OECD Sebut Indonesia Bisa Dapat Tambahan PDB Rp 208 Triliun

IKPI, Jakarta: Organization for Economic Co-operation and Development atau OECD mengungkapkan bisa mendapatkan tambahan PDB sekitar 1%. Caranya dengan memperbaiki administrasi pajak. Hal ini terungkap dalam Survei Ekonomi OECD Indonesia 2024 yang dirilis pada Selasa (26/11/2024).

OECD mengatakan perbaikan administrasi pajak atau tax administration dapat mengerek pendapatan hingga 1% dari produk domestik bruto (PDB). Jika mengacu pada data BPS, yakni nilai PDB atas dasar harga berlaku (ADHB) 2023 sebesar Rp20.892,4 triliun. Maka tambahan pendapatan negara 1% tersebut sama setara dengan Rp208,924 triliun.

“Peningkatan penerimaan pajak lebih lanjut adalah hal yang penting. Seperti yang dikemukakan dalam survei-survei sebelumnya (dan oleh IMF). Strategi penerimaan jangka menengah akan memfasilitasi peningkatan rasio pajak terhadap PDB,” ungkap OECD dalam laporannya dikutip Kamis (27/11/2024).

Terkait dengan PPN, OECD mengkritisi kebijakan Indonesia mengenai batas omzet perusahaan yang terkena pajak. Perusahaan dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar (US$ 300.000) selama ini tetap dibebaskan dari PPN.

“Ambang batas ini lebih tinggi dibandingkan di sebagian besar negara OECD dan jauh lebih tinggi dibandingkan di Thailand dan Filipina, yang mencapai sekitar US$ 50.000,” kata OECD.

Oleh karena itu, OECD menyarankan Indonesia untuk menurunkan ambang batas kewajiban PPN, serta mengurangi jumlah sektor yang tidak dikenakan PPN, akan meningkatkan penerimaan PPN baik dari sektor yang baru wajib maupun yang sudah wajib.

OECD juga mengungkapkan total pajak cukai di Indonesia masih rendah dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Oleh karena itu, OECD menilai banyak peluang untuk menarik pemasukan cukai, termasuk cukai bahan bakar.

“Mengingat eksternalisasi polusi udara dan tujuan pengurangan emisi, ada beberapa peluang untuk langkah-langkah yang saling menguntungkan dalam menaikkan pajak cukai bahan bakar dan mengurangi subsidi bahan bakar, meskipun kepekaan politik harus diatasi,” tulis OECD.

Kemudian, Cukai atas rokok juga harus ditingkatkan lebih lanjut, untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan kesehatan, karena merokok masih menjadi tantangan kesehatan yang besar di Indonesia dan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar

Sementara itu, Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) ditanggung oleh rumah tangga kaya, pajak ini rumit dan menyebabkan pelaporan yang kurang. OECD menilai memungut pajak atas kepemilikan mobil, daripada pembelian mobil, dapat membuat sistem tidak terlalu rentan terhadap pelaporan yang kurang.

DJP Ingatkan Masyarakat Kasus Penipuan Bermodus Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengingatkan masyarakat untuk berhati-hati terhadap potensi penipuan yang meminta wajib pajak mengakses tautan atau mengunduh aplikasi mencurigakan yang mengatasnamakan implementasi coretax system.

Peringatan ini diungkapkan oleh DJP mengingat pihaknya tengah mengirimkan email blast dan WhatsApp blast dengan nomor terverifikasi +62 822-3000-9880 kepada para Wajib Pajak mengenai imbauan untuk mengakses perkembangan informasi terkait Coretax pada https://pajak.go.id/id/reformdjp/coretax.

“Sehubungan dengan hal tersebut, kami imbau kepada masyarakat untuk waspada terhadap adanya potensi penipuan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan situasi pengiriman email blast dan WhatsApp blast tersebut,” kata DJP dalam laman resminya, dikutip dari CNBC Indonesia, Kamis (27/11/2024).

DJP mengungkapkan email blast dan WhatsApp blast yang dikirimkan oleh Direktorat Jenderal Pajak tidak melampirkan/menggunakan file APK dan tidak meminta mengunduh aplikasi apapun.

Selain itu, email atau pesan Whatsapp blast ini tidak meminta update atau pemadanan data Nomor Induk Kependudukan menjadi Nomor Pokok Wajib Pajak (pemadanan NIK-NPWP), atau update data apa pun terkait profil Wajib Pajak dan tidak meminta verifikasi informasi data sensitif berupa nama ibu kandung, tanggal lahir, nomor telepon, alamat, dan sebagainya.

DJP juga mengingatkan pihaknya tidak meminta transfer sejumlah uang untuk pembayaran Bea Meterai, pembayaran tunggakan pajak, atau pembayaran lainnya; dan/atau tidak meminta kode unik One Time Password (OTP).

“Dalam hal masyarakat diminta melaksanakan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam poin nomor 3, diminta untuk tidak memenuhi permintaan tersebut,” tegas DJP.

Masyarakat wajib tahu bahwa update data profil Wajib Pajak hanya dapat dilakukan atas permintaan Wajib Pajak sendiri. Apabila memerlukan informasi lebih lanjut, masyarakat dapat menghubungi kantor pajak terdekat atau Kring Pajak 1500 200.

Masyarakat juga dapat mengadukan tindakan penipuan ke situs Kementerian Komunikasi dan Digital dengan laman https://aduannomor.id/ (untuk aduan terkait nomor telepon) dan https://aduankonten.id/ (untuk aduan terkait konten dan aplikasi).

KIP Soroti Potensi Ketidakadilan pada Kebijakan Tax Amnesty

IKPI, Jakarta: Pemerintah berencana menjalankan Tax Amnesty Jilid III mulai tahun 2025 mendatang. Ini sejalan dengan RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025.

Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) RI Rospita Vici Paulyn menyoroti potensi ketidakadilan dalam sistem perpajakan Indonesia terkait kebijakan Tax Amnesty yang terus diperpanjang oleh pemerintah.

Menurutnya, kebijakan tersebut berisiko merugikan masyarakat yang taat membayar pajak, lantaran memberikan keringanan kepada pengemplang pajak yang tidak patuh.

“Persoalannya adalah masyarakat kita yang wajib atau yang taat membayar pajak kemudian dikalahkan dengan pengemplang pajak yang diberikan Tax Amnesty terus-menerus,” ujar Rospita Seperti dikutip dari Kontan.co.id, Senin (25/11/2024).

Ia menambahkan bahwa kebijakan Tax Amnesty pertama kali diperkenalkan pada 2016 dan kembali diadakan pada 2022. Kini, pemerintah bersama DPR RI berencana untuk mengadakan kembali Tax Amnesty Jilid III.

Menurutnya, dengan adanya Tax Amnesty yang memberikan kemudahan pembayaran bagi pengemplang pajak, ada ketimpangan yang terjadi antara mereka yang sudah taat pajak dan mereka yang tidak patuh.

Sementara, masyarakat yang membayar pajak dengan nominal normal harus menanggung beban finansial.

“Kondisi ini akan membuat orang menjadi malas untuk membayar pajak karena ternyata pajak yang dibayarkan juga manfaatnya tidak jelas kepada publik,” katanya.

Diberitakan sebelumnya, berdasarkan sumber Kontan di lingkungan DPR RI yang enggan disebutkan namanya, RUU ini tidak akan jauh berbeda dengan UU yang sudah ada.

Dengan begitu, Tax Amnesty Jilid III akan dijalankan dengan ketentuan yang tidak jauh berbeda dengan Tax Amnesty pada tahun 2016 dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) alias Tax Amnesty Jilid II pada tahun 2022 lalu.

Asal tahu saja, tax amnesty pertama dikeluarkan per 2016, kemudian ada tax amnesty ke-2 Januari sampai Juni 2022. Dan kini pemerintah sudah memutuskan bersama DPR RI akan mengadakan tax amnesty jilid III.

Artinya diberikan kemudahan atau pembayaran yang murah kepada para pengemplang pajak sementara masyarakat yang taat pajak kemudian harus membayar dengan nominal yang normal.

Kondisi ini akan membuat orang menjadi malas untuk membayar pajak karena ternyata pajak yang dibayarkan juga manfaatnya tidak jelas kepada publik.

Ia menyebut, pemberlakuan Tax Amnesty Jilid III ini memang sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak di 2025.

Hal ini juga sesuai dengan komitmen pemerintah yang akan mengejar para pengemplang pajak serta mengoptimalkan penerimaan pajak dari aktivitas underground economy.

Sayangnya ia tidak menjelaskan poin-poin apa saja yang akan tertuang dalam RUU Pengampunan Pajak. Hal ini dikarenakan draft RUU Pengampunan Pajak ada di Komisi XI DPR RI.

Ekonom Sebut Kenaikan PPN 12 Persen Tak Adil Bagi Masyarakat Kelas Menengah

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk tahun depan akan tetap dilaksanakan. Sri Mulyani menyebutkan, kenaikan pajak ini merupakan amanat langsung dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang sebelumnya telah disusun oleh DPR bersama dengan pemerintah.

Kenaikan PPN dari semula 11 persen menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 ini dinilai oleh banyak kalangan merugikan rakyat, khususnya kelas menengah ke bawah. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, kondisi saat ini masyarakat telah tertekan dari segala sisi. Kenaikan PPN hanya akan memperburuk keadaan.

“Kalau tarif (PPN) naik terlalu tinggi, imbasnya justru konsumsi menurun, mempengaruhi pemasukan pajak lainnya. Secara agregat rasio pajaknya turun, bukan naik,” kata Bhima seperti dikutip dari Tempo.co, Jumat (22/11/2024).

Bhima menilai, kenaikan PPN ini sangat tidak adil bagi masyarakat kelas menengah. Ia bahkan menyebutkan, masyarakat kelas menengah justru dihadapkan dengan 10 tambahan pungutan dan pajak baru di tahun 2025.

Kesepuluh pungutan tersebut yang pertama adalah kenaikan PPN 12 persen. Kemudian berakhirnya pajak UMKM 0,5 persen dan pemberlakuan asuransi kendaraan wajib (third party liabilities). Lalu, ada iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) serta wacana Dana Pensiun Wajib. Selain itu, juga akan ada wacana pemberlakuan harga tiket KRL yang disesuaikan dengan NIK.

Kemudian, penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) yang akan diganti Bantuan Langsung Tunai (BLT). Ada juga kemungkinan naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa serta iuran BPJS Kesehatan serta yang terakhir, penerapan cukai minuman berpemanis.

“Ditekan atas bawah dan kanan kiri. Berat jadi kelas menengah di republik ini,” ucap Bhima.

Di sisi lain , DPR malah merumuskan regulasi baru terkait pengampunan pajak atau tax amnesty. DPR baru saja memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Bila jadi diberlakukan, maka ini akan menjadi tax amnesty ketiga kalinya yang dilakukan oleh pemerintah.

Hal ini juga belum ditambah dengan wacana penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan dari 22 persen ke 20 persen serta beragam bebas pajak (tax holiday) yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan-perusahaan.

“Kelas atas dapat banyak preferensi. Tarif PPh badan bakal turun jadi 20 persen, tax amnesty berkali-kali, sampai perusahaannya dapat tax holiday. Ini tidak fair,” ujarnya.

Hal yang sama juga dikatakan oleh ekonom Segara Institute, Piter Abdullah. Ia menyoroti kontrasnya perlakuan pemerintah terhadap kelompok masyarakat ekonomi atas, dengan kelompok masyarakat ekonomi menengah. Ia bahkan menyebut tax amnesty merupakan bukti pemerintah sudah kehabisan akal untuk menambah pendapatan negara.

“Kelompok menengah ini bantuan sosial? Nggak. Dibantu pajaknya? Nggak. Dibebani pajak? Iya. Jadi, di satu sisi memberikan (kelas atas) kelonggaran pajak, di sisi lainnya menambah beban pajak (kelas menengah),” ujar Piter ketika dihubungi pada Kamis, 21 November 2024.

DPR Sebut Pemerintah akan Kehilangan Potensi Penerimaan Rp50 Triliun jika PPN 12% Dibatalkan

IKPI, Jakarta: Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto belum berencana untuk mengubah kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 seperti yang tertera pada Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Wakil Ketua Komisi XI Dolfie AFP menjelaskan, apabila pemerintah mengubah kebijakan tersebut maka konsekuensinya akan terlihat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). PPN 12% masuk dalam potensi penerimaan negara.

“Karena kalau itu diturunkan menjadi 11% aja misalnya, maka pemerintah kehilangan pendapatan Rp50 triliunan kira-kira,” jelasnya seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Kamis (21/11/2024).

Menurut Dolfie, hal ini sudah sempat dibahas ketika rapat dengan pemerintah mengenai RAPBN 2025. Komisi XI sudah mempertanyakan rencana implementasi PPN 12%. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kala itu berpandangan, keputusan PPn harus menunggu pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden.

Berganti pemerintah, menurut Dolfie belum ada tanda-tanda perubahan aturan. Padahal tidak perlu ada perubahan UU.

“Undang-undang pajaknya enggak perlu dirubah. Karena di undang-undang itu sudah memberikan amanat ke pemerintah. Kalau mau turunin tarif boleh, tapi minta persetujuan DPR,” ujarnya.

Fauzi Amro, Wakil Ketua Komisi XI tidak menutup mata atas protes publik mengenai pemberlakuan PPN 12% pada 2025 mendatang. Apabila tetap diberlakukan pada 2025 maka diharapkan sektor yang berhubungan publik tetap tidak dikenakan.

“Cuma catatannya yang berhubungan dengan publik nggak boleh dinaikkan. Tadi saya sampaikan apa itu Kesehatan, pendidikan, sembako transportasi. Ini berhubungan dengan publik langsung dan masyarakat langsung,” ungkap Fauzi.

 

Ini Daftar Barang yang Dikenakan Pajak 12 Persen

IKPI, Jakarta: Pemerintah akan menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Kenaikan dilakukan dengan dalih melaksanakan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Dalam beleid itu, pemerintah dan DPR memang menetapkan PPN naik jadi 11 persen mulai 2022 dan menjadi 12 persen mulai 2025.

Melansir situs Kementerian Keuangan, secara umum umum pengenaan PPN dikenakan atas objek berikut:

– Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Misalnya barang elektronik yang dibeli di pusat perbelanjaan.

-Impor BKP dan/atau pemanfaatan JKP Tak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Misalnya: layanan streaming film dan musik.

– Ekspor BKP dan/atau JKP oleh PKP

– Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan. Misalnya, PPN atas bangunan.

– Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.

Adapun Barang Kena Pajak (BKP) merupakan barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud, yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN yang kini diubah dengan n UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Pengaturan cakupan BKP bersifat “negative list”, dalam artian bahwa pada prinsipnya seluruh barang merupakan BKP, kecuali ditetapkan sebagai barang yang tidak dikenai PPN.

Kenaikan PPN akan membuat barang dan jasa yang biasa dikonsumsi publik sehari-hari menjadi semakin mahal. Barang-barang itu dikenakan pajak selama penjual berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Beberapa contoh barang yang terkena PPN antara lain pakaian, tas, sepatu, pulsa telekomunikasi, sabun, alat elektronik, barang otomotif, perkakas, hingga kosmetik.

Selain itu, jasa layanan streaming film dan musik yang biasa kita pakai seperti Netflix dan Spotify juga memungut PPN.

Ekonom Kritisi Revisi UU Pengampunan Pajak

IKPI, Jakarta: Kalangan ekonom mengkritisi langkah DPR yang mengusulkan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 mengenai pengampunan pajak atau tax amnesty. Mereka berpendapat pengampunan pajak yang terlalu sering dilakukan hanya akan membuat orang kaya pengemplang pajak semakin banyak.

“Tax amnesty merupakan kebijakan blunder untuk menaikkan penerimaan pajak,” kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Rabu (20/11/2024).

Bhima menilai pengampunan pajak yang terlalu sering akan membuat kepatuhan orang kaya dan korporasi kakap turun. Para pengemplang itu, kata dia, akan berpikir pemerintah akan terus melakukan tax amnesty.

“Pengemplang pajak akan berasumsi setelah tax amnesty III akan ada lagi. Ini moral hazardnya besar sekali,” ujar dia.

Sebelumnya, DPR RI resmi menyetujui masuknya revisi UU Tax Amnesty ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Artinya, revisi ini akan dikebut untuk disahkan pada tahun depan. DPR bahkan sudah mengambil ancang-ancang untuk mendorong agar program itu bisa dilaksanakan di tahun 2025.

Apabila rencana itu berjalan, maka program pengampunan pajak tahun 2025 akan menjadi tax amnesty jilid III yang dilakukan pemerintah. Sebelumnya, pemerintah telah melaksanakan tax amnesty pada 2016-2017 dan 2022.

Ekonom Universitas Diponegoro Wahyu Widodo berpendapat tax amnesty seharusnya dilaksanakan untuk meningkatkan kepatuhan melalui mekanisme pengampunan. Tapi, apabila dilakukan terus-menerus, akan menjadi preseden buruk bagi sistem pajak.

“Kalau pengampunan dilakukan secara berulang, berarti ada sistem yang salah dan tidak kredibel. Karena pembayar pajak yang ngemplang harusnya diadili secara hukum, bukan diampuni secara periodik,” ujar dia.

Ditjen Pajak Tanggapi Seruan Boikot PPN 12%

IKPI, Jakarta: Sejumlah netizen ramai-ramai menyuarakan boikot pajak pertambahan nilai (PPN) 12% di media sosial X. Hal itu sejalan dengan pemerintah yang akan mengerek PPN menjadi 12% pada Januari 2025.

Menanggapi hal itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dwi Astuti menyampaikan bahwa setiap kebijakan tentunya sudah dipersiapkan dengan proses kajian yang mendalam dan menyeluruh.

Kenaikan Tarif PPN menjadi 12% dibarengi dengan kebijakan pendahulu yang ditujukan untuk memperkuat daya beli masyarakat serta memperhatikan pemenuhan kebutuhan barang konsumsi primer untuk orang banyak.

Misalnya Dwi menyebutkan adanya fasilitas pembebasan PPN atas penyerahan barang dan jasa tertentu di antaranya atas barang kebutuhan pokok berupa beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan dan sayur-sayuran, dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa mempertimbangkan kemampuan ekonomi atau daya beli masyarakat.

“Demikian pula pembebasan di bidang jasa yang meliputi jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa transportasi umum, dan jasa ketenagakerjaan,” ungkap Dwi seperti dikutip dari Kontan, Rabu (20/11/2024).

Seiring dengan pemberlakuan kenaikan tarif PPN 1% ini, pemerintah juga telah menyiapkan serangkaian program yang dapat mempertahankan daya beli masyarakat agar konsumsi tetap terjaga. Di antaranya, pelebaran lapisan tarif PPh OP 5% dari Rp 50 juta hingga Rp 60 juta dan  pembebasan pajak atas omset UMKM OP 500 juta, dan sebagainya.

Selain itu, untuk mendorong perkembangan industri otomotif dan industri perumahan dalam rangka mempertahankan daya beli masyarakat, saat ini pemerintah menetapkan kebijakan berupa pemberian PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk penyerahan rumah tapak dan unit rumah susun dan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) kendaraan Bermotor Listrik (KBL).

Pemberian fasilitas tersebut diharapkan akan memberikan multiplier effect bagi perkembangan industri pendukung kedua industri tersebut di atas.

“Pada gilirannya perkembangan kedua industri tersebut akan menyerap tenaga kerja sehingga akan mempertahankan atau bahkan meningkatkan daya beli masyarakat,” ujarnya.

Dwi menambahkan, DJP juga akan terus senantiasa memberikan pemahaman kepada masyarakat melalui sosialisasi dan edukasi.

Apa itu Tax Amnesty? Ini Penjelasannya

IKPI, Jakarta: Pemerintah dan DPR berencana menggelar Program Pengampunan Pajak atau amnesti pajak (tax amnesty) kembali. Hal itu terungkap dari hasil Rapat Panja Program Legislasi Nasional RUU Prioritas 2025 yang dilaksanakan oleh Badan Legislasi DPR pada Senin (18/11/2024) kemarin.

Dalam Hasil Raker Prolegnas Prioritas RUU 2025 dan Prolegnas 2025, pemerintah dan DPR sepakat memasukkan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak dalam daftar draf usulan Prolegnas RUU Prioritas 2025.

Jika itu terealisasi, maka ini menjadi amnesti pajak jilid III sejak 2016 lalu. Sebagai pengingat, pemerintah melaksanakan program tax amnesty jilid I pada 2016-2017. Program tersebut diikuti oleh 956.793 wajib pajak dengan nilai harta yang diungkap mencapai Rp4.854,63 triliun.

Dari pengungkapan harta tersebut, negara menerima uang tebusan sebesar Rp114,02 triliun atau setara dengan 69 persen dari target Rp165 triliun.

Kemudian, tax amnesty jilid II digelar selama 6 bulan pada 1 Januari 2022-30 Juni 2022. Program ini diikuti oleh 247.918 wajib pajak dengan total harta yang diungkap mencapai Rp594,82 triliun. Adapun total pajak penghasilan (PPh) yang diraup negara mencapai Rp60,01 triliun.

Lantas apa yang dimaksud dengan tax amnesty?

Tax amnesty adalah penghapusan pajak yang seharusnya dibayar dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan. Langkah ini bisa menjadi opsi pemerintah untuk menarik uang dari para wajib pajak yang disinyalir menyimpan secara rahasia di negara-negara bebas pajak.

Sejumlah negara sudah menerapkan pengampunan pajak di antaranya Australia, Belgia, Kanada, Jerman, Yunani, Italia, Portugal, Rusia, Afrika Selatan, Spanyol, dan Amerika Serikat.

Di Indonesia, pemerintah mengatur ketentuan amnesti pajak dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) Wajib Pajak.

Terdapat sejumlah manfaat dari tax amnesty yang menyasar orang-orang kaya. Pertama, wajib pajak terhindar dari sanksi pajak 200 persen apabila Ditjen Pajak menemukan harta yang belum diungkap di kemudian hari.

Kedua, penerimaan negara meningkat dari pembayaran uang tebusan atas harta yang sebelumnya belum diungkap.

Ketiga, mendorong repatriasi modal dan aset wajib pajak dari luar negeri ke dalam negeri. Keempat, meningkatkan kepatuhan membayar pajak.

Pada pelaksanaan amnesti pajak sebelumnya, wajib pajak cukup melaporkan hartanya yang belum diungkap ke kantor pajak terdekat maupun secara online. Pelaporan dilakukan dengan menyerahkan surat pernyataan aset.

Berikutnya, wajib pajak harus membayar uang tebus sesuai nilai harta yang diungkap. Jika sudah membayar, Ditjen Pajak akan memproses pemberian fasilitas pemberian pajak, termasuk pembebasan dari sanksi pidana dan juga administrasi.

RUU Pengampunan Pajak Masuk Prolegnas Prioritas 2025

IKPI, Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dalam Rapat Kerja Badan Legislasi menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2025.

Dalam Rapat Kerja tersebut, disepakati bahwa RUU Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty menjadi usulan Komisi XI DPR RI. Ini berbeda dengan rapat sebelumnya yang menyebutkan bahwa RUU Pengampunan Pajak merupakan usulan dari Baleg.

“Terkait tadi ada usulan Komisi XI, saya jelaskan kembali bahwa Komisi XI bersepakat dalam surat tersebut men-drop usulan RUU yang diajukan sebelumnya menjadi RUU usulan prioritas judulnya adalah RUU Pengampunan Pajak,” ujar Ketua Baleg DPR Bob Hasan, seperti dikutip dari Kontan.co.id, Selasa (19/11/2024).

Padahal, sebelumnya ada 4 RUU yang diajukan oleh Komisi XI DPR, yakni RUU tentang Pengadaan Barang dan Jasa Publik, RUU tentang Pengelolaan Kekayaan Negara yang Dipisahkan, RUU tentang Penghapusan Piutang Negara, dan RUU tentang Ekonomi Syariah.

Merujuk pada UU 11/2016, pengampunan pajak merupakan penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap harta dan membayar uang tebusan.

Pemerintah menyebut, program ini memiliki tiga tujuan. Pertama, mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga dan peningkatan investasi.

Kedua, mendorong reformasi perpajakan menuju sistem perpajakan yang lebih berkeadilan serta perluasan basis data perpajakan yang lebih valid, komprehensif, dan terintegrasi.

Ketiga, meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan.

Sebagai pengingat, program tax amnesty pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada tahun 2016 melalui penerapan UU 11/2016.

Melihat hasil yang positif, pemerintah kemudian memutuskan untuk membuka program tax amnesty jilid II atau dikenal juga Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada Mei 2021.

Hingga akhir pelaksanaan PPS pada 30 Juni 2022, Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa harta yang diungkap Wajib Pajak (WP) sebanyak Rp 594,82 triliun, dengan jumlah pembayaran kewajiban dari harta yang diungkap tersebut dalam bentuk Pajak Penghasilan (PPh) mencapai Rp 61,01 triliun.

id_ID