di beberapa negara diterapkan dengan tarif di bawah 3,5%. Kedua, pajak produksi batu bara berdasarkan volume produksi. Ketiga, windfall tax atau pajak atas keuntungan tidak terduga yang diperoleh perusahaan akibat lonjakan harga komoditas, seperti yang diterapkan Inggris pada perusahaan minyak dan gas sebesar 25% pada 2022.

“Tentu semua alternatif ini memerlukan kajian mendalam, kecermatan kebijakan, dan political will yang kuat,” ujarnya. (alf)

Pajak Minimum Global: Peluang dan Tantangan bagi Indonesia

Penerapan pajak minimum global (global minimum tax) yang digagas oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) merupakan langkah monumental dalam reformasi perpajakan internasional. Aturan ini bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional (multinational enterprises/MNEs) dengan menetapkan tarif pajak minimum sebesar 15%. Indonesia, sebagai bagian dari komunitas global, tentu akan merasakan dampak dari implementasi aturan ini.

Dari sudut pandang praktisi perpajakan, terdapat sejumlah dampak positif dan negatif yang perlu dicermati. Salah satu manfaat utama dari pajak minimum global adalah pengurangan praktik penghindaran pajak.

Sebelumnya, banyak perusahaan multinasional yang memanfaatkan yurisdiksi dengan tarif pajak rendah untuk mengalihkan laba (profit shifting). Dengan adanya pajak minimum global, celah untuk melakukan strategi ini semakin sempit, sehingga potensi penerimaan pajak bagi negara seperti Indonesia meningkat.

Penerapan pajak minimum global berpotensi meningkatkan penerimaan pajak Indonesia, terutama dari perusahaan multinasional yang sebelumnya membayar pajak rendah di negara lain. Dengan mekanisme “top-up tax”, Indonesia berpeluang memungut pajak tambahan dari entitas yang sebelumnya mengalihkan laba ke negara dengan tarif pajak lebih rendah dari 15%.

Regulasi ini membantu menciptakan persaingan usaha yang lebih adil antara perusahaan domestik dan perusahaan multinasional. Sebelumnya, perusahaan lokal kerap dirugikan karena harus membayar pajak lebih tinggi dibandingkan MNEs yang bisa menghindari pajak dengan berbagai skema agresif. Dengan aturan baru, persaingan usaha menjadi lebih setara.

Bagi praktisi perpajakan, adanya standar global mengenai tarif pajak minimum dapat meningkatkan transparansi dan kepastian hukum dalam sistem perpajakan Indonesia. Hal ini berpotensi mengurangi ketidakpastian bagi investor yang ingin menjalankan bisnisnya di Indonesia tanpa khawatir terhadap perubahan kebijakan perpajakan yang mendadak.

Meskipun pajak minimum global bertujuan untuk menciptakan keadilan pajak, implementasi aturan ini dapat membuat Indonesia kurang menarik bagi investor asing. Negara-negara yang selama ini menawarkan insentif pajak untuk menarik investasi harus meninjau kembali kebijakan mereka.

Jika insentif tersebut tidak lagi efektif, investor bisa mencari negara lain dengan faktor produksi yang lebih murah atau keuntungan lain di luar pajak.

Indonesia memiliki berbagai skema insentif pajak, seperti pembebasan atau pengurangan pajak di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan insentif untuk industri tertentu. Jika tarif pajak minimum harus diterapkan, maka efektivitas insentif-insentif ini akan dihilangkan. Hal ini dapat berdampak negatif pada sektor-sektor yang bergantung pada kebijakan fiskal sebagai daya tarik investasi.

Selain itu, pemerintah juga memberikan pengurangan dalam menghitung global income sebagai dasar penghitungan pajak minimum global. Adapun, persentase biaya gaji sebagai pengurang SBIE di th 2023 sebesar 10% dan sampai dengan tahun 2033 sebesar 5%. Sedangkan persentase harta berwujud sebagai pengurang SBIE di tahun 2023 sebesar Rp 8% dan hingga tahun 2033 sebesar 5%.

Artinya, Substance Based Income Exclusion yang selanjutnya disingkat SBIE adalah pengecualian pengenaan pajak tambahan atas Laba GloBE Bersih yang dihitung dengan formula tertentu. Sedangkan SBIE merupakan jumlah kumulatif dari pengecualian

berdasarkan biaya gaji dan pengecualian berdasarkan jumlah tercatat harta berwujud untuk setiap Entitas Konstituen yang bukan merupakan entitas investasi di negara atau yurisdiksi tersebut.

Dengan demikian, pajak minimum global merupakan kebijakan yang kompleks dan membutuhkan kesiapan regulasi di tingkat domestik. Implementasinya akan memerlukan perubahan signifikan dalam peraturan perpajakan Indonesia, termasuk harmonisasi dengan aturan OECD serta penyusunan kebijakan teknis seperti perhitungan “top-up tax”. Hal ini bisa menambah beban administrasi bagi otoritas pajak dan wajib pajak.

Dalam dunia perpajakan internasional, setiap perubahan kebijakan dapat memicu reaksi dari negara lain. Beberapa negara yang selama ini menjadi tujuan pengalihan laba bisa mengambil langkah retaliasi atau menciptakan skema baru yang tetap memberikan keuntungan bagi MNEs. Jika tidak diantisipasi dengan baik, hal ini bisa mengurangi efektivitas dari kebijakan pajak minimum global.

Dari perspektif praktisi perpajakan, penerapan pajak minimum global di Indonesia memiliki sisi positif dan negatif yang harus diperhitungkan dengan cermat. Di satu sisi, kebijakan ini dapat meningkatkan penerimaan pajak, mengurangi praktik penghindaran pajak, dan menciptakan iklim persaingan yang lebih adil. Namun, di sisi lain, ada tantangan besar terkait daya saing investasi, efektivitas insentif pajak, serta kompleksitas implementasi regulasi baru.

Pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah strategis untuk memaksimalkan manfaat dan meminimalkan dampak negatif dari aturan ini. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan menyesuaikan kebijakan insentif pajak agar tetap menarik bagi investor tanpa melanggar ketentuan global.

Selain itu, kesiapan regulasi dan sistem administrasi perpajakan juga menjadi kunci dalam menghadapi perubahan ini. Dengan pendekatan yang tepat, Indonesia dapat mengambil manfaat maksimal dari kebijakan pajak minimum global sambil tetap menjaga daya saing ekonominya di kancah internasional.

Penulis: Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Pusat

Suryani

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

id_ID