Penerimaan Pajak Merosot, INDEF: Pertumbuhan Ekonomi RI Terlihat “Anomali”

IKPI, Jakarta: Penerimaan pajak negara sepanjang 2025 terus menunjukkan tren melemah. Hingga 11 Agustus 2025, realisasi pajak baru menyentuh Rp996 triliun, atau 45,51 persen dari target Rp2.189,3 triliun. Angka tersebut turun 16,72 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.

Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eko Listiyanto, menilai kontraksi ini tidak lepas dari perlambatan ekonomi domestik. Ia menyoroti perbedaan antara data pertumbuhan ekonomi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan kondisi lapangan.

BPS sebelumnya melaporkan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 mencapai 5,12 persen. Namun, menurut Eko, capaian tersebut terasa janggal. “Kalau kita lihat indikator-indikator ekonomi lain yang cenderung lesu, angka pertumbuhan itu memang terlihat anomali,” ujarnya dalam talk show 30 Tahun INDEF, di Jakarta, Kamis (14/8/2025).

Eko mengungkapkan, penjelasan yang mungkin terkait tingginya pertumbuhan versi BPS adalah kontribusi dari Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), yang sebagian diarahkan ke pembelian peralatan mesin, alutsista, dan investasi fisik lainnya. Meski demikian, faktor ini tak cukup mengerek penerimaan pajak.

PPh Badan & PPN Jadi Penyumbang Pelemahan

Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi dua sektor utama yang mengalami perlambatan. Banyak perusahaan melaporkan penurunan laba, bahkan merugi, yang diikuti gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

Di sisi lain, pelemahan daya beli masyarakat menekan penjualan barang dan konsumsi. “Kalau konsumsi turun, otomatis penerimaan PPN juga ikut merosot,” kata Eko.

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga tak luput dari tekanan. Lesunya pajak ekspor akibat jatuhnya harga komoditas membuat kontribusinya semakin kecil.

“Tiga komponen ini PPh, PPN, dan PNBP turun bersamaan. Walaupun PMTB naik, tetap saja pajak nggak bisa terdorong naik,” pungkas Eko. (alf)

 

 

 

 

Penerimaan Pajak Merosot, Sri Mulyani Optimistis APBN 2025 Tetap Jadi Penyangga Ekonomi

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan melaporkan bahwa realisasi penerimaan pajak hingga 30 April 2025 mencapai Rp557,1 triliun. Angka tersebut mencatat penurunan 10,8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yang mencapai Rp624,2 triliun. Meski begitu, capaian ini menunjukkan tren pemulihan dibandingkan realisasi Maret 2025 yang hanya sebesar Rp322,6 triliun.

Dengan capaian tersebut, penerimaan pajak baru mencapai 25,4% dari target tahun ini yang dipatok dalam APBN sebesar Rp2.189,3 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam paparannya menyebutkan bahwa total pendapatan negara hingga akhir April 2025 adalah Rp810,5 triliun, turun 12,4% secara tahunan dari Rp925,2 triliun tahun sebelumnya.

“Penerimaan negara, khususnya dari sektor perpajakan, memang mengalami tekanan. Namun, kita tetap melihat adanya sinyal pemulihan ekonomi yang mulai menguat,” ungkap Sri Mulyani dalam rapat paripurna DPR, Rabu (21/5/2025).

Secara lebih rinci, penerimaan perpajakan tercatat sebesar Rp657 triliun termasuk di dalamnya penerimaan pajak sebesar Rp557,1 triliun dan kepabeanan serta cukai sebesar Rp100 triliun. Menariknya, sektor kepabeanan dan cukai justru tumbuh 4,4% dibandingkan tahun lalu yang sebesar Rp95,7 triliun.

Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) mengalami penurunan tajam sebesar 24,7% menjadi Rp153,3 triliun, dibandingkan dengan Rp203,6 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Dari sisi pengeluaran, belanja negara hingga April 2025 mencapai Rp806,2 triliun terkontraksi 5,1% secara tahunan. Angka ini terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp546,8 triliun, turun 7,6%, dan transfer ke daerah sebesar Rp259,4 triliun yang tumbuh tipis 0,7%.

Kendati demikian, APBN 2025 mencatatkan kejutan positif. Setelah tiga bulan berturut-turut defisit, kini APBN mencatatkan surplus sebesar Rp4,3 triliun per April. Bahkan, keseimbangan primer mencatatkan surplus Rp173,9 triliun, dan posisi kas negara menguat dengan SILPA sebesar Rp283,6 triliun.

“Ini menandakan APBN tetap menjadi instrumen yang efektif sebagai shock absorber. Ia menjaga stabilitas ekonomi, melindungi rakyat, dan mendukung dunia usaha dalam menghadapi tekanan global,” tegas Sri Mulyani.

Kinerja APBN yang menunjukkan ketahanan fiskal di tengah tekanan global ini menjadi sinyal positif bahwa pemerintah masih memiliki ruang gerak untuk menjalankan program prioritas nasional tanpa mengorbankan stabilitas makroekonomi. (alf)

 

en_US