Pemerintah Belum Terapkan Pajak Karbon, Menkeu Sebut Masih Utamakan Isu Perubahan Iklim

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, mengatakan masih menunggu waktu yang tepat untuk menerapkan pajak karbon. Menurutnya, isu perubahan iklim terus diarusutamakan dalam rumusan kebijakan di seluruh kementerian/lembaga dan juga pemerintah daerah.

Oleh karena itu, Kementerian Keuangan terus menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen fiskal dalam pengarusutamaan isu perubahan iklim. Dalam hal ini, pajak karbon tengah disiapkan oleh pemerintah.

“Salah satunya adalah melalui pajak karbon yang sedang disiapkan. Juga, mekanisme Transisi Energi (ETM) harus terus berjalan,” ujar Sri Mulyani dalam unggahan di instagram pribadinya @smindrwati, Minggu (12/2/2023).

Sri Mulyani menegaskan, isu perubahan iklim merupakan permasalahan bersama dan permasalahan dunia. Untuk itu, perlu tata kelola dan komitmen global untuk menyelesaikannya.

Pentingnya isu tersebut, Sri Mulyani menerima kunjungan perwakilan Climate Overshoot Commission (COC) Pascal Lamy dan juga mantan Menteri Keuangan Chatib Basri pada Jumat (10/2/2023) guna membahas pasar karbon global.

Menurut COC, G20 memiliki kapasitas mengatur framework dari pasar global ini. Namun hal ini sangat bergantung pada fokus negara tuan rumah. Bagi Indonesia sendiri, Sri Mulyani bilang, Indonesia diuntungkan dengan adanya potensi energi terbarukan yang masif dan beragam.

“Saya dan COC sepakat, seluruh progres aksi iklim yang dilaksanakan tidak boleh berjalan mundur,” katanya.

Sebagai informasi, pemerintah telah dua kali menunda penerapan pajak karbon (carbon tax), terakhir penerapan pajak karbon yang sedianya diterapkan pada Juli tahun 2022 kembali ditunda. Penundaan ini menjadi yang kedua kalinya pada tahun 2022.

Sejatinya, pajak karbon bakal diterapkan pada April 2022. Namun, kebijakan itu ditunda dan rencananya bakal berlaku pada Juli 2022. Namun sayangnya, kebijakan ini kembali molor dan belum jelas kapan akan diterapkan. (bl)

 

Menkeu Akui Penerapan Pajak Karbon Tak Mudah

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengakui penerapan pajak karbon di Tanah Air merupakan hal yang tidak mudah. Ini menjadi alasan dibalik ditundanya penerapan pajak karbon di Indonesia hingga 2025.

Sri Mulyani menjelaskan, pajak karbon adalah salah satu instrumen untuk memitigasi peningkatan emisi karbon atau CO2 di Indonesia. Karena disaat suatu negara mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi, disaat itu juga menghasilkan banyak CO2.

Namun, mantan bos Bank Dunia melihat emisi karbon belum bernilai oleh masyarakat di Indonesia. Banyak pihak tidak peduli untuk memutuskan penerapannya.

“Kenapa harus peduli, kenapa aku harus peduli dengan CO2 ini padahal tidak ada nilainya,” ujar Sri Mulyani seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Kamis (2/2/2023).

Alhasil, pemerintah memandang mekanisme pasar menjadi salah satu syarat penting bagi setiap orang untuk menyadari bahwa kualitas lingkungan dunia ini sudah mulai memburuk.

“Itu sebabnya ada nilai polusi, prinsip pembayaran polusi perlu diperkenalkan. Itu sebabnya Indonesia memperkenalkan pasar karbon,” tuturnya.

Kendati demikian, saat mengenalkan dan ‘menjual’ pasar karbon ke industri, pemerintah merasa begitu sulit menerjemahkannya.

Sri Mulyani membandingkan ketika seseorang menjual komputer dan pakaian saat berdagang. Para pembeli atau konsumen bisa secara nyata melihatnya, sehingga mereka mau membayar.

Sementara pasar karbon, atau dalam hal ini pajak karbon. Bagaimana cara melihat dan menghitung CO2 tersebut, harus bisa diterima secara akal sehat oleh banyak masyarakat.

“Tidak ada yang bisa melihatnya, di mana CO2, mengapa saya harus membayar? Bagaimana Anda membuktikan bahwa Anda benar-benar mengurangi CO2?,” jelas Sri Mulyani.

“Itu sebabnya tatanan kelembagaan perlu diberdayakan dan dibangun di Indonesia. Itu tidak akan sesederhana itu. Banyak disksusi dilakukan dengan para pelaku pasar, juga dengan lintas kementerian,” kata Sri Mulyani lagi.

Oleh karena itu, dia menuturkan pemerintah dan otoritas saat ini masih mempersiapkan, bagaimana cara atau mengukur emisi karbon.

Meskipun saat ini, aturan teknis sudah selesai disusun. Namun, pemerintah masih perlu untuk memahami dan mensosialisasikan kepada dunia usaha.

“Karena masa depan perusahaan Anda sangat dipengaruhi oleh regulasi global, peraturan nasional, praktik nasional yang menghitung CO2 di negara Anda,” jelas Sri Mulyani.

“Yang penting bagi Indonesia adalah bagaimana mentransformasi jalur ekonomi menuju pertumbuhan yang lebih hijau. Agar kami dapat menciptakan lingkungan itu, lewat instrumen yang ada di pasar,” ujarnya lagi.

Seperti diketahui, regulasi mengenai aturan pajak karbon telah diatur di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Dalam aturan tersebut, disebut bahwa tarif pajak karbon paling rendah adalah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen.

Tarif tersebut sebenarnya jauh lebih kecil dari usulan awal Rp 75. Dengan tarif Rp 30, Indonesia termasuk negara dengan tarif terendah di dunia untuk urusan pajak karbon.

Baca: Bisakah Industri Tambang Terapkan Green Mining?
Penetapan pajak karbon di Indonesia memakai skema cap and tax atau mendasarkan pada batas emisi.

Terdapat dua mekanisme yang bisa digunakan Indonesia, yaitu menetapkan batas emisi yang diperbolehkan untuk setiap industri atau dengan menentukan tarif pajak yang harus dibayarkan setiap satuan tertentu.

Secara umum, skema cap and tax ini mengambil jalan tengah antara skema carbon tax dan cap-and-trade yang lazim digunakan di banyak negara.

Modifikasi skema pajak karbon tentu diperlukan karena ada perbedaan ekosistem industri antar wilayah, termasuk respons publik terhadap aturan baru tersebut. (bl)

 

Uni Eropa Sepakat Terapkan Pajak Karbon dan Tekan Emisi

IKPI, Jakarta: Pemerintah anggota kelompok Uni Eropa sepakat menerapkan kebijakan pajak karbon setelah melalui perundingan alot selama 30 jam di Brussels.

Dalam perundingan itu, parlemen Uni Eropa juga setuju menaikkan target pengurangan emisi sampai 62 persen pada 2030. Keputusan ini merupakan langkah pembatasan karbon yang terbesar dan pertama di dunia.

Untuk merealisasikan penerapan pajak tersebut, para menteri Uni Eropa telah merampungkan draf final Mekanisme Penyesuaian Karbon Perbatasan (CBAM) pada Minggu (18/12/2022) pagi.

Setelah jadi, regulasi ini nantinya akan mengatur ‘harga’ atas polusi yang dihasilkan, termasuk produk impor tertentu yang masuk ke Benua Biru. Selain itu, industri padat karbon harus mematuhi standar emisi ketat yang dirancang Uni Eropa.

Nantinya, para eksportir yang membawa produk-produk penyebab polusi ke Uni Eropa harus membeli sertifikat emisi karbon.

Aturan ini juga untuk memproteksi daya saing bisnis-bisnis domestik Eropa agar tidak dirusak oleh pesaing-pesaing di negara lain, yang pengaturan karbonnya longgar.

Besi, baja, semen, aluminium, pupuk, produksi listrik dan hidrogen merupakan produk impor yang dikenakan pajak ini untuk langkah awal. Ke depan, aturan ini akan diperluas pengenaannya ke produk lain.

Dikutip dari CNN.com (20/12/2022), parlemen Eropa percaya aturan ini akan menjadi pilar penting dalam kebijakan iklim Eropa.

“Pajak karbon menjadi satu-satunya mekanisme yang kami miliki untuk memberikan insentif kepada para mitra dagang agar mendekarbonisasi industri manufaktur mereka,” kata juru runding utama Parlemen Eropa, Mohammed Chahim.

Namun, langkah Uni Eropa menuai banyak protes, termasuk dari Amerika Serikat dan Afrika Selatan. Negara mitra ini khawatir dampak pengenaan pajak karbon terhadap industri dalam negeri mereka.

“Ada banyak kekhawatiran dari pihak kami tentang bagaimana rencana ini akan berdampak pada kami dan hubungan perdagangan kami,” ujar perwakilan perdagangan AS Katherine Tai, seperti dilaporkan Financial Times.

Penasihat senior diplomasi iklim African Climate Foundation Faten Aggad memperingatkan pajak karbon Uni Eropa berpotensi mengakselerasi deindustrialisasi negara-negara Afrika yang mengekspor produk ke Uni Eropa.

Aggad menambahkan risiko lainnya adalah kapasitas energi bersih di negara-negara miskin akan dimanfaatkan untuk memproduksi barang-barang ekspor, sementara konsumsi domestik mereka ditopang oleh bahan bakar tidak ramah lingkungan.(bl)

Singapura Terus Naikan Pajak Karbon, Pungutannya Capai S$ 80/Ton di Tahun 2030

IKPI, Jakarta: Singapura terus menaikan pungutan pajak karbon menjadi S$ 25/ton untuk emisi gas rumah kaca pada 2024 dan 2025. Besaran itu kemudian ditingkatkan menjadi S$ 45/ton untuk 2026 dan seterusnya.

Menteri Keberlanjutan dan Lingkungan Grace Fu mengatakan kenaikan progresif akan menempatkan Singapura pada lintasan untuk mencapai antara S$ 50 dan S$ 80/ton pada 2030.

“Kami telah memutuskan untuk menaikkan tingkat pajak karbon secara bertahap dan dengan pemberitahuan sebelumnya, untuk memberikan waktu kepada bisnis kami untuk merencanakan dan melaksanakan transisi rendah karbon mereka,” kata Fu dalam pidato pembukaannya di Parlemen, saat pembacaan kedua RUU Penetapan Harga Karbon (Amandemen).

“Kami membutuhkan harga karbon yang efektif untuk mengaktifkan solusi mitigasi karbon yang akan membantu kami mencapai ambisi nol bersih kami. Harga karbon memberikan kebijakan yang efektif untuk memotivasi penghasil emisi untuk mengambil tindakan mengurangi emisi mereka,” tambahnya dikutip CNN Indonesia dari CNA, Selasa (8/11/2021).

Fu mengatakan harga karbon yang diusulkan ditetapkan setelah menyeimbangkan kebutuhan lingkungan, ekonomi dan sosial Singapura secara hati-hati.

“Harga karbon yang terlalu rendah tidak akan memberikan insentif yang cukup untuk membuat perubahan yang diperlukan untuk mencapai target emisi kami,” katanya.

Menurutnya, harga yang terlalu tinggi akan berdampak buruk untuk perusahaan dan sektor korporasinya.

“Kami telah mempertimbangkan ketersediaan teknologi dan produk hijau yang hemat biaya, laju perubahan yang perlu kami miliki dan yang dapat dikelola oleh sektor swasta kami, dan dukungan yang kami perlukan untuk diberikan kepada perusahaan dan orang-orang kami untuk meredam dampak jika diperlukan. Semua bahwa dalam tujuan mencapai jalur nol bersih kami,” kata Fu.

Adapun saat ini tarif pajak karbon Singapura sebesar 5 dolar Singapura per ton hingga 2023. Ia mengatakan penyesuaian pajak karbon ini seiring dengan kebijakan negara-negara di dunia yang telah menetapkan instrumen tersebut.

“Hampir 70 yurisdiksi di seluruh dunia telah menerapkan instrumen penetapan harga karbon, yang mencakup sekitar seperempat dari emisi global. Ekonomi utama, seperti UE, mendorong konvergensi global melalui penerapan mekanisme penyesuaian perbatasan karbon, yang bermaksud untuk menempatkan tarif yang setara pada impor dari negara-negara dengan harga rendah atau tanpa karbon,” katanya.

Sementara itu, Menteri Keuangan Lawrence Wong menguraikan langkah-langkah ini dalam pidato anggarannya pada awal tahun ini.

Bulan lalu, Wong mengumumkan bahwa Singapura akan menaikkan target iklimnya untuk mencapai nol bersih pada tahun 2050 sebagai bagian dari strategi pembangunan rendah emisi jangka panjangnya.

Sebelumnya, negara itu mengatakan akan melakukannya secepatnya pada paruh kedua abad ini.

Dalam kesempatan di Singapore International Energy Week, Wong menambahkan Singapura akan mengurangi emisi menjadi sekitar 60 juta ton setara karbon dioksida (MtCO2e) pada 2030, setelah mencapai puncak emisi sebelumnya.

“Perbedaannya setara dengan pengurangan emisi transportasi Singapura saat ini hingga dua pertiganya,” kata Wong saat itu. (bl)

Pajak Karbon di Uruguay Tertinggi, Indonesia Masih Kalkulasi Dampak

IKPI, Jakarta: Menurut laporan State and Trends of Carbon Pricing 2022 yang dirilis Bank Dunia, saat ini ada 37 negara yang sudah menerapkan pajak karbon.

Pajak karbon adalah pajak yang dikenakan kepada pengguna bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas bumi.

Sistem pajak karbon bisa berbeda di tiap negara. Finlandia misalnya, menerapkan tarif pajak lebih mahal untuk emisi sektor transportasi dibanding sektor lainnya. Sedangkan Denmark menerapkan tarif berbeda untuk emisi dari penggunaan bensin dan gas.

Kendati sistem dan tarifnya bervariasi, pajak karbon umumnya diukur dengan satuan emisi per ton karbon dioksida ekuivalen (tCO2e).

Menurut data Bank Dunia, pada April 2022 negara yang menerapkan tarif pajak karbon tertinggi adalah Uruguay, yakni US$137 per tCO2e. Tarif pajak karbon negara Amerika Selatan ini mengalahkan negara-negara Eropa seperti terlihat pada grafik.

Sementara itu baru ada 2 negara di kawasan Asia yang menerapkan pajak karbon, yakni Singapura dan Jepang. Tapi tarifnya tergolong rendah, yakni US$3,69 per tCO2e di Singapura dan US$2,36 per tCO2e di Jepang.

Awal tahun ini Indonesia sempat berencana menerapkan pajak karbon terhadap pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dengan tarif US$2 per tCO2e. Namun, belakangan pemerintah menunda rencana tersebut.

“Dengan situasi sekarang ini kami rekalkulasi kembali dampak-dampaknya, kami tidak bisa kasih tahu. Mudah-mudahan (pajak karbon) terlaksana pada tahun depan atau bisa jalan 2024,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif, dilansir Katadata.co.id, Jumat (14/10/2022).

“Pajak karbon ini dampaknya pada produk industri kita seperti apa? Takutnya jadi lebih mahal. Kami ada uji coba dulu, maka kita tunggu dulu,” lanjutnya.

Bank Dunia menyatakan pajak karbon diperlukan demi mengurangi polusi udara, menekan emisi gas rumah kaca, serta menahan laju pemanasan global. Namun, penerapan kebijakan ini memerlukan pertimbangan yang matang.

“Menerapkan pajak karbon ini menantang secara politis, terutama di tengah kenaikan inflasi dan harga energi. Negara-negara perlu memastikan agar kebijakan pajak karbon adil, efektif, serta terintegrasi dengan kebijakan iklim dan sosial,” kata Bank Dunia dalam laporannya. (bl)

 

Siap-siap, Pemerintah Segera Terapkan Pajak Karbon

IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia berencana segera menerapkan pajak karbon. Jika sudah disahkan, maka segala aktivitas yang menghasilkan emisi karbon akan dikenai biaya pajak.

Pemerintah Indonesia mengusung rencana penerapan biaya pajak untuk karbon setelah ditekennya UU 7/2021 tentang harmonisasi peraturan perpajakan dan Perpres 98/2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon untuk pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan pengendalian emisi gas rumah kaca dalam pembangunan nasional.

Pajak karbon adalah pengenaan biaya terhadap emisi karbon pada aktivitas yang menggunakan bahan bakar fosil seperti batubara, minyak bumi, dan gas bumi. Adanya pajak karbon diharapkan dapat menjadi salah satu potensi untuk melestarikan lingkungan.

Dilansir dari laman resmi Universitas Airlangga (Unair), Dosen Fakultas Hukum Unair Dr. Cenuk Sayekti mencoba mengupas potensi dan tantangan penerapan rencana pajak karbon.

Cenuk mengatakan bahwa pajak karbon merupakan manifestasi dari prinsip pencemar membayar (polluter pays) dalam hukum lingkungan. Hal ini digunakan untuk menekan eksternalitas negatif, yakni polusi, dalam aktivitas perekonomian.

Penetapan pajak karbon ini diharapkan dapat menjadi langkah untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil yang amat merusak iklim. Lebih lanjut, Cenuk mengatakan, esensi dari penerapan pajak ini adalah perubahan perilaku.

Penerapan pajak karbon juga merupakan bentuk pelaksanaan kewajiban Indonesia sebagai negara anggota Paris Agreement.

Paris Agreement atau Persetujuan Paris adalah kesepakatan global untuk menghadapi perubahan iklim pada tahun 2015. Persetujuan ini memandu negara-negara untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lain untuk membatasi pemanasan global.

Gas rumah kaca adalah gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas rumah kaca sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi juga bisa muncul akibat aktivitas manusia, terutama dengan pembakaran bahan bakar fosil.

Pajak Karbon Belum Diberlakukan

Saat ini, pemerintah masih mengkaji lebih dalam terkait penerapan pajak karbon. Hingga saat ini, pajak karbon belum diberlakukan.

“Hingga saat ini, pajak karbon belum diberlakukan sekalipun rencananya adalah 1 Juli kemarin. Beberapa alasan seperti krisis energi global akibat konflik Rusia-Ukraina menjadi pemicu. Namun, potensi untuk peningkatan ekspor batu bara Indonesia ke negara Eropa juga bisa menjadi alasan,” ujar Cenuk.

Cenuk yang merupakan lulusan Macquarie University juga menjelaskan target dari pajak karbon, yakni individu atau perusahaan yang menghasilkan emisi karbon.

Ia menerangkan, mengacu pada UU No. 7/2021, target pajak karbon adalah entitas individu atau perusahaan yang menghasilkan emisi karbon sehingga memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Namun, legislasi ini mengamanatkan bahwa badan yang bergerak di bidang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) itu akan menjadi yang pertama kali dikenakan pajak karbon.

Skema Pajak Karbon

Cenuk mengatakan, menurut UU 7/2021, akan ada dua skema khusus yang diberlakukan dalam menekan emisi karbon, yakni skema pajak karbon (cap and tax) dan skema perdagangan karbon (cap and trade).

Cenuk menjelaskan bahwa dalam skema perdagangan karbon, suatu entitas memiliki kuota terbatas untuk mengeluarkan emisi. Namun bilamana emisi suatu entitas melebihi kuota, ia harus membeli Sertifikat Izin Emisi (SIE) dari entitas lain yang menghasilkan emisi di bawah kuota. Selain itu, entitas juga dapat membeli Sertifikat Penurunan Emisi (SPE).

“Akan tetapi jika entitas tidak dapat membeli SIE atau SPE secara penuh untuk emisi yang dihasilkan, maka skema cap and tax diberlakukan. Dengan kata lain, entitas yang menghasilkan emisi residu yang melebihi batas akan dikenakan pajak karbon,” jelas Cenuk.

Efektivitas pelaksanaan pajak karbon terletak pada tata cara pemungutan dan alokasi penghasilan pajak oleh pemerintah. Kebijakan pajak karbon harus memperhatikan proporsionalitas pemungutan pajak supaya tidak membebankan masyarakat berpenghasilan rendah.

Cenuk juga menyerukan bahwa alokasi penghasilan pajak karbon harus menerapkan konsep earmarking. Pendapatan yang diperoleh dari penetapan pajak karbon disarankan untuk dialokasikan pada sektor lingkungan.

“Konsep ini memungkinkan penerapan langsung alokasi pajak karbon pada sektor lingkungan atau green spending. Satu hal yang dikhawatirkan oleh beberapa kalangan adalah penghasilan dari pajak karbon itu dialokasikan ke dalam APBN, di mana sifatnya itu umum,” tuturnya.

Jika pajak karbon sudah ditetapkan sebagai suatu aturan, pemerintah Indonesia diharapkan untuk bersikap transparan. Ia menekankan, perlu adanya penjelasan terkait bagaimana pajak ini dapat mengurangi emisi karbon, serta manfaat tambahan yang diperoleh oleh masyarakat dan juga lingkungan.

Cenuk mencontohkan, beberapa manfaat pajak dalam mengurangi emisi karbon yaitu pengurangan kemacetan lalu lintas, penurunan polusi udara, penurunan biaya kesehatan, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Penetapan pajak karbon ini diharapkan bisa menjadi aturan yang bernilai positif bagi lingkungan maupun juga masyarakat. (bl)

en_US