Cara Mudah Mengambil Kembali EFIN yang Lupa Sebelum Batas Akhir Pelaporan SPT Tahunan 2024

IKPI, Jakarta: Batas akhir pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) 2024 tinggal menghitung hari, yakni pada 31 Maret 2025. Bagi wajib pajak yang melaporkan SPT secara online, salah satu dokumen penting yang dibutuhkan adalah Electronic Filing Identification Number (EFIN). Namun, tak sedikit yang lupa nomor EFIN saat hendak melapor.

EFIN merupakan kode unik 10 digit yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai alat autentikasi dalam layanan perpajakan digital. Nomor ini juga diperlukan jika wajib pajak lupa kata sandi DJP Online. Lantas, bagaimana jika EFIN hilang atau terlupa?

Berikut beberapa cara mudah untuk mendapatkan kembali EFIN yang lupa:

1. Melalui Email

– Buat email baru dengan subjek “LUPA EFIN”.

– Lampirkan NPWP, nama lengkap, alamat email aktif, dan nomor telepon yang terdaftar.

– Cantumkan pernyataan: “Saya menyatakan bahwa saya adalah wajib pajak yang memiliki hak untuk mengakses informasi yang diminta…”

– Kirim ke lupa.efin@pajak.go.id.

2. Via Aplikasi M-Pajak

– Unduh dan buka M-Pajak.

– Tekan tombol EFIN di tampilan awal (tanpa perlu login).

– Masukkan data yang diminta dan lakukan verifikasi foto diri.

– Jika validasi berhasil, EFIN akan dikirim ke email terdaftar.

3. Live Chat di Website Pajak

– Kunjungi pajak.go.id dan klik Tanya Fisko (pojok kanan bawah).

– Pilih identitas (NPWP/NIK atau Non-NPWP), lalu pilih opsi “Lupa EFIN”.

– Ikuti instruksi petugas untuk mendapatkan EFIN.

4. Hubungi Kring Pajak (1500200)

– Telepon 1500200 atau nomor resmi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat.

– Pastikan Anda yang menelepon karena petugas akan melakukan verifikasi data.

– Jika berhasil, EFIN akan diberikan langsung.

5. Datang Langsung ke Kantor Pajak (KPP/KP2KP)

– Bawa dokumen seperti NPWP dan KTP untuk verifikasi.

– Layanan tersedia setiap hari kerja pukul 08.00–16.00 waktu setempat.

Setelah berhasil mendapatkan EFIN, pastikan untuk mencatat dan menyimpannya dengan aman agar tidak lupa di kemudian hari. Dengan langkah-langkah di atas, wajib pajak tetap bisa melaporkan SPT Tahunan tepat waktu tanpa kendala.  (alf)

Pemerintah Hapus Sanksi Keterlambatan Bayar dan Lapor Pajak Tahunan 2024

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan kebijakan relaksasi berupa penghapusan sanksi administratif bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang terlambat membayar Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 29 dan/atau menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh untuk Tahun Pajak 2024. Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Dirjen Pajak (Kepdirjen) Nomor 79/PJ/2025, yang dikeluarkan menyusul libur nasional panjang terkait Hari Suci Nyepi (Tahun Baru Saka 1947) dan Idulfitri 1446 H.

Berdasarkan aturan ini, WP OP tidak dikenakan sanksi administratif meskipun melakukan pembayaran PPh Pasal 29 dan pelaporan SPT Tahunan setelah batas jatuh tempo normal (31 Maret 2025), asalkan diselesaikan paling lambat 11 April 2025. Penghapusan sanksi ini juga berlaku tanpa penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menjelaskan bahwa kebijakan ini dilatarbelakangi oleh dua hal utama:

1. Jadwal Libur Panjang: Batas akhir pembayaran dan pelaporan pajak tahunan (31 Maret 2025) bertepatan dengan libur nasional hingga 7 April 2025, yang berpotensi mempersulit penyelesaian kewajiban pajak.

2. Keadilan dan Kepastian Hukum: Pemerintah ingin memastikan hak WP OP terlindungi dengan memberikan kelonggaran akibat keterbatasan hari kerja di akhir Maret.

“Kebijakan ini merupakan bentuk keadilan dan kepastian hukum bagi Wajib Pajak, khususnya dalam situasi libur panjang yang berdampak pada efisiensi waktu,” ujar Dwi Astuti, melalui keterangan tertulisnya, Selasa (25/3/2025).

Adapaun rincian ketentuan adalah:

– Periode Relaksasi: 31 Maret – 11 April 2025.

– Jenis Pajak: PPh Pasal 29 (kekurangan pembayaran pajak) dan SPT Tahunan PPh OP Tahun Pajak 2024.

– Sanksi Dihapuskan: Denda keterlambatan baik untuk pembayaran maupun pelaporan.

WP OP dapat mengunduh salinan lengkap Kepdirjen Pajak Nomor 79/PJ/2025 melalui laman resmi [landas pajak.go.id](https://landas.pajak.go.id).

Meski ada relaksasi, Dwi mengimbau WP OP tetap memanfaatkan periode perpanjangan ini dengan disiplin guna menghindari penumpukan antrean di akhir masa tenggat. Pelayanan online melalui e-Filing dan e-Billing juga dianjurkan untuk memudahkan proses.

Kebijakan ini diharapkan meringankan beban masyarakat sekaligus menjaga kepatuhan pajak di tengah momentum hari raya keagamaan. (bl)

 

 

 

Bank Dunia Soroti Buruknya Kinerja Penerimaan Pajak Indonesia

IKPI, Jakarta: Bank Dunia menyoroti kinerja penerimaan pajak Indonesia yang dinilai sangat buruk. Dalam laporan terbarunya berjudul Economic Policy: Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia yang dirilis pada 2 Maret 2025, Bank Dunia mengungkapkan bahwa penerimaan pajak Indonesia mengalami tren negatif yang mengkhawatirkan selama satu dekade terakhir.

“Kinerja Indonesia dalam pengumpulan penerimaan pajak sangat buruk,” tegas Bank Dunia dalam laporannya yang dikutip pada Selasa (25/3). Laporan tersebut menganalisis data perpajakan periode 2016-2021.

Menurut laporan tersebut, rasio penerimaan pajak Indonesia (tax ratio) terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2021 hanya mencapai 9,1 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara berpenghasilan menengah lainnya di kawasan regional. Sebagai perbandingan, Kamboja mencatatkan tax ratio sebesar 18 persen, Malaysia 11,9 persen, Filipina 15,2 persen, Thailand 15,7 persen, dan Vietnam 14,7 persen.

Bank Dunia juga mencatat bahwa dibandingkan dengan sepuluh tahun sebelumnya, angka tax ratio Indonesia pada 2021 mengalami penurunan sekitar 2,1 poin persentase. Krisis Covid-19 turut memperparah kondisi ini, dengan penurunan tajam ke 8,3 persen dari PDB pada 2020.

Salah satu akar masalah yang disoroti Bank Dunia adalah kinerja pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) Badan yang dinilai kurang optimal. Pada 2021, kontribusi kedua instrumen tersebut mencapai 66 persen dari total penerimaan pajak atau setara dengan 6 persen dari PDB. Meski lebih produktif dibandingkan instrumen pajak lain, angka tersebut masih relatif rendah dibandingkan negara-negara tetangga.

“Ini bisa dikaitkan dengan beberapa faktor, termasuk kepatuhan pajak yang rendah, tarif pajak efektif yang relatif rendah, dan basis pajak yang sempit,” jelas Bank Dunia.

Secara keseluruhan, Bank Dunia mencatat Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak hingga Rp944 triliun selama periode 2016-2021. Potensi ini meliputi Rp387 triliun dan Rp161 triliun yang hilang akibat masalah ketidakpatuhan (compliance gap) pada PPN maupun PPh Badan.

Sementara itu, Rp138 triliun serta Rp258 triliun lainnya raib akibat kebijakan perpajakan yang dipilih pemerintah (policy gap). Laporan ini menyoroti perlunya perbaikan kebijakan perpajakan dan peningkatan kepatuhan untuk mengoptimalkan penerimaan negara guna mendukung pembangunan dan stabilitas ekonomi Indonesia. (alf)

 

Zakat Bisa Kurangi Pajak Penghasilan, Begini Caranya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa zakat yang dibayarkan umat Muslim dapat mengurangi Pajak Penghasilan (PPh) yang wajib disetorkan ke negara. Penjelasan ini disampaikan melalui unggahan resmi akun Instagram @ditjenpajakri pada Selasa (25/3/2025).

Dalam unggahan tersebut dijelaskan bahwa pengurangan beban pajak dari zakat dilakukan melalui pengurangan penghasilan bruto wajib pajak untuk menghitung penghasilan neto pada Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan. Zakat yang dibayarkan tersebut harus dilaporkan pada tahun pajak saat zakat tersebut disetorkan.

“Zakat yang dibayarkan ke lembaga resmi dapat menjadi pengurang penghasilan bruto dalam perhitungan pajak,” tulis DJP dalam unggahannya.

Agar zakat dapat diakui sebagai komponen pengurang penghasilan bruto dalam penghitungan PPh, zakat tersebut harus disalurkan melalui badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan pemerintah. Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dalam penghitungan pajak serta menutup celah penghindaran pajak.

Pemerintah melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-3/PJ/2023 telah menetapkan berbagai badan atau lembaga sebagai penerima zakat yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Di antaranya adalah Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) mulai dari tingkat nasional hingga tingkat kabupaten/kota, serta Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (LAZIZ).

Setelah membayarkan zakat, masyarakat diimbau untuk menyimpan bukti pembayaran sebagai dokumen pendukung. Bukti pembayaran tersebut dapat berupa nota pembayaran, kuitansi, bukti transfer bank, struk Anjungan Tunai Mandiri (ATM), atau dokumen sejenis.

Bukti tersebut harus memuat informasi lengkap seperti nama lengkap wajib pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), jumlah pembayaran, tanggal pembayaran, nama badan atau lembaga amil zakat, serta tanda tangan petugas badan atau lembaga amil zakat jika pembayaran dilakukan langsung. Jika pembayaran dilakukan melalui transfer bank, bukti tersebut harus disertai validasi dari petugas bank.

Bukti pembayaran ini nantinya harus dilampirkan pada SPT Tahunan yang dilaporkan. Jika telah memenuhi ketentuan tersebut, zakat yang dibayarkan dapat dihitung sebagai pengurang penghasilan bruto sesuai ketentuan yang berlaku. (alf)

 

Kanwil DJP Jakarta Barat Catat Kinerja Positif dalam Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jakarta Barat mencatatkan kinerja positif dalam penerimaan pajak hingga akhir Februari 2025. Realisasi penerimaan pajak mencapai Rp10,79 triliun atau 13,73 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang ditetapkan sebesar Rp78,59 triliun. Angka tersebut menunjukkan pertumbuhan sebesar 5,02 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

Kepala Kanwil DJP Jakarta Barat, Farid Bachtiar, menyampaikan apresiasinya atas kerja sama yang baik dari seluruh pemangku kepentingan yang turut mendukung pencapaian tersebut. “Atas berkat rahmat Allah SWT serta doa, dukungan, dan kerja sama Bapak dan Ibu para pemangku kepentingan, kami dapat memenuhi amanah target penerimaan APBN 2024,” ujar Farid dalam keterangannya, Selasa (25/3/2025).

Keberhasilan tersebut didukung oleh kontribusi berbagai sektor usaha. Sektor perdagangan menjadi penyumbang terbesar dengan realisasi Rp4,94 triliun atau 45,85 persen dari total penerimaan. Sektor industri pengolahan berkontribusi sebesar Rp2,08 triliun atau 19,35 persen. Sektor pengangkutan dan pergudangan mencatatkan penerimaan Rp719,56 miliar atau 6,67 persen, sedangkan sektor konstruksi menyumbang Rp559,04 miliar atau 5,18 persen.

Selain berdasarkan sektor usaha, realisasi penerimaan pajak juga tercermin dalam jenis pajak yang dikumpulkan. Pajak Penghasilan (PPh) memberikan kontribusi terbesar dengan total penerimaan Rp5,60 triliun.

Sementara itu, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) mencapai Rp5,50 triliun. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) mencatatkan penerimaan Rp1,83 triliun, sedangkan pajak lainnya menyumbang Rp321,75 miliar.

Selain pencapaian di sektor penerimaan pajak, hingga akhir Februari 2025 jumlah Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan yang telah dilaporkan di Kanwil DJP Jakarta Barat mencapai 86.845 SPT atau 21,59 persen dari target 402.188 SPT. Secara nasional, realisasi pelaporan SPT Tahunan tercatat sebanyak 6.609.305 SPT.

Namun demikian, pemerintah menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan APBN 2025. Hingga 28 Februari 2025, total pendapatan negara baru mencapai Rp316,9 triliun. Angka ini turun signifikan sebesar Rp83,46 triliun atau 20,85 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2024, yang saat itu berhasil mengumpulkan Rp400,36 triliun. Dari total pendapatan tersebut, penerimaan perpajakan tetap menjadi kontributor utama, meski realisasinya masih jauh dari target yang ditetapkan.

Hingga 28 Februari 2025, penerimaan pajak hanya mencapai Rp187,8 triliun atau 8,6 persen dari target APBN 2025 yang sebesar Rp2.189,3 triliun. Angka ini turun drastis sebesar 30,19 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp269,02 triliun. (alf)

 

DJP Kalselteng Terbitkan 167 Surat Paksa

IKPI, Jakarta: Dalam upaya meningkatkan kepatuhan wajib pajak dan mengamankan penerimaan negara, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kalimantan Selatan dan Tengah (Kanwil DJP Kalselteng) bersama 10 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di wilayahnya melakukan penegakan hukum perpajakan. Salah satu langkah yang dilakukan adalah penagihan pajak melalui penyampaian 167 surat paksa secara serentak pada Kamis, 20 Maret 2025.

Total nilai ketetapan pajak yang ditagih mencapai Rp17.564.298.776. Dari total tersebut, KPP di Provinsi Kalimantan Tengah menetapkan nilai sebesar Rp5.107.970.522, sementara KPP di Provinsi Kalimantan Selatan lebih besar, yaitu Rp12.456.328.254. Beberapa KPP yang terlibat dalam penagihan ini meliputi KPP Pratama Banjarmasin, Banjarbaru, Barabai, Batulicin, Tanjung, dan KPP Madya Banjarmasin.

Penerbitan surat paksa ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000. Langkah ini diambil sebagai tindak lanjut terhadap wajib pajak yang masih belum membayar pajak meskipun telah diberikan surat teguran sebelumnya.

Kepala Kanwil DJP Kalselteng, Syamsinar, menegaskan bahwa pihaknya telah melakukan berbagai pendekatan persuasif sebelum tindakan ini diambil. “Saya harap seluruh wajib pajak dapat memenuhi kewajiban perpajakannya tepat waktu guna menghindari sanksi administratif maupun serangkaian tindakan penagihan. Dengan demikian, kepatuhan pajak dapat meningkat dan penerimaan negara untuk pembangunan nasional dapat terjaga,” ujarnya, Selasa (25/3/2025).

Selain sebagai tindakan hukum bagi wajib pajak yang belum patuh, langkah ini juga dimaksudkan untuk menegakkan keadilan bagi mereka yang sudah taat membayar pajak.

DJP bekerja sama dengan berbagai instansi terkait guna memastikan proses penagihan berjalan sesuai aturan. Jika setelah surat paksa diterbitkan wajib pajak masih tidak memenuhi kewajibannya, maka tindakan lebih lanjut seperti penyitaan dan pelelangan aset dapat dilakukan sesuai ketentuan yang berlaku. (alf)

 

Ekonom Sebut Insentif PPh 21 Dorong Daya Beli dan Pertumbuhan Ekonomi

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) baru saja menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025 yang memberikan insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 bagi pekerja di sektor industri padat karya. Kebijakan ini berlaku mulai Januari 2025 dan ditujukan untuk meringankan beban pajak pekerja di sektor-sektor seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki, furnitur, dan kulit. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan daya beli pekerja dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Ekonom Universitas Indonesia, Vid Adrison, turut mendukung kebijakan ini. Menurut Vid, pengurangan pajak akan meningkatkan daya beli masyarakat.

“Dengan keringanan pajak, masyarakat akan memiliki lebih banyak uang untuk dibelanjakan, yang akan mendorong perputaran ekonomi di tingkat nasional dan lokal,” ujarnya, Selasa (25/3/2025).

Vid menekankan pentingnya agar kebijakan ini tetap inklusif, dengan memperluas cakupan kepada pekerja dari berbagai sektor dengan penghasilan tertentu yang terdaftar dalam sistem perpajakan. Ia menilai bahwa kebijakan ini merupakan respons terhadap penurunan aktivitas di sektor-sektor padat karya.

Selain itu, Vid juga menyebutkan bahwa memperluas insentif PPh 21 ke sektor lain bukanlah hal yang mudah, meskipun diharapkan dapat terus berlanjut. Sektor lain yang juga layak mendapatkan perhatian, menurut Vid, adalah industri makanan dan minuman yang menyerap sekitar 4,3% tenaga kerja Indonesia, serta industri tembakau yang melibatkan sekitar 6 juta pekerja dari hulu hingga hilir.

Dengan perluasan kebijakan insentif PPh 21, diharapkan lebih banyak sektor yang dapat merasakan manfaatnya, serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan pekerja secara lebih merata.

Sementara itu, Pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, juga menyambut baik kebijakan ini. Menurut Achmad, kebijakan ini sangat relevan di tengah dampak gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda sejumlah sektor.

“Pengurangan pajak ini akan menguntungkan pekerja di sektor padat karya yang sebagian besar memiliki penghasilan di bawah UMP. Ini adalah langkah brilian untuk meringankan beban kelas pekerja,” kata Achmad di Jakarta, Senin (24/3/2025).

Ia juga menambahkan bahwa kebijakan ini tidak hanya bermanfaat bagi pekerja, tetapi juga untuk pengusaha, karena dapat mengurangi kewajiban mereka dalam membayar PPh 21. Hal ini pada akhirnya memungkinkan para pengusaha untuk merekrut lebih banyak tenaga kerja, yang berpotensi meningkatkan stabilitas ekonomi di masa mendatang. (alf)

DJP Beri Tanggapan atas Keluhan IDAI Terkait Kebijakan Pajak untuk Dokter

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP) memberikan tanggapan resmi terhadap empat poin keluhan yang diajukan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) terkait kebijakan perpajakan yang diterapkan pada dokter yang berpraktik di rumah sakit. Tanggapan ini disampaikan oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu Dwi Astuti, Senin (24/3/2025) .

Dwi Astuti menjelaskan bahwa pengenaan tarif atas penghasilan bruto berlaku apabila dokter memilih menggunakan norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) dalam menghitung pajak penghasilannya. “NPPN untuk dokter adalah 50%. Angka 50% ini dianggap sebagai biaya-biaya yang dikeluarkan dokter untuk memperoleh penghasilannya,” ujar Dwi.

Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa bagi dokter yang berpenghasilan di bawah Rp4,8 miliar per tahun dan memilih untuk menyelenggarakan pembukuan, bagi hasil dengan rumah sakit dapat dikurangkan sebagai biaya. Biaya ini termasuk biaya-biaya lain yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dokter.

Mengenai tarif pajak, Dwi menegaskan bahwa tarif progresif yang diatur dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) berlaku secara umum untuk seluruh wajib pajak orang pribadi atas penghasilan yang diterima dalam satu tahun. Tarif ini tidak bersifat khusus untuk profesi dokter, melainkan merupakan ketentuan yang berlaku bagi semua wajib pajak.

Tanggapan ini diberikan sebagai respons atas kekhawatiran IDAI yang menyoroti dampak kebijakan perpajakan terhadap praktik dokter di rumah sakit. IDAI sebelumnya menyatakan bahwa kebijakan tersebut dapat memberatkan para dokter, terutama dalam hal penghitungan pajak dan biaya operasional.

DJP berharap penjelasan ini dapat memberikan kejelasan dan transparansi terkait kebijakan perpajakan yang berlaku, sekaligus menjembatani komunikasi antara pemerintah dan para praktisi kesehatan. (alf)

Penerimaan Pajak Banten Capai Rp9,28 Triliun hingga Februari 2025

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Banten mencatat penerimaan pajak sebesar Rp9,28 triliun hingga 28 Februari 2025. Angka ini setara dengan 11,39 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang ditetapkan sebesar Rp81,48 triliun.

Kepala Kanwil DJP Banten, Cucu Supriatna, merinci bahwa realisasi penerimaan pajak tersebut terdiri atas:

– Pajak Penghasilan (PPh) nonmigas: 10,34 persen

– Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM): 11,61 persen

– Pajak Bumi Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB): 0,63 persen

– Pajak lainnya: 67,78 persen

“Kontribusi penerimaan pajak Kanwil DJP Banten ditopang oleh jenis pajak PPN impor 30,37 persen, PPN dalam negeri 29,74 persen, dan PPh Pasal 21 sebesar 10,43 persen,” ungkap Cucu dalam keterangan tertulis yang diterima pada Minggu (23/3/2025).

Selain itu, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Tigaraksa mencatat realisasi penerimaan pajak tertinggi di lingkungan Kanwil DJP Banten dengan capaian 13,65 persen dari target.

Pada kesempatan yang sama, Plt. Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Banten, Nirwala Dwi Heryanto, melaporkan bahwa penerimaan kepabeanan dan cukai mencapai Rp2,06 triliun atau 14,39 persen dari target sebesar Rp14,31 triliun hingga 28 Februari 2025.

Penerimaan bea masuk mencapai Rp1,61 triliun, yang didorong oleh komoditas kebutuhan bahan bakar, gula, kakao, peternakan, baja, batu bara, elektronik, gypsum, kimia, bahan kimia, kendaraan listrik, sepeda, alas kaki, dan ban. Sementara penerimaan bea keluar sebesar Rp210 miliar dipengaruhi oleh fluktuasi harga komoditas kelapa sawit dan produk turunannya. “Selebihnya, penerimaan kepabeanan dan cukai ditopang oleh penerimaan cukai,” jelas Nirwala.

Selain itu, Kepala Kanwil Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Provinsi Banten, Djanurindro Wibowo, melaporkan realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp13,92 miliar atau 16,35 persen dari target.

“Realisasi PNBP dari pengelolaan aset mencapai Rp4,56 miliar atau 11,66 persen dari target tahun 2025. Sementara itu, realisasi PNBP dari lelang mencapai Rp9,34 miliar atau 20,33 persen dari target dan PNBP dari piutang negara adalah Rp17,81 juta atau 26,58 persen dari target,” urai Djanurindro.

Keterangan tertulis ini disampaikan setelah digelarnya Konferensi Pers ALCO Regional Banten pada 20 Maret 2025. (alf)

 

 

DJP Kembali Ingatkan Sanksi bagi Wajib Pajak yang Lalai

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengingatkan bahwa wajib pajak yang tidak melaporkan SPT akan dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Dalam pasal 7, disebutkan bahwa:

• Denda bagi WP OP sebesar Rp 100 ribu

• Denda bagi wajib pajak badan sebesar Rp 1 juta

Namun, denda tidak dikenakan bagi wajib pajak yang telah meninggal dunia, tidak memiliki kegiatan usaha, berstatus warga negara asing yang tidak lagi tinggal di Indonesia, atau badan usaha yang tidak lagi beroperasi di Indonesia.

Apabila hasil pelaporan SPT Tahunan menunjukkan pajak yang kurang bayar, maka akan dikenakan sanksi bunga sebesar 2% per bulan dari jumlah pajak yang terlambat disetor. Perhitungan bunga dimulai sejak batas akhir penyampaian SPT hingga tanggal pembayaran dilakukan.

Selain itu, Pasal 39 UU KUP juga mengatur sanksi pidana bagi wajib pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT atau memberikan data yang tidak benar sehingga merugikan pendapatan negara.

Pelanggar dapat dikenakan hukuman penjara minimal 6 bulan hingga maksimal 6 tahun, serta denda minimal 2 kali hingga maksimal 4 kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayarkan.

Pembayaran denda tersebut akan ditagih melalui Surat Tagihan Pajak (STP) yang diterbitkan oleh DJP. Meskipun denda telah dibayarkan, wajib pajak tetap diwajibkan melaporkan SPT Tahunan Pajaknya. (alf)

 

 

 

 

 

 

 

id_ID