IKPI, Depok: Ketua Departemen Litbang dan Pengkajian Kebijakan Fiskal IKPI, Pino Siddharta, mengkritisi lambannya implementasi pajak karbon di Indonesia. Menurutnya, meskipun landasan hukum sudah tersedia, tanpa aturan teknis yang jelas, kebijakan ini hanya akan menjadi macan kertas.
“Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan sudah ada. Perpres tentang nilai ekonomi karbon juga ada. Tapi, bisakah langsung jalan? Tidak! Karena aturan teknisnya belum keluar. PMK soal tarif, mekanisme pemungutan, hingga peta jalan karbon harus segera diterbitkan. Kalau tidak, semua hanya berhenti pada wacana,” tegas Pino dalam diskusi di FIA Universitas Indonesia, Kamis (18/9/2025).
Pino mencontohkan, sejumlah negara sudah lebih dulu menerapkan pajak karbon dengan tarif beragam. Jepang mengenakan 3 dolar AS per ton, Singapura 3,66 dolar, Kolombia 4,45 dolar, Spanyol 17,48 dolar, hingga Prancis dengan tarif 49 dolar per ton.

“Indonesia? Baru menetapkan tarif minimum Rp30 per kilogram, itu pun belum konsisten diterapkan. Kalau kita lambat, jangan heran bila daya saing kita melemah di pasar global. Uni Eropa sudah mulai mengenakan bea impor berbasis emisi karbon. Produk Indonesia bisa terhambat masuk jika kita sendiri tak punya regulasi tegas,” jelasnya.
Lebih dari Sekadar Penerimaan Negara
Pino mengingatkan, pajak karbon bukan hanya urusan menambah kas negara. Esensi terbesarnya adalah mengubah perilaku industri dan mendorong investasi energi terbarukan.
“Kalau pemerintah serius, pajak karbon bisa jadi pemicu lahirnya ekonomi hijau. Tapi kalau hanya diseret-seret untuk mengejar penerimaan, kita akan kehilangan momentum. Ingat, dunia tidak menunggu Indonesia,” katanya.
Ia menambahkan, bursa karbon yang sudah diluncurkan pada Januari 2025 seharusnya menjadi momentum untuk memperluas sektor pajak karbon. Namun tanpa regulasi yang tegas, pasar karbon hanya akan jadi etalase kosong.
“Pajak karbon bukan hanya soal angka Rp30 per kilogram. Ini soal reputasi kita sebagai bangsa yang bertanggung jawab. Kalau aturan tak segera keluar, kita hanya akan dikenang sebagai negara yang pandai membuat undang-undang, tapi gagap dalam eksekusi,” ujarnya.(bl)