Analis Global Ingatkan Risiko Fiskal di Balik Percepatan Mandatori Biodiesel B50

IKPI, Jakarta: Percepatan rencana pemerintah untuk menerapkan mandatori biodiesel B50 menjadi sorotan para analis global. Di tengah ambisi memperkuat kemandirian energi, langkah menuju B50 dinilai dapat menimbulkan tekanan besar terhadap stabilitas fiskal, ekspor, dan industri sawit sebagai komoditas utama Indonesia.

Managing Director Glenauk Economics, Julian Conway McGill, dalam wawancara eksklusif di sela Indonesia Palm Oil Conference (POC) 2025 di BICC The Westin, Nusa Dua, menyebut transisi cepat dari B30 ke B40 dan kini menuju B50 telah menciptakan ekspektasi pasar yang tidak proporsional.

“Program biodiesel Indonesia terlalu berhasil,” ujarnya, Jumat (14/11/2025).

Menurut McGill, keberhasilan itu membuat pasar mengasumsikan permintaan biodiesel akan terus melesat sehingga harga CPO bertahan tinggi, bahkan sebelum kebijakan benar-benar diterapkan. Padahal, kondisi ini terjadi saat harga solar global tengah rendah sehingga memperlebar spread CPO–solar, yang merupakan komponen biaya terbesar dalam produksi biodiesel.

Ia menilai pembiayaan B40 saja sudah berat—apalagi B50. Kenaikan levy ekspor dinilai hampir tak terhindarkan, namun kebijakan itu dapat menggerus daya saing ekspor serta menahan minat investor, terutama ketika produktivitas sawit Indonesia tidak menunjukkan peningkatan signifikan. Kompleksitas legalitas lahan dan tingginya pungutan disebut membuat investor enggan melakukan ekspansi.

“Tidak ada sektor pertanian bisa meningkatkan produktivitas jika harga terus ditekan oleh pajak,” tegasnya.

McGill juga mengingatkan potensi siklus risiko: produksi stagnan, konsumsi biodiesel meningkat, ekspor melemah, penerimaan levy menurun, dan pada akhirnya pungutan kembali naik. Siklus ini, katanya, sangat membebani negara pengimpor besar seperti India dan Pakistan. Sementara itu, Tiongkok dan Eropa menghadapi kelebihan pasokan kedelai serta regulasi yang makin ketat, membuat posisi sawit kian tertekan di pasar global.

Dari perspektif industri, McGill menilai kapasitas produksi biodiesel nasional belum sepenuhnya siap untuk memenuhi kebutuhan B50 sehingga investasi tambahan tetap diperlukan. Ia mengakui kemampuan teknis Indonesia sudah terbukti kuat—B10 yang dulu dianggap mustahil kini meningkat hingga B40. Namun, percepatan menuju B50 bukanlah keputusan yang tepat tanpa pertimbangan mendalam.

“Pertanyaannya bukan apakah Indonesia bisa, tetapi apakah ini saat yang tepat,” ujarnya.

Sebagai solusi, McGill mendorong penerapan mandatori fleksibel ala Brasil, di mana serapan biodiesel disesuaikan dengan fluktuasi harga CPO dan solar. Mekanisme ini dinilai dapat mengoptimalkan anggaran dan menjaga stabilitas industri.

“Dengan timing yang tepat, Indonesia bisa memperoleh empat kali lebih banyak biodiesel dengan biaya yang sama,” jelasnya. (alf)

Ekonomi 2026 Diprediksi Melesat, Menkeu Purbaya Tegaskan Kebijakan Fiskal Tetap Aman

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan optimisme kuat terhadap prospek ekonomi Indonesia pada 2026. Ia meyakini pertumbuhan ekonomi nasional tahun depan bisa menembus kisaran 6%, ditopang kebijakan pemerintah yang dinilai konsisten menjaga stabilitas dan pemulihan ekonomi.

Keyakinan itu disampaikan Purbaya di sela acara Run for Good Journalism, Minggu (16/11/2025). Menurutnya, dengan langkah fiskal yang terukur dan keberlanjutan kebijakan pemerintah, Indonesia tengah berada pada jalur yang benar.

“Saya perkirakan akan tumbuh lebih cepat lagi, mungkin di kisaran 6%. Kalau kebijakan yang sekarang dijalankan terus dengan baik, kita berada di arah yang benar,” ujarnya.

Tren Pertumbuhan Menguat Menjelang Akhir 2025

Untuk kuartal IV 2025, Purbaya memproyeksikan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,6–5,7%, meningkat dari realisasi kuartal III sebesar 5,04%. Ia menilai momentum pertumbuhan mulai kembali menguat setelah sebelumnya dikhawatirkan melambat.

“Tadinya akan turun ke bawah, tetapi kita sudah balik ke arah yang lebih cepat lagi,” katanya.

Menurut Purbaya, penguatan permintaan domestik dan stabilitas harga menjadi faktor penting yang membuat ekonomi kembali bergerak lebih lincah.

Di tengah proyeksi pertumbuhan yang menggembirakan, Purbaya menegaskan bahwa fondasi fiskal Indonesia tetap dijaga ketat. Pemerintah memastikan defisit APBN tetap berada di bawah batas 3% sesuai amanat undang-undang.

“Defisitnya masih aman, kita jaga di bawah 3%. Jadi enggak usah takut saya melanggar prinsip kehati-hatian pengelolaan fiskal,” tegasnya.

Ia menambahkan, kebijakan fiskal yang ditempuh pemerintah tetap diarahkan untuk menjaga stabilitas, memastikan likuiditas, dan mendorong aktivitas ekonomi tanpa mengorbankan kesehatan APBN.

Luruskan Persepsi Soal Dana Rp200 Triliun di Perbankan

Purbaya juga menepis persepsi publik bahwa kebijakan penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun di perbankan sama dengan pencetakan uang baru. Ia memastikan dana tersebut bukan tambahan likuiditas yang bersumber dari pencetakan uang, melainkan penempatan sementara yang tetap sepenuhnya berada dalam kendali pemerintah.

“Saya keluarin Rp200 triliun ke perbankan, itu enggak ada uang baru sebetulnya. Itu uangnya cuma dipinjam saja ke bank, masih punya saya. Jadi aman, masih kaya,” ujarnya berseloroh.

Purbaya menekankan bahwa optimisme pemerintah terhadap ekonomi 2026 bukan tanpa dasar. Deretan indikator pertumbuhan, stabilitas fiskal, hingga ruang kebijakan yang tetap terjaga menjadi alasan kuat untuk melihat masa depan ekonomi dengan percaya diri.

Namun, ia menegaskan bahwa seluruh kebijakan tetap dibingkai dalam prinsip kehati-hatian agar ruang fiskal Indonesia tetap sehat di tengah dinamika global. (alf)

Purbaya Tanggapi Permintaan Relaksasi Pajak untuk Media: “Pers Harus Kembali Tajam Mengkritik”

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa buka suara menanggapi usulan Forum Pemimpin Redaksi (Forum Pemred) yang mendorong adanya relaksasi pajak bagi industri media melalui inisiatif “No Tax for Knowledge”. Usulan itu disampaikan Ketua Forum Pemred Retno Pinasti seusai acara Run for Good Journalism 2025 di Jakarta, Minggu (16/11/2025).

Purbaya mengatakan dirinya memahami kesulitan bisnis yang kini dialami media. Menurutnya, pemerintah mendengarkan aspirasi tersebut dan terbuka terhadap pembahasan lanjutan. Namun, ia menyelipkan pesan keras mengenai peran kritis pers dalam menjaga kehidupan ekonomi dan publik.

“Para pemred mengeluh bisnis jurnalisme lagi turun. Saya bilang, itu karena Anda kemarin-kemarin kurang banyak protes. Ketika ekonomi jatuh, Anda diam saja,” ujar Purbaya.

Ia menegaskan bahwa media tidak hanya berfungsi sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai pengawas kebijakan pemerintah. Karena itu, kritik yang konstruktif diperlukan agar ekonomi tidak kembali terperosok akibat kebijakan yang salah arah.

“Ke depan mesti kritik, kasih masukan, supaya ekonomi kita tidak jatuh lagi,” tegasnya.

Sebelumnya, Retno menjelaskan bahwa inisiatif “No Tax for Knowledge” didorong agar lembaga jurnalistik berkualitas bisa tetap bertahan di tengah tekanan finansial. Menurutnya, pengurangan beban pajak akan membantu media menjaga kualitas informasi dan edukasi bagi masyarakat.

Purbaya memastikan bahwa pemerintah mendengar aspirasi tersebut. Namun ia menegaskan bahwa keberpihakan terhadap industri media harus dibarengi dengan komitmen kuat pers untuk menjalankan fungsi kontrol sosial. (alf)

Forum Pemred Usulkan Insentif Pajak untuk Media Lewat Gagasan “No Tax for Knowledge”

IKPI, Jakarta: Forum Pemimpin Redaksi (Forum Pemred) mendorong pemerintah untuk mulai membuka ruang insentif pajak bagi perusahaan media sebagai langkah strategis menjaga keberlanjutan jurnalisme berkualitas. Usulan tersebut dibawa melalui gagasan “No Tax for Knowledge”, yang disampaikan Ketua Forum Pemred, Retno Pinasti, kepada Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa saat keduanya mengikuti ajang lari “Run for Good Journalism 2025” di kawasan Jakarta Selatan, Minggu (16/11/2025).

Retno menyampaikan apresiasinya kepada Menkeu atas perhatian terhadap dunia pers sekaligus menegaskan bahwa inisiatif No Tax for Knowledge akan menjadi agenda utama Forum Pemred ke depan. “Terima kasih banyak tadi atas support-nya Pak Purbaya. Karena salah satu inisiatif yang akan mulai kita dorong adalah ‘No Tax for Knowledge’,” ucapnya.

Ia menjelaskan bahwa gagasan tersebut bukan sekadar keringanan pajak, tetapi bentuk dukungan negara untuk menjamin ekosistem media yang sehat dan profesional. Dalam usulan itu, relaksasi pajak hanya diberikan kepada perusahaan media yang telah tersertifikasi serta memenuhi standar ketat dalam praktik jurnalistik.

“Untuk lembaga-lembaga jurnalistik yang bagus, terverifikasi, yang memberikan edukasi dan informasi yang benar, kalau bisa dikurangi pajaknya,” ujar Retno.

Menurutnya, media yang bekerja secara profesional memiliki peran penting dalam menjaga kualitas demokrasi dan literasi publik. Dengan adanya insentif pajak, perusahaan media yang kredibel dapat lebih leluasa mengembangkan jurnalisme investigatif, meningkatkan kapasitas redaksi, serta memperluas akses informasi bagi masyarakat.

Retno menegaskan bahwa No Tax for Knowledge juga menjadi ajakan bagi pemerintah untuk melihat sektor media sebagai pilar pengetahuan publik yang perlu difasilitasi, bukan sekadar entitas bisnis. Ia berharap gagasan ini dapat dibahas lebih lanjut oleh Kementerian Keuangan bersama pemangku kepentingan lain sehingga kebijakan teknisnya bisa dirumuskan secara komprehensif.

Ia menambahkan, insentif pajak bagi media tersertifikasi akan memperkuat kemampuan perusahaan pers dalam memberikan edukasi dan informasi yang berkualitas bagi masyarakat dan generasi mendatang. “Kita ingin media tetap kuat, tetap independen, dan tetap mampu menjalankan fungsi edukatifnya,” katanya. (alf)

Harta Naik, Pajak Jalan di Tempat: DJP Ungkap Pola Aneh di Kalangan Orang Kaya

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan kembali menyoroti fenomena klasik namun kian menonjol: kekayaan segelintir orang melonjak tajam setiap tahun, sementara kontribusi pajaknya nyaris tak bergerak. Temuan lapangan menunjukkan jurang yang makin lebar antara pertumbuhan aset dan setoran pajak, sebuah pola yang oleh otoritas dianggap sebagai alarm serius.

Pemeriksa Pajak Madya KPP Madya Karawang, Joko Ismuhadi, mengungkapkan bahwa situasi ini bukan kasus satu-dua kali, melainkan berulang. “Aset para wajib pajak terus bertambah, tetapi laporan pajaknya tidak mengikuti,” ujarnya dalam kegiatan yang diselenggarakan Pusdiklat Pajak, Kamis (13/11/2025).

Menurutnya, semakin banyak wajib pajak yang menikmati lonjakan kekayaan tanpa kontribusi berarti terhadap penerimaan negara. “Banyak wajib pajak tidak punya kontribusi signifikan untuk membayar pajak, namun kekayaannya tumbuh,” tegas Joko.

Ia menjelaskan, anomali ini berkaitan erat dengan shadow economy aktivitas ekonomi, legal maupun ilegal, yang tidak tercatat utuh dalam sistem perpajakan. Praktik semacam ini membuat pertumbuhan kekayaan tidak tercermin dalam SPT, sehingga celah penghindaran bahkan penggelapan pajak makin terbuka lebar.

Untuk menelusuri kejanggalan tersebut, Joko mengembangkan pendekatan matematika yang ia sebut mathematical accounting equation. Metodenya sederhana namun tegas: apabila aset meningkat, seharusnya laba dan pajak juga naik. Bila tidak, ada sesuatu yang patut dicurigai.

“Jadi, harusnya kalau perusahaan itu tumbuh, paling tidak profit and loss-nya juga tumbuh,” jelasnya.

Pendekatan ini diharapkan mampu membantu otoritas pajak membaca pola ketidakwajaran sejak dini dan pada akhirnya memastikan bahwa lonjakan aset yang terjadi di masyarakat kaya tidak lagi dibiarkan mengalir tanpa kontribusi kepada negara. (alf)

DJP Bisa Blokir Rekening Penunggak Pajak, Ini Dasar Hukumnya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa pemblokiran rekening bagi penunggak pajak bukan tindakan sewenang-wenang, melainkan langkah hukum yang memiliki dasar kuat. Otoritas pajak berwenang melakukan pemblokiran untuk mengamankan penerimaan negara, terutama terhadap wajib pajak yang terus mengabaikan kewajibannya meski telah diberikan serangkaian surat teguran.

Kewenangan tersebut diberikan melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. UU ini mengatur bahwa DJP dapat melakukan tindakan penagihan aktif, termasuk penyitaan, pencegahan, hingga pemblokiran rekening, jika wajib pajak tidak melunasi pajaknya setelah diterbitkan surat paksa.

Dasar teknis pemblokiran semakin dipertegas melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 61 Tahun 2023 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus.

Melalui Pasal 29 dan Pasal 30, bank diwajibkan menahan dana sebesar jumlah pajak terutang ditambah biaya penagihan, begitu menerima surat permintaan pemblokiran dari DJP. Artinya, lembaga perbankan memiliki kewajiban hukum untuk membantu penagihan negara.

Langkah tegas itu kembali terlihat di Sumatera Utara. Kanwil DJP Sumatera Utara I pada Kamis (30/10/2025) melakukan pemblokiran rekening secara serentak terhadap 310 wajib pajak dengan total tunggakan mencapai Rp119 miliar. Operasi ini melibatkan sembilan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan dilakukan melalui dua bank di Kota Medan.

“Pemblokiran dilakukan terhadap Wajib Pajak yang belum melunasi kewajibannya meskipun telah menerima surat teguran dan surat paksa,” ungkap DJP dalam keterangan resminya, dikutip Sabtu (15/11/2025).

Dengan landasan hukum yang jelas, DJP menegaskan bahwa tindakan pemblokiran akan terus dilakukan sebagai bagian dari penegakan kepatuhan. Otoritas pajak berharap langkah ini menjadi peringatan keras bagi wajib pajak agar segera memenuhi kewajibannya sebelum tindakan lebih lanjut dijatuhkan. (alf)

Serapan Rendah, Rp3,5 Triliun Dikembalikan: Menkeu Fokus Maksimalkan Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memaparkan perkembangan terbaru APBN hingga akhir Oktober 2025 setelah mengikuti rapat Asset and Liability Committee (ALCo) pada Jumat (14/11/2025). Ia menegaskan bahwa defisit APBN hingga akhir tahun dipastikan tetap aman di bawah 3% terhadap PDB, sejalan dengan koridor kebijakan fiskal yang ditetapkan pemerintah. “Semua sudah kita hitung. Defisit yang paling penting tetap di bawah 3% dan terjaga dengan baik,” ujarnya.

Meski demikian, Purbaya mengakui penerimaan negara, khususnya dari sektor perpajakan, masih menghadapi tekanan. Sejumlah wajib pajak, termasuk para pengusaha, belum menunaikan kewajibannya tepat waktu sehingga fiskus harus mengirimkan surat imbauan hingga melakukan kunjungan langsung. “Ada pengusaha yang belum bayar pajak. Kami kirim surat kepada mereka supaya bayar tepat waktu. Jadi segala effort diarahkan untuk yang belum bayar,” tegasnya.

Tekanan penerimaan tercermin dari rasio pajak yang kembali melemah. Hingga kuartal III/2025, tax ratio turun ke 8,58% terhadap PDB, level terendah dalam empat tahun terakhir. Padahal, pada periode yang sama di 2024 rasio pajak masih berada di 9,48%, sementara pada 2023 di angka 10,15%.

Di tengah usaha mengejar penerimaan, Kementerian Keuangan justru menerima pengembalian anggaran dari sejumlah kementerian/lembaga karena tidak mampu membelanjakannya sesuai target. Total dana yang dikembalikan mencapai Rp3,5 triliun. Purbaya tidak merinci instansi mana saja yang mengembalikan anggaran, namun sebelumnya ia sudah memberi sinyal akan melakukan penyisiran dan realokasi terhadap K/L dengan serapan rendah, terutama yang mengelola pagu besar.

Pada laporan APBN KiTa sebelumnya, beberapa K/L memiliki serapan di bawah 50%, antara lain Badan Gizi Nasional (16,9%), Kementerian PUPR (48,2%), dan Kementerian Pertanian (32,8%). BGN bahkan telah mengembalikan tambahan anggaran sekitar Rp70 triliun untuk program Makan Bergizi Gratis yang tidak dapat direalisasikan.

Dengan tantangan di sisi penerimaan dan belanja yang berjalan lambat, pemerintah kini fokus pada upaya maksimalisasi pajak sekaligus penguatan kualitas belanja. Purbaya memastikan bahwa seluruh langkah diarahkan untuk menjaga APBN tetap sehat menjelang penutupan tahun anggaran 2025. (alf)

Kemenkeu–BI Perkuat Sinergi Kebijakan Fiskal dan Moneter

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia kembali menegaskan komitmen kuat untuk menjaga kekompakan kebijakan fiskal dan moneter di tengah ketidakpastian perekonomian global. Penguatan kolaborasi itu ditandai dengan penandatanganan Berita Acara Kesepahaman oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan, Astera Primanto Bhakti, dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Destry Damayanti, dalam Forum Harmonisasi (Forhar) 2025 di Jakarta, Jumat (14/11/2025). Penandatanganan tersebut sekaligus menjadi momentum pembaruan Nota Kesepahaman (NK) dan sejumlah Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara kedua institusi.

Dalam sambutannya, Astera menyampaikan bahwa meskipun perekonomian global terguncang oleh fragmentasi geopolitik, volatilitas harga komoditas, dan pengetatan moneter di berbagai wilayah, Indonesia tetap menunjukkan ketahanan yang solid.

“Capaian ini tidak lepas dari pondasi kebijakan yang kuat dan sinergi yang erat antara kebijakan fiskal dan moneter,” tegasnya.

Astera menuturkan bahwa Kemenkeu berkomitmen menjaga kesehatan APBN agar tetap menjadi instrumen fiskal yang fleksibel dan responsif. Peran APBN sangat penting untuk melindungi daya beli masyarakat, memperkuat sektor riil, serta mendorong investasi demi mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Kolaborasi Kemenkeu dan BI disebut telah melampaui koordinasi tingkat makro. Kerja sama kini merambah tingkat operasional, mencakup pengelolaan arus modal, stabilisasi pasar keuangan, penerbitan uang, hingga pengembangan sistem pembayaran melalui digitalisasi transaksi pemerintah.

Forum Harmonisasi (Forhar) 2025 juga menjadi arena pembahasan komprehensif antara 28 direktorat Kemenkeu dan 23 satuan kerja BI terhadap 16 isu strategis. Isu yang dibahas meliputi penguatan bauran kebijakan fiskal–moneter, integrasi dan optimalisasi data, hingga program pemberdayaan UMKM dan perlindungan konsumen.

“Melalui Forum Harmonisasi ini kami berharap dapat menindaklanjuti isu-isu strategis secara terarah dan sesuai target penyelesaian,” ujar Astera.

Dengan berakhirnya masa berlaku NK dan beberapa PKS pada 2025, pembaruan payung hukum dinilai mendesak. Di lingkungan Direktorat Jenderal Perbendaharaan, dua PKS operasional dipastikan diperbarui, yakni terkait penyediaan valuta asing untuk transaksi pemerintah dalam mata uang eksotis dan mekanisme Host to Host layanan kebanksentralan.

Menutup keynote speech, Astera menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang telah berperan aktif dan bekerja profesional dalam memperkuat sinergi kedua institusi. Ia berharap Forhar 2025 dapat memperdalam harmonisasi kebijakan fiskal–moneter dan memperkuat koordinasi lintas sektor, terutama dalam optimalisasi data dan inovasi layanan kebanksentralan. (alf)

Pendapatan Jabar Ditargetkan Rp28,78 T, Basis Pajak Diperluas

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi Jawa Barat menyiapkan langkah agresif untuk memperluas basis pendapatan daerah pada APBD Tahun Anggaran 2026. Target pendapatan dipatok sebesar Rp28,78 triliun, sebagaimana disampaikan Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Barat Herman Suryatman dalam rapat paripurna DPRD Jabar, Jumat (14/11/2025).

Rapat paripurna tersebut merupakan lanjutan dari penyampaian pandangan umum fraksi-fraksi DPRD Jabar pada 13 November 2025. Ketua DPRD Jabar Buky Wibawa Karya Guna menegaskan pembahasan intensif akan dilanjutkan oleh Badan Anggaran pada 18–20 November. Jika sesuai jadwal, penetapan Ranperda APBD 2026 akan dilakukan pada 20 November 2025.

Menjawab pandangan fraksi mengenai struktur pendapatan, Herman menegaskan bahwa Jawa Barat tidak bisa lagi bertumpu pada Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Pemprov harus membuka ceruk penerimaan baru agar kemandirian fiskal meningkat signifikan.

Sejumlah strategi intensifikasi pendapatan disiapkan, di antaranya:

• Mendorong perusahaan industri membeli BBM dari wajib pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (BBNKB) yang terdaftar di Jabar.

• Mempercepat regulasi perhitungan nilai perolehan air dari Kementerian PUPR.

• Memperkuat pendataan subjek dan objek pajak alat berat melalui kerja sama lintas dinas.

• Memajukan regulasi kerja sama pemanfaatan aset serta meningkatkan performa BUMD agar dapat menyumbang lebih tinggi ke kas daerah.

“Semua langkah ini diarahkan untuk memperluas basis pendapatan sehingga ketergantungan pada PKB bisa dikurangi,” kata Herman.

Poe Ibu Disorot, Transparansi Diperkuat

Selain pendapatan, pembahasan juga menyinggung pengelolaan Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) program gotong royong untuk memperkuat akses masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan.

Herman memastikan tata kelola Poe Ibu dijalankan secara transparan dan akuntabel, mulai dari pengumpulan, pengelolaan, penyaluran hingga pencatatan dan pelaporan dana. “Prinsipnya, semua mekanisme dibuat terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

Dengan agenda pembahasan yang semakin padat, seluruh mata kini tertuju pada Badan Anggaran yang akan merumuskan finalisasi Ranperda APBD 2026. Pemprov Jabar optimistis, perluasan basis pajak dan penguatan kinerja BUMD dapat menjadi kunci mencapai target pendapatan Rp28,78 triliun tahun depan. (alf)

Empat Negara Latin Ini Bebas Tarif Ekspor Pangan ke AS! 

IKPI, Jakarta: Amerika Serikat (AS) resmi membuka keran impor pangan dari empat negara Amerika Latin seperti, Argentina, Ekuador, Guatemala, dan El Salvador setelah mencapai kesepakatan dagang baru yang disebut akan langsung menekan harga bahan pokok di Negeri Paman Sam.

Kebijakan ini membuat komoditas utama seperti kopi, pisang, dan berbagai bahan makanan lain dari keempat negara tersebut dibebaskan dari tarif masuk, sehingga produk mereka tidak lagi terkena tarif resiprokal era Presiden Donald Trump.

Seorang pejabat senior pemerintahan Trump mengatakan langkah ini merupakan bagian dari strategi besar untuk meredam biaya hidup yang melejit akibat kebijakan tarif sebelumnya.

“Perjanjian ini diharapkan dapat membantu menurunkan harga kopi, pisang, dan bahan makanan lainnya,” ujarnya, Jumat (14/11/2025).

Kesepakatan Dikebut Rampung dalam Dua Pekan

Washington menargetkan kerangka kerja utama antarnegara tersebut dituntaskan dalam dua minggu ke depan. Tidak tertutup kemungkinan kesepakatan tambahan bakal diumumkan sebelum akhir tahun.

Meski memberi pembebasan tarif untuk sejumlah komoditas pangan, AS tetap mempertahankan tarif 10% bagi sebagian besar barang dari El Salvador, Guatemala, dan Argentina, serta tarif 15% untuk produk dari Ekuador yang tidak masuk dalam daftar fasilitas.

Pemerintah dari keempat negara mitra pun langsung merespons positif kesepakatan tersebut, menganggapnya sebagai pintu baru bagi perluasan ekspor pangan mereka ke salah satu pasar terbesar dunia.

Sebelumnya, Menteri Keuangan AS Scott Bessent mengungkapkan bahwa pemerintahan Trump akan mengumumkan perjanjian “substansial” dalam beberapa hari mendatang yang diklaim mampu menurunkan harga kopi, pisang, dan buah-buahan tropis lainnya.

Washington juga tengah mempertimbangkan pengecualian tarif lebih luas untuk produk seperti daging sapi dan jeruk, termasuk dari negara-negara yang belum mencapai kesepakatan final.

Di luar Amerika Latin, pembicaraan dagang dengan Swiss dan Taiwan dilaporkan berjalan positif. AS juga terus menjalin negosiasi dengan sejumlah negara Amerika Tengah dan Selatan untuk menuntaskan lebih banyak kesepakatan sebelum akhir 2025.

“Dengan semua kesepakatan ini, kami mempertahankan tarif, memberikan keringanan untuk produk tertentu, dan sekaligus membuka pasar luar negeri dengan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya,” kata pejabat tersebut. (alf)

id_ID