Hingga Agustus, Penerimaan Pajak Riau Masih Jauh dari Target Rp17,75 Triliun

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Riau mencatat realisasi penerimaan pajak sebesar Rp8,79 triliun hingga akhir Agustus 2025. Capaian tersebut baru 49,55 persen dari target penerimaan tahun ini yang ditetapkan Rp17,75 triliun.

Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Kanwil DJP Riau, Bambang Setiawan, menjelaskan target tahun 2025 lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Penyebabnya adalah adanya perubahan administrasi untuk Wajib Pajak Cabang serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sejak tahun ini dipusatkan sesuai NPWP tempat tinggal atau kedudukan wajib pajak.

“Meski target lebih kecil, penerimaan bruto pada Juli 2025 justru tumbuh 4,56 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” ujar Bambang baru-baru ini.

Dari sisi kelompok pajak, penerimaan PPN neto turun 10,14 persen, sementara PPh anjlok 20,79 persen. Penurunan terutama dipengaruhi oleh pergeseran penerimaan dari PPh Pasal 21 dan Pasal 26 pada sektor administrasi pemerintah, serta meningkatnya restitusi.

Namun, ada pula catatan positif. Kelompok pajak lainnya justru tumbuh spektakuler hingga 21.145,88 persen, terutama bersumber dari penerimaan bunga penagihan dan deposit pajak.

Selain penerimaan, tingkat kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan juga menunjukkan tren baik. Hingga Agustus 2025, jumlah SPT Tahunan di Provinsi Riau tercatat 376.961 atau 89,12 persen dari target 408.329 SPT.

Dari total tersebut, 298.384 berasal dari SPT Orang Pribadi Karyawan, 56.854 dari SPT Orang Pribadi Non Karyawan, dan 21.723 dari SPT Badan.

Menghadapi dinamika ekonomi, Kanwil DJP Riau berkomitmen terus memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak.

“Kami akan bekerja maksimal dalam mengamankan penerimaan negara dari sektor perpajakan, sesuai amanah yang diberikan,” kata Bambang. (alf)

 

DJP Tanamkan Kesadaran Pajak Sejak Dini di SMA Negeri 1 Tarakan

IKPI. Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui KPP Pratama Tarakan menyelenggarakan kegiatan Pajak Bertutur 2025 di SMA Negeri 1 Tarakan, Karang Balik, Kecamatan Tarakan Barat, baru-baru ini. Program tahunan ini menjadi salah satu strategi DJP dalam menanamkan kesadaran pajak sejak dini di dunia pendidikan.

Sebanyak 50 siswa dari kelas X hingga XII mengikuti kegiatan dengan penuh semangat. Acara diawali dengan sambutan Kepala SMA Negeri 1 Tarakan, Jasmin, yang mengajak para pelajar memanfaatkan kesempatan ini untuk menambah wawasan pajak. “Pengetahuan tentang pajak akan sangat bermanfaat bagi masa depan. Karena itu, kegiatan ini patut diikuti dengan sungguh-sungguh,” ujarnya.

Kepala Seksi Pelayanan KPP Pratama Tarakan, Taufik Hidayat, menegaskan bahwa kegiatan Pajak Bertutur bukan sekadar sosialisasi, melainkan bagian dari upaya membangun generasi yang peduli dan bangga berkontribusi bagi negeri.

Dalam sesi “Dirjen Pajak Menyapa”, penyuluh pajak Reza Agung Saptaji menyampaikan materi dengan gaya ringan agar mudah dipahami. Ia menekankan bahwa manfaat pajak hadir di sekitar masyarakat setiap hari. “Mulai dari sekolah, jalan umum, hingga layanan kesehatan, semuanya bisa terwujud berkat pajak,” jelasnya.

Suasana semakin hidup ketika para siswa diajak berdiskusi, mengikuti permainan interaktif, hingga game quizizz yang membuat mereka semakin antusias. Interaksi ini tidak hanya menambah pemahaman, tetapi juga menumbuhkan rasa bangga untuk berkontribusi melalui pajak.

Dengan mengusung tagline “Sehari Mengenal, Selamanya Bangga”, DJP berharap program ini mampu mencetak generasi muda yang sadar akan pentingnya pajak sebagai penopang pembangunan nasional. (alf)

 

 

Koreksi Restitusi Bikin Pajak Terkoreksi, Penerimaan Januari–Agustus 2025 Turun 5,1%

IKPI, Jakarta: Penerimaan pajak negara kembali tertekan. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak Januari–Agustus 2025 sebesar Rp1.135,4 triliun, turun 5,1% dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai Rp1.196,5 triliun.

“Realisasi penerimaan pajak baru 54,7% dari target APBN. Tekanan terbesar datang dari koreksi restitusi, terutama pada PPh Badan serta PPN dan PPnBM,” ujar Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu dalam konferensi pers APBN KiTA, Senin (22/9/2025).

Sampai akhir Agustus 2025, setoran PPh Badan hanya Rp280,08 triliun, anjlok 8,7% dibandingkan tahun lalu. Anggito menyebut, meski penerimaan bruto naik, jumlah restitusi yang tinggi membuat capaian neto merosot.

Sektor konsumsi juga belum mampu mendorong penerimaan pajak. PPN dan PPnBM secara bruto terkumpul Rp631,8 triliun, turun 0,7%. Setelah dikurangi restitusi, neto tinggal Rp416,49 triliun atau turun 11,5%.

Di tengah tekanan restitusi, PPh Orang Pribadi justru mencatat kinerja cemerlang. Penerimaan bruto mencapai Rp15,98 triliun, sementara neto Rp15,91 triliun, keduanya melonjak lebih dari 38%.

“Data bruto menggambarkan aktivitas ekonomi, sementara neto menunjukkan posisi akhir setelah restitusi. Nah, koreksi restitusi inilah yang membuat penerimaan terlihat terkoreksi,” kata Anggito.

Kinerja delapan bulan pertama tahun ini menegaskan bahwa kebijakan restitusi berdampak nyata pada kas negara. Pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara hak wajib pajak atas restitusi dengan kebutuhan pembiayaan negara agar target penerimaan pajak 2025 tetap terjaga. (alf)

 

Purbaya Ingatkan Perlakukan Wajib Pajak dengan Adil dan Bukan Menakut-Nakuti

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa kunci meningkatkan penerimaan negara bukanlah dengan menekan atau menakut-nakuti wajib pajak, melainkan melalui perlakuan yang adil dan konsisten. Ia menekankan, sistem perpajakan seharusnya memberi kepastian hukum tanpa kesan menghukum berlebihan.

“Program pajak itu harus dijalankan dengan benar. Kalau ada yang melanggar, tentu dihukum, tapi jangan sampai wajib pajak merasa diperas,” ujar Purbaya baru-baru ini.

Ia menambahkan, setiap rupiah penerimaan pajak yang terkumpul mesti segera dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, khususnya pembangunan dan penguatan ekonomi nasional. “Kalau sudah ada duit, ya dibelanjakan untuk program pemerintah. Itu esensinya,” tegasnya.

Lebih lanjut, Purbaya mengingatkan agar pemerintah tidak terus-menerus mengandalkan program kontroversial seperti tax amnesty. Menurutnya, kebijakan pengampunan pajak yang dilakukan berulang hanya akan menumbuhkan sikap oportunistik di kalangan wajib pajak.

“Kalau tiap dua tahun ada tax amnesty, orang bisa berpikir lebih baik menunda kewajiban. Nanti toh ada pengampunan lagi. Itu bukan sinyal yang bagus,” ucapnya.

Seperti diketahui, wacana RUU Tax Amnesty kembali masuk dalam daftar panjang Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025–2029. Padahal, Indonesia sudah dua kali menjalankan program serupa.

Meski masih akan mempelajari usulan itu, Purbaya secara pribadi menilai kebijakan pengampunan pajak tidak tepat untuk dijadikan solusi permanen. “Saya akan lihat dulu bagaimana proposalnya. Tapi sebagai ekonom, saya menilai itu kurang pas. Tidak terlalu tepat,” pungkasnya. (alf)

 

Pajak Karbon Diyakini Dorong Peningkatan Tax Ratio dan Kesejahteraan Masyarakat

IKPI, Depok: Indonesia berpotensi meningkatkan penerimaan pajak dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pajak karbon, Hal ini disampaikan Prof. Gunadi, Dosen Ilmu Administrasi Kebijakan Pajak dan Pajak Internasional, dalam Seminar Nasional Perpajakan “Advancing Carbon Tax Policy in Indonesia: Developments and Future Directions” yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI), Depok, baru-baru ini.

Prof. Gunadi mengungkapkan bahwa Indonesia menghadapi kondisi hard-to-tax economy, di mana mayoritas ekonomi masih berada di sektor informal dan pertanian. “Tax ratio nasional saat ini stagnan di kisaran 10–12%. Pajak karbon bisa menjadi alat strategis untuk mengangkat tax ratio ini, seperti yang pernah terjadi pada era 1980-an ketika tax ratio mencapai 23%,” ujarnya.

Pajak karbon memiliki dampak ganda: selain menambah penerimaan negara, kebijakan ini mendorong perusahaan untuk mengurangi emisi dan berinovasi dengan teknologi hijau. Skema yang digunakan mencakup cap and trade, cap and tax, serta sertifikat izin dan penurunan emisi, yang memungkinkan perdagangan hak emisi antar-perusahaan. Dengan cara ini, perusahaan yang melewati batas emisi harus membayar pajak atau membeli hak emisi dari perusahaan lain yang emisinya lebih rendah.

Ia menekankan, pajak karbon juga berdampak positif pada kesejahteraan masyarakat. Dengan berkurangnya polusi dan peningkatan penggunaan energi bersih, biaya kesehatan masyarakat dapat ditekan, kualitas hidup meningkat, dan kepedulian sosial terhadap lingkungan juga tumbuh.

“Ini bukan sekadar pajak, tetapi instrumen untuk membangun masyarakat yang lebih sehat dan produktif,” katanya.

Dalam jangka panjang, penerapan pajak karbon akan mendorong pertumbuhan ekonomi 6,5–7% melalui hilirisasi industri dan optimalisasi sektor padat karbon. Prof. Gunadi menekankan perlunya sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dan industri, serta pengawasan teknis dari kementerian terkait untuk memastikan kebijakan ini berjalan efektif dan adil.

Dengan penerapan pajak karbon, Prof. Gunadi optimistis bahwa Indonesia dapat meningkatkan tax ratio, memperkuat basis pajak, dan mendorong transisi menuju ekonomi hijau, sekaligus menciptakan peluang investasi baru bagi industri dan masyarakat.

“Ini momentum untuk menjadikan pajak sebagai instrumen pembangunan berkelanjutan yang nyata,” pungkasnya. (bl)

 

Menkeu: 200 Penunggak Pajak Jumbo Tak Bisa Lari Lagi, Negara Akan Eksekusi Rp60 Triliun

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan langkah tegas pemerintah terhadap para pengemplang pajak besar. Ia memastikan 200 penunggak pajak jumbo yang sudah berstatus inkracht akan segera dieksekusi dengan potensi pemasukan mencapai Rp50–60 triliun.

“Kita punya list 200 penunggak pajak besar yang sudah inkracht. Kita mau kejar dan eksekusi. Dalam waktu dekat akan kita tagih dan mereka gak akan bisa lari,” ujar Purbaya dalam Konferensi Pers APBN KiTA di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin (22/9/2025).

Pernyataan Purbaya ini menjadi sinyal bahwa pemerintah tidak akan lagi memberi ruang kompromi bagi wajib pajak besar yang menunggak kewajiban. Upaya ini sekaligus menjadi jawaban atas keresahan publik terkait pengusaha besar yang kerap lolos dari jerat penegakan pajak.

Selain bicara penegakan hukum pajak, Purbaya juga melaporkan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) per Agustus 2025. Defisit tercatat Rp321,6 triliun atau 1,35 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

“Pendapatan negara Rp1.638,7 triliun atau 57 persen dari outlook APBN 2025. Itu terdiri dari penerimaan pajak Rp1.330 triliun, kepabeanan dan cukai Rp122,9 triliun, serta PNBP Rp306,8 triliun,” jelasnya.

Di sisi lain, belanja negara sudah mencapai Rp1.960,3 triliun atau 55,6 persen dari pagu anggaran. Kondisi ini menunjukkan tekanan pada kas negara yang salah satunya diharapkan bisa ditutup dari optimalisasi penerimaan pajak.

Isu penunggakan pajak oleh pengusaha besar sebenarnya bukan hal baru. Tahun lalu, adik Presiden Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo, juga pernah mengungkap adanya 300 pengusaha Indonesia yang diduga menunggak pajak hingga Rp300 triliun, terutama dari sektor sawit. Data itu disebut diperoleh Presiden Prabowo dari Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan serta Kepala BPKP Muhammad Yusuf Ateh.

Dengan langkah tegas yang kini digencarkan Purbaya, publik menantikan apakah pemerintah benar-benar berani mengeksekusi daftar 200 penunggak pajak jumbo tersebut. Jika berhasil, hal ini bukan hanya akan memperkuat penerimaan negara, tapi juga mengirim pesan keras bahwa tidak ada lagi pengusaha besar yang bisa bersembunyi dari kewajiban pajak. (alf)

 

Bank Mandiri dan KPP Badora Kolaborasi Perkuat Pajak Digital

IKPI, Jakarta: Bank Mandiri bersama Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang (KPP Badora) menjalin kolaborasi strategis guna memperkuat ekosistem pajak digital. Kolaborasi ini menitikberatkan pada dua aspek krusial: memastikan kelancaran pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPN PMSE) dan penyelesaian VAT Refund bagi wisatawan mancanegara.

Kepala KPP Badora, Natalius, menekankan bahwa PPN PMSE adalah penopang utama penerimaan negara di unit yang ia pimpin. Hingga 31 Juli 2025, realisasi PPN PMSE yang dicatat KPP Badora mencapai Rp5,72 triliun atau sekitar 60–70 persen dari target penerimaan tahunan. Mayoritas pembayaran dilakukan melalui Bank Mandiri.

“Artinya, menjaga agar aliran pembayaran ini lancar dan bebas hambatan menjadi sangat penting untuk keberlangsungan penerimaan pajak,” ujarnya.

(Foto: Istimewa)

Dalam pertemuan tersebut, Natalius juga menggarisbawahi mandat baru KPP Badora sejak 1 Januari 2025, yaitu mengelola proses VAT Refund bagi turis asing. Khusus untuk pengembalian di atas Rp5 juta, mekanisme dilakukan melalui transfer ke rekening wisatawan.

Namun, dalam pelaksanaannya masih muncul kendala berupa retur dari bank korespondensi luar negeri. “Kami perlu mengetahui penyebab terjadinya retur agar pengembalian pajak bisa diterima lebih cepat dan tidak menimbulkan keluhan,” tambahnya.

Vice President Nugrahani Estuning Sari menyampaikan bahwa setiap kendala dalam transaksi PPN PMSE maupun VAT Refund menjadi perhatian serius. Bank Mandiri, menurutnya, secara berkelanjutan memperbaiki sistem internal agar proses pembayaran lebih efisien dan aman.

“Kami memastikan penerimaan negara bisa segera masuk kas, sementara wisatawan asing pun memperoleh haknya tanpa prosedur yang bertele-tele,” ungkapnya.

Lebih jauh, Nugrahani menyebut pihaknya merencanakan kunjungan balasan ke KPP Badora untuk membahas lebih detail rencana aksi teknis. Menurutnya, koordinasi langsung akan mempercepat sinkronisasi sistem perbankan dengan mekanisme perpajakan digital yang tengah dibangun Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

“Kolaborasi ini kami pandang strategis, karena bukan hanya mendukung DJP, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia dalam menghadapi dinamika perdagangan digital global,” tambahnya.

KPP Badora sendiri selama ini dikenal sebagai kantor pajak yang mengelola penerimaan dari perusahaan teknologi global, khususnya pemungut PPN PMSE luar negeri. Dengan kontribusi yang signifikan, optimalisasi sistem pembayaran menjadi salah satu prioritas utama mereka. Natalius menilai dukungan Bank Mandiri selaku salah satu bank terbesar di Indonesia akan semakin memperkuat fondasi digitalisasi perpajakan.

Sinergi ini juga selaras dengan agenda besar DJP yang mendorong transformasi digital di seluruh lini. Selain menyasar peningkatan kepatuhan wajib pajak, digitalisasi diharapkan mampu menciptakan transparansi, memperkecil potensi kebocoran, serta memberikan pengalaman yang lebih mudah bagi wajib pajak maupun turis asing.

Dengan kolaborasi ini, baik Bank Mandiri maupun KPP Badora optimistis bahwa hambatan teknis bisa segera diatasi. Lebih jauh, mereka menargetkan agar penerimaan PPN PMSE dan pengembalian pajak turis dapat berlangsung lebih cepat, akuntabel, dan efisien. Hasil akhirnya, bukan hanya negara yang diuntungkan melalui optimalisasi penerimaan, tetapi juga dunia usaha dan wisatawan yang merasakan kepastian layanan. (alf)

 

Stop Tax Amnesty! Purbaya Ingatkan Risiko Besar bagi Kepatuhan Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan sikapnya menolak rencana penggelaran tax amnesty jilid III. Menurutnya, program pengampunan pajak yang digelar berulang kali justru berisiko menurunkan kepatuhan wajib pajak dan merugikan perekonomian Indonesia.

“Kalau tax amnesty terus diulang-ulang, kira-kira pesan yang diterima masyarakat adalah ‘boleh nyelundupin duit, nanti ada amnesty lagi’. Tiga tahun lagi buat tax amnesty, semua orang bakal menunda kewajiban pajak dulu, baru menunggu amnesty berikutnya,” ujar Purbaya di kantornya, Jakarta, akhir pekan lalu.

Program tax amnesty sebelumnya telah digelar dua kali, yakni pada 2016 di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan kembali pada 2022. Purbaya menekankan, pengampunan pajak yang digelar berulang kali akan mengurangi kredibilitas program dan memberi sinyal negatif bagi para wajib pajak.

“Kalau amnesty berkali-kali, bagaimana kredibilitasnya? Ini memberikan sinyal bahwa melanggar pajak bisa ditoleransi karena nanti akan ada amnesty lagi,” tambahnya.

Alih-alih menggelar tax amnesty jilid III, Purbaya menekankan pemerintah sebaiknya memperkuat pengawasan dan mendorong kepatuhan melalui kemudahan administrasi. Ia menilai optimalisasi peraturan yang ada jauh lebih efektif untuk meminimalkan penggelapan pajak.

“Harusnya cukup dengan peraturan yang ada. Fokus kita adalah majukan ekonomi, stabilkan tax ratio, sehingga pendapatan pajak bisa tumbuh secara alami. Itu lebih berkelanjutan,” tegas Purbaya.

RUU Tax Amnesty sempat masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025 yang diajukan Komisi XI DPR, namun belum dibahas karena fokus pada RUU PPSK. Meski demikian, RUU tersebut kembali muncul dalam longlist Prolegnas 2025–2029, menempati posisi nomor 64.

Purbaya menegaskan, pengampunan pajak berulang hanya memberi peluang bagi wajib pajak untuk menunda kewajiban. “Satu, dua, nanti tiga, empat… semuanya bakal berpikir: ‘kibulin aja pajaknya, nanti tunggu tax amnesty berikutnya.’ Ini yang tidak boleh terjadi,” pungkasnya. (alf)

 

Pajak Karbon Bisa Jadi Motor Pertumbuhan Ekonomi dan Inovasi Hijau Indonesia

IKPI, Depok: Indonesia memasuki era baru kebijakan fiskal hijau. Prof. Gunadi, Dosen Ilmu Administrasi Kebijakan Pajak dan Pajak Internasional, menegaskan bahwa pajak karbon bukan hanya alat pengumpulan penerimaan negara, tetapi juga instrumen strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, investasi, dan inovasi industri hijau. Hal ini disampaikan dalam Seminar Nasional Perpajakan bertema “Advancing Carbon Tax Policy in Indonesia: Developments and Future Directions”, yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI), Depok, baru-baru ini.

Dalam paparannya, Prof. Gunadi menjelaskan bahwa Indonesia saat ini berada dalam fase transisi ekonomi, dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita yang masih terbatas. Kondisi ini menempatkan negara dalam kategori middle-income dengan potensi pajak yang relatif terbatas dan dominasi sektor informal atau underground economy. Stagnasi tax ratio di kisaran 10–12% menunjukkan kesulitan pemerintah untuk memobilisasi potensi pajak, terutama dari sektor-sektor yang sulit dikenai pajak (hard-to-tax sectors).

Namun, menurut Prof. Gunadi, pajak dapat difungsikan lebih dari sekadar instrumen penerimaan. Dengan pendekatan yang tepat, pajak berperan sebagai stabilisator ekonomi dan stimulus investasi. “Pajak tidak hanya dipungut, tetapi juga bisa digunakan untuk mendorong pembangunan ekonomi, meningkatkan pendapatan per kapita, dan memperkuat basis sosial masyarakat agar kepatuhan pajak meningkat,” ujarnya.

Dikatakannya, Pasal 13 ayat (9) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah mengatur pajak karbon, namun implementasinya masih menunggu kesiapan regulasi turunan. Pajak ini direncanakan diterapkan secara bertahap mulai 2025, dengan skema yang meliputi cap and trade, cap and tax, serta sertifikat izin emisi (SIE) dan sertifikat penurunan emisi (SPI). Skema tersebut memberi insentif bagi perusahaan untuk mengurangi emisi dan mengadopsi teknologi hijau, sementara perusahaan yang melebihi batas emisi diwajibkan membayar pajak sesuai ketentuan.

Prof. Gunadi menekankan, pajak karbon akan mendorong adopsi teknologi hijau di industri padat karbon, seperti industri semen dan energi, dan memacu inovasi pada sektor energi terbarukan, termasuk panel surya dan solusi rendah karbon lainnya. “Perusahaan harus memilih antara membayar pajak lebih tinggi atau berinvestasi pada teknologi ramah lingkungan. Pilihan ini pada akhirnya akan menekan emisi sekaligus memperkuat daya saing industri,” jelasnya.

Dari sisi ekonomi makro, implementasi pajak karbon diprediksi akan meningkatkan tax ratio hingga 16% atau lebih, sekaligus memobilisasi dana untuk hilirisasi industri dan investasi produktif. Prof. Gunadi menyebutkan, jika kebijakan ini berjalan efektif, pertumbuhan ekonomi nasional berpotensi mencapai 6,5–7%, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pakar pajak ini juga menekankan pentingnya pengawasan dan kerjasama lintas kementerian, serta sosialisasi intensif untuk menjamin pelaksanaan pajak karbon berjalan adil dan efektif. “Pajak karbon bukan sekadar instrumen fiskal, tetapi peluang strategis bagi Indonesia untuk menjadi negara maju dengan ekonomi hijau yang berkelanjutan,” katanya. (bl)

 

Perusahaan Rugi Diintip, PP 55/2022 Jadi Kunci Hindari Rekayasa Pajak

Jakarta, IKPI: Perusahaan yang terus mencatat kerugian kini berada di bawah pengawasan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022. Mekanisme ini bertujuan menutup celah penghindaran pajak, terutama praktik rekayasa laba, namun penerapannya tetap harus adil agar perusahaan yang benar-benar menghadapi tekanan bisnis tidak terpuruk.

Menurut Denny Vissaro, Manager DDTC Fiscal Research & Advisory, aturan ini tercantum dalam Pasal 41 PP 55/2022, yang menyebutkan bahwa perusahaan yang mencatat kerugian tiga tahun dari lima tahun terakhir akan dibandingkan kinerjanya dengan perusahaan sejenis di sektor yang sama.

“Secara logika, bisnis itu tujuannya mencari laba. Kalau ada perusahaan yang terus rugi, sementara kompetitor di sektor yang sama masih untung, pemerintah berhak menilai apakah kerugian itu nyata atau ada rekayasa,” ujar Denny, dalam diskusi perpajakan yang diselenggarakan Perbanas Institute, Jakarta, baru-baru ini.

Mekanisme ini dianggap sebagai alat efektif untuk mendeteksi praktik profit shifting atau transfer pricing, yang bisa merugikan negara. “Dengan membandingkan kinerja, otoritas pajak bisa menilai apakah kerugian wajar atau ada indikasi pengalihan laba ke entitas lain,” tambahnya.

Meski demikian, Denny menekankan bahwa aturan ini tidak boleh membebani perusahaan yang benar-benar menghadapi tantangan bisnis. “Kalau implementasinya terlalu kaku, perusahaan yang memang rugi bisa semakin terpuruk. Alih-alih menutup celah pajak, iklim usaha justru bisa tertekan,” jelasnya.

Sebagai solusi, ia menyarankan penerapan Tax Control Framework (TCF) di level perusahaan. Dengan TCF, perusahaan dapat menunjukkan transparansi dan tata kelola pajak yang baik, sehingga pemerintah memiliki dasar kuat untuk memberikan kepastian hukum dan membangun hubungan kolaboratif, bukan sekadar pengawasan.

Denny menegaskan, diskusi teknis terkait pembandingan kinerja keuangan perlu melibatkan banyak pihak agar implementasinya adil. “Tujuan utama sama: menutup celah penghindaran pajak tanpa merugikan perusahaan yang berjuang di tengah tekanan ekonomi,” tutupnya. (bl)

 

 

 

 

 

 

id_ID