Pajak dan Kepercayaan: Dua Pilar Utama Penguatan Ekonomi

Pajak merupakan tulang punggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), menyumbang lebih dari 80 persen pendapatan negara. Angka ini menunjukkan betapa vitalnya peran pajak dalam menopang APBN. Dari pembangunan infrastruktur, subsidi pendidikan, layanan kesehatan, hingga program bantuan sosial, semua bergantung pada pajak.

Namun, realitas di lapangan masih menunjukkan adanya kesenjangan. Tax ratio Indonesia masih berada di kisaran 10–11 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata negara ASEAN. Artinya, potensi pajak yang bisa digali sebenarnya jauh lebih besar daripada capaian saat ini.

Kepatuhan dan kepercayaan adalah dua faktor yang tidak bisa dipisahkan. Kepatuhan muncul ketika wajib pajak melaksanakan kewajibannya sesuai aturan, sementara kepercayaan tumbuh jika pemerintah mampu mengelola pajak secara adil, transparan, dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat. Tanpa kepercayaan, kepatuhan cenderung bersifat semu; dan tanpa kepatuhan, penerimaan pajak tidak akan optimal.

Keberhasilan negara dalam mengoptimalkan penerimaan pajak tidak hanya bergantung pada regulasi yang ketat. Dunia usaha menuntut sistem perpajakan yang sederhana, transparan, dan memberikan kepastian agar kewajiban pajak dapat dijalankan tanpa menimbulkan beban administratif yang berlebihan. Kepercayaan menjadi kunci, ketika pemerintah mampu menunjukkan pengelolaan pajak yang adil dan akuntabel, kepatuhan akan tumbuh secara sukarela (voluntary compliance). Pada titik inilah penerimaan negara bisa meningkat sekaligus menjaga iklim bisnis tetap sehat dan berdaya saing. Sebaliknya, jika kepercayaan rendah, maka kepatuhan seringkali bersifat terpaksa, bahkan membuka ruang bagi praktik penghindaran pajak.

Namun, kenyataannya masih banyak hambatan dalam menciptakan kepatuhan pajak yang berkelanjutan. Kompleksitas regulasi, rendahnya literasi pajak, hingga celah penghindaran pajak di level global menjadi tantangan nyata bagi dunia usaha. Di sisi lain, perkembangan ekonomi digital yang melesat jauh lebih cepat daripada regulasi juga memunculkan ruang abu-abu (grey area) dalam pemajakan. Situasi ini menegaskan bahwa optimalisasi penerimaan pajak tidak cukup hanya berfokus pada penegakan hukum, tetapi juga menuntut strategi membangun kepercayaan publik secara konsisten.

Bagaimana Wajah Tantangan Perpajakan di Era Bisnis Modern?

Di tengah dinamika ekonomi global yang semakin kompetitif, sistem perpajakan menghadapi tantangan besar. Bisnis modern bergerak cepat, ditopang teknologi digital, aliran modal lintas negara, serta model usaha yang terus berevolusi. Dalam konteks ini, pajak bukan hanya instrumen penerimaan negara, tetapi juga alat menjaga keadilan dan keberlanjutan pembangunan.

Namun, kompleksitas bisnis modern sering kali membuat pajak berada dalam posisi dilematis. Otoritas pajak dituntut sigap beradaptasi, sementara wajib pajak dituntut patuh di tengah aturan yang terus berkembang. Lalu, bagaimana tantangan pajak di era bisnis modern itu?

1. Digitalisasi dan Ekonomi Digital

Perdagangan elektronik atau e-commerce tumbuh pesat, melahirkan ekosistem baru dengan jutaan transaksi harian. Dari marketplace hingga layanan digital lintas negara, arus pendapatan semakin sulit dipantau dengan cara lama. Belum lagi munculnya aset digital seperti cryptocurrency dan NFT, yang menimbulkan pertanyaan besar tentang mekanisme pemajakan.

Tantangannya jelas: bagaimana negara dapat memungut pajak secara adil, tanpa mengekang inovasi digital yang justru menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Sistem digital pajak harus sepadan dengan kecepatan dunia usaha, agar celah kepatuhan bisa diminimalisir.

2. Globalisasi dan Profit Shifting

Perusahaan multinasional dengan mudah mengatur struktur bisnis lintas negara untuk meminimalkan pajak. Strategi seperti transfer pricing atau pengalihan laba (profit shifting) ke yurisdiksi pajak rendah (tax haven) menjadi praktik umum.

OECD melalui inisiatif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) sudah meluncurkan solusi global, termasuk Global Minimum Tax. Namun, implementasi di negara berkembang seperti Indonesia tidak sederhana. Otoritas pajak harus menjaga kedaulatan fiskal sambil tetap menarik investasi asing.

3. Kepatuhan Wajib Pajak

Rendahnya kepatuhan sukarela masih menjadi tantangan klasik. Banyak wajib pajak, terutama UMKM, kesulitan memahami kewajiban perpajakan akibat keterbatasan literasi dan administrasi keuangan.

Di sisi lain, persepsi negatif bahwa pajak adalah beban, bukan kontribusi, juga masih kuat. Artinya, selain regulasi, yang dibutuhkan adalah strategi membangun trust. Transparansi penggunaan pajak untuk pembangunan, serta edukasi publik yang berkelanjutan, menjadi kunci meningkatkan kepatuhan.

4. Kompleksitas Regulasi Pajak

Peraturan perpajakan kerap berubah mengikuti dinamika ekonomi. Namun, perubahan yang terlalu cepat justru memunculkan kebingungan. Bagi pelaku usaha, terutama skala kecil dan menengah, kompleksitas ini bisa menghambat kepatuhan.

Simplifikasi aturan tanpa mengorbankan kepastian hukum menjadi tantangan. Negara-negara modern sudah mulai mengarah ke regulasi berbasis prinsip (principle-based regulation), bukan hanya aturan detail. Indonesia perlu mengambil langkah serupa agar sistem pajak lebih adaptif.

5. Integrasi Data dan Teknologi

Sistem pajak di era modern ditopang oleh big data, artificial intelligence, hingga integrasi lintas lembaga (perbankan, bea cukai, OJK). Potensi ini besar untuk mendeteksi kepatuhan secara otomatis.

Namun, muncul tantangan baru yaitu keamanan data dan privasi wajib pajak. Bagaimana menjamin bahwa data sensitif tidak disalahgunakan? Menjaga keseimbangan antara transparansi fiskal dan hak privasi menjadi isu penting yang tidak bisa diabaikan.

6. Persaingan Tarif Pajak Global

Dalam rangka menarik investasi, banyak negara menurunkan tarif pajak. Persaingan ini menimbulkan risiko “perlombaan ke dasar” (race to the bottom) yang bisa merugikan penerimaan negara.

Indonesia juga menghadapi dilemma, yaitu menjaga daya saing investasi dengan tarif kompetitif, sambil mengamankan penerimaan untuk membiayai pembangunan. Jalan tengahnya adalah memperluas basis pajak dan memperkuat administrasi, bukan semata menurunkan tarif.

7. Pajak Karbon dan Ekonomi Hijau

Tuntutan global terhadap keberlanjutan melahirkan kebijakan baru, seperti pajak karbon. Indonesia pun sudah mulai memperkenalkan instrumen ini secara bertahap.

Namun, implementasi pajak karbon menghadapi tantangan serius, yaitu bagaimana memastikan kebijakan ini efektif menekan emisi tanpa membebani UMKM atau sektor industri yang masih rentan? Transisi menuju ekonomi hijau membutuhkan desain pajak yang hati-hati, agar tidak kontraproduktif terhadap pertumbuhan.

8. Perubahan Model Bisnis dan Konsumsi

Fenomena sharing economy—seperti Gojek, Grab, hingga Airbnb—menciptakan pola usaha baru yang tidak terbayangkan dalam aturan lama. Sering kali, bisnis berbasis platform tidak mudah dikategorikan untuk tujuan perpajakan.

Keterlambatan regulasi justru bisa membuka celah penghindaran pajak. Maka, fleksibilitas regulasi yang mampu menyesuaikan dengan model bisnis baru menjadi sangat penting.

Menghadapi berbagai tantangan ini, satu hal yang perlu diingat adalah pajak tidak bisa hanya dipandang sebagai kewajiban sepihak. Keberhasilan sistem perpajakan modern bergantung pada kolaborasi, antara pemerintah yang transparan dan responsif, serta wajib pajak yang sadar akan kontribusinya.

Kepercayaan adalah kunci fondasi utama. Tanpa trust, kepatuhan hanya sebatas formalitas, dan celah untuk menghindar akan selalu dicari. Dengan trust, pajak akan dilihat sebagai bentuk gotong royong modern—sebuah kontribusi nyata untuk masa depan bersama.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, dibutuhkan langkah-langkah strategis yang tidak hanya fokus pada penegakan hukum, tetapi juga memperkuat kepercayaan wajib pajak:

1. Simplifikasi Aturan – Regulasi yang ringkas, jelas, dan konsisten akan mengurangi biaya kepatuhan dan mendorong kepastian hukum.

2. Digitalisasi Pajak – Coretax system, integrasi data, dan layanan online yang ramah pengguna dapat meningkatkan efisiensi sekaligus menutup celah ketidakpatuhan.

3. Transparansi dan Akuntabilitas – Pemerintah perlu menunjukkan secara nyata bagaimana pajak digunakan, sehingga publik merasa kontribusinya kembali dalam bentuk layanan dan pembangunan.

4. Kolaborasi Internasional – Pemanfaatan Automatic Exchange of Information (AEoI) dan partisipasi dalam inisiatif BEPS akan menekan praktik penghindaran pajak global.

5. Edukasi dan Insentif – Program literasi pajak yang berkelanjutan serta penghargaan bagi wajib pajak patuh akan memperkuat budaya kepatuhan jangka panjang.

Untuk itu, era bisnis modern membuka peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menghadirkan tantangan baru bagi sistem perpajakan. Digitalisasi, globalisasi, hingga transisi menuju ekonomi hijau, semuanya menuntut adaptasi regulasi dan strategi yang lebih cerdas.

Optimalisasi penerimaan pajak bukan hanya soal menambah kas negara, tetapi juga menciptakan ekosistem bisnis yang sehat dan kompetitif. Bagi pemerintah, kepercayaan publik adalah modal utama untuk mendorong kepatuhan sukarela. Bagi dunia usaha, kepatuhan pajak bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga investasi reputasi yang akan memperkuat daya saing di mata investor dan masyarakat.

Esensi Pajak dan kepercayaan adalah dua pilar yang saling menguatkan. Dengan sistem yang sederhana, transparan, dan berkeadilan, Indonesia dapat membangun fondasi ekonomi yang kokoh sekaligus meningkatkan partisipasi kolektif dalam membiayai pembangunan.

Kini, Indonesia berada di persimpangan penting, apakah kita mampu menjadikan sistem pajak sebagai pilar ekonomi yang adil, efisien, dan modern, ataukah kita akan tertinggal di tengah arus perubahan global. Jawabannya terletak pada kemampuan kita membangun kepatuhan berbasis kepercayaan dan regulasi yang adaptif.

Penulis adalah Anggota IKPI Kota Bekasi & Dosen Institut STIAMI

Ratih Kumala

Email: rhaty07@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Apakah Menkeu Purbaya Merupakan Game Changer Pertumbuhan Ekonomi Indonesia?

Tanggal 8 September 2025, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh perombakan kabinet yang dilakukan oleh Presiden Prabawo, walau kita mengetahui bahwa perombakan kabinet merupakan hak prerogative seorang Presiden dan yang dirombak ada 5 menteri, namun yang menjadi perhatian atau kekagetan adalah penunjukkan Menkeu yang baru yaitu Purbaya Yudhi Sadewa yang menggantikan Sri Mulyani Indrawati.

Perombakan Kabinet diduga sebagai respon atas situasi beberapa minggu lalu, dimana Indonesia baru saja mengalami demo besar-besaran yang berujung aksi anarkis bukan hanya di Jakarta tetapi di beberapa daerah serta adanya penjarahan terhadap beberapa rumah pejabat, demo tersebut diduga dipicu oleh situasi ekonomi yang berat, inflasi meningkat, daya beli menurun, angka kemiskinan menunjukkan tren mengkhawatirkan, sikap dan gaya hidup wakil rakyat yang kurang simpatik. Kondisi yang tidak baik tersebut juga tercermin dalam penerimaan pajak yang sampai 11 Agustus 2025 yang baru mencapai 996,5 Triliun (45,5% dari target).

Gebrakan Menkeu Yang Baru :

Setelah dilantik Menkeu Purbaya langsung membuat gebrakan dengan rencananya mengucurkan dana simpanan Pemerintah di Bank Indonesia sebesar Rp. 200 triliun yang merupakan sisa anggaran lebih (SAL) untuk disalurkan ke Masyarakat melalui bank Himbara, dengan tujuan agar dana tersebut dapat disalurkan kepada dunia usaha untuk melumasi roda-roda perekonomian.

Setelah itu, Menkeu Purbaya membuat pernyataan yang cukup membuat adem suasana, bahwa Masyarakat tidak perlu kuatir jika Target Penerimaan Pajak 2025 tidak tercapai ! karena Pemerintah masih mempunyai ruang fiskal yang memadai untuk menjaga Pembangunan tetap berjalan. Terus terang pernyataan Menkeu Purbaya memberikan sedikit ketenangan, karena biasanya jika target pajak tidak tercapai, maka dunia usaha kuatir akan terus ditekan untuk dapat memenuhi target tersebut.

Kemudian hari ini tanggal 15 September 2025, Pemerintah melalui Menko Perkonomian Airlangga Hartarto mengumumkan 17 Paket stimulus ekonomi, yang 3 diantaranya merupakan paket kebijakan perpajakan, yaitu : diperpanjangnya PPh Final UMKM sampai dengan tahun 2029; Perpanjangan PPh Pasal 21 DTP untuk pekerja di sektor Pariwisata; perluasan PPh Pasal 21 DTP untuk pekerja di sektor padat karya.

Adapun detail dari 17 paket stimulus ekonomi tersebut yaitu :

8 (delapan) program akselerasi program stimulus ekonomi 2025 :

  1. Program magang lulusan perguruan tinggi (maksimal fresh graduate 1 tahun)
  2. Perluasan PPh 21 DTP untuk pekerja di sektor terkait pariwisata
  3. Bantuan pangan periode Oktober-November 2025
  4. Bantuan Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) bagi Bukan Penerima Upah (BPU) transportasi online/ojol (termasuk ojek pangkalan, sopir, kurir, dan logistik) selama 6 bulan
  5. Program Manfaat Layanan Tambahan (MLT) Perumahan BPJS Ketenagakerjaan
  6. Program Padat Karya Tunai (cash for work) Kemenhub dan Kementerian Pekerjaan Umum
  7. Percepatan Deregulasi PP28 (Integrasi Sistem K/L dan RD TR Digital ke OSS)
  8. Program Perkotaan (Pilot Project DKI Jakarta): peningkatan kualitas pemukiman dan penyediaan tempat untuk Gig Economy

4 (empat) program dilanjutkan di program 2026

  1. Perpanjangan jangka waktu pemanfaatan PPh Final 0,5 persen bagi Wajib Pajak UMKM Tahun 2029 serta Penyesuaian Penerima PPh Final 0,5 persen bagi Wajib Pajak UMKM
  2. Perpanjangan PPh 21 DTP untuk Pekerja di Sektor terkait Pariwisata (APBN 2026)
  3. PPh Pasal 21 DTP untuk Pekerja di Sektor Industri Padat Karya (APBN 2026)
  4. Diskon iuran JKK dan JKM untuk semua penerima Bukan Penerima Upah (BPU)

5 (lima) program penyerapan tenaga kerja

  1. Operasional Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih diharapkan menyerap tenaga kerja di atas 1 juta tenaga kerja pada Desember.
  2. Kampung Nelayan Merah Putih ditargetkan jangka panjang menciptakan 200.000 lapangan kerja.
  3. Revitalisasi tambak pantura seluas 20.000 hektar diharapkan menyerap 168.000 tenaga kerja.
  4. Modernisasi 1.000 Kapal Nelayan diharapkan menciptakan 200.000 lapangan kerja.
  5. Perkebunan Rakyat dengan penanaman kembali 870.000 hektar oleh Kementerian Pertanian yang diharapkan membuka 1,6 juta lapangan kerja dalam 2 tahun.

Paradigma Baru: Fokus pada Efektivitas Pengeluaran, Bukan Semata Penerimaan

Di tengah situasi sulit dan kondisi Indonesia sedang tidak baik-baik saja, Langkah Pemerintah mulai meluncurkan 17 paket stimulus ekonomi dan mendorong belanja Pemerintah lebih cepat maka diharapkan akan mengerakkan roda-roda perekonomian, ibarat sebuah roda yang macet, maka perlu pelumas agar roda tersebut bisa berjalan cepat, dan salah satu pelumas tersebut adalah pengeluaran Pemerintah, hal ini sesuai dengan Teori Keynesian.

Disini kehadiran Menkeu Purbaya seolah sebagai game changer yang mengubah pola permainan ekonomi Indonesia yang selama ini mengalami kelesuan, sebenarnya dalam perekonomian persepsi Masyarakat itu harus diubah menjadi optimis dan jika Menkeu Purbaya mampu mengubah persepsi tersebut, maka tepat jika beliau disebut sebagai game changer.

Selain mempercepat belanja Pemerintah, ada baiknya Pemerintah juga melakukan reorientasi dan refocusing bagaimana belanja Pemerintah menjadi lebih efektif tentunya disesuaikan dengan visi dan misi Presiden Prabowo yaitu Asta Cita 8.

Beberapa ekonom berpendapat, kunci utama pertumbuhan ialah pada penerimaan negara, dan mereka kurang memberikan porsi pada sisi pengeluaran. Padahal pengeluaran pemerintah yang efektif justru akan mendorong pertumbuhan, dan dengan pertumbuhan yang baik akan meningkatkan penerimaan pajak. Jadi sekarang harus dilakukan refocusing cara pandangnya.

Selama ini diskursus fiskal di Indonesia terlalu terfokus pada aspek penerimaan pajak. Pemerintah didorong untuk memperluas basis pajak, mengejar kepatuhan, bahkan memperkenalkan skema pajak baru seperti pajak karbon atau pajak kekayaan. Dorongan tersebut bukan hanya di tingkat Pusat, namun sampai ke Daerah, beberapa daerah menaikkan besarnya PBB P2 hingga ratusan dan ribuan % hal ini membuat rakyat marah. Yang harus dipikirkan kembali oleh pengambil kebijakan, peningkatan penerimaan pajak tidak akan membawa dampak nyata jika pengeluarannya tidak efisien dan tidak tepat sasaran.

Studi Bank Dunia dan IMF menunjukkan bahwa negara-negara dengan belanja publik yang efisien mampu menurunkan tingkat kemiskinan lebih cepat, walau penerimaan pajaknya relatif moderat.

Kenaikan target pembiayaan di APBN khususnya dari utang akhirnya akan membebani rakyat di masa mendatang, walau Pemerintah berargumen untuk mencapai target-target Pembangunan (Indonesia Emas) memerlukan utang baru dan % hutang masih relative aman (berdasarkan UU max 60% dari PDB), merujuk saat Pemerintah Jokowi membuat hutang yang besar dalam mendukung proyek infrastruktur besar-besaran mulai berbuah, tahun 2025 sebesar 552,9 Triliun digunakan untuk membayar hutang bunga  yang jatuh tempo. Tabel berikut ini menggambarkan kenaikan pembayaran bunga utang dalam 5 tahun terakhir :

Keterangan (dlm Triliun)202020212022202320242025
Bunga Utang314,1343,5386,3439,9499552,9

Kerangka Teori

Kebijakan fiskal adalah instrumen utama dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Dalam konteks ini, efektivitas pengeluaran negara dapat dianalisis melalui teori-teori berikut:

  1. Teori Fungsi Alokatif, Distribusi, dan Stabilitas (Musgrave, 1959) Ada 3 fungsi utama kebijakan fiskal: fungsi alokatif, distribusi dan stabilisasi.

Dalam konteks ini, pengeluaran negara yang efektif harus memenuhi fungsi distribusi dan alokasi secara simultan untuk mengurangi ketimpangan dan kemiskinan.

  1. Teori Pengeluaran Publik (Wagner’s Law vs. Keynesian Approach)
  • Wagner’s Law menyatakan bahwa pengeluaran publik akan meningkat seiring pertumbuhan ekonomi dan permintaan akan layanan sosial.
  • Keynesian melihat pengeluaran pemerintah sebagai alat stimulus dalam situasi resesi atau krisis, untuk mendorong permintaan agregat dan penyerapan tenaga kerja.

Konteks Indonesia pasca-krisis 2025 lebih sesuai dengan pendekatan Keynesian, di mana pengeluaran negara perlu difokuskan pada sektor dengan multiplier effect tinggi terhadap konsumsi rumah tangga miskin.

  1. Teori Targeting dalam Kebijakan Sosial

The Principle of Targeting (van de Walle, 1998) menyatakan bahwa keberhasilan program sosial bergantung pada akurasi penargetan penerima manfaat (targeting accuracy). Kualitas data Adalah syarat penting

Efektivitas Belanja adalah Solusi Jangka Pendek & Panjang

Dalam situasi krisis fiskal seperti saat ini, menaikkan pajak bukan solusi cepat. Bahkan bisa kontraproduktif bila membebani masyarakat kelas menengah ke bawah. Sementara itu, belanja yang efisien dan terfokus dapat memberi dampak langsung ke masyarakat, mengurangi ketimpangan, dan memperkuat kepercayaan publik terhadap pemerintah. 

Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?

  1. Menjadi pioneer sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dalam situasi dunia usaha sedang tidak baik-baik saja.
  2. Reformasi Penganggaran Berbasis Kinerja

Belanja negara harus dikaitkan langsung dengan output dan outcome yang terukur. Bukan hanya “berapa besar anggaran disalurkan,” tetapi “berapa besar dampak sosial dan ekonomi yang dihasilkan.”

  1. Digitalisasi dan Transparansi Anggaran

Pemerintah harus mendorong sistem pelacakan digital untuk seluruh program bantuan.

  1. Pemangkasan Belanja Tidak Produktif

Evaluasi ulang belanja kementerian/lembaga, termasuk tunjangan yang diterima anggota DPR/DPRD, direksi BUMN, proyek infrastruktur yang mangkrak, serta belanja  pemerintah yang tidak mendesak. Uang tersebut lebih baik dialihkan ke sektor prioritas seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan.

  1. Penguatan Sistem Data Sosial-Ekonomi. Akurasi data penerima bantuan masih menjadi masalah utama.

Kesimpulan dan Rekomendasi : Momen untuk Reorientasi Fiskal

Kesimpulan :

  1. Penunjukan Menkeu Purbaya bisa dijadikan momentum perubahan kebijakan fiskal agar Pemerintah menjadi penggerak roda ekonomi, sampai saatnya dunia usaha sudah kembali bergairah.
  2. Demonstrasi besar-besaran Agustus 2025 harus dibaca sebagai alarm keras. Pemerintah tidak hanya dituntut untuk “mengumpulkan lebih banyak uang,” tetapi menggunakan setiap rupiah secara lebih bijaksana dan adil.
  3. Kemiskinan bukan hanya masalah kurangnya pendapatan, tapi juga kurangnya keberpihakan dalam alokasi anggaran, program stimulus ekonomi akan menunjukan keberpihakan Pemerintah kepada rakyat kebanyakan.
  4. Saatnya menggeser paradigma: dari mengejar penerimaan ke memastikan efektivitas pengeluaran. Hanya dengan begitu, Indonesia dapat bangkit lebih cepat dan adil dari krisis ini.

Penulis Ketua Departemen Litbang dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI

Pinno Siddharta
Email: pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis

 

 

Perekonomian Indonesia Setelah 80 Tahun Kemerdekaan

Delapan dekade ini penulis jadi teringat sebuah lagi yang syairnya sangat enak dan melankolis lagu yang berjudul Ibu Pertiwi yang diciptakan oleh Ismail Marzuki. Salah satu lirik yang relevan dengan kondisi perekonomian saat ini yaitu “kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati”.

Kondisi saat ini perekonomian Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja. Penulis beranggapan, perlambatan perekonomian terutama dikuartal pertama, karena didorong dengan penurunan daya beli masyarakat kelas menengah, stagnasi pendapatan dan perlambatan investasi. juga pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mencapai 42.385 pekerja di tahun 2025.

Tekanan inflasi dan kenaikan harga kebutuhan pokok, ditambah kebijakan fiskal yang mungkin mengurangi daya beli, sampai dengan bulan Juli 2025 inflasi terus merangkak naik sampai dengan 2,7 %.

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) dari 10 persen ke 11 persen (warisan dari pemerintahan lama , nyaris naik menjadi 12 persen namun dibatalkan di pemerintahan baru ) membuat daya beli masyarakat mengalami penurunan karena harga barang naik, mengingat sifat PPN yang melekat pada harga barang yang dikomsumsi masyarakat.

Bahkan timbul isu yang mewacanakan dan menuai polemik pekerja seks komersial (PSK) akan dikenakan pajak penghasilan, padahal dalam hukum ketenaga kerjaan profesi PSK tidak diakui dalam hukum ketenaga kerjaan Indonesia.

Persoalan pajak memiliki peranan yang siginikan dalam ekonomi makro, Arthur Laffer ekonom yang mengembangkan teori Kurva Laffer menjelaskan bagaimana tarif pajak yang terlalu tinggi dapat menurunkan aktivitas perekonomian sehingga bermuara pada menurunya pendapatan pajak. Ibnu Khaldun ahli ekonomi abad ke-14 menjelaskan pentingnya mempertimbangkan kapasitas daya beli rakyat, karena pajak yang tinggi akan memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Indonesia mungkin dapat belajar dengan negara tetangga Malaysia yang memiliki kultur yang mirip dan serumpun dengan kita. Malaysia baru merdeka di tahun 1957 sekitar 68 tahun, Indonesia lebih tua sedikit dari Malaysia. Namun jika kita membandingkan pendapatan perkapita Malaysia 14.423 US $ (peringkat ke-67 didunia) dan Indonesia 5.248 US $ (peringkat ke-122 didunia).

Inflasi di Malaysia 1%, pertahun Indonesia mencapai 3,2 persen pertahun. Jumlah pengganguran pertahun 2025 di Indonesia 7,28 juta orang sedangkan di Malaysia 525.900 orang. Indonesia memang memiliki penduduk yang jauh lebih banyak 285 juta jiwa sedangkan Malaysia hanya 36 juta jiwa penduduk Malaysia, namun mengukur kesejahteraan penduduknya dapat dilihat dari pendapatan perkapita Malaysia yang jauh lebih baik dari kita.

Selalu ada jalan keluar dari sebuah persoalan, karena seperti pepatah dimana ada kemauan pasti ada jalan keluar (where there’s a will, there is a way). Jalan keluar untuk membenarkan perekonomian akan dapat dicapai asalkan kita semua baik pemerintah maupun masyarakat sama-sama terus berupaya berfikir dan bekerja keras untuk membenahi persoalan ekonomi yang terjadi saat ini dan tentunya selalu dengan kebijakan-kebijakan yang ramah bisnis dan pro-rakyat.

Semoga 80 tahun Indonesia merdeka bisa membawa kebaikan buat kita semua rakyat semesta. Salam dan Doa.

Penulis adalah Anggota Departemen Litbang IKPI

Dr. Irwan Wisanggeni

Email: irwanwisanggeni@yahoo.co.id

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

Pajak atas Warisan, Antara Regulasi dan Realita

Belakangan ini isu pajak atas warisan kembali ramai dibicarakan. Banyak orang baru menyadari bahwa menerima harta peninggalan keluarga yang wafat ternyata tidak sesederhana membalikkan nama sertifikat. Bahkan, belum lama ini seorang mantan artis cilik sempat tersorot publik karena harus mengurus kewajiban pajak atas harta warisan dari orang tuanya.

Padahal, secara hukum sebenarnya jelas. Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) sejak 1983, yang terakhir diperbarui lewat UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), menyebutkan bahwa setiap tambahan kemampuan ekonomis pada dasarnya adalah objek pajak. Termasuk penghasilan dari pengalihan aset seperti tanah dan bangunan.

Hal ini ditegaskan kembali dalam PP Nomor 34 Tahun 2016, yang mengatur bahwa penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan bangunan dikenai PPh Final, baik melalui penjualan, hibah, pelepasan hak, lelang, maupun warisan.

Namun, di sisi lain, Pasal 4 ayat (3) UU HPP dengan tegas menyebut bahwa warisan bukan objek pajak. Artinya, secara normatif ahli waris seharusnya terbebas dari kewajiban PPh atas harta peninggalan.

Persoalannya muncul ketika PMK 81/2024 hadir. Aturan ini menyebut bahwa pembebasan pajak hanya bisa berlaku apabila ahli waris terlebih dahulu mengurus Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh ke kantor pajak.

Tanpa SKB, warisan berupa tanah atau bangunan bisa saja dianggap objek pajak, meski undang-undang sudah menyebut sebaliknya. Di sinilah muncul potensi kontradiksi: undang-undang menyatakan bebas tanpa syarat, tetapi aturan teknis justru menambahkan prasyarat administratif.

Bagi masyarakat awam, situasi ini tentu membingungkan. Tapi pada praktiknya, ahli waris tetap perlu mengikuti prosedur yang ditetapkan agar tidak terbebani PPh Final. Maka, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengajukan SKB PPh sesuai Pasal 200 ayat (2) PMK 81/2024 ke KPP terdaftar. Setelah itu, wajib mengisi formulir sesuai PER-8/2023, melampirkan dokumen persyaratan, dan bila perlu berkonsultasi dengan KPP atau konsultan pajak yang teregister.

Selain syarat administratif tersebut, ada hal lain yang tidak kalah penting: pastikan pewaris, dalam hal ini orang tua, sudah melaporkan seluruh asetnya di SPT Tahunan, terutama aset yang akan diwariskan. Dengan begitu, proses balik nama sertifikat menjadi lebih lancar dan terhindar dari persoalan pajak di kemudian hari.

Pada akhirnya, warisan memang bukan objek pajak penghasilan. Tetapi praktik di lapangan menuntut adanya SKB sebagai bukti formal pembebasan. Tanpa SKB, ada risiko warisan diperlakukan sebagai objek PPh Final. Karena itu, pesan pentingnya sederhana: segera urus SKB setelah pewaris wafat dan sebelum balik nama sertifikat. Ini bukan sekadar prosedur administratif, tetapi jaminan agar hak ahli waris terlindungi dan kewajiban pajak terselesaikan dengan benar.

Penulis adalah Ketua Departemen Advokasi & Bantuan Hukum, IKPI

Andreas Budiman

Email: andreas.budiman269681@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Tunggakan Pajak Daerah: Antara Pemutihan dan Mandeknya Pembangunan

Pembangunan di daerah seringkali terhambat bukan semata karena keterbatasan anggaran pusat, tetapi karena potensi pendapatan asli daerah yang gagal digarap maksimal. Kota Bontang adalah contoh nyata.

Hingga akhir 2024, tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) mencapai Rp 55,24 miliar. Angka ini mencerminkan besarnya potensi yang hilang untuk membiayai pembangunan jalan, fasilitas publik, hingga program sosial yang sangat dibutuhkan masyarakat.

Lebih ironis lagi, tunggakan tersebut menumpuk sejak 2018 tanpa penyelesaian berarti. Validasi data objek pajak baru rampung di tiga kelurahan, sosialisasi manfaat PBB masih terbatas, pilihan metode pembayaran belum fleksibel, sementara sebagian warga justru terbiasa menunggu pemutihan. Alhasil, alih-alih mempercepat penerimaan, kebijakan pemutihan yang kerap diberlakukan justru menumbuhkan budaya menunda.

Kondisi ini seolah menjadi lingkaran setan: tunggakan menumpuk, pemutihan diumumkan, masyarakat menunda, pembangunan pun mandek. Padahal, pajak daerah sejatinya adalah kontrak sosial: warga membayar kewajiban, pemerintah mengembalikan dalam bentuk pembangunan.

Bontang tidak sendirian. Di berbagai daerah, masalah serupa dihadapi, namun strategi yang dipilih berbeda. Batam menekan tunggakan dengan membebaskan denda sebulan penuh sambil memperluas kanal pembayaran digital melalui e-wallet dan QRIS.

Tarakan memberi insentif berupa diskon progresif, dari 50% untuk tunggakan lama hingga 10% untuk tunggakan baru. Pekanbaru memilih pemutihan dengan tenggat waktu ketat, mencegah warga menunda. Bengkulu meluncurkan aplikasi PADEK untuk distribusi SPPT digital. Sementara DKI Jakarta mengambil jalur keadilan sosial dengan membebaskan PBB untuk rumah dengan NJOP di bawah Rp 2 miliar.

Dari sini terlihat bahwa solusi tidak bisa seragam. Ada yang mengandalkan teknologi, ada yang memikat dengan insentif, ada pula yang mengedepankan keberpihakan sosial. Semua menyesuaikan dengan karakter wajib pajak di daerahnya.

Untuk Bontang, pemutihan denda hingga Desember 2025 bisa menjadi pintu masuk, tapi tidak boleh berhenti di sana. Tanpa digitalisasi penuh, pendataan ulang berbasis teknologi GIS, serta sosialisasi intensif di daerah dengan tunggakan tinggi, kebijakan ini hanya akan mengulang siklus lama. Batas waktu pemutihan pun perlu ditegaskan agar masyarakat tak lagi bergantung pada “pengampunan pajak” berikutnya.

Tunggakan Rp 55 miliar memang tampak sebagai masalah fiskal, tetapi dampaknya jauh lebih luas, terhambatnya pembangunan yang seharusnya dinikmati warga. Pemutihan bisa jadi solusi sementara, namun reformasi tata kelola pajaklah yang menentukan apakah Bontang mampu mengubah beban ini menjadi peluang.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Sidoarjo

Muhammad Ikmal

Email: ikmal.patarai@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

Pajak Kekayaan, Obat atau Racun?

Pajak kekayaan kembali mengemuka sebagai opsi kebijakan di berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk mengurangi ketimpangan dan meningkatkan penerimaan negara, apalagi realisasi penerimaan pajak sampai dengan 11 Agustus 2025 baru mencapai 996 triliun atau 45,5% dari target sehingga sebagian pihak mengusulkan agar Pemerintah menetapkan pajak kekayaan.

Namun, efektivitasnya dan manfaatnya diperdebatkan baik secara teori maupun prakteknya di beberapa negara, sehingga jika jadi diterapkan : apakah pajak kekayaan benar-benar menjadi instrumen solusi (obat) atau justru menimbulkan masalah baru (racun).

Dalam pengklasifikasian mengenai orang kaya, ada 2 pendekatan yang umum dipakai di dunia yaitu (asumsi 1 usd – Rp. 15.000,-) :

1.      HNWI = High Net Worth Individual, yaitu individu yang memiliki asset > 1 juta USD (Rp. 15 milyar  atau lebih, termasuk tempat tinggal utama.

2.      UHNWI = Ultra High Net Worth Individual, yaitu individu yang memiliki asset > 30 juta USD (Rp. 450 milyar, atau lebih termasuk tempat tinggal utama.

Pajak Kekayaan Obat atau Racun

1.      Pajak Kekayaan sebagai Obat

a)      Alasan Normatif & Keadilan

·        Mengurangi ketimpangan: Di negara dengan konsentrasi kekayaan tinggi pada kelompok 1% teratas, pajak kekayaan dianggap adil untuk redistribusi. Dimana 1% orang kaya Indonesia menguasai 36% perekonomian nasional (CNN : 5 Feb 2025).

Prinsip kemampuan membayar (ability to pay): Wajib pajak yang memiliki akumulasi aset besar dianggap punya kewajiban lebih besar untuk berkontribusi.

b)      Alasan Fiskal

Potensi penerimaan tambahan: Pajak kekayaan bisa membuka ruang fiskal baru di tengah keterbatasan basis pajak penghasilan (karena banyak sektor informal).

Sumber jangka panjang: Bila dirancang baik, bisa menopang belanja sosial, pendidikan, dan kesehatan, yang terbukti efektif menurunkan kemiskinan (lihat kajian Bank Dunia dan OECD).

c)       Alasan Politik-Ekonomi

Simbol keadilan sosial: Mengirim sinyal bahwa negara serius menekan oligarki dan memperluas rasa keadilan.

Legitimasi pemerintah: Dalam konteks demokrasi, dapat memperkuat kepercayaan publik terhadap institusi fiskal.

2.      Pajak Kekayaan sebagai Racun

a)      Masalah Teknis & Administratif

Sulit valuasi aset: Kekayaan berbentuk tanah, saham perusahaan tertutup, karya seni, atau aset digital sulit diukur secara tepat.

Biaya administrasi tinggi: Pemungutan dan penegakan hukum lebih mahal dibandingkan pajak konsumsi/PPh.

b)      Masalah Ekonomi

Capital flight & tax avoidance: Orang kaya bisa dengan mudah mengalihkan kekayaannya ke luar negeri (contoh: Prancis, yang akhirnya mencabut wealth tax pada 2017 karena banyak miliarder pindah domisili).

Dampak pada investasi: Bisa mengurangi insentif menanam modal di dalam negeri, jika tidak ada insentif yang menyeimbanginya.

c)       Masalah Politik

Resistensi kelompok elit: Potensi lobi kuat dari kelompok kaya untuk melemahkan atau menggagalkan implementasi.

Distorsi kebijakan: Bisa memicu kompromi politik yang justru menghasilkan aturan setengah hati, sehingga manfaatnya minim, tapi biayanya besar.

Matriks: Pajak Kekayaan, Obat atau Racun?

Aspek

Manfaat (Obat)

Kerugian (Racun)

Keadilan Sosial

Mengurangi ketimpangan, sesuai prinsip ability to pay.

Resistensi politik dari elit, berpotensi melemahkan legitimasi jika gagal.

Fiskal

Sumber penerimaan tambahan untuk membiayai belanja sosial & infrastruktur.

Penerimaan cenderung kecil di banyak negara; biaya administrasi relatif tinggi.

Ekonomi

Redistribusi bisa meningkatkan daya beli kelas menengah & miskin.

Risiko capital flight, penghindaran pajak, menurunkan insentif investasi.

Administrasi

Mendorong transparansi aset & perbaikan sistem data kekayaan.

Sulit valuasi aset (tanah, saham tertutup, karya seni, aset digital).

Politik-Ekonomi

Menjadi simbol komitmen pemerintah melawan ketimpangan & oligarki.

Bisa dipolitisasi; jika gagal, menurunkan kepercayaan publik terhadap fiskus.

Pengalaman Negara

Norwegia & Spanyol masih menerapkan dengan tingkat keberhasilan tertentu.

Prancis, Jerman, Swedia, Denmark mencabut karena biaya > manfaat.

3.      Pengalaman Negara Lain

• Berhasil (sebagian):

• Spanyol: Wealth tax digunakan kembali pasca krisis 2008 sebagai instrumen darurat penerimaan.

• Norwegia: Masih memberlakukan pajak kekayaan, tapi didukung sistem informasi pajak yang transparan dan budaya kepatuhan tinggi.

• Gagal / Dihapus:

• Prancis: Dicabut pada 2017 karena mendorong eksodus kapital.

• Jerman, Swedia, Denmark: Menghapus karena biaya administrasi lebih besar daripada penerimaan.

4.      Analisis Pragmatik

• Jika diterapkan di Indonesia, tantangan besar:

• Kapasitas administrasi pajak masih terbatas (data aset belum terintegrasi penuh).

• Potensi penghindaran pajak tinggi karena lemahnya regulasi harta luar negeri.

• Kultur kepatuhan pajak di kalangan HNWI (high net worth individuals) masih rendah.

• Namun, manfaatnya bisa signifikan, jika:

• Basis data harta nasional (wealth registry) kuat dan transparan.

• Diiringi kerja sama internasional (automatic exchange of information/AEOI).

• Disertai strategi komunikasi publik yang menekankan keadilan sosial.

5.      Berapa potensi Pajak Kekayaan :

Simulasi Pajak Kekayaan di Indonesia

A.      Asumsi Dasar

1.      Jumlah HNWI (High Net Worth Individuals)

o   Menurut Knight Frank (2022), jumlah HNWI di Indonesia sekitar 36.742 orang (memiliki kekayaan > USD 1 juta ≈ Rp 15 miliar). Sedangkan menurut The Wealth Report 2022 estimasi HNWI di Indonesia sebanyak 134.015 orang.

2.      Total kekayaan HNWI Indonesia

o   Pada faktanya tidak ditemukan riel asset dari seluruh HNWI + UNHWI di Indonesia, namun kita bisa membuat estimasi secara konservatif. Dengan menggabungkan beberapa data dari forbes, dan Knight Frank.

o   Total asset 50 orang terkaya Indonesia menurut Forbes sebanyak USD 262,57 Milyar.

o   Total asset UNHWI = 1.479 orang – 50 terkaya = 1.229 orang x USD 50 juta = USD 61,45 milyar.

o   Total asset NHWI = 134.015 orang x USD 2 juta = USD 268 milyar

o   Sehingga total estimasi asset = USD 595,02 milyar

o   Jika angka 595,02 Milyar dibulatkan menjadi USD 600 miliar (≈ Rp 9.000 triliun). Dengan asumsi kurs 1 USD = Rp. 15.000,- total kekayaan sebesar Rp. 9.000 triliun.

3.      Skema pajak kekayaan (hipotetis)

o   Tarif 1% per tahun untuk kekayaan bersih di atas Rp 100 miliar.

o   Diasumsikan 20% dari total kekayaan HNWI masuk kategori > Rp 100 miliar (karena distribusi sangat terkonsentrasi di top tier).

B.      2. Perhitungan Kasar

• Kekayaan yang kena pajak:

20% × Rp 9.000 triliun = Rp 1.800 triliun

• Potensi penerimaan pajak (1%):

1% × Rp 1.800 triliun = Rp 18 triliun per tahun

3. Interpretasi

• Angka Rp 18 triliun ≈ setara dengan:

• Hampir 1,5 kali anggaran Program Keluarga Harapan (PKH) tahun 2024.

• Dapat membiayai pembangunan ribuan sekolah atau puskesmas.

• Namun, potensi ini bisa berkurang drastis karena:

• Tax avoidance: HNWI memindahkan aset ke luar negeri atau menyamarkannya.

• Kapasitas administrasi pajak: Sulit mendata dan menilai nilai wajar aset (tanah, saham non-publik, dll).

• Biaya kepatuhan: Tinggi bagi fiskus untuk mengawasi kepemilikan aset global.

6.      Kesimpulan

Apakah pajak kekayaan obat atau racun?

• Sebagai obat, pajak kekayaan bisa memperluas penerimaan negara dan menekan ketimpangan, terutama bila didukung sistem data aset yang kuat dan budaya kepatuhan tinggi.

• Sebagai racun, ia bisa kontraproduktif bila diterapkan dengan administrasi lemah, menimbulkan eksodus modal, dan hanya menghasilkan penerimaan kecil dengan biaya tinggi.

Ringkasan

• Lebih banyak risikonya jika diterapkan dengan sistem perpajakan yang lemah (contoh: Indonesia saat ini).

• Lebih banyak manfaatnya bila diterapkan di negara dengan administrasi pajak yang kuat, basis data aset jelas, dan kepatuhan tinggi (contoh: Norwegia).

• Alternatif lebih realistis untuk Indonesia: memperkuat pajak penghasilan progresif, pajak warisan, dan pajak kapital gain, serta mengoptimalkan belanja negara yang efektif.

Penulis Ketua Departemen Litbang dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI

Pino Siddharta

Email: pinosiddharta@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini adalah pribadi penulis

pendapat

Membidik Shadow Economy, Jalan Baru Menggenjot Penerimaan Pajak

Penerimaan pajak selalu menjadi nadi utama pembiayaan negara. Tahun 2025, target penerimaan pajak Indonesia tahun 2025 tercatat sebesar Rp2.189 triliun atau naik sekitar 10,08% dibandingkan tahun 2024 sebesar Rp Rp1.988 triliun. Angka tersebut memang impresif, namun tantangan sudah menanti di depan mata: pada 2026 karena pemerintah menargetkan penerimaan pajak yang lebih tinggi, yakni Rp2.357 triliun atau naik sebesar 13,,51% dari tahun 2025.

Untuk mencapai target tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dituntut mencari sumber baru yang selama ini belum tergarap optimal. Salah satu yang kini mulai serius dibidik adalah shadow economy, harta karun ekonomi yang masih berada di luar jangkauan sistem perpajakan.

Shadow economy atau disebut ekonomi bayangan merupakan aktivitas ekonomi yang disembunyikan, tidak tercatat secara resmi dan sulit terdeteksi oleh otoritas pajak, sehingga luput dari pengenaan pajak. Aktivitas ini dilakukan di luar sistem formal dengan alasan moneter berupa penghindaran pajak, dan iuran jaminan sosial, alasan regulasi mencakup penghindaran ketentuan perundang-undangan yang berlaku seperti pembayaran upah dibawah ketentuan upah minimum, dan alasan kelembagaan yang mencakup penghindaran ketentuan kelembagaan pemerintahan atau birokrasi.

Adapun karakteristik shadow economy meliputi kegiatan ekonomi yang sering dilakukan secara tunai dan informal dan tidak dilaporkan pada SPT sehingga sulit dijangkau oleh sistem perpajakan konvensional dan sistem administrasi negara termasuk dalam perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB).

Ekonomi bayangan menimbulkan beberapa tantangan bagi sistem perpajakan di Indonesia yaitu pertama, mengerus pengenaan basis pajak ketika transaksi ekonomi tidak dilaporkan sehingga pemerintah kehilangan potensi pajak atas transaksi ekonomi, kedua, ketidakadilan pengenaan pajak sehingga menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat, dan ketiga menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga akibat lemahnya tata kelola dan ketidakadilan pengenaan pajak sehingga menghambat kepatuhan pembayaran pajak secara sukarela oleh Wajib Pajak.

Oleh sebab itu shadow economy sangat berdampak besar terhadap penerimaan negara yang mengakibatkan potensi pajak yang hilang, ketimpangan fiskal karena pelaku formal menanggung beban pajak yang lebih besar dan terjadinya distorsi data ekonomi karena aktivitas shadow economy tidak tercatat dalam PDB.

Shadow economy bukan sekadar cerita mistis yang hanya bisa dirasakan namun tidak tercatat dan tidak dapat dipajaki. Kajian Nanda Puja Rezky dalam judulnya Kajian Kegiatan Shadow Economy di Indonesia: Sebuah Studi Literatur1 mencatat bahwa studi empiris yang dilakukan oleh Ramadhan (2019) melalui pendekatan moneter dan analisis sensitivitas permintaan uang untuk periode 2000-2017 menunjukkan terdapat ukuran shadow economy di Indonesia rata-rata sebesar Rp528 triliun, dan jika dibandingkan dengan PDB setiap tahunnya maka jumlah rata-rata rasionya 7,58% terhadap PDB. Sedangkan Penelitian yang dilakukan oleh Tatariyanto (2014) dengan menggunakan pendekatan Model – Multiple Indicator Multiple Cause (MIMIC) memperkirakan shadow economy di Indonesia antara tahun 2000 dan 2008 rata-rata mencapai 20% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Ukuran shadow economy ini juga serupa dengan Penelitian yang dilakukan oleh Schneider (2010) pada rentang 1999 -2007, dengan rentang ukuran shadow economy sekitar 18% hingga 21% dari PDB. Studi empiris tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat kegiatan ekonomi yang tidak tercatat dalam estimasi PDB yang berpengaruh cukup signifikan terhadap penerimaan pajak di Indonesia.

Sedangkan ukuran shadow economy menurut PPATK seperti dikutip dari laman Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2022, Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pencegahan PPATK Fithriadi Muslim menyampaikan shadow economy yang ada diperkirakan sebesar kisaran 8,3 persen hingga 10 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sehingga bila dihitung potensi kehilangan penerimaan negara dari shadow economy dengan ukuran shadow economy sebesar 10% dari estimasi PDB tahun 2025 sebesar Rp23.500 triliun, maka potensi target penerimaan pajak bisa mencapai Rp2.350 triliun. Angka ini hampir setara 5 (lima) kali lebih dari anggaran pembuatan Ibukota Negara yang mencapai Rp460 triliun, dan target penerimaan negara bisa tercapai serta bahkan bisa melampaui target penerimaan negara di tahun 2025.

Langkah Serius Pemerintah

Pemerintah tidak tinggal diam, sejumlah langkah sudah dan sedang dilakukan, antara lain melakukan Integrasi NIK dengan NPWP untuk mempersempit ruang pelaku usaha bersembunyi, memperkuat basis data dan pengawasan melalui Core Tax System, membuat ekosistem pembayaran digital melalui Payment ID yang mengintegrasikan seluruh transaksi digital termasuk QRIS dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK), membuat dan merencanakan aturan baru ketentuan pajak seperti transaksi Bitcoin, platform online, perdagangan emas, perikanan, perdagangan eceran, makan dan minuman, meningkatkan proses canvasing melalui pendataan dan menjangkau wajib pajak yang belum terdaftar, integrasi data dengan Nomor Induk Berusaha dan OSS BKPM, melakukan penunjukkan entitas luar negeri sebagai pemungut PPN atas transaksi digital PMSE dan langkah-langkah lainnya.

Namun, tentu langkah-langkah tersebut tidak mudah, karena terdapat kendala serius meliputi kepercayaan publik rendah terhadap pengelolaan pajak yang bisa menimbulkan resistensi, kesiapan sistem perpajakan, integrasi sistem antar lembaga, mengidentifikasikan aktivitas yang dilakukan secara tunai dan informal, dan kesiapan para pelaku usaha terutama pelaku usaha kecil dalam menggunakan sistem administrasi perpajakan yang modern.

Membidik shadow economy bukan hanya sekadar strategi mengejar angka, melainkan upaya membangun sistem perpajakan yang lebih adil sehingga dapat meningkatkan kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak secara sukarela dan otomatis meningkatkan kepatuhan wajib pajak secara sendirinya.

Untuk itu, pemerintah khususnya DJP harus memastikan bahwa kebijakan yang dibuat dan diterapkan tidak represif, tetapi inklusif dan edukatif. Penyederhanaan aturan, transparansi penggunaan pajak, serta digitalisasi administrasi akan menjadi kunci.

Jika momentum ini dikelola dengan baik, shadow economy bisa berubah dari “beban tersembunyi” menjadi sumber cahaya baru bagi penerimaan negara. Dengan demikian, baik target penerimaan pajak 2025 sebesar Rp2.189 triliun maupun target penerimaan pajak 2026 sebesar Rp2.357 triliun bukan hanya target diatas kertas saja, namun menjadi target penerimaan yang realistis dan menjadi langkah menuju kemandirian fiskal yang mandiri dan lebih kokoh.

Penulis adalah Pengurus Pusat IKPI – Ketua Bidang Pajak Internasional Negara Afrika.

Rianto Abimail, SE, SH, MAk, Ak, CA, CPA, Asean CPA, FCPA (Aust.), BKP, CMed,CRA, CPCLE, CFI

Email: rianto.abimail@kap-gpaa.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

Triliunan Rupiah Menanti, Mampukah Indonesia Rebut Pajak Global?

Kesepakatan Global Minimum Tax (GMT) sebesar 15 persen di bawah kerangka OECD/G20 Inclusive Framework telah menandai babak baru dalam tata kelola perpajakan dunia. Kebijakan ini ditujukan untuk menutup ruang penghindaran pajak lintas batas yang selama ini dilakukan oleh perusahaan multinasional, khususnya mereka yang beromzet global di atas €750 juta (OECD, 2021).

Bagi Indonesia, GMT membuka peluang besar. Selama ini, perusahaan digital global menikmati pasar domestik yang luas, tetapi kontribusi pajaknya masih minim. Kementerian Keuangan (2023) memperkirakan potensi tambahan penerimaan mencapai Rp20–30 triliun per tahun. Angka ini tentu penting, terutama bila dibandingkan dengan target penerimaan perpajakan 2025 sebesar Rp2.189 triliun dan target 2026 sebesar Rp2.357 triliun (Kemenkeu, 2024).

Namun, optimisme ini perlu dicermati. International Monetary Fund (IMF, 2022) mengingatkan bahwa mekanisme pembagian pajak yang kompleks berisiko lebih menguntungkan negara asal perusahaan multinasional (home country). Artinya, meskipun tarif minimum global sudah berlaku, penerimaan tambahan bisa lebih banyak masuk ke kas negara maju dibanding ke negara pasar seperti Indonesia.

Belajar dari India dan Brasil

Negara berkembang lain sudah lebih dulu bersikap tegas. India, misalnya, tidak sepenuhnya tunduk pada OECD karena khawatir hanya mendapat “sisa kue”. Mereka tetap mempertahankan instrumen domestik berupa Equalisation Levy sejak 2016 untuk menjamin adanya penerimaan dari transaksi digital asing.

Sementara itu, Brasil memilih jalur diplomasi agresif. Mereka aktif menekan negara maju dalam perundingan agar formula pembagian pajak lebih berpihak pada negara pasar. Brasil menjadi bagian dari kelompok vokal dalam OECD/G20 yang menuntut distribusi lebih adil.

Kedua contoh ini memberi pelajaran penting: negara berkembang tidak boleh pasif. Tanpa keberanian politik, potensi penerimaan bisa hilang begitu saja.

Jalan Tengah untuk Indonesia

Indonesia menghadapi tiga tantangan utama. Pertama, mekanisme pembagian pajak yang masih belum sederhana. Kedua, kapasitas administrasi pajak yang perlu ditingkatkan untuk menelusuri laba global perusahaan multinasional. Ketiga, risiko dominasi negara maju, yang dapat mengurangi porsi penerimaan bagi negara pasar.

Untuk itu, ada beberapa langkah strategis yang perlu diambil:

1. Perkuat aturan domestik. Revisi UU Pajak Penghasilan agar klausul GMT dapat diimplementasikan langsung di dalam negeri.

2. Aktif di forum internasional. Indonesia harus memperkuat peran di OECD/G20, bukan sekadar pengikut.

3. Bangun koalisi strategis. Kerja sama dengan India, Brasil, dan Afrika Selatan dapat meningkatkan posisi tawar.

4. Investasi pada transparansi data. Sistem informasi lintas negara perlu dikembangkan untuk mengawasi laba perusahaan multinasional.

Global Minimum Tax seharusnya menjadi alat pemerataan penerimaan pajak global, bukan instrumen baru yang memperkuat dominasi negara maju. Bagi Indonesia, kuncinya adalah keberanian politik untuk memperjuangkan kepentingan nasional sekaligus kapasitas teknis untuk memanfaatkan peluang.

Jika berhasil, Indonesia bukan hanya akan meraih tambahan penerimaan hingga puluhan triliun rupiah, tetapi juga menegaskan bahwa era “main aman” bagi perusahaan multinasional telah berakhir. Sebaliknya, jika pasif, potensi besar itu bisa saja mengalir keluar negeri.

Referensi

• OECD (2021). Statement on a Two-Pillar Solution to Address the Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy.

• OECD (2023). Tax Challenges Arising from the Digitalisation of the Economy – Global Anti-Base Erosion (GloBE) Rules.

• Kementerian Keuangan RI (2023). Outlook Perpajakan Indonesia.

• Kementerian Keuangan RI (2024). Nota Keuangan dan RAPBN 2025–2026.

• IMF (2022). Global Minimum Tax: Impact on Developing Countries.

Penulis adalah Ketua Departemen Humas PP-IKPI, Dosen, Konsultan, dan Praktisi Perpajakan

Jemmi Sutiono

Email : jemmi.sutiono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan dan pendapat pribadi penulis

HUT IKPI Ke-60: Kebersamaan yang Menguatkan Ciptakan Semangat yang Tak Pernah Padam

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) merayakan Hari Ulang Tahun ke-60 dengan penuh semangat kebersamaan. Momentum enam dekade perjalanan ini menjadi bukti nyata komitmen IKPI dalam menjaga profesionalisme, integritas, dan peran strategis konsultan pajak di Indonesia.

Kebersamaan ini tentu akan semakin memberi energi yang tak ternilai harganya. Dalam setiap langkah, rasa saling mendukung dan semangat untuk maju bersama menjadi fondasi kokoh yang membuat kita mampu melewati berbagai tantangan. Demikian pula di lingkungan IKPI, nilai kebersamaan selalu menjadi napas yang menghidupkan asosiasi ini.

Kami percaya, tanpa kebersamaan, tak mungkin lahir karya besar yang bermanfaat luas. Sinergi antaranggota, pengurus, dan seluruh pihak yang terlibat, menjadi sumber kekuatan yang membuat IKPI terus tumbuh, beradaptasi, dan berinovasi.

Kebersamaan ini tentu akan semakin memberi semangat bagi kami untuk terus berkarya bagi asosiasi yang amat kami cintai dan banggakan. Terlebih di momen istimewa ini, HUT IKPI yang ke-60, kami ingin menjadikannya sebagai momentum refleksi sekaligus motivasi untuk melangkah lebih jauh. Enam dekade perjalanan bukanlah waktu yang singkat, melainkan bukti keteguhan, loyalitas, dan kontribusi nyata dari seluruh keluarga besar IKPI.

Mari kita rawat kebersamaan ini. Mari kita jadikan IKPI sebagai rumah besar tempat kita berkontribusi, bertumbuh, dan melahirkan gagasan terbaik. Karena bersama, kita lebih kuat. Bersama, kita bisa terus melangkah, menorehkan karya, dan menjaga marwah organisasi yang kita banggakan. Sukses IKPI, sukses untuk Kita semua.

Selamat Ulang Tahun IKPI ke-60,

IKPI Untuk Nusa Bangsa…

IKPI Pasti Bisa…

IKPI Jaya… Jaya… Jaya…

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Kota Bekasi

Ratih Kumala

Email: rhaty07@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

Seminar Nasional: Wadah Silaturahmi dan Kebersamaan Anggota IKPI

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menorehkan sejarah penting dalam rangkaian Hari Ulang Tahun (HUT) ke-60 yang digelar pada 26–27 Agustus 2025. Bagi para anggota, momen ini bukan sekadar perayaan, melainkan juga ruang silaturahmi yang mempertemukan kembali rekan-rekan seprofesi dalam suasana penuh kebersamaan.

Sejak terbitnya PMK 111/PMK.03/2014 tentang Sertifikat Konsultan Pajak (SKP), profesi konsultan pajak di Indonesia memasuki babak baru. Aturan tersebut menjadi tonggak penting dalam menetapkan standar kompetensi, kewajiban, serta tata cara perizinan konsultan pajak. Di balik regulasi itu, lahirlah semangat kebersamaan yang mempertemukan para konsultan dalam satu wadah profesional bernama IKPI.

Melalui asosiasi ini, perjalanan anggota bukan hanya soal berbagi pengetahuan dan berdiskusi, tetapi juga tentang menumbuhkan rasa persaudaraan. Sedikit demi sedikit, kebersamaan itu membentuk pribadi-pribadi profesional yang lebih teguh menghadapi berbagai tantangan. Tak terasa, ikatan yang terjalin hampir memasuki satu dasawarsa—sebuah bukti nyata bahwa persahabatan yang berlandaskan ketulusan mampu bertahan melewati perubahan zaman.

Seminar Nasional yang menjadi bagian dari perayaan HUT ke-60 tahun ini kembali mengingatkan bahwa IKPI lebih dari sekadar wadah profesi. Ia adalah jembatan yang menyatukan hati dan langkah, menjadikan rekan seprofesi tumbuh layaknya saudara dalam ikatan asosiasi yang kokoh.

Enam dekade perjalanan tentu bukan waktu yang singkat. Usia 60 tahun adalah tanda kematangan sebuah organisasi. Harapannya, IKPI semakin teguh berdiri sebagai rumah, perekat, sekaligus penggerak bagi para anggotanya. Dengan kepemimpinan yang solid, IKPI diyakini mampu terus menjadi pilar penguat yang menuntun setiap langkah agar sejalan dengan semangat kebersamaan.

Selamat ulang tahun yang ke-60 untuk IKPI! Teruslah berkarya, melahirkan konsultan pajak yang unggul, serta menjaga persaudaraan yang telah terjalin erat.

Happy Birthday IKPI – IKPI untuk Nusa Bangsa.

Penulis adalah Anggota Dept Pendidikan PP Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Tintje Beby S.E, Ak,A-CPA,BKP

Email: tibeb.sugandi@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

id_ID