Aturan Baru Pengkreditan Pajak Masukan pada Coretax

Sistem PPN di Indonesia mengenal metode pengkreditan pajak. Ketika Pengusaha Kena Pajak (PKP) melakukan pembelian Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) akan dikenakan (dipungut) PPN oleh pihak PKP Penjual, ini yang dinamakan sebagai Pajak Masukan. Ketika melakukan penjualan PKP ini akan memungut PPN atas tagihan penjualan yang diterbitkan kepada pihak pembeli (konsumen). PPN yang dipungut ini yang dinamakan sebagai Pajak Keluaran. Pada setiap masanya, PKP ini memiliki kewajiban untuk menyetorkan PPN yang telah dipungutnya dari konsumen dengan terlebih dahulu memperhitungkan (mengurangkan) Pajak Masukan yang berhubungan dengan Pajak Keluaran dan memenuhi syarat untuk dapat dikreditkan. Proses ini yang disebut sebagai proses pengkreditan Pajak Masukan.

Ketentuan yang berlaku selama ini (sesuai Pasal 9 ayat (2) dan ayat (9) UU PPN) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya atau belum dilakukan pemeriksaan. Petunjuk pelaksanaan dari Pasal 9 ayat (2) dan ayat (9) UU PPN ini diatur lebih lanjut pada Pasal 62 ayat (1) PMK 18/PMK.03/2021 dan Pasal 63 ayat (1) PMK 18/PMK.03/2021.

Artinya bahwa Pajak Masukan yang diperoleh dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama atau dapat dikreditkan pada pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan setelah Masa Pajak diterbitkannya Faktur Pajak Masukan tersebut. Sebagai contoh (seperti yang dicontohkan pada Lampiran XV PMK 18/PMK.03/2021), untuk Faktur Pajak Masukan yang diterbitkan oleh PKP Penjual pada tanggal 8 Agustus 2021 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak Agustus 2021, atau Masa Pajak September 2021, Masa Pajak Oktober 2021, dan paling lambat Masa Pajak November 2021.

Ketentuan Baru Mengenai Jangka Waktu Pengkreditan Pajak Masukan

Sejak 1 Januari 2025, PKP yang akan mengkreditkan Faktur Pajak Masukan, hanya dapat mengkreditkan Faktur Pajak Masukan dalam Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak diterbitkannya Faktur Pajak Masukan oleh pihak PKP Penjual. Prosedur pengkreditan Pajak Masukan yang baru ini diatur dalam Pasal 375 ayat (1) PMK 81 Tahun 2024 bahwa Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.

Kemudian pada Pasal 376 ayat (1) PMK 81 Tahun 2024 yang menegaskan bahwa Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 375 ayat (1), yang tercantum dalam dokumen tertentu yang kedudukanya dipersamakan dengan Faktur Pajak, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dibuat.

Dari Pasal 376 ayat (1) PMK 81 Tahun 2024 ini dapat kita lihat perbedaan pengaturan dengan ketentuan yang selam ini berlaku (PMK 18/PMK.03/2021 dan PMK 18/PMK.03/2021) yaitu untuk Pajak Masukan yang dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya untuk paling lama 3 (tiga) Masa Pajak adalah hanya dibatasi untuk Pajak Masukan yang berupa dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Pada Pasal 470 PMK 81 Tahun 2024 menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai pengkreditan Pajak Masukan pada Masa Pajak yang tidak sama yang dicontohkan pada Lampiran huruf WWW (halaman 547) PMK 81 Tahun 2024 ini.

Artinya bahwa mulai 1 Januari 2025, Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak (selain dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak) hanya dapat dikreditkan pada Masa Pajak sesuai dengan Masa Pajak Faktur Pajak Masukan tersebut diterbitkan.

Dan perlu menjadi perhatian bagi Para Pembaca bahwa ketentuan ini berlaku mulai 1 Januari 2025, artinya semua Faktur Pajak yang diterbitkan di tahun pajak 2024, hanya dapat dikreditkan pada masa pajak berikutnya untuk paling lama 3 (tiga) Masa Pajak, paling lambat hanya dapat dilakukan untuk Masa Pajak Desember 2024.

Jadi misalkan Faktur Pajak Masukan yang terbit di Masa Pajak November 2024, hanya dapat dikreditkan di Masa Pajak November 2024 dan Masa Pajak Desember 2024. Untuk Faktur Pajak Masukan yang terbit di Masa Pajak Desember 2024, hanya dapat dikreditkan di Masa Pajak Desember 2024 saja.

Penulis Anggota Departemen Pengembangan Organisasi, PP-Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Syafrianto

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

 

Urgensi Pembentukan Undang-Undang Konsultan Pajak Sebagai Payung Hukum Penegak Kode Etik Profesi Konsultan Pajak

Toto   

Universitas Esa Unggul Bekasi

A. PENDAHULUAN  

Kata Profesi yang bersumber dari kata “profesional” berasal dari kata bahasa Inggris “profession” yang berarti pekerjaan. Seseorang yang mahir atau ahli dalam menjalankan suatu profesi disebut sebagai profesional. Prinsip dasar profesi adalah bidang pekerjaan yang berlandaskan pada keahlian pendidikan tertentu (keterampilan, profesi, dan sebagainya). Dalam praktiknya, istilah pekerjaan dan profesional sering digunakan secara bergantian dan memiliki beberapa makna. Dalam konteks sehari-hari, istilah pekerjaan dipahami sebagai aktivitas (permanen) (Belanda: baan, Inggris: job atau profesional) untuk mencari penghidupan, baik yang legal maupun yang tidak. (Hornby dkk,  

1995:791) dalam Kamus “The Advanced Learner’s Dictionary of Current English” dinyatakan bahwa “profession is occupation, especially one requiring advanced education and special training.”  

Profesi Konsultan Pajak yang telah ada sejak tahun 1960-an atau saat ini sudah berkisar 65 tahun keberadaannya, masih harus menghadapi dinamika dalam implementasi pengaturan praktiknya terlepas dari permasalahan lainnya yang muncul seputar profesi Konsultan Pajak.  

Sejak awal keberadaannya, Konsultan Pajak telah memainkan peranan penting dalam hal membantu pemerintah untuk mendorong Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakannya. Melalui kebijakan pengampunan pajak yang pertama dilakukan pada Tahun 1964, memperlihatkan salah satu wujud peran serta Konsultan Pajak sebagai mitra pemerintah (Toto, 2022).   

Kombinasi sistem penilaian mandiri, Undang – Undang perpajakan yang rumit, hukuman serius bagi ketidakpatuhan, peningkatan aktivitas internasional, dan prospek pengurangan tagihan pajak telah meningkatkan ketergantungan wajib pajak

pada praktisi perpajakan. Namun para praktisi perpajakan tidaklah homogen. Nasihat perpajakan saat ini diberikan oleh berbagai profesional termasuk akuntan, auditor, pengacara, mantan dan pegawai administrasi perpajakan. Otoritas dan ahli pajak yang bekerja di perusahaan, serta mereka yang secara resmi diidentifikasi sebagai Konsultan Pajak karena keanggotaan mereka di lembaga perpajakan profesional.  

Ungkapan “praktisi pajak” berupaya untuk mencakup berbagai macam individu. Beberapa beroperasi sebagai praktisi tunggal atau dalam kemitraan spesialis hukum, akuntansi, atau pajak dan memberikan beragam kategori nasihat perpajakan kepada mereka klien. Profesional pajak yang bekerja in-house biasanya dipekerjakan oleh organisasi dan akan bertindak semata-mata demi kepentingan organisasi tersebut sebagai anggota tim pajak internal.

Praktisi perpajakan telah diakui sebagai aktor kunci dalam proses kepatuhan pajak, yang memiliki pengaruh besar dalam membentuk tindakan kepatuhan pajak kliennya. Laporan tahun 2008 yang berasal dari  OECD mengakui kekuatan ini serta mengidentifikasi praktisi perpajakan sebagai salah satu faktor risiko kepatuhan pajak yang harus diawasi oleh administrasi perpajakan (Doyle, 2022).   

Namun Fakta maraknya praktik Konsultan Pajak oleh mereka yang belum jelas kompetensinya sudah dialami oleh beberapa figur publik seperti penyanyi Inul Daratista ataupun Maia Estianti serta entertainer lain seperti Deddy Cobuzier yang kapok menggunakan jasa Konsultan Pajak dan pada akhirnya menimbulkan kerugian bagi mereka selaku pengguna (mkl/hn, detik finance, 2015).  

Kondisi ini terjadi karena pengaturan Konsultan Pajak menetapkan standar kompetensi ketat melalui sertifikasi dan pelatihan berkelanjutan, sementara kuasa bukan Konsultan Pajak belum memiliki pengaturan teknis terkait kompetensi, hanya diwajibkan memahami peraturan perpajakan sesuai Undang – Undang dan Peraturan Pemerintah.

Selain itu, pengaturan kode etik hanya diberlakukan bagi kuasa wajib pajak yang berstatus sebagai Konsultan Pajak, sedangkan kuasa yang bukan Konsultan Pajak tidak diwajibkan untuk mematuhi standar etik tersebut. Berbeda halnya dengan Indonesia, negara pembanding dalam penelitian ini telah mengatur kode etik Konsultan Pajak secara tegas dan jelas melalui Undang – Undang yang mengatur profesi tersebut.   

Dari penulisan ini dapat dirumuskan dua hal,  

1). Bagaimana Urgensi Pembentukan Undang – Undang Konsultan Pajak Sebagai Payung Hukum Penegakan Kode Etik Profesi  

Konsultan Pajak? 2). Bagaimana Perbandingan Pengaturan Undang – Undang Tentang  

Konsultan Pajak dibeberapa Negara?   

  1. METODE PENELITIAN 

Jenis Penelitian  

Metode Penelitian Urgensi Pembentukan Undang – Undang Konsultan Pajak Sebagai Payung Hukum Penegakan Kode Etik Profesi Konsultan Pajak menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang memaparkan permasalahan mengenai praktik Konsultan Pajak dengan menganalisa peraturan perundang-undangan perpajakan dan pengalaman penulis sebagai Konsultan Pajak dengan mempelajari dan mengkaji peraturan yang mengatur tentang praktik Konsultan Pajak serta peraturan organisasi Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) serta perbandingan dengan ketentuan hukum yang sudah diterapkan di negara Jepan dan Australia yang mengatur praktik Konsultan Pajak.  

Sumber Data.  

Bahan Hukum Primer  

Bahan hukum primer yaitu bahan ilmu hukum yang berasal dari Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175 Tahun 2022, Tax Agent Service Act Tahun 2009 dan Japan Zeirishi Act.  

Bahan Hukum Sekunder  

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum primer seperti Undang – Undang. Selain itu ada juga pendapat para ahli dan sumber informasi dari internet yang selaras dengan penulisan.  

Teknik Pengumpulan Bahan Hukum  

Penelitian hukum normatif menggunakan metode studi pustaka yang mencakup kajian dokumen. Proses ini meliputi pengumpulan dan analisis bahan hukum, serta penelaahan informasi relevan dari berbagai sumber, seperti buku, artikel, dan dokumen resmi terkait peraturan perundang-undangan, untuk mendukung kajian secara mendalam. Pendekatan ini memungkinkan peneliti menggali dan memahami berbagai aspek hukum secara sistematis dan komprehensif. Analisis Bahan hukum  

Setelah semua bahan hukum berhasil dikumpulan maka selanjutnya diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode deduktif. Penyusunan dilakukan dengan menggunakan cara deskriptif analitis melalui pengumpulan, Menyusun dan menganalisis bahan hukum tersebut. Interpretasi dilakukan secara gramatikal dan sistematis, penafsiran Undang – Undang menurut istilah yang ada didalamnya dan merupakan keterkaitan pasal satu dengan lainnya dalam perundangundangan (Sidharta, 2013).

Selanjutnya, disampaikan dalam bentuk penjelasan yang logis dan sistematis guna memperoleh kejelasan dalam penyelesaian, kemudian diambil kesimpulan untuk menjawab masalah penelitian dengan mengandalkan prinsipprinsip umum lalu diambil faktor-faktor khusus sehingga dapat dihasilkan kesimpulan dari halhal yang bersifat umum.  

C. ANALISIS DAN PEMBAHASAN  

Bagaimana Urgensi Pembentukan Undang – Undang Konsultan Pajak Sebagai Payung Hukum Penegakan Kode Etik Profesi Konsultan Pajak.  

Keberadaan kuasa menurut Undang – Undang adalah untuk memberi kesempatan bagi Wajib Pajak meminta bantuan pihak lain yang dianggap lebih memahami perpajakan sebagai kuasanya. Bantuan ini meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan perpajakan.  

Konsultan Pajak merupakan salah satu pihak yang dapat bertindak sebagai kuasa Wajib Pajak yang telah diakui sejak tahun 1960-an hingga terbitnya Undang – Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Pengaturan teknis dan ketat mengenai peran Konsultan Pajak sebagai kuasa Wajib Pajak diatur dalam beberapa regulasi.

Berbagai regulasi terkait kuasa wajib pajak dalam hal Konsultan Pajak di Indonesia meliputi Keputusan Menteri Keuangan Nomor PMK 97/PMK.03/2005, lalu ada juga PMK  22/PMK.03/2008, ditambahkan juga PMK  229/PMK.03/2014, kemudian PMK 175/PMK.01/2022. Terakhir PMK 175/PMK.01/2022 mengatur tentang  Konsultan Pajak, termasuk hak, kewajiban, dan persyaratan profesi tersebut.  

Kuasa Konsultan Pajak disyaratkan harus berpendidikan minimal Sarjana (S1) dan memiliki Sertifikasi Konsultan Pajak yang hanya bisa diperoleh jika seseorang telah dinyatakan lulus mengikuti uji sertifikasi yang diselenggarakan oleh Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak Kementrian Keuangan Republik Indonesia dengan tingkatan yang berbeda dari tingkat A sampai C. Bagian terpenting lainnya, kuasa sebagai Konsultan Pajak diwajibkan mematuhi kode etik yang dimiliki oleh asosiasi profesi (jdihkemenkeugoid, 2022).

Lalu bagaimana dengan kuasa bukan Konsultan Pajak?  

Kuasa bukan Konsultan Pajak secara umum, dalam pengaturannya disebutkan hanya memerlukan bukti kepemilikan sertifikat brevet atau ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh perguruan tinggi negeri atau swasta berstatus akreditasi A, minimal jenjang Diploma III, yang dibuktikan dengan menyerahkan salinan sertifikat brevet atau ijazah.  

Dalam Pasal 49 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan dinyatakan bahwa seorang kuasa meliputi Konsultan Pajak dan bukan Konsultan Pajak. Lalu dinyatakan kembali dalam Pasal 32 ayat (3) dan ayat (3a) Undang – Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan beserta penjelasannya, menyatakan bahwa Wajib Pajak Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan. Selanjutnya diamanatkan oleh Undang – Undang untuk mengatur secara teknis melalui Peraturan Menteri Keuangan.  

Hingga saat skripsi ini ditulis, Peraturan teknis yang terbit sebagai pemenuhan amanat Undang – Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Perpajakan (atau aturan sebelumnya dalam pasal 32 ayat (3a) Undang – Undang No. 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan) baru sebatas pengaturan terhadap Konsultan Pajak yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175 tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014 Tentang Konsultan Pajak.   

Jika pengaturan yang jelas dalam tataran teknis yang meliputi standar kompentensi masih belum ada bagi seorang kuasa wajib pajak khususnya kuasa bukan Konsultan Pajak, lalu bagaimana dengan standar etika yang merupakan bagian penting dalam pelaksanaan profesi seorang kuasa wajib wajib pajak.

Sejauh ini pengawasan terhadap etika dalam pelaksanaan kuasa oleh Konsultan Pajak merujuk kepada kode etik yang disusun oleh Asosiasi Konsultan Pajak yang dalam penulisan ini menggunakan rujukan kode etik Konsultan Pajak dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia. Dalam kode etik tersebut isi pengaturannya dapat diringkas sebagai berikut:

Konsultan Pajak Indonesia wajib memenuhi prinsip kepribadian, keahlian, integritas, kerahasiaan, kepatuhan hukum, serta menghindari benturan kepentingan.

Kepribadian: Konsultan Pajak harus warga negara Indonesia yang bertakwa, jujur, menjunjung keadilan, dan mematuhi hukum serta UUD 1945.

Keahlian: Dapat menolak memberikan jasa di luar keahliannya, namun tidak atas dasar diskriminasi agama, suku, atau keyakinan.

Integritas: Menjaga kepercayaan klien, bersikap jujur, dan melindungi rahasia penerima jasa tanpa mengorbankannya.

Kerahasiaan: Informasi klien wajib dijaga kecuali atas perintah hukum. Prinsip ini juga berlaku bagi staf dan pihak terkait.

Kepatuhan hukum: Tidak menangani kasus tanpa dasar hukum.

Benturan kepentingan: Wajib mundur jika terjadi konflik kepentingan.

Larangan: Meliputi menjalankan profesi lain yang berkaitan dengan ASN (kecuali riset dan pendidikan), memberikan informasi menyesatkan, menjamin hasil, atau melakukan tindakan yang melanggar hukum dan etika profesi. Konsultan wajib menyerahkan dokumen klien saat penggantian konsultan, melapor pelanggaran kode etik, serta menjaga solidaritas profesi dengan tidak merebut klien atau karyawan dari teman seprofesi. Pelanggaran kode etik terhadap teman seprofesi tidak boleh diumumkan melalui media.  

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) sebagai organisasi Konsultan Pajak satusatunya hingga pertengahan tahun 2019 dimana seluruh anggotanya 100% telah memenuhi standar sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175 tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014 Tentang Konsultan Pajak mengupayakan terbitnya Undang – Undang Konsultan Pajak sebagai upaya menetapkan standar yang jelas mengenai kompetensi, integritas, dan akuntabilitas Konsultan Pajak, serta memberikan kewenangan kepada asosiasi profesi untuk mengawasi dan memberikan sanksi kepada anggotanya yang melanggar kode etik untuk menjaga etika, standar dan kompetensi yang jelas.

Melalui proses politik, perjalanan mengusulkan Undang – Undang dimulai sejak tahun 2007 dilanjutkan tahun 2009 hingga 2011 melalui diskusi para ahli di Dewan Perwakilan Daerah. Rancangan Undang – Undang Konsultan Pajak pada saat itu mulai disusun, namun prosesnya terhenti disaat penyusunan naskah akademik yang menjadi salah satu syarat utama yang disebutkan dalam Undang – Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Nomor 12 tahun 2011. (jdihkemenkeu, 2011)  

Selanjutnya sejak 2014 hingga menjelang pertengahan 2018 berangkat dari kesadaran yang terus terjaga dalam diri Ketua Umum IKPI saat itu Bapak Mochamad Soebakir, melihat pernyataan seorang Anggota Dewan dari Komisi XI Fraksi Golkar yakni Bapak Mukhamad Misbahkun tentang pentingnya peranan Konsultan Pajak dalam meningkatkan kepatuhan sukarela (Redaktur DDTC News, 2018) di media masa, beliau langsung bergerak untuk mengundang sang anggota dewan pada perayaan hari ulang tahun IKPI yang ke 53 di bulan Agustus 2018.  

Proses penyusunan Rancangan Undang – Undang dilanjutkan untuk dimatangkan dengan koordinasi bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR. Hingga akhirnya proses berlanjut dalam pembahasan yang dituangkan dalam risalah rapat pleno rancangan Undang – Undang tentang Konsultan Pajak tertanggal 4 Juli 2018 yang dalam kesimpulan akhirnya sepakat untuk menyempurnakan draft rancangan Undang – Undang diserahkan kepada tenaga ahli dan pengusul dan nanti akan ditetapkan pada rapat berikutnya, apakah langsung panja atau langsung dibawa ke rapat pleno Baleg.

Dalam laporan singkat rapat, Badan Legislasi menyimpulkan bahwa hasil rapat terkait pengambilan keputusan atas konsepsi RUU Konsultan Pajak menyepakati dan menyetujui RUU tersebut, yang telah melalui proses pengharmonisasian dan pemantapan konsepsi, untuk disampaikan kepada Pengusul RUU guna diproses lebih lanjut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hingga September 2018, sosialisasi melalui gelar diskusi publik terus dilakukan, salah satunya adalah bersama Vokasi Universitas Indonesia di Depok dengan kegiatan yang diberi judul Optimalkan Peran Akademisi, Vokasi UI, dan FIA UI Gelar Diskusi Publik RUU Konsultan Pajak. Melalui Surat Keputusan (SK) DPR Nomor 19 tertanggal 31 Oktober 2018 RUU Konsultan Pajak masuk kedalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas dengan nomor urut 18.  

Landasan filosofis RUU Konsultan Pajak adalah meningkatkan profesionalisme dan kemandirian profesi melalui pengaturan kualifikasi, etika, serta hak dan tanggung jawab. Regulasi ini melindungi Wajib Pajak dari praktik tidak kompeten, mendukung otoritas pajak meningkatkan penerimaan negara, dan mewujudkan tata kelola perpajakan yang terpercaya. Sedangkan landasan sosilogisnya adalah Pajak sebagai tulang punggung negara, menyumbang 85,63% APBN 2017. Meski rasio pajak  

Indonesia rendah (11%) dan kepatuhan Wajib Pajak masih kurang (63,16%), peran Konsultan Pajak strategis. Mereka mendukung otoritas pajak meningkatkan kepatuhan, mengurangi sengketa, serta melindungi Wajib Pajak. Undang-Undang Konsultan Pajak diperlukan untuk menjamin profesionalisme dan integritas profesi ini. Lalu landasan yuridisnya adalah Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 menetapkan Indonesia sebagai negara hukum, di mana semua aspek kehidupan harus berdasarkan hukum nasional. Saat ini, profesi Konsultan  Pajak diatur melalui PMK No.  111/PMK.03/2014 dan Perdirjen Pajak No. PER-13/PJ/2015.

Namun, aturan ini hanya setingkat Peraturan Menteri, tidak memiliki landasan hukum yang kuat sebagaimana diatur UU No. 12 Tahun 2011. Profesi lain seperti Akuntan Publik (UU No. 5/2011) dan Advokat (UU No. 18/2003), memiliki pengaturan setingkat undang-undang. Negara lain, seperti Jepang dan Australia, juga mengatur profesi ini pada tingkat undang-undang. Oleh karena itu, UU Konsultan Pajak diperlukan untuk memperkuat landasan hukum, menyelaraskan regulasi internasional, dan mendukung pelaksanaan peraturan perpajakan secara efektif. (Badan Legislasi DPR, 2017).  

Membandingkan dengan profesi lain yang ada di Indonesia seperti diuraikan diatas, yakni Akuntan Publik dimana lingkup pekerjaan yang dilakukan dapat dikatakann hampir mirip dengan Profesi Konsultan Pajak, problematika kode etik juga kerap terjadi dikalangan anggotanya, namun pengaturan dengan sangat jelas telah ada melalui Undang – Undang Akuntan Publik tahun 2011, yang mendefenisikan Profesi Akuntan Publik adalah seseorang yang telah memperoleh izin untuk memberikan jasa atau menjalankan praktik Akuntan Publik dan selanjutnya Undang – Undang tersebut menjadi rujukan dalam penegakan kode etik profesi (Aflii, 2016).  

Bagaimana Perbandingan Pengaturan Undang – Undang Tentang Konsultan Pajak dibeberapa Negara?  

Merujuk pada Teori Perbandingan Hukum. Perbandingan Hukum hendaknya dilakukan sebagai jalan untuk mencari kebenaran. Perbandingan Hukum tidak boleh berhenti hanya pada tataran legal text tetapi lebih mendalam atau pre “text” yakni alasan atau latar belakang yang menyebabkan keluarnya teks tersebut. (Buana, M. S., & SH, 2024). Perbandingan hukum juga dapat dilakukan baik secara luas ataupun terbatas merujuk pada teori komparabilitas. Perbandingan hukum yang dilakukan secara luas memiliki sifat inklusif berpegang pada prinsip everything is comparable even if looks incomparable sehingga perbandingan tersebut dilakukan terhadap subjek hukum apapun.

Sedangkan perbandingan hukum secara terbatas memiliki sifat ekslusif dengan prinsip comparison is possible only if the instances are comparable and the results interpretable dengan berpegang pada tiga unsur dalam kegiatan kajian perbandingan hukum yaitu, comparatum (elemen perbandingan dalam kajian), comparandum (subjek perbandigan) dan tertium comparationis (elemen umumyang terdapat dalam masing-masing entitas hukum yang diperbandingkan). (Lukito, 2019). Sehingga kita dapat membandingkan juga bagaimana pengaturan Seorang Kuasa Wajib Pajak di Negara lain.  

Dalam penulisan skripsi ini sebagai bahan perbandingan digunakan negara Australia dan Jepang yang diketahui telah memiliki pengaturan setingkat Undang – Undang. Diketahui keberadaan Undang – Undang tersebut telah ada sejak tahun 1951, Zeirishi Act di Jepang dan sejak tahun 2009, Tax Agent Services Act di Australia.  

Misi Zeirishi atau dalam terjemahan bebas adalah Akuntan Pajak di Jepang sebagai pakar dalam masalah perpajakan, adalah berusaha dari sudut pandang yang independen dan adil, sesuai dengan prinsip sistem penilaian mandiri, untuk membuktikan diri layak mendapatkan kepercayaan para pembayar pajak dan memastikan pemenuhan kewajiban pajak yang ditetapkan dalam Undang – Undang dan peraturan terkait pajak (Japan Federation of Zeirishi Associations/JFCPTAA, 2016). Dalam pasal 36 sampai dengan pasal 38 terdapat larangan yang jelas diatur di dalamnya dan wajib untuk ditaati tentang suatu sikap dan etika yang harus dimiliki oleh seorang Zeirishi.  

Menariknya dalam pasa 39 disebutkan, Seorang Zeirishi harus mematuhi peraturan asosiasi dari Asosiasi Zeirishi yang berafiliasi dengannya dan Federasi Asosiasi Zeirishi Jepang. Secara tegas juga disebutkan dalam pasal 58 Bab 8 tentang Ketentuan Pidana, Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 36 (termasuk dalam hal pasal tersebut diberlakukan mutatis mutandis sesuai dengan Pasal 48-16 atau Pasal 50 Ayat 2) dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak dua juta yen (Japan Federation of Zeirishi Associations/JFCPTAA, 2016). Melalui pengaturan yang demikian di dalam   – Undang, secara tegas mendorong secara langsung profesionalisme Zeirishi dalam menjalankan prakteknya.  

Serupa dengan Jepang, dalam Tax Agent Services Act disebutkan, tujuan dari Undang – Undang tersebut adalah untuk mendukung kepercayaan dan keyakinan publik terhadap integritas profesi pajak dan sistem perpajakan dengan memastikan bahwa layanan agen pajak diberikan kepada masyarakat sesuai dengan standar perilaku profesional dan etika yang tepat (the Office of Parliamentary Counsel, 2009). Part 3 Tax Agent Services Act secara khusus mengatur Kode Etik Profesional yang mencakup kewajiban, sanksi administratif, dan tanggung jawab lain bagi agen pajak.

Agen pajak wajib menerapkan hukum perpajakan dengan benar sesuai kondisi klien, memberi nasihat tentang hak dan kewajiban pajak, serta tidak menghalangi administrasi hukum perpajakan. Mereka diwajibkan memiliki asuransi ganti rugi profesional untuk melindungi dari potensi kerugian akibat kesalahan atau kelalaian. Agen pajak juga harus bertindak bertanggung jawab saat bekerja dengan entitas lain, tidak mempekerjakan pihak yang tidak memenuhi syarat tanpa persetujuan Dewan, dan menghindari hubungan dengan entitas yang didiskualifikasi untuk mencegah praktik pajak yang tidak etis.

Selain itu, agen pajak harus menjalin komunikasi tepat waktu dengan Dewan, termasuk menanggapi permintaan atau arahan dengan cepat. Kepatuhan terhadap standar hukum dan kewajiban tambahan yang ditetapkan memastikan integritas profesional serta melindungi klien dan sistem perpajakan. (the Office of Parliamentary Counsel, 2009)  

D. KESIMPULAN DAN SARAN  

Pengaturan kuasa wajib pajak di Indonesia masih belum memadai, terutama bagi kuasa bukan Konsultan Pajak. Saat ini, hanya Konsultan Pajak yang diwajibkan memiliki sertifikasi, pendidikan berkelanjutan, dan mematuhi kode etik, sedangkan kuasa bukan Konsultan Pajak diatur secara minimal tanpa standar kompetensi yang jelas. Kondisi ini berisiko memberikan layanan yang tidak profesional dan merugikan wajib pajak. Pentingnya Pengesahan Undang – Undang Konsultan Pajak di Indonesia mendesak dilakukan guna menetapkan standar kompetensi, sekaligus penegakan etika, dan pengawasan, melindungi wajib pajak, serta mendukung sistem perpajakan yang profesional dan akuntabel apalagi sudah pernah berproses di DPR.  

Negara seperti Jepang (melalui Zeirishi Act) dan Australia (melalui Tax Agent Services Act) telah menetapkan standar kompetensi, penegakan etika, dan sanksi pelanggaran, sehingga meningkatkan profesionalisme profesi Zeirishi dan Tax Agent. Penting bagi Indonesia untuk dapat mengimplementasikan hal serupa dengan mencontoh kedua negara tersebut yang secara geografis sangat dekat dengan Indonesia serta memiliki konsep pemajakan yang sama yakni self-assessment  system. 

REFRENCE  

Aflii. (2016). PENEGAKAN KODE ETIK PROFESI PADA SUATU KANTOR AKUNTAN PUBLIK 

0, 1–23.  

Badan Legislasi DPR. (2017). Naskah Akademik RUU Konsultan Pajak-2017 

Buana, M. S., & SH, M. H. (2024). Perbandingan Hukum Tata Negara: Filsafat, Teori, dan Praktik.  

Sinar Grafika.  

Doyle, E. (2022). Encouraging Ethical Tax Compliance Behaviour: the Role of the Tax Practitioner in Enhancing Tax Justice. Law and Contemporary Problems, 85(4), 137–157.  

Ikatan Konsultan Pajak Indonesia. (2019). ANGGARAN DASAR ANGGARAN RUMAH TANGGA IKPI – KONGRES XI. In Ikpi.Com 

Japan Federation of Zeirishi Associations/JFCPTAA. (2016). CERTIFIED PUBLIC TAX  

ACCOUNTANT ACT (Zeirishi Act) International Relations Department Japan Federation of  

Zeirishi Associations/JFCPTAA. https://www.nichizeiren.or.jp/eng/pdf/Zeirishi_Act.pdf jdihkemenkeu. (2011). Undang – Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 

jdihkemenkeugoid. (2022). 175/PMK.01/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014 tentang Konsultan Pajak. 2.  

Kurniawati, putri. (2017). Apakah Standar Kompetensi itu? Universitas Nusantara PGRI Kediri, 01, 1–7.  

Lukito, R. (2019). Perbandingan Hukum (Fara, Ed.; Kedua). Gadjah Mada University Press.  

mkl/hn (detik finance). (2015, February). Kapok Pakai Konsultan Pajak 

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-2831299/pernah-ketipu-inul-kapok-pakaikonsultan-pajak.  

Redaktur DDTC News. (2018). Konsultan Pajak Punya Peran Tingkatkan Kepatuhan Sukarela 

https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/12713/misbakhun-konsultan-pajak-punya-perantingkatkan-kepatuhan-sukarela  

Redi, A. (2022). Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Tarmizi, Ed.; Ketiga). Sinar Grafika.  

Sidharta, B. A. (2013). Etika dan Kode Etik Profesi Hukum. 1, 30.  

Suhayati, E. (2020). Definisi Perilaku, Sikap, Kode Etik Dan Etika Profesi. 1–11.  

the Office of Parliamentary Counsel, C. (2009). Tax Agent Services Act 2009. www.legislation.gov.au  

Toto. (2022). Jajak Pajak (Rais Rozali, Ed.; 1st ed., Vol. 1). AkuprimPublishing.  

Wajdi, F. (2020). Etika profesi hukum / Dr.Mardani. Buku Ajar Eitka Profesi Hukum, 132.  

   

 

Benarkah Penerapan PPN 12% Hanya untuk Barang Mewah?

Menjelang beberapa jam berakhirnya tahun 2024 dimana sebagian rakyat Indonesia bersiap merayakan pergantian tahun, Pemerintah tiba-tiba mengumumkan berita yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat mengenai kepastian kenaikan tarif PPN menjadi 12%, isu kenaikan PPN ini sudah menjadi isu kontroversial dimana sudah berbulan-bulan menjadi bola panas.

Dalam pengumumannya, mengutip berita harian Media Indonesia : Presiden Prabowo Subianto secara sah meresmikan penaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen. Kebijakan PPN 12 persen ini akan mulai berlaku sejak 1 Januari 2024. “Setelah berkoordinasi dengan DPR RI hari ini pemerintah merumuskan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen,” ujar Presiden Prabowo di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Selasa, 31 Desember 2024.

Presiden Prabowo menekankan kebijakan ini hanya berlaku terhadap barang dan jasa yang sebelumnya telah dikenakan PPN untuk mewah. Hal ini kebanyakan dikonsumsi oleh masyarakat mampu.

Kemudian pengumuman tersebut diikuti dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024 tanggal 31 Desember 2024, yang mana PMK 131 tersebut mengatur 3 hal sbb :

1. Atas Barang dan Jasa Mewah dikenakan PPN 12%, dengan perhitungan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) menggunakan rumus nilai impor/harga jual/harga penyerahan x 11/12 untuk masa transisi di bulan Januari 2025, kemudian selanjutnya, akan dikenakan tarif PPN 12% dengan DPP sesuai nilai impor/harga jual / harga penyerahan.

2. Atas barang / jasa non mewah dikenakan tarif PPN 12%, namun dengan perhitungan DPP menggunakan rumus nilai impor/harga jual/harga penyerahan x 11/12 tanpa masa transisi, dengan rumus ini maka tarif efektif PPN atas barang / jasa non mewah tetap dikenakan tarif 11%.

3. Pengecualian PMK 131 bagi PKP yang menggunakan DPP Nilai Lain atau menggunakan PPN besaran tertentu yang diatur dalam peraturan perpajakan.

Setelah dievaluasi ternyata terdapat sedikit ketidak-sinkronan antara Pengumuman Presiden Prabowo dengan substansi PMK 131 Tahun 2024, sehingga efek kenaikan PPN tersebut juga berimbas kepada barang-barang tertentu (tidak hanya untuk barang mewah saja). Selain itu PMK 131 tersebut juga menyajikan sesuai yang menarik dimana Pemerintah mengeluarkan rumus baru dalam menghitung Dasar Pengenaan Pajak dengan rumus nilai impor/harga jual/harga penyerahan x 11/12.

Mengenai rumus baru tersebut, walau dapat dipahami bahwa tujuan Pemerintah adalah untuk mengambil jalan tengah antara amanat konstitusi di Pasal 7 ayat (1) UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (kenaikan tarif PPN menjadi 12%) di satu sisi, dengan tuntutan mayoritas masyarakat yang meminta Pemerintah untuk membatalkan kenaikan tarif PPN tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan ialah apakah rumus harga jual / harga penyerahan dengan menggunakan DPP nilai lain tersebut tidak akan menimbulkan masalah baru bagi Wajib Pajak Pengusaha Kena Pajak (PKP) di dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya ?

Dalam PMK 131 tahun 2024 disebutkan adanya pengecualian bagi PKP yang telah menggunakan DPP Nilai Lain atau menggunakan PPN besaran tertentu yang diatur dalam peraturan perpajakan. Artinya PKP yang menggunakan DPP Nilai Lain dan / atau menggunakan PPN besaran tertentu tetap akan terdampak / mengalami kenaikan tarif PPN, sekedar informasi ada beberapa PKP yang menggunakan DPP Lain Lain dan/atau menggunakan PPN besaran tertentu sebagaimana dalam table berikut ini :

Selain PKP yang menggunakan DPP Nilai Lain sebagaimana dimaksud dalam PMK 121/PMK.03/2015, terdapat juga PKP-PKP yang berusaha di bidang lainnya menggunakan DPP Nilai lain seperti :

1. PKP yang melakukan penyerahan produk tembakau (PMK 63/PMK.03/2022);

2. PKP yang melakukan penyerahan LPG (PMK 62/PMK.03/2022);

3. PKP yang melakukan penyerahan pupuk bersubsidi untuk produk pertanian (PMK 66/PMK.03/2022).

Contoh berikut dapat menggambarkan efek kenaikan PPN :

Contoh 1 :

PT K yang merupakan pengusaha kena pajak melakukan pemberian cuma-cuma (Barang Kena Pajak/BKP) berupa mouse komputer kepada PT L, diketahui bahwa atas mouse komputer tersebut memiliki harga jual sebesar Rp.200.000,- (dua ratus ribu rupiah) termasuk laba kotor Rp. 50.000,- (lima puluh ribu rupiah), maka PT K wajib membuat FP kode 04 (DPP Nilai Lain) dengan perhitungan PPN sebagai berikut :

DPP Nilai Lain = Rp. 150.000,- (Rp. 200.000 – Rp. 50.000)

PPN 12% = Rp. 150.000 x 12% = Rp. 18.000,-

sedangkan jika menggunakan tarif yang lama yaitu 11%, perhitungannya sbb :

DPP Nilai Lain = Rp. 150.000,- (Rp. 200.000 – Rp. 50.000)

PPN 11% = Rp. 150.000 x 11% = Rp. 16.500,-

Berarti ada kenaikan PPN sebesar Rp. 18.000 – Rp. 16.500 = Rp. 1.500,- padahal mouse computer tidak termasuk barang mewah.

Contoh 2 :

PT M merupakan PKP yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian berupa tanda buah segar kelapa sawit kepada CV N yang bukan merupakan badan usaha industry sebanyak 16.000 kg dengan harga jual Rp. 3.125,- per kg, sehingga total harga jual sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta). Berdasarkan data tersebut, PT M memilih menggunakan besaran tertentu untuk memungut PPN yang terutang atas penyerahan buah segar kelapa sawit tersebut, sehingga PT M wajib membuat Faktur Pajak kode 05 (PPN besaran tertentu), dengan perhitungan sebagai berikut :

Harga jual = Rp. 50.000.000,- (16.000 kg x Rp. 3.125)

DPP = Rp. 50.000.000,-

Jumlah PPN = 10% x Rp. 50.000.000,- x 12% = Rp 600.000,-

 

Jika dibandingkan dengan tarif PPN 11% (Tarif yang lama)

Harga jual = Rp. 50.000.000,- (16.000 kg x Rp. 3.125)

DPP = Rp. 50.000.000,-

Jumlah PPN = 10% x Rp. 50.000.000,- x 11% = Rp 550.000,-

Berarti ada kenaikan PPN yang terutang sebesar Rp. 50.000,- (Rp. 600.000 – Rp. 550.000) padahal buah kelapa sawit juga bukan merupakan barang mewah.

Berdasarkan contoh-contoh di atas, maka jelas pernyataan Presiden Prabowo yang menyatakan kenaikan PPN hanya untuk barang mewah saja namun isi dari PMK 131 Tahun 2024 tidak selaras dengan pernyataan tersebut, karena kenaikan tarif PPN tersebut juga berimbas kepada barang-barang/jasa non barang mewah sebagaimana diatur dalam aturan di atas (PMK 121/PMK.03/2015, PMK No 62/PMK.03/2022, PMK No. 62/PMK.03/2022, PMK 66/PMK.03/2022 dan PMK No 71/PMK.03/2022).

Tentunya karena sifat PPN adalah pajak atas konsumsi, tentunya kenaikan PPN tersebut akan ditanggung oleh konsumen akhir sehingga sedikit banyak akan meningkatkan pengeluaran masyarakat.

Selain efek kenaikan PPN sebagaimana penjelasan di atas, ada hal teknis yang akan menyulitkan WP PKP, karena adanya rumus nilai impor/harga jual/harga penyerahan x 11/12. Kesulitan teknis tersebut adalah sbb :

1. Kesulitan PKP dalam mensetting programnya mereka dalam waktu singkat;

2. Akan ada selisih nilai DPP dengan PPN nya, karena adanya unsur pembulatan, sebagai contoh : jika harga jual sebesar Rp. 100.000.000,- (exclude PPN), maka DPP nilai lainnya dihitung Rp. 100.000.000 x 11/12 = Rp. 91.666.667,-. Kemudian dikalikan 12%, hasilnya adalah Rp. 11.000.000,04.

3. Apakah rumus nilai impor x 11/12 sudah tersambung otomatis dengan pihak Bea Cukai ? jika belum tentunya akan menyulitkan importir saat melaksanakan kewajiban pajak dalam rangka impornya.

4. Kesulitan Wajib Pajak saat menghadapi pemeriksaan pajak, karena WP diminta untuk membuat laporan rekonsiliasi omzet dan pembelian dan harus bisa membuktikan kepada pemeriksa pajak, sehingga biaya kepatuhan wajib pajak akan lebih tinggi, bukankah adanya aplikasi coretax dibuat untuk tujuan menurunkan biaya kepatuhan wajib pajak.

Semoga saja ada keberanian bagi Pemerintah untuk melakukan perbaikan Peraturan yang ada, sehingga pernyataan Presiden Prabowo menjadi sesuai dengan kenyataan, bahwa kenaikan PPN hanya untuk barang mewah saja yang memang dikonsumsi oleh mereka yang mampu.

Penulis :

Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, IKPI

Pino Siddharta, S.E, S.H, M.Si

Disclaimer :

Tulisan ini hanya pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi / lembaga.

 

 

 

 

 

 

Posisi Kedudukan Hukum PMK 81/2024  Tentang Pengkreditan Faktur Pajak Masukan dan Kepastian Hukum

Pada tanggal 14 Oktober 2024, Pemerintah mengeluarkan PMK 81 Tahun 2024 Tentang Ketentuan Perpajakan Dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau yang dikenal dengan istilah PMK Sapu Jagat (omnibus) yang salah satu pasalnya mengatur ulang mengenai pengkreditan faktur pajak masukan. Pengaturan tersebut ada di Pasal 376 ayat (1), tentunya menjadi tanda tanya, apakah Pasal 376 ayat (1) tersebut sudah sesuai dengan kaidah hukum yang berlaku ?

Untuk memudahkan melihat masalah pengkreditan faktur pajak masukan tersebut, penulis menggunakan perbandingan antara Pasal 9 UU No 42 Tahun 2009 dengan PMK 81 tersebut, sebagai berikut:

Jika kita telaah maka Pasal 376 ayat (1) mempersempit jenis faktur pajak masukan yang dapat dikreditkan untuk masa pajak yang tidak sama, yaitu hanya untuk Pajak Masukan dalam bentuk dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, adapun jenis-jenis dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak di atur dalam Peraturan Dirjen Pajak No. 16 Tahun 2021 :

Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak adalah:

a. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh BULOG/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;

b. bukti tagihan atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi;

c. bukti penerimaan pembayaran (setruk) yang dibuat oleh Penyelenggara Distribusi atas penjualan pulsa dan/atau penerimaan komisi/fee terkait dengan distribusi token dan/atau voucher;

d. bukti tagihan atas penyerahan listrik oleh perusahaan listrik;

e. bukti tagihan atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh perusahaan air minum;

f. tiket, tagihan surat muatan udara (airway bill), atau delivery bill, yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;

g. nota penjualan jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan;

h. dstnya….

Dengan berlakunya PMK 81 Tahun 2024 sejak tanggal 1 Januari 2025 ini, maka tidak ada lagi fasilitas bagi WP untuk melaporkan faktur pajak masukan di masa pajak tidak sama, sehingga seandainya masih ada FP masukan yang belum dikreditkan oleh WP di salah satu bulan, maka WP dapat mengkreditkan FP Masukan tersebut dengan mekanime pembetulan SPT Masa PPN di bulan yang bersangkutan, dan ini yang harus menjadi perhatian.

Yang menjadi pertanyaan, apakah Pasal 376 ayat (1) tersebut sudah tepat dan tidak menyalahi kaidah / asas-asas hukum yang umum dipakai dan harus diperhatikan?. Jika kita kaji perbandingan antara Pasal 9 ayat (9) UU PPN dan Pasal 376 ayat (1) PMK 81 Tahun 2024 maka dapat disimpulkan, keberadaan Pasal 376 ayat (1) tersebut:

1. Melanggar Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori, asas ini memiliki makna bahwa undang-undang (norma/aturan hukum) yang lebih tinggi dapat meniadakan keberlakuan undang-undang (norma/aturan hukum) yang lebih rendah. Artinya, peraturan yang lebih tinggi dapat mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah. Asas lex superior derogat legi inferiori ini hanya berlaku terhadap dua peraturan yang secara hierarki tidak sederajat dan saling bertentangan. Namun pada ketentuan pasal 376 ayat (1) ini malah diatur kebalikannya, yaitu meniadakan aturan yang lebih tinggi.

2. Melanggar Pasal 7 UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu :

Ayat (1) :

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :

a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat;

c. Undang-undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.

Ayat (2) :

Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3. Melanggar Pasal 8 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 yaitu

“Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”

Dalam hal ini Pasal 9 ayat (9) UU PPN tidak memberikan wewenang kepada Menteri Keuangan untuk mengatur ulang terkait dengan pengkreditan PPN Masukan. Sehingga berdasarkan Pasal 8 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 tersebut, maka keberadaan Pasal 376 ayat (1) PMK 81 Tahun 2024 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Terbitnya PMK 81 Tahun 2024 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2025, sudah seharusnya memperhatikan asas-asas pembentukan hukum yang baik, dan memperhatikan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karena Indonesia menganut negara hukum sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yaitu: “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Menjadi tugas kita semua untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang sesungguhnya dengan memperhatikan rambu-rambu dalam pembuatannya.

Penulis :

Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, IKPI

Pino Siddharta, S.E, S.H, M.Si

Disclaimer :

Tulisan ini hanya pendapat pribadi dan tidak mewakili institusi / lembaga.

 

 

PPN Atas Jasa Kesehatan Kelas VIP dan Sekolah Internasional Apakah  Tepat?

Akhirnya Pemerintah mengumumkan efektif 1 Januari 2025 Tarif PPN tetap dinaikkan menjadi 12% sesuai dengan amanat konstitusi yaitu Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No 7 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Perdebatan yang keras di tengah masyarakat tentang penolakan kenaikan tarif PPN tersebut belum cukup mengubah pendirian Pemerintah agar membatalkan kenaikan tersebut.

Saat pengumuman kenaikan PPN tersebut, Pemerintah juga meluncurkan beberapa fasilitas perpajakan seperti : PPh 21 Ditanggung Pemerintah untuk industri padat karya khususnya bagi karyawan yang menerima penghasilan tidak lebih dari 10 juta / bulan, perpanjangan jangka waktu 1 tahun bagi UMKM dalam menghitung kewajiban perpajakannya, sedangkan untuk barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, daging ras ayam, daging sapi, dsbnya tetap dibebaskan PPN.

Adapun fasilitas non perpajakan seperti diskon 50% untuk tarif listrik dengan daya 2.200 kwh, serta bantuan beras untuk masyarakat miskin, namun perlu diketahui bahwa fasilitas tersebut dibatasi oleh waktu tertentu.

Untuk barang-barang seperti tepung terigu, gula untuk industri, dan minyakita Pemerintah memberikan fasilitas PPN DTP sebesar 1%, sehingga atas barang-barang tersebut PPN nya tetap menggunakan tarif lama yaitu 11%.

Semua fasilitas yang diberikan oleh Pemerintah khususnya bantuan beras bersifat jangka pendek, sedangkan efek kenaikan tarif PPN tersebut yang berbarengan dengan kenaikan UMR sebesar 6,5% tentunya akan mendorong kenaikan harga-harga barang (inflasi) sehingga akan meningkatkan biaya belanja / pengeluaran bagi semua lapisan masyarakat, disinyalir warga kelas bawah dan menengah akan paling terdampak atas kenaikan biaya belanja tersebut.

Banyak pihak berpendapat kenaikan PPN tersebut tidak akan berkontribusi banyak terhadap kenaikan pendapatan pajak, sebab kenaikan harga tersebut akan menggerus daya beli masyarakat, sehingga tingkat konsumsi menurun dan berefek kepada omzet perusahaan sehingga jika omzet perusahaan menurun dikuatirkan para pengusaha akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga tingkat pengangguran semakin tinggi dan kemiskinan akan meningkat.

Dalam pengumuman tersebut, Menkeu Sri Mulyani Indrawati juga sedang mempertimbangkan untuk mengenakan PPN 12% terhadap barang dan jasa yang termasuk barang mewah. Isu yang sekarang mencuat ialah, apakah rencana pengenaan PPN atas jasa pendidikan (sekolah internasional) dan jasa kesehatan (pasien rumah sakit kelas VIP ke atas) adalah langkah yang tepat dan menunjukkan prinsip keadilan ?

Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations mengajarkan dalam memungut pajak ada 4 hal yang harus diperhatikan (The Four Maxims), yang pertama Equality (sesuai dengan kemampuannya), certainty (harus pasti), convenience of payment (waktu yang tepat untuk membayar pajak, prinsip ini diterapkan dalam mekanismes witholding tax / pajak dipungut saat seseorang menerima penghasilan), economy in collection (asas efisiensi).

Kemudian Richard Musgrave dan Peggy Musgrave menyatakan sistem pajak dikatakan adil apabila setiap orang membayar pajak sesuai dengan kemampuannya, sehingga setiap orang yang mempunyai pendapatan yang sama membayar jumlah pajak yang sama (keadilan horisontal), dan orang yang mempunyai pendapatan yang lebih membayar pajak yang lebih besar (keadilan vertical), ini yang menjadi dasar kenapa tarif pajak penghasilan dikenakan secara progresif, di Indonesia sendiri tarif PPh untuk orang pribadi dikenakan mengikuti besarnya penghasilan, dari tarif terendah sebesar 5%, sampai tarif tertinggi sebesar 35%.

Kembali terkait wacana pengenaan PPN atas jasa pendidikan (sekolah internasional) dan jasa kesehatan (pasien kelas vip ke atas), sejatinya PPN merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat netral, artinya netral maka pengenaan PPN dikenakan kepada siapa saja yang mengkonsumsi, tidak melihat si kaya maupun si miskin, siapapun yang menggunakan konsumsi maka akan dikenakan pajak yang sama.

Hal ini berbeda jauh dengan pajak penghasilan, pada saat seseorang berobat untuk menyembuhkan penyakitnya / keluarganya, dan dirawat di kelas vip atau vvip apakah benar pasien tersebut sedang mengkonsumsi barang/jasa mewah ??? kadang dilapangan saat seseorang memilih kamar vip atau vvip terdesak/terpaksa karena terbatasnya kelas dibawahnya bukan karena ingin mendapatkan sesuatu yang mewah, bisa juga motivasi pasien memilih kamar vip agar mempunyai waktu untuk beristirahat dengan tenang sehingga segera sembuh, sehingga timbul perdebatan apakah benar kamar vip or vvip merupakan barang/jasa mewah yang perlu dikenakan PPN ?

Sudah banyak kita dengar banyak pasien dari Indonesia yang berbondong-bondong berobat ke luar negeri utamanya singapore dan malaysia, selain karena faktor kepercayaan atas pelayanan kesehatan di Indonesia, juga karena faktor mahalnya biaya berobat di Indonesia, sehingga jika nanti dikenakan PPN sebesar 12% maka semakin mendorong orang Indonesia berobat ke luar negeri, efek jangka panjangnya rumah sakit / fasilitas kesehatan di Indonesia akan makin ditinggalkan dan kosong.

Kemudian terkait dengan wacana pengenaan PPN atas jasa pendidikan, khususnya jasa pendidikan sekolah / kelas internasional juga menjadi pertanyaan, apakah tepat kebijakan tersebut ? motivasi para orang tua untuk menyekolahkan anaknya di sekolah internasional karena mereka tidak yakin / tidak percaya atas kualitas pendidikan umumnya, sehingga mereka berinisiatif menyekolahkan anaknya ke sekolah internasional dengan harapan anak-anaknya mempunyai pendidikan yang baik, khususnya dalam bidang bahasa.

Sangat ironi jika anak-anak yang merupakan cikal bakal penerus bangsa ini harus dibatasi pendidikannya dengan pengenaan PPN, bukankah jika anak-anak ini nantinya menjadi pemimpin yang unggul baik dalam keilmuan maupun bahasanya, akan menguntungkan bagi negara ini. Tidak mungkin anak-anak kita akan mampu bersaing dengan anak-anak dari negara lain tanpa mempunyai kemampuan bahasa internasional yang baik.

Adalah tanggung jawab Pemerintah untuk bisa memberikan pendidikan yang berkualitas di seluruh wilayah Indonesia secara merata, agar tercipta generasi muda yang mempunyai pendidikan tinggi, dan kemampuan berbahasa asing yang juga baik. Jika Pemerintah telah melaksanakan kewajibannya dengan menyediakan sekolah berstandar internasional di seluruh pelosok Indonesia, maka tidak mungkin ada orang tua yang mau menyekolahkah anaknya di sekolah internasional dengan biaya mahal. Sehingga ide pengenaan PPN atas jasa pendidikan kelas internasional sepertinya kurang tepat dan mengada-ada, walaupun dengan dalih adalah wajar orang kaya harus membayar mahal pajaknya, bukankah atas kekayaan yang dimilikinya juga telah membayar pajak penghasilan dengan tarif yang lebih tinggi.

Di luar negeri banyak sekali tawaran beasiswa kepada para murid dari seluruh negara untuk memperoleh pendidikan secara gratis, namun di Indonesia bukannya mendukung pendidikan berkualitas internasional malah mengkerdilkan potensi anak-anaknya dengan wacana membenani PPN 12%. Semoga saja ide untuk mengenakan PPN atas jasa kesehatan (kelas VIP ke atas) dan jasa Pendidikan (kelas internasional) dipertimbangkan secara matang karena ide tersebut sangat kontra produktif.

Penulis  Ketua Departemen Penelitian Dan Pengkajian Kebijakan Fiskal – Ikatan Konsultan Pajak Indonesi

Pino Siddharta, S.E, S.H, M.Si

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

 

 

Kaji Ulang Kenaikkan Tarif PPN 12%

Polemik mengenai rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 menjadi perbincangan hangat di kalangan ekonom, pemerhati perpajakan, pengusaha, akademisi, hingga masyarakat umum.

Kenaikan ini tidak hanya menjadi sorotan di dunia nyata, tetapi juga memicu diskusi luas di media sosial. Mayoritas pihak yang terlibat dalam pembahasan ini, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap langkah pemerintah tersebut.

Seperti yang disampaikan oleh Cucun Ahmad Syamsurijal, seorang anggota DPR, dalam keterangannya pada 19 November 2024, ia sudah sejak lama mengkhawatirkan rencana kenaikan PPN ini. Bahkan, sejak periode DPR sebelumnya, ia mendorong agar rencana tersebut dikaji ulang. (Detik.Com 19/11/2024)

Latar belakang penolakan ini berkaitan dengan situasi perekonomian yang masih lesu dan penuh ketidakpastian.

Tantangan Ekonomi yang Mengancam

Penyebab utama penolakan terhadap kenaikan PPN adalah kondisi ekonomi Indonesia yang masih mengalami berbagai tantangan besar. Ketidakpastian ekonomi global, seperti tingginya tingkat bunga, ketegangan geopolitik, eskalasi perang dagang, serta masalah struktural lainnya, seperti perubahan iklim, digitalisasi, dan demografi, telah memperburuk perekonomian dalam negeri.

Berdasarkan proyeksi yang tercantum dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, angka pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya mencapai 5,2%, dengan inflasi di angka 2,5%, serta defisit anggaran yang diperkirakan mencapai 2,53% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Selain itu, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS diperkirakan berada di kisaran Rp15.300 hingga Rp16.000, sementara yield Surat Berharga Negara (SBN) dengan tenor 10 tahun diprediksi berada pada kisaran 6,9% hingga 7,3%.

Dengan kondisi ini, menaikkan tarif PPN dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif terhadap daya beli masyarakat, terutama karena perekonomian sedang dalam fase deflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan berturut-turut sejak Mei 2024, dengan deflasi mencapai 0,12% pada September 2024. Deflasi ini diprediksi dapat menurunkan daya beli masyarakat dan mengurangi pendapatan dari sektor bisnis, yang pada gilirannya berdampak pada penerimaan pajak.

Kenaikan tarif PPN berisiko memperburuk konsumsi masyarakat. Konsumsi rumah tangga memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia, menyumbang lebih dari 50% terhadap PDB.

Jika masyarakat merasa terbebani dengan kenaikan pajak, hal ini bisa mendorong mereka untuk mengurangi pengeluaran, yang pada gilirannya dapat memperlambat pemulihan ekonomi.

Seperti yang dikemukakan oleh Gunadi, Guru Besar Universitas Indonesia, PPN merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi, sehingga kenaikan tarif pajak ini dapat mempengaruhi perilaku konsumen.

Karenanya, hal ini berisiko menyebabkan boikot atau pengurangan konsumsi melalui media sosial, yang dapat memperburuk keadaan. Fenomena seperti ini bisa menciptakan gelombang ketidakpercayaan terhadap kebijakan ekonomi pemerintah, dan mengarah pada penurunan optimisme masyarakat terhadap pertumbuhan ekonomi.

Di saat kondisi perekonomian yang masih tertekan, pemangku kebijakan seharusnya mempertimbangkan untuk menurunkan tarif pajak, bukan meningkatkannya. Penurunan tarif pajak dapat merangsang daya beli masyarakat dan memberikan dorongan bagi pemulihan ekonomi.

Konsep ini juga diperkuat oleh teori Laffer, yang menyatakan bahwa penurunan tarif pajak dalam jangka panjang justru dapat meningkatkan penerimaan negara karena dapat merangsang pertumbuhan ekonomi yang lebih baik. Selain itu, teori multiplier dari ekonom John Lindauer menunjukkan bahwa perubahan dalam salah satu komponen ekonomi, seperti pajak, dapat mempengaruhi keseimbangan ekonomi secara keseluruhan.

Berdasarkan kondisi perekonomian Indonesia yang sedang mengalami deflasi dan penuh ketidakpastian, serta mengacu pada teori ekonomi yang ada, berpendapat bahwa kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% pada saat ini bukanlah langkah yang tepat.

Sebaliknya, pemangku kepentingan perlu mengkaji ulang kebijakan ini secara mendalam untuk menemukan solusi yang lebih bijaksana, yang dapat mendukung pemulihan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Penulis adalah, Tim Departemen Penelitian Kebijakan Fiskal Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Meneropong Jejak Penerimaan Pajak 2024

Tidak dapat dipungkiri penerimaan pajak adalah tulang punggung dari pembiayaan negara dalam menjalankan fungsi melayani masyarakat dan pemerintahan. Salah satu fungsi pajak adalah fungsi budgeter, tanpa pajak akan kesulitan negara dalam menjalankan dan menggerakan roda pemerintahan serta pembangunan.

Kondisi sampai saat ini, realisasi kinerja pendapatan negara tahun 2024 masih terkendali. Hingga 31 Oktober, pendapatan negara tercatat Rp2.247,5 T atau 80,2% dari target APBN, tumbuh 0,3% (yoy). Pendapatan negara mencapai Rp2.247,5 T. Ini artinya 80,2% dari target APBN 2024 sudah dikumpulkan dan ada kenaikan 0,3% dibandingkan periode Oktober tahun 2023.

Melihat data yang ada, memang ada dua kemungkinan dapat terpenuhi target penerimaan pajak tahun 2024 atau sebaliknya. Jika penerimaan pajak tidak mencapai target, dapat dipastikan penyebab utamanya terjadi kelesuan ekonomi nasional.

Ketidakpastian ekonomi bersumber dari tingkat bunga yang masih tinggi, eskalasi konflik geopolitik, peningkatan tensi perang dagang, serta risiko-risiko yang berdampak struktural, seperti perubahan iklim, digitalisasi serta masalah demografi.

Bahkan diproyeksikan angka pertumbuhan ekonomi pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 mencapai 5,2%, inflasi di angka 2,5%, dan defisit anggaran sekitar 2,53% dari GDP. Nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS diperkirakan berada direntang Rp15.300 – Rp16.000, sedangkan yield SBN Tenor 10 Tahun diperkirakan berada pada kisaran 6,9 %-7,3 %. Namun angka-angka tersebut hanyalah estimasi yang bisa berubah yang mungkin akan bergerak naik atau turun.

Mengumpulkan penerimaan negara dalam mencapai target yang diinginkan tidak semudah membalik telapak tangan, karena situasi saat ini perekonomian sedang mengalami deflasi. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan beruntun sejak Mei 2024. Data terbaru menjelaskan deflasi bulanan sebesar 0,12 % terjadi pada September 2024.

Deflasi pertama kali dilaporkan pada Mei 2024 sebesar 0,03 %. Kemudian deflasi menyentuh 0,08 % pada Juni dan semakin dalam pada Juli menjadi 0,18 %. Deflasi sempat membaik pada Agustus, menyentuh 0,03 %, sebelum akhirnya kembali memburuk September lalu, Deflasi akan memengaruhi penerimaan pajak, karena deflasi dapat menyebabkan penurunan daya beli masyarakat dan pendapatan bisnis.

Memang berdasarkan banyaknya teori untuk memperbaiki penerimaan pajak diperlukan adanya grand strategy yang mumpuni dan ramah bisnis disektor peraturan perpajakan, selain itu terus memperbaiki kinerja makro ekonomi. Salah satu program yang menarik adalah insentif pajak yang mungkin akan memberikan stimulus pada penerimaan pajak.

Insentif pajak adalah kebijakan pemerintah yang diberikan kepada individu atau organisasi tertentu hingga investor asing atau lokal yang bersedia berinvestasi. Insentif pajak terbaru yang ada pada saat ini, yaitu PMK 69 tahun 2024 untuk mendapatkan fasilitas tax holiday, namun wajib pajak perlu memenuhi kriteria yang diatur dalam Pasal 3 ayat (1) PMK 69/2024.

Kriteria tersebut antara lain wajib pajak bergerak di bidang industri pionir, berstatus sebagai badan hukum Indonesia, melakukan penanaman modal yang belum mendapatkan fasilitas tax holiday lainnya, memiliki nilai rencana penanaman modal baru paling sedikit Rp100 miliar, memenuhi ketentuan debt-to-equity ratio, dan berkomitmen merealisasikan penanaman modal paling lambat 1 tahun sejak diberikan keputusan penggunaan fasilitas.

Selain PMK 69 tahun 2024, mungkin diperlukan insentif pajak yang lain sehingga dapat menggerakan para investor asing dan investor lokal agar berinvestasi di Indonesia sehingga dapat menaikan perekonomian yang tentunya akan berdampak menaikan penerimaan pajak kedepannya.

Normatifnya bahwa ekonomi makro dan pajak sangat berkaitan erat dan hal ini selaras dengan teori pertumbuhan endogen yang digagas Paul M Romer pada tahun 1986 dan Robert Lucas pada tahun 1988, teori ini menjelaskan bahwa penerimaan pajak menyebabkan atau mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pembiayaan aktivitas kegiatan ekonomi, peningkatan pertumbuhan ekonomi dan aktivitas ekonomi, dan bergulir meningkatkan jumlah penerimaan pajak baik dari basis pajak maupun nominal penerimaan pajak.

Semoga penerimaan pajak di tahun 2024 dapat tercapai seperti tahun-tahun sebelumnya. Aamiin

Penulis adalah Anggota Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI).

Dr, Irwan Wisanggeni

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

Pengenaan dan Keberpihakkan Pajak UMKM

Belum genap 1 bulan setelah pelantikan sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subianto telah membuat banyak gebrakan, mulai dari dimulainya pemberantasan korupsi, pemberantasan judi online, pencanangan Gerakan Solidaritas Nasional untuk mempersatukan kekuatan bangsa, dan yang terakhir ialah penghapusan utang UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah) sebagai simbol keberpihakan pemerintah kepada para masyarakat kecil sebagai pelaku UMKM yang bergerak di sektor pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan, serta UMKM lainnya, dengan dihapusnya piutang macet maka pelaku UMKM mempunyai akses lagi ke dunia perbankan.

Tentunya gebrakan-gebrakan yang dibuat oleh Presiden Prabowo membawa angin segar dan harapan yang sangat besar bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat marginal untuk keluar dari kesulitan yang mereka alami, sehingga gebrakan Presiden Prabowo patut diacungi jempol.

Setiap kebijakan yang berpihak kepada masyarakat marginal dan pelaku usaha UMKM merupakan salah satu cara untuk mewujudkan salah satu butir Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Bicara mengenai UMKM, menjelang akhir tahun 2024 para pelaku usaha UMKM yang jumlahnya relatif banyak menunggu dengan cemas terkait dengan berakhirnya masa berlaku penerapan tarif pajak PPh Final Bruto tertentu sebesar 0,5% atau yang lebih dikenal tarif pph final UMKM, ditambah terkait rencana kenaikan tarif PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dari 11% menjadi 12%.

Berdasarkan data dari Kementerian Koperasi dan UMKM, jumlah UMKM di Indonesia pada tahun 2024 mencapai lebih dari 65 juta unit, UMKM ini tersebar di berbagai sektor, termasuk kuliner, fashion, kerajinan tangan, hingga teknologi digital[1]. Jumlah 65 juta unit tersebut bukanlah jumlah yang sedikit, apalagi para pelaku usaha UMKM tersebut juga sebagai penyerap tenaga kerja informal yang tidak sedikit.

Kecemasan para pelaku usaha UMKM tersebut dapat dimaklumi, karena berakhirnya peraturan terkait PPh Final Bruto Tertentu nantinya mempunyai efek yang  besar bagi mereka, akan terjadi lonjakan pembayaran pajak yang harus mereka tanggung dengan menggunakan skema perhitungan yang baru. Sebagai informasi untuk menghitung berapa pajak yang harus dibayar, maka Wajib Pajak dapat memilih cara perhitungannya, di antaranya : 1) Memilih melakukan pembukuan dalam menghitung berapa keuntungan / kerugiannya, dengan mengetahui keuntungan baru akan dapat dihitung berapa pajak yang terutang, kelebihan dari metode pembukuan ini lebih fair / adil karena benar-benar menghitung secara riil, apakah usaha yang dilakukan Wajib Pajak tersebut untung atau rugi, namun kesulitannya bagi pelaku usaha yang kurang paham adalah terasa rumit dan ribet.

Selain itu, membutuhkan keahlian dalam membuat laporan keuangan sesuai dengan prinsip standar akuntansi di Indonesia, tidak mudah bagi orang awam untuk dapat membuat pembukuan; 2) Memilih menggunakan norma perhitungan penghasilan neto (NPPN), arti  norma perhitungan ialah suatu tarif tertentu yang telah ditentukan oleh Pemerintah untuk menentukan berapa persentase keuntungan dari setiap bidang usaha, kelebihannya sederhana dalam menghitung, kekurangannya beban pajak yang besar dan tidak menunjukkan kondisi riil dari wajib pajak; 3) Menggunakan tarif PPh Final Bruto Tertentu untuk UMKM tertentu (untuk umkm yang memiliki omzet sampai dengan Rp. 4,8 Milyar setahun). Berikut tabel kelebihan dan kekurangan dari ketiga cara menghitung pajak tersebut.

Keistimewaan dari tarif pajak final bruto tertentu (Pajak UMKM) selain sederhana, juga tarif pajak yang relatif rendah, pada awalnya berdasarkan PP No 46 Tahun 2013 Tarif PPh Final Bruto Tertentu adalah sebesar 1%, namun kemudian diubah menjadi yaitu sebesar 0,5% berdasarkan PP 23 Tahun 2018, dan kemudian mendapatkan fasilitas tambahan untuk omzet sampai dengan 500 juta tidak dikenakan pajak. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Perpajakan, Pasal 59 disebutkan sbb :

Pasal 59

(1)      Jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) paling lama:

  1. 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
  2. 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan komanditer, firma, badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama, atau perseroan perorangan

                     yang didirikan oleh 1 (satu) orang; dan

  1. 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.

Perhitungan jangka waktu 7 tahun untuk orang pribadi sebagai mana huruf a, dihitung sejak Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2018, sehingga bagi Wajib Pajak yang telah memiliki NPWP sebelum tahun 2018, jangka waktu 7 tahun akan berakhir di tahun 2024. Sedangkan jangka waktu wajib pajak badan (huruf b dan c) dihitung sejak berdirinya wajib pajak badan tersebut.

Jika tidak ada perubahan atas Peraturan Pemerintah No 55 tersebut, maka pada tahun 2025, Wajib Pajak Orang Pribadi yang sudah menggunakan tarif tersebut harus memilih metode perhitungan dalam menghitung laba dan membayar pajaknya. Metode tersebut ialah menggunakan pembukuan, atau menggunakan norma perhitungan penghasilan neto (NPPN). Sebagai perbandingan dapat dilihat berapa jumlah pajak yang harus dibayar pada tahun 2025 dengan asumsi omzetnya sama,  berdasarkan ketiga metode tersebut.

Contoh penggunaan metode dapat dijelaskan sebagai berikut :

A. Tuan Amir status K/3 (Kawin memiliki 3 tanggungan) memulai usaha sebagai pemilik toko bahan bangunan di Jakarta Selatan sejak tahun 2017, pada tahun 2024 memiliki omzet peredaran usaha sebesar Rp. 3.600.000.000,- (Tiga Milyar Enam Ratus Juta Rupiah), dengan perincian sebagai berikut :

Jumlah pajak yang harus dibayar oleh Tuan Amir pada tahun 2024 sebesar Rp. 15.500.000,-. Namun pada tahun 2025 Tuan Amir tidak boleh menggunakan tarif final UMKM 0,5%, karena Tuan Amir sudah menggunakan tarif final UMKM 7 tahun lamanya yaitu sejak 2018 sd 2024.

Tahun 2025 dan seterusnya Tuan Amir harus menghitung labanya dengan memilih menggunakan pembukuan atau menggunakan norma perhitungan penghasilan neto (NPPN), dan menggunakan tarif pajak Pasal 17 UU PPh yaitu tarif pajak progresif dengan skema sbb :

Lalu jika kita simulasikan pada tahun 2025 seandainya Tuan Amir memilki omzet yang sama dengan tahun 2024 yaitu sebesar Rp. 3.600.000.000,-

B. Jika Tuan Amir menggunakan pembukuan, dengan asumsi omzet sebesar Rp. 3.600.000.000,- setahun, harga pokok penjualan sebesar Rp. 3.000.000.000,-, biaya operasional yang boleh dibiayakan sebesar Rp. 360.000.000,-. Maka perhitungan laba dan jumlah pajak yang harus dibayar adalah sbb :

C. Jika Tuan Amir memilih menggunakan norma perhitungan penghasilan neto (NPPN), dengan bidang usaha toko eceran bahan bangunan (KLU 47528), dan lokasi usaha Tuan Amir di daerah Jakarta Selatan, berdasarkan peraturan dirjen pajak no. 17 tahun 2015 tentang norma perhitungan penghasilan neto, nya adalah sebesar 30%.

Berdasarkan simulasi contoh kasus di atas, jika diperbandingan maka terlihat jumlah pajak yang berbeda dari ketiga metode perhitungan pajaknya, yaitu sbb :

Tentu dengan perbedaan jumlah pajak yang relatif besar akan membebani wajib pajak UMKM, yang dalam kondisi sekarang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi covid-19, dan kondisi perekonomian yang tidak baik-baik saja.

Lalu yang menjadi pertanyaan, apakah penerapan pajak final umkm ini hanya berlaku di Indonesia saja ? ternyata berdasarkan data OECD ada banyak negara yang juga memberlakukan tarif pajak final dengan tujuan untuk mengurangi biaya kepatuhan bagi pelaku usaha kecil dan mikro sebagaimana dikutif dalam artikel OECD yang berjudul “The Design of Presumtive Tax Regimes in Selected Countries”. Karena untuk menghitung berapa pajak yang harus dibayar, dibutuhkan biaya kepatuhan yang relatif tinggi sehingga menimbang hal tersebut, dikeluarkanlah kebijakan pajak yang lebih sederhana sehingga wajib pajak dapat mudah membayar pajaknya.

Jika dilihat alasan penerapan pajak final bruto tertentu (berdasarkan PP 23 Tahun 2018) di Indonesia dengan pertimbangan “untuk mendorong masyarakat berperan serta dalam kegiatan ekonomi formal, dengan memberikan kemudahan dan lebih berkeadilan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu untuk jangka waktu tertentu, perlu mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu;

Melihat kondisi masyarakat Indonesia khususnya pelaku usaha UMKM yang masih minim pengetahuan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan, maka perlu dipikirkan kembali untuk memperpanjang ketentuan mengenai penerapan PPh Final UMKM, malah kalau bisa aturan PPh Final UMKM tersebut berlaku selamanya, namun mengingat negara juga memerlukan dana dari pajak, dan agar kebijakan PPh Final UMKM tersebut tidak disalahgunakan oleh mereka yang memang memiliki peredaran usaha yang relative besar, ada baiknya batas peredaran usaha yang dapat diklasifikasikan sebagai pelaku usaha UMKM ditinjau ulang, sekarang ini batas omzet yang masih dapat dikategorikan sebagai pelaku UMKM adalah sebesar Rp4.800.000.000,- / tahun. Jika kita bandingkan batas peredaran usaha yang masuk klasifikasi penghasilan umkm, maka batas peredaran omzet UMKM di Indonesia termasuk yang paling tinggi, berikut publikasi IMF yang berjudul How to Design a Presumtive Income Tax for Micro and Small Enterprises.

Penulis adalah  Ketua Departemen Penelitian dan Pengkajian Kebijakan Fiskal, Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Pino Siddharta, S.E, S.H, M.Si

Disclaimer : Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

Menata Profesi Konsultan Pajak: Urgensi Terbitnya UU Konsultan Pajak untuk Meningkatkan Tax Ratio

Di tengah kompleksitas sistem perpajakan dan regulasi yang terus berubah, peran Konsultan Pajak semakin vital bagi Wajib Pajak. Sudah 59 tahun asosiasi profesi Konsultan Pajak ini ada, dan pengakuan profesinya berada pada Undang-undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) serta UU No. 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) semakin menegaskan pentingnya peran dan fungsi profesi ini.

Konsultan Pajak tidak hanya membantu Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan, tetapi juga berkontribusi dalam sosialisasi dan edukasi peraturan perpajakan yang ditetapkan oleh pemerintah sekaligus meluruskan pemahaman maupun pengertian yang tidak/belum/kurang tepat di lapangan. Hal ini, pada gilirannya, berpengaruh positif terhadap penerimaan negara dan diharapkan dapat meningkatkan tax ratio, suatu indikator yang sangat penting dalam keberhasilan sistem perpajakan suatu negara.

Namun, tantangan yang dihadapi adalah banyaknya konsultan yang tidak memiliki kompetensi yang memadai maupun pihak yang masuk jalur non-formal dalam praktik layanan jasa konsultasinya. Jika kita melihat profesi lain di sektor keuangan, seperti akuntan maupun notaris, mereka harus melalui pendidikan profesi yang diakui dan wajib lulus ujian sertifikasi. Hal ini belum sepenuhnya diterapkan pada profesi Konsultan Pajak, di mana banyak individu dengan pelatihan singkat dapat mengklaim sebagai konsultan tanpa standar yang jelas.

Kekhawatiran ini semakin nyata dengan maraknya penggunaan gelar yang membingungkan masyarakat. Gelar yang diperoleh dari pelatihan non-formal tanpa lisensi yang memadai sering kali membuat Wajib Pajak kesulitan menentukan mana konsultan yang benar-benar kompeten. Untuk itu, perlunya standar kompetensi yang jelas menjadi sangat mendesak. Melindungi masyarakat dari praktik profesi yang tidak bertanggung jawab merupakan tanggung jawab bersama yang harus diupayakan melalui regulasi yang ketat, pasti, dan berkeadilan.

Pendidikan profesi yang terstruktur, di mana Konsultan Pajak dilatih secara formal, serta pelaksanaan ujian sertifikasi yang diinisiasi oleh asosiasi profesi, bukan hanya akan meningkatkan kualitas Konsultan Pajak, tetapi juga memberikan rasa aman bagi Wajib Pajak. Kerjasama antara IKPI dan perguruan tinggi dalam menyusun program studi Profesi Konsultan Pajak yang terintegrasi dengan asosiasi profesi perlu didorong sebagai langkah awal.

Oleh karena itu, pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Konsultan Pajak menjadi sangat penting, perlu, dan mendesak baik bagi Pemerintah, Masyarakat atau Pelaku Usaha, dan Pelaku Konsultan Pajak itu sendiri. Sudah lima tahun RUU ini masuk dalam PROGLEGNAS, dan kini saatnya pemerintah, dibawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, mengambil langkah strategis untuk mempercepat proses ini. UU Konsultan Pajak akan memberikan payung hukum yang jelas, mendefinisikan standar praktik, dan melindungi masyarakat dari konsultan yang tidak kompeten.

Adanya penguatan regulasi yang tepat untuk profesi keuangan yang strategis, bagi kita tidak hanya menata profesi ini secara komprehensif tetapi juga berkontribusi pada penerimaan negara yang optimal. Hasil akhirnya, tentu berimbas pada peningkatan tax ratio bukan hanya menjadi harapan, tetapi juga sebuah kenyataan yang dapat dicapai.

Penulis adalah Ketua Departemen FGD Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Suwardi Hasan, S.H., S.E., M.Ak., Ak., CA

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Memahami Pajak Pembelian Software dan Unsur Royalti

Software merupakan  salah satu karya hak cipta  berupa aset tak berwujud (intangible asset). Ketika membahas  Pajak Penghasilan atas transaksi tersebut, pikiran pertama yang muncul biasanya adalah pembayaran royalti yang terkait dengan pemotongan objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23/26.

Namun, penting untuk memahami bahwa tidak semua transaksi pembelian software terkait dengan pemotongan PPh  23/26.  Tulisan in lebih lanjui akan memperjelas berbagai situasi yang memengaruhi kewajiban pajak.

Aset adalah sumber daya yang dimiliki oleh suatu entitas dan diharapkan dapat memberikan manfaat di masa depan. Aset tak berwujud, seperti hak cipta, paten, dan merek dagang adalah bentuk aset yang tidak memiliki wujud fisik.

Menurut undang-undang, hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang muncul secara otomatis saat suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata.

Software, seperti halnya buku atau film yang merupakan karya cipta yang dilindungi oleh hak cipta. Setiap individu atau entitas yang ingin menggunakan karya ini harus membeli lisensinya, dan tindakan menyalin atau menggandakannya tanpa izin karena itu jelas melanggar hukum.

Dalam konteks ini, tentu banyak muncul pertanyaan mengenai bagaimana tentang pembayaran royalti?. Misalnya, ketika Gramedia menerbitkan dan menjual buku. Gramedia tentunya harus membayar royalti kepada penulis berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Namun, situasi berbeda terjadi ketika seseorang membeli buku dari Gramedia. Dalam kasus ini, pembeli tidak membayar royalti karena transaksi tersebut adalah jual beli biasa.

Contoh serupa dapat diambil dari industri film. Jika Pengusaha bioskop membeli hak tayang dari produser film, bioskop tersebut wajib membayar royalti berdasarkan kesepakatan yang ada. Dalam hal ini, pembayaran royalti menjadi objek pemotongan PPh 23/26.

Dengan demikian, ketika membahas software perlakuan pengenaan pajak pun akan diberlakukan hukum yang sama. Semisal, PT ABC membeli software dari eBay, di dalam transaksinya PT ABC melakukan pembelian barang tanpa adanya perjanjian untuk menggandakan atau membayar royalti. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban pemotongan PPh 23/26 dalam kasus ini.

Dari pembahasan ini, jelas bahwa objek PPh Pasal 23/26 tidak selalu terkait langsung dengan transaksi pembelian aset tak berwujud seperti software. Penentuan kewajiban pajak bergantung pada karakteristik transaksi yang dilakukan.

Jika tidak ada unsur royalti, maka transaksi tersebut tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23/26. Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai hal ini, diharapkan pelaku usaha dapat melakukan transaksi secara tepat dan mematuhi ketentuan pajak yang berlaku.

 

Penulis adalah Ketua Dept FGD Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)

Suwardi Hasan, S.H., S.E., M.Ak., Ak., CA

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.

 

id_ID