CORE: Tarif Perdagangan 19% ala Trump Bakal Gerus Ekspor Indonesia hingga US$ 9,23 Miliar

IKPI, Jakarta: Kebijakan tarif perdagangan resiprokal sebesar 19% yang resmi diberlakukan pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap Indonesia sejak 7 Agustus 2025 diprediksi akan menjadi pukulan berat bagi perekonomian nasional.

Lembaga riset ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia dalam laporan terbarunya berjudul “Biaya Mahal Negosiasi Tarif” menilai, meski tarif tersebut telah turun dari level awal 32%, dampak negatifnya terhadap Indonesia tetap signifikan. “Detail kesepakatan yang diumumkan Gedung Putih justru menunjukkan biaya negosiasi yang sangat mahal bagi Indonesia,” tulis tim ekonom CORE, Senin (11/8/2025).

Menurut kajian tersebut, setidaknya ada tiga kerugian besar yang akan dihadapi Indonesia:

1. Penyusutan nilai ekspor ke AS hingga US$ 9,23 miliar akibat kenaikan bea masuk.

2. Kewajiban menghapus 99% tarif untuk produk asal AS yang masuk ke pasar Indonesia serta pelonggaran hambatan non-tarif, yang berpotensi melemahkan industri manufaktur dalam negeri.

3. Ketimpangan komitmen dagang yang dapat merugikan pelaku industri lokal dalam jangka panjang.

CORE memperkirakan, penerapan tarif ini akan memangkas kesejahteraan nasional sebesar US$ 3,16 miliar, terutama karena penurunan konsumsi ekspor Indonesia di pasar AS yang berimbas langsung pada surplus produsen, khususnya di sektor-sektor unggulan.

Kajian CORE menjelaskan, tarif resiprokal merupakan pungutan tambahan di luar bea masuk, seperti pajak dan biaya lain, yang dikenakan lebih tinggi pada barang dari negara tertentu. Misalnya, produk alas kaki (HS: 64) asal Indonesia yang sudah terkena bea masuk 12% kini ditambah tarif resiprokal 19%, sehingga totalnya melonjak menjadi 31%.

Meski tarif tersebut setara dengan yang dikenakan pada Filipina dan Malaysia, potensi beban ekstra mengintai. Sebagai anggota penuh BRICS, Indonesia berisiko terkena tambahan tarif 10%. Jika itu terjadi, tarif alas kaki Indonesia akan membengkak hingga 41%, sementara produk elektronik bisa mencapai 29% — jauh di atas Vietnam (21%), Malaysia (20%), dan Filipina (19%).

Kendati tanpa tambahan tarif BRICS sekalipun, CORE menilai daya saing ekspor Indonesia sudah kalah di hadapan Vietnam, Malaysia, dan Filipina. Penyebabnya: biaya logistik domestik yang tinggi, mencapai 23,5% dari PDB, dibanding Vietnam (16,8%), Filipina (13%), dan Malaysia (13%).

Data Logistics Performance Index (LPI) menunjukkan skor Indonesia hanya 3,0, tertinggal dari Malaysia (3,6), Vietnam (3,3), dan Filipina (3,3). Skor International Shipments (ISS) Indonesia pun rendah di angka 3,0, di bawah Malaysia (3,7), Vietnam (3,3), dan Filipina (3,1). Semakin rendah skor ini, semakin mahal ongkos kirim barang ke pasar internasional.

Efek Domino di AS

CORE juga memprediksi tarif resiprokal ini akan memicu inflasi sekitar 7% di AS. Lonjakan harga tersebut akan menekan daya beli konsumen Negeri Paman Sam, sehingga permintaan terhadap produk-produk sekunder seperti garmen, pakaian, dan alas kaki yang menjadi komoditas ekspor utama Indonesia akan ikut melemah.

“Dampak dari sisi permintaan akan memperparah penurunan kinerja ekspor Indonesia. Ini bukan hanya soal tarif, tapi juga soal daya serap pasar yang menurun,” tulis tim ekonom CORE dalam laporan tersebut. (alf)

 

 

 

 

Menkum Tegaskan Royalti Bukan Pajak Harus ada Laporan Terbuka ke Publik

IKPI, Jakarta: Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa royalti tidak termasuk kategori pajak, sehingga negara tidak menerima langsung dana dari pungutan tersebut. Menurutnya, seluruh hasil pungutan diserahkan sepenuhnya kepada para pemilik hak cipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) atau Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), bukan dikelola pemerintah.

“Royalti sepenuhnya untuk yang berhak, pemerintah hanya mengawasi. Penyalurannya dilakukan LMK atau LMKN, bukan kementerian. Karena itu, kami ingin ada laporan yang terbuka ke publik,” ujar Supratman di Jakarta, Sabtu (9/8/2025).

Ia mengungkapkan, jumlah royalti yang berhasil dikumpulkan di Indonesia masih jauh di bawah negara tetangga Malaysia, padahal jumlah penduduk Indonesia berkali-kali lipat lebih besar. Data yang ia terima menunjukkan, total pungutan royalti dari berbagai sumber di Indonesia baru sekitar Rp270 miliar per tahun. Sementara itu, Malaysia mampu mengumpulkan antara Rp600–700 miliar per tahun.

“Malaysia penduduknya jauh lebih sedikit, tapi perolehan royaltinya dua kali lipat lebih besar dari kita. Ini menandakan potensi yang belum tergarap,” katanya.

Pernyataan ini disampaikan usai menyaksikan penandatanganan kesepakatan damai antara LMK Sentra Lisensi Musik Indonesia (Selmi) dan PT Mitra Bali Sukses (MBS), pemegang lisensi merek Mie Gacoan. Kesepakatan tersebut mengakhiri sengketa hak cipta yang sempat berujung pada penetapan tersangka terhadap Direktur PT MBS. Perusahaan itu kini telah melunasi kewajiban royalti kepada LMK Selmi.

Bagi Supratman, penyelesaian damai tersebut menjadi contoh positif bagi dunia industri kreatif. “Ini bukan sekadar soal nominal yang dibayarkan, tapi menunjukkan penghormatan terhadap karya cipta. Semoga jadi teladan bagi pelaku usaha lain,” ujarnya.

Ia memastikan Kementerian Hukum akan mengeluarkan aturan baru terkait tata cara pemungutan royalti, termasuk transparansi laporan dan penyesuaian tarif. “Kami sedang menyiapkan peraturan menteri yang baru untuk memastikan semuanya jelas dan akuntabel,” ujarnya. (alf)

 

Kasus Pajak Rp2,9 Miliar Bikin Geger Pekalongan, DJP Tegaskan Bukan Penagihan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menepis kabar bahwa pihaknya menagih pajak hingga Rp2,9 miliar kepada seorang buruh jahit di Pekalongan, Jawa Tengah. Klarifikasi ini disampaikan setelah beredar informasi yang memicu kehebohan di media sosial.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menjelaskan bahwa kunjungan petugas pajak ke rumah tukang jahit bernama Ismanto memang benar terjadi. Namun, kedatangan tersebut bukan untuk menagih pajak, melainkan untuk memverifikasi data yang tercatat di sistem administrasi DJP.

“Kepala KPP Pratama Pekalongan menegaskan bahwa tujuan kunjungan adalah memastikan kebenaran data, bukan melakukan penagihan,” kata Rosmauli, dikutip Minggu (10/8/2025).

Menurut Rosmauli, data yang memicu pemeriksaan ini berasal dari DJP Pusat pada 2021. Dalam sistem tercatat adanya transaksi bernilai sekitar Rp2,9 miliar yang terhubung dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) milik Ismanto, dan terkait dengan sebuah perusahaan.

Setelah dilakukan klarifikasi, Ismanto membenarkan bahwa NIK tersebut miliknya, namun ia membantah keras pernah melakukan transaksi tersebut. Dugaan pun mengarah pada kemungkinan penyalahgunaan identitas.

“DJP akan menelusuri pihak-pihak yang sebenarnya melakukan transaksi ini. Penelitian lebih lanjut akan dilakukan sesuai prosedur,” tegas Rosmauli.

Ia juga mengingatkan masyarakat untuk lebih waspada menjaga dokumen pribadi, termasuk NIK, agar tidak disalahgunakan. “Jika menerima surat dari kantor pajak, segera lakukan klarifikasi untuk menghindari kesalahpahaman,” imbuhnya. (alf)

 

 

Family Tax Unit di Coretax DJP: Manfaat, Kemudahan, dan Contoh Layanan di Lapangan

IKPI, Jakarta: Sejak implementasi Coretax DJP pada Januari 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memperkenalkan kemudahan pengelolaan data keluarga melalui fitur Family Tax Unit (FTU). Fitur ini memudahkan wajib pajak untuk mendaftarkan anggota keluarga, seperti pasangan atau anak, agar dapat terintegrasi dalam administrasi perpajakan.

Salah satu fungsi penting FTU adalah mengakomodasi NPWP gabung suami-istri, sehingga anggota keluarga yang NPWP-nya tergabung tetap dapat mengakses layanan digital di Coretax DJP. Dengan data FTU yang lengkap, wajib pajak dapat mengelola kewajiban dan hak perpajakannya secara lebih praktis, termasuk pelaporan SPT dan akses informasi.

Cara menambahkan FTU cukup sederhana: wajib pajak dapat login ke coretaxdjp.pajak.go.id, memilih menu pengelolaan data keluarga, kemudian mengisi identitas anggota keluarga sesuai dokumen resmi. Namun, jika menghadapi kendala teknis atau validasi data, penambahan juga bisa dilakukan langsung di Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) kantor pajak.

Contohnya, pada Selasa (29/4/2025), Panji, wajib pajak orang pribadi, datang ke KPP Madya Bandar Lampung setelah gagal menambahkan data istrinya secara mandiri di Coretax DJP. Petugas TPT, Vinni Inayah, melakukan verifikasi identitas dan berhasil menginput data istri ke akun Coretax Panji. “Penambahan di FTU Coretax DJP suami sudah berhasil dilakukan. Silakan dapat dicek kembali di akun Coretax DJP-nya,” jelas Vinni dikutip, Minggu (10/8/2025).

Menariknya, KPP Madya Bandar Lampung tetap melayani penambahan FTU meskipun wajib pajak tersebut tidak terdaftar di kantor tersebut. Untuk mempermudah akses informasi, mereka juga menyediakan layanan Halodesk melalui WhatsApp di nomor 08117210993, yang memungkinkan konsultasi pajak jarak jauh secara cepat.

Dengan hadirnya FTU di Coretax DJP dan dukungan layanan langsung di kantor pajak, pengelolaan data keluarga dalam sistem perpajakan menjadi lebih ringkas, akurat, dan mudah diakses kapan saja. (alf)

 

 

 

 

Hotman Paris: Pajak Tak Kenal Moral, PSK Tetap Bisa Kena

IKPI, Jakarta: Isu sensitif soal pengenaan pajak penghasilan terhadap pekerja seks komersial (PSK) kembali memanas di ruang publik. Topik ini viral setelah beredar kabar meningkatnya aktivitas prostitusi di kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN), memicu perdebatan sengit antara yang setuju dan menolak.

Polemik pun makin rumit karena profesi PSK tidak diakui dalam hukum ketenagakerjaan Indonesia.

Di tengah pusaran kontroversi moral dan legalitas, pengacara kondang Hotman Paris Hutapea justru menyampaikan pandangan yang tegas dan berbeda.

Melalui unggahan di akun Instagram resminya, Anggota Kehormatan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia ini menyatakan bahwa secara prinsip hukum perpajakan, PSK tetap dapat dikenai pajak penghasilan.

“Apakah dikenakan pajak untuk PSK? Jawabannya adalah yes. Menurut sistem hukum pajak di mana pun, termasuk di Indonesia, pajak dipungut dari setiap jenis income, baik halal maupun tidak halal,” ujar Hotman dalam video yang diunggah di @hotmanparisofficial, Jumat (8/8/2025).

Menurutnya, logika pajak tidak menilai moralitas sumber penghasilan, melainkan fokus pada objek pajak itu sendiri, yaitu penghasilan yang diterima. Ia bahkan mencontohkan bahwa pendapatan dari pekerjaan formal, perjudian, hingga prostitusi, secara teori, tetap dapat dikenai pajak jika terdeteksi oleh otoritas.

“Cari makan resmi dikenakan pajak, judi dikenakan pajak, PSK juga dikenakan pajak kalau ketahuan,” tegasnya.

Yang lebih mengejutkan, Hotman turut mengingatkan risiko bagi para pengguna jasa PSK. Ia menuturkan bahwa nama-nama pelanggan berpotensi masuk dalam catatan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PSK sebagai sumber penghasilan.

“Jadi siap-siap saja. Kalau Anda jajan ke PSK, hati-hati nama kamu masuk di SPT cewek itu,” ucapnya dengan nada serius.

Pandangan ini sejatinya sejalan dengan penjelasan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada 2015 silam. Saat itu, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Mekar Satria Utama, menyampaikan bahwa prostitusi secara prinsip memang dapat dikenakan pajak, dengan catatan ada bukti valid atas penghasilan yang diperoleh.

“Pajak prostitusi itu bisa ditarik, seperti halnya perjudian. Dalam Undang-Undang perpajakan, yang dilihat adalah subjek dan objeknya. Subjeknya bisa orang atau badan usaha, dan objeknya adalah penghasilan,” jelas Mekar, 16 Desember 2015.

Ia menambahkan, meskipun prostitusi adalah aktivitas ilegal, aliran uang yang dihasilkan tetap dapat menjadi objek pajak, apalagi jika pembayaran dilakukan melalui jalur yang dapat dilacak seperti transfer bank. “Kalau nanti masuk ke rahasia perbankan, lalu ditemukan bukti transfer, maka secara teoritis bisa dikenakan pajak,” ujarnya.

Namun, DJP menegaskan fokus utama mereka bukanlah mengejar pajak dari sektor ini. Meski tanpa pajak prostitusi, kinerja penerimaan pajak lima tahun terakhir masih tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi nasional, yakni sekitar 9%, walau target tahunan belum selalu tercapai.

Pernyataan Hotman Paris ini pun memicu diskusi panas di media sosial. Sebagian warganet terkejut dengan keterusterangannya, sementara sebagian lainnya mulai memahami bahwa pajak memang soal hitung-hitungan hukum dan finansial, bukan moralitas. (alf)

 

Viral Isu Pajak PSK, DJP Tegaskan Tak Ada Kebijakan Khusus

IKPI, Jakarta: Jagat media sosial, khususnya Instagram, ramai membicarakan isu rencana pemerintah memungut pajak dari pekerja seks komersial (PSK). Isu tersebut memicu perdebatan luas, namun Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan kabar itu tidak benar.

“Tidak ada kebijakan khusus untuk memungut pajak dari pekerja seks komersial,” tegas Pelaksana Harian Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Hestu Yoga Saksama, dalam, Sabtu (9/8/2025).

Yoga menilai pemberitaan tersebut menyesatkan dan berpotensi membingungkan publik. Ia mengingatkan agar media serta pihak-pihak yang mengangkat isu serupa lebih cermat memeriksa sumber dan relevansi informasi.

Meski begitu, DJP mengakui isu tersebut berawal dari pernyataan Direktur P2Humas DJP tahun 2016, Mekar Satria Utama. Pada saat itu, Mekar tengah menjelaskan secara akademis tentang unsur subjektif dan objektif dalam status wajib pajak sesuai Undang-Undang Pajak Penghasilan. Penjelasan tersebut tidak dimaksudkan sebagai pengumuman kebijakan.

“Pernyataan itu sudah lama, konteksnya berbeda, dan tidak relevan untuk diberitakan sekarang,” jelas Yoga.

Ia juga mengimbau masyarakat untuk memverifikasi setiap informasi melalui kanal resmi Kementerian Keuangan dan DJP atau sumber berita terpercaya, agar tidak mudah terpengaruh kabar yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

“Fokus pemerintah saat ini adalah mengoptimalkan penerimaan pajak melalui pelayanan, edukasi, pengawasan, dan penegakan hukum untuk mendorong kepatuhan pajak yang lebih baik,” tambahnya.

Dalam potongan pernyataan Mekar yang kembali beredar di media sosial, ia sempat menyebutkan potensi pajak dari aktivitas judi. Sementara terkait prostitusi, ia menilai secara teori dapat menjadi objek Pajak Penghasilan (PPh) apabila penghasilannya resmi dan terdeteksi melalui transaksi perbankan. (alf)

 

Brasil–India Perkuat Barisan Hadapi Serangan Tarif Trump

IKPI, Jakarta: Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dan Perdana Menteri India Narendra Modi sepakat memperkuat aliansi strategis setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menjatuhkan tarif tinggi terhadap barang-barang impor dari kedua negara.

Keduanya berbincang pada Kamis (7/8/2025), sehari setelah Trump mengumumkan kebijakan tarif 50 persen untuk produk asal India. Kantor Kepresidenan Brasil menyebut Lula dan Modi menegaskan komitmen mempertahankan multilateralisme serta menghadapi tantangan ekonomi yang muncul akibat perang tarif AS, demikian dikutip AFP, Sabtu (9/8/2025).

Melalui unggahan di platform X, Modi menekankan pentingnya kemitraan erat dengan Brasil sebagai sesama anggota BRICS. “Kemitraan yang kuat dan berpusat pada rakyat antara negara-negara Selatan Global menguntungkan semua pihak,” ujarnya.

Trump mengumumkan kebijakan tersebut pada Rabu (6/8/2025) setelah India membeli minyak dari Rusia. Gelombang pertama tarif 25 persen mulai berlaku sejak Kamis (7/8), dan tambahan 25 persen lagi akan diberlakukan tiga minggu mendatang.

Brasil pun tidak luput dari sasaran. Negeri Samba dikenai tarif 50 persen untuk berbagai produk ekspor, termasuk kopi, sebagai respons atas proses hukum terhadap mantan presiden Jair Bolsonaro yang didakwa merencanakan kudeta. (alf)

 

 

 

 

Efisiensi Anggaran Kementerian Berlanjut hingga 2026, 15 Pos Belanja Kena Pangkas

IKPI, Jakarta: Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memastikan kebijakan efisiensi anggaran kementerian/lembaga (K/L) tidak berhenti di tahun ini. Pemangkasan pos belanja akan berlanjut hingga 2026 sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56 Tahun 2025 yang diteken Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 5 Agustus 2025.

Dalam beleid tersebut, efisiensi tak hanya berlaku untuk anggaran K/L, tetapi juga dana transfer ke daerah (TKD). Hasil penghematan akan dialokasikan untuk program prioritas Presiden yang koordinasinya berada di tangan Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara.

“Efisiensi diarahkan untuk mendukung kegiatan prioritas Presiden sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan,” tegas Pasal 2 ayat (3) PMK 56/2025.

15 Pos Belanja Dipangkas

Ada 15 jenis belanja yang menjadi sasaran efisiensi pada tahun depan, di antaranya: alat tulis kantor, kegiatan seremonial, rapat dan seminar, kajian dan analisis, pelatihan, honor kegiatan, percetakan dan souvenir, sewa gedung atau kendaraan, lisensi aplikasi, jasa konsultan, bantuan pemerintah, pemeliharaan, perjalanan dinas, pembelian peralatan, dan pembangunan infrastruktur.

Daftar ini sejatinya tidak jauh berbeda dari ketentuan efisiensi tahun 2025 sebagaimana diatur dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025. Bedanya, persentase pemangkasan untuk 2026 belum diumumkan.

Besaran efisiensi akan ditentukan langsung oleh Menteri Keuangan dan sifatnya final. Namun, pengaturan tetap mempertimbangkan target penerimaan pajak nasional. Setelah K/L menyusun usulan pemangkasan dan membawanya ke DPR, revisi anggaran yang disetujui akan diblokir dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA).

Pemblokiran bisa dicabut jika memenuhi tiga kriteria: untuk belanja pegawai dan operasional dasar, mendukung program prioritas Presiden, atau kegiatan yang berpotensi menambah penerimaan negara.

Dengan kebijakan ini, pemerintah menegaskan komitmen menjaga disiplin fiskal sambil memastikan anggaran lebih banyak mengalir ke program yang langsung berdampak pada masyarakat. (alf)

 

 

 

 

 

 

Transaksi Tembus Rp 50 Juta, Marketplace Wajib Pungut Pajak UMKM

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menetapkan aturan baru yang mewajibkan marketplace dengan nilai transaksi tertentu menjadi pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Final 0,5 persen atas pedagang, termasuk pelaku UMKM. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2025 yang berlaku mulai 1 Agustus 2025.

Berdasarkan regulasi tersebut, marketplace akan ditunjuk sebagai pemungut pajak jika transaksi pemanfaatan jasa di Indonesia melebihi Rp600 juta dalam setahun atau Rp50 juta dalam satu bulan. Selain itu, kriteria lainnya adalah jumlah pengakses dari Indonesia yang melampaui 12 ribu orang dalam 12 bulan atau 1.000 orang dalam sebulan.

Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (IdEA) Budi Primawan mengatakan pihaknya akan bertemu dengan Dirjen Pajak pekan depan untuk membahas teknis pelaksanaan aturan ini. “Kami menyambut baik diskusi terbuka agar ada pemahaman bersama dan solusi yang konstruktif,” ujarnya, Jumat (8/8/2025).

Budi mengakui tujuan aturan ini, yang merupakan turunan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 37/2025, adalah memperkuat kepatuhan pajak di sektor perdagangan digital. Namun, ia menilai implementasinya cukup rumit karena menyentuh banyak aspek teknis dan operasional, terutama bagi UMKM.

IdEA meminta waktu transisi hingga satu tahun agar marketplace dapat membangun sistem yang memenuhi kewajiban baru, termasuk penyediaan kolom pernyataan omzet, mekanisme unggah dokumen bermeterai, pengarsipan digital yang aman, pelaporan rutin, hingga prosedur penanganan sengketa data antara DJP dan pelaku usaha.

“Kalau langsung diterapkan September 2025, itu terlalu cepat. Kami perlu waktu memahami, menguji coba, dan memastikan sistem berjalan optimal. Kami tetap berkomitmen patuh, tapi realistisnya baru siap dalam setahun,” jelas Budi dalam webinar bertajuk Era Baru atas E-Commerce yang digelar Tax Center Universitas Indonesia dan Departemen Ilmu Administrasi Fiskal FIA UI, 29 Juli 2025. (alf)

 

 

 

 

 

Kanwil LTO Gandeng BSI Tanamkan Gaya Hidup Frugal bagi Pegawai Pajak

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar (Kanwil LTO) bekerja sama dengan PT Bank Syariah Indonesia (Persero) Tbk (BSI) menggelar In House Training (IHT) bertema “Gaya Hidup Frugal Biar Gak Ugal-ugalan” di Kantor Kanwil LTO. Kegiatan ini diikuti seluruh pegawai di lingkungan Kanwil LTO, meliputi KPP Pratama Wajib Pajak Besar Satu hingga Empat.

Kepala Bagian Umum Kanwil LTO, Nirmala Rustini, mengapresiasi sinergi dengan BSI yang dinilai sejalan dengan upaya menanamkan integritas dan kemampuan perencanaan keuangan yang sehat bagi pegawai pajak.

“Kita harus berintegritas, rajin menabung, dan berinvestasi untuk masa depan yang bahagia. Jangan sampai lupa diri,” kata Nirmala dalam keterangan tertulisnya dikutip, Sabtu (9/8/2025).

Ia menambahkan, pelatihan ini menjadi bagian dari pembangunan Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (ZI WBK) yang dijalankan secara berkelanjutan. Menurutnya, pengelolaan keuangan pribadi yang cermat akan membantu pegawai pajak menolak gratifikasi dan praktik KKN, sekaligus mempersiapkan masa pensiun yang tenang.

Manajer Area BSI Cabang Jakarta Thamrin, Wawan Purwantoro, mengungkapkan bahwa semakin banyak pegawai pajak menjadi nasabah BSI karena konsep perbankan syariah yang diusung.

“BSI kini berada di peringkat lima besar perbankan nasional dan sembilan besar perbankan syariah dunia. Kontribusi pajak dan zakat BSI pada 2024 mencapai Rp268,6 miliar. Bersama BSI, hidup jadi lebih berkah dan beruntung,” ujar Wawan.

Materi pelatihan disampaikan oleh Greget Kalla Buana, islamic finance specialist sekaligus influencer. Ia menjelaskan bahwa frugal living bukan sekadar hemat, melainkan gaya hidup yang mempertimbangkan kesadaran diri, skala prioritas, serta kualitas hidup.

“Frugal itu bukan pelit. Dengan hidup hemat, kita bisa menabung, menikmati hidup, menjaga kesehatan, dan terhindar dari godaan KKN,” tutur Kalla.

Lewat pelatihan ini, Kanwil LTO berharap seluruh pegawai mampu mengelola keuangan secara bijak, menjaga integritas, dan menerapkan gaya hidup frugal sebagai bagian dari budaya kerja yang berkelanjutan. (alf)

 

 

 

id_ID