Pemerintah Sediakan Pedoman Penghitungan Pajak Masukan bagi PKP Skala Tertentu

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus mendorong kemudahan berusaha bagi pelaku usaha kecil dan menengah, termasuk dalam hal kepatuhan perpajakan. Salah satu bentuk dukungannya adalah penyediaan pedoman penghitungan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan skala usaha tertentu.

Dalam sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pelaku usaha diwajibkan melakukan pengkreditan antara Pajak Keluaran dan Pajak Masukan untuk menentukan jumlah PPN yang harus disetorkan setiap masa pajak. Namun, bagi pelaku usaha berskala kecil, proses ini sering kali dinilai rumit dan memerlukan administrasi yang tidak ringan.

Menjawab tantangan ini, Kementerian Keuangan menghadirkan solusi berupa pedoman penghitungan Pajak Masukan sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 74/PMK.03/2010. Pedoman ini ditujukan bagi PKP dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp1,8 miliar dalam satu tahun buku.

Cara Hitung Lebih Sederhana

Berdasarkan ketentuan tersebut, PKP cukup menghitung Pajak Masukan berdasarkan persentase tertentu dari Pajak Keluaran. Untuk penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), Pajak Masukan ditetapkan sebesar 60% dari Pajak Keluaran, sedangkan untuk Barang Kena Pajak (BKP), sebesar 70%.

Dengan berlakunya PMK Nomor 131 Tahun 2024, tarif PPN naik menjadi 12%, dengan penghitungan yang mengacu pada DPP (Dasar Pengenaan Pajak) Nilai Lain sebesar 11/12 dari harga jual. Secara efektif, tarif PPN menjadi 11%.

Artinya, bagi PKP yang menggunakan pedoman ini, jumlah PPN yang harus disetor setiap bulan lebih mudah dihitung, yaitu:

• 4,4% dari omzet untuk penyerahan jasa (40% x 11%)

• 3,3% dari omzet untuk penyerahan barang (30% x 11%)

Syarat dan Tata Cara Penggunaan Pedoman

Tidak semua PKP dapat langsung menggunakan pedoman ini. Terdapat dua syarat utama yang harus dipenuhi:

• Peredaran usaha dalam dua tahun sebelumnya masing-masing tidak melebihi Rp1,8 miliar.

• Baru dikukuhkan sebagai PKP.

Selain itu, penggunaan pedoman wajib diberitahukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP terdaftar. Pemberitahuan harus dilakukan paling lambat saat penyampaian SPT Masa PPN pertama tahun buku yang dimaksud atau saat pertama kali dikukuhkan sebagai PKP.

Apabila dalam tahun berjalan peredaran usaha melampaui Rp1,8 miliar, PKP wajib beralih ke mekanisme pengkreditan normal mulai masa pajak setelahnya. Meski demikian, pedoman ini tetap dapat digunakan kembali jika di tahun-tahun berikutnya PKP kembali memenuhi kriteria.

Format Khusus dalam Pelaporan

PKP yang menggunakan pedoman penghitungan Pajak Masukan juga diwajibkan melaporkan SPT Masa PPN dalam format khusus. SPT ini terdiri dari induk dan beberapa lampiran, antara lain:

• Formulir A1: Daftar Ekspor BKP dan/atau JKP

• Formulir A2: Pajak Keluaran Penyerahan Dalam Negeri

• Formulir B3: Pajak Masukan Tidak Dikreditkan

• Formulir C: PPN yang Dipungut Pihak Lain (alf)

 

Lima Strategi Kemenkeu Hadapi Gejolak Global, Perkuat Pajak dan Bea Cukai

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menyiapkan lima langkah strategis guna memperkuat fondasi sistem perpajakan nasional, baik dari sisi pajak maupun bea dan cukai. Strategi ini dirancang sebagai respons atas eskalasi tensi geopolitik, perang dagang, dan arus proteksionisme global yang berisiko menekan stabilitas ekonomi Indonesia.

Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, dalam pernyataan, Kamis (17/7/2025), menekankan pentingnya adaptasi fiskal menghadapi dinamika global. “Kami menyusun lima pendekatan utama untuk menjaga ketahanan sistem perpajakan nasional sekaligus meningkatkan efektivitasnya,” ujar Anggito.

1. Integrasi Data Lintas Lembaga
Langkah pertama adalah memperkuat sinergi antarunit dalam Kemenkeu, seperti Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai, dan Ditjen Anggaran, serta memperluas kolaborasi dengan kementerian/lembaga lain. Tujuannya, menyatukan data dan informasi ekonomi serta investasi agar kebijakan fiskal dapat lebih tepat sasaran.

“Kami ingin sistem data lintas institusi ini mampu mengidentifikasi pola transaksi dan mendukung kebijakan perpajakan yang lebih adil,” jelas Anggito.

2. Pengawasan Transaksi Digital
Di tengah pesatnya digitalisasi ekonomi, pengawasan atas transaksi digital menjadi prioritas. Pemerintah berupaya memperluas cakupan pengawasan, termasuk aktivitas ekonomi digital lintas batas, guna mencegah potensi kebocoran pajak dan meningkatkan kepatuhan pelaku usaha.

3. Penyesuaian Tarif dan Perluasan Cukai
Strategi berikutnya adalah melakukan penyesuaian tarif bea masuk dan memperluas cakupan objek cukai. Kebijakan ini tak hanya bertujuan mendukung hilirisasi industri nasional, tetapi juga sebagai instrumen proteksi sektor strategis, serta mendorong perilaku konsumsi yang lebih sehat dan ramah lingkungan.

4. Peningkatan Penerimaan SDA
Kemenkeu juga memfokuskan upaya pada optimalisasi penerimaan dari sektor sumber daya alam. Perusahaan yang menambang dan memanfaatkan kekayaan alam Indonesia diwajibkan berkontribusi secara adil melalui sistem perpajakan yang lebih tegas dan transparan.

5. Transformasi Sistem Teknologi Informasi
Sebagai tulang punggung reformasi administrasi, pengembangan sistem teknologi informasi menjadi pilar kelima. Sistem Coretax untuk perpajakan, CEISA untuk bea dan cukai, serta SIMBARA untuk pengelolaan sektor mineral dan batubara akan semakin diintegrasikan guna menciptakan transparansi dan efisiensi.

“Tujuan akhirnya adalah meningkatkan kepatuhan, memperkuat pengawasan, serta mendorong transparansi fiskal secara menyeluruh,” tutur Anggito.(alf)

 

Hindari SPT Ganda di Era Coretax, DJP Paparkan Tiga Skema Perpajakan Suami-Istri

IKP, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengingatkan para pasangan suami-istri untuk memahami skema pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan yang tepat guna mencegah pelaporan ganda di era sistem Coretax yang serba otomatis.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli Simbolon, menjelaskan bahwa sistem Coretax telah dirancang untuk secara otomatis menyesuaikan isian data berdasarkan status perpajakan masing-masing pasangan, dengan tetap mengacu pada ketentuan hukum yang berlaku.

“Coretax akan membaca data sesuai status perpajakan yang dilaporkan wajib pajak. Jadi jika suami-istri tidak menentukan pilihan administrasi yang sesuai, bisa saja terjadi pelaporan dobel,” ujar Rosmauli dalam keterangan, Kamis (17/7/2025).

DJP menawarkan tiga skema pelaporan bagi pasangan suami-istri:

1. Penggabungan Penghasilan
Dalam skema ini, penghasilan istri digabung ke dalam SPT suami. Model ini lazim digunakan jika istri hanya memiliki satu sumber penghasilan dari satu pemberi kerja, dan seluruh penghasilannya dianggap sebagai objek pajak suami, termasuk jika dikenai PPh Final.

2. Pisah Harta (PH)
Opsi ini berlaku apabila terdapat perjanjian pisah harta secara tertulis antara suami dan istri. Masing-masing wajib pajak akan melaporkan SPT secara mandiri dengan hak dan kewajiban perpajakannya masing-masing.

3. Memilih Terpisah (MT)
Skema ini digunakan jika istri memiliki penghasilan sendiri, seperti dari pekerjaan tetap. DJP akan menyesuaikan pengisian data berdasarkan status masing-masing melalui sistem Coretax agar tidak terjadi tumpang tindih.

“Bila istri memilih melaporkan SPT sendiri, baik melalui skema PH maupun MT, sistem akan mengenali dan memproses data berdasarkan pengaturan tersebut,” ujar Rosmauli. “Inilah kekuatan Coretax—otomatis, tepat sasaran, dan berbasis regulasi.”

Rosmauli juga menepis kekhawatiran sebagian masyarakat bahwa penggabungan penghasilan suami-istri akan otomatis menimbulkan kekurangan bayar pajak. Menurutnya, yang terpenting adalah kesesuaian pelaporan dengan kondisi sebenarnya.

“Coretax justru hadir untuk memastikan keadilan perpajakan. Wajib pajak akan mendapatkan hak yang setara dengan kewajibannya,” tegasnya.

Ia turut mengapresiasi peran konsultan pajak sebagai mitra strategis DJP dalam membantu wajib pajak memahami hak dan kewajiban mereka.

“Edukasi yang baik harus merujuk pada regulasi resmi. Dalam era digital perpajakan seperti sekarang, literasi menjadi kunci utama,” pungkas Rosmauli.(alf)

 

DJP Sumut I Gelar Pekan Sita Serentak: Truk Ekspedisi hingga Aset Rp2,3 Miliar Disita

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Kantor Wilayah DJP Sumatera Utara I tengah menggelar aksi tegas terhadap penunggak pajak melalui kegiatan bertajuk “Pekan Sita Serentak”, yang berlangsung sejak 14 hingga 18 Juli 2025.

Aksi ini merupakan bentuk penegakan hukum perpajakan secara langsung yang menyasar wajib pajak dengan tunggakan pajak yang telah melewati seluruh tahapan penagihan aktif sesuai ketentuan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Hari pertama pelaksanaan, Senin (14/7/2025), dimulai dengan penyitaan satu unit mobil truk milik sebuah perusahaan ekspedisi ternama di Medan oleh petugas dari KPP Pratama Medan Belawan. Aksi penyitaan dilakukan langsung oleh Juru Sita Pajak Negara (JSPN) dan disaksikan aparat terkait.

Total, sebanyak 25 objek aset yang tersebar di wilayah kerja sembilan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) berada dalam daftar sita. Nilai estimasi dari seluruh aset tersebut mencapai Rp2,3 miliar.

Kepala Kanwil DJP Sumut I, Arridel Mindra, menegaskan bahwa aksi ini bukan semata-mata mengejar penerimaan, tetapi juga sebagai bentuk penegakan hukum dan peringatan serius bagi wajib pajak yang mengabaikan kewajibannya.

“Ini adalah langkah tegas namun adil. Pajak adalah bentuk gotong royong warga dalam membangun negara. Kami ingin mendorong kepatuhan dengan cara yang terukur dan sah secara hukum,” ujar Arridel dalam keterangan resminya, Jumat (18/7/2025).

Ia menambahkan bahwa seluruh aset yang disita telah melalui proses asset tracing dan dipastikan sah milik wajib pajak. Bila dalam waktu yang ditentukan tidak ada penyelesaian, aset akan dialihkan ke tahap lelang melalui sinergi dengan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN).

“Penyitaan bukan akhir dari proses. Tapi jika tidak juga ada itikad baik, kami akan melanjutkan ke tahap lelang agar piutang negara bisa dimonetisasi menjadi penerimaan,” tegasnya.

Kegiatan Pekan Sita Serentak ini merupakan salah satu upaya DJP dalam menjamin kepastian hukum, mendorong kepatuhan sukarela, dan menumbuhkan efek jera (deterrent effect) di tengah masyarakat. (alf)

 

Generasi Muda se-Jatim Unjuk Gigi di Final FunTaxTic Competition 2025

IKPI, Jalarta: Dalam rangka memperingati Hari Pajak 2025, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Timur (Kanwil DJP Jatim) II menggelar Final FunTaxTic Competition 2025, sebuah ajang kompetisi kreatif yang menyatukan semangat belajar pajak dengan ekspresi anak muda.

Disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube DJP Jatim II pada Kamis pagi (17/7/2025), gelaran ini menjadi sorotan karena berhasil menghadirkan suasana edukatif yang menyenangkan dan inspiratif.

Empat kategori lomba digelar Tax Talk, Ranking 1, Video Reels, dan Desain Poster dengan partisipasi dari siswa SMA dan mahasiswa mitra inklusi perpajakan. Membawa tema besar “Siapkan Generasi Penerus Bangsa Berkarakter dan Paham Pajak”, kompetisi ini bukan hanya soal adu bakat, tapi juga tentang menanamkan nilai kepatuhan sejak dini melalui cara yang relevan dengan dunia generasi Z.

Kepala Kanwil DJP Jawa Timur II, Agustin Vita Avantin, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (18/7/2025) mengatakan bahwa pentingnya peran anak muda sebagai fondasi kesadaran pajak di masa depan.

“Pajak bukan sekadar kewajiban administrasi. Ini soal kontribusi dan kepedulian terhadap negeri. Anak muda harus jadi garda depan yang sadar akan perannya sebagai warga negara,” ujarnya.

Diungkapkan Vita, finalis dari berbagai kota tampil memukau. Ada yang menyampaikan pidato pajak dengan narasi menggugah, ada pula yang memvisualisasikan semangat membayar pajak lewat video sinematik dan poster digital. Semua karya mereka dinilai oleh juri dari kalangan profesional, akademisi, dan praktisi pajak.

Uniknya, kata Vita. Para peserta dijuluki “bintang dari galaksi inklusi” simbol bahwa mereka bukan hanya finalis, tapi juga agen perubahan dalam dunia perpajakan.

Selain sebagai wadah kompetisi, ajang ini juga menjadi bentuk nyata sinergi antara DJP, Tax Center perguruan tinggi, dan sekolah-sekolah mitra inklusi di wilayah Jawa Timur II. Edukasi pajak pun hadir tak lagi kaku, tetapi bisa dibungkus dengan kreativitas dan kolaborasi.

Ia menyampaikan harapannya agar ajang ini bisa terus digelar secara rutin. “Kita butuh lebih banyak ruang seperti ini. Tempat anak-anak muda bisa belajar, mencoba, dan menyampaikan pesan penting tentang pajak dengan cara mereka sendiri. Karena mereka bukan hanya peserta lomba mereka adalah masa depan Indonesia,” pungkasnya. (alf)

 

DJP Ingatkan Bayar Lewat Deposit Tak Gantikan Kewajiban Lapor SPT

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan seluruh wajib pajak untuk tetap melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) meskipun telah melakukan pembayaran pajak melalui fitur deposit pajak dalam sistem Coretax. DJP menegaskan, pembayaran lewat deposit tidak serta-merta menggugurkan kewajiban pelaporan pajak.

“Wajib pajak tetap dapat dikenai sanksi administrasi berupa denda atas keterlambatan pelaporan, penerbitan surat teguran, serta tindakan administratif lainnya sebagai bagian dari upaya pengawasan kepatuhan perpajakan,” tulis DJP dalam pengumuman resmi yang disampaikan melalui akun Coretax masing-masing wajib pajak, dikutip, Kamis (17/7/2025).

Fitur deposit pajak merupakan salah satu inovasi dari implementasi sistem Coretax yang tertuang dalam PMK Nomor 81 Tahun 2024. Melalui mekanisme ini, wajib pajak dapat membayar pajak tanpa langsung mengaitkannya dengan jenis kewajiban tertentu. Pembayaran deposit bisa dilakukan melalui sistem penerimaan negara secara elektronik, permohonan pemindahbukuan, atau menggunakan sisa kelebihan pembayaran pajak yang belum dikompensasikan.

Meski menawarkan kemudahan dan menghindarkan dari sanksi bunga karena keterlambatan bayar, DJP menekankan pentingnya ketelitian dalam proses pemindahbukuan. Dana deposit harus segera dialokasikan ke Kode Akun Pajak (KAP) dan Kode Jenis Setoran (KJS) yang sesuai, agar tercatat sebagai pelunasan pajak yang sah.

Tanggal pembayaran juga bergantung pada metode pengisian deposit. Bila dilakukan melalui sistem elektronik, tanggal pada Bukti Penerimaan Negara (BPN) dianggap sebagai tanggal pembayaran. Sedangkan melalui pemindahbukuan atau kelebihan bayar, tanggal yang berlaku mengikuti bukti pemindahbukuan atau penerbitan SKPKPP.

Peningkatan signifikan dalam pemanfaatan fitur ini tercermin dalam laporan penerimaan pajak semester I/2025. Pemerintah mencatat realisasi penerimaan dari pos “pajak lainnya” melonjak drastis menjadi Rp61,3 triliun, atau tumbuh 1.550,6% dibanding periode yang sama tahun lalu.

Diketahui, penerimaan pajak lainnya tumbuh 1.550,6% dibandingkan realisasi semester I/2024. Hal tersebut dipengaruhi oleh inisiatif wajib pajak dalam melakukan deposit pajak. (alf)

DJP: Penunjukan Marketplace Jadi Pemungut PPh 22 Dimulai Bertahap

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memastikan penerapan kebijakan penunjukan marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 tidak akan dilakukan serentak, melainkan secara bertahap. Hal ini sejalan dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang mengatur secara teknis mekanisme pungutan tersebut.

Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, menegaskan bahwa tahapan penunjukan dilakukan demi memastikan kesiapan sistem teknologi informasi dan memberikan edukasi yang cukup kepada para pelaku usaha digital.

“Meski PMK-nya sudah keluar, kami tidak serta-merta menunjuk semua marketplace. Penunjukan dilakukan melalui keputusan Direktur Jenderal Pajak, dengan menyebutkan siapa yang ditunjuk dan sejak kapan berlaku efektif,” ujarnya dalam Podcast Cermati, Kamis (17/7/2025).

Menurut Hestu, langkah bertahap ini meniru pendekatan yang sebelumnya digunakan pemerintah saat menunjuk pelaku Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) asing untuk memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun 2020 lalu. “Kami sudah berdiskusi dengan para marketplace, meminta mereka bersiap dari sisi sistem, dan nanti akan ditunjuk satu per satu,” jelasnya.

Namun Hestu menegaskan bahwa arah kebijakan ini tetap jelas: seluruh marketplace dalam negeri pada akhirnya akan ditunjuk sebagai pemungut pajak. Tujuannya adalah menciptakan level playing field antara pelaku usaha daring dan luring. “Nanti semua marketplace akan kami tunjuk. Supaya ada fairness, agar semua pelaku usaha punya perlakuan pajak yang sama,” tambahnya.

PMK 37/2025 sendiri mengatur bahwa marketplace akan memungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5% atas transaksi yang dilakukan oleh pedagang dalam negeri. Tarif ini dapat bersifat final atau tidak final tergantung kondisi wajib pajak. Selain itu, pedagang diwajibkan memberikan informasi transaksi kepada marketplace, yang menjadi dasar pemungutan pajak.

Menariknya, PMK ini menetapkan invoice sebagai dokumen tertentu yang dipersamakan dengan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan PPh dalam sistem unifikasi. Ini berarti invoice penjualan harus memuat data minimal sesuai standar, dan marketplace pun diwajibkan melaporkan informasi tersebut kepada DJP. (alf)

 

Kemenkeu Siapkan Standar Kompetensi Konsultan Pajak, Komisi XI DPR Minta Landasan Hukum Pengawasan Profesi

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah menyiapkan langkah besar dalam pembinaan profesi konsultan pajak. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XI DPR RI pada Senin, 14 Juli 2025, dan jajaran eselon I di Kementerian Keuangan yang salah satunya adalah Ditjen Stabilitas dan Pengembangan Sektor Keuangan (DJSPSK).

Dirjen DJSPSK, Masyita Crystallin, mengungkapkan bahwa penetapan standar kompetensi dan pengendalian mutu konsultan pajak menjadi fokus utama pada tahun 2026.

“Fokus di tahun 2026 adalah menetapkan standar kompetensi dan standar pengendalian mutu, sehingga konsultan pajak lebih baik lagi dalam membantu masyarakat melakukan tugas-tugas di bidang perpajakan,” ujar Masyita.

Menurutnya, langkah ini merupakan bagian dari tujuh program strategis DJSPSK, termasuk pembangunan Sistem Inti Profesi Keuangan (SIPK) platform digital yang akan mengintegrasikan proses pembinaan dan pengawasan terhadap 66 jenis profesi sektor keuangan.

Namun, rencana ni langsung mendapat perhatian dari Komisi XI DPR RI. Wakil Ketua Komisi XI, Dolfie Othniel Frederic Palit, mempertanyakan landasan hukum dari rencana pembinaan dan pengawasan profesi keuangan, termasuk konsultan pajak, penilai, dan akuntan.

“Ini hal baru. Selama kami di Komisi XI, belum pernah ada pembahasan soal pembinaan dan pengawasan profesi seperti ini. Mohon disampaikan landasan hukumnya,” tegas Dolfie.

Menanggapi hal itu, Masyita menyatakan akan segera menyampaikan penjabaran lengkap dasar hukum dari masing-masing profesi. Ia menyebut bahwa sebagian pengaturan memang telah tertuang dalam Undang-Undang, dan upaya ini penting tidak hanya untuk pelayanan pajak nasional, tetapi juga dalam konteks penguatan diplomasi ekonomi global.

Langkah pemerintah ini juga didukung dengan upaya sinergi triple helix antara pemerintah, perguruan tinggi, dan industri, yang akan diterapkan melalui program piloting link and match untuk mengembangkan profesi konsultan pajak.

Dalam paparannya, Masyita menekankan bahwa sistem SIPK yang tengah dikembangkan akan mengintegrasikan layanan pembinaan, pengawasan, dan proses administratif lainnya ke dalam satu platform digital yang efisien dan interoperatif. “Ini adalah platform yang mengintegrasikan seluruh proses bisnis, sekitar 66 jenis profesi, menjadi lebih mudah, efisien, dan tidak perlu masuk dari aplikasi yang berbeda-beda,” jelasnya.

Pengawasan terhadap profesi konsultan pajak dan profesi keuangan lainnya dilakukan oleh Direktorat Pembinaan dan Pengawasan Profesi Keuangan (PPPK) di bawah DJSPSK. Saat ini, terdapat 7.375 konsultan pajak yang diawasi oleh direktorat tersebut, bersama profesi lain seperti akuntan, penilai, aktuaria, dan profesi di bidang lelang serta kepabeanan. (bl)

 

Ekonom Nilai Kesepakatan Tarif RI-AS Tak Menguntungkan, Bisa Jadi Target Tekanan Dagang

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kesepakatan baru antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) mengenai penurunan tarif resiprokal dari 32% menjadi 19%, hasil dari perundingan panjang dengan Presiden AS Donald Trump. Namun di balik penurunan tarif tersebut, kalangan ekonom menilai hasil negosiasi ini justru merugikan posisi Indonesia di kancah perdagangan global.

“Beliau seorang negosiator cukup keras juga. Akhirnya ada kesepakatan. Kita akan istilahnya memahami kepentingan mereka, dan mereka memahami kepentingan kita,” ujar Prabowo setibanya di Tanah Air, Rabu (16/7/2025), usai lawatannya ke AS dan Eropa.

Dalam keterangannya, Prabowo juga mengakui bahwa sebagai bagian dari kesepakatan, Indonesia diminta untuk membuka pintu impor bagi produk-produk AS seperti Boeing, gandum, kedelai, dan migas, demi mendukung kebutuhan domestik.

Namun menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, kesepakatan ini justru menciptakan preseden yang tidak sehat bagi Indonesia.

“Ini bisa menjadi template. Kalau mau menekan Indonesia, ikuti saja gaya Trump: minta Indonesia buka keran impor lebih besar dan tetap terima tarif ekspor ke sana,” tegas Bhima.

Ia menyoroti pernyataan Trump yang menyebut bahwa barang-barang AS akan bebas tarif saat masuk ke Indonesia, sementara barang ekspor Indonesia ke AS tetap dikenakan tarif 19%.

“Itu jelas asimetri. Bukan negosiasi yang menguntungkan bagi Indonesia,” katanya.

Bhima juga menyoroti klausul kesepakatan lain yang mengharuskan Indonesia melakukan impor BBM, LPG, dan produk pertanian dengan nilai kontrak jangka panjang. Ia memperingatkan bahwa posisi tawar Indonesia bisa semakin lemah, apalagi jika hal ini menjadi acuan bagi negara-negara lain yang ingin menekan Indonesia.

Dalam perspektif regional, Bhima membandingkan hasil negosiasi Indonesia dengan Vietnam. Ia menyebut Vietnam, yang awalnya dikenai tarif 46%, kini hanya dipatok 20% setelah negosiasi.

“Selisih 1% saja kita kalah dari Vietnam, padahal mereka punya biaya logistik dan produksi lebih rendah. Artinya industri manufaktur kita kalah saing, relokasi investasi pun bisa lebih banyak ke Vietnam,” jelasnya.

Senada dengan Bhima, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menilai Indonesia harus menyusun strategi untuk menciptakan iklim investasi yang lebih menarik. Perbedaan struktur ekspor dengan Vietnam memang ada, tapi bukan alasan untuk bersikap pasif.

“Kalau tidak dibarengi reformasi struktural dan insentif, kita akan terus tertinggal. Perlu langkah nyata agar ekspor tumbuh dan tidak terjebak dalam ketergantungan impor,” ujar Esther.

Sementara itu, dari kalangan dunia usaha, pendapat berbeda disampaikan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Apindo, Hariyadi Sukamdani. Ia melihat peluang di balik kesepakatan ini.

“Menurut saya, ini deal terbaik yang bisa diambil dalam situasi sekarang. Peluang ekspor tetap terbuka, tinggal bagaimana kita maksimalkan saja,” ucapnya.

Hariyadi mendorong pelaku usaha untuk fokus menggenjot ekspor produk unggulan seperti pertanian dan consumer goods, serta memainkan diplomasi lebih cermat dalam sektor migas.

“Amerika tetap penting buat kita ekonomi besar, daya beli tinggi. Jangan sampai hubungan ini terganggu. Kita perlu cerdas berdiplomasi,” tambahnya.

Di sisi lain, Prabowo menyebut perundingan di Brussels menghasilkan progres penting dalam kerangka Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA), yang berpotensi membuka jalur bebas tarif untuk produk Indonesia ke Uni Eropa dan sebaliknya.

Namun, menurut para ekonom, diplomasi dagang ke depan harus lebih strategis dan berpihak pada kepentingan jangka panjang Indonesia, bukan sekadar imbal dagang jangka pendek. (alf)

DPR Dukung Pajak e-Commerce, Asal Tak Bebani Konsumen dan Jamin Keamanan Data

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi VI DPR RI Rivqy Abdul Halim menyatakan dukungannya terhadap kebijakan pemerintah yang mulai memungut pajak penghasilan (PPh) dari para pedagang online melalui platform e-commerce. Namun, ia mengingatkan pentingnya menjaga keseimbangan agar kebijakan tersebut tidak membebani konsumen maupun para pelaku usaha kecil menengah di ranah digital.

“Pemungutan pajak bagi pedagang online adalah langkah yang positif dan perlu mendapat dukungan. Tapi prinsipnya harus tetap memudahkan para wajib pajak dan menjamin keamanan data mereka,” ujar Rivqy dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (16/7/2025).

Rivqy merujuk pada praktik serupa di negara-negara maju seperti Australia, Korea Selatan, India, hingga Tiongkok, yang menurutnya dapat menjadi rujukan dalam merancang sistem pemungutan pajak digital yang efektif dan tidak memberatkan.

Ia juga menyoroti pentingnya aspek perlindungan data dalam kebijakan ini. “Jangan sampai data para pedagang bocor atau disalahgunakan hanya karena sistem perpajakan yang belum matang. Digitalisasi ini harus dibarengi dengan keamanan digital,” tambahnya.

Kebijakan pajak bagi pelaku e-commerce ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, yang mulai diberlakukan sejak pertengahan Juli. Aturan ini mengamanatkan marketplace seperti Shopee, Tokopedia, dan lainnya sebagai pemungut PPh Pasal 22 dari pedagang yang berjualan di platform mereka.

Besaran tarif yang dipungut yakni sebesar 0,5 persen dari omzet bruto tahunan, di luar PPN dan PPnBM. Namun, hanya pedagang dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun yang dikenai pungutan ini. Mereka wajib menyampaikan surat pernyataan kepada platform penyedia jasa e-commerce saat omzetnya melewati ambang batas.

Bagi pedagang kecil yang omzetnya belum mencapai Rp500 juta, mereka dibebaskan dari pungutan, selama mengajukan pernyataan resmi kepada platform yang ditunjuk sebagai Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).

Rivqy menilai, kebijakan ini pada dasarnya bertujuan meningkatkan kepatuhan pajak dan mendorong penerimaan negara, serta menciptakan keadilan antara pelaku usaha daring dan konvensional. “Jangan sampai tujuan mulia seperti ini justru gagal gara-gara implementasi yang tidak ramah pelaku usaha,” tegasnya.

Ia juga menyebut model Mini One Stop Shop (MOSS) yang diterapkan di Uni Eropa sebagai contoh skema pemungutan pajak digital yang dapat menyederhanakan proses administratif dan mencegah beban ganda bagi pelaku usaha.

“Kalau memang tujuannya untuk efisiensi dan keadilan, maka pemerintah perlu benar-benar memastikan eksekusinya berjalan tanpa menimbulkan keresahan baru,” kata Rivqy. (alf)

 

 

id_ID