Sri Mulyani Bahas Peningkatan Tax Ratio dengan Presiden Prabowo, Targetkan Capai 23%

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pertemuan dengan Presiden Prabowo Subianto pada Kamis (20/3/2025) sore hingga malam di Istana Negara membahas upaya peningkatan penerimaan negara. Fokus utama pembicaraan adalah bagaimana meningkatkan tax ratio (rasio pajak) dan revenue ratio (rasio penerimaan) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang selama satu dekade terakhir stagnan di kisaran 10%.

“Kita bahas mengenai bagaimana kita bisa meningkatkan tax ratio dan bagaimana upaya-upaya intensifikasi dan perbaikan administrasi,” kata Sri Mulyani usai pertemuan. Ia menegaskan bahwa pemerintah akan melakukan berbagai strategi untuk mendorong peningkatan rasio pajak, dengan target mencapai 23% pada akhir masa jabatan Presiden Prabowo.

Target ambisius ini diharapkan dapat mengembalikan pertumbuhan tax ratio dan revenue ratio yang selama ini dinilai masih rendah. Sri Mulyani menjelaskan bahwa langkah-langkah intensifikasi dan perbaikan administrasi perpajakan akan menjadi kunci utama dalam mencapai tujuan tersebut.

Sebelumnya, Sri Mulyani juga telah menyampaikan di hadapan Komisi XI DPR RI pada November 2024 bahwa Kementerian Keuangan memerlukan waktu untuk menyusun peta jalan (roadmap) guna mencapai target tax ratio 23%. Ia mengakui bahwa Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu, yang bertanggung jawab atas penerimaan negara, baru saja menjabat. Oleh karena itu, diperlukan waktu untuk menyelesaikan penyusunan strategi tersebut.

“Kalau bicarakan roadmap-nya sektornya mana saja, Pak Anggito baru jadi Wamen berapa minggu Pak? Jadi kami sedang siapkan juga,” ujar Sri Mulyani saat itu.

Pertemuan ini menandai komitmen kuat pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara melalui perbaikan sistem perpajakan. Dengan target yang cukup tinggi, pemerintah diharapkan dapat melakukan transformasi signifikan dalam administrasi dan kebijakan fiskal untuk mendongkrak tax ratio ke level yang diinginkan.

Presiden Prabowo Subianto sendiri telah menegaskan pentingnya peningkatan penerimaan negara untuk mendukung berbagai program pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Kolaborasi antara pemerintah dan Kementerian Keuangan akan menjadi kunci dalam mencapai target tersebut. (alf)

DJP Targetkan 16,21 Juta Wajib Pajak Laporkan SPT Tahunan 2025, Meski Rasio Kepatuhan Turun

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menargetkan sebanyak 16,21 juta wajib pajak (WP) melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) pada tahun 2025. Target ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2024 yang sebesar 16,04 juta WP.

Namun, rasio kepatuhan formal justru turun menjadi 81,92% dari total WP, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 85,75%.

Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, penurunan rasio kepatuhan formal ini disebabkan oleh pertimbangan jumlah wajib pajak aktif yang lebih realistis. “Penentuan target tersebut memperhitungkan jumlah wajib pajak yang aktif,” ujarnya baru-baru ini.

Hingga 20 Maret 2025 pukul 00.01, total SPT Tahunan PPh tahun pajak 2024 yang telah dilaporkan mencapai 9,67 juta SPT, tumbuh 11,09% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Rinciannya adalah 9,4 juta SPT Tahunan orang pribadi dan 275,9 ribu SPT Tahunan badan. Sebanyak 9,41 juta SPT disampaikan secara elektronik, sementara 264,8 ribu SPT disampaikan secara manual.

Di sisi lain, data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa setoran pajak per Februari 2025 hanya mencapai Rp187,8 triliun, terkontraksi 30,19% dibandingkan Februari 2024 yang sebesar Rp269,02 triliun. Penurunan ini menjadi tantangan tersendiri bagi otoritas pajak dalam menjaga penerimaan negara.

Dengan meningkatnya pelaporan SPT secara elektronik, DJP terus mendorong penggunaan teknologi untuk mempermudah proses administrasi perpajakan. Namun, upaya meningkatkan kepatuhan pajak dan mengoptimalkan penerimaan pajak tetap menjadi pekerjaan rumah yang perlu diperhatikan ke depannya. (alf)

 

 

Update 20 Maret! DJP Laporkan 9,67 Juta Wajib Pajak Telah Sampaikan SPT Tahunan

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melaporkan bahwa total wajib pajak yang telah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak tahunan mencapai 9,67 juta SPT hingga 20 Maret 2025 pukul 00.01 WIB. Angka ini menunjukkan pertumbuhan sebesar 11,09% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

“Sampai dengan 20 Maret 2025 pukul 00.01 total SPT Tahunan PPh tahun pajak 2024 yang sudah disampaikan adalah sebanyak 9,67 juta SPT atau tumbuh 11,09% dibanding periode yang sama tahun lalu,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Kemenkeu, Dwi Astuti, melalui keterangan tertulis, Kamis (20/3/2025).

Total tersebut terdiri atas 9,4 juta SPT Tahunan orang pribadi dan 275,9 ribu SPT Tahunan badan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 9,41 juta SPT disampaikan secara elektronik dan 264,8 ribu SPT disampaikan secara manual.

Pelaporan SPT Masih Gunakan Sistem Lama

DJP mengungkapkan bahwa pengisian SPT Pajak Penghasilan (PPh) untuk tahun pajak 2024 yang disampaikan pada awal 2025 masih menggunakan sistem lama melalui DJP Online. Wajib pajak dapat mengakses layanan DJP Online pada laman https://djponline.pajak.go.id.

Wajib pajak dapat memanfaatkan fitur e-Form maupun e-Filing untuk melaporkan SPT mereka. Khusus untuk layanan e-Filing, wajib pajak dapat mengisi dan mengirim SPT tahunan dengan mudah dan efisien.

Bagi wajib pajak orang pribadi berstatus pegawai, tersedia dua jenis formulir berdasarkan besaran penghasilan tahunan:

• Formulir 1770: Untuk wajib pajak dengan penghasilan di bawah Rp 60 juta per tahun.

• Formulir 1770 S: Untuk wajib pajak dengan penghasilan di atas Rp 60 juta per tahun.

Kedua formulir tersebut dapat diisi secara daring melalui laman DJP Online.

Penghapusan Sanksi Administrasi

DJP juga mengumumkan kebijakan penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan pembayaran dan/atau pelaporan pajak sehubungan dengan implementasi sistem Coretax yang masih mengalami gangguan.

Penghapusan ini dilakukan dengan tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) atas keterlambatan tersebut. Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 67/PJ/2025 yang telah ditetapkan oleh Dirjen Pajak Suryo Utomo pada 27 Februari 2025.

“Penghapusan sanksi administratif dilakukan dengan cara tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP). Dalam hal STP telah diterbitkan sebelum Keputusan ini berlaku maka akan dilakukan penghapusan sanksi administratif secara jabatan,” jelas DJP dalam keterangannya pekan lalu.

Dengan kebijakan ini, wajib pajak diberikan keringanan atas keterlambatan pembayaran dan/atau penyetoran pajak serta pelaporan atau penyampaian SPT. (alf)

 

Kepala OJK Dikukuhkan sebagai Relawan Pajak untuk Negeri

IKPI, Jakarta: Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi (Jabodebek), Edwin Nurhadi, resmi dikukuhkan sebagai Relawan Pajak untuk Negeri (Renjani) tahun 2025 di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Barat (Kanwil DJP Jakbar). Pengukuhan ini berlangsung dalam kegiatan audiensi bersama pimpinan unit eselon II Kemenkeu Satu se-Jakarta di Kantor OJK, Gedung Wisma Mulia 2, pada Rabu (19/3/2025).

Dalam kapasitasnya sebagai relawan pajak, Edwin berkomitmen untuk mendorong percepatan pertukaran data keuangan guna mendukung transparansi dan akuntabilitas sektor keuangan. Menurut Edwin, percepatan ini sangat penting agar informasi keuangan yang dibutuhkan untuk proses pengawasan perpajakan dapat diterima tepat waktu dan akurat.

“Kami akan berkoordinasi dengan OJK pusat guna memastikan kepatuhan perbankan dalam memberikan akses informasi keuangan yang dibutuhkan agar diterima tepat waktu dan akurat. Hal ini penting untuk mendukung transparansi dan akuntabilitas sektor keuangan,” ujar Edwin dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (20/3/2025).

Edwin menegaskan kesiapannya untuk berkontribusi aktif dalam mendorong kepatuhan perbankan melalui percepatan pertukaran data keuangan dengan tetap menjaga prinsip kehati-hatian.

Sebagai informasi, pertukaran data keuangan untuk kepentingan perpajakan telah diatur dalam beberapa payung hukum, di antaranya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 60 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi, PMK Nomor 70 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 25 Tahun 2019 tentang Pelaporan Informasi Nasabah Asing Terkait Perpajakan kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Kanwil DJP Jakbar, Farid Bachtiar, menyoroti tantangan yang dihadapi dalam memperoleh data perbankan secara tepat waktu yang berpotensi menghambat proses pengawasan perpajakan.

“Kami berharap ada mekanisme yang lebih efektif dan terintegrasi agar keterbukaan data perbankan bisa lebih optimal dalam mendukung kepatuhan pajak,” ujar Farid.

Farid optimistis kerja sama antara pihaknya dengan OJK akan mampu memperkuat stabilitas sistem keuangan, meningkatkan transparansi, dan mendukung penegakan hukum perpajakan yang lebih efektif.

Sebagai penutup, Farid mengimbau seluruh Wajib Pajak untuk segera melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan mereka. Batas waktu pelaporan adalah 31 Maret 2025 untuk Wajib Pajak orang pribadi dan 30 April 2025 untuk Wajib Pajak badan.

“Lapor hari ini, lapornya di djponline.pajak.go.id. Lapor lebih awal lebih nyaman,” imbaunya. (alf)

DJP Ingatkan Instrumen Investasi yang Wajib Dilaporkan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan masyarakat bahwa batas waktu pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi untuk masa pajak 2024 akan berakhir pada 31 Maret 2025. DJP menegaskan agar masyarakat segera melaporkan SPT mereka untuk menghindari denda keterlambatan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) DJP, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dwi Astuti, baru baru ini menjelaskan bahwa terdapat beberapa instrumen investasi yang wajib dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh orang pribadi tersebut. Ketentuan ini merujuk pada Lampiran II PER-36/PJ/2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010.

Instrumen Investasi yang Wajib Dilaporkan

Dwi Astuti memerinci beberapa instrumen investasi yang harus dicantumkan dalam pelaporan SPT Tahunan PPh orang pribadi, yakni:

• Saham yang dibeli untuk dijual kembali;

• Saham;

• Obligasi perusahaan;

• Obligasi Pemerintah Indonesia, seperti Obligasi Ritel Indonesia (ORI), surat berharga syariah negara, dan lainnya;

• Surat utang lainnya;

• Reksa dana;

• Instrumen derivatif, seperti right, waran, kontrak berjangka, opsi, dan lainnya;

• Penyertaan modal dalam perusahaan lain yang tidak berbentuk saham, seperti penyertaan modal pada commanditaire vennootschap (CV), firma, dan sejenisnya;

• Investasi lainnya.

Sanksi Keterlambatan

Dwi juga mengingatkan bahwa keterlambatan pelaporan SPT Tahunan PPh orang pribadi akan dikenakan denda sebesar Rp100 ribu. Sementara itu, Wajib Pajak badan yang terlambat melaporkan SPT Tahunan PPh akan dikenakan sanksi sebesar Rp1 juta. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

“Mendekati batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh tahun pajak 2024, kami mengimbau kepada seluruh masyarakat Wajib Pajak untuk segera melaporkan SPT tahunannya melalui kanal djponline.pajak.go.id. Karena lapor lebih awal, lebih nyaman,” ujar Dwi.

DJP memastikan kapasitas server DJPOnline tetap aman dan terjaga demi kenyamanan para Wajib Pajak dalam melakukan pelaporan SPT tahunan mereka. (alf)

 

Pemerintah Masih Kaji Perpanjangan Insentif PPh Final 0,5% untuk UMKM 

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Kementerian Keuangan saat ini tengah menggodok regulasi terkait perpanjangan kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) Final bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) sebesar 0,5% yang akan berlaku pada tahun 2025.

“Regulasi mengenai perpanjangan insentif PPh Final 0,5% masih dalam pembahasan internal Kementerian Keuangan,” ujar Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Selasa (18/3/2025).

Sementara menanti kejelasan regulasi tersebut kata Dwi, aturan yang berlaku saat ini berlandaskan pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan (PPh). Berdasarkan aturan tersebut, Wajib Pajak dengan peredaran bruto hingga Rp 4,8 miliar per tahun dikenakan PPh Final sebesar 0,5%.

Lebih lanjut, Dwi Astuti menjelaskan bahwa menurut Pasal 60 ayat (2) PP 55 Tahun 2022, penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 500 juta per tahun tidak dikenai PPh.

Dengan demikian, sebelum kebijakan perpanjangan ini diterbitkan, Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) UMKM yang terdaftar sejak tahun 2018 masih bisa memanfaatkan fasilitas tarif PPh Final 0,5% pada tahun 2025.

Saat ini, terdapat sekitar 1,23 juta WP UMKM yang membayar pajak sesuai dengan ketentuan umum Undang-Undang Pajak Penghasilan dengan menggunakan tarif normal.

Insentif PPh Final UMKM sebesar 0,5% hanya berlaku bagi Wajib Pajak orang pribadi atau badan di dalam negeri yang memiliki peredaran bruto usaha tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam satu tahun pajak.

Hingga kini, payung hukum perpanjangan insentif PPh Final 0,5% untuk UMKM belum juga diterbitkan. Hal ini menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku UMKM terkait besaran tarif pajak yang harus mereka bayarkan di tahun 2025, mengingat insentif tersebut dijadwalkan berakhir pada Desember 2024. (alf)

 

Penggratisan PPN, BPHTB dan PBG Rumah Diperpanjang hingga Juni 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah mengumumkan kebijakan baru yang memberikan keringanan biaya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam transaksi kepemilikan rumah.

Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, Maruarar Sirait, menjelaskan bahwa kebijakan ini meliputi pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang sebelumnya 5% menjadi 0%. Selain itu, retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) dihapuskan, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk rumah subsidi akan ditanggung pemerintah hingga Juni 2025.

“Kebijakan ini diminta oleh Presiden untuk segera disosialisasikan agar bisa dinikmati oleh masyarakat kecil,” ujar Maruarar setelah mendampingi Presiden Prabowo Subianto dalam acara buka puasa bersama di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (20/3/2025).

Selain memberikan keringanan biaya, pemerintah juga mempercepat proses perizinan pembangunan rumah subsidi. Jika sebelumnya pengurusan PBG membutuhkan waktu berhari-hari, kini di beberapa daerah proses tersebut menjadi jauh lebih singkat. Di Subang, misalnya, proses ini hanya memakan waktu kurang dari satu jam, sementara di Gianyar hanya memerlukan 14 menit dan di Badung 17 menit.

“Presiden Prabowo sangat pro-rakyat, kebijakan yang tadinya bayar menjadi gratis, yang tadinya lama menjadi cepat. Ini harus disosialisasikan dan dijalankan oleh semua kepala daerah di Indonesia,” kata Maruarar.

Untuk memastikan kebijakan ini berjalan dengan baik, pemerintah akan berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri agar kepala daerah segera menerbitkan peraturan kepala daerah (Perkada) sebagai payung hukum pelaksanaan kebijakan ini. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan akses kepemilikan rumah bagi MBR dan mempercepat realisasi program perumahan nasional. (alf)

 

Meski Libur Nasional DJP Umumkan Pelaporan SPT Pajak Tahun 2024 Tetap Bisa Dilakukan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengimbau masyarakat agar melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan lebih awal, mengingat adanya hari libur nasional dan cuti bersama yang bertepatan dengan periode batas akhir pelaporan SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) untuk tahun pajak 2024.

Batas waktu pelaporan SPT Tahunan WP OP adalah pada 31 Maret 2025, sementara bagi Wajib Pajak Badan, batas pelaporan adalah 30 April 2025.

Dengan potensi terganggunya aktivitas akibat libur nasional, DJP mengingatkan agar masyarakat tidak menunda kewajibannya hingga mendekati tenggat waktu.

Meski demikian, DJP menegaskan bahwa penyampaian SPT Tahunan tetap dapat dilakukan hingga batas waktu yang ditentukan melalui layanan elektronik pada laman DJP Online.

DJP menyoroti bahwa pembayaran pajak merupakan bentuk nyata partisipasi masyarakat dalam mendukung pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Oleh karena itu, melaksanakan kewajiban perpajakan secara tepat waktu menjadi kontribusi penting bagi kemajuan bangsa.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai perpajakan serta berbagai program dan layanan yang disediakan DJP, masyarakat dapat mengakses laman resmi www.pajak.go.id atau menghubungi Kring Pajak di 1500200. (alf)

 

DJP: Kinerja Coretax Meningkat, Latensi Akses Berkurang Drastis

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengklaim kinerja sistem Coretax mengalami peningkatan signifikan, yang ditandai dengan penurunan waktu tunggu atau latensi akses.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti menyampaikan bahwa evaluasi dan pemantauan menunjukkan peningkatan kinerja sistem Coretax. “Khususnya pada proses login, registrasi, penerbitan faktur pajak, pelaporan SPT, dan pembuatan bukti potong. Hal ini terlihat dari penurunan yang signifikan pada latensi di area layanan Coretax DJP pada periode akhir Februari,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (19/3/2025).

Sebagai contoh, latensi login yang sebelumnya mencapai 4,1 detik kini turun menjadi hanya 0,012 detik atau 12 milidetik. Sementara itu, latensi registrasi yang sebelumnya 5,8 detik kini hanya 0,045 detik atau 45 milidetik.

Proses penerbitan faktur pajak yang sebelumnya memakan waktu hingga 10 detik kini turun menjadi 1,46 detik. Adapun latensi pelaporan SPT yang semula 29,28 detik kini hanya memakan waktu 3,93 detik.

Dikatakan Dwi, hingga 16 Maret 2025, DJP mencatat bahwa Coretax telah mengadministrasikan sebanyak 136,96 juta faktur pajak untuk masa pajak Januari, Februari, dan Maret 2025. Rinciannya, sebanyak 61,23 juta faktur pajak diterbitkan untuk masa pajak Januari, 64 juta faktur untuk Februari, dan 11,69 juta faktur untuk Maret.

Sejak diluncurkan pada 1 Januari 2025, Coretax sempat dilaporkan mengalami berbagai kendala teknis yang menyulitkan pengguna, termasuk pengusaha yang menghadapi kesulitan dalam mencetak faktur pajak.

Ditempat terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengakui bahwa implementasi Coretax sempat mengganggu aktivitas usaha mereka. “Sekarang sudah mulai perbaikan. Awal-awal memang sangat mengganggu sekali karena kami tidak bisa membuat faktur pajak dan sebagainya,” ujarnya baru-baru ini. (bl)

 

Menkeu Klaim Penerimaan Pajak di Maret 2025 Alami Perbaikan Signifikan

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati melaporkan kinerja penerimaan pajak mengalami perbaikan per 17 Maret 2025. Dalam konferensi pers yang digelar di Kantor Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Selasa (19/3/2025) Sri Mulyani menyampaikan bahwa penerimaan pajak pada bulan Maret terus menunjukkan tren positif.

“Penerimaan bruto antara tanggal 1 sampai 17 Maret 2025 bahkan sudah menunjukkan pertumbuhan positif 6,6 persen,” ujar Sri Mulyani.

Sri Mulyani menyoroti bahwa capaian ini merupakan perkembangan signifikan dibandingkan catatan terakhir pada 28 Februari 2025, di mana penerimaan pajak bruto tercatat negatif 3,8 persen.

“Jadi, dalam kurun waktu 17 hari, terjadi turn around dari penerimaan bruto, yang sebelumnya negatif 3,8 persen pada akhir Februari menjadi positif 6,6 persen pada 17 Maret,” tambahnya.

Ia menjelaskan bahwa posisi penerimaan negara pada Februari 2025 dipengaruhi oleh faktor restitusi yang cukup besar sehingga data belum stabil. Realisasi penerimaan pajak pada Januari hingga Februari 2025 tercatat sebesar Rp187,8 triliun. Angka ini mengalami penurunan signifikan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp269,02 triliun.

Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menilai perlambatan ini merupakan hal yang normal. Ia menjelaskan bahwa secara tren historis, penerimaan pajak pada bulan Januari dan Februari cenderung menurun dibandingkan Desember tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh peningkatan penerimaan pada Desember akibat aktivitas Natal dan Tahun Baru, yang kemudian menurun seiring dengan kembali normalnya transaksi pada awal tahun.

Anggito juga mengungkapkan dua faktor utama yang memicu perlambatan penerimaan pajak pada Januari dan Februari 2025. Pertama, penurunan harga sejumlah komoditas utama seperti batu bara (-11,8 persen), brent (-5,2 persen), dan nikel (-5,9 persen).

Kedua, dampak kebijakan administratif, di mana sistem tarif efektif rata-rata (TER) yang diterapkan sejak Januari 2024 menimbulkan lebih bayar senilai Rp16,5 triliun yang harus dikembalikan pada Januari dan Februari 2025.

Selain itu, relaksasi penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dalam negeri (DN) turut berkontribusi pada perlambatan penerimaan pada periode tersebut. (alf)

 

id_ID