Pelaporan SPT 2025 Dijamin Lebih Mudah, DJP Hadirkan Fitur “Prepopulated” di Coretax

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Orang Pribadi (OP) untuk tahun pajak 2025 akan jauh lebih mudah dibanding tahun-tahun sebelumnya. Inovasi ini berkat hadirnya fitur data pra-isi (prepopulated) dalam sistem Coretax, yang kini menjadi tulang punggung transformasi digital perpajakan nasional.

Melalui fitur ini, data penghasilan dan pajak yang telah dipotong atau disetor akan muncul otomatis di formulir SPT. Wajib pajak tak lagi perlu menginput manual data dari bukti potong atau setoran bulanan, karena sistem sudah menariknya langsung dari basis data DJP.

“Fitur prepopulated ini merupakan kemudahan paling signifikan dalam pelaporan SPT. Bagi wajib pajak karyawan, sistem Coretax akan otomatis menampilkan data penghasilan dan bukti potong PPh Pasal 21 yang sudah dilaporkan oleh perusahaan,” jelas Penyuluh Pajak Agung Meliananda, dikutip dari laman resmi pajak.go.id, Minggu (26/10/2025).

Tak hanya untuk pegawai, kemudahan ini juga berlaku bagi pelaku usaha. Untuk UMKM yang menyetor PPh final setiap bulan, sistem Coretax akan secara otomatis merekap riwayat setoran tersebut selama satu tahun pajak. Dengan demikian, pelaku usaha tidak lagi perlu menelusuri catatan pembayaran secara manual.

“Data dari pemberi kerja untuk karyawan itu prepopulated, sedangkan untuk UMKM, data pembayaran pajak yang sudah dilakukan sebelumnya akan otomatis masuk ke sistem. Jadi enggak perlu diinput ulang,” tegas Agung.

Meski prosesnya makin sederhana, Agung mengingatkan bahwa wajib pajak tetap memiliki tanggung jawab untuk memverifikasi dan melengkapi data pribadi, seperti daftar harta, utang, serta penghasilan lain yang belum tercatat dalam sistem. Setelah memastikan semuanya akurat, barulah SPT bisa dilaporkan secara resmi.

Sementara itu, Penyuluh Pajak Anggita Rahayu mengimbau masyarakat untuk tidak menunggu hingga batas akhir pelaporan. Persiapan dini akan membuat proses semakin lancar.

“Mumpung masih ada waktu, disiapkan dulu datanya. Bisa juga pelajari tutorial di situs DJP supaya nanti ketika masa pelaporan tiba, enggak bingung dan bisa langsung lapor,” ujarnya.

Dengan fitur baru di Coretax ini, DJP optimistis pelaporan SPT 2025 akan lebih cepat, praktis, dan bebas dari kerumitan teknis. Langkah ini juga menjadi bagian dari komitmen pemerintah untuk membangun sistem perpajakan yang lebih modern, transparan, dan berorientasi pada kemudahan wajib pajak. (alf)

Dorong Transparansi, Pemkot Ambon Pasang Ratusan Alat Perekam Pajak Digital

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kota Ambon, Maluku, melangkah makin jauh dalam mewujudkan tata kelola pajak yang transparan dan akuntabel. Melalui pemanfaatan teknologi digital, Pemkot Ambon kini dapat memantau transaksi wajib pajak secara real time tanpa harus menunggu laporan manual.

Kepala Dinas Komunikasi, Informatika, dan Persandian Kota Ambon, Ronald Lekransy, mengatakan inisiatif digitalisasi pajak ini merupakan bagian dari upaya memperkuat sistem keamanan siber sekaligus mendukung transformasi digital di lingkungan pemerintah kota.

“Pemanfaatan teknologi digital ini bukan hanya untuk pengawasan, tapi juga untuk memastikan setiap data wajib pajak tercatat secara akurat dan transparan,” ujar Ronald, Jumat (25/10/2025).

Menurut Ronald, Badan Pengelola Pajak dan Retribusi Daerah (BPPRD) Kota Ambon telah memasang 227 perangkat perekaman digital atau Online Transaction Monitoring (OTM) di berbagai titik strategis, termasuk hotel, restoran, dan tempat hiburan.

Dari total tersebut, terdapat 161 unit online POS, 50 unit Client Reader, dan 16 unit Interceptor Box yang semuanya terhubung langsung dengan sistem pusat di Pemkot Ambon.

Melalui teknologi OTM, seluruh transaksi wajib pajak kini dapat terekam secara otomatis dan dilaporkan langsung ke server pemerintah daerah. Dengan begitu, potensi kebocoran pajak bisa diminimalkan, sementara proses pengawasan menjadi lebih cepat dan efisien.

“Data dari perangkat ini langsung masuk ke command center Diskominfosandi. Dari sana, petugas bisa memantau aktivitas transaksi secara digital dan segera melakukan tindak lanjut bila ditemukan kejanggalan,” jelas Ronald.

Selain memperkuat pengawasan pajak, langkah ini juga menjadi bagian dari strategi transformasi digital Pemkot Ambon yang meliputi berbagai sektor layanan publik. Digitalisasi dipandang sebagai kunci untuk mendorong efisiensi birokrasi dan memperluas basis Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Ronald menegaskan, penggunaan teknologi digital bukan sekadar tren, melainkan kebutuhan mendesak untuk memastikan pemerintahan yang bersih dan transparan. “Transformasi digital ini adalah pondasi menuju kemandirian fiskal dan keberlanjutan pembangunan ekonomi Kota Ambon,” katanya. (alf)

Pengacara di Pakistan Gugat “Pajak Menstruasi”

IKPI, Jakarta: Seorang perempuan muda asal Pakistan, Mahnoor Omer, menjadi sorotan publik setelah berani menantang negaranya sendiri lewat sebuah petisi yang mengguncang: ia menuntut penghapusan “pajak menstruasi”beban fiskal yang selama ini membuat pembalut wanita menjadi barang mahal di Pakistan.

Mahnoor, seorang pengacara muda yang vokal memperjuangkan keadilan gender, mengajukan petisi tersebut pada September lalu. Ia menilai, kebijakan pajak yang dikenakan terhadap produk kebersihan perempuan bukan hanya tidak adil, tapi juga mencerminkan diskriminasi negara terhadap kebutuhan biologis setengah populasi rakyatnya.

Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penjualan Pakistan Tahun 1990, pemerintah mengenakan pajak 18 persen untuk pembalut lokal, serta bea impor hingga 25 persen bagi produk dari luar negeri. Bahkan bahan baku pembuatan pembalut pun ikut dikenai pajak. Alhasil, menurut perhitungan UNICEF Pakistan, total beban pajak yang menempel pada produk kebersihan perempuan bisa mencapai 40 persen.

“Rasanya seperti perempuan melawan negara Pakistan,” ujar Mahnoor kepada media internasional dikutip, Minggu (26/10/2025) menggambarkan frustrasinya terhadap sistem yang seolah menghukum perempuan hanya karena mereka menstruasi.

Dampak kebijakan ini sangat nyata. Studi UNICEF dan WaterAid tahun 2024 menemukan, hanya 12 persen perempuan Pakistan yang menggunakan pembalut komersial. Sebagian besar lainnya terpaksa memakai kain bekas atau bahan seadanya — bukan karena pilihan, tetapi karena harga pembalut yang terlalu mahal.

Mahnoor mengaku, sejak kecil ia telah merasakan stigma dan tekanan sosial terkait menstruasi. “Saya biasa menyembunyikan pembalut di lengan seragam, seperti sedang menyelundupkan narkoba ke kamar mandi,” kenangnya getir. “Jika ada yang membicarakan menstruasi, guru akan menegur seolah itu hal memalukan.”

Meski lahir di keluarga kelas menengah di Rawalpindi, Mahnoor tetap merasakan betapa tabu dan mahalnya isu ini. Ia bahkan mengingat ucapan teman sekelasnya, bahwa ibunya menganggap pembalut sebagai “pemborosan uang.”

“Itu membuat saya sadar, jika keluarga menengah saja berpikir seperti itu, bayangkan betapa sulitnya perempuan dari keluarga miskin,” ujarnya.

Kini, harga satu bungkus pembalut bermerek di Pakistan mencapai 450 rupee (sekitar Rp26 ribu) untuk 10 lembar. Di negara dengan pendapatan per kapita hanya sekitar Rp1,9 juta per bulan, harga tersebut setara dengan biaya makan satu keluarga beranggotakan empat orang dari kalangan berpenghasilan rendah.

Omer berharap, jika pajak 40 persen itu dihapus, perempuan di seluruh Pakistan bisa mengakses produk kebersihan dengan harga lebih manusiawi. “Menstruasi bukan kemewahan,” tegasnya. 

“Tidak seharusnya perempuan dihukum karena memiliki tubuh yang berfungsi sebagaimana mestinya.”

Dengan keberanian dan suaranya yang lantang, Mahnoor Omer kini menjadi simbol perlawanan perempuan muda Pakistan terhadap ketidakadilan yang terbungkus dalam aturan ekonomi. Sebuah perjuangan sederhana namun berani menuntut negara agar tak lagi menjadikan darah perempuan sebagai sumber pendapatan. (alf)

Menkeu Diminta Hapus Pajak Industri Gym: “Olahraga Bukan Hiburan, Ini Investasi Kesehatan Bangsa!”

IKPI, Jakarta: Principal PT Precision Gym Indonesia, Harryadin Mahardika, menyerukan langkah berani kepada pemerintah untuk hapuskan pajak untuk industri gym yang selama ini disamakan dengan pajak hiburan. Ia menilai kebijakan tersebut menjadi penghambat serius bagi perkembangan industri kebugaran nasional yang berpotensi besar menopang kesehatan dan produktivitas masyarakat.

“Saya menantang Menkeu Pak Purbaya untuk mencabut pajak untuk gym. Pajak yang disamakan dengan hiburan membuat pelaku usaha sulit berkembang. Bahkan alat-alat gym seharusnya tidak dikenakan pajak — kalau bisa justru disubsidi,” tegas Harryadin di Jakarta Selatan, Sabtu (25/10/2025).

Acara peluncuran tersebut diisi talkshow bertema “Potensi Industri Gym Indonesia”, menghadirkan berbagai narasumber dari sektor kebugaran, kesehatan, dan teknologi. Precision Gym sendiri hadir sebagai pusat riset kebugaran modern yang menggabungkan pendekatan sains, mental, dan spiritual, bekerja sama dengan Widya Genomic dan Pause & Play.

Menurut Harryadin, industri gym di Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan potensi pasarnya. “Saat ini hanya sekitar 3.000 gym berkualitas memadai, padahal penduduk kita lebih dari 300 juta jiwa. Artinya satu gym melayani 100 ribu orang jelas tidak seimbang,” ujarnya.

Ia menilai, pemerintah perlu mengubah paradigma dalam memandang gym, bukan sebagai hiburan atau konsumsi mewah, melainkan sebagai investasi kesehatan publik dan pembangunan sumber daya manusia. “Bangsa yang sehat dimulai dari masyarakat yang sehat. Negara seharusnya berinvestasi di situ,” ujarnya lantang.

Harryadin juga menyoroti bahwa pajak tinggi dan minimnya insentif fiskal membuat banyak investor enggan menanamkan modal di industri kebugaran. Padahal, sektor ini memiliki efek berganda dari peningkatan kesehatan masyarakat, pertumbuhan industri alat fitness, hingga mendukung prestasi olahraga nasional.

Selain itu, Precision Gym ingin mempelopori “revolusi raga”: gerakan membangun keseimbangan tubuh, pikiran, dan jiwa melalui kolaborasi lintas sektor. “Industri ini tidak bisa dibangun sendirian. Kami ingin menghadirkan pendekatan baru yang berbasis data dan personalisasi, agar setiap orang dapat menemukan versi terbaik dirinya,” jelasnya.

Precision Gym diklaim sebagai gym pertama di Indonesia yang mengintegrasikan teknologi uji epigenetik dan analisis performa tubuh untuk personalisasi program latihan. Dalam waktu dekat, Harryadin menargetkan ekspansi ke berbagai daerah, dimulai dari pembukaan cabang di Bali.

Ia berharap pemerintah dapat memberi dukungan nyata terhadap industri kebugaran agar lebih terjangkau, terutama bagi generasi muda. “Kami ingin olahraga bukan lagi gaya hidup eksklusif, tapi kebutuhan dasar bagi semua warga,” tandasnya. (alf)

Dari Foto Bongkar Kapal hingga Transfer Antar Rekening: Catur Rini Bicara Tantangan Pembuktian PPN dan Ekspor

IKPI, Jakarta: Tantangan dalam membuktikan kebenaran transaksi pajak, terutama yang berkaitan dengan ekspor dan PPN, masih menjadi pekerjaan besar bagi aparat pajak maupun wajib pajak. Hal ini diungkapkan Kakanwil DJP Jabar 3 (tahun 2018 sd 2021) Catur Rini Widosari, mantan pejabat tinggi DJP, saat menjadi narasumber dalam Diskusi Panel “Substance Over Form: Saat Fiskus dan Wajib Pajak Beradu Makna di Balik Transaksi” di Gedung IKPI Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (24/10/2025).

Dalam paparannya, Catur menceritakan sejumlah kasus nyata di mana form dan substance saling bertolak belakang. Ia mencontohkan transaksi yang diklaim sebagai ekspor di luar daerah pabean, padahal bukti fisiknya tidak dapat diverifikasi. “Kontraknya ada, dokumennya lengkap. Tapi bagaimana membuktikan bahwa barang benar-benar diserahkan di luar 200 mil pantai? Foto saja tidak cukup,” ujarnya.

Menurut Catur, contoh semacam itu menunjukkan betapa pentingnya pembuktian substansial dalam setiap transaksi. Ia menekankan bahwa keabsahan pajak tidak cukup hanya dengan memenuhi syarat formalitas dokumen, tetapi harus dapat menunjukkan bukti ekonomi yang nyata. “Legal form hanya menunjukkan niat, tapi substance memperlihatkan kenyataan,” katanya.

Ia menambahkan, di era digital seperti sekarang, pembuktian transaksi menjadi lebih kompleks sekaligus lebih mudah. Otoritas pajak kini dapat mengakses data perbankan, laporan keuangan lintas negara, serta informasi beneficial ownership melalui skema pertukaran data global. “Dulu tracing aliran dana butuh waktu berbulan-bulan, sekarang dengan data EOI bisa langsung terlihat siapa yang sebenarnya menerima uang itu,” ujar Catur.

Namun, Catur mengingatkan bahwa kemudahan memperoleh data tidak serta-merta menjamin ketepatan analisis. Setiap data harus diuji konteksnya: apakah sesuai dengan kontrak, dengan realitas bisnis, dan dengan logika ekonomi. “Data tanpa analisis bisa menyesatkan. Jangan sampai alat bukti digital digunakan tanpa pemahaman konteksnya,” pesannya.

Catur juga menyoroti bahwa proses pembuktian tidak hanya tanggung jawab wajib pajak. Fiskus pun harus mampu menunjukkan bukti dan argumentasi yang solid. “Jangan cuma ngomong ‘ini tidak benar’ tanpa data pendukung. Fiskus juga harus punya bukti,” ujarnya.

Dalam konteks sengketa, lanjutnya, banyak kasus yang sesungguhnya hanya masalah waktu pengakuan pendapatan atau beban, bukan penghindaran pajak. “Kadang cuma beda timing saja, yang seharusnya dibayar di 2026 tapi dicatat 2028. Itu bukan niat menghindar, tapi perbedaan interpretasi,” katanya.

Ia menilai, prinsip substance over form bukan berarti meniadakan form, melainkan menempatkannya secara proporsional. Ia berharap pendekatan ini bisa memperkuat kepastian hukum sekaligus mendorong keadilan bagi wajib pajak. “Substansi ekonomi harus jadi inti penilaian, tapi jangan abaikan bentuk hukumnya. Keduanya harus berjalan bersama,” tutupnya. (bl)

 

Prof. Haula Rosdiana: Jangan Jadikan “Substance Over Form” Alat Pemukul Wajib Pajak

IKPI, Jakarta: Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si, mengingatkan agar penerapan prinsip substance over form dalam perpajakan tidak berubah menjadi alat pemukul yang menimbulkan ketidakpastian dan merusak kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas pajak.

Dalam Diskusi Panel bertajuk “Substance Over Form: Saat Fiskus dan Wajib Pajak Beradu Makna di Balik Transaksi?” yang diselenggarakan secara hybrid oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) pada Jumat (24/10/2025), Prof. Haula menegaskan bahwa tujuan utama dari penerapan substance over form adalah menciptakan “level playing field” kesetaraan perlakuan antara wajib pajak yang jujur dan yang melakukan rekayasa pajak.

“Kalau hanya memperhatikan bentuk tanpa melihat esensinya, justru akan menciptakan ketidakadilan. Prinsip ini lahir untuk mencegah aggressive tax planning, bukan untuk memukul wajib pajak yang taat,” ujar Haula.

Ia menyoroti praktik di lapangan yang kerap keliru, di mana substance over form diterapkan bahkan pada transaksi yang tidak memiliki hubungan istimewa. Menurutnya, hal ini justru melanggar filosofi dasar perpajakan yang menekankan kepastian hukum dan keadilan.

“Kalau dasar argumentasinya tidak kuat, penerapan substance over form bisa menimbulkan trust issue. Dan kalau trust melemah, maka compliance ikut runtuh,” tegasnya.

Prof. Haula juga menyinggung ketidakkonsistenan penerapan prinsip dalam sistem perpajakan.

“Lucunya, di PPh berlaku substance over form, tapi di PPN malah form over substance. Dulu faktur pajak cacat bisa bikin pengusaha rugi besar, padahal pajaknya sudah dibayar,” ungkapnya.

Ia mendorong agar penerapan prinsip tersebut dilakukan dengan kehati-hatian, transparansi, dan deliberasi demokratis, agar tidak menciptakan masalah baru.

“Kebijakan pajak itu seharusnya seperti pegadaian, menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru,” ujarnya. (bl)

Trump Hentikan Perundingan Dagang dengan Kanada

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali membuat gebrakan mengejutkan. Melalui pernyataan resminya, Trump mengumumkan penghentian seluruh perundingan dagang dengan Kanada, setelah munculnya iklan kontroversial dari pemerintah Ontario yang menggunakan suara mantan Presiden Ronald Reagan untuk menyerang kebijakan tarifnya.

“Tarif Sangat Penting Bagi Keamanan Nasional  dan Ekonomi Amerika Serikat,” tulis Trump di platform Truth Social.bya dikutip, Sabtu (25/10/2025).

“Berdasarkan tindakan mereka yang keterlaluan, Seluruh Perundingan Dagang dihentikan Dengan Kanada. Dengan ini Dihentikan.”

Iklan berdurasi satu menit itu menampilkan potongan pidato Reagan pada 1987, di mana ia menegaskan pentingnya perdagangan bebas dan memperingatkan bahaya tarif yang bisa menghambat inovasi serta merugikan pekerja Amerika. Namun, potongan itu dinilai dipakai “di luar konteks” untuk menyudutkan Trump dan menimbulkan keraguan di kalangan pemilih Partai Republik menjelang sidang penting di Mahkamah Agung AS.

Trump menuding langkah itu sebagai “provokasi politik terselubung” yang berpotensi memengaruhi keputusan pengadilan terhadap kebijakan ekonominya. Ia juga memperingatkan bahwa pembatalan kebijakan tarif oleh pengadilan bisa menimbulkan “bencana fiskal,” karena pemerintah akan dipaksa mengembalikan miliaran dolar yang telah dikumpulkan dari pungutan tarif.

Yayasan dan Institut Kepresidenan Ronald Reagan pun turut bersuara. Mereka menegur pemerintah Ontario karena menggunakan cuplikan pidato Reagan tanpa izin, dengan menyebut bahwa penggunaan “audio dan video secara selektif” itu menyesatkan publik.

Kebijakan tarif Trump selama ini memang menjadi duri dalam hubungan ekonomi kedua negara. Sekitar 75% ekspor Kanada mengalir ke AS, menjadikan negeri itu sangat bergantung pada pasar Amerika. Ontario — pusat industri baja dan otomotif Kanada — menjadi provinsi yang paling terpukul akibat tarif logam AS.

Pengumuman mendadak Trump langsung mengguncang pasar. Dolar Kanada melemah terhadap dolar AS, sementara pelaku industri memperingatkan bahwa langkah tersebut dapat mengancam rantai pasok lintas batas yang bernilai lebih dari US$900 miliar per tahun.

Baik Gedung Putih maupun kantor Perdana Menteri Kanada belum memberikan tanggapan resmi. Namun, sumber diplomatik menyebut bahwa kedua pihak sebenarnya sudah hampir mencapai kesepakatan parsial terkait tarif baja dan aluminium sebelum pengumuman ini mengguncang.

Trump dan Perdana Menteri Kanada Mark Carney dijadwalkan bertemu pekan depan dalam rangkaian KTT ASEAN dan APEC di Asia. Namun, pasca pernyataan terbaru ini, pertemuan tersebut diperkirakan berlangsung dalam suasana yang tegang.

Analis menilai langkah Trump kali ini lebih bersifat politis ketimbang ekonomis. “Pasar sudah hafal pola seperti ini — ancaman dagang dari Trump sering kali bersifat taktis dan sementara,” ujar Charu Chanana, analis di Saxo Capital Markets, Singapura. “Reaksi dolar Kanada mungkin hanya sesaat, kecuali Trump benar-benar menindaklanjuti ancamannya dengan tarif baru.”

Ini bukan kali pertama Trump menggertak Kanada. Awal tahun lalu, ia juga sempat menghentikan pembicaraan dagang karena kebijakan Digital Services Tax Kanada. Kala itu, gertakannya berhasil — Ottawa akhirnya menunda penerapan pajak tersebut. Namun kali ini, dengan isu yang menyentuh simbol Partai Republik, konfrontasinya tampak lebih personal daripada sebelumnya. (alf)

JEF 2025 Jadi Momentum Penguatan Fiskal dan Pajak Daerah Jakarta

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

IKPI, Jakarta: Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi DKI Jakarta, Iwan Setiawan, menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam memperkuat fondasi ekonomi Jakarta melalui Jakarta Economic Forum (JEF) 2025. Forum ini menjadi wujud nyata sinergi antara pemerintah, regulator, dunia usaha, akademisi, dan komunitas dalam membangun ekonomi Jakarta yang inklusif, inovatif, dan berkelanjutan.

“Jakarta memiliki potensi besar untuk memperkuat eksistensinya sebagai pusat perekonomian nasional dan kota global yang berdaya saing,” ujar Iwan Setiawan dalam sambutannya di puncak acara JEF 2025, Sabtu (25/10/2025).

Penyelenggaraan JEF yang diinisiasi oleh BI DKI Jakarta bersama Pemprov DKI, OJK Jabodebek, Kodam Jaya, Polda Metro Jaya, BMPD, dan unsur pentahelix lain, kini memasuki tahun ketiganya. Mengusung semangat #JagaJakarta, forum ini tidak hanya menjadi ajang diskusi, tetapi juga wadah kolaborasi fiskal dan ekonomi yang menumbuhkan optimisme baru di tengah transformasi Jakarta menuju kota global.

Lebih dari 80 booth pelaku UMKM binaan pemerintah, lembaga keuangan, dan komunitas kreatif ikut berpartisipasi dalam festival ekonomi kolaboratif ini. Iwan menekankan, kegiatan tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan usaha rakyat sejalan dengan peningkatan basis pajak daerah. “Ketika usaha tumbuh produktif dan sehat, penerimaan pajak ikut meningkat. Ini adalah simbiosis fiskal yang inklusif,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, BI DKI juga meluncurkan buku “Transformasi Ekonomi Jakarta untuk Pertumbuhan yang Berkelanjutan” serta menggelar Workshop Entrepreneurship bagi pelaku usaha disabilitas dan sertifikasi Data Analytic bagi generasi muda. Menurut Iwan, arah kebijakan fiskal Jakarta harus berpihak pada pemerataan dan inklusi ekonomi, di mana pajak berfungsi sebagai alat pembangunan, bukan beban masyarakat.

Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menegaskan pentingnya digitalisasi sebagai bagian dari transformasi ekonomi kota, termasuk melalui penerapan sistem pembayaran non-tunai seperti QRIS di pasar-pasar rakyat. “Digitalisasi bukan sekadar modernisasi, tetapi jalan menuju keadilan ekonomi. Dari pasar tradisional hingga pelaku start-up, semuanya harus masuk dalam ekosistem ekonomi digital Jakarta,” ujarnya.

Senada, Deputi Gubernur BI Ricky Perdana Gozali menyampaikan bahwa lebih dari 56% ekonomi Jakarta berasal dari sektor jasa, kreatif, dan digital. Sektor ini menjadi sumber potensial bagi penguatan penerimaan pajak daerah ke depan. “Jakarta Economic Forum merupakan wujud komitmen bersama untuk menggerakkan ekonomi kota melalui aksi kolaborasi dan inovasi, sambil memastikan kebijakan fiskal mampu mengikuti ritme transformasi itu,” katanya.

Dengan tema “Simfoni Jakarta: Kolaborasi, Inovasi, dan Aksi untuk Masa Depan Berkelanjutan”, JEF 2025 menjadi simbol orkestrasi antara kebijakan fiskal, inovasi ekonomi, dan partisipasi publik. Iwan menutup dengan pesan optimistis, “Simfoni ini menggambarkan harmoni seluruh potensi Jakarta. Ketika kolaborasi terjalin kuat, Jakarta bukan hanya kota global, tapi juga pusat inovasi fiskal yang menginspirasi Indonesia.” (bl)

Bolzano Jadi Kota Pertama di Eropa yang Terapkan Pajak Wisata untuk Anjing

IKPI, Jakarta: Kota wisata Bolzano di Italia Utara kembali menjadi sorotan dunia setelah memutuskan untuk memberlakukan kebijakan unik sekaligus kontroversial: pajak wisata untuk anjing. Kebijakan yang akan mulai berlaku pada tahun 2026 ini diklaim sebagai langkah inovatif untuk mengatasi overtourism dan menjaga kebersihan ruang publik, terutama di kawasan yang menjadi gerbang menuju Pegunungan Dolomit.

Berdasarkan laporan The Guardian (26/9/2025), pemilik anjing yang berkunjung ke Bolzano akan dikenakan pajak harian sebesar €1,50 atau sekitar Rp26.000 per ekor. Tidak hanya wisatawan, penduduk lokal pun wajib membayar pajak tahunan sekitar €100 atau Rp1,7 juta untuk setiap anjing yang mereka pelihara. Seperti dikutip Travel Market Report, pemerintah kota berencana menggunakan dana tersebut untuk biaya pembersihan jalan serta pembangunan taman khusus anjing di berbagai titik kota.

Kebijakan ini melanjutkan regulasi sebelumnya yang tak kalah kontroversial, yakni kewajiban pendaftaran DNA anjing. Melalui sistem tersebut, kotoran anjing yang ditinggalkan di jalan dapat ditelusuri ke pemiliknya, yang kemudian bisa dijatuhi denda hingga €600 atau sekitar Rp10,5 juta. Pemilik yang telah mendaftarkan DNA peliharaannya akan dibebaskan dari pajak baru ini selama dua tahun pertama sebagai bentuk insentif. 

Menurut Luis Walcher, anggota Dewan Provinsi yang menggagas kebijakan ini, pajak tersebut dibuat bukan untuk menghukum, melainkan untuk menegakkan tanggung jawab sosial dan menjaga keadilan bagi seluruh warga.

“Jika tidak diatur, beban membersihkan jalan akan ditanggung semua orang, padahal sebagian besar berasal dari kotoran anjing. Ini soal keadilan dan tanggung jawab bersama,” ujar Walcher dikutip dari Travel Market Report, Sabtu (25/10/2025).

Namun, kebijakan itu menuai kritik keras dari kelompok perlindungan hewan. Carla Rocchi, Presiden organisasi nasional ENPA, menyebut pajak tersebut sebagai langkah yang tidak manusiawi dan bisa menurunkan citra Bolzano sebagai kota ramah hewan.

“Hewan bukanlah barang mewah, melainkan bagian dari keluarga. Pajak seperti ini tidak menyelesaikan perilaku segelintir orang, malah berisiko mendorong penelantaran hewan,” tegas Rocchi seperti dilansir The Guardian.

Sementara sebagian pihak menilai kebijakan ini terlalu ekstrem, pemerintah Bolzano bersikukuh bahwa langkah tersebut merupakan bentuk inovasi pengelolaan kota wisata berkelanjutan. Dengan penerapan pajak ini, Bolzano menjadi kota pertama di Eropa yang secara resmi mengenakan pajak wisata bagi anjing, sekaligus membuka babak baru dalam perdebatan tentang tanggung jawab lingkungan dan hak hewan di tengah meningkatnya arus pariwisata global. (alf)

Pajak Pariwisata Dunia Melonjak: Jepang hingga Spanyol Berlomba Menekan Overtourism

IKPI, Jakarta: Gelombang pariwisata global yang terus meningkat kini mulai “mengguncang dompet” wisatawan dunia. Dari Tokyo hingga Barcelona, dari kanal Venesia hingga lanskap beku Norwegia, pemerintah di berbagai negara mulai menerapkan pajak dan biaya pariwisata baru sebagai langkah nyata menekan dampak overtourism yang kian meresahkan.

Fenomena ini menandai babak baru dalam industri pariwisata: di satu sisi mendorong keberlanjutan lingkungan dan infrastruktur lokal, namun di sisi lain memaksa wisatawan menata ulang rencana dan anggaran liburan mereka.

Jepang Naikkan Pajak Visa dan Keberangkatan

Sebagai salah satu negara dengan lonjakan wisatawan internasional tertinggi pascapandemi, Jepang mengambil langkah berani. Mulai 2026, wisatawan asing akan dikenakan kenaikan signifikan pada pajak keberangkatan dan biaya visa.

Saat ini, biaya visa sekali masuk sekitar £15 dan pajak keberangkatan £7. Namun, angka itu akan melonjak menjadi sekitar £25 hampir empat kali lipat dari tarif sebelumnya.

Pemerintah Jepang menegaskan, kebijakan ini bertujuan menjaga keseimbangan antara ekonomi pariwisata dan kapasitas lingkungan lokal yang semakin tertekan.

Spanyol: Barcelona Tak Lagi Murah Dikunjungi

Tak mau kalah, Spanyol khususnya wilayah Catalonia juga menaikkan pajak pariwisata harian hingga €15 mulai Oktober 2025.

Langkah ini merupakan jawaban atas “banjir wisatawan” di Barcelona, yang menyebabkan kemacetan, kenaikan harga sewa, dan tekanan pada layanan publik.

Pemerintah daerah menilai, pajak tinggi ini bukan sekadar sumber pendapatan, tetapi juga alat pengendali jumlah pengunjung demi menjaga kualitas hidup warga dan keberlanjutan kota wisata.

Venesia Kembali Tegas pada Turis Harian

Di Venesia, kota yang setiap tahun diserbu jutaan wisatawan, pajak turis kini diperluas ke lebih banyak bulan, terutama antara Mei hingga Oktober adalah periode puncak kunjungan.

Wisatawan harian akan dikenakan biaya €5 hingga €10, tergantung waktu kunjungan dan cara pendaftaran.

Langkah ini adalah bentuk ketegasan pemerintah kota yang sudah lama berjuang melawan efek negatif overtourism, seperti rusaknya infrastruktur, membengkaknya biaya perawatan kanal, dan menurunnya kualitas hidup warga lokal.

Norwegia Siapkan Pajak Hotel hingga 5%

Sementara itu, Norwegia sedang menimbang penerapan pajak pariwisata hingga 5% untuk penginapan di kawasan seperti Tromsø dan Kepulauan Lofoten, dua destinasi alam favorit yang kini menghadapi lonjakan pengunjung luar biasa.

Pajak ini akan difokuskan pada konservasi lingkungan dan perawatan fasilitas wisata, agar keindahan alam Norwegia tetap lestari di tengah ledakan kunjungan.

Kenaikan pajak di berbagai destinasi ini mulai menimbulkan kekhawatiran di kalangan wisatawan. Tiket pesawat, hotel, dan transportasi lokal kini semakin mahal — dan pajak baru ini menambah beban biaya.

Bagi para pelancong reguler, strategi perjalanan kini tak lagi soal mencari destinasi menarik, tetapi juga menghitung total biaya pajak dan retribusi wisata.

Pajak Baru Demi Pariwisata Berkelanjutan

Di balik kenaikan biaya tersebut, pemerintah negara-negara tersebut sepakat pada satu hal: pariwisata harus berkelanjutan.

Pajak baru dianggap sebagai “investasi balik” agar destinasi tetap lestari, bersih, dan tidak kehilangan daya tarik akibat eksploitasi berlebihan.

“Lebih baik membayar sedikit lebih mahal hari ini daripada kehilangan keindahan itu selamanya,” ujar salah satu pejabat pariwisata Catalonia.

Seiring banyak negara mulai meniru langkah ini, tren “pajak hijau” dalam pariwisata global tampaknya akan menjadi norma baru.

Wisatawan disarankan untuk memasukkan pajak destinasi dalam perencanaan perjalanan, bukan hanya untuk menghindari kejutan biaya, tapi juga memahami kontribusi mereka terhadap pelestarian tempat-tempat indah dunia. (alf/berbagai sumber)

id_ID