SPT Tahunan Tembus 13 Juta, DJP Genjot Layanan Digital Lewat Coretax

IKPI, Jakarta: Antusiasme masyarakat untuk melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan kian terasa. Hingga 24 April 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat lonjakan signifikan sebanyak 13,46 juta wajib pajak telah menunaikan kewajibannya untuk tahun pajak 2024.

Dari jumlah itu, 12,89 juta merupakan wajib pajak orang pribadi dan 569 ribu sisanya adalah badan usaha. Data ini mencerminkan kesadaran pajak yang makin tumbuh di kalangan masyarakat.

Di balik peningkatan ini, DJP terus bergerak memperkuat infrastruktur digital melalui sistem Coretax. Perbaikan dan pembaruan sistem terus digencarkan demi menjamin kelancaran pelaporan serta pembayaran pajak secara daring.

“Direktorat Jenderal Pajak terus melakukan perbaikan dan memastikan kelancaran pada sistem Coretax DJP,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, Jumat (25/4/2025).

Menurutnya, hal ini dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan terbaik kepada wajib pajak agar mereka bisa membayar dan melaporkan pajak dengan lebih mudah.

Dwi juga menambahkan bahwa DJP aktif memberikan update seputar implementasi Coretax. Terbaru, pembaruan tersebut disampaikan melalui KT-12/2025 yang dirilis pada 23 April 2025. (alf)

 

Pelunasan Pajak Kini Bisa Diperpanjang Hingga Dua Bulan, Ini Aturannya!

IKPI, Jakarta: Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) serta Wajib Pajak di daerah tertentu kini dapat bernapas lebih lega. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 memberikan fasilitas baru berupa perpanjangan waktu pelunasan pajak hingga dua bulan.

Dalam Pasal 99 ayat (1) PMK 81/2024 dijelaskan, “Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan.”

Kebijakan ini menjadi langkah strategis pemerintah untuk memberikan ruang gerak lebih besar kepada UMKM dalam mengelola arus kas mereka, khususnya dalam menghadapi tantangan ekonomi dan keterbatasan akses pembiayaan.

Adapun yang termasuk dalam kategori Wajib Pajak usaha kecil adalah:

• Wajib Pajak Orang Pribadi yang “menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas” dan memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 dalam satu tahun pajak (Pasal 99 ayat 3).

• Wajib Pajak Badan, dengan syarat “tidak termasuk bentuk usaha tetap dan menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 dalam 1 (satu) Tahun Pajak” (Pasal 99 ayat 4).

Untuk memperoleh fasilitas perpanjangan ini, Wajib Pajak usaha kecil atau Wajib Pajak di daerah tertentu wajib mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak. Permohonan tersebut harus diajukan paling lambat 9 hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo pelunasan pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 99 ayat (5).

Direktorat Jenderal Pajak wajib memberikan keputusan atas permohonan tersebut dalam waktu 7 hari kerja sejak diterimanya surat permohonan. “Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa: a. menyetujui; atau b. menolak permohonan Wajib Pajak,” bunyi Pasal 99 ayat (7).

Menariknya, jika dalam waktu 7 hari kerja Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan apa pun, maka permohonan dianggap dikabulkan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 99 ayat (10): “Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.”

Keputusan persetujuan atas permohonan yang dianggap diterima tersebut harus diterbitkan paling lama 5 hari kerja setelahnya.(alf)

 

PMK 15/2025 Atur Ulang Kategori dan Waktu Pemeriksaan Pajak: Lengkap, Terfokus, dan Spesifik

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan kembali menegaskan komitmennya untuk menciptakan proses pemeriksaan pajak yang lebih efisien, akuntabel, dan memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan Kewajiban Perpajakan.

Dalam aturan baru tersebut, pemerintah menetapkan pengelompokan pemeriksaan pajak menjadi tiga kategori utama, yakni Pemeriksaan Lengkap, Pemeriksaan Terfokus, dan Pemeriksaan Spesifik. Klasifikasi ini diikuti dengan penetapan batas waktu pelaksanaan yang tegas, guna menghindari ketidakpastian yang selama ini dikeluhkan oleh pelaku usaha.

Pasal 6 PMK 15/2025 merinci bahwa:

• Pemeriksaan Lengkap memiliki batas waktu maksimal 5 bulan;

• Pemeriksaan Terfokus dilakukan selama 3 bulan;

• Pemeriksaan Spesifik hanya memerlukan waktu 1 bulan.

Jangka waktu tersebut dihitung sejak diterimanya surat pemberitahuan pemeriksaan oleh wajib pajak hingga penyampaian hasil pemeriksaan resmi. Selain itu, pemerintah memberikan waktu tambahan maksimal 30 hari kerja untuk penyelesaian pembahasan akhir dan pelaporan hasil pemeriksaan.

Untuk kategori Pemeriksaan Spesifik yang berkaitan dengan indikasi tertentu, prosesnya bahkan lebih ringkas, yakni masing-masing tahap pemeriksaan dan pelaporan diselesaikan dalam 10 hari kerja. Hal ini mencerminkan upaya pemerintah dalam mempercepat pelayanan tanpa mengurangi kualitas pengawasan.

PMK ini juga memberikan ruang bagi perpanjangan waktu pemeriksaan, seperti dalam kasus pemeriksaan transfer pricing dalam grup usaha yang bisa diperpanjang hingga 4 bulan, dengan syarat pemberitahuan resmi harus disampaikan kepada wajib pajak.

Tidak hanya itu, PMK 15/2025 turut mengatur batas waktu pemeriksaan untuk keperluan khusus seperti permohonan pengembalian pajak, penghapusan NPWP, dan pencabutan PKP. Ketentuan tersebut tetap merujuk pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, termasuk Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Satu pengecualian penting dalam aturan ini adalah untuk pemeriksaan Pajak Penghasilan (PPh) dari sektor minyak dan gas bumi. Pemeriksaan pada sektor ini tetap tunduk pada peraturan menteri yang mengatur pelaksanaan kontrak kerja sama dengan skema cost recovery. (alf)

 

Sri Mulyani Bidik Kegiatan Usaha yang Luput Radar Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan terus memerangi sektor-sektor ilegal untuk mencegah kebocoran penerimaan negara. Kali ini, sang bendahara negara menyasar sektor yang selama ini bak “hantu” di perekonomian beroperasi secara ilegal, mengeruk keuntungan besar, namun luput dari radar pajak.

Dalam konferensi pers di Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang digelar secara virtual pada Kamis (24/4/2025), Sri Mulyani menegaskan bahwa strategi ekstensifikasi pajak menjadi senjata utama untuk mendongkrak rasio pajak yang stagnan di angka 10 persen selama lebih dari satu dekade.

“Langkah-langkah ekstensifikasi dilakukan dari sisi pemungutan yang berpotensi atau yang selama ini memang belum terkumpul secara memadai,” ujarnya.

Target utamanya, sektor-sektor yang selama ini bermain di bawah permukaan hukum seperti illegal fishing, illegal logging, dan illegal mining. Ketiganya disebut Sri Mulyani sebagai ladang subur yang belum tergarap maksimal dalam sistem perpajakan nasional.

“Ini bukan kerja satu kementerian saja,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa kolaborasi lintas kementerian dan lembaga—termasuk sektor perikanan dan energi menjadi kunci penguatan pengawasan dan penegakan hukum atas aktivitas-aktivitas ilegal tersebut.

Namun bukan hanya memburu yang “gelap-gelap”, Sri Mulyani juga mendorong penggunaan teknologi digital untuk menutup celah penghindaran pajak. Penerapan sistem core tax, digitalisasi pencatatan transaksi, hingga penyederhanaan proses restitusi pajak menjadi langkah konkret demi sistem perpajakan yang lebih modern dan akurat.

“Ini bagian dari upaya sistemik kita memperbaiki administrasi perpajakan, mempercepat pemeriksaan, dan memperkuat regulasi,” katanya.

Meski kondisi fiskal Indonesia dinilai sehat dengan tingkat utang terkendali, namun Sri Mulyani tak mau terlena. Rasio pajak terhadap PDB tercatat hanya 10,21% di tahun 2023 dan turun tipis menjadi 10,08% di tahun 2024. Angka yang menurutnya belum cukup kuat untuk menopang visi pembangunan jangka panjang Indonesia. (alf)

 

Coretax Bantu Pemerintah Pantau Pengusaha Nakal Penghindar Pajak

IKPI, Jakarta: Pemerintah kini punya senjata canggih untuk mengawasi para pengusaha ‘nakal’ yang mencoba menghindari kewajiban pajak. Senjata itu bernama Coretax, sistem administrasi perpajakan terbaru milik Direktorat Jenderal Pajak.

Dalam acara AMSC Gathering 2025 di Jakarta Pusat pada Rabu malam (23/4/2025), Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menjelaskan bagaimana Coretax bekerja layaknya radar ekonomi. Dengan hanya berbekal Nomor Induk Kependudukan (NIK), sistem ini mampu melacak setiap aktivitas ekonomi warga, termasuk perputaran omzet para pelaku usaha.

“Coretax akan mengintegrasikan data dari berbagai pihak ketiga. Jadi, setiap transaksi ekonomi bisa terpantau. Hasil akhirnya, kami bisa menerapkan prinsip keadilan perpajakan dengan lebih tepat sasaran,” ungkap Suryo.

Contohnya, ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) ditetapkan sebesar Rp4,8 miliar per tahun. Bila seorang pengusaha melampaui angka itu, maka ia wajib membayar PPh Badan sebesar 22% dan memungut PPN dari konsumennya. Sebaliknya, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dengan omzet di bawah batas tersebut hanya dikenai PPh final sebesar 0,5% hingga akhir 2025.

“Pertanyaannya, bagaimana kami bisa tahu siapa yang sudah lewat Rp4,8 miliar dan siapa yang belum? Nah, inilah fungsinya Coretax. Setiap transaksi bisa kami lacak. Insyaallah semua tercatat,” jelas Suryo.

Dirjen Pajak juga menyebut, ke depan pihaknya akan mengirim notifikasi otomatis kepada pengusaha berdasarkan data transaksi. Jika sistem mendeteksi omzet tahunan pengusaha sudah melewati batas, maka status PKP langsung diberikan. Tidak ada lagi celah untuk menghindar.

Lebih dari sekadar alat pengawas, Coretax juga dirancang untuk menurunkan biaya kepatuhan pajak, meningkatkan efektivitas pemungutan, dan mencegah potensi kecurangan. Meski sempat mengalami kendala saat awal peluncuran, Suryo mengaku sistem kini berjalan jauh lebih stabil.

“Coretax ini adalah bagian dari proyek strategis nasional. Sekarang pelaksanaannya sudah jauh lebih baik. Terima kasih atas semua masukan, terutama dari pengusaha ritel. Kami terus lakukan penyempurnaan,” ujarnya. (alf)

 

 

 

 

Sri Mulyani Soroti Peran Coretax dalam Pacu Ekonomi

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan lonjakan penerimaan pajak menakjubkan pada Maret 2025, dengan realisasi mencapai Rp 134,8 triliun atau naik drastis dari Februari yang hanya mencatat Rp 98,9 triliun.

“Ini bukti reformasi perpajakan bekerja!”, kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di KSSK, Kamis (24/4/2025).

Total akumulasi pajak hingga Maret 2025 telah menembus Rp 400,1 triliun atau 16,1% dari target APBN. Pencapaian ini disebutnya tak lepas dari keberhasilan implementasi Coretax dan perbaikan sistem administrasi.

Bulan Maret saja menyumbang 41,8% dari total realisasi kuartal pertama (Rp 322,6 triliun). Sri Mulyani menyoroti tren ini sebagai indikator pulihnya daya beli masyarakat dan ketahanan sektor ekonomi. “Pajak yang naik berarti ekonomi bergerak,” ujarnya.

Dengan dukungan teknologi Coretax, proses penarikan pajak dinilai semakin efisien dan transparan. “Kami optimis pertumbuhan akan terus terjaga,” katanya. (alf)

 

 

Advokat Gugat UU Pengadilan Pajak, Soroti Peran Menteri Keuangan dalam Penentuan Kuasa Hukum

IKPI, Jakarta: Advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak menggugat Pasal 34 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam permohonan bernomor 25/PUU-XXIII/2025, Zico mempermasalahkan keberadaan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan bagi kuasa hukum dalam perkara perpajakan.

Dalam sidang pendahuluan yang digelar Rabu (23/4/2025), kuasa hukum Zico, Bernie Joshua L. Tobing, menyampaikan bahwa ketentuan tersebut merugikan kliennya secara langsung sebagai advokat yang aktif beracara, termasuk di MK.

“Putusan-putusan MK sebelumnya belum sepenuhnya menyelesaikan isu independensi kekuasaan kehakiman di Pengadilan Pajak, terutama karena peran Menteri Keuangan yang masih dominan dalam menentukan syarat kuasa hukum,” tegas Bernie dikutip dari website resmi MK, Kamis (24/4/2025).

Pasal yang dipersoalkan menyebutkan bahwa kuasa hukum harus memenuhi “persyaratan lain yang ditetapkan oleh Menteri”, yang menurut pemohon bertentangan dengan prinsip kemandirian profesi advokat. Mereka menilai bahwa advokat seharusnya tidak dibatasi dengan syarat administratif tambahan yang tidak diberlakukan di pengadilan lain, termasuk pengadilan khusus lainnya di bawah Mahkamah Agung.

Dalam argumentasinya, pemohon menyoroti bahwa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 184 Tahun 2017 mendefinisikan kuasa hukum dengan kriteria yang sejatinya sudah tercakup dalam kewenangan dan kompetensi advokat. Karenanya, penambahan syarat oleh Menteri Keuangan dianggap tidak relevan dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, mengingat posisi Menteri berada dalam lingkup eksekutif.

Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa persyaratan tambahan hanya dapat ditentukan oleh Undang-Undang, bukan melalui peraturan menteri.

Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dengan anggota Daniel Yusmic P. Foekh dan Ridwan Mansyur mengingatkan pemohon agar memperjelas apakah permohonan tersebut benar-benar menyangkut persoalan konstitusionalitas norma atau sekadar soal implementasi peraturan.

“Pendelegasian pada peraturan menteri biasanya hanya bersifat administratif. Maka perlu dicermati, apakah ini soal norma inkonstitusional atau pelaksanaan teknis yang bermasalah,” ujar Daniel dalam persidangan.

Majelis memberi waktu 14 hari kepada pemohon untuk menyempurnakan permohonan. Perbaikan harus sudah diterima Mahkamah paling lambat pada Selasa, 6 Mei 2025. (alf)

 

Ketua Umum IKPI Sampaikan Kekosongan Waketum Segera Dibahas dalam Rapat Pleno

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menyampaikan dinamika internal organisasi dalam acara “Outlook Perpajakan 2025: Pemeriksaan, Pemeriksaan Perpajakan, dan Penyidikan” yang digelar IKPI Cabang Jakarta Timur, Kamis (24/4/2025).

Dalam sambutannya, Vaudy mengungkapkan rasa duka cita atas wafatnya Wakil Ketua Umun IKPI, Jetty, yang juga merupakan anggota IKPI Cabang Jakarta Timur. Bu Jety selama ini dikenal sebagai sosok berdedikasi tinggi dalam organisasi. Kepergiannya menyisakan kekosongan jabatan penting di jajaran pimpinan IKPI.

Menanggapi hal itu, Vaudy menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 12 ayat (20) Anggaran Rumah Tangga IKPI, Ketua Umum memiliki kewenangan menunjuk pengganti Wakil Ketua Umum yang berhalangan tetap, setelah mendengar pendapat dari Rapat Pleno.

“Berdasarkan ketentuan tersebut, saya akan meminta pendapat dari Rapat Pleno, yakni rapat antara Pengurus Pusat dan Pengawas—terkait urgensi pengisian jabatan Wakil Ketua Umum. Saya pribadi menilai hal ini penting, mengingat masa kepengurusan masih berlangsung hingga tahun 2029,” ujarnya.

Selain itu, lebih lanjut Vaudy mengungkapkan bahwa acara Outlook Perpajakan 2025 ini menjadi forum penting untuk membahas arah kebijakan perpajakan nasional di tengah tantangan ekonomi global yang terus berkembang.

“Saya sangat mengapresiasi pengurusa cabang IKPI yang aktif menyelenggarakan kegiatan-kegiatan seperti ini. Selain berkontribusi untuk dunia perpajakan, kegiatan seperti ini sekaligus mengukuhkan IKPI sebagai asosiasi konsultan pajak yang aktif berperan membantu pemerintah dalam menyosialisasikan dan melakukan edukasi perpajakan kepada masyarakat serta dunia usaha,” ujarnya.

Sekadar informasi, turut hadir dari IKPI dalam kesempatan antara lain, Ketua Dewan Kehormatan Christian B. Marpaung, perwakilan Ketua Dewan Penasehat Heru R. Hadi, Pengurus Pusat Warsito dan Fadhil, serta perwakilan Ketua Pengda DKJ, Kosasih. (bl)

Dirjen Pajak Minta Pengusaha Dukung dan Sukseskan Implementasi Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus mengakselerasi transformasi digital sektor perpajakan lewat sistem Coretax. Dalam acara AMSC Gathering 2025 yang digelar di Jakarta Pusat, Rabu (23/4/2025), Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo secara terbuka meminta dukungan dari kalangan pengusaha agar sistem ini bisa berjalan maksimal.

Coretax adalah sistem inti administrasi perpajakan berbasis digital yang diyakini mampu menciptakan keadilan dan transparansi lebih besar dalam pengelolaan pajak. “Saya sangat berharap, betul-betul memohon dukungan para pihak. Supaya apa? Coretax ini betul-betul dapat kita jalankan dengan baik,” ujar Suryo.

Ia memaparkan sembilan pilar utama dalam pengembangan Coretax, mulai dari otomasi layanan, transparansi transaksi, hingga penyediaan data kredibel dan penegakan hukum berbasis risiko. Semua itu bertujuan memudahkan wajib pajak dan menekan potensi kecurangan. Tak hanya bicara konsep, Coretax juga telah diuji di lapangan.

Dalam periode 24 Maret–20 April 2025, sistem ini menunjukkan performa cukup stabil, meskipun sempat mengalami lonjakan waktu tunggu saat terjadi peningkatan aktivitas transaksi. Misalnya, proses pendaftaran sempat melambat hingga 1,13 detik, dan pengelolaan SPT Masa pernah mencatat latensi hingga 30,1 detik. Namun, DJP memastikan semuanya kini terkendali dan jauh lebih baik.

“Fluktuasi latensi ini wajar dalam masa transisi, apalagi saat volume transaksi tinggi. Tapi sekarang sudah jauh lebih stabil,” kata Dwi Astuti, Direktur P2Humas DJP.

Sejak awal tahun hingga 20 April 2025, Coretax telah menangani hampir 200 juta faktur pajak dan lebih dari 70 juta bukti potong. Sistem ini juga mengelola lebih dari 2 juta SPT Masa untuk tiga bulan pertama tahun ini.

Suryo menegaskan bahwa Coretax bukan sekadar proyek teknologi, tetapi bagian dari proyek strategis nasional yang bertujuan menurunkan biaya kepatuhan, meningkatkan efisiensi pemungutan, dan meminimalkan risiko fraud. Ia pun menyampaikan terima kasih kepada pengusaha ritel yang terus memberikan masukan konstruktif selama proses implementasi.

“Intinya, kami ingin membuat perpajakan yang lebih mudah, adil, dan terpercaya. Coretax adalah fondasi menuju masa depan itu,” katanya. (alf)

 

DJP Pangkas Latensi Sistem Coretax Jadi 1,18 Milidetik!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan Sistem Coretax yang tengah diimplementasikan terus mengalami penyempurnaan signifikan dan hasilnya mulai terasa nyata. Salah satu buktinya, waktu latensi dalam pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa kini dipangkas drastis hingga hanya 1,18 milidetik!

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, mengungkapkan bahwa kecepatan sistem ini mengalami lompatan luar biasa. Jika pada 26 dan 27 Maret 2025 latensi sempat berada di angka 21,2 hingga 30 detik, maka pada 19 April 2025 turun menjadi hanya 0,00118 detik.

“Penyempurnaan ini hasil dari kerja keras tim DJP dalam menambal bug, memperbaiki proses submit, hingga mengoptimalkan sistem validasi,” kata Dwi dalam keterangannya, Rabu (23/4/2025).

Tak hanya itu, DJP juga menambal sejumlah celah dalam sistem pelaporan SPT Masa, termasuk menghapus masalah status “Draft” yang sempat membingungkan wajib pajak, menghindari duplikasi data kompensasi, serta menyempurnakan proses unduhan dokumen dan pelaporan objek pajak di SPOP.

Hasilnya? Hingga pukul 00.00 WIB, 20 April 2025, tercatat sebanyak 2.080.778 laporan SPT Masa berhasil masuk ke sistem. Angka ini mencakup:

• 933.484 SPT Masa PPN dan PPnBM (Januari–Maret 2025)

• 997.705 SPT Masa PPh Pasal 21/26

• 149.589 SPT Masa PPh Unifikasi

Detail pelaporan PPN dan PPnBM meliputi:

• Januari: 433.563

• Februari: 385.700

• Maret: 114.221

Sementara itu, pelaporan PPh terdiri dari:

• PPh 21/26

• Januari: 368.195

• Februari: 345.964

• Maret: 283.547

• PPh Unifikasi

• Januari: 171.404

• Februari: 173.075

• Maret: 149.589

Kabar baik lainnya, DJP memberikan insentif berupa penghapusan sanksi administratif bagi pelaporan SPT Masa Maret 2025 yang dilakukan tepat waktu. Untuk PPN dan PPnBM, batas waktunya hingga 10 Mei 2025. Sedangkan untuk PPh 21/26 dan PPh Unifikasi, penghapusan sanksi berlaku jika dilaporkan paling lambat 30 April 2025, sesuai dengan KEP-67/PJ/2025. (alf)

 

 

id_ID