Tax Buoyancy Indonesia Melemah, Pemerintah Didorong Perkuat Strategi Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Tren pelemahan kinerja perpajakan Indonesia kembali menjadi sorotan. Indikator tax buoyancy rasio yang menggambarkan elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi terus menunjukkan penurunan dalam beberapa tahun terakhir.

Data yang dihimpun memperlihatkan penurunan signifikan, dari posisi 1,94 pada 2021 menjadi hanya 0,71 pada tahun 2024. Bahkan, pada kuartal I tahun 2025, angkanya tercatat minus 3,71, mencerminkan bahwa setiap kenaikan 1% dalam PDB justru diikuti penurunan penerimaan pajak sebesar lebih dari tiga kali lipat.

Merespons kondisi tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan terus melakukan berbagai langkah untuk menjaga daya ungkit pajak terhadap pertumbuhan ekonomi. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menekankan bahwa strategi perluasan basis pajak menjadi salah satu fokus utama.

“Kami terus mengoptimalkan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, memanfaatkan teknologi dalam sistem administrasi perpajakan, serta memperkuat kerja sama antarlembaga,” ujarnya, Jumat (16/5/2025).

Ia juga menambahkan bahwa penegakan hukum perpajakan, reformasi struktural, dan harmonisasi kebijakan internasional menjadi bagian dari pendekatan komprehensif untuk meningkatkan rasio perpajakan.

Selain itu, pemberian insentif yang lebih tepat sasaran turut diupayakan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif dan mendorong pergeseran ekonomi ke arah bernilai tambah tinggi. “Penguatan kelembagaan dan SDM perpajakan juga kami dorong agar sejalan dengan dinamika ekonomi nasional,” kata Dwi.

Pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menyebutkan bahwa tax buoyancy di bawah angka 1 menandakan bahwa penerimaan pajak tumbuh lebih lambat daripada PDB, yang berimbas pada menurunnya rasio pajak.

“Ketika nilai tax buoyancy di bawah satu, itu berarti efektivitas pertumbuhan ekonomi dalam meningkatkan penerimaan negara menjadi lemah,” jelasnya. Ia menyoroti bahwa perlambatan ekonomi nasional menjadi faktor dominan yang menyebabkan turunnya daya dorong pajak terhadap PDB.

Sebagai contoh, ia merujuk pada kondisi 2024 ketika pertumbuhan ekonomi melambat dibandingkan tahun sebelumnya, yang menyebabkan tax buoyancy ikut terkoreksi dan rasio pajak merosot. “Jika ekonomi melambat, maka penambahan penerimaan pajak juga berkurang signifikan,” imbuhnya.

Menanggapi angka negatif pada kuartal I-2025, Fajry menilai hal itu belum bisa dijadikan indikator tahunan. Ia tetap optimistis akan terjadi perbaikan dalam sisa tahun berjalan, meskipun ia memperkirakan bahwa angka tax buoyancy sepanjang 2025 akan tetap berada di bawah satu.

Menurutnya, untuk memperbaiki kondisi ini, dibutuhkan dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi yang langsung berdampak pada penerimaan pajak. Namun ia mengakui bahwa ruang fiskal yang terbatas membuat opsi kebijakan perlu diperluas.

“Dalam kondisi seperti ini, arah kebijakan moneter dan deregulasi menjadi alternatif yang bisa dipertimbangkan pemerintah,” pungkasnya. (alf)

 

en_US