Pajak e-Commerce Dipungut Februari 2026, DJP: Sistem Sudah Siap, Tinggal Jalan!

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan pajak untuk pedagang daring atau e-commerce akan mulai dipungut pada Februari 2026. Kepastian itu disampaikan langsung oleh Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto saat ditemui di Kantor Pusat DJP, Jakarta, Kamis (9/10/2025).

“(Pajak e-Commerce) Februari 2026,” ujar Bimo kepada media.

Kebijakan ini merupakan kelanjutan dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang mengatur pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 0,5% bagi pedagang yang bertransaksi melalui platform e-commerce.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sempat menunda penerapan aturan tersebut. Penundaan itu dilakukan setelah menerima masukan dari pelaku usaha yang khawatir penerapan pajak terlalu cepat di tengah pemulihan ekonomi yang belum stabil.

“Kita tunggu dulu deh, paling enggak sampai kebijakan penempatan uang pemerintah Rp200 triliun di bank, kebijakan untuk mendorong perekonomian, mulai kelihatan dampaknya. Baru kita pikirkan nanti,” kata Purbaya di kantornya, Jumat (26/9/2025).

Meski begitu, Purbaya menegaskan infrastruktur dan sistem pemungutan sudah siap 100%. Uji coba pemungutan bahkan telah dilakukan di beberapa platform besar, dengan hasil yang memuaskan.

“Sistemnya sudah siap, sudah dites, bahkan beberapa sudah bisa melakukan pemungutan. Jadi tinggal pelaksanaannya saja yang menunggu waktu,” ujarnya.

Menurutnya, pelaksanaan pajak e-commerce ini akan dilakukan ketika daya beli masyarakat sudah kembali menguat, sehingga tidak menekan aktivitas jual beli online yang saat ini menjadi salah satu motor pertumbuhan ekonomi digital.

“Kita enggak mau ganggu dulu daya beli sebelum dorongan ekonomi benar-benar masuk ke sistem perekonomian,” jelasnya.

Dengan dimulainya pungutan pajak e-commerce pada Februari 2026, pemerintah berharap ekonomi digital Indonesia bisa tumbuh lebih sehat dan berkeadilan, di mana setiap pelaku usaha memiliki kontribusi yang sama terhadap penerimaan negara. (alf)

Coretax Gantikan e-Form, Begini Cara Baru Lapor SPT Badan 2025

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerapkan aplikasi Coretax sebagai platform utama pelaporan SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak 2025. Aturan baru ini juga berlaku bagi wajib pajak badan dengan peredaran bruto tertentu yang menggunakan tarif PPh final 0,5%.

Kewajiban pelaporan melalui Coretax ditetapkan lewat Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025, yang menggantikan sistem lama berbasis e-Form. Sistem baru ini menghadirkan perubahan besar dalam proses pelaporan, format lampiran, dan validasi data pajak.

DJP menyebut, pembaruan ini dilakukan agar pelaporan SPT badan menjadi lebih terintegrasi, efisien, dan minim kesalahan input. Namun, wajib pajak perlu memahami format dan fitur baru di Coretax agar proses pelaporan berjalan lancar.

Berikut tiga hal penting yang perlu diperhatikan:

1. Lampiran 5 Jadi Wajib Diisi di Coretax

Bagi badan usaha dengan peredaran bruto tertentu, laporan mengenai peredaran bruto dan PPh Final 0,5% kini sudah menyatu dalam formulir SPT Tahunan di Coretax.

Sesuai PMK Nomor 164 Tahun 2023 Pasal 9 ayat (1), laporan tersebut harus dicantumkan di Lampiran 5, yang terdiri dari:

• Bagian A: Rincian alamat tempat kegiatan usaha.

• Bagian B: Rekap peredaran bruto dan PPh final yang disetor sendiri atau dipotong pihak lain.

Lampiran 5 baru bisa diisi setelah wajib pajak menjawab “Ya” pada Induk SPT Bagian C.1a.

2. Cek Kesesuaian Bukti Potong di Sistem

Coretax menampilkan data pemotongan PPh Final 0,5% secara otomatis di Lampiran 3 (fitur prepopulated).

Meski begitu, wajib pajak tetap harus memeriksa apakah identitas pemotong dan jumlah potongan sudah benar.

Jika ada kesalahan, data bisa diubah, dihapus, atau ditambahkan manual (key-in). Nilainya harus sesuai dengan jumlah PPh final di Lampiran 5 Bagian B.

3. Catat Kelebihan Pajak dengan Benar

Apabila terdapat kelebihan pembayaran pajak, wajib pajak harus mengisi jumlah tersebut di Induk SPT Bagian H angka 21 huruf j.

Kelebihan ini dapat diajukan untuk pengembalian (restitusi) sesuai ketentuan pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang.

DJP menegaskan bahwa penggunaan Coretax merupakan bagian dari modernisasi administrasi perpajakan nasional.

Melalui sistem ini, pelaporan SPT Badan menjadi lebih akurat, transparan, dan terhubung langsung dengan data pemotongan pajak dari pihak lain.

Sebagai catatan, batas waktu pelaporan SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak 2025 jatuh pada 30 April 2026. Wajib pajak disarankan mempelajari panduan teknis Coretax dan mencoba simulasi pelaporan lebih awal agar terhindar dari kendala teknis menjelang tenggat. (bl)

Sebelas Provinsi Berlakukan Bebas Denda, hingga Penghapusan Tunggakan Pajak Kendaraan Bermotor

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Kabar gembira bagi para pemilik kendaraan bermotor! Sebanyak 11 provinsi di Indonesia resmi memberlakukan program pemutihan pajak kendaraan selama Oktober 2025. Program ini menjadi kesempatan emas bagi masyarakat untuk melunasi pajak kendaraan dengan lebih ringan bahkan banyak yang bisa bebas denda dan tunggakan lama.

Program pemutihan pajak ini menjadi salah satu strategi pemerintah daerah untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak sekaligus mengoptimalkan penerimaan daerah dari sektor kendaraan bermotor. Setiap provinsi memiliki kebijakan dan jadwal berbeda, namun intinya sama: membantu warga yang tertunggak pajak agar bisa menata ulang kewajibannya tanpa beban berat.

Berikut daftar lengkap provinsi dan fasilitas keringanan yang diberikan:

1. Aceh (1 Mei – 31 Desember 2025)

→ Bebas pajak progresif dan denda tunggakan kendaraan.

2. Banten (hingga 31 Oktober 2025)

→ Pembebasan pokok dan sanksi PKB, asalkan bayar pajak tahun berjalan.

3. Yogyakarta (hingga 31 Oktober 2025)

→ Bebas denda PKB, BBNKB, serta SWDKLLJ tahun sebelumnya.

4. Kalimantan Barat (hingga 20 Desember 2025)

→ Diskon pokok PKB, pajak progresif, dan gratis BBNKB.

5. Kalimantan Selatan (5 Januari – 31 Desember 2025)

→ Diskon besar untuk PKB dan BBNKB, bebas tunggakan dan denda—cukup bayar tahun berjalan.

6. Lampung (1 Agustus – 31 Oktober 2025)

→ Bebas tunggakan, denda, pajak progresif, BBNKB kendaraan bekas, serta bebas denda mutasi masuk.

7. Papua Barat (1 Juli – 20 Desember 2025)

→ Penghapusan sanksi administratif dan pengurangan pokok pajak & BBNKB.

8. Riau (hingga 15 Desember 2025)

→ Denda dan tunggakan dihapus, mutasi masuk dapat diskon, wajib pajak taat dapat potongan tambahan.

9. Kepulauan Riau (1 Juli – 15 November 2025)

→ Bebas sanksi administrasi PKB 100%, bebas denda SWDKLLJ, dan bebas BBNKB II.

10. Sulawesi Tenggara (hingga April 2026)

→ Fokus bantu pelajar dan mahasiswa pemilik kendaraan; bebas tunggakan dan denda PKB tahun 2024.

11. Kalimantan Utara (hingga Desember 2025)

→ Denda pajak dihapus, cukup bayar biaya administrasi STNK, BPKB, dan TNKB.

Cara Mengikuti Pemutihan Pajak Oktober 2025

Warga yang ingin memanfaatkan program ini cukup datang ke Samsat terdekat dengan membawa dokumen berikut:

• STNK dan fotokopinya

• BPKB asli dan fotokopi

• KTP sesuai nama pada STNK

• Bukti pembayaran pajak terakhir (jika ada)

• Formulir pemutihan dari petugas Samsat

Langkahnya mudah: isi formulir, serahkan dokumen, tunggu verifikasi, dan bayar pajak pokok kendaraan. Setelah lunas, simpan bukti pembayaran resmi sebagai tanda sah bahwa kendaraan Anda sudah bebas tunggakan. (alf)

Malaysia Tak Akan Tambah Pajak Baru, Tapi Subsidi dan Bansos Naik di Anggaran 2026

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Perdana Menteri Anwar Ibrahim bersiap mengumumkan Anggaran Malaysia 2026 yang diperkirakan akan memperbesar alokasi subsidi dan bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat. Kebijakan ini diambil untuk menahan tekanan biaya hidup, sekaligus menjaga keseimbangan fiskal di tengah perlambatan ekonomi.

Lembaga riset CGS International memproyeksikan bahwa pemerintah tidak akan memperkenalkan pajak baru berskala luas, melainkan fokus pada penyesuaian terbatas, seperti kenaikan cukai alkohol dan tembakau serta penerapan pajak karbon yang sudah diusulkan sebelumnya.

“Sebagian besar reformasi pajak besar telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, sehingga kami tidak mengharapkan adanya kejutan fiskal yang signifikan,” tulis CGS International dalam laporannya, dikutip Kamis (9/10/2025).

Anggaran baru ini akan menjadi penyempurna dari tiga anggaran sebelumnya, sekaligus mendukung rencana pembangunan lima tahun yang diumumkan pada Juli lalu. Fokus utama Anwar adalah memperkuat jaring pengaman sosial dan mendorong investasi di sektor strategis seperti semikonduktor serta transisi energi hijau.

Sepanjang tahun ini, pemerintah Malaysia telah menempuh sejumlah langkah reformasi fiskal penting, termasuk perluasan pajak penjualan dan jasa (SST) serta penyesuaian subsidi bahan bakar yang telah lama tertunda.

Meski reformasi berjalan, pertumbuhan penerimaan negara diperkirakan melambat pada tahun depan. Kontribusi dividen dari perusahaan energi milik negara Petronas diprediksi turun menjadi RM20–25 miliar, dari RM32 miliar tahun ini, akibat penurunan harga minyak global.

Petronas merupakan salah satu penopang utama penerimaan pemerintah federal, sehingga penurunan labanya menjadi tantangan tersendiri bagi Anwar dalam menjaga kesehatan fiskal.

Namun, dengan pertumbuhan ekonomi Malaysia yang masih mencapai 4,4% pada paruh pertama tahun ini, pemerintah optimistis bahwa kesejahteraan rakyat dan stabilitas fiskal dapat tetap berjalan beriringan di tahun depan. (alf)

Thailand Terapkan “Pajak Injak Tanah” Rp153 Ribu untuk Turis Asing

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Setelah bolak-balik tertunda sejak 2020, Thailand akhirnya bersiap memungut pajak wisata sebesar 300 baht (sekitar Rp153 ribu) bagi wisatawan mancanegara—termasuk turis asal Indonesia. Menteri Pariwisata dan Olahraga Thailand yang baru, Atthakorn Sirilatthayakorn, memastikan kebijakan ini akan dijalankan selama masa jabatannya, berapapun risikonya terhadap arus kunjungan turis.

Pajak yang dikenal secara lokal sebagai “Kha Yeap Pan Din” atau “pajak injak tanah” itu sebenarnya sudah sempat dijadwalkan berlaku tahun ini. Namun, mantan menteri sebelumnya, Sorawong Thienthong, menunda penerapannya tanpa kepastian waktu. Kini, Sirilatthayakorn menghidupkan kembali rencana itu dengan pendekatan baru: transparansi penggunaan dana.

“Kita harus mengomunikasikan secara jelas bagaimana wisatawan akan benar-benar diuntungkan,” tegas Sirilatthayakorn, dikutip dari The Bangkok Post, Kamis (9/10/2025).

Menurutnya, dana yang terkumpul dari pajak wisata akan dialokasikan untuk asuransi pengunjung, pemeliharaan destinasi, dan pengembangan infrastruktur pariwisata di seluruh negeri. Pemerintah Thailand menargetkan empat bulan ke depan untuk menyelesaikan kerangka hukum dan teknis, sebelum mengumumkan tanggal resmi penerapan. Meski begitu, media lokal memperkirakan pajak baru ini baru efektif akhir 2026.

Langkah ini dilakukan di tengah ambisi pemerintahan baru Thailand untuk mengembalikan jumlah turis internasional ke angka pra-pandemi, yakni hampir 40 juta kunjungan per tahun.

Namun, keputusan tersebut juga berpotensi membuat biaya liburan ke Thailand melonjak. Selain pajak wisata, para pejabat juga tengah menyiapkan kenaikan Biaya Layanan Penumpang (PSC) alias airport tax internasional.

Otoritas Penerbangan Sipil Thailand (CAAT) mengusulkan kenaikan hingga 100 baht (sekitar Rp50 ribu) per penumpang, dengan potensi tambahan pendapatan 3 miliar baht per tahun bagi operator bandara Thailand (AoT). Direktur CAAT, Manat Chawanaprayoon, menilai tarif saat ini 730 baht atau sekitar Rp367 ribu sudah terlalu rendah.

“Jika dibandingkan dengan Bandara Changi Singapura yang mengenakan biaya sekitar 1.400–1.500 baht, tarif kita masih jauh di bawah standar,” ujarnya.

CAAT juga tengah meninjau kemungkinan pengenaan biaya tambahan untuk penumpang transit dan transfer yang selama ini dikecualikan. Semua usulan tersebut akan diajukan ke Dewan Penerbangan Sipil Thailand (CAB) bulan ini.

Dengan dua kebijakan baru itu, Thailand tampak serius memonetisasi industri wisatanya demi menopang keuangan sektor pariwisata yang menjadi tulang punggung ekonomi negeri Gajah Putih tersebut. Namun bagi turis asing, terutama dari kawasan ASEAN, liburan ke Bangkok, Phuket, atau Chiang Mai sebentar lagi bisa terasa sedikit lebih mahal dari biasanya. (alf)

Naik ke Gunung Teide Tak Lagi Gratis, Tenerife Terapkan Pajak Ekologi Mulai 2026

Gunung Teide (Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Mulai tahun 2026, wisatawan yang ingin menaklukkan jalur-jalur pendakian populer di Taman Nasional Teide, Kepulauan Canary, Spanyol, harus merogoh kocek lebih dalam. Pemerintah setempat akan memberlakukan pajak ekologi bagi setiap pendaki yang ingin menikmati keindahan gunung berapi Teide-Pico Viejo ikon alam paling ramai dikunjungi di kepulauan itu.

Kebijakan ini bukan sekadar untuk menambah pundi-pundi daerah, tetapi juga menekan lonjakan wisata massal yang mulai mengancam kelestarian taman nasional tersebut.

“Teide adalah permata tersembunyi dan kebanggaan Tenerife. Dengan langkah ini, kami melindunginya untuk generasi hari ini dan esok,” ujar Presiden Tenerife Rosa Dávila, dikutip dari Euronews.

Kepulauan Canary selama ini dikenal sebagai “surga empat musim”. Berjarak sekitar 100 kilometer dari pantai barat laut Afrika, gugusan pulau vulkanik ini menawarkan cuaca hangat sepanjang tahun, panorama gunung, pantai eksotis, hingga hutan purba.

Tujuh pulau utama Tenerife, Fuerteventura, Gran Canaria, Lanzarote, La Palma, La Gomera, dan El Hierro menjadi magnet wisata dunia.

Menurut data lembaga riset pariwisata setempat, jumlah wisatawan mancanegara mencapai 1,23 juta orang pada Agustus 2025, naik 6% dibanding periode yang sama tahun lalu. Angka itu menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Namun, popularitas itu datang dengan konsekuensi: penumpukan pengunjung, sampah pendaki, dan erosi jalur alam.

Berapa Tarif Pajak Ekologi di Tenerife?

Besaran pajak yang akan diterapkan bervariasi tergantung jalur pendakian dan jenis tur:

• Pendakian tanpa pemandu ke jalur puncak Telesforo Bravo: €15 (Rp 289 ribu)

• Tur berpemandu resmi: €10 (Rp 193 ribu)

• Rute Montaña Blanca–Rambleta: €6 (Rp 115 ribu) pada hari biasa, dan €10 (Rp 193 ribu) saat akhir pekan dan hari libur

• Paket wisata penuh taman nasional: hingga €25 (Rp 482 ribu)

Penduduk lokal dan anak-anak di bawah 14 tahun dibebaskan dari kewajiban ini, sementara warga Kepulauan Canary mendapat diskon tarif khusus.

Tenerife bukan satu-satunya yang bergerak. Pulau lain seperti El Hierro sudah lama menerapkan model pariwisata terbatas—tanpa penerbangan langsung dan minim akomodasi—untuk menjaga keseimbangan ekologis.

Pemerintah Spanyol pun memperketat aturan sewa jangka pendek dan memberi kewenangan penduduk untuk menolak izin penginapan baru. Di sisi lain, Kepulauan Canary juga menerapkan denda besar bagi wisatawan yang mabuk di tempat umum serta menjadikan beberapa pantai bebas asap rokok.

Dengan pajak ekologi ini, Tenerife berupaya menegaskan bahwa keindahan alam tak boleh dibayar dengan kerusakan. Langkah kecil yang diharapkan menjadi contoh bagi destinasi wisata lain di dunia bahwa pariwisata berkelanjutan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. (alf)

Purbaya Langsung Handle DJP dan DJBC: Dua Wamen Cukup

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa kini turun langsung memegang kendali Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), setelah Anggito Abimanyu resmi dilantik sebagai Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Rabu (8/10/2025).

Dengan kepindahan Anggito ke LPS, jajaran Kementerian Keuangan kini hanya memiliki dua wakil menteri, yakni Suahasil Nazara dan Thomas Djiwandono. Meski kehilangan satu tangan kanan, Purbaya menegaskan hal itu tidak akan mengganggu kinerja kementeriannya.

“Untuk sementara saya handle dulu lah. Kelihatannya akan seperti ini terus, dua wamen cukup ngirit gaji juga,” ujar Purbaya sambil tertawa usai menghadiri pelantikan di Istana Kepresidenan.

Sebelumnya, Anggito bertanggung jawab mengoordinasikan penerimaan negara, termasuk sektor pajak dan kepabeanan. Kini, dua bidang vital tersebut langsung berada di bawah pengawasan Menkeu.

“Untuk sementara saya pegang dua-duanya, pajak dan bea cukai di bawah saya langsung,” kata Purbaya.

Ia menegaskan, rangkap jabatan tak mungkin dilakukan karena posisi Ketua LPS merupakan jabatan strategis yang menuntut fokus penuh.

“Dia sudah nggak Wamen lagi sekarang, dia jadi Ketua LPS. LPS kan gede, jangan dirangkap,” tegasnya.

Langkah Purbaya mengambil alih langsung dua direktorat besar ini dinilai sebagai bentuk komitmen menjaga momentum reformasi di sektor penerimaan negara. Meski beban kerja meningkat, Purbaya tampak percaya diri bahwa dua wakil menteri yang tersisa cukup untuk menopang kinerja Kemenkeu.

“Kita lanjut kerja seperti biasa. Reformasi pajak dan penguatan penerimaan negara tetap jalan,” tandasnya. (bl)

Pemerintah Terus Kejar Pengemplang Pajak, Purbaya: Baru Bayar Rp7 Triliun, Sisanya Akan Saya Paksa!

(Gambar ilustrasi: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Pemerintah tak akan memberi ampun bagi para pengemplang pajak. Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan bahwa negara akan menagih hingga rupiah terakhir dari total tunggakan pajak Rp60 triliun yang telah inkrah.

Hingga awal Oktober 2025, baru sekitar Rp7 triliun yang berhasil masuk ke kas negara. Namun, Purbaya memastikan sisanya akan segera diburu.

“Mungkin baru masuk hampir Rp7 triliun, tapi pembayarannya banyak yang bertahap. Nanti saya monitor lagi secepat apa mereka bayar,” ujar Purbaya usai Prasasti Luncheon Talk di Hotel Shangri-La Jakarta, Rabu (8/10/2025).

Meski realisasi masih jauh dari target, Menkeu tetap percaya diri seluruh piutang pajak itu bisa tertagih pada akhir 2025. Ia menyebut masih akan membahas strategi penagihan lanjutan bersama Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto.

“Saya harus bicara dulu dengan Dirjen Pajak seperti apa proses penagihannya. Tapi saya harapkan sebagian besar sudah masuk menjelang akhir tahun depan,” katanya.

Sebelumnya, Purbaya mengungkapkan bahwa tunggakan Rp60 triliun itu berasal dari sekitar 200 wajib pajak besar. Ia bahkan telah mengantongi daftar nama-nama mereka dan berjanji akan menindak tegas siapa pun yang tak kunjung melunasi kewajibannya.

“Itu yang enggak bayar pajaknya ada Rp60 triliun, sudah inkrah. Dalam waktu seminggu akan saya paksa bayar. Tahun ini pasti masuk ke kas negara. Kalau enggak, dia susah hidupnya di sini,” tegas Purbaya dalam kesempatan terpisah di Kompleks Parlemen, Jakarta, 23 September lalu.

Purbaya juga memastikan pemerintah akan menegakkan perlakuan yang adil bagi seluruh wajib pajak.

“Kita lakukan fair treatment. Kalau sudah bayar pajak, jangan diganggu sama sekali. Tapi kalau masih main-main, siap-siap saja ditindak,” ujarnya.

Langkah ini menegaskan komitmen Kementerian Keuangan di bawah Purbaya untuk membersihkan praktik pengemplangan pajak dan mengembalikan hak negara yang selama ini menguap. (alf)

Kemenkeu se-Jawa Timur Gelar Pekan Lelang Serentak, Rp11,4 Miliar Aset Penunggak Pajak Dilego

(Foto: DOK. Humas Kanwil DJP Jatim II)

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan se-Jawa Timur memperlihatkan langkah nyata dalam mengamankan penerimaan negara. Melalui sinergi antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), serta Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), digelar Pekan Lelang Serentak 2025 di Kantor Wilayah DJP Jawa Timur II, Rabu (8/10/2025).

Hadir dalam kegiatan tersebut, Kepala Kanwil DJKN Jawa Timur yang juga menjabat sebagai Kepala Perwakilan Kementerian Keuangan Provinsi Jawa Timur, Dudung Rudi Hendratna, didampingi Kindy Rinaldy Syahrir (Kakanwil DJP Jatim II), M. Samingun (Kakanwil DJP Jatim I), Untung Supardi (Kakanwil DJP Jatim III), serta Syaiful Islam (Kakanwil Ditjen Perbendaharaan Jawa Timur).

Kegiatan ini melibatkan seluruh unit eselon I Kementerian Keuangan di wilayah Jawa Timur. Selama sepekan, dari 6 hingga 10 Oktober 2025, sebanyak 69 lot aset dilelang secara daring melalui situs resmi lelang.go.id, dengan total nilai limit mencapai Rp11,4 miliar.

Aset yang dilelang berasal dari hasil eksekusi pajak dan nonpajak di 34 Kantor Pelayanan Pajak (KPP) serta 3 Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) di seluruh Jawa Timur. Barang yang dilego antara lain kendaraan bermotor, truk, mesin, logam mulia, perhiasan, tanah dan bangunan, sepeda, hingga barang elektronik.

(Sumber DJP)

“Lelang ini tidak hanya bertujuan menjual barang sitaan, tapi juga memastikan setiap rupiah piutang negara dapat ditagih dan dikembalikan untuk kepentingan masyarakat,” ujar Dudung Rudi Hendratna dalam dalam keterangan tertulisnya, Kamis (9/10/2025).

Ia mengapresiasi dukungan seluruh jajaran unit vertikal Kementerian Keuangan di Jawa Timur yang telah bersinergi menyukseskan kegiatan tersebut.

“Dari 69 lot aset yang dilelang, harapan kami semuanya laku dengan harga terbaik agar menambah penerimaan negara, termasuk dari sektor penagihan pajak. Terima kasih kepada seluruh jajaran Kemenkeu se-Jawa Timur atas kerja sama dan soliditasnya,” tambah Dudung.

Sementara itu, Kindy Rinaldy Syahrir, Kakanwil DJP Jawa Timur II, menjelaskan bahwa penjualan barang sitaan merupakan bagian dari penegakan hukum pajak setelah seluruh tahapan penagihan dijalankan.

“Ini sekaligus menjadi edukasi bagi masyarakat, bahwa DJP memiliki kewenangan melakukan penyitaan dan pelelangan aset penunggak pajak sesuai ketentuan hukum,” ujar Kindy.

Proses penagihan pajak hingga penyitaan aset dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 dan PMK-61/PMK.03/2023 tentang Tata Cara Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar.

Lebih lanjut Dudung menegaskan kembali pentingnya kolaborasi antarunit di lingkungan Kemenkeu se-Jawa Timur.

“Pekan Lelang Serentak ini adalah bukti nyata sinergi antarunit di bawah Kementerian Keuangan se-Jawa Timur. Semua bekerja bersama untuk memperkuat penerimaan negara melalui mekanisme yang transparan dan akuntabel,” pungkasnya. (alf)

Pemerintah Bongkar Celah Penggelapan Pajak Lewat Verifikasi Kolaboratif Beneficial Owner

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai menutup rapat ruang bagi praktik penggelapan dan penghindaran pajak yang memanfaatkan celah kepemilikan perusahaan berlapis. Salah satu jurus terbarunya adapah penerapan verifikasi kolaboratif terintegrasi terhadap data beneficial owner (pemilik manfaat korporasi).

Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas menegaskan, paradigma lama pelaporan berbasis self-declaration tidak lagi efektif. Pasalnya, tingkat kepatuhan korporasi baru mencapai 46,9%.

“Kita akan beralih dari paradigma self-declaration menuju verifikasi kolaboratif yang terintegrasi,” ujar Supratman, dikutip dari laman resmi Ditjen AHU, Rabu (8/10/2025).

Menurut politikus Partai Gerindra itu, keterbukaan identitas pemilik manfaat bukan hanya urusan administratif, tetapi fondasi penting untuk menciptakan investasi yang sehat dan sistem keuangan yang stabil. Ia menyoroti masih kuatnya informasi asimetris, di mana pemilik sebenarnya kerap bersembunyi di balik struktur legal perusahaan yang kompleks dan berlapis.

“Ini adalah ekosistem yang sedang kita bangun, bukan pekerjaan yang muncul tiba-tiba. Langkah ini merupakan penyempurnaan dari fondasi yang sudah dibangun sebelumnya,” ujarnya.

Sebagai wujud nyata, Kemenkumham telah menerbitkan Permenkum Nomor 2 Tahun 2025 yang mengatur mekanisme verifikasi dan pengawasan pemilik manfaat korporasi. Implementasinya dilakukan secara lintas lembaga, termasuk dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

“Kolaborasi ini adalah keniscayaan. Inilah esensi tata kelola kolaboratif setiap lembaga menjadi simpul verifikasi yang saling menguatkan dan menghapus ego sektoral,” tegas Supratman.

Sumbang Hampir Rp900 Miliar ke Kas Negara

Langkah kolaboratif tersebut terbukti berdampak nyata. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengonfirmasi bahwa pemanfaatan data beneficial owner dan legal owner dari Ditjen AHU berhasil mengamankan penerimaan pajak senilai Rp896,6 miliar sejak 2020 hingga September 2025.

“Aliran data dari Ditjen AHU berkontribusi signifikan terhadap pengamanan penerimaan negara,” ujar Dirjen Pajak Bimo Wijayanto, Jumat (19/9/2025).

Data tersebut membantu DJP menelusuri praktik penghindaran pajak dan pencucian uang yang selama ini kerap disamarkan melalui kepemilikan tidak langsung.

Sinergi kedua lembaga itu kini diperkuat lewat perjanjian kerja sama (PKS) baru antara Dirjen Pajak Bimo dan Dirjen AHU Widodo yang diteken Kamis (18/9/2025). PKS tersebut merupakan penyempurnaan dari dua kerja sama sebelumnya yakni penguatan basis data beneficial ownership (2019–2024) dan pemanfaatan Pangkalan Data AHU Online untuk mendukung penerimaan negara (2020–2025).

“Penandatanganan PKS ini merupakan tindak lanjut dari Nota Kesepahaman Induk antara Kementerian Hukum dan HAM dengan Kementerian Keuangan mengenai sinergi pelaksanaan tugas dan fungsi di bidang hukum dan keuangan negara,” ungkap Widodo.

Transformasi ini menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia sedang memasuki era baru dalam tata kelola perpajakan di mana transparansi dan kolaborasi lintas lembaga menjadi senjata utama untuk menutup setiap celah penghindaran pajak.

Dengan verifikasi kolaboratif beneficial owner, pemerintah bukan hanya menjaga integritas sistem perpajakan, tetapi juga memastikan bahwa setiap rupiah pajak yang seharusnya masuk ke kas negara, benar-benar sampai di sana. (alf)

id_ID