Pemerintah Terus Kejar Pengemplang Pajak, Purbaya: Baru Bayar Rp7 Triliun, Sisanya Akan Saya Paksa!

(Gambar ilustrasi: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Pemerintah tak akan memberi ampun bagi para pengemplang pajak. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa negara akan menagih hingga rupiah terakhir dari total tunggakan pajak Rp60 triliun yang telah inkrah.

Hingga awal Oktober 2025, baru sekitar Rp7 triliun yang berhasil masuk ke kas negara. Namun, Purbaya memastikan sisanya akan segera diburu.

“Mungkin baru masuk hampir Rp7 triliun, tapi pembayarannya banyak yang bertahap. Nanti saya monitor lagi secepat apa mereka bayar,” ujar Purbaya usai Prasasti Luncheon Talk di Hotel Shangri-La Jakarta, Rabu (8/10/2025).

Meski realisasi masih jauh dari target, Menkeu tetap percaya diri seluruh piutang pajak itu bisa tertagih pada akhir 2025. Ia menyebut masih akan membahas strategi penagihan lanjutan bersama Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto.

“Saya harus bicara dulu dengan Dirjen Pajak seperti apa proses penagihannya. Tapi saya harapkan sebagian besar sudah masuk menjelang akhir tahun depan,” katanya.

Sebelumnya, Purbaya mengungkapkan bahwa tunggakan Rp60 triliun itu berasal dari sekitar 200 wajib pajak besar. Ia bahkan telah mengantongi daftar nama-nama mereka dan berjanji akan menindak tegas siapa pun yang tak kunjung melunasi kewajibannya.

“Itu yang enggak bayar pajaknya ada Rp60 triliun, sudah inkrah. Dalam waktu seminggu akan saya paksa bayar. Tahun ini pasti masuk ke kas negara. Kalau enggak, dia susah hidupnya di sini,” tegas Purbaya dalam kesempatan terpisah di Kompleks Parlemen, Jakarta, 23 September lalu.

Purbaya juga memastikan pemerintah akan menegakkan perlakuan yang adil bagi seluruh wajib pajak.

“Kita lakukan fair treatment. Kalau sudah bayar pajak, jangan diganggu sama sekali. Tapi kalau masih main-main, siap-siap saja ditindak,” ujarnya.

Langkah ini menegaskan komitmen Kementerian Keuangan di bawah Purbaya untuk membersihkan praktik pengemplangan pajak dan mengembalikan hak negara yang selama ini menguap. (alf)

Kemenkeu se-Jawa Timur Gelar Pekan Lelang Serentak, Rp11,4 Miliar Aset Penunggak Pajak Dilego

(Foto: DOK. Humas Kanwil DJP Jatim II)

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan se-Jawa Timur memperlihatkan langkah nyata dalam mengamankan penerimaan negara. Melalui sinergi antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), serta Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), digelar Pekan Lelang Serentak 2025 di Kantor Wilayah DJP Jawa Timur II, Rabu (8/10/2025).

Hadir dalam kegiatan tersebut, Kepala Kanwil DJKN Jawa Timur yang juga menjabat sebagai Kepala Perwakilan Kementerian Keuangan Provinsi Jawa Timur, Dudung Rudi Hendratna, didampingi Kindy Rinaldy Syahrir (Kakanwil DJP Jatim II), M. Samingun (Kakanwil DJP Jatim I), Untung Supardi (Kakanwil DJP Jatim III), serta Syaiful Islam (Kakanwil Ditjen Perbendaharaan Jawa Timur).

Kegiatan ini melibatkan seluruh unit eselon I Kementerian Keuangan di wilayah Jawa Timur. Selama sepekan, dari 6 hingga 10 Oktober 2025, sebanyak 69 lot aset dilelang secara daring melalui situs resmi lelang.go.id, dengan total nilai limit mencapai Rp11,4 miliar.

Aset yang dilelang berasal dari hasil eksekusi pajak dan nonpajak di 34 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) serta 3 Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) di seluruh Jawa Timur. Barang yang dilego antara lain kendaraan bermotor, truk, mesin, logam mulia, perhiasan, tanah dan bangunan, sepeda, hingga barang elektronik.

(Sumber DJP)

“Lelang ini tidak hanya bertujuan menjual barang sitaan, tapi juga memastikan setiap rupiah piutang negara dapat ditagih dan dikembalikan untuk kepentingan masyarakat,” ujar Dudung Rudi Hendratna dalam dalam keterangan tertulisnya, Kamis (9/10/2025).

Ia mengapresiasi dukungan seluruh jajaran unit vertikal Kementerian Keuangan di Jawa Timur yang telah bersinergi menyukseskan kegiatan tersebut.

“Dari 69 lot aset yang dilelang, harapan kami semuanya laku dengan harga terbaik agar menambah penerimaan negara, termasuk dari sektor penagihan pajak. Terima kasih kepada seluruh jajaran Kemenkeu se-Jawa Timur atas kerja sama dan soliditasnya,” tambah Dudung.

Sementara itu, Kindy Rinaldy Syahrir, Kakanwil DJP Jawa Timur II, menjelaskan bahwa penjualan barang sitaan merupakan bagian dari penegakan hukum pajak setelah seluruh tahapan penagihan dijalankan.

“Ini sekaligus menjadi edukasi bagi masyarakat, bahwa DJP memiliki kewenangan melakukan penyitaan dan pelelangan aset penunggak pajak sesuai ketentuan hukum,” ujar Kindy.

Proses penagihan pajak hingga penyitaan aset dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 dan PMK-61/PMK.03/2023 tentang Tata Cara Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar.

Lebih lanjut Dudung menegaskan kembali pentingnya kolaborasi antarunit di lingkungan Kemenkeu se-Jawa Timur.

“Pekan Lelang Serentak ini adalah bukti nyata sinergi antarunit di bawah Kementerian Keuangan se-Jawa Timur. Semua bekerja bersama untuk memperkuat penerimaan negara melalui mekanisme yang transparan dan akuntabel,” pungkasnya. (alf)

Pemerintah Bongkar Celah Penggelapan Pajak Lewat Verifikasi Kolaboratif Beneficial Owner

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai menutup rapat ruang bagi praktik penggelapan dan penghindaran pajak yang memanfaatkan celah kepemilikan perusahaan berlapis. Salah satu jurus terbarunya adapah penerapan verifikasi kolaboratif terintegrasi terhadap data beneficial owner (pemilik manfaat korporasi).

Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas menegaskan, paradigma lama pelaporan berbasis self-declaration tidak lagi efektif. Pasalnya, tingkat kepatuhan korporasi baru mencapai 46,9%.

“Kita akan beralih dari paradigma self-declaration menuju verifikasi kolaboratif yang terintegrasi,” ujar Supratman, dikutip dari laman resmi Ditjen AHU, Rabu (8/10/2025).

Menurut politikus Partai Gerindra itu, keterbukaan identitas pemilik manfaat bukan hanya urusan administratif, tetapi fondasi penting untuk menciptakan investasi yang sehat dan sistem keuangan yang stabil. Ia menyoroti masih kuatnya informasi asimetris, di mana pemilik sebenarnya kerap bersembunyi di balik struktur legal perusahaan yang kompleks dan berlapis.

“Ini adalah ekosistem yang sedang kita bangun, bukan pekerjaan yang muncul tiba-tiba. Langkah ini merupakan penyempurnaan dari fondasi yang sudah dibangun sebelumnya,” ujarnya.

Sebagai wujud nyata, Kemenkumham telah menerbitkan Permenkum Nomor 2 Tahun 2025 yang mengatur mekanisme verifikasi dan pengawasan pemilik manfaat korporasi. Implementasinya dilakukan secara lintas lembaga, termasuk dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

“Kolaborasi ini adalah keniscayaan. Inilah esensi tata kelola kolaboratif setiap lembaga menjadi simpul verifikasi yang saling menguatkan dan menghapus ego sektoral,” tegas Supratman.

Sumbang Hampir Rp900 Miliar ke Kas Negara

Langkah kolaboratif tersebut terbukti berdampak nyata. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengonfirmasi bahwa pemanfaatan data beneficial owner dan legal owner dari Ditjen AHU berhasil mengamankan penerimaan pajak senilai Rp896,6 miliar sejak 2020 hingga September 2025.

“Aliran data dari Ditjen AHU berkontribusi signifikan terhadap pengamanan penerimaan negara,” ujar Dirjen Pajak Bimo Wijayanto, Jumat (19/9/2025).

Data tersebut membantu DJP menelusuri praktik penghindaran pajak dan pencucian uang yang selama ini kerap disamarkan melalui kepemilikan tidak langsung.

Sinergi kedua lembaga itu kini diperkuat lewat perjanjian kerja sama (PKS) baru antara Dirjen Pajak Bimo dan Dirjen AHU Widodo yang diteken Kamis (18/9/2025). PKS tersebut merupakan penyempurnaan dari dua kerja sama sebelumnya yakni penguatan basis data beneficial ownership (2019–2024) dan pemanfaatan Pangkalan Data AHU Online untuk mendukung penerimaan negara (2020–2025).

“Penandatanganan PKS ini merupakan tindak lanjut dari Nota Kesepahaman Induk antara Kementerian Hukum dan HAM dengan Kementerian Keuangan mengenai sinergi pelaksanaan tugas dan fungsi di bidang hukum dan keuangan negara,” ungkap Widodo.

Transformasi ini menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia sedang memasuki era baru dalam tata kelola perpajakan di mana transparansi dan kolaborasi lintas lembaga menjadi senjata utama untuk menutup setiap celah penghindaran pajak.

Dengan verifikasi kolaboratif beneficial owner, pemerintah bukan hanya menjaga integritas sistem perpajakan, tetapi juga memastikan bahwa setiap rupiah pajak yang seharusnya masuk ke kas negara, benar-benar sampai di sana. (alf)

Purbaya Siapkan Kanal Aduan Langsung ke Dirinya untuk Tegakkan Keadilan Sistem Perpajakan

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bertekad menegakkan keadilan dalam sistem perpajakan nasional. Ia berjanji tidak akan menaikkan tarif pajak maupun cukai untuk menambal target penerimaan negara. Sebaliknya, Purbaya memilih membenahi sistem pemungutan dan membuka kanal pengaduan langsung ke dirinya agar masyarakat dapat melaporkan ketidakadilan atau penyimpangan di lapangan.

“Saya akan tertibkan itu pajak, bea cukai, dan segala macam. Saya akan buka kanal pengaduan langsung ke Menteri Keuangan. Saya akan baca dan saya follow up,” kata Senin (7/10/2025).

Menurutnya, sistem perpajakan yang adil adalah kunci untuk mendorong kepatuhan sukarela. Ia menilai masyarakat akan dengan sendirinya taat membayar pajak jika merasa diperlakukan setara dan tidak ada praktik penyalahgunaan kewenangan. Karena itu, selain memperkuat sistem pengawasan internal, Purbaya juga akan memperluas partisipasi publik melalui kanal aduan tersebut.

Purbaya mengungkapkan, pemerintah kini tengah memantau secara ketat kepatuhan pajak di sektor pertambangan dan perkebunan. Dua sektor itu disebut masih menyimpan potensi besar peningkatan penerimaan negara bila seluruh kewajiban perpajakan dijalankan dengan benar.

“Banyak sekali tambang dan perusahaan perkebunan yang sedang kami lihat, apakah mengikuti peraturan atau tidak. Kalau potensi penyelewengan di sana dibetulkan, penerimaan negara akan naik signifikan,” ujarnya.

Dalam kesempatan berbeda, Purbaya menegaskan komitmennya melindungi wajib pajak yang telah patuh. Ia tidak ingin ada lagi cerita pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang memeras wajib pajak atau bertindak di luar kewenangan.

“Kalau sudah bayar pajak, jangan diganggu sama sekali. Enggak ada lagi pegawai pajak ‘meres-meres’. Saya akan buka channel khusus untuk pengaduan seperti itu,” tegasnya di Gedung DPR, usai pengesahan RUU APBN 2026, (23/9/2025).

Selain membenahi pelayanan, Purbaya juga memperketat penegakan hukum terhadap para penunggak pajak besar. Ia menargetkan penyelesaian utang pajak senilai Rp60 triliun dari sekitar 200 wajib pajak yang sudah memiliki putusan hukum tetap (inkrah).

“Dalam waktu seminggu saya akan paksa bayar. Tahun depan kita sisir lagi. Ada yang lebih besar lagi, tapi belum bisa saya buka,” kata Purbaya.

Untuk memastikan langkah-langkah tersebut efektif, Kementerian Keuangan memperkuat koordinasi dengan Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK, dan PPATK. Sinergi ini termasuk dalam pertukaran data antarinstansi agar penegakan hukum dan pemungutan pajak lebih transparan dan akuntabel.

“Pertukaran data ini penting supaya kami bisa menarik pajak secara adil dan tepat sasaran,” pungkasnya. (alf)

Karyawan Swasta Gugat Pajak Pesangon dan Pensiun ke MK

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Dua karyawan swasta, Rosul Siregar dan Maksum Harahap, melayangkan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai negara telah berlaku tidak adil dengan memungut pajak atas pesangon dan uang pensiun, yang sejatinya merupakan hasil kerja keras selama bertahun-tahun.

Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 170/PUU-XXIII/2025 ini menguji Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana diubah terakhir dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) terhadap UUD 1945. Sidang perdana digelar di Gedung MK, Jakarta, Senin (6/10/2025).

Kuasa hukum para pemohon, Ali Mukmin, menilai pemajakan terhadap pesangon dan pensiun adalah bentuk ketidakadilan fiskal.

“Pesangon dan pensiun itu bukan penghasilan baru. Itu hasil jerih payah yang dikumpulkan puluhan tahun, tapi malah dipajaki lagi seolah-olah keuntungan ekonomi,” ujar Ali di hadapan majelis hakim.

Dalam permohonannya, para pemohon menjelaskan bahwa pesangon dan pensiun tidak bisa disamakan dengan penghasilan aktif atau laba usaha. Keduanya adalah bentuk penghargaan perusahaan kepada pekerja yang telah lama mengabdi, sekaligus tabungan terakhir untuk menghadapi masa tua.

“Negara masih tega mengambil bagian dari jatah hidup rakyat di masa pensiun, padahal mereka sudah dipotong pajaknya setiap bulan,” ucap Ali.

Rosul dan Maksum menilai kebijakan tersebut melanggar prinsip keadilan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Mereka juga menyinggung Pasal 28H ayat (1) tentang hak setiap orang atas kesejahteraan dan Pasal 34 ayat (2) yang mewajibkan negara memelihara warga yang lemah secara ekonomi.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta Mahkamah untuk:

1. Menyatakan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU PPh juncto UU HPP bertentangan dengan UUD 1945;

2. Menyatakan ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap pesangon, uang pensiun, THT, dan JHT;

3. Memerintahkan pemerintah tidak lagi mengenakan pajak atas pesangon dan pensiun, baik bagi pegawai negeri maupun swasta;

4. Memerintahkan pembentuk undang-undang untuk memperbaiki sistem perpajakan agar lebih manusiawi dan berkeadilan sosial.

Rosul yang akan pensiun bulan ini mengaku khawatir uang pesangonnya terpangkas besar karena tarif pajak progresif. Sementara Maksum, yang akan pensiun beberapa tahun ke depan, menyebut gugatan ini sebagai bentuk perjuangan bagi keadilan pekerja Indonesia.

MK Beri Waktu 14 Hari untuk Perbaikan

Sidang pemeriksaan pendahuluan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah. Dalam persidangan, Daniel memberi catatan agar permohonan disusun lebih sistematis sesuai Peraturan MK Nomor 7 Tahun 2025 tentang Tata Beracara Pengujian Undang-Undang.

“Argumentasi pertentangan norma perlu disusun ulang dan dijelaskan dengan rapi terhadap pasal-pasal UUD yang disebutkan,” ujar Daniel.

Sebelum menutup sidang, Suhartoyo memberikan waktu 14 hari bagi para pemohon untuk memperbaiki berkas permohonan. Dokumen perbaikan paling lambat harus diterima MK pada Senin, 20 Oktober 2025 pukul 12.00 WIB. (alf)

Coretax Dipastikan Beres Bulan Ini, Purbaya: Saya Sudah Bawa Ahli Dari Dalam Negeri

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa optimistis pembenahan Coretax System, platform administrasi perpajakan canggih ini, akan rampung pada Oktober 2025.

Dalam konferensi pers di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Selasa (7/10/2025), Purbaya menjelaskan bahwa tim ahli tengah menyempurnakan sistem yang menjadi tulang punggung pengelolaan data pajak nasional itu.

“Coretax mungkin satu bulan selesai. Orang bilang enggak mungkin, tapi saya kirim ahli. Ahlinya bukan dari luar negeri, dari luar Kementerian Keuangan. Orangnya jago, dan saya percaya bisa,” kata Purbaya penuh keyakinan.

Purbaya menepis anggapan bahwa pembenahan sistem dilakukan oleh konsultan asing. Menurutnya, seluruh proses ditangani tenaga ahli dalam negeri yang sudah memahami arsitektur sistem perpajakan nasional.

“Dua minggu lagi (sisa Oktober 2025), kalau meleset sedikit enggak apa-apa, tapi kelihatannya sudah clear,” imbuhnya.

Coretax sendiri menjadi proyek besar modernisasi pajak yang diharapkan mampu mengintegrasikan data wajib pajak, mempercepat restitusi, dan menekan potensi kebocoran penerimaan. Dengan perbaikan ini, Kemenkeu menargetkan pelayanan perpajakan akan lebih efisien dan transparan.

“Sistem yang kuat akan bantu pegawai jujur bekerja lebih baik, dan menutup celah bagi yang berniat curang,” ujar Purbaya menegaskan arah reformasi digital di DJP. (alf)

Purbaya Dukung Pemecatan 26 Pegawai Pajak: Tindakannya Tak Bisa Diampuni Lagi

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa memberikan dukungan penuh terhadap langkah tegas Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) Bimo Wijayanto yang telah memecat 26 pegawai pajak karena terlibat pelanggaran berat.

Menurut Purbaya, tindakan para oknum tersebut sudah tidak bisa ditoleransi karena mencederai kepercayaan publik terhadap institusi pajak.

“Mungkin dia (Dirjen Pajak Bimo) nemuin orang-orang (pegawai DJP) yang menerima uang, yang enggak bisa diampuni lagi, ya dipecat,” ujar Purbaya dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (7/10/2025).

Ia menegaskan bahwa pembersihan di tubuh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah langkah penting agar reformasi pajak berjalan tanpa hambatan.

“Ya biar saja dipecat. Kita lakukan pembersihan di situ. Pesannya jelas: sekarang bukan zamannya main-main lagi!” tegasnya.

Langkah bersih-bersih itu dilakukan langsung oleh Dirjen Pajak Bimo Wijayanto sejak ia menjabat pada akhir Mei 2025. Dalam waktu singkat, Bimo sudah memecat 26 pegawai DJP dan tengah memproses 13 nama tambahan yang diduga melakukan pelanggaran serupa.

“Seratus rupiah saja ada fraud yang dilakukan anggota kami, akan saya pecat! Handphone saya terbuka untuk whistleblower dari bapak, ibu, dan saya jamin keamanannya,” ujar Bimo dalam acara Peluncuran Piagam Wajib Pajak di Jogja Expo Center (JEC), Yogyakarta, Jumat (3/10/2025).

Bimo menegaskan bahwa pemecatan dilakukan tanpa pandang bulu, sebagai bentuk tanggung jawab moral sekaligus komitmen menjaga integritas institusi pajak.

Menkeu Purbaya mengapresiasi langkah cepat tersebut dan menilai bahwa ketegasan Bimo menunjukkan arah reformasi pajak yang sesungguhnya. Ia mengingatkan seluruh aparatur Kemenkeu, terutama di lingkungan DJP, untuk menjadikan kasus ini sebagai pelajaran.

“Kalau kepercayaan publik rusak, sistem pajak juga ikut runtuh. Karena itu, kita harus jaga integritas dan kejujuran dalam setiap rupiah yang dikelola,” tutupnya. (bl)

DJP Jatim II Serahkan Tersangka Kasus Penggelapan Pajak Rp42 Miliar ke Kejari Gresik

Tim Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang dipimpin Paduanta Hutahayan menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (Penyerahan Tahap II) kepada Kejaksaan Negeri Gresik yang diterima Kasi Pidsus Alifin N. Wanda (Foto: DOK. Humas Kanwi DJP Jatim II)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali menunjukkan komitmennya dalam menegakkan hukum di bidang perpajakan. Kantor Wilayah DJP Jawa Timur II, melalui Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), menyerahkan tersangka JD beserta barang bukti kepada Kejaksaan Negeri Gresik pada Selasa (7/10/2025).

Penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti atau Tahap II ini dilakukan setelah berkas penyidikan tindak pidana perpajakan atas nama JD dinyatakan lengkap (P-21) oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur. Proses penyerahan dilaksanakan di Kejaksaan Negeri Gresik, karena kasus tersebut berada dalam wilayah hukum Pengadilan Negeri Gresik.

JD yang menjabat sebagai Direktur PT Mount Dreams Indonesia, perusahaan yang bergerak di industri kertas karton kemasan, diduga melakukan tindak pidana penggelapan pajak dengan cara menyampaikan SPT Masa PPN yang isinya tidak benar dan tidak lengkap, serta tidak melaporkan SPT untuk beberapa masa pajak antara Januari 2018 hingga Desember 2020.

Modus yang digunakan JD adalah dengan mengubah nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) dan PPN dalam faktur pajak penjualan agar terlihat lebih kecil dari transaksi sebenarnya. Tak hanya itu, JD juga diketahui tidak melaporkan sejumlah faktur pajak yang telah diterbitkan dalam SPT Masa PPN.

Akibat perbuatannya tersebut, negara mengalami kerugian hingga Rp42,53 miliar.

Tim Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang dipimpin Paduanta Hutahayan menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti (Penyerahan Tahap II) kepada Kejaksaan Negeri Gresik yang diterima Kasi Pidsus Alifin N. Wanda (Foto: DOK. Humas Kanwi DJP Jatim II)

Atas tindakannya, JD dijerat dengan Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, dengan ancaman pidana penjara enam bulan hingga enam tahun dan denda dua sampai empat kali dari jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Kepala Kanwil DJP Jawa Timur II, Kindy Rinaldy Syahrir, mengapresiasi kerja sama erat antara DJP, Kejaksaan, dan Kepolisian yang membuat penanganan kasus ini berjalan efektif.

“Sinergi antarinstansi ini menjadi bukti komitmen pemerintah dalam menjaga hak-hak negara dan menegakkan keadilan di bidang perpajakan. Kami berharap penindakan ini menjadi efek jera bagi pelaku dan pengingat bagi seluruh Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajibannya dengan benar,” ujar Kindy, mellui keterangan tertulisnya, Rabu (8/10/2025).

Kindy menegaskan, sebelum kasus ini naik ke penyidikan, DJP melalui KPP Madya Gresik telah memberikan berbagai kesempatan administratif kepada wajib pajak untuk melunasi kewajibannya. Namun, karena tidak ada itikad baik dari JD, proses hukum terpaksa dilanjutkan.

“Kami selalu mengedepankan asas ultimum remedium hukum pidana menjadi langkah terakhir setelah pembinaan dan upaya administratif ditempuh,” tambahnya.

Saat ini, JD diketahui masih menjalani hukuman atas kasus korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dan telah dipindahkan dari Lapas Kelas I Tangerang ke Rutan Kelas IIB Gresik untuk menjalani proses persidangan pajak. Sementara perusahaannya, PT Mount Dreams Indonesia, telah dinyatakan pailit melalui putusan Pengadilan Niaga Surabaya pada Februari 2021.

Menutup pernyataannya, Kindy menegaskan bahwa penegakan hukum perpajakan tidak hanya bertujuan untuk menghukum pelaku, tetapi juga membangun kesadaran dan kepatuhan sukarela.

“Kepatuhan pajak adalah kunci utama menuju Pajak Tumbuh, Indonesia Tangguh. Kami mengajak seluruh Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak secara benar, lengkap, dan jelas,” pungkasnya. (alf)

Hati-Hati! Pengembalian Lebih Pajak Bisa Gagal Kalau Nomor Rekening Belum Terdaftar di Coretax

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali mengingatkan wajib pajak agar memastikan data nomor rekening bank mereka sudah terdaftar dan aktif di sistem Coretax. Imbauan ini penting karena tanpa nomor rekening yang valid, proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak tidak bisa dilakukan.

Sesuai ketentuan Pasal 158 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024, Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak akan menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP) maupun Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga (SPMIB) jika wajib pajak belum mencantumkan nomor rekening pada profil Coretax mereka.

Jika rekening atas nama wajib pajak belum tersedia, Direktur Jenderal Pajak berhak meminta pemutakhiran data rekening bank. Bagi wajib pajak yang memiliki beberapa rekening, hanya rekening yang ditandai sebagai “Rekening Bank Utama” yang akan digunakan untuk proses pengembalian pajak.

Cara Cek Rekening Bank di Coretax

Wajib pajak dapat mengecek daftar rekening yang terdaftar dengan langkah berikut:

1. Masuk ke modul Portal Saya.

2. Pilih menu Profil Saya → Detail Bank.

3. Di halaman ini akan tampil daftar rekening yang terdaftar, lengkap dengan nama bank, nomor rekening, jenis rekening, pemilik, status utama, dan tanggal validitas.

Cara Menambahkan atau Mengubah Nomor Rekening

Jika data rekening perlu diperbarui, lakukan langkah berikut di sistem Coretax:

1. Buka modul Portal Saya, lalu pilih menu Perubahan Data.

2. Pilih submenu Identitas Wajib Pajak.

3. Gulir ke bagian Rekening Bank, lalu centang Perbarui Rekening Bank Utama.

4. Isi data lengkap, seperti nama bank, nomor rekening, jenis rekening, pemilik rekening, dan tanggal mulai.

5. Unggah dokumen pendukung, misalnya halaman pertama rekening koran atau buku tabungan.

6. Jika ingin menambahkan rekening lain, centang Tambah atau perbarui rekening bank lain. (alf)

Perpanjangan SPT Tak Lagi Ribet, Cukup Gunakan Deposit Pajak di Coretax

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menghadirkan kemudahan baru bagi wajib pajak yang ingin memperpanjang penyampaian SPT Tahunan. Melalui sistem Coretax Administration System (Coretax), proses pelunasan pajak terutang kini dapat dilakukan secara praktis melalui deposit pajak, tanpa perlu repot membuat setoran manual.

Sesuai ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2024, DJP menetapkan tiga jenis kode akun pajak (KAP) untuk keperluan deposit pajak, yaitu:

1. 411618-100 – untuk pembayaran deposit pajak umum;

2. 411618-200 – untuk pembayaran deposit pajak dalam rangka perpanjangan SPT Tahunan;

3. 411618-300 – untuk pembayaran deposit pajak yang masih harus dibayar berdasarkan ketetapan seperti SPPT, STP, SKP, SK Keberatan, atau Putusan Banding.

Bagi wajib pajak yang mengajukan perpanjangan SPT Tahunan dan memperkirakan adanya jumlah pajak kurang bayar, pelunasan dapat dilakukan dengan membuat deposit pajak menggunakan kode 411618-200. Pembuatan kode billing deposit pajak dapat dilakukan langsung di aplikasi Coretax.

Setelah deposit dibayar, saldo tersebut akan otomatis terhubung dengan SPT Tahunan. Saat wajib pajak menekan tombol “Bayar dan Lapor” di menu Induk SPT Tahunan, sistem akan menampilkan pertanyaan konfirmasi. Jika sudah melakukan deposit, cukup klik “Ya”, dan pelaporan pun selesai.

Kewajiban melampirkan bukti pelunasan pajak ini diatur pula dalam Pasal 175 ayat (1) huruf d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024, yang mewajibkan wajib pajak menyertakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana lain yang disamakan sebagai bukti pelunasan kekurangan pajak terutang.

Selain bukti pembayaran, wajib pajak juga harus melampirkan:

• Penghitungan sementara pajak terutang untuk tahun pajak yang diperpanjang;

• Laporan keuangan sementara; dan

• Surat pernyataan dari akuntan publik jika audit laporan keuangan belum selesai.

Melalui fitur deposit pajak di Coretax, DJP memberikan kemudahan baru yang membuat proses perpanjangan SPT lebih cepat, efisien, dan transparan. (alf)

id_ID