Update: 4,4 Juta Wajib Pajak Telah Lapor SPT Tahunan, DJP Ingatkan Jangan Terlambat!

IKPI, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat sebanyak 4,4 juta wajib pajak telah menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) per 19 Februari 2025. DJP mengimbau wajib pajak yang belum melapor untuk segera melakukan pelaporan agar lebih nyaman dan tenang.

“Hingga saat ini sudah 4,4 juta SPT Tahunan disampaikan. Terima kasih atas partisipasi #KawanPajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan!” tulis DJP dalam pengumuman resmi di akun Instagram @ditjenpajakri, Jumat (21/2/2025).

Dari total pelaporan yang masuk, sebanyak 4,27 juta merupakan wajib pajak orang pribadi, sedangkan 130,5 ribu berasal dari wajib pajak badan. Adapun mayoritas pelaporan dilakukan melalui saluran elektronik e-Filing di djponline.pajak.go.id dengan total 4,31 juta laporan, sementara 97,8 ribu lainnya dilakukan secara manual.

DJP menegaskan bahwa pelaporan SPT Tahunan merupakan bentuk kontribusi nyata wajib pajak dalam pembangunan negara. Oleh karena itu, masyarakat yang belum melapor diimbau segera menyampaikan SPT Tahunan melalui e-Filing agar proses lebih mudah dan nyaman.

Sebagai informasi, SPT Tahunan 2024 dapat mulai dilaporkan sejak 1 Januari 2025. Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), batas akhir penyampaian SPT Tahunan wajib pajak orang pribadi adalah 31 Maret 2025, sedangkan untuk wajib pajak badan paling lambat 30 April 2025.

Bagi wajib pajak yang belum melapor, DJP mengingatkan agar segera melakukan pelaporan di https://djponline.pajak.go.id untuk menghindari kendala di akhir batas waktu pelaporan.(alf)

Ragam Pilihan Registrasi Pada Coretax DJP Mudahkan Wajib Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyediakan berbagai pilihan menu registrasi dalam sistem Coretax DJP untuk mempermudah wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Dengan adanya sistem ini, wajib pajak dapat memilih menu registrasi sesuai dengan kebutuhan mereka.

Pilihan Menu Registrasi

Terdapat beberapa menu registrasi yang disesuaikan dengan kondisi wajib pajak, antara lain:

• Pendaftaran dengan Aktivasi NIK

• Ditujukan bagi wajib pajak yang ingin mendaftarkan NPWP baru.

• Status: Aktif

• Wajib lapor SPT: Ya

• NIK sebagai NPWP: Ya

• Pengecualian: Wanita kawin yang memilih bergabung dengan NPWP suami.

• Hanya Registrasi

• Ditujukan bagi wanita kawin yang memilih bergabung dengan NPWP suami.

• Status: Tidak Aktif

• Wajib lapor SPT: Tidak

• NIK sebagai NPWP: VA

• Lupa Kata Sandi

• Khusus bagi pengguna DJP Online yang mengalami kendala dalam mengakses akun mereka.

• Status: Aktif

• Wajib lapor SPT: Ya

• NIK sebagai NPWP: Ya

Pilihan Registrasi Lanjutan

Selain itu, terdapat beberapa opsi lain bagi wajib pajak yang sudah memiliki NPWP tetapi memerlukan aktivasi akun di Coretax DJP:

• Aktivasi Akun untuk Pemilik NPWP Aktif

• Ditujukan bagi pemilik NPWP aktif namun bukan pengguna DJP Online.

• Status: Aktif

• Wajib lapor SPT: Ya

• NIK sebagai NPWP: Ya

• Aktivasi Akun bagi Pengguna DJP Online yang Lupa Email atau Nomor Telepon

• Ditujukan bagi wajib pajak yang mengalami kendala akses karena lupa email atau nomor telepon seluler.

• Status: Aktif

• Wajib lapor SPT: Ya

• Aktivasi Akun untuk Wanita Kawin yang Gabung NPWP Suami tetapi Membutuhkan Akses Coretax DJP

• Ditujukan bagi wanita yang telah bergabung dengan NPWP suami namun memiliki peran sebagai wakil atau kuasa wajib pajak.

• Status: Aktif

• Wajib lapor SPT: Tidak

• NIK sebagai NPWP: Ya

• Perubahan Data Unit Keluarga Perpajakan (Tax Family Unit)

• Khusus bagi wanita menikah yang bergabung dengan NPWP suami atau anak yang belum memiliki e-KTP.

• Status: Tidak Aktif

• Wajib lapor SPT: Tidak

• NIK sebagai NPWP: Ya

Dengan berbagai pilihan registrasi ini, DJP berharap dapat memberikan kemudahan bagi wajib pajak dalam mengelola kewajiban perpajakannya dengan lebih efisien dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. (alf)

DJP Banten Imbau Wajib Pajak Perbarui Data Sebelum Gunakan Coretax

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Banten mengimbau wajib pajak untuk memperbarui data kependudukan mereka sebelum menggunakan aplikasi perpajakan digital, Coretax. Imbauan ini disampaikan Penyuluh Pajak Ahli Madya Kanwil DJP Banten Dedi Kusnadi, guna menghindari kendala teknis akibat ketidaksesuaian data saat proses validasi.

Coretax, yang diluncurkan pada awal tahun 2025, mengintegrasikan sistem perpajakan dengan database dari berbagai instansi, seperti Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), Online Single Submission (OSS), dan Administrasi Hukum Umum (AHU). Dedi menekankan bahwa jika data wajib pajak tidak sinkron, sistem akan menolak akses, sehingga mereka tidak dapat mendaftar atau melaporkan pajaknya secara online.

“Pastikan data KTP sudah diperbarui di Dukcapil, terutama jika ada perubahan status pernikahan atau pekerjaan. Jika data berbeda, Coretax tidak akan mengenali wajib pajak,” ujar Dedi dikutip dari dialog RRI, Jumat (21/2/2025).

Selain itu, fitur pengenalan wajah (face recognition) dalam Coretax juga berpotensi menjadi tantangan bagi beberapa wajib pajak. Jika foto di KTP lama tidak sesuai dengan penampilan terkini, sistem tidak dapat memverifikasi identitas pengguna. Oleh karena itu, DJP menyarankan agar wajib pajak memperbarui foto di Dukcapil agar proses validasi berjalan lancar.

Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat, DJP telah menyediakan video tutorial, buku panduan, dan materi edukasi lainnya di situs pajak.go.id. Selain itu, bagi kelompok atau asosiasi yang membutuhkan pendampingan lebih lanjut, DJP membuka kesempatan untuk bimbingan teknis yang dapat diajukan melalui surat resmi ke kantor wilayah DJP setempat.

Dengan adanya digitalisasi ini, DJP berharap semakin banyak masyarakat yang dapat memenuhi kewajiban perpajakannya dengan lebih mudah, aman, dan transparan. (alf)

Pemerintah Terbitkan PMK 11/2025, Atur PPN Transaksi Aset Kripto

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 11 Tahun 2025 (PMK 11/2025) yang mengatur penyesuaian nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak serta besaran tertentu Pajak Pertambahan Nilai (PPN), termasuk pada transaksi aset kripto. PMK-11/2025 ini ditetapkan dan mulai berlaku pada 4 Februari 2025.

Melansir situs Direktorat Jenderal Pajak (DJP), regulasi ini menyesuaikan tarif PPN baru sebesar 12% yang telah diterapkan sejak 1 Januari 2025. Dalam regulasi terbaru ini, pemerintah menetapkan skema penghitungan PPN untuk transaksi aset kripto sebagai berikut:

• Penyerahan aset kripto oleh penjual melalui Pedagang Fisik Aset Kripto (PFAK) yang terdaftar di Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), dikenakan tarif [1% x (11/12)] x 12% x nilai transaksi aset kripto.

• Penyerahan aset kripto oleh penjual melalui PMSE yang bukan Pedagang Fisik Aset Kripto, dikenakan tarif [2% x (11/12)] x 12% x nilai transaksi aset kripto.

• Penyerahan jasa verifikasi transaksi aset kripto dan/atau jasa manajemen kelompok penambang aset kripto, dikenakan tarif [10% x (11/12)] x 12% x nilai berupa uang atas aset kripto yang diterima oleh penambang, termasuk aset kripto yang diterima dari sistem aset kripto (block reward).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menyatakan bahwa dengan berlakunya PMK-11/2025, aturan hukum mengenai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Nilai Lain dan Besaran Tertentu PPN menjadi lebih sederhana karena terkumpul dalam satu dasar hukum.

“Harapannya, masyarakat lebih mudah memahami skema penghitungan PPN terutang,” ujar Dwi.

Sementara itu, DJP Kementerian Keuangan mencatat bahwa hingga Januari 2025, penerimaan pajak dari transaksi kripto mencapai Rp1,19 triliun. Sejak pertama kali diberlakukan pada 2022, penerimaan pajak kripto menunjukkan tren kenaikan dari tahun ke tahun. Pada 2022, total pajak yang dikumpulkan sebesar Rp246,45 miliar, mengalami penurunan menjadi Rp220,83 miliar pada 2023. Namun, pada 2024 jumlahnya melonjak signifikan menjadi Rp620,4 miliar, dan hingga Januari 2025 telah mencapai Rp107,11 miliar.

Dengan adanya kepastian regulasi ini, diharapkan transaksi aset kripto di Indonesia semakin meningkat, karena pengguna memiliki pemahaman yang lebih jelas terkait kewajiban pajak mereka. Regulasi ini juga diharapkan dapat menarik lebih banyak investor serta mendorong pertumbuhan industri aset kripto di Indonesia secara berkelanjutan. (alf)

Kanwil DJP dan Polres Metro Jakut Perkuat Penegakan Hukum Perpajakan

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Utara (Kanwil DJP Jakut) memperkuat sinergi dengan Kepolisian Resor (Polres) Metro Jakarta Utara melalui audiensi yang digelar di Kanwil DJP Jakut, Gedung Altira Business Park, Sunter. Kegiatan ini bertujuan untuk mempererat koordinasi dalam menangani serta mencegah perkara tindak pidana perpajakan yang menjadi kewenangan masing-masing lembaga.

Kepala Kanwil DJP Jakut Wansepta Nirwanda, berharap audiensi ini dapat mengoptimalkan sinergi antara DJP dan Polres Jakut dalam penegakan hukum perpajakan sehingga efektivitas pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kedua lembaga semakin meningkat.

“DJP dalam mencapai target penerimaan tidak bisa bekerja sendiri, butuh dukungan dari berbagai pihak dan stakeholder agar kinerja kami maksimal,” ujar Wansepta Nirwanda dalam keterangan tertulis yang diterima Jumat (21/2/2025).

Dalam kesempatan tersebut, Kepala Polres Metro Jakut, Kombes Polisi H. Ahmad Fuady, memperkenalkan jajarannya serta menyampaikan beberapa tugas dan fungsi yang dilaksanakan oleh Polres Jakut. Ia juga menyampaikan apresiasi atas undangan dan penerimaan dari Kanwil DJP Jakut.

“Kami berterima kasih sudah diundang dan diterima oleh Kepala Kanwil DJP Jakarta Utara beserta jajaran. Semoga kegiatan ini menjadi ajang sinergi yang dapat memaksimalkan tugas kita masing-masing,” kata Ahmad Fuady.

Kedua pimpinan berharap audiensi ini dapat menghasilkan kerja sama yang optimal, salah satunya dengan adanya permintaan asistensi dari Polres Jakut terkait pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan.

Audiensi ini juga dihadiri oleh sejumlah pejabat dari Kanwil DJP Jakut, antara lain:

• Kepala Bidang Data dan Pengawasan Potensi Perpajakan Kanwil DJP Jakut, Abdul Manan

• Kepala Bidang Pemeriksaan, Penagihan, Intelijen, dan Penyidikan Kanwil DJP Jakut, Widodo

• Kepala Bidang Pendaftaran, Ekstensifikasi, dan Penilaian, Donna Dian Sukma Zulfrieda

• Kepala Bidang Keberatan, Banding, dan Pengurangan Kanwil DJP Jakut, Krisnawiryawan Wisnu Hananto

• Kepala Bagian Umum Kanwil DJP Jakut, Alexander Ginting

Hadir pula sejumlah Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di wilayah Jakarta Utara, yakni:

• Kepala KPP Jakarta Tanjung Priok, Zulkarnaen Pasaribu

• Kepala KPP Jakarta Pademangan, Sony Sujati

• Kepala KPP Jakarta Koja, Marasi Napitupulu

• Kepala KPP Jakarta Kelapa Gading, Vadri Usman

• Kepala KPP Madya Dua Jakut, Saefudin

• Kepala KPP Jakarta Penjaringan, Iwan Setyawan

Sementara dari Polres Metro Jakut, hadir:

• Wakil Kepala Polres Jakut, AKBP James H. Hutajulu

• Kepala Seksi Keuangan, Kompol Lus Triningsih

• Kepala Seksi Pengawasan, AKP Margono

• Kepala Polsek Tanjung Priok, Kompol R. Sigit Kumono

• Kanit Intel Polsek Tanjung Priok, IPDA Reza

Dengan adanya sinergi yang lebih erat antara Kanwil DJP Jakut dan Polres Metro Jakut, diharapkan pelaksanaan penegakan hukum perpajakan semakin efektif, serta mampu memberikan kontribusi positif dalam peningkatan kepatuhan pajak di Jakarta Utara. (alf)

 

Hingga Pertengahan Februari 2025, DJP Terima 4,75 Juta Laporan SPT Tahunan 

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan telah menerima 4,75 juta Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) untuk tahun pajak 2024 hingga pertengahan Februari 2025.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, mengungkapkan bahwa hingga 20 Februari 2025, jumlah SPT Tahunan PPh yang telah dilaporkan mencapai angka tersebut. Dari jumlah tersebut, 4,6 juta merupakan pelaporan dari wajib pajak orang pribadi, sementara 141.000 berasal dari wajib pajak badan.

“Target kepatuhan SPT Tahunan PPh untuk tahun 2025 masih dalam proses penghitungan. Sebagai gambaran, pada tahun 2024, DJP menetapkan target kepatuhan sebanyak 16,04 juta SPT atau sekitar 83,22% dari total wajib pajak yang diwajibkan untuk melapor,” ujar Dwi, Jumat (21/2/1025).

Dwi juga menekankan bahwa pelaporan SPT Tahunan untuk tahun pajak 2024 masih dapat dilakukan melalui e-filing di situs djponline.pajak.go.id. Sistem Coretax, yang akan diterapkan pada tahun pajak 2025, tidak akan mempengaruhi pelaporan SPT tahun ini.

Sebagaimana diatur dalam ketentuan yang berlaku, batas waktu pelaporan SPT Tahunan bagi Wajib Pajak Orang Pribadi adalah hingga 31 Maret 2025, sedangkan bagi Wajib Pajak Badan, batas waktu pelaporan ditutup pada 30 April 2025. Wajib pajak yang terlambat melaporkan SPT akan dikenai sanksi sesuai ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Sanksi tersebut dapat berupa sanksi administrasi maupun pidana.

Menurut Pasal 39 UU KUP, setiap orang yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT atau menyampaikannya dengan keterangan yang tidak benar atau tidak lengkap sehingga menimbulkan kerugian bagi pendapatan negara dapat dikenakan sanksi pidana.

DJP mengimbau seluruh wajib pajak untuk segera melaporkan SPT Tahunan mereka sebelum tenggat waktu guna menghindari sanksi dan mendukung kepatuhan pajak nasional. (alf)

DJP Pastikan Regulasi Pajak Minimum Global di Indonesia Masih Berlaku

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan akhirnya angkat bicara terkait pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang menyebutkan kemungkinan penerapan pajak minimum global di Indonesia bisa batal. DJP menegaskan bahwa aturan tersebut masih berlaku sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti, menegaskan bahwa hingga saat ini regulasi mengenai pajak minimum global masih berjalan sebagaimana mestinya. “Dapat kami sampaikan bahwa hingga saat ini PMK 136/2024 masih berlaku sebagaimana telah ditetapkan,” ujar Dwi di Jakarta, Jumat (21/2/2025).

Pernyataan dari DJP tersebut menegaskan bahwa belum ada perubahan atau pembatalan terkait penerapan pajak minimum global di Indonesia. Meskipun ada pernyataan dari Airlangga mengenai kemungkinan batalnya penerapan pajak ini, DJP memastikan bahwa regulasi yang ada masih tetap berlaku.

Diberitakan sebelumnya, Airlangga mengindikasikan bahwa kebijakan pajak minimum global bisa batal diterapkan di Indonesia, terutama setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara resmi menarik negaranya dari kesepakatan pajak global. Menurut Airlangga, Indonesia terus memantau perkembangan kebijakan global dan berupaya memitigasi dampak dari penerapan pajak minimum global.

“Kita juga belajar bagaimana bekerja untuk memitigasi penerapan pajak minimum global 15 persen. Dan kita cukup positif karena Trump 2.0 tidak mau ini diterapkan, jadi saya kira kita ikuti Trump 2.0,” ujar Airlangga dalam acara Indonesia Economic Summit di Hotel Shangri-La, Jakarta pada Selasa (18/2/2025).

Meskipun aturan pajak minimum global telah disiapkan, pemerintah tetap berupaya menjaga daya saing investasi di Tanah Air. Airlangga menegaskan bahwa Indonesia masih mengoptimalkan berbagai insentif di antaranya tax holiday dan tax allowance guna menarik investor.

Seperti diketahui, setelah dilantik kembali sebagai Presiden AS periode 2025–2029, Trump mengeluarkan memorandum yang menyatakan bahwa AS tidak akan mengikuti kesepakatan dari solusi 2 Pilar Pajak Global. Trump juga memerintahkan Departemen Keuangan AS untuk menyusun opsi atau langkah-langkah protektif terhadap negara-negara yang telah atau berpotensi memberlakukan aturan pajak yang dinilai merugikan perusahaan-perusahaan AS.

Kesepakatan pajak minimum global sebesar 15 persen merupakan hasil negosiasi yang dipimpin oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Perjanjian ini disepakati pada Oktober 2021 di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden, dengan dukungan dari hampir 140 negara.

Namun, Kongres AS tidak pernah menyetujui langkah-langkah untuk menyesuaikan AS dengan perjanjian tersebut.

Sebagai perbandingan, pajak minimum global di AS saat ini berada di kisaran 10 persen, yang merupakan bagian dari paket pemotongan pajak besar yang disahkan pada 2017 oleh administrasi Trump.

Perbedaan ini memungkinkan negara-negara yang telah menerapkan pajak minimum 15 persen untuk mengenakan pajak tambahan (top-up tax) kepada perusahaan-perusahaan AS yang membayar tarif pajak lebih rendah. Trump menyebut tindakan semacam itu sebagai bentuk retaliasi.

Pasalnya, Uni Eropa, Inggris, dan sejumlah negara lainnya telah mengadopsi pajak minimum global sebesar 15 persen. Namun, tanpa partisipasi AS, terdapat risiko ketegangan baru. Mantan Menteri Keuangan AS Janet Yellen sebelumnya menyepakati perjanjian ini sebagai langkah untuk mengakhiri persaingan penurunan tarif pajak korporasi yang dianggap merugikan secara global.

Sementara itu, Scott Bessent, kandidat Menteri Keuangan yang dinominasikan Trump, menentang keras kelanjutan perjanjian ini. “Melanjutkan kesepakatan pajak minimum global akan menjadi kesalahan besar,” tegas Bessent.

Selain pajak minimum global, OECD juga berupaya merancang aturan baru terkait pembagian hak pajak atas perusahaan multinasional besar, terutama yang mendapatkan keuntungan signifikan di negara-negara tempat produk mereka dijual. Langkah ini ditujukan untuk menggantikan pajak layanan digital sepihak yang sebelumnya diberlakukan oleh negara-negara seperti Italia, Prancis, Inggris, Spanyol, dan Turki. (alf)

Tak Lapor SPT, Sanksi Administratif dan Pidana Menanti Wajib Pajak Ini Rinciannya!

IKPI, Jakarta: Meski kewajiban melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) kepada negara bersifat wajib, masih banyak wajib pajak (WP) yang tidak memenuhi kewajiban tersebut. Padahal, tindakan tersebut berpotensi dikenakan sanksi yang tidak main-main, mulai dari sanksi administratif hingga pidana.

Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), WP yang tidak melaporkan SPT tepat waktu atau tidak sesuai ketentuan bisa dikenakan sanksi administratif berupa denda. Sanksi ini bervariasi, tergantung jenis SPT yang tidak dilaporkan. Berikut rinciannya:

– Denda Rp500.000 untuk SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

– Denda Rp100.000 untuk SPT Masa lainnya

– Denda Rp1.000.000 untuk SPT Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak Badan

– Denda Rp100.000 untuk SPT PPh Wajib Pajak Perorangan

Lebih jauh lagi, WP yang dengan sengaja tidak melaporkan SPT atau melaporkan SPT dengan informasi yang tidak benar atau tidak lengkap, yang dapat merugikan pendapatan negara, bisa dijerat dengan sanksi pidana. Berdasarkan Pasal 39 UU KUP, sanksinya bisa berupa pidana penjara minimal 6 bulan dan maksimal 6 tahun, serta denda yang besarnya 2 hingga 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Di sisi lain, pelaporan SPT Tahunan untuk periode 2024 menunjukkan angka yang cukup signifikan. Hingga 12 Februari 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat sebanyak 3,33 juta SPT Tahunan PPh yang sudah disampaikan oleh WP. Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 3,73% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, yang tercatat sebanyak 3,21 juta pelapor SPT.

Jumlah tersebut terdiri dari 3,23 juta wajib pajak orang pribadi dan 103 ribu wajib pajak badan. Pelaporan SPT yang dilakukan melalui saluran elektronik tercatat sebanyak 3,26 juta, sementara sisanya sebanyak 75,77 ribu SPT dilaporkan secara manual.

Meskipun sistem Coretax sudah diluncurkan sejak 1 Januari 2025, mekanisme pelaporan SPT Tahunan 2024 masih menggunakan metode lama, yakni e-Filing. Namun, pada pelaporan SPT Tahunan 2025 yang akan dilakukan pada 2026, WP dapat menggunakan sistem Coretax yang baru.

Dengan adanya sanksi yang tegas ini, penting bagi seluruh wajib pajak untuk memastikan pelaporan SPT mereka dilakukan dengan benar dan tepat waktu, guna menghindari potensi masalah hukum dan finansial.(alf)

Singapura Bagikan Voucher dan Pangkas Pajak dalam Perayaan Kemerdekaan ke-60

IKPI, Jakarta: Perdana Menteri Singapura, Lawrence Wong, mengumumkan serangkaian insentif bagi warga dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Singapura yang ke-60. Dalam pidato anggaran pada Selasa (18/2/2025), Lawrence menyatakan bahwa pemerintah akan membagikan voucher hingga memangkas pajak penghasilan pribadi sebagai bentuk apresiasi terhadap kontribusi masyarakat.

“Saya akan memperkenalkan paket SG60 untuk mengapresiasi kontribusi seluruh warga Singapura dan untuk berbagi manfaat kemajuan bangsa kita,” ujar Lawrence dikutip dari CNBCIndonesia.

Sebagai bagian dari paket SG60, pemerintah akan mendistribusikan voucher SG60 kepada warga Singapura berusia 21 hingga 59 tahun pada tahun 2025. Setiap orang dalam kelompok usia tersebut akan menerima voucher senilai S$600 (sekitar Rp7,3 juta). Sementara itu, warga berusia 60 tahun ke atas akan mendapatkan voucher senilai S$200 (sekitar Rp2,4 juta) atau S$800 (sekitar Rp9,7 juta), tergantung pada kriteria tertentu.

Tak hanya itu, bayi yang lahir pada tahun 2025 juga akan menerima “hadiah bayi SG60” sebagai bagian dari perayaan nasional ini. Distribusi voucher ini akan dimulai pada bulan Juli 2025 dan berlaku hingga 31 Desember 2026. Kelompok lansia akan diberikan prioritas dalam proses klaim sebelum distribusi berlanjut ke kelompok usia yang lebih muda.

Warga dapat mengklaim voucher melalui RedeemSG atau meminta bantuan di pusat layanan masyarakat jika mengalami kesulitan. Voucher ini dapat digunakan di berbagai tempat belanja, mulai dari supermarket hingga pedagang kaki lima.

Selain pembagian voucher, Lawrence juga mengumumkan pemangkasan pajak penghasilan pribadi (personal income tax/PPh) sebesar 60 persen untuk tahun pajak 2025. Pemangkasan ini akan dibatasi hingga S$200 per individu, sehingga manfaatnya lebih terasa bagi pekerja kelas menengah.

Lebih lanjut, pemerintah juga akan memberikan dukungan kepada para pedagang di pasar dengan subsidi penyewaan kios sebesar S$600 per unit, guna meringankan beban biaya operasional mereka.

Langkah-langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperkuat perekonomian Singapura dalam momentum perayaan kemerdekaan ke-60 tahun negara tersebut. (alf)

Pengkreditan Pajak Masukan di Coretax DJP Maksimal 3 Bulan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengimplementasikan kebijakan baru terkait pengkreditan Pajak Masukan dalam sistem Coretax. Dalam kebijakan ini, Pajak Masukan dapat dikreditkan dalam masa pajak yang tidak sama dengan batas maksimal 3 bulan sejak masa pajak faktur diterbitkan.

Implementasi ini berlaku untuk Faktur Pajak yang dibuat dalam sistem Coretax DJP, memberikan fleksibilitas bagi wajib pajak dalam mengkreditkan Pajak Masukan mereka. Berikut contoh pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan kebijakan terbaru:

• Pajak Masukan dalam Faktur Pajak Masa Pajak Oktober 2024 dapat dikreditkan pada Masa Pajak Januari 2025.

• Pajak Masukan dalam Faktur Pajak Masa Pajak November 2024 dapat dikreditkan pada Masa Pajak Januari atau Februari 2025.

• Pajak Masukan dalam Faktur Pajak Masa Pajak Desember 2024 dapat dikreditkan pada Masa Pajak Januari, Februari, atau Maret 2025.

Kebijakan ini juga akan diterapkan pada Faktur Pajak yang dibuat dalam sistem Coretax DJP mulai Masa Pajak Januari 2025, dengan batas pengkreditan maksimal 3 bulan sejak masa pajak faktur diterbitkan.

Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan wajib pajak dapat lebih fleksibel dalam mengelola Pajak Masukan mereka, serta meningkatkan kepatuhan pajak dengan tetap mengikuti ketentuan yang berlaku.

Untuk informasi lebih lanjut, wajib pajak dapat menghubungi kantor pajak terdekat atau mengakses situs resmi DJP. (alf)

id_ID