PMK 37/2025: Pedagang di Marketplace Wajib Buat Dokumen Tagihan Pajak

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 menetapkan ketentuan baru terkait pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 oleh marketplace atas transaksi yang dilakukan para pedagang dalam negeri. Aturan ini mengamanatkan marketplace untuk memungut PPh 22 sebesar 0,5 persen dan mengharuskan pedagang menyusun dokumen tagihan pajak secara elektronik.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyampaikan, dokumen tagihan tersebut wajib dibuat atas setiap transaksi penjualan barang atau jasa dalam ekosistem Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Dokumen ini berfungsi sebagai bukti pemungutan PPh 22 dan harus dihasilkan melalui sistem komunikasi elektronik milik marketplace.

“Pedagang dalam negeri wajib menyusun dokumen tagihan atas penjualan barang dan/atau jasa melalui sistem elektronik pihak ketiga,” jelas DJP dalam keterangan yang dikutip, Minggu (27/7/2025).

Rincian Dokumen Tagihan

Setiap dokumen tagihan yang disusun minimal harus memuat informasi sebagai berikut:

• Nomor dan tanggal dokumen tagihan;

• Nama penyedia platform (marketplace);

• Nama akun pedagang dalam negeri;

• Identitas pembeli, berupa nama dan alamat;

• Rincian barang/jasa, termasuk jenis, jumlah, harga, dan potongan;

• Nilai PPh 22 yang dikenakan kepada pedagang.

Prosedur Pembetulan dan Pembatalan

Apabila terjadi koreksi atau pembatalan transaksi, pedagang diharuskan membuat dokumen pembetulan atau pembatalan tagihan yang merujuk pada tagihan sebelumnya. Dokumen ini juga harus diterbitkan secara elektronik melalui sistem marketplace yang digunakan untuk transaksi.

Nomor dokumen pembetulan atau pembatalan wajib dihasilkan melalui sistem marketplace, dan statusnya dipersamakan dengan bukti pemungutan PPh 22. Artinya, nilai pajak yang tercantum dapat diperhitungkan sebagai pelunasan PPh final atau sebagai pembayaran dalam tahun berjalan.

Meski PMK 37/2025 telah diundangkan, DJP menegaskan bahwa implementasinya akan dilakukan secara bertahap. Hal ini menyesuaikan dengan kesiapan sistem teknologi dari masing-masing marketplace.

“Kami sudah melakukan komunikasi dengan platform marketplace. Saat ini mereka sedang melakukan penyesuaian teknis. Kemungkinan dalam satu hingga dua bulan ke depan mereka baru bisa ditetapkan sebagai pemungut PPh 22 PMSE,” ujar Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, dalam media briefing di Jakarta, (15/7/2025). (alf)

 

 

 

 

Vietnam Rancang Reformasi Pajak Besar-Besaran, Fokus Penyederhanaan PPh dan Transaksi Properti 

IKPI, Jakarta: Pemerintah Vietnam tengah menyiapkan langkah reformasi perpajakan paling ambisius dalam beberapa tahun terakhir. Fokus utama perubahan ini mencakup penyederhanaan struktur Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi serta perombakan sistem pajak atas transaksi properti.

Dalam draf revisi Undang-Undang PPh orang pribadi yang kini dibuka untuk masukan publik, Kementerian Keuangan Vietnam (MoF) dikutip Minggu (27/7/2025) mengusulkan pengurangan jumlah lapisan tarif pajak dari tujuh menjadi lima. Selain itu, rentang penghasilan di tiap lapisan akan diperluas agar lebih sederhana dan mudah diterapkan.

Saat ini, tarif pajak progresif di Vietnam berkisar antara 5% hingga 35%. Namun, struktur yang ada dianggap tidak ideal karena membebani kelompok berpenghasilan menengah ke bawah. Skema baru tetap mempertahankan tarif terendah 5%, berlaku untuk penghasilan bulanan setelah pengurang standar sebesar 10 juta dong (sekitar Rp6,24 juta). Sementara itu, tarif tertinggi 35% hanya akan dikenakan untuk penghasilan di atas 80 juta hingga 100 juta dong per bulan (Rp49,9 juta–Rp62,4 juta), tergantung pada skema final yang akan disahkan.

MoF menilai bahwa penyederhanaan ini akan mengurangi beban administrasi, mempercepat pelaporan pajak, dan meningkatkan efisiensi penerimaan negara. Kebijakan ini juga sejalan dengan tren global di mana banyak negara mengurangi jumlah lapisan tarif demi sistem perpajakan yang lebih efisien.

Namun, sejumlah pengamat dan pelaku industri memperingatkan bahwa perubahan mendadak dapat menimbulkan dampak negatif. Struktur baru dinilai berisiko membebani kelompok tertentu, serta belum tentu mampu mendorong daya beli rumah tangga secara signifikan.

Reformasi pajak juga menyentuh aspek lain, yakni perpajakan atas transaksi properti. Saat ini, penjualan properti dikenakan pajak tetap 2% dari nilai transaksi. Dalam skema baru, pajak akan dikenakan berdasarkan keuntungan bersih—yakni selisih antara harga jual dan beli, dikurangi biaya yang relevan dengan tarif 20%.

Jika harga beli dan biaya tidak bisa dibuktikan, maka tarif pajak akan didasarkan pada nilai jual properti dan disesuaikan dengan lamanya masa kepemilikan. Untuk properti yang dijual kurang dari dua tahun, tarif maksimal bisa mencapai 10%. Sedangkan untuk properti yang diperoleh melalui warisan, tarif tetap 2% tetap diberlakukan, karena status hukum warisan berbeda dari hibah atau hadiah dalam hukum perdata Vietnam.

Pendukung reformasi menyambut baik sistem baru yang dinilai lebih mencerminkan keuntungan riil dari transaksi properti. Namun, kalangan pelaku industri mengkhawatirkan potensi perlambatan pasar akibat kompleksitas perhitungan dan verifikasi data. Bahkan, penjual rumah bisa saja menaikkan harga jual guna mengompensasi beban pajak, yang pada akhirnya menyulitkan akses pembeli pertama.

Vietnam menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8,3%–8,5% tahun ini. Reformasi perpajakan ini merupakan bagian dari strategi memperkuat basis penerimaan negara di tengah upaya pemulihan pascakrisis properti 2022–2023. Para analis mengingatkan agar implementasi dilakukan secara bertahap dan hati-hati demi menjaga stabilitas ekonomi dan keberlanjutan sektor properti. (alf)

 

 

Lewat PMK 81/2024, DJP Permudah Pengembalian Pajak Tak Terutang, Ini Enam Situasi yang Bisa Diajukan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyegarkan kembali aturan soal pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang tidak semestinya dibayar oleh wajib pajak. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, yang kini menjadi pedoman baru dalam pengajuan restitusi pajak yang seharusnya tidak terutang.

Langkah ini merupakan tindak lanjut dari amanat Pasal 17 ayat (2) dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), di mana disebutkan bahwa jenis restitusi ini tidak perlu melewati proses pemeriksaan, melainkan cukup melalui penelitian oleh otoritas pajak.

Restitusi yang dimaksud berlaku atas kondisi ketika pembayaran pajak dilakukan secara tidak tepat, baik karena kesalahan, kekeliruan, maupun situasi hukum tertentu yang menyebabkannya tidak terutang.

Enam Alasan Restitusi Diterima

Melalui beleid terbaru ini, DJP merinci enam kondisi yang dapat dijadikan dasar oleh wajib pajak untuk mengajukan restitusi, khususnya bila pembayaran pajaknya ternyata tidak sesuai ketentuan. Keenam situasi itu adalah:

• Kelebihan bayar Terjadi jika jumlah pajak yang disetor lebih besar dibanding kewajiban yang sebenarnya.

• Transaksi dibatalkan — Misalnya ketika faktur dibatalkan atau pembelian barang dibatalkan, tetapi pajaknya sudah terlanjur dibayar.

• Pembayaran yang tidak wajib — Ketika wajib pajak melakukan penyetoran meski objek tersebut seharusnya tidak dikenai pajak.

• Pelunasan setelah proses hukum — Termasuk dalam hal:

• Sisa lebih bayar setelah perkara dihentikan penyidikannya,

• Tidak digunakan sebagai dasar untuk membebaskan dari pidana,

• Tidak diperhitungkan sebagai denda pidana,

• Dibayar dengan NPWP selain milik tersangka sebelum pelimpahan kasus ke jaksa.

• UMKM dengan omzet kecil — Yaitu wajib pajak orang pribadi pelaku UMKM yang omzet tahunannya di bawah Rp500 juta, tetapi sudah terlanjur menyetor PPh final.

• Bea meterai belum dipakai — Setoran bea meterai yang masih tersisa dan belum digunakan juga bisa diminta kembali sesuai aturan yang berlaku.

Kini, wajib pajak tak perlu datang ke kantor pajak. Seluruh proses pengajuan restitusi jenis ini dapat dilakukan secara daring melalui sistem coretax. Menu yang harus dipilih adalah Pembayaran, kemudian masuk ke Formulir Restitusi Pajak.

Kebijakan ini menjadi bagian dari transformasi layanan DJP yang mengedepankan efisiensi dan kejelasan prosedur, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang taat pajak. (alf)

 

 

DJP Sisir Konten Medsos, Influencer dan Marketer Jadi Sasaran Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus memperkuat strategi pengawasan pajak di era digital. Salah satu upaya terbaru yang disorot adalah pemanfaatan teknologi crawling untuk memantau aktivitas dan gaya hidup para influencer serta affiliate marketer di media sosial.

Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, menjelaskan bahwa otoritas pajak kini mengadopsi sistem crawling, yaitu metode pengumpulan data otomatis yang menyisir konten-konten unggahan pengguna media sosial seperti Instagram, TikTok, hingga YouTube.

“Di medsos itu pasti diamati. Model crawling kita lakukan sebagai bentuk pengawasan, walau saat ini belum ada regulasi spesifik untuk pemungutannya,” ujar Yoga saat media briefing di Kantor Pusat DJP, dikutip Minggu (27/7/2025).

Menurut Yoga, banyak konten di media sosial yang menampilkan gaya hidup mewah, termasuk kendaraan, properti, dan barang-barang bermerek. Data ini kemudian disandingkan dengan laporan kekayaan dan penghasilan di sistem perpajakan. Jika ditemukan ketidaksesuaian, fiskus akan melakukan pendekatan persuasif berupa edukasi atau peringatan langsung kepada yang bersangkutan.

“Kalau suka pamer mobil di medsos, itu pasti diamati teman-teman pajak. Dari situ kita mulai melakukan pemetaan potensi pajak,” tambahnya.

Bukan hanya pemilik akun yang menonjolkan kemewahan, mereka yang menerima jasa endorsement atau afiliasi produk pun turut masuk radar. DJP mengawasi penghasilan dari kerja sama komersial digital tersebut, karena dinilai sebagai objek pajak yang kerap luput dari pelaporan.

Yoga menekankan, langkah ini bukan bentuk intimidasi, melainkan bagian dari upaya menciptakan keadilan fiskal antara pelaku usaha daring dan luring. Dengan semakin berkembangnya ekonomi digital, DJP ingin memastikan semua pihak berkontribusi secara adil dalam pembangunan negara.

“Dengan dinamika digital yang makin luas, otoritas pajak harus bisa meng-capture semua aktivitas ekonomi itu. Jangan sampai ada yang tidak bayar pajak hanya karena bergerak di dunia maya,” tegasnya.

Langkah ini menandai komitmen DJP untuk beradaptasi dengan zaman sekaligus menegakkan prinsip keadilan dalam sistem perpajakan nasional. (alf)

Catat! Punya NPWP Belum Tentu Harus Bayar Pajak, Ini Penjelasan DJP

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) tidak serta-merta menjadikan seseorang wajib membayar pajak. Kepemilikan NPWP hanyalah langkah awal dalam sistem administrasi perpajakan, dan kewajiban membayar pajak baru muncul apabila seseorang memiliki penghasilan di atas batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

“Memiliki NPWP bukan berarti kamu langsung wajib bayar pajak. Ibarat lomba maraton—punya nomor dada belum berarti sudah mulai lari. Kalau penghasilanmu masih di bawah PTKP, kamu belum wajib bayar pajak,” tulis DJP melalui akun Instagram resminya @ditjenpajakri, Jumat (26/7/2025).

Apa Itu PTKP?

PTKP adalah ambang batas penghasilan seseorang yang tidak dikenai pajak. Ketentuan ini ditujukan untuk melindungi kelompok berpenghasilan rendah dari beban perpajakan. Selama penghasilan belum melampaui batas PTKP, maka tidak ada Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan.

Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.010/2016, berikut besaran PTKP saat ini:

• Wajib Pajak orang pribadi: Rp54.000.000 per tahun

• Tambahan untuk status kawin: Rp4.500.000

• Tambahan untuk istri yang penghasilannya digabung: Rp54.000.000

• Tambahan untuk tanggungan (maksimal 3 orang): Rp4.500.000 per orang

Contohnya, seorang Wajib Pajak lajang dengan penghasilan di bawah Rp4,5 juta per bulan tidak termasuk dalam kelompok yang wajib membayar pajak.

Lapor SPT Tetap Perlu

Meski tidak dikenai PPh, DJP tetap mengimbau Wajib Pajak di bawah PTKP untuk tetap melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan sebagai bentuk kepatuhan.

“Karena kepatuhan dimulai dari langkah kecil. Pajak tumbuh, Indonesia tangguh,” sambung DJP.

Namun, jika seseorang tidak memiliki penghasilan atau terus berada di bawah PTKP, maka NPWP bisa dinonaktifkan (non-efektif). Pengajuan status non-efektif bisa dilakukan dengan mudah melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP), layanan Kring Pajak 1500200, atau Live Chat di pajak.go.id.

Penghasilan Di Atas PTKP? Ini Tarif PPh-nya

Jika penghasilan Anda sudah melebihi PTKP, maka Anda wajib membayar PPh sesuai tarif progresif yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021:

• Sampai Rp60 juta: 5%

• Di atas Rp60 juta–Rp250 juta: 15%

• Di atas Rp250 juta–Rp500 juta: 25%

• Di atas Rp500 juta–Rp5 miliar: 30%

• Di atas Rp5 miliar: 35%

Dengan penjelasan ini, DJP berharap masyarakat semakin memahami bahwa memiliki NPWP bukanlah beban, melainkan bagian dari tertib administrasi dan kesiapan dalam berkontribusi untuk negara ketika memang sudah memenuhi syarat.

Jadi, jangan takut punya NPWP. Tapi pahami dulu hak dan kewajibanmu, ya! (alf)

 

 

Jepang Kaji Solusi Pajak Penduduk Asing yang Mangkrak, Ribuan WNA Tinggalkan Tunggakan

IKPI, Jakarta: Pemerintah Jepang tengah menyusun langkah strategis untuk menangani tunggakan pajak penduduk dari warga negara asing yang meninggalkan negara tersebut tanpa membayar kewajibannya. Dikutip dari Antara, Jumat (27/6/2025), Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang akan melakukan survei terhadap pemerintah kota guna mengumpulkan data rinci tentang persoalan tersebut.

Masalah ini mencuat karena sistem pemungutan pajak penduduk di Jepang memiliki jeda waktu pembayaran yang cukup panjang. Pajak dikenakan kepada semua penduduk termasuk warga asing yang tinggal di Jepang per 1 Januari, namun pembayarannya baru dimulai pada bulan Juni tahun yang sama.

Celah inilah yang kerap dimanfaatkan oleh sebagian pekerja asing, yang memilih pulang ke negara asal sebelum kewajiban pajaknya jatuh tempo.

Kementerian menyatakan telah mewawancarai sejumlah pemerintah daerah untuk memahami bagaimana mereka mengelola proses pemungutan serta kendala yang dihadapi dalam praktik. “Tujuan kami adalah merumuskan kebijakan penanggulangan yang tepat dan adil,” ujar pejabat kementerian yang enggan disebutkan namanya.

Sebagai solusi sementara, pemerintah telah menyarankan agar pekerja asing melunasi pajak mereka sebelum pulang, atau menunjuk agen pajak yang dapat bertindak atas nama mereka. Namun, implementasi skema ini dinilai belum optimal di lapangan.

Pajak penduduk sendiri dikenakan berdasarkan pendapatan tahunan, kecuali penghasilan seseorang berada di bawah ambang tertentu yang dibebaskan dari kewajiban tersebut.

Isu ini juga menjadi sorotan dalam kampanye pemilu parlemen Jepang yang berlangsung Minggu lalu (20/7/2025), di mana sejumlah partai konservatif menyuarakan kekhawatiran atas lonjakan jumlah tenaga kerja asing dan wisatawan dalam beberapa tahun terakhir. Mereka menilai sistem perpajakan dan kontrol terhadap penduduk asing perlu ditingkatkan demi menjaga keseimbangan fiskal dan sosial.

Pemerintah pusat kini dituntut untuk menyeimbangkan antara dorongan atas keterbukaan tenaga kerja asing dengan kepatuhan fiskal yang menyeluruh. Jika dibiarkan, potensi kebocoran pajak dari WNA bisa membebani fiskal daerah dan menimbulkan ketimpangan antarwarga. (alf)

Revisi Pajak Kripto Dinilai Sudah Tepat, Ikut Ekosistem Finansial Modern

IKPI, Jakarta: Langkah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk merevisi aturan pajak aset kripto mendapat dukungan dari pelaku industri. Tokocrypto menilai, pendekatan baru yang menjadikan kripto sebagai instrumen finansial, bukan lagi sekadar komoditas, adalah langkah tepat dan relevan dengan arah perkembangan teknologi keuangan.

CEO Tokocrypto Calvin Kizana menegaskan bahwa penggunaan kripto sudah jauh melampaui sekadar jual beli aset digital. “Saat ini kripto juga digunakan sebagai instrumen investasi, derivatif, bahkan untuk pengelolaan portofolio digital. Maka, wajar bila perlakuan pajaknya ikut menyesuaikan,” kata Calvin, Jumat (25/7/2025).

Selama ini, pajak atas transaksi kripto merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 63/PMK.03/2022, di mana kripto diperlakukan sebagai komoditas dan dikenakan PPN serta PPh Pasal 22. Namun dengan makin kompleksnya fungsi dan pemanfaatan kripto, DJP berencana mengubah pendekatan tersebut.

Menurut data Kementerian Keuangan, penerimaan negara dari pajak kripto mencapai Rp1,21 triliun hanya dalam tiga bulan pertama tahun 2025. Angka ini menjadi bukti tingginya aktivitas dan potensi sektor kripto dalam ekosistem keuangan digital nasional.

“Kalau kripto sudah naik kelas menjadi bagian dari sistem finansial, tentu pendekatannya tidak bisa lagi sama dengan komoditas biasa,” ujar Calvin.

Ia juga menyoroti pentingnya konsistensi antara perubahan pajak dengan peralihan pengawasan industri kripto dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Ini sinyal kuat bahwa kripto harus dilihat sebagai entitas keuangan. Jadi, regulasinya juga harus mengacu pada standar sektor jasa keuangan,” jelasnya.

Meski mendukung penuh revisi aturan, Tokocrypto mengingatkan pemerintah agar skema pajak yang diterapkan tetap adil dan kompetitif. “Kami sudah menyampaikan kepada Kemenkeu bahwa perlakuan pajak kripto idealnya sejajar dengan pasar modal. Kalau transaksi saham dikenai pajak final yang rendah, kripto pun seharusnya begitu,” kata Calvin.

Menurutnya, jika kripto dipajaki terlalu tinggi atau tidak proporsional, justru bisa menghambat pertumbuhan industri dan membuat investor lari ke luar negeri. “Yang kami harapkan adalah kepastian hukum dan ekosistem yang mendukung pertumbuhan,” tambahnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyatakan bahwa aturan pajak kripto memang perlu disesuaikan dengan status barunya sebagai instrumen keuangan. “Dulu kripto diperlakukan sebagai komoditas. Tapi sekarang, karena sudah beralih ke sektor keuangan, regulasinya harus ikut berubah,” jelas Bimo.

Dengan klasifikasi baru ini, kemungkinan akan ada penyesuaian skema pajak untuk mencakup aktivitas finansial lainnya yang berbasis kripto, seperti produk investasi terstruktur dan derivatif digital.

Meski begitu, pelaku industri berharap agar kebijakan baru ini tetap mengedepankan prinsip keberlanjutan dan inklusi digital, bukan semata-mata mengejar penerimaan pajak. (alf)

 

PPN-DTP Properti Tetap 100% hingga Akhir 2025, Pemerintahan Prabowo Percepat Akses Rumah Rakyat

IKPI, Jakarta: Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto resmi memperpanjang insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN-DTP) sebesar 100% untuk pembelian properti hingga akhir 2025. Kebijakan ini merupakan bentuk dorongan nyata pemerintah dalam memperluas akses kepemilikan rumah sekaligus menjaga momentum pertumbuhan sektor properti nasional.

Awalnya, insentif PPN-DTP untuk semester II-2025 direncanakan sebesar 50%, namun dalam rapat koordinasi tingkat menteri yang digelar Jumat (25/7/2025), diputuskan bahwa keringanan pajak tersebut akan tetap diberikan secara penuh.

“Fasilitas PPN-DTP untuk properti yang seharusnya semester dua itu 50%, tadi disepakati untuk tetap 100%,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto usai memimpin rapat di kantornya.

Sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 13 Tahun 2025, insentif PPN-DTP 100% berlaku atas penyerahan rumah tapak atau satuan rumah susun dari 1 Januari hingga 30 Juni 2025, dengan batas harga jual maksimal Rp5 miliar dan PPN-DTP diberikan atas bagian harga sampai Rp2 miliar. Untuk periode 1 Juli hingga 31 Desember 2025, semula insentif dirancang hanya 50%, namun kini disepakati untuk tetap 100% hingga akhir tahun.

Rapat tersebut turut dihadiri oleh sejumlah menteri kunci di bidang ekonomi dan pembangunan, antara lain Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruar Sirait, Menteri PPN/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy, dan Menteri Pariwisata Widyanti Putri Wardhana. Juga hadir Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo serta Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esti.

Airlangga menyampaikan, rincian teknis pelaksanaan insentif ini akan segera difinalisasi bersama kementerian/lembaga terkait. Selain PPN-DTP, pemerintah juga terus mendorong akses rumah terjangkau melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang menawarkan bunga rendah.

“Perumahan subsidinya 5%,” ungkap Airlangga.

Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap daya beli masyarakat terhadap hunian tetap terjaga, terutama bagi kalangan menengah dan menengah bawah yang terdampak dinamika ekonomi global.

 

 

Pemprov DKI Pangkas Pajak BBM hingga 80%, Dorong Stabilitas Ekonomi dan Dukung Operasi Negara

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta resmi memangkas Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) hingga 80% melalui Keputusan Gubernur Nomor 542 Tahun 2025. Kebijakan ini mulai berlaku efektif pada 22 Juli 2025, setelah ditandatangani Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung.

Kebijakan pengurangan pajak ini terbagi dalam tiga kategori besar berdasarkan jenis kendaraan dan penggunaannya.

Pertama, pemilik kendaraan pribadi mendapatkan pengurangan pajak BBM sebesar 50%.

Kedua, kendaraan umum seperti angkutan kota dan bus juga memperoleh pengurangan serupa sebesar 50%.

Ketiga, insentif tertinggi diberikan kepada kendaraan operasional untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara, dengan pengurangan pajak hingga 80%.

“Pengurangan ini mencakup kendaraan khusus seperti ambulans, kapal rumah sakit, kendaraan tempur, hingga alat berat yang digunakan untuk kepentingan negara,” tulis Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta dalam keterangan resmi, dikutip, Sabtu (26/7/2025).

Pemprov menegaskan bahwa kebijakan ini diambil sebagai bagian dari strategi pengendalian inflasi, meredam tekanan harga, dan menjaga stabilitas perekonomian ibu kota. Insentif juga diharapkan mampu mendukung keberlangsungan operasional sektor strategis yang berperan penting bagi negara.

Landasan hukum kebijakan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta sejumlah regulasi terkait Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Meski memberikan potongan pajak, Pemprov DKI tetap mewajibkan para wajib pajak untuk memenuhi kewajiban pelaporan dan penyetoran pajak daerah. Hal ini guna menjaga akuntabilitas sistem perpajakan meskipun dalam situasi relaksasi fiskal.

“Insentif fiskal ini bersifat selektif dan tetap disertai kewajiban administratif. Kami ingin meringankan beban masyarakat, namun tanpa mengorbankan prinsip transparansi dan kepatuhan perpajakan,” terang Bapenda.

Kebijakan ini disambut positif oleh berbagai pihak, terutama pelaku transportasi dan sektor layanan publik. Di tengah dinamika ekonomi global dan tantangan domestik, insentif pajak BBM ini menjadi angin segar bagi efisiensi operasional serta daya tahan ekonomi Jakarta ke depan. (alf)

 

DJP Perbarui Aturan Pertukaran Informasi Internasional, Perkuat Transparansi dan Cegah Penghindaran Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2025 sebagai pedoman teknis terbaru dalam pelaksanaan pertukaran informasi lintas negara untuk kepentingan perpajakan. Regulasi ini menggantikan empat aturan sebelumnya dan menjadi penyempurnaan dari implementasi Pasal 13 PMK Nomor 39/PMK.03/2017.

Langkah ini menegaskan komitmen DJP dalam mendukung kerja sama internasional di bidang perpajakan guna meningkatkan transparansi keuangan global, sekaligus mengantisipasi praktik penghindaran dan pengelakan pajak.

“Pertukaran informasi adalah proses berbagi data yang dilakukan oleh pejabat berwenang berdasarkan perjanjian internasional untuk kepentingan perpajakan,” tulis Pasal 1 angka 4 PER-10/PJ/2025.

Tiga Skema Pertukaran Informasi

Dalam peraturan baru ini, DJP menetapkan tiga skema utama pertukaran informasi:

• Exchange of Information on Request (EOIR): Pertukaran dilakukan atas dasar permintaan resmi dari otoritas pajak negara mitra atau sebaliknya.

• Spontaneous Exchange of Information (SEI): Informasi disampaikan secara proaktif tanpa permintaan sebelumnya.

• Automatic Exchange of Information (AEOI): Pertukaran dilakukan secara berkala dan sistematis, terutama menyangkut informasi keuangan.

“Pertukaran Informasi dapat bersifat timbal balik dan dijalankan dalam bentuk permintaan, spontan, maupun otomatis,” bunyi Pasal 3 ayat (2).

Cakupan informasi yang dapat dipertukarkan cukup luas, meliputi data identitas dan kepemilikan, informasi akuntansi dan perbankan, serta data perpajakan. Apabila informasi yang diminta tidak tersedia di basis data DJP, maka pencarian dilakukan melalui permintaan ke Wajib Pajak, lembaga keuangan, atau melalui pemeriksaan.

Kerahasiaan data menjadi perhatian penting dalam peraturan ini. “Dokumen dan data pertukaran informasi bersifat rahasia dan wajib dijaga kerahasiaannya sesuai peraturan perundang-undangan dan perjanjian internasional,” tegas Pasal 3 ayat (7).

Selain skema pertukaran, peraturan ini juga mengatur mekanisme pendukung seperti competent authority meetings, pemeriksaan pajak luar negeri (tax examinations abroad), serta pemeriksaan pajak simultan (simultaneous tax examinations). Semua proses ini harus dijalankan melalui sistem yang terintegrasi dengan administrasi DJP, baik oleh Kantor Wilayah (Kanwil) maupun Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

“Informasi yang dipertukarkan digunakan sebagai basis data perpajakan dan menjadi bagian dari pelaksanaan perjanjian internasional,” lanjut Pasal 3 ayat (5).

Cabut Empat Aturan Lama

Dengan diberlakukannya PER-10/PJ/2025, DJP secara resmi mencabut empat peraturan terdahulu, yaitu:

• PER-67/PJ/2009

• PER-28/PJ/2017

• PER-24/PJ/2018

• PER-02/PJ/2022

Keempat beleid tersebut sebelumnya mengatur skema pertukaran informasi berdasarkan permintaan, spontan, serta mekanisme kerja sama antarotoritas pajak negara mitra. (alf)

 

id_ID