IKPI, Jakarta: Pakar Kebijakan Fiskal Universitas Indonesia (UI) Dr. Ning Rahayu, M.Si., menegaskan bahwa pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) tidak serta-merta menjadi solusi mujarab untuk meningkatkan rasio perpajakan Indonesia. Menurutnya, reformasi kelembagaan harus dibarengi dengan perbaikan mendasar dalam sistem administrasi perpajakan, penguatan sumber daya manusia (SDM), serta peningkatan keadilan dan transparansi fiskal.
Dalam diskusi panel bertajuk “Masa Depan Fiskal Indonesia: Apakah BPN Solusinya?” yang digelar di Gedung IKPI, Jakarta, Jumat (30/5/2025), Ning mengingatkan bahwa Indonesia masih menjadi negara dengan tax ratio terendah di ASEAN, meski penerimaan negara mengalami tren kenaikan sejak 2021.
“Tax ratio mencerminkan kepatuhan wajib pajak dan efektivitas sistem perpajakan. Meski penerimaan naik, kalau tax ratio tetap rendah, artinya ada yang belum beres,” ujarnya.
Merujuk pada hasil studi OECD dan berbagai literatur internasional, Ning menjelaskan bahwa banyak reformasi perpajakan di dunia gagal karena tidak diikuti restrukturisasi administrasi pajak yang permanen dan manajemen SDM yang mumpuni. Ia menekankan bahwa sistem yang efektif justru menjadi kunci utama dalam mempersempit compliance gap dan meningkatkan tax ratio.
“Kita tidak bisa hanya ‘ganti baju’. Kalau SDM-nya sama, strukturnya tidak fleksibel, teknologi minim, dan tidak ada komitmen pelayanan publik, maka hasilnya akan nihil,” tegasnya.
Belajar dari Korea Selatan
Mengambil contoh Korea Selatan yang sukses membentuk Korean National Tax Service (KNTS) tahun 2000, Ning menyoroti pentingnya visi reformasi yang menyeluruh dan fokus pada efisiensi, transparansi, serta pelayanan publik. Ia menilai Korea berhasil karena ada konsolidasi lembaga pajak, penguatan hukum, dan modernisasi sistem berbasis digital.
“KNTS dibentuk bukan hanya untuk mengumpulkan pajak, tapi juga untuk melayani, membimbing, dan mengedukasi wajib pajak,” jelasnya.
Dalam paparannya, Ning mengungkapkan berbagai kelemahan struktural yang masih melilit otoritas pajak Indonesia saat ini. Mulai dari terbatasnya kewenangan dalam struktur internal, minimnya fleksibilitas anggaran dan SDM, hingga belum efektifnya regulasi penangkal penghindaran pajak.
“Praktik aggressive tax avoidance makin canggih. Aturan kita belum cukup untuk melawan strategi perusahaan multinasional, bahkan ada PMA yang 10 tahun tidak bayar pajak,” ungkapnya berdasarkan riset disertasinya.
Ning menekankan prinsip-prinsip dasar bagi pembentukan lembaga pengelola pajak yang efektif struktur yang jelas, spesialisasi dan koordinasi yang baik, komitmen terhadap pelayanan publik, fleksibilitas, pengawasan internal, penggunaan teknologi informasi, dan partisipasi masyarakat dalam kebijakan.
“Kalau kita mau bentuk BPN, pastikan bukan hanya tukar nama. Pastikan manusianya siap, sistemnya kokoh, dan masyarakat ikut dilibatkan,” tutupnya. (bl)