Kemenkeu Pertimbangkan Ubah Skema TER, Dampak Lebih Bayar Jadi Sorotan

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal. (Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah membuka ruang untuk merevisi skema Tarif Efektif Rata-Rata (TER) yang digunakan dalam penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 karyawan. Setelah hampir dua tahun diterapkan, kebijakan ini dinilai perlu dikaji ulang lantaran menimbulkan efek domino terhadap penerimaan negara.

“Ini proses normal saja. Setelah jalan dua tahun tentu perlu dievaluasi. Apakah akan direvisi atau tidak nanti tergantung hasil evaluasi. Sekarang lagi dievaluasi,” ujar Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, dikutip dari Pajak.com, Sabtu (11/10/2025).

Senada, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengonfirmasi bahwa pihaknya tengah melakukan evaluasi terhadap Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023, yang menjadi dasar penerapan skema TER.

“Kita sedang evaluasi,” tegas Bimo saat ditemui di Kantor Pusat DJP usai penandatanganan kerja sama antara DJP, BPKP, dan PPATK, Rabu (9/10/2025).

Skema TER mulai berlaku pada 1 Januari 2024, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2023 dan PMK 168/2023. Tujuannya sederhana: menyederhanakan proses pemotongan PPh Pasal 21 oleh pemberi kerja, dengan menggunakan tarif efektif rata-rata berdasarkan kelompok penghasilan.

Melalui sistem ini, masa Januari hingga November menggunakan tarif TER, sementara bulan Desember kembali memakai tarif progresif Pasal 17 Undang-Undang PPh. Tarif tersebut dibedakan berdasarkan status PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) dan tanggungan wajib pajak.

Namun, implementasi di lapangan menunjukkan hasil tak seindah harapan. Bagi karyawan dengan penghasilan tidak tetap, sistem ini justru menimbulkan ketidaksesuaian antara pajak yang dipotong dengan pajak yang seharusnya terutang. Akibatnya, muncul banyak kasus lebih bayar (overpayment).

Kemenkeu mencatat, penerapan TER sejak awal 2024 telah mengakibatkan lebih bayar PPh Pasal 21 sebesar Rp16,5 triliun hingga akhir 2024. Jumlah itu menjadi salah satu faktor yang menekan realisasi penerimaan pajak pada kuartal I 2025.

Kondisi tersebut membuat DJP kebanjiran permohonan restitusi dari karyawan, sementara sisi fiskal pemerintah ikut tertekan karena kelebihan potongan pajak harus dikembalikan.

“TER memang dimaksudkan untuk menyederhanakan administrasi, tapi kita juga harus pastikan tidak menimbulkan distorsi pada penerimaan,” kata Yon Arsal.

Meski evaluasi tengah berjalan, pemerintah belum memutuskan apakah skema TER akan dihapus, disesuaikan tarifnya, atau hanya diperbaiki mekanismenya. Yon menegaskan, keputusan akhir akan mempertimbangkan masukan dari kalangan profesional, pemberi kerja, hingga asosiasi konsultan pajak.

“Yang pasti, kebijakan ini akan terus diarahkan agar adil bagi wajib pajak dan tidak mengganggu stabilitas penerimaan negara,” ujarnya.

Jika hasil evaluasi mengarah pada perubahan, tahun 2026 bisa menjadi momen lahirnya TER versi baru lebih sederhana di administrasi, namun lebih akurat dalam menakar pajak sesungguhnya. (alf)

DJP Kembali Ingatkan WP Segera Aktivasi Akun: Lapor SPT 2025 Wajib Pakai Coretax

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kembali mengingatkan wajib pajak agar segera mengaktifkan akun Coretax, sistem administrasi perpajakan terbaru yang mulai wajib digunakan dalam pelaporan SPT Tahunan Tahun Pajak 2025.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menegaskan bahwa pelaporan SPT tahun depan akan menjadi momen perdana bagi seluruh wajib pajak—baik individu maupun badan usaha—untuk beralih ke sistem digital terpadu tersebut.

“SPT tahun ini adalah yang pertama kali menggunakan Coretax. Kami di DJP akan berkolaborasi dengan seluruh KPP untuk melakukan sosialisasi yang efektif agar tidak terjadi kendala,” ujar Yon, Jumat (11/10/2025).

Yon menjelaskan, aktivasi akun Coretax sangat mudah, hanya membutuhkan beberapa langkah sederhana seperti mengganti password dan passphrase. Setelah aktif, wajib pajak dapat langsung mengakses seluruh layanan digital DJP, termasuk pelaporan SPT.

“Prosesnya cepat dan sederhana. Begitu akun aktif, wajib pajak sudah bisa mengisi dan menyampaikan SPT tahunan melalui Coretax,” jelasnya.

Hingga saat ini, sebagian pengguna Coretax masih berasal dari kalangan korporasi, khususnya perusahaan pemotong pajak dan penerbit faktur. Namun mulai Maret 2026, DJP menegaskan bahwa semua wajib pajak tanpa kecuali wajib menggunakan sistem baru ini.

“Selama ini baru sebagian perusahaan yang memakai Coretax. Tahun depan, waktunya seluruh masyarakat ikut beralih,” kata Yon.

Ia juga mengingatkan bahwa banyak wajib pajak baru sebatas memvalidasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) di sistem DJP tanpa melanjutkan ke aktivasi akun. Padahal, tahap ini menjadi syarat utama untuk bisa mengakses dan melaporkan SPT.

“Sekarang DJP mendorong masyarakat untuk lanjut aktivasi akun. Ini langkah awal agar SPT bisa disampaikan tanpa hambatan,” pungkasnya.

Penerapan penuh Coretax pada tahun depan diharapkan membuat sistem perpajakan nasional lebih modern, transparan, dan efisien, sekaligus memperkuat kepercayaan publik terhadap transformasi digital DJP. (alf)

Bukan Cuma 200 WP! Kemenkeu Beber Ribuan Penunggak Pajak, Nilainya Capai Puluhan Triliun

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan mengungkap fakta baru di balik kasus penunggakan pajak yang sedang disorot publik. Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, menegaskan bahwa jumlah penunggak pajak bukan hanya 200 wajib pajak (WP) seperti yang sebelumnya diungkap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.

“Yang menunggak pajak itu jumlahnya banyak, ribuan,” ujar Yon, Jumat (10/10/2025).

Yon menjelaskan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) secara rutin melakukan penagihan piutang pajak. Namun, sejumlah kasus dengan nilai besar tergolong sulit diselesaikan karena kompleksitas proses hukum dan kondisi wajib pajak yang beragam.

“Kenapa kemudian sebagian ada yang lama? Ini bukan berarti dibiarkan, tapi ada proses. Mungkin wajib pajaknya sudah pailit, atau masih dalam tahapan hukum yang cukup panjang,” katanya.

Ia menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), piutang pajak baru tercatat resmi jika surat ketetapan pajak dari DJP disetujui oleh wajib pajak. Jika tidak, proses bisa berlanjut ke sengketa di pengadilan hingga tingkat Mahkamah Agung (MA).

“Kalau sudah inkrah, baru kita tagih. Penagihan dilakukan oleh masing-masing Kantor Pelayanan Pajak (KPP), tapi untuk kasus besar bisa langsung ditangani DJP pusat,” tegas Yon.

Ia menambahkan, pemerintah menargetkan penyelesaian penagihan piutang pajak hingga akhir tahun ini. “Kita selesaikan mana yang bisa cepat diselesaikan. Ada yang signifikan jumlahnya, ada juga yang kecil-kecil, tapi semuanya akan kita kejar,” ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan bahwa ada tunggakan pajak senilai Rp60 triliun dari sekitar 200 wajib pajak besar. Dari jumlah itu, pemerintah baru berhasil menagih sekitar Rp7 triliun.

“Mungkin baru masuk hampir Rp7 triliun, tapi pembayarannya ada yang bertahap. Saya akan terus monitor progresnya,” ujar Purbaya usai acara Prasasti Luncheon Talk di Hotel Shangri-La Jakarta, Rabu (8/10/2025).

Purbaya memastikan dirinya telah mengantongi daftar nama para pengemplang pajak tersebut dan berkomitmen mengejar seluruh tunggakan hingga masuk ke kas negara.

“Saya sudah minta Dirjen Pajak untuk percepat prosesnya. Harapan saya, sebagian besar bisa masuk sebelum akhir tahun ini,” tegasnya.

Dengan ribuan penunggak pajak dan nilai tunggakan yang menggunung, Kementerian Keuangan kini menghadapi tantangan besar untuk memastikan kepatuhan pajak benar-benar ditegakkan terutama di kalangan wajib pajak besar yang selama ini kerap luput dari sorotan publik. (alf)

Menkeu Purbaya ‘Warning’ Investor: Insentif Pajak Hanya untuk Pasar Modal yang Bersih dari Saham Gorengan!

(Foto: Istimewa)

IKPI Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa memberikan sinyal tegas kepada pelaku pasar modal yang tengah mengharapkan keringanan pajak atas transaksi saham. Menurutnya, insentif pajak tidak akan diberikan begitu saja tanpa adanya komitmen nyata untuk menjaga integritas dan transparansi di pasar modal.

Purbaya mengungkapkan, dirinya telah menerima sejumlah usulan dari investor saat menghadiri pertemuan di Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (9/10/2025). Salah satu yang paling banyak disuarakan adalah pengurangan pajak transaksi jual-beli saham.

“Jangan dua kali penarikan pajak. Sekali aja, misalnya saat transaksi jual. Tapi saya baru bisa dukung itu kalau mereka bekerja lebih keras menjaga integritas pasar modal,” tegas Menkeu dalam acara Media Gathering APBN 2026 di Bogor, Jumat (10/10/2025).

Namun di balik permintaan tersebut, Purbaya justru menyoroti masalah klasik yang masih membayangi pasar modal Indonesia praktik ‘goreng saham’ alias manipulasi harga saham.

Menurutnya, fenomena itu bukan barang baru. Ia bahkan menyinggung kasus besar seperti Asabri dan Jiwasraya yang terjerat permainan saham gorengan hingga berujung pidana.

“Saham gorengan itu sudah ada puluhan tahun. Asabri juga kena, Jiwasraya juga sebagian di sana. Itu praktik yang merusak kepercayaan investor,” ujarnya blak-blakan.

Istilah saham gorengan mengacu pada pergerakan harga saham yang melambung tinggi secara tidak wajar akibat manipulasi oleh pihak tertentu. Modus ini membuat investor kecil rentan menjadi korban karena terjebak dalam euforia harga yang tampak menggiurkan.

Karena itu, Purbaya menegaskan, pemberian insentif pajak baru akan dipertimbangkan jika pasar modal berhasil bersih dari praktik curang tersebut.

“Kami tidak sedang mendorong pasar modalnya, tapi mendorong ekonominya. Kalau ekonomi sehat, otomatis saham juga ikut naik,” ujarnya menambahkan.

Sebagai informasi, sesuai ketentuan yang berlaku, penjualan saham oleh individu atau badan dalam negeri dikenakan pajak penghasilan (PPh) final sebesar 0,1% dari nilai bruto transaksi.

Langkah Purbaya ini menjadi pesan kuat bagi investor dan otoritas pasar untuk memperkuat tata kelola dan transparansi, agar insentif pajak yang diidam-idamkan tidak justru menjadi celah baru bagi permainan harga saham yang merugikan banyak pihak. (alf)

Sinergi DJP-PPATK-BPKP Diklaim Bisa Hasilkan Rp 18,47 Triliun

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Kolaborasi erat antara Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terbukti bukan sekadar seremoni. Sepanjang 2020–2025, sinergi tiga lembaga strategis itu berhasil menambah penerimaan negara hingga Rp18,47 triliun.

Capaian tersebut disampaikan dalam acara penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara DJP, PPATK, dan BPKP di Aula Cakti Buddhi Bhakti, Gedung Mar’ie Muhammad, Jakarta, Kamis (9/10). Acara ini turut dihadiri langsung oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menegaskan pentingnya kolaborasi lintas lembaga untuk memperkuat tata kelola keuangan negara.

Penandatanganan kali ini mencakup dua perjanjian utama: antara DJP dan PPATK, serta DJP dengan BPKP. Kerja sama tersebut meliputi pembentukan satuan tugas (Satgas), pertukaran data strategis, hingga asistensi penanganan perkara penting di bidang penegakan hukum pajak dan keuangan negara.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyebut langkah ini sebagai bagian dari komitmen pemerintah memperkuat integritas fiskal melalui pemanfaatan data hasil analisis keuangan dari PPATK dan hasil audit pengawasan dari BPKP.

“Dengan terjalinnya kerja sama ini, koordinasi antarinstansi diharapkan semakin solid. Tujuan akhirnya jelas: peningkatan penerimaan negara dan perlindungan sumber daya alam dapat dilakukan secara optimal serta berintegritas,” ujar Bimo, dikutip Jumat (10/10/2025).

Lebih dari sekadar menambah penerimaan pajak, pembentukan Satgas ini juga sejalan dengan strategi nasional dalam memperkuat pengawasan kawasan hutan dan menjaga kedaulatan sumber daya alam agar dikelola secara berkelanjutan.

Bimo memberikan apresiasi kepada seluruh tim dari DJP, PPATK, dan BPKP atas kontribusi nyata dalam mendukung transparansi dan akuntabilitas keuangan negara.

Ia menegaskan, kolaborasi ini bukan proyek jangka pendek, melainkan fondasi baru dalam membangun sistem keuangan negara yang tangguh, bersih, dan berpihak pada kepentingan publik.

“Sinergi ini bukan hanya tentang angka Rp18 triliun, tetapi tentang membangun kepercayaan dan memperkuat fondasi ekonomi Indonesia ke depan,” pungkasnya. (alf)

Menkeu Purbaya Bahas Kompensasi Energi Bareng Bahlil dan Dony Oskaria di Kantor DJP

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara. (Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menerima kunjungan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia serta Kepala Badan Pengaturan (BP) BUMN Dony Oskaria di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Jumat (10/10/2025).

Pertemuan tertutup yang berlangsung selama sekitar satu jam sejak pukul 10.00 WIB itu turut dihadiri Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara beserta jajaran. Ketiganya membahas isu panas: kompensasi energi yang nilainya mencapai triliunan rupiah.

“Kita bahas mengenai pembayaran kompensasi, kompensasi energi,” ujar Suahasil kepada wartawan usai rapat.

Menurut Suahasil, pembahasan ini merupakan tindak lanjut dari rapat sebelumnya antara Menkeu Purbaya dan Komisi XI DPR RI. Fokus utama adalah tagihan kompensasi tahun 2024 yang masih menggantung dan perlu segera diselesaikan.

“Karena ada angka 2024 yang sudah ditetapkan oleh BPK. Itu tadi sudah dilaporkan, termasuk untuk triwulan I dan triwulan II. Semuanya berkaitan dengan pembayaran kompensasi energi,” jelasnya.

Suahasil memastikan pemerintah segera menuntaskan kewajiban tersebut setelah proses verifikasi dan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) rampung.

“Untuk kompensasi triwulan II sudah diselesaikan oleh BPK, jadi bisa segera dibayarkan kepada Badan Usaha. Angkanya sudah ada, nanti disampaikan dan dibayarkan,” tegasnya.

Pembayaran kompensasi energi menjadi perhatian serius pemerintah mengingat beban subsidi dan kompensasi energi kerap menekan anggaran negara. Dengan penyelesaian tagihan 2024 dan triwulan II ini, diharapkan hubungan keuangan antara pemerintah dan badan usaha energi bisa kembali seimbang menjelang penutupan tahun anggaran. (bl)

Menkeu Purbaya: Pajak E-Commerce Baru Jalan Kalau Ekonomi Tumbuh di Atas 6 Persen

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, rencana penerapan pajak terhadap kegiatan niaga elektronik (e-commerce) belum akan diberlakukan dalam waktu dekat. Menurutnya, kebijakan tersebut baru akan dijalankan jika perekonomian nasional telah pulih sepenuhnya dan tumbuh di atas 6 persen.

“Saya bilang akan kita jalankan kalau ekonomi sudah recover. Mungkin kita sudah akan recover. Tapi belum recover fully. Let’s say ekonomi tumbuh 6 persen atau lebih, baru saya pertimbangkan,” ujar Purbaya di Jakarta, Kamis (9/10/2025).

Ia juga menegaskan bahwa keputusan untuk memulai pemungutan pajak terhadap sektor tertentu sepenuhnya berada di tangan Menteri Keuangan. “Kan menterinya saya,” ucapnya.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menyiapkan skema pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 bagi pedagang daring sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025. Namun, kebijakan itu belum diberlakukan menunggu kondisi ekonomi yang dinilai lebih siap.

Pajak tersebut bukan jenis pajak baru, melainkan penyederhanaan mekanisme administrasi agar setara dengan pelaku usaha konvensional. Bagi pedagang dengan omzet di atas Rp500 juta per tahun, tetap berlaku tarif pajak 0,5 persen, baik bersifat final maupun tidak final.

Dalam rancangan PMK itu, pemungutan dilakukan oleh platform atau lokapasar tempat pedagang bertransaksi. Tujuannya adalah mempermudah kepatuhan pajak, menyamakan perlakuan antar pelaku usaha, dan menutup celah ekonomi tersembunyi (shadow economy) yang sering terjadi di sektor digital.

Kemenkeu menegaskan, fokus utama aturan ini bukan untuk meningkatkan penerimaan, melainkan untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih sederhana dan transparan di ranah ekonomi digital. (bl)

DJP Periksa 13 Pegawai “Nakal”, Dirjen Bimo: Jumlahnya Terus Berkembang

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kembali bersih-bersih internal. Setelah resmi memecat 26 pegawai bermasalah, kini giliran 13 pegawai pajak lain yang tengah diperiksa atas dugaan pelanggaran serius.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan bahwa proses penegakan disiplin di tubuh DJP tidak berhenti di pemecatan sebelumnya. Ia memastikan langkah bersih-bersih akan terus berlanjut demi menjaga integritas lembaga.

“Masih ada 13 lagi yang kami proses. Nanti akan berkembang, jadi enggak cuma segitu,” ujar Bimo di Kantor Pusat DJP, Jakarta Selatan, Kamis (9/10/2025).

Bimo mengakui, jumlah pegawai yang diperiksa bisa saja bertambah seiring pendalaman investigasi. Namun, ia berharap ke depan seluruh aparatur pajak bisa menjalankan tugas sesuai aturan.

“Mudah-mudahan sih setop, kalau orangnya sudah baik-baik semua,” tambahnya.

Meski enggan membeberkan detail “dosa” para pegawai yang telah dipecat, Bimo membenarkan bahwa sebagian kasus berkaitan dengan pengemplangan pajak bernilai jumbo mencapai Rp60 triliun.

Langkah tegas DJP ini mendapat dukungan penuh dari Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang menegaskan bahwa tindakan tanpa pandang bulu ini menjadi peringatan keras bagi seluruh jajaran pajak.

“Kalau ada yang ketahuan menerima uang atau bermain-main dengan kewenangan, ya harus dipecat. Enggak ada ampun,” tegas Purbaya dalam konferensi pers di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Selasa (7/10/2025).

Ia berharap upaya bersih-bersih ini menjadi momentum pemulihan kepercayaan publik terhadap otoritas perpajakan.

“Ini bukan sekadar disiplin, tapi pesan moral bahwa pengabdian di DJP harus bebas dari praktik kotor,” pungkasnya. (alf)

DJP Ancam Sita Aset hingga Pidanakan 200 Pengemplang Pajak

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan semakin gencar memburu para penunggak pajak. Sebanyak 200 wajib pajak besar kini menjadi target utama penagihan aktif dengan total utang pajak mencapai Rp60 triliun.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan, pemerintah tidak akan ragu mengambil langkah ekstrem terhadap para pengemplang pajak yang tetap membandel. Sanksinya mencakup penyitaan aset, pemblokiran rekening, pencekalan ke luar negeri, hingga pemidanaan melalui gijzeling atau paksa badan.

“Apabila ternyata memang tidak kooperatif lagi, kami akan lakukan pencekalan juga, bahkan nanti kalau memang perlu dengan tindakan pemidanaan melalui gijzeling,” ujar Bimo, Kamis (9/10/2025).

Menurutnya, aset yang sudah disita akan dilelang apabila utang pajak tidak juga dilunasi dalam batas waktu yang ditentukan. Untuk mempercepat proses ini, DJP bekerja sama dengan berbagai lembaga seperti Kejaksaan Agung dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) guna melacak aset dan memperkuat penegakan hukum.

Meski begitu, realisasi penagihan masih jauh dari target. Dari total piutang Rp60 triliun, baru sekitar Rp7 triliun atau 11,6% yang berhasil masuk ke kas negara.

Langkah agresif ini menegaskan komitmen DJP dalam menegakkan keadilan fiskal dan menekan kebocoran penerimaan negara. Pemerintah ingin memberi sinyal kuat bahwa mengemplang pajak bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan bisa berujung pidana.

“Kami akan pastikan setiap rupiah pajak yang tertunggak bisa kembali ke kas negara,” tutup Bimo. (alf)

DJP Tegaskan Kejar Pengemplang Pajak di Semua Sektor Usaha

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan tidak akan memberi ruang bagi para pengemplang pajak di seluruh sektor ekonomi. Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menegaskan praktik penunggakan pajak kini ditemukan di hampir semua bidang usaha mulai dari sektor ekstraktif, sumber daya alam, perkebunan, pertambangan, hingga jasa keuangan dan infrastruktur.

“Hampir semua sektor ya, ada sektor ekstraktif, ada sektor sumber daya alam tentu, sektor perkebunan, pertambangan, juga sektor jasa, perdagangan, dan konstruksi,” ujar Bimo di Kantor DJP, Jakarta, Kamis (9/10/2025).

Menurutnya, kondisi ini menjadi tantangan besar bagi DJP untuk memperkuat pengawasan sekaligus meningkatkan kesadaran wajib pajak di seluruh lapisan industri. Untuk menekan angka penunggakan, DJP kini memperkuat langkah penagihan aktif dan kolaborasi lintas lembaga. 

Kerja sama dijalin dengan Kejaksaan Agung, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan instansi lain dalam menelusuri aset dan mempercepat proses hukum terhadap pengemplang pajak.

“Upaya percepatan dilakukan lewat asset tracing dan penagihan aktif bersama beberapa institusi seperti Kejaksaan Agung,” jelasnya. Hasilnya, dalam waktu hanya sepekan, DJP berhasil mengamankan penerimaan hampir Rp7 triliun dari berbagai kasus besar.

Selain memperketat penagihan, Bimo menegaskan DJP juga melakukan bersih-bersih internal. Ia mengakui masih ada oknum yang bermain curang dalam proses penagihan, namun mereka langsung diberi sanksi tegas. “Kalau terbukti curang, langsung kami berhentikan, dan kerugian negara wajib dikembalikan,” ujarnya.

Pemerintah pun tak segan menggunakan langkah paling keras berupa penyanderaan (gijzeling) bagi wajib pajak bandel yang tak kooperatif meski sudah diberikan berbagai peringatan. “Apabila tidak juga kooperatif, kita akan lakukan pencekalan bahkan tindakan pemidanaan melalui gijzeling atau paksa badan,” tegas Bimo.

Dengan penegakan hukum tanpa pandang bulu dan pembersihan internal yang berkelanjutan, Bimo optimistis kepatuhan pajak nasional akan meningkat, sekaligus memperkuat penerimaan negara di tahun-tahun mendatang. (alf)

id_ID