Penerimaan Pajak Kripto Meningkat, Totalnya Capai Rp979 Miliar

IKPI, Jakarta: Penerimaan pajak dari transaksi aset kripto terus memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pendapatan negara. Hingga November 2024, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat total penerimaan pajak dari transaksi kripto mencapai Rp 979,08 miliar, menunjukkan lonjakan tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Penerimaan pajak kripto pada 2022 tercatat sebesar Rp 246,45 miliar, dan pada 2023 mencapai Rp 220,83 miliar. Namun, pada 2024, angka ini melonjak hampir dua kali lipat menjadi Rp 511,8 miliar. Penerimaan ini terbagi dalam dua komponen utama, yakni Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari transaksi penjualan aset kripto di platform exchanger, yang berkontribusi Rp 459,35 miliar, dan Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) dari transaksi pembelian aset kripto di exchanger yang menyumbang Rp 519,73 miliar.

Menurut CMO Tokocrypto Wan Iqbal, kenaikan ini mencerminkan pertumbuhan pesat ekonomi digital Indonesia. “Pajak aset kripto memberikan dasar hukum yang lebih jelas bagi para pelaku industri, sekaligus menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mendukung pertumbuhan ekonomi digital,” ujarnya pada Senin (23/12/2024).

Dia menambahkan bahwa dengan adanya insentif pajak dan penguatan regulasi, Indonesia berpotensi menjadi salah satu pemain utama dalam ekonomi digital berbasis blockchain. Pemerintah, lanjutnya, memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat basis penerimaan negara dan mendukung pembangunan nasional.

Sementara itu, laporan Tiger Research mengungkapkan bahwa kebijakan perpajakan kripto di Asia, termasuk Indonesia, beragam dan berdampak signifikan terhadap perkembangan pasar dan aliran modal. Beberapa negara seperti Singapura, Hong Kong, dan Malaysia menerapkan kebijakan bebas pajak untuk menarik investasi global, sementara Jepang dan Thailand mengadopsi pajak progresif untuk redistribusi kekayaan.

Peningkatan penerimaan pajak dari transaksi kripto di Indonesia menunjukkan potensi besar sektor ini sebagai sumber pendapatan negara dan sinyal positif bagi perkembangan ekonomi digital nasional. (alf)

PKB Ajak Masyarakat Pahami Kenaikan PPN 12%: Jika Keberatan Bisa Ajukan Judicial Review

IKPI, Jakarta: Wakil Ketua Umum (Waketum) DPP PKB Faisol Riza, menegaskan pentingnya memberi kesempatan kepada pemerintah untuk melaksanakan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Ia mengajak masyarakat untuk memahami bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang dirancang untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Riza meminta agar masyarakat yang merasa keberatan dengan kenaikan PPN ini tidak terburu-buru menentangnya, namun jika perlu, mereka bisa mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi. “Kita harus memberi kesempatan kepada pemerintah untuk menjalankannya. Hasil dari pajak ini akan kembali kepada rakyat dalam bentuk belanja pemerintah seperti bantuan sosial dan subsidi penting,” ujarnya di Jakarta, Senin (23/12/2024).

Ia menambahkan bahwa pajak yang terkumpul nantinya akan digunakan untuk berbagai program sosial, seperti peningkatan kesejahteraan guru, pembangunan rumah rakyat, dan mendanai program-program vital lainnya. Riza menegaskan bahwa tanpa peningkatan pajak, negara akan kesulitan untuk membiayai berbagai program tersebut.

“Jika kita tidak menambah pajak, dari mana kita membiayai gaji guru, pembangunan sekolah, rumah untuk rakyat, dan berbagai program sosial lainnya? Pajak adalah instrumen utama untuk membangun negara. Tanpa pajak yang lebih tinggi, kita akan terpaksa memangkas subsidi, bahkan mungkin mencabut beberapa di antaranya,” kata Riza.

Namun, Riza juga mengingatkan pentingnya pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan PPN 12%. Ia mengajak masyarakat dan pihak terkait untuk mengawasi penggunaan dana pajak tersebut agar tidak disalahgunakan atau terjadi kebocoran. “Mari kita awasi pelaksanaan undang-undang ini dengan seksama, dan lakukan evaluasi bersama jika ada hal-hal yang perlu diperbaiki,” tambahnya.

Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, telah mengumumkan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025. Kenaikan ini merupakan bagian dari implementasi UU HPP yang bertujuan untuk memperkuat perekonomian negara. Selain itu, pemerintah juga telah memastikan bahwa sejumlah barang kebutuhan pokok dan barang penting (bapokting) akan dibebaskan dari PPN, antara lain beras, daging ayam, ikan, telur, cabai, bawang merah, dan gula pasir.

Beberapa bahan pokok lainnya, seperti minyak goreng Minyakita dan tepung terigu, akan dikenakan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1 persen, yang artinya tarif PPN akan tetap berada di angka 11%.

Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap dapat menyeimbangkan antara pengumpulan pajak dan perlindungan terhadap kebutuhan dasar masyarakat, sambil memastikan keberlanjutan program-program sosial yang vital bagi rakyat.(alf)

 

Penolakan PPN 12% Menggema, Sudah 171 Ribu Tanda Tangan Dibubuhkan

IKPI, Jakarta: Penolakan terhadap rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% per 1 Januari 2025 terus mendapatkan dukungan luas. Tak hanya dari masyarakat umum yang tergabung dalam petisi daring, tetapi juga dari sejumlah tokoh politik dan partai yang mengkritik kebijakan tersebut sebagai langkah yang tidak tepat di tengah melemahnya daya beli rakyat.

Hingga pagi ini, petisi berjudul “Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN!” telah mengumpulkan lebih dari 171 ribu tanda tangan di situs Change.org. Inisiator petisi, Bareng Warga, menargetkan 200 ribu tanda tangan sebelum kebijakan resmi diterapkan.

“Rakyat sedang dalam kondisi sulit. Pengangguran masih tinggi, daya beli lemah, dan sebagian besar pekerja masih berada di sektor informal. Kenaikan PPN ini jelas akan memperburuk situasi,” ujar Risyad Azhary, perwakilan inisiator petisi, usai menyerahkan dokumen ke Sekretariat Negara RI, Kamis (19/12/2024).

Gelombang penolakan juga datang dari beberapa partai politik dan tokoh masyarakat. Mereka menilai kenaikan PPN akan memicu lonjakan harga kebutuhan pokok, yang pada akhirnya membebani rakyat kecil. Salah satu tokoh yang menyuarakan penolakan menyebutkan bahwa langkah ini berpotensi memperbesar kesenjangan sosial.

Pemerintah melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan ini dirancang secara selektif dan hanya akan menyasar barang dan jasa kategori mewah. Namun, hal ini tidak cukup menenangkan masyarakat yang khawatir akan dampaknya pada harga kebutuhan dasar.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 4,91 juta orang pada Agustus 2024, sementara mayoritas pekerja (57,94%) berada di sektor informal.

Selain itu, Upah Minimum Provinsi (UMP) di berbagai daerah, termasuk Jakarta, dinilai tidak memadai.

“Standar hidup layak di Jakarta butuh Rp14 juta per bulan, tapi UMP hanya Rp5,06 juta. Bagaimana rakyat bisa bertahan jika kebijakan ini dipaksakan?” kata penulis petisi.

Aksi Lanjutan

Bareng Warga dan kelompok masyarakat lainnya berjanji akan terus memantau perkembangan kebijakan ini. Mereka juga membuka peluang untuk melakukan aksi massa jika pemerintah tetap melanjutkan rencana tersebut.

“Dampaknya akan nyata. Kalau ini diterapkan, kita tahu siapa yang tidak berpihak kepada rakyat,” ujar Risyad.

Penolakan yang terus meluas ini menjadi ujian besar bagi pemerintah menjelang penerapan kebijakan PPN 12%. (alf)

Pengusaha Properti Sambut Baik Perpanjang Insentif PPN DTP hingga Akhir 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi memperpanjang pemberlakuan insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) bagi sektor properti hingga akhir tahun 2025. Insentif ini akan diberikan dengan skema diskon PPN 100% untuk periode Januari hingga Juni 2025, dan diskon 50% untuk periode Juli hingga Desember 2025.

Managing Director Ciputra Group, Budiarsa Sastrawinata, menyambut baik kebijakan tersebut. “Kami sangat menyambut baik perpanjangan PPN DTP karena ini akan berdampak positif bagi industri properti, termasuk berbagai sektor terkait dan penyerapan tenaga kerja yang besar,” ujarnya.

Direktur PT Metropolitan Land Tbk (MTLA), Olivia Surodjo, juga mengapresiasi langkah pemerintah ini. Menurutnya, insentif ini mampu memberikan dorongan signifikan terhadap bisnis properti, yang secara langsung juga berdampak positif pada berbagai industri turunan.

Sejak pertama kali diterapkan pada 2021 di tengah pandemi Covid-19, insentif PPN DTP terbukti menjadi salah satu instrumen penting untuk mendukung daya beli masyarakat dan meningkatkan animo pembelian rumah. Dengan plafon harga jual hingga Rp5 miliar dan dasar pengenaan pajak hingga Rp2 miliar, insentif ini diharapkan mampu menjaga kestabilan pasar properti sekaligus membantu kelompok menengah untuk memiliki hunian.

Berdasarkan data hingga Triwulan III-2024, sektor konsumsi rumah tangga mencatat kontribusi signifikan terhadap ekonomi nasional, dengan pangsa sebesar 53,08% dari total PDB. Sektor ini tumbuh sebesar 4,91% (yoy), turut mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5,03% (ctc). Optimisme konsumen juga meningkat, terlihat dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang mencapai 125,9 pada November 2024, naik dari 121,1 di bulan sebelumnya.

Diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan pentingnya menjaga momentum positif ini. “Pemerintah telah menyiapkan 15 paket insentif kebijakan untuk diberlakukan mulai Januari 2025, termasuk insentif PPN DTP Properti untuk pembelian rumah. Ini merupakan langkah strategis untuk mendukung kesejahteraan masyarakat dan menjaga daya beli,” ujarnya dalam konferensi pers pada Senin (15/12/2024).

Dengan kondisi global yang masih penuh ketidakpastian, kebijakan ini diharapkan mampu menjadi stimulus penting bagi pertumbuhan ekonomi di tahun 2025 dan seterusnya. (alf)

Kenaikan PPN 12%, Kemenpar Dorong Industri Pariwisata Diversifikasi Produk

IKPI, Jakarta: Kementerian Pariwisata (Kemenpar) mengimbau pelaku industri pariwisata untuk melakukan diversifikasi produk sebagai langkah antisipasi menghadapi dampak kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang akan berlaku mulai 2025.

“Kami mengimbau industri pariwisata untuk menyediakan diversifikasi produk guna mengantisipasi pergeseran permintaan wisatawan,” ujar Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggaraan Kegiatan (Event) Kemenpar, Vinsensius Jemadu, dalam Jumpa Pers Akhir Tahun (JPAT) 2024 di Jakarta, baru-baru ini.

Dampak Kenaikan PPN Terhadap Wisatawan

Vinsensius menilai kenaikan PPN ini berpotensi mengubah pola konsumsi wisatawan. Wisatawan yang sebelumnya memilih produk premium mungkin akan beralih ke produk dengan harga lebih terjangkau. Untuk itu, diversifikasi produk diharapkan dapat menjaga daya saing pelaku usaha dan tetap memberikan berbagai pilihan kepada wisatawan.

“Kami tekankan, meski melakukan diversifikasi, kualitas produk wisata tidak boleh menurun,” tambahnya.

Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana, menyatakan dukungan penuh terhadap langkah diversifikasi tersebut. Ia menambahkan bahwa pemerintah akan berupaya menawarkan solusi untuk meringankan dampak kebijakan baru ini bagi wisatawan, seperti penyediaan paket wisata murah.

“Kami akan merancang paket wisata murah untuk memastikan pengalaman wisatawan tetap menarik meskipun ada kenaikan PPN,” ujar Widiyanti.

Industri Pariwisata Diminta Lebih Inovatif

Deputi Bidang Pemasaran Kemenpar, Ni Made Ayu Marthini, mengingatkan bahwa pariwisata adalah sektor yang selalu berkembang, bahkan dalam situasi sulit. Made menekankan pentingnya inovasi dan kolaborasi antara pelaku industri dan asosiasi untuk menciptakan produk wisata yang menarik dan berkualitas.

“Kami menggalakkan kampanye seperti ‘Di Indonesia Aja’ dan ‘Cinta Indonesia’ untuk mempromosikan pariwisata domestik. Selain itu, kami juga mengembangkan strategi berdasarkan tren wisatawan, seperti wisata kuliner dan olahraga,” kata Made. (alf)

Pemerintah Dapat Usulkan Penurunan Tarif PPN, Begini Penjelasannya dari Wakil Ketua Komisi XI DPR

IKPI, Jakarta: Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi PDIP, Dolfie Othniel Frederic Palit, mengungkapkan bahwa pemerintahan Prabowo Subianto sebetulnya memiliki ruang untuk mengusulkan penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Menurut Dolfie, Pasal 7 Ayat (3) dalam UU HPP memberikan rentang tarif PPN yang dapat diubah antara 5 hingga 15%. Berdasarkan ketentuan tersebut, tarif PPN yang berlaku mulai 2025 dipastikan sebesar 12%, namun pemerintah masih memiliki kebijakan untuk mengubah tarif tersebut dengan persetujuan DPR.

 

“Sebagaimana amanat UU HPP, bahwa tarif PPN mulai 2025 adalah 12%. Pemerintah dapat mengusulkan perubahan tarif tersebut dalam rentang 5% sampai dengan 15%, baik untuk menurunkan maupun menaikkan tarif PPN, dengan persetujuan DPR,” ujar Dolfie dalam keterangan tertulisnya, Minggu (22/12/2024).

Pada pasal lain, Pasal 7 Ayat (1) dalam UU tersebut menyebutkan bahwa PPN 11% berlaku mulai 1 April 2022, dan PPN 12% mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025. Namun, Pasal 7 Ayat (3) memberikan fleksibilitas bagi pemerintah untuk menyesuaikan tarif PPN berdasarkan kondisi ekonomi nasional.

Dolfie juga menambahkan bahwa jika pemerintahan Prabowo memutuskan untuk menaikkan PPN menjadi 12%, kebijakan tersebut harus dibarengi dengan penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat yang signifikan. Ia menegaskan bahwa hal-hal yang perlu diperhatikan adalah kinerja ekonomi yang membaik, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, serta pelayanan publik yang semakin baik.

Selain itu, Dolfie mengingatkan bahwa UU HPP merupakan inisiatif dari pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang telah disampaikan ke DPR pada 5 Mei 2021. UU ini disetujui oleh delapan fraksi partai di DPR, dengan hanya PKS yang menolaknya. UU HPP sendiri disahkan pada 7 Oktober 2021 dan mencakup perubahan beberapa ketentuan dalam UU KUP, UU PPh, UU PPN, serta UU Cukai. Salah satu poin penting dari UU HPP adalah Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak dan Pajak Karbon. (alf)

Biaya Langganan Netflix hingga Pulsa Kena Imbas Kenaikkan PPN 12%

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengumumkan penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% mulai 1 Januari 2025. Kebijakan ini akan berdampak pada sejumlah layanan digital, seperti Netflix, Spotify, dan YouTube Premium, serta produk seperti pulsa, token listrik, dan kartu perdana.

DJP menegaskan bahwa pengenaan PPN ini bukanlah objek pajak baru. Hal tersebut mengacu pada aturan yang sudah ada, yaitu PMK 60/PMK.03/2022 tentang Pajak PMSE (Perdagangan Melalui Sistem Elektronik) dan PMK 71/PMK.03/2022 yang mengatur PPN atas penyerahan jasa kena pajak tertentu.

“Platform digital tersebut telah ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE. Artinya, atas biaya berlangganan platform digital bukan merupakan objek pajak baru,” DJP dalam keterangan tertulis yang diterima, Minggu (22/12/2024).

Meski demikian, kebijakan ini menuai pertanyaan dari masyarakat karena layanan seperti langganan Netflix atau Spotify dianggap bukan barang mewah. Namun, DJP menjelaskan bahwa pengenaan pajak dilakukan berdasarkan pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud atau jasa kena pajak di dalam negeri, sesuai mekanisme PPN yang berlaku secara umum.

Kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kebijakan ini bertujuan untuk memperluas basis penerimaan negara di tengah meningkatnya konsumsi digital di Indonesia.

Adapun untuk pulsa, token listrik, dan kartu perdana, DJP menegaskan bahwa produk ini sudah lama masuk dalam objek pajak. Pengenaan PPN dilakukan berdasarkan nilai tambah dari setiap transaksi, yang juga diatur dalam regulasi terkait.

Meski tarif pajak meningkat, pemerintah berkomitmen untuk tetap memberikan pengawasan yang ketat dan transparansi dalam pemungutan pajak. Langkah ini diharapkan mampu mendukung optimalisasi penerimaan negara guna mendorong pembangunan nasional.

Imbas Pada Konsumen

Dengan kenaikan PPN ini, konsumen diperkirakan akan merasakan kenaikan harga pada layanan digital dan kebutuhan lainnya. Misalnya, biaya langganan Netflix yang sebelumnya dikenakan PPN 11 persen akan otomatis naik menjadi 12 persen pada awal 2025.

Pemerintah berharap masyarakat dapat memahami bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari upaya penyesuaian pajak yang lebih adil di era digitalisasi. (alf)

DJP Sebut PPN 12% Berimbas Pada Kenaikkan Harga Barang 0,9%

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa kenaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap harga barang dan inflasi. Berdasarkan perhitungan DJP, kenaikkan ini hanya akan menambah harga barang sebesar 0,9% bagi konsumen.

Dalam keterangan tertulis yang diterima Minggu (22/12/2024), DJP menjelaskan bahwa formula perhitungan selisih harga akibat kenaikan PPN menggunakan rumus:

(Harga Baru – Harga Lama) ÷ Harga Lama × 100%.

Sebagai contoh, harga sekaleng soda yang saat ini Rp 7.000 dikenakan PPN 11% (Rp 770), sehingga total harga menjadi Rp 7.770.

Dengan kenaikkan PPN menjadi 12%, tambahan pajak menjadi Rp 840, sehingga harga totalnya menjadi Rp 7.840. Berdasarkan formula, selisih kenaikkan harga adalah 0,9%.

DJP juga menyebutkan bahwa dampak kenaikan PPN terhadap inflasi sangat terbatas, hanya sekitar 0,2%. Inflasi saat ini tercatat rendah, yakni di angka 1,6%, dan Pemerintah berkomitmen menjaga inflasi pada kisaran target APBN 2025, yaitu 1,5%-3,5%.

“Kenaikkan PPN dari 11% menjadi 12% tidak akan menurunkan daya beli masyarakat secara signifikan,” tulis DJP.

Sebagai perbandingan, kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada April 2022 juga tidak menyebabkan lonjakan harga barang/jasa. Inflasi tahun 2022 yang mencapai 5,51% lebih dipengaruhi oleh tekanan harga global, gangguan suplai pangan, dan kebijakan penyesuaian harga BBM.

Sepanjang 2023-2024, tingkat inflasi berhasil ditekan di kisaran 2,08%.

DJP optimistis bahwa kebijakan kenaikan PPN ini tidak hanya berdampak minimal pada harga barang dan inflasi, tetapi juga menjadi langkah strategis untuk mendukung penerimaan negara tanpa mengurangi daya beli masyarakat.

Hal ini sejalan dengan upaya Pemerintah menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. (alf)

DJP: Tiket Konser Bebas dari Dampak Kenaikan PPN, Tiket Pesawat Tetap Terutang Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) menegaskan bahwa tiket konser musik tidak akan terdampak oleh kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Hal ini dikarenakan transaksi penjualan tiket konser musik bukan termasuk dalam objek PPN.

Dalam keterangan resminya pada Sabtu (21/12/2024), DJP menjelaskan bahwa tiket konser termasuk dalam objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), yang pengelolaannya berada di bawah kewenangan pemerintah kabupaten/kota sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD).

Sementara itu, tiket pesawat dalam negeri tetap dikenakan PPN. Hal ini merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1994 yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994.

DJP menegaskan bahwa transaksi penjualan tiket pesawat dalam negeri, yang bukan merupakan bagian dari tiket pesawat luar negeri, tetap menjadi objek PPN sesuai ketentuan yang berlaku.

Pernyataan ini memberikan kejelasan kepada masyarakat dan pelaku usaha terkait dampak kebijakan kenaikan PPN terhadap sektor hiburan dan transportasi. (alf)

Transaksi QRIS Kena PPN 12%? Ini Penjelasan DJP

IKPI, Jakarta: Transaksi menggunakan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) semakin marak di tengah masyarakat. Namun, menjelang kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025, muncul kekhawatiran bahwa pembayaran menggunakan QRIS akan dikenakan tambahan pajak.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memberikan klarifikasi terkait hal ini. Dalam pernyataan resmi pada Sabtu (21/12/2024), DJP menegaskan bahwa transaksi pembayaran melalui QRIS merupakan bagian dari Jasa Sistem Pembayaran, yang sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69/PMK.03/2022.

“Penyelenggaraan jasa sistem pembayaran bukan merupakan objek pajak baru,” jelas DJP.

DJP menjelaskan bahwa dasar pengenaan PPN adalah Merchant Discount Rate (MDR), yaitu biaya yang dikenakan oleh penyelenggara jasa pembayaran kepada pemilik merchant.

Artinya, transaksi menggunakan QRIS tidak akan dikenakan PPN tambahan di luar ketentuan yang berlaku.

Sebagai contoh, jika seseorang membeli televisi seharga Rp 5.000.000, maka PPN 12% yang terutang adalah Rp 600.000. Sehingga, total harga yang harus dibayarkan adalah Rp 5.600.000. Nominal ini berlaku sama, baik pembayarannya dilakukan melalui QRIS maupun metode pembayaran lainnya.

DJP juga menekankan pentingnya memahami regulasi terkait untuk menghindari kesalahpahaman di masyarakat.

Transaksi menggunakan QRIS tetap dipandang sebagai salah satu langkah menuju efisiensi dan inklusi keuangan digital di Indonesia.(alf)

id_ID