Ditjen SPSK Apresiasi Peran IKPI, Profesionalisme Pajak Harus Beri Dampak Nyata

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Perizinan dan Kepatuhan Penilai, Aktuaris, dan Profesi Keuangan Lainnya (Ditjen SPSK) Kementerian Keuangan menegaskan pentingnya peran konsultan pajak dalam mendukung pembangunan nasional. Kepala Bidang Perizinan dan Kepatuhan Profesi, Lury Sofyan, menyampaikan apresiasi atas kiprah Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) yang dinilai konsisten menjaga standar profesi sekaligus menjembatani dialog antara regulator dan praktisi.

“Profesionalisme tidak boleh berhenti pada standar teknis. Ekonomi masyarakat harus menjadi acuan, karena profesi ini pada akhirnya bekerja untuk kepentingan publik,” ujar Lury dalam Seminar Nasional IKPI 2025 di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa (26/8/2025).

Menurutnya, penguatan profesi pajak harus berjalan seiring dengan kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Konsultan pajak bukan hanya dituntut memahami regulasi, tetapi juga memiliki kepekaan terhadap dinamika dunia usaha serta tantangan yang dihadapi wajib pajak.

Ia menekankan, sertifikasi, pembinaan, dan pengawasan profesi tetap harus ketat. Namun di sisi lain, kebijakan perlu adaptif agar tidak menambah beban bagi masyarakat. Dengan keseimbangan itu, keberadaan konsultan pajak akan lebih nyata manfaatnya bagi publik.

Lury menilai IKPI memegang peran strategis sebagai mitra pemerintah. Melalui forum seperti Seminar Nasional, IKPI membuka ruang komunikasi efektif antara pembuat kebijakan dan pelaku profesi. Dengan begitu, kebijakan yang dihasilkan dapat lebih sesuai dengan kebutuhan dan tantangan di lapangan.

“IKPI tidak hanya menjaga kompetensi anggotanya, tetapi juga memastikan profesionalisme konsultan pajak benar-benar memberi dampak positif bagi penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif,” jelasnya.

Lury menutup dengan penegasan bahwa perpajakan adalah instrumen vital pembangunan. Karena itu, profesionalisme yang dikawal IKPI harus benar-benar berorientasi pada kepentingan masyarakat luas.

“Pajak adalah instrumen pembangunan, dan profesionalisme harus menopangnya,” tegasnya. (bl)

 

 

 

 

 

DJP Jatim II Bekali Pemahaman Kewajiban Perpajakan UMKM hingga Buka Jalan Ekspor

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Timur II menegaskan komitmennya mendukung pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) naik kelas melalui kegiatan Business Development Services (BDS) dan Market Day. Acara ini tidak hanya membekali UMKM dengan pemahaman kewajiban perpajakan, tetapi juga membuka akses pembiayaan, insentif fiskal, hingga peluang menembus pasar ekspor.

Kepala Kanwil DJP Jawa Timur II, Agustin Vita Avantin, menekankan bahwa UMKM adalah mitra strategis dalam membangun ekonomi nasional. “Kami ingin memastikan UMKM paham pajak, paham pembiayaan, paham cara ekspor, serta dapat memanfaatkan fasilitas fiskal. Dengan begitu, mereka tumbuh berkelanjutan dan turut memperluas basis pajak,” ujarnya, melalui keterangan tertulis, dikutip Sabtu (30/8/2025).

Melalui Workshop BDS, peserta mendapatkan materi langsung dari DJP, DJPb, dan Bea Cukai terkait kewajiban perpajakan UMKM, skema pembiayaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Ultra Mikro (UMi), hingga prosedur ekspor. Sementara itu, Market Day menghadirkan 41 tenant UMKM—termasuk pelaku usaha disabilitas—yang memamerkan produk kuliner, minuman, dan kerajinan tangan.

Bagi pelaku usaha, kegiatan ini menjadi ajang pembelajaran sekaligus promosi. “Selain bisa promosi, kita juga belajar hal baru untuk mengembangkan usaha,” kata Erika Ayu, pemilik Syifa Daffa Bakery.

Dengan sinergi pajak dan UMKM, DJP Jawa Timur II berharap para pelaku usaha tidak memandang pajak sebagai beban, melainkan sebagai bentuk kontribusi gotong royong yang akan kembali dalam bentuk fasilitas publik dan iklim usaha yang lebih sehat. (alf)

 

 

 

Ini Ciri Shadow Economy yang Jadi Sasaran Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan akan mulai menertibkan shadow economy atau aktivitas ekonomi yang selama ini luput dari sistem perpajakan pada 2026. Langkah ini sudah masuk dalam strategi pemerintah yang tercantum dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2026.

DJP menjelaskan, ada sejumlah ciri usaha yang dikategorikan sebagai shadow economy dan akan menjadi sasaran penertiban pajak, yaitu:

  1. Usaha dengan omzet lebih dari Rp500 juta per tahun, namun belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
  2. Perdagangan bernilai tinggi yang tidak pernah dilaporkan ke otoritas pajak.
  3. Sektor ekonomi besar yang beroperasi aktif, tetapi belum tercatat dalam sistem administrasi perpajakan.

Selain berdasarkan ciri-ciri tersebut, pemerintah juga sudah menargetkan sektor-sektor yang dinilai banyak menyimpan potensi shadow economy. Di antaranya adalah perdagangan eceran, usaha makanan dan minuman, perdagangan emas, serta perikanan.

Menurut DJP, penertiban ini penting agar keadilan perpajakan bisa terwujud. Tanpa penertiban, beban pajak hanya dipikul oleh wajib pajak patuh, sementara sebagian besar aktivitas ekonomi bernilai besar tidak tersentuh.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, potensi dari shadow economy harus dimaksimalkan agar target penerimaan pajak Rp2.357,71 triliun pada 2026 dapat tercapai tanpa perlu menaikkan tarif pajak.

Untuk memuluskan rencana tersebut, sejak 2025 pemerintah telah melakukan pemetaan potensi, menyusun Compliance Improvement Program (CIP) khusus, hingga memperkuat basis data dengan integrasi NIK dan NPWP melalui sistem baru Core Tax Administration System (CTAS). (alf)

 

 

 

 

AS Gandakan Tarif Impor Barang India Jadi 50%, Indonesia Bisa Ambil Peluang Pasar

IKPI, Jakarta: Amerika Serikat (AS) resmi menggandakan tarif impor terhadap barang-barang asal India hingga 50 persen mulai Rabu (27/8/2025). Kebijakan ini diumumkan langsung Presiden AS Donald Trump dan dinilai sebagai sanksi tambahan atas kebijakan perdagangan India, khususnya terkait pembelian minyak dari Rusia yang dianggap berseberangan dengan kepentingan Washington.

Penerapan tarif baru tersebut merupakan gabungan dari bea masuk 25 persen yang sudah berlaku sebelumnya dan tambahan 25 persen akibat impor minyak Rusia. Alhasil, sejumlah produk seperti pakaian, perhiasan, alas kaki, perlengkapan olahraga, furnitur, hingga bahan kimia kini dikenakan tarif setengah dari total nilai impor.

Dengan kebijakan ini, India bergabung dengan Brasil dan China dalam daftar negara yang menghadapi tarif tinggi dari Negeri Paman Sam. Bagi India, lonjakan bea masuk tersebut menjadi ancaman serius bagi ribuan eksportir kecil hingga industri padat karya yang selama ini bergantung pada pasar AS.

Langkah keras Washington diperkirakan akan semakin memanaskan hubungan kedua negara demokrasi terbesar di dunia, di tengah upaya menjaga keseimbangan strategis di kawasan Indo-Pasifik. Di sisi lain, keputusan ini juga tidak lepas dari sorotan terhadap surplus perdagangan India dengan AS yang terus melebar. Data United States Census Bureau mencatat, surplus India meningkat dari US$8 miliar pada 2008 menjadi US$45,8 miliar pada 2024. Bahkan hanya dalam enam bulan pertama 2025, surplus dagang India sudah mencapai US$34,3 miliar.

Tingginya surplus tersebut didorong oleh kinerja ekspor India yang terus melesat. Pada 2024-2025, nilai ekspor India ke AS menembus US$86,5 miliar atau sekitar Rp1.412 triliun, tumbuh 11,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Produk andalan mencakup mutiara dan batu mulia (US$10,17 miliar), produk listrik dan elektronik (US$9,89 miliar), farmasi dan alat medis (sekitar US$8 miliar), pakaian dan tekstil (US$2,5 miliar), besi dan baja (US$2,76 miliar), bahan kimia organik (US$2,55 miliar), serta kendaraan bermotor (US$2,58 miliar).

Namun dengan tarif baru 50 persen, daya saing produk India di pasar AS diperkirakan menurun drastis. Importir AS kemungkinan besar akan mengalihkan pesanan ke negara lain yang menawarkan harga lebih murah dan tarif lebih rendah.

Indonesia dinilai memiliki peluang besar memanfaatkan celah ini, terutama di sektor padat karya dan manufaktur. Produk-produk seperti tekstil, alas kaki, elektronik, kimia, serta karet berpotensi memperluas pasar ke AS. Apalagi, sejumlah komoditas unggulan RI seperti mesin, peralatan listrik, minyak sawit, dan produk garmen sudah memiliki basis pasar yang kuat di sana.

Meski begitu, tantangan tetap ada. Indonesia harus mampu menjaga konsistensi pasokan, kualitas, dan harga agar bisa benar-benar menggantikan peran India di pasar AS. Jika strategi promosi ekspor dijalankan dengan tepat, ketegangan dagang AS–India justru bisa menjadi momentum bagi Indonesia untuk memperbesar pengaruhnya di salah satu pasar terbesar dunia. (alf)

 

Pendapatan Pajak DKI Jakarta Tembus Rp 27,57 Triliun, PBB-P2 Jadi Penyumbang Terbesar

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mencatat realisasi pendapatan pajak daerah mencapai Rp 27,57 triliun hingga 31 Juli 2025. Angka tersebut setara dengan 57,44 persen dari target yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025 sebesar Rp 48 triliun.

Kontributor terbesar berasal dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dengan capaian Rp 5,6 triliun atau 57,79 persen dari target Rp 9,7 triliun. Disusul Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) Rp 2,9 triliun (43,94 persen) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) Rp 1 triliun (47,62 persen).

Dari sisi pajak konsumsi, Pajak Rokok menyumbang Rp 541,7 miliar atau 60,19 persen dari target, sedangkan Pajak Reklame sudah mencapai Rp 647,5 miliar atau 71,94 persen. Pajak Air Tanah (PAT) juga menunjukkan kinerja positif dengan realisasi Rp 41,4 miliar atau 59,14 persen.

Sementara itu, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) mencatat capaian terbesar yakni Rp 9 triliun atau 81,82 persen dari target Rp 10,5 triliun. Namun, kinerja Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) masih tertinggal dengan realisasi Rp 2,8 triliun atau 32,79 persen dari target Rp 10,3 triliun.

Menariknya, Pajak Alat Berat (PAB) justru melampaui target dengan realisasi Rp 260,5 juta atau 130,25 persen dari target Rp 200 juta. Pajak sektor jasa juga mencatat progres yang cukup baik, di antaranya Pajak Perhotelan Rp 1,1 triliun (66,67 persen) dan Pajak Makanan dan Minuman Rp 2,6 triliun (61,18 persen). Dari sektor hiburan, realisasi tercatat Rp 343,4 miliar (52,83 persen), sedangkan Pajak Tenaga Listrik menyumbang Rp 517,1 miliar (57,46 persen) dan Pajak Jasa Parkir Rp 183,5 miliar (61,17 persen).

Secara keseluruhan, pendapatan pajak daerah hingga Juli 2025 menunjukkan capaian yang bervariasi antar sektor. Beberapa jenis pajak bahkan sudah melampaui target, sementara lainnya masih perlu didorong, seperti BPHTB dan BBN-KB.

Insentif Pajak DKI

Selain mengandalkan penerimaan pajak, Pemprov DKI Jakarta juga memberikan insentif guna mendorong pertumbuhan ekonomi dan menjaga daya saing pelaku usaha. Gubernur Pramono Anung melalui kebijakan fiskalnya menyalurkan insentif pajak dengan total realisasi mencapai Rp 4,48 triliun hingga akhir Juli 2025.

Rinciannya, insentif PKB mencapai Rp 412,456 miliar untuk 100.427 kendaraan bermotor, termasuk penghapusan sanksi serta fasilitas pajak untuk kendaraan listrik. PBB-P2 mendapat alokasi terbesar dengan total tax expenditure Rp 2,7 triliun, terdiri dari pembebasan pajak Rp 706 miliar untuk rumah di bawah Rp 2 miliar, pengurangan Rp 1,031 triliun, dan keringanan Rp 963,387 miliar.

Adapun insentif BPHTB mencapai Rp 275,179 miliar, sementara untuk BBN-KB sebesar Rp 1,1 triliun. Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan stimulus ekonomi, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, sekaligus menjaga stabilitas penerimaan daerah. (alf)

 

PER-11/PJ/2025 Tegaskan Hak PKP Kreditkan Pajak Masukan Tanpa Tunggu Pelaporan Penjual

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa Pengusaha Kena Pajak (PKP) tetap berhak melakukan pengkreditan Pajak Masukan, sepanjang telah memenuhi syarat formal dan material. Hak tersebut tidak bergantung pada pelaporan faktur pajak oleh PKP penjual.

Kepastian hukum ini tercantum dalam Pasal 122 ayat (3) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 (PER 11/2025). Regulasi tersebut menegaskan bahwa pengkreditan Pajak Masukan oleh PKP pembeli atas barang atau jasa kena pajak tidak dipengaruhi oleh status pelaporan faktur pajak dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN penjual.

Ketentuan baru ini memperjelas praktik di lapangan yang sebelumnya kerap menimbulkan ketidakpastian. Berdasarkan Surat Edaran DJP Nomor SE-45/PJ/2021, pengujian syarat formal dan material atas faktur pajak dapat dilakukan melalui dua cara.

Pertama, dengan menelusuri transaksi dasar (underlying transaction) yang mencakup arus barang, jasa, dokumen, maupun arus pembayaran. Kedua, dengan melakukan konfirmasi faktur pajak melalui sistem informasi DJP.

Namun dalam praktiknya, sebelum SE tersebut diterbitkan, masih sering terjadi perbedaan perlakuan. Dalam sejumlah kasus, jika hasil konfirmasi menunjukkan faktur pajak belum dilaporkan oleh penjual, PKP pembeli tidak diperkenankan mengkreditkan Pajak Masukan. Padahal, PKP pembeli sudah memenuhi persyaratan formal dan material serta telah membayar PPN secara nyata.

Dengan berlakunya PER 11/2025, kondisi ini tidak lagi terjadi. PKP pembeli tetap dapat mengkreditkan Pajak Masukan tanpa harus menunggu pelaporan penjual. Kebijakan ini dianggap sebagai bentuk perlindungan hak PKP sekaligus upaya menciptakan iklim perpajakan yang lebih adil.

Meski demikian, DJP juga mendorong PKP pembeli untuk melakukan pengecekan mandiri atas status faktur pajak. Pengecekan dapat dilakukan melalui sistem Coretax, dengan mengakses menu e-Faktur → Pajak Masukan. Pada daftar Pajak Masukan, wajib pajak dapat menggeser layar ke kanan untuk menemukan kolom Dilaporkan oleh Penjual. Status akan muncul sebagai “NO” bila faktur belum dilaporkan, dan “YES” jika sudah.

Dengan mekanisme baru ini, DJP berharap transparansi dan kepatuhan dapat meningkat, baik dari sisi PKP penjual maupun pembeli. Pada akhirnya, sistem perpajakan diharapkan semakin akuntabel tanpa merugikan pihak yang telah patuh membayar pajak. (alf)

 

DJP Tegaskan Tidak Ada Pembebasan Pajak untuk Pejabat Negara, ASN, dan TNI/Polri

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa pejabat negara, aparatur sipil negara (ASN), anggota TNI/Polri, maupun hakim tidak mendapatkan pembebasan pajak penghasilan (PPh). Penegasan ini disampaikan DJP melalui unggahan di akun resmi Instagram @ditjenpajakri, dikutip, Jumat (27/8/2025).

Dalam keterangan tersebut, DJP menekankan bahwa gaji dan tunjangan yang diterima pejabat negara maupun ASN sudah otomatis dipotong pajak. Pemotongan itu dilakukan melalui mekanisme perhitungan langsung dan disetor ke kas negara, sebagaimana berlaku di sektor swasta. Dengan demikian, penghasilan yang diterima merupakan penghasilan bersih setelah pajak.

“Segala tambahan penghasilan di luar gaji dan tunjangan dari APBN/APBD juga wajib dilunasi sendiri oleh yang bersangkutan dan dilaporkan dalam SPT Tahunan,” tulis DJP dalam unggahan tersebut.

Otoritas pajak juga mengingatkan, jika terdapat kekurangan pembayaran pajak, maka kewajiban pelunasan ada pada individu bersangkutan. Artinya, pejabat negara maupun ASN tetap harus menunaikan kewajiban perpajakan pribadi atas penghasilan tambahan seperti honorarium, usaha mandiri, maupun hasil investasi.

Dasar aturan mengenai hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010. Aturan tersebut menyebutkan bahwa PPh Pasal 21 atas gaji dan tunjangan bulanan yang menjadi beban APBN maupun APBD ditanggung pemerintah. Skema ini, menurut DJP, sejatinya sama seperti praktik di dunia usaha, di mana banyak perusahaan memberikan tunjangan pajak agar karyawan memperoleh penghasilan bersih.

“Praktik ini juga lazim di sektor swasta, di mana perusahaan menanggung atau memberikan tunjangan pajak sehingga karyawan bisa menerima penghasilan bersih setelah pajak,” jelas DJP.

Lebih lanjut, DJP mengingatkan bahwa seluruh penghasilan, baik dari anggaran negara maupun sumber lain, wajib tercatat dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Bila ada selisih kurang bayar, maka menjadi kewajiban pribadi pejabat negara, ASN, atau anggota TNI/Polri yang bersangkutan.

Penegasan ini sekaligus menjawab anggapan keliru di masyarakat mengenai adanya pembebasan pajak bagi pejabat negara dan aparatur negara. DJP menekankan, prinsip keadilan pajak tetap berlaku untuk semua pihak, tanpa kecuali. (alf)

 

Hingga Awal Agustus, 51 Ribu Wajib Pajak di Denpasar Barat Sudah Laporkan SPT

IKPI, Jakarta: Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Denpasar Barat mencatat capaian positif terkait kepatuhan pajak masyarakat. Sampai dengan 7 Agustus 2025, sebanyak 51.978 wajib pajak telah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, dengan 46.428 di antaranya menyampaikan SPT tepat waktu.

Kepala Seksi Pelayanan KPP Pratama Denpasar Barat, Luh Putu Ika Aryaningsih, menyampaikan apresiasi kepada masyarakat yang telah patuh memenuhi kewajiban perpajakannya.

“Kami wajib memberikan apresiasi kepada wajib pajak yang sudah melaporkan SPT tahunan maupun yang melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya tepat waktu,” ujar Ika, dikutip, Kamis (28/8/2025).

Menurutnya, meningkatnya kesadaran wajib pajak tidak lepas dari edukasi dan sosialisasi yang gencar dilakukan KPP Pratama Denpasar Barat. Hal ini juga sejalan dengan kampanye Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui tagline “Lebih Awal Lebih Nyaman” pada layanan e-Filing.

Ika menjelaskan kembali ketentuan batas waktu pelaporan SPT. Untuk wajib pajak orang pribadi, SPT tahunan paling lambat dilaporkan pada 31 Maret, sedangkan wajib pajak badan diberi waktu hingga 30 April setiap tahunnya.

Terkait teknologi perpajakan, ia mengingatkan bahwa meskipun DJP sudah meluncurkan sistem baru Coretax DJP, pelaporan SPT tahun pajak 2024 masih menggunakan e-Filing. Sementara itu, untuk pelaporan SPT tahun pajak 2025 mendatang, seluruh wajib pajak akan diarahkan menggunakan aplikasi Coretax DJP.

“KPP Pratama Denpasar Barat akan mengedukasi wajib pajak secara bertahap mengenai tata cara pelaporan SPT melalui Coretax DJP, agar transisi berjalan lancar,” pungkasnya.

Capaian tersebut menjadi bukti meningkatnya kepatuhan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan, sekaligus menegaskan pentingnya edukasi dan inovasi digital dalam mendukung sistem perpajakan modern. (alf)

 

 

 

 

 

Ustaz Abdul Somad Ungkap Pernah Ditagih Pajak YouTube: “Saya Tak Terima Seperak Pun”

IKPI, Jakarta: Pendakwah kondang Ustaz Abdul Somad (UAS) berbagi pengalaman pribadinya soal urusan pajak yang sempat membuatnya terkejut. Ia mengaku pernah dipanggil ke kantor pajak karena dianggap memiliki penghasilan fantastis dari kanal YouTube miliknya.

Menurut UAS, kala itu petugas pajak menagih pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dengan dasar perhitungan bahwa kanal YouTube miliknya menghasilkan sekitar Rp150 juta per bulan. “Saya datang karena taat pajak, orang bijak taat pajak. Saya datang sebagai warga negara memenuhi panggilan Kepala Pajak,” kata UAS dalam sebuah ceramah yang viral di media sosial.

Namun, UAS menegaskan bahwa dana dari kanal YouTube tersebut tidak pernah masuk ke rekening pribadinya. “Bapak cek ke mana duit itu mengalir dari YouTube. Tak seperak pun masuk ke rekening saya. Semua langsung dipakai untuk beli beras, minyak, kompor, dan kebutuhan lainnya,” jelasnya.

Tak hanya itu, UAS bahkan sempat memberikan nasihat kepada para pegawai pajak agar juga gemar bersedekah. “Kalian menghitung dan mengumpulkan uang, maka bersedekahlah di jalan Allah. Kalau tidak, zalim. Kalau zalim, neraka jahanam tempatnya,” ujar UAS.

Meski begitu, ia mengaku ucapannya kepada pegawai pajak tidak sekeras saat menyampaikan ceramah di depan jamaah.

UAS menilai, apa yang dialaminya seperti sebuah fitnah. Ia menekankan bahwa seorang muslim tidak boleh diam ketika difitnah. “Kalau kita difitnah, jangan diam. Kalau diam, fitnah akan merajalela. Setelah kita jelaskan, kalau orang tetap memfitnah, itu sudah bukan salah kita lagi,” tegasnya. (alf)

 

Buruh Desak Kenaikan PTKP dan Upah Minimum

IKPI, Jakarta: Gelombang aksi besar-besaran buruh akan mengguncang berbagai kota di Indonesia pada Kamis (28/8/2025). Puluhan ribu buruh dari berbagai wilayah dipastikan turun ke jalan dalam aksi serentak yang diprakarsai Partai Buruh bersama Koalisi Serikat Pekerja, termasuk Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Untuk skala nasional, pusat aksi dipusatkan di depan Gedung DPR RI dan Istana Kepresidenan Jakarta. Presiden KSPI, Said Iqbal, menyebutkan tidak kurang dari 10 ribu buruh dari kawasan industri Karawang, Bekasi, Bogor, Depok, Tangerang, hingga DKI Jakarta akan bergerak menuju ibu kota.

Salah satu isu utama yang akan digemakan adalah tuntutan kenaikan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP). Buruh meminta pemerintah menaikkan batas PTKP dari Rp4,5 juta menjadi Rp7,5 juta per bulan.

“Dengan kenaikan PTKP, ada selisih sekitar Rp3 juta yang bisa digunakan pekerja untuk kebutuhan sehari-hari. Uang itu tidak habis dipotong pajak, tetapi justru berputar di masyarakat untuk konsumsi. Konsumsi naik, daya beli meningkat, ekonomi ikut bergerak,” ujar Said Iqbal, Rabu (27/8/2025).

Iqbal juga menyoroti keluhan masyarakat terhadap berbagai beban pajak yang kian memberatkan. Ia mencontohkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di sejumlah daerah. “Di Pati, warga melawan karena beban PBB yang melonjak, sementara di Cirebon kenaikannya bahkan mencapai 1.000 persen. Sampai-sampai ada guyonan, Menteri Keuangan tega memungut pajak untuk kondangan,” sindirnya.

Menurutnya, kondisi ini ironis karena masyarakat kecil justru terbebani, sementara kelompok kaya diberi keringanan melalui program tax amnesty. “Di sinilah Partai Buruh bersama koalisi serikat pekerja menyerukan perlunya reformasi pajak perburuhan,” tegasnya.

Selain isu PTKP, para buruh juga membawa agenda lama yang dikenal dengan nama HOSTUM (Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah). Mereka menuntut kenaikan upah minimum nasional tahun 2026 sebesar 8,5–10,5%. Perhitungan tersebut, kata Iqbal, sudah mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 168 yang mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan indeks tertentu.

“Data menunjukkan inflasi dari Oktober 2024 hingga September 2025 diproyeksikan 3,26% dan pertumbuhan ekonomi 5,1–5,2%. Dengan demikian, kenaikan upah yang layak berada di kisaran 8,5–10,5%,” jelasnya.

Ia menambahkan, pemerintah kerap mengklaim tingkat pengangguran menurun dan kemiskinan berkurang. Jika benar demikian, seharusnya ada keberanian menaikkan upah demi menjaga daya beli buruh serta memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional.

Aksi 28 Agustus ini dipastikan berlangsung damai. Namun bagi buruh, momentum tersebut adalah ajang penting untuk memastikan suara mereka terdengar dan kepentingan pekerja tidak lagi terpinggirkan dalam kebijakan negara. (alf)

 

id_ID