Peneliti UI: Orang Indonesia Lebih Nyaman di Luar Sistem Pajak

IKPI, Jakarta: Peneliti senior LPEM FEB Universitas Indonesia (UI), Vid Adrison, menyoroti akar masalah shadow economy di Indonesia yang menurutnya lebih mendasar daripada sekadar persoalan kepatuhan. Ia menyebut, mayoritas masyarakat justru merasa lebih nyaman berada di luar sistem perpajakan ketimbang masuk ke dalamnya.

“Kalau ditanya, apakah orang membayar pajak itu terpaksa atau tidak? Jawabannya jelas: terpaksa. Tidak ada yang dengan suka rela ingin membayar pajak,” ujar Vid dalam diskusi panel bertema ‘Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?’ yang digelar IKPI di Jakarta, Jumat (26/9/2025).

Ia memberi contoh sederhana. Seorang pedagang dengan keuntungan bersih Rp100 juta setahun, tanpa NPWP, bisa lolos tanpa setoran pajak. Sementara pekerja formal dengan gaji Rp70 juta setahun, karena memiliki NPWP, wajib membayar.

“Fair enggak? Jelas tidak. Ini bikin masyarakat merasa ketidakadilan, sehingga enggan masuk ke sistem,” tegasnya.

Lebih lanjut, Vid menyebut salah satu penyebab utamanya adalah tidak adanya konsekuensi nyata bagi warga yang tetap berada di luar sistem. Tanpa NPWP pun, mereka masih bisa mengakses layanan publik, membuat paspor, SIM, bahkan menikmati infrastruktur yang dibangun dari pajak.

“Kalau di Amerika, sejak pertama kali bekerja, orang wajib punya Social Security Number (SSN). Tanpa itu, gaji tidak bisa ditransfer. Itu memaksa orang masuk sistem. Di Indonesia? Saya baru punya NPWP tahun 2008, padahal sudah bekerja sejak lama. Artinya, insentif maupun paksaan untuk taat itu sangat lemah,” ungkapnya.

Menurut Vid, solusi kunci ada pada integrasi NPWP dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Dengan begitu, semua warga otomatis masuk sistem sejak lahir. “Kalau semua sudah tercatat, barulah pemerintah bisa memilah mana yang di atas PTKP, mana yang di bawah. Dengan begitu, shadow economy akan lebih terkendali. Kalau dibiarkan seperti sekarang, 20 tahun ke depan pun masalahnya sama,” katanya. (bl)

Munas XI MUI Siapkan Fatwa Pajak, Rekening Tidur hingga Sampah Sungai

IKPI, Jakarta: Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Komisi Fatwa akan membahas sederet isu strategis dalam Musyawarah Nasional (Munas) XI yang digelar pada 20–23 November 2025 di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara. Salah satu yang paling ditunggu publik adalah pembahasan mengenai fatwa perpajakan.

Ketua Komisi Fatwa Steering Committee (SC) Munas XI MUI, Asrorun Ni’am Sholeh, menegaskan bahwa isu pajak tidak bisa dilepaskan dari kepentingan umat. Karena itu, MUI akan menyiapkan landasan hukum keagamaan agar sistem perpajakan berjalan sesuai syariat dan prinsip keadilan.

“Pembahasan pajak akan kita matangkan lewat Forum Group Discussion (FGD) pada Oktober 2025. Kita undang Kementerian Keuangan, akademisi, praktisi pajak, pelaku usaha, hingga ahli ekonomi. Dari sana, kita tarik feed back agar fatwa yang lahir nanti benar-benar aplikatif,” ungkap Ni’am, Sabtu (27/9/2025).

Tak hanya soal pajak, MUI juga mengangkat problematika lain yang langsung bersinggungan dengan hajat hidup masyarakat. Misalnya, praktik jual-beli nomor rekening tidur (dormant account) yang dilaporkan marak terjadi. Permintaan fatwa ini datang dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) karena rawan dimanfaatkan untuk pencucian uang hingga tindak pidana lain.

“Banyak rekening lama yang tak dipakai, kemudian diperdagangkan. Itu bisa dipakai untuk hal-hal yang melanggar hukum. Maka, MUI perlu memberi panduan keumatan sekaligus mendukung upaya penegakan hukum,” jelasnya.

Selain itu, persoalan pengelolaan sampah di sungai serta pemanfaatan dana zakat untuk perlindungan pekerja rentan juga akan masuk meja Munas XI. Isu zakat ini diusulkan oleh BPJS Ketenagakerjaan agar bisa menjadi solusi bagi pekerja informal atau mandiri yang tidak mampu membayar iuran jaminan sosial.

“Negara hadir memberi jaminan sosial bagi tenaga kerja. Tapi ada pekerja yang tidak punya pemberi upah, bekerja sendiri, namun tidak mampu bayar iuran. Bagaimana posisi zakat bisa hadir di sini, ini yang perlu difatwakan,” tambah Ni’am.

MUI menegaskan, seluruh aspirasi masyarakat akan dijaring terlebih dahulu untuk dipetakan. Setelahnya, akan dilakukan konsinyering, FGD dengan pakar, hingga penyusunan draft yang kemudian disirkulasikan ke MUI provinsi. Finalisasi baru akan dilakukan dalam forum Munas XI.

“Jadi, bukan hanya pajak, tapi ada banyak problem riil umat yang akan kita jawab lewat fatwa. Hasil Munas XI ini diharapkan memberi kepastian, kejelasan, dan arah bagi umat maupun negara,” pungkas Ni’am. (alf)

Shadow Economy Bisa Jadi “Tambang Pajak Baru”, Mantan Direktur DJP: Harus Berani Out of The Box

IKPI, Jakarta: Mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Dodik Samsu Hidayat, menyebut shadow economy atau ekonomi bayangan sebagai “tambang pajak baru” yang tidak boleh dibiarkan terus di luar radar negara.

Hal ini disampaikan Dodik saat menjadi panelis dalam diskusi panel bertema “Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?” yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) secara hybrid, di Kantor Pusat IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan serta melalui Zoom Meeting, Jumat (26/9/2025). Acara ini diikuti ratusan peserta dari kalangan anggota IKPI hingga masyarakat umum yang mengikuti secara gratis.

Menurut Dodik, selama ini terdapat gap yang sangat besar antara potensi ekonomi yang berjalan di luar sistem dan penerimaan pajak yang berhasil dikumpulkan negara. “Potensi itu luar biasa. Kalau kita mau bicara angka, ada sekitar Rp1.600 triliun nilai shadow economy. Dan ini baru sebagian yang mulai bisa kita sentuh lewat regulasi digital,” ujar Dodik.

Ia mencontohkan langkah-langkah konkret yang sudah dilakukan DJP, seperti penerapan pajak perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), pengenaan pajak atas kripto, hingga aturan bagi platform fintech. Semua itu, menurutnya, merupakan bukti nyata bahwa digitalisasi bisa membuka pintu baru penerimaan negara.

“Bayangkan, hanya dari satu exchanger kripto saja, perputaran transaksinya pernah tembus Rp400 triliun setahun. Kalau setiap transaksi dikenai pajak sesuai aturan, berapa besar pemasukan yang bisa kita bawa ke kas negara,” tegas Dodik.

Namun ia mengingatkan, menggarap shadow economy tidak bisa dilakukan dengan cara-cara biasa. “Kalau kita memakai cara yang sama, hasilnya juga akan sama. Tapi kalau kita ingin hasil luar biasa, maka cara kita juga harus out of the box. Harus ada keberanian untuk masuk ke wilayah yang selama ini dianggap sulit disentuh,” kata Dodik.

Ia menambahkan, dengan dukungan teknologi, data yang semakin komprehensif, serta kolaborasi lintas lembaga, DJP bisa menjadikan shadow economy sebagai sumber penerimaan baru yang nyata.

“Ini bukan sekadar potensi di atas kertas. Kalau DJP serius, ini bisa jadi tambang pajak yang baru,” ujarnya. (bl)

DJP Terapkan Peta Risiko Pajak, Wajib Pajak Bandel Siap Diawasi Ketat

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kian agresif memperkuat reformasi administrasi perpajakan. Salah satu jurus terbarunya adalah penerapan Compliance Risk Management (CRM) yang dijalankan melalui Compliance Improvement Plan. Sistem ini dirancang untuk memetakan risiko kepatuhan wajib pajak, mulai dari kategori rendah (low risk), menengah (medium risk), hingga tinggi (high risk).

Direktur Perpajakan Internasional DJP, Mekar Satria Utama, menegaskan bahwa pemetaan risiko tersebut bukan sekadar formalitas, melainkan strategi jangka panjang untuk membangun budaya patuh pajak.

“Wajib pajak kita petakan satu per satu, dan targetnya setiap tahun tingkat kepatuhan bisa terus naik,” ujar Mekar dalam acara Asia Pacific Contribution on International Tax System, Kamis (25/9/2025).

Mekar menjelaskan, perlakuan terhadap wajib pajak akan berbeda sesuai kategori risikonya. Wajib pajak berstatus high risk bakal berada di radar pengawasan ketat, lengkap dengan potensi pemeriksaan dan tindakan penegakan hukum.

Sebaliknya, mereka yang termasuk low risk akan mendapat pendekatan yang lebih persuasif, seperti edukasi dan konsultasi untuk menjaga kepatuhan.

“Beberapa sektor ekonomi memang masuk kategori high risk. Di situlah kami perlu melakukan pendekatan yang lebih intensif, agar celah pelanggaran bisa ditekan,” tambah Mekar.

Dengan sistem CRM ini, DJP berharap ekosistem perpajakan di Indonesia kian transparan dan adil: yang patuh mendapat kemudahan, sementara yang abai siap berhadapan dengan pengawasan ekstra ketat. (alf)

 

DJP–ESDM Kompak Kunci Kepatuhan Pajak Tambang Lewat RKAB

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memperkuat pengawasan kepatuhan wajib pajak di sektor pertambangan dengan menggandeng Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kolaborasi ini dijalankan lewat skema multi-door, yakni memastikan dokumen rencana kerja anggaran biaya (RKAB) perusahaan tambang hanya bisa disahkan jika kewajiban perpajakannya sudah beres.

Direktur Perpajakan Internasional DJP, Mekar Satria Utama, menegaskan bahwa integrasi pengawasan ini menjadi kunci untuk menutup celah kepatuhan yang selama ini sering terjadi. “Sebelum RKAB disetujui ESDM, kami minta dicek dulu, apakah perusahaan sudah punya NPWP dan melaksanakan kewajiban pajaknya atau tidak,” ujarnya dalam Policy Dialogue The PRAKARSA & Indef di Jakarta, Kamis (25/9/2025).

Mekar menyebut mekanisme ini sekaligus menghentikan praktik lama, di mana perusahaan tambang bisa mengantongi izin meski tidak terdaftar sebagai wajib pajak atau menunggak kewajiban perpajakannya. “Dengan model ini, kalau mau terbit izin baru atau perpanjang, harus clear dulu urusan pajaknya,” tegasnya.

Sinergi DJP–ESDM ini juga sejalan dengan arahan Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto yang mendorong pengawasan kepatuhan pajak lintas lembaga, termasuk aparat penegak hukum dan kementerian teknis lain.

Kebijakan tersebut menjadi salah satu langkah penting pemerintah dalam mengejar penerimaan negara. Hingga Agustus 2025, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp1.135,4 triliun atau 54,7% dari outlook tahun ini yang ditetapkan Rp2.076,9 triliun. Artinya, masih ada defisit sekitar Rp941,5 triliun yang harus dikejar.

Tantangan pada 2026 dipastikan lebih berat. APBN menargetkan penerimaan pajak Rp2.347,7 triliun atau naik 13,5% dari outlook 2025. Pajak penghasilan (PPh) nonmigas menjadi yang paling digenjot, dengan target naik 15,7% dari Rp997,5 triliun menjadi Rp1.154,1 triliun. (alf)

 

Setoran Pajak NTT Masih Seret, DJP Tancap Gas dengan Coretax

IKPI, Jakarta: Realisasi penerimaan pajak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga Agustus 2025 masih jauh dari harapan. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Wilayah Nusa Tenggara mencatat setoran baru menembus Rp1,29 triliun, atau 39,8 persen dari target tahun ini sebesar Rp3,24 triliun.

Penerimaan terbesar disumbang Pajak Penghasilan (Rp650,61 miliar) serta PPN dan PPnBM (Rp327,87 miliar). Dari sisi sektor usaha, Administrasi Pemerintah mendominasi kontribusi dengan 40,79 persen, disusul Perdagangan 21,54 persen, dan Jasa Keuangan 16,36 persen.

Kepala Kanwil DJP Nusa Tenggara, Samon Jaya, tak menampik capaian itu masih seret. Namun ia menegaskan tren positif mulai tampak, terutama dari sektor perdagangan dan jasa keuangan.

“Kami akan terus memperkuat kerja sama dengan pemerintah daerah, pelaku usaha, serta masyarakat dalam mendorong kepatuhan dan memperluas basis pajak. Pajak yang terkumpul akan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan,” tegasnya baru-baru ini.

Di tengah tantangan setoran yang belum optimal, DJP tancap gas dengan menyiapkan wajibnya penggunaan Coretax mulai pelaporan SPT Tahunan 2025. Sistem digital ini akan berlaku penuh pada 2026 dengan mekanisme autentikasi berbasis Kode Otorisasi atau Sertifikat Digital.

Samon menekankan, aktivasi akun Coretax harus segera dilakukan wajib pajak agar tidak menemui hambatan saat pelaporan. “Coretax akan menjadi tulang punggung administrasi pajak yang lebih transparan, modern, dan efisien,” ujarnya.

Untuk memudahkan, DJP Nusa Tenggara membuka kanal aktivasi melalui laman t.kemenkeu.go.id/akuncoretax atau layanan KPP/KP2KP terdekat. Reformasi ini membawa perubahan mendasar, mulai dari penghapusan tanda tangan fisik hingga pengawasan yang lebih tajam pada shadow economy.

DJP juga menegaskan kebijakan ini tidak menyasar pedagang kecil. Usaha dengan omzet di bawah Rp500 juta tetap bebas dari PPh. “Fokus kami bukan UMKM, melainkan sektor besar yang masih luput dari pencatatan resmi,” tambah Samon.

Lewat strategi ganda optimalisasi penerimaan dan percepatan implementasi Coretax pemerintah berharap bisa menutup gap target pajak sekaligus memperkuat fondasi fiskal di NTT. Hasil akhirnya, pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan dapat terwujud di seluruh wilayah Nusa Tenggara. (alf)

 

Pajak Digital Tembus Rp41,09 Triliun, Mesin Baru Andalan Penerimaan Negara

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan dominasi sektor digital dalam menopang kas negara. Hingga 31 Agustus 2025, penerimaan dari pajak ekonomi digital sudah menembus Rp41,09 triliun.

“Dengan realisasi sebesar Rp41,09 triliun, pajak digital kian menegaskan perannya sebagai penggerak utama penerimaan negara di era digital ini,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP, Rosmauli, dalam keterangan tertulis, Jumat (26/9/2025).

Kontribusi terbesar datang dari PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang mencapai Rp31,85 triliun. Angka itu dikumpulkan oleh 201 perusahaan digital dari total 236 perusahaan yang telah ditunjuk pemerintah sebagai pemungut PPN. Empat perusahaan baru yang resmi bergabung tahun ini adalah Blackmagic Design Asia Pte Ltd, Samsung Electronics Co Ltd, PIA Private Internet Access Inc, dan Neon Commerce Inc, sementara satu perusahaan yakni TP Global Operations Limited dicabut statusnya.

Sumbangan besar lainnya berasal dari:

• Pajak kripto sebesar Rp1,61 triliun, mayoritas dari PPh 22 senilai Rp770,42 miliar dan PPN DN Rp840,08 miliar.

• Pajak fintech (P2P lending) senilai Rp3,99 triliun, yang terdiri dari PPh 23, PPh 26, dan PPN DN.

• Pajak Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) mencapai Rp3,63 triliun, dengan dominasi dari PPN sebesar Rp3,39 triliun.

Jika ditarik ke belakang, kontribusi pajak digital menunjukkan tren konsisten naik. PPN PMSE misalnya, hanya menyumbang Rp731,4 miliar pada 2020, namun melonjak tajam hingga menyentuh Rp8,44 triliun pada 2024 sebelum mencatat Rp6,51 triliun pada delapan bulan pertama 2025. Hal serupa juga terjadi di sektor kripto, fintech, maupun pajak SIPP yang terus merangkak naik seiring masifnya transaksi di ranah digital.

Rosmauli menegaskan, lonjakan pajak digital ini membuktikan transformasi ekonomi sudah bergeser ke platform online, sehingga instrumen fiskal juga harus adaptif. “Ekonomi digital bukan lagi sektor alternatif, melainkan salah satu tulang punggung penerimaan negara,” tegasnya. (alf)

 

Hanya 67,7 Persen Belanja Negara Ditopang Pajak, Sisanya Masih Bergantung Utang

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa penerimaan pajak pada 2025 hanya akan mampu menutup 67,7 persen dari total belanja negara. Artinya, hampir sepertiga kebutuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih harus dibiayai lewat utang maupun sumber nonpajak.

“Untuk tahun 2025 sendiri sampai dengan akhir tahun, penerimaan pajak hanya bisa menutup 67,7 persen dari belanja negara. Jadi kita memang masih menghadapi problem serius untuk peningkatan penerimaan perpajakan,” ujar Direktur Perpajakan Internasional DJP, Mekar Satria Utama atau Toto, dalam acara Asia Pacific Contribution on International Tax System yang digelar The Prakarsa dan Indef di Jakarta, Kamis (25/9/2025).

Toto menegaskan, tantangan terbesar dalam memperkuat penerimaan terletak pada basis pajak yang belum optimal. Upaya ekstensifikasi sulit dijalankan karena mayoritas tenaga kerja masih berada di sektor informal yang pendapatannya sulit dipantau.

“Berbagai cara sudah kita lakukan. Misalnya, pajak UMKM dari omzet awalnya 1 persen kita turunkan jadi 0,5 persen. Tapi itu pun belum mampu menjaring banyak masyarakat,” jelasnya.

Selain problem sektor informal, isu lain yang turut menghambat adalah batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), klasifikasi perusahaan dalam sistem perpajakan, serta pengelolaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Dengan kondisi tersebut, pemerintah kini mengandalkan strategi intensifikasi, yakni meningkatkan kepatuhan wajib pajak yang sudah ada. DJP akan meninjau ulang kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi, badan usaha, hingga PPN atas konsumsi masyarakat.

“Kalau dilihat sebenarnya sistem perpajakan kita sederhana. Ada pajak atas penghasilan, pajak atas konsumsi, dan pajak atas kekayaan lewat PBB. Tantangannya adalah memastikan kepatuhan di tiga sektor itu bisa maksimal,” tegas Toto.

Keterbatasan penerimaan pajak ini menunjukkan bahwa ketergantungan APBN terhadap utang masih belum bisa dihindari. Pemerintah pun dituntut mempercepat reformasi perpajakan agar pajak benar-benar bisa menjadi penopang utama belanja negara. (alf)

 

Hati-Hati! DJP Ingatkan Modus Penipuan Berkedok Pajak Kian Marak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kembali mengingatkan masyarakat agar meningkatkan kewaspadaan terhadap berbagai modus penipuan yang mengatasnamakan lembaga pajak. Aksi para penipu ini biasanya menyasar wajib pajak dengan iming-iming atau ancaman tagihan pajak palsu, hingga mengarahkan korban untuk mentransfer uang ke rekening pribadi pelaku.

“Seluruh transaksi pembayaran pajak hanya dilakukan melalui kode billing resmi ke kas negara. DJP tidak pernah meminta setoran pajak melalui rekening pribadi atau pihak ketiga mana pun,” tegas DJP dalam keterangan resminya.

Ragam Modus Penipuan

Seiring meningkatnya aktivitas digital, para pelaku kian kreatif mencari celah untuk menipu masyarakat. Beberapa modus yang sering ditemukan antara lain:

1. Pesan Palsu tentang Tagihan Pajak

Penipu mengirim pesan melalui email atau aplikasi percakapan, menyebutkan adanya tunggakan pajak. Korban lalu diarahkan untuk melunasi ke rekening pribadi pelaku.

2. Situs Tiruan (Phishing)

Pelaku membuat laman palsu yang mirip dengan situs resmi DJP. Tautan yang diberikan biasanya tidak menggunakan domain pajak.go.id, sehingga mudah mengecoh masyarakat awam.

3. Email Tidak Resmi

Surat elektronik dikirim seolah-olah berasal dari DJP, namun alamat yang dipakai bukan dari domain resmi @pajak.go.id.

4. File Aplikasi Berbahaya (APK)

Pelaku mengedarkan file berformat APK melalui WhatsApp maupun email. Jika dibuka, file ini bisa berisi malware yang mencuri data pribadi korban.

Cara Melindungi Diri

DJP mengimbau masyarakat untuk selalu waspada dan menerapkan langkah pencegahan berikut:

Pastikan nomor WhatsApp atau kontak kantor pajak sesuai daftar resmi di situs pajak.go.id/unit-kerja.

Abaikan pesan yang mengandung tautan mencurigakan atau tidak menggunakan domain pajak.go.id.

Jangan pernah mengunduh atau membuka file APK yang mengatasnamakan DJP.

Segera laporkan dugaan penipuan ke Kring Pajak 1500200, email pengaduan@pajak.go.id, atau melalui situs pengaduan.pajak.go.id.

Selain itu, DJP juga menekankan pentingnya menjaga kerahasiaan data pribadi. Informasi sensitif seperti nomor identitas, NPWP, hingga detail rekening bank sebaiknya tidak dibagikan kepada pihak yang tidak jelas.

Dengan kewaspadaan bersama, diharapkan masyarakat dapat terhindar dari jebakan penipuan yang merugikan, sekaligus menjaga kepercayaan terhadap sistem perpajakan nasional. (alf)

 

 

 

 

Pemerintah Gelontorkan Subsidi Bunga Jumbo, Dorong Akselerasi 3 Juta Rumah

IKPI, Jakarta: Pemerintah mengambil langkah berani untuk mempercepat realisasi program 3 juta rumah. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa resmi menerbitkan aturan baru yang memberikan subsidi bunga kredit perumahan hingga 10 persen. Skema ini diharapkan mampu memperluas akses kepemilikan rumah sekaligus menggerakkan sektor properti dan UMKM.

Kebijakan tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 65 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kegiatan Subsidi Bunga/Subsidi Margin Kredit Program Perumahan. Regulasi ini diundangkan pada 24 September 2025, menandai titik penting dalam upaya pemerintah menjawab kebutuhan hunian layak bagi masyarakat.

Subsidi untuk Penyedia dan Pembeli Rumah

Dalam aturan baru itu, subsidi bunga diberikan kepada dua kelompok penerima:

• Penyedia rumah seperti pengembang atau pelaku usaha, dengan subsidi bunga 5% efektif per tahun, berlaku hingga 4 tahun untuk kredit modal kerja dan 5 tahun untuk kredit investasi.

• Permintaan rumah atau calon pembeli. Untuk kredit antara Rp10 juta–Rp100 juta, subsidi bunga diberikan 10%, sementara untuk kredit Rp100 juta–Rp500 juta diberikan subsidi 5,5% dengan tenor maksimal 5 tahun.

Dengan skema jumbo ini, pemerintah berharap biaya cicilan masyarakat akan lebih ringan, sementara pelaku usaha di sektor perumahan mendapat dorongan untuk meningkatkan pasokan rumah.

Subsidi bunga dibayarkan langsung oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Kredit Program Perumahan setelah menerima tagihan dari bank penyalur. Proses klaim dilakukan setiap bulan dan harus diajukan paling lambat tanggal 10, atau pada hari kerja berikutnya bila jatuh di hari libur.

Menkeu Purbaya menegaskan, subsidi bunga jumbo ini adalah instrumen strategis agar program pembangunan 3 juta rumah dapat berjalan lebih cepat. Skema ini tidak hanya membantu masyarakat memiliki hunian, tetapi juga menjadi penggerak ekonomi nasional lewat peningkatan aktivitas sektor konstruksi dan UMKM.

“Dengan subsidi bunga yang signifikan, pemerintah ingin memastikan bahwa masyarakat berpenghasilan rendah maupun pelaku usaha perumahan memiliki akses kredit yang lebih terjangkau,” tegas Purbaya.

Program ini sekaligus memperkuat sinergi lintas kementerian, setelah sebelumnya Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menggulirkan wacana skema khusus Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk sektor perumahan. Kini, lewat payung hukum baru, gagasan itu resmi dieksekusi di lapangan. (alf)

 

id_ID