Menkeu Sebut 4 Juta Wajib Pajak Belum Lapor SPT 2023

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan mengungkapkan, masih ada sekira 4 juta wajib pajak yang harus melaporkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak tahun 2022 di sisa tahun 2023 ini.

Hal tersebut tertuang di dalam bahan materi konferensi pers APBN Kita edisi April 2023 yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kemarin, dikutip Rabu (23/5/2023).

“Total SPT Tahunan yang disampaikan sepanjang tahun 2022 adalah 17,20 juta SPT. Sehingga dalam sisa tahun 2023 ini diperkirakan masih akan ada sekitar 4 juta SPT yang akan disampaikan oleh wajib pajak,” jelas Sri Mulyani.

Adapun SPT Tahunan PPh yang disampaikan pada tahun 2023 mencapai 13,49 juta SPT atau meningkat 2,89% dibandingkan dengan SPT Tahunan PPh pada 2022 yang sebesar 13,11 juta SPT.

Secara rinci, penyampaian SPT Wajib Pajak Orang Pribadi pada 2023 mencapai 12,5 juta atau meningkat 2,53% dibandingkan dengan jumlah penyampaian SPT Wajib Pajak Orang Pribadi pada 2022 yang sebesar 12,19 juta.

Adapun jumlah penyampaian SPT Wajib Pajak Badan pada 2023 sebesar 0,99 juta atau naik 7,65% dibandingkan dengan jumlah SPT WP Badan pada 2022 yang sebesar 0,92 juta.

Kementerian Keuangan mencatat, penyampaian SPT Tahunan melalui media elektronik mencapai 96,21%. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan catatan sepanjang tahun 2022 yang sebesar 91,08%.

Sementara penyampaian SPT Tahunan secara manual mencapai 3,79%. (bl)

 

 

KPK Selidiki Asal Usul Perusahaan Konsultan Pajak Rafael Alun

IKPI, Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelisik asal usul perusahaan konsultan pajak yang didirikan oleh eks pejabat Ditjen Pajak Kemenkeu, Rafael Alun Trisambodo. Informasi ini didalami dengan memeriksa tiga orang saksi pada Senin (22/5/2023).

Ketiga saksi itu merupakan pihak swasta. Mereka adalah Oki Hendarsanti, Ujeng Arsatoko, dan Jeffry Amsar. “Para saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan pendirian perusahaan konsultan pajak oleh Tersangka RAT yang digunakan untuk mengondisikan temuan pajak dari para wajib pajak yang bermasalah,” kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri, seperti dikutip dari Republika.co.id, Selasa (23/5/2023).

Ali tak menjelaskan lebih rinci mengenai hasil pemeriksaan tersebut. Namun, keterangan ketiga saksi ini diyakini dapat mengusut tuntas kasus dugaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang tengah menjerat Rafael.

KPK telah menetapkan Rafael Alun sebagai tersangka dugaan TPPU. Dia diduga menyamarkan sejumlah aset miliknya yang berasal dari hasil korupsi.

KPK menduga nilai TPPU yang dilakukan Rafael mencapai puluhan miliar rupiah. Namun, jumlah ini masih dapat bertambah. Sebab, tim penyidik KPK masih terus mengusut dan mengumpulkan bukti-bukti yang dibutuhkan.

Sebelumnya, Rafael Alun telah ditahan atas kasus dugaan gratifikasi. Dia diduga menerima gratifikasi sejak diangkat dalam jabatan selaku Kepala Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak pada Kantor Wilayah Dirjen Pajak Jawa Timur I tahun 2011 silam.

Gratifikasi itu dia terima melalui salah satu perusahaan miliknya, yakni PT Artha Mega Ekadhana (AME). Perusahaan ini bergerak dalam bidang jasa konsultansi terkait pembukuan dan perpajakan.

Rafael seringkali merekomendasikan PT AME kepada para wajib pajak yang memiliki permasalahan pajak. Khususnya terkait kewajiban pelaporan pembukuan perpajakan pada negara melalui Ditjen Pajak. Dia diduga menerima gratifikasi sebesar 90 ribu dolar Amerika Serikat melalui perusahaan miliknya itu. (bl)

Menkeu Sebut Penerimaan Pajak Tumbuh Moderat Rp 688,15 Triliun

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengumumkan penerimaan negara dari pajak telah mencapai Rp688,15 triliun hingga April 2023. Meski pertumbuhannya mulai moderat, capaian penerimaan tersebut meningkat sebesar 21,3 persen secara tahunan.

“Penerimaan pajak sampai April mencapai Rp688,15 triliun. Kalau kita lihat semuanya masih tumbuh, meskipun pertumbuhannya mulai moderat,” ujar Sri Mulyani seperti dikutip dari Kemenkeu.go.id, Senin (22/05/2023).

Jumlah tersebut setara 40,05% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023. Jika dirinci, capaian Pajak Penghasilan (PPh) Non Migas tercatat Rp 410,92 triliun atau 47,04% dari target. Pajak ini tumbuh 20,11% jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya.

Selanjutnya, penerimaan pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) hingga akhir April 2023 tercatat sebesar Rp 239,98 triliun atau 32,30% dari target. Angka capaian ini juga tumbuh 24,91%.

Sementara itu, raihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak lainnya mencapai Rp4,92 triliun atau 12,30% dari target. Capaian ini juga mengalami pertumbuhan sebesar 102,62%. Demikian juga, PPh Migas tercatat Rp 32,33 triliun atau 52,62%  dari target. Ini juga tumbuh 5,44%.

“Kalau kita lihat pertumbuhan 21,3% itu masih tinggi, tapi tahun lalu itu sudah tumbuh tinggi juga, yaitu 51,4%. Artinya pertumbuhan ekonomi yang mengkontribusikan penerimaan pajak tahun lalu sudah memberikan kontribusi pertumbuhan yang cukup tinggi dan masih bertahan hingga bulan April dengan pertumbuhan 21,3%”, jelas Menkeu.

Pertumbuhan penerimaan pajak yang moderat dipengaruhi oleh sejumlah faktor, antara lain berupa penurunan harga mayoritas komoditas utama dan juga penurunan ekspor dan impor.

Meski penerimaan pajak diwarnai kewaspadaan sejalan dengan volatilitas ekonomi global dan normalisasi basis penerimaan, pemerintah tetap optimis mengingat aktivitas ekonomi domestik masih terus meningkat.

Lebih lanjut, Menkeu menyebut pemerintah akan terus melakukan berbagai langkah pelaksanaan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan terus waspada terhadap lingkungan ekonomi yang menunjukkan tanda-tanda pelemahan. (bl)

Penjualan Mobil Listrik Wuling Naik 107 Persen Akibat Insentif Pajak

IKPI, Jakarta: Wuling Motors mencatat lonjakan penjualan jenis mobil listriknya, Wuling Air EV selama April 2023. Kenaikan penjualan itu, menurut perusahaan, didorong oleh program insentif pajak yang diberikan pemerintah dalam upaya migrasi masyarakat menggunaan kendaraan listrik yang bebas emisi.

Direktur Marketing Wuling Motor, Dian Asmahani, mengatakan, laju penjualan Wuling Air EV selama April tercatat tembus 747 unit. Angka penjualan naik 107 persen atau dua kali lipat dari penjualan selama Maret sebanyak 360 unit.

“Kami melihat konsumen merespons dengan baik insentif ini,” kata Dian seperti dikutip dari Republika, Minggu (21/5/2023).

Ia menuturkan, program subsidi lewat diskon Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 1 persen yang dimulai 1 April 2023 diharapkan membawa angin segar bagi industri otomotif. Khususnya sebagai produsen mobil listrik yang tengah menjadi fokus pemerintah.

Diskon pajak itu, lanjut Dian, pun dapat dimanfaatkan konsumen yang ingin memiliki atau bermigrasi kepada kendaraan bertenaga listrik. “Kami berharap kesempatan ini menjadi momen tepat bagi masyarakat untuk dapat memiliki mobil listrik,” ujarnya.

Seperti diketahui, Wuling Motor bersama Hyundai menjadi dua produsen mobil listrik yang masuk dalam program insentif pajak pemerintah. Kedua produsen terpilih karena telah memenuhi syarat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) kendaraan minimal 40 persen sesuai peraturan.

Namun, belakangan Kepala Staf Presiden sekaligus Ketua Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (Periklino), Moeldoko mengakui program subsidi mobil listrik masih berjalan lambat di tengah masyarakat. Pihaknya pun telah melakukan evaluasi tentang perkembangan yang minim atas program subsidi tersebut.

“Sekarang masih berjalan lambat,” kata Moeldoko dalam pembukaan PERIKLINDO Electric Vehicle Show (PEVS) 2023 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (17/5/2023) lalu.

Ia mengaku pemerintah mengevaluasi progam subsidi itu lantaran tidak berjalan dengan baik. Dia memperkirakan subsidi lambat bisa disebabkan karena subsidi tidak bisa dinikmati semuanya. Selain itu, pemerintah mencoba merumuskan tentang kemungkinan insentif pajak yang dibayarkan satu bulan sekali agar tidak terlalu membebani dealer.

Kebijakan Pajak 2024 Menyasar Orang Kaya dan Ekonomi Digital

IKPI, Jakarta: Pemerintah mengarahkan kebijakan umum perpajakan tahun 2024 untuk mendukung proses transformasi ekonomi agar dapat melewati berbagai tantangan. Dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) tahun 2024 telah disusun enam kebijakan teknis pajak tahun 2024.

Kebijakan yang pertama dengan menindaklanjuti pelaksanaan reformasi perpajakan UU HPP. Nantinya, pemerintah akan melakukan optimalisasi perluasan bisnis pemajakan.

Kemudian, dilakukan penguatan kegiatan ekstensifikasi pajak dan pengawasan berbasis kewilayahan dalam rangka menjangkau seluruh potensi di tiap wilayah. Ketiga, fokus pada kegiatan perencanaan penerimaan yang lebih terarah dan terukur.

“Fokus kegiatan perencanaan penerimaan yang lebih terarah dan terukur melalui implementasi penyusunan Daftar Sasaran Prioritas Pengamanan Penerimaan Pajak (DSP4); prioritas pengawasan atas WP High Wealth Individual (HWI) beserta WP Group, transaksi afiliasi, dan ekonomi digital,” seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (22/5/2023).

Selanjutnya, melakukan optimalisasi implementasi core tax system. Hal ini dengan menekankan pada perbaikan layanan perpajakan, pengelolaan data yang berbasis risiko, dan tindak lanjut kegiatan interoperabilitas data pihak ketiga.

Kelima, akan dilakukan penegakan hukum yang berkeadilan melalui optimalisasi pengungkapan ketidakbenaran perbuatan dan pemanfaatan kegiatan digital forensics. Terakhir yaitu pemberian insentif pajak yang terarah dan terukur untuk mendorong pertumbuhan sektor tertentu serta memudahkan investasi.

Tercatat, penerimaan pajak periode 2019-2022 secara nominal tumbuh rata-rata 8,9% per tahun. Meski, sempat terkontraksi 19,6 persen (yoy) pada 2020 akibat pandemi Covid-19. Beberapa faktor yang mempengaruhi pajak periode 2019-2022 yaitu adanya dampak perang dagang dan gejolak geopolitik di beberapa kawasan dunia serta pandemi Covid-19.

Pemerintah telah menyusun kebijakan umum perpajakan tahun 2024. Hal ini diantaranya mendorong tingkat kepatuhan dan integrasi teknologi dalam sistem perpajakan, memperluas basis perpajakan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi, memperkuat sinergi melalui joint program, pemanfaatan data, dan penegakan hukum, menjaga efektivitas implementasi UU HPP, serta insentif perpajakan yang terarah dan terukur untuk mendukung iklim daya saing usaha dan transformasi ekonomi yang lebih tinggi. (bl)

DJP dan Ditjen Dukcapil Kolaborasi Pemanfaatan NIK

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan melanjutkan kolaborasi dengan Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) terkait pemanfaatan nomor induk kependudukan, data kependudukan, dan kartu tanda penduduk elektronik dalam layanan DJP.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti mengatakan, kerja sama tersebut untuk memperbarui perjanjian kerja sama pada 2018. Sebelumnya, perjanjian tersebut juga telah dilakukan adendum pada 19 Mei 2022.

“Sehubungan dengan telah dekatnya jangka waktu berakhirnya perjanjian tersebut pada 31 Mei 2023 nanti dan melihat besarnya manfaat kerja sama tersebut, Ditjen Pajak dan Dukcapil sepakat untuk melanjutkan kerja sama melalui adendum kedua ini,” ujarnya seperti dikutip dari Republika.co.id, Sabtu (20/5/2023).

Menurutnya, adendum kedua ini bertujuan untuk meningkatkan kemudahan bagi wajib pajak dalam mengakses dan menerima layanan perpajakan melalui integrasi data yang kedua instansi lakukan. Selain itu, adendum ini juga bertujuan untuk terus mengefektifkan fungsi dan peran para pihak guna sinkronisasi, verifikasi, dan validasi dalam rangka pendaftaran dan perubahan data wajib pajak, melengkapi master file wajib pajak, serta mendukung kegiatan ekstensifikasi dan intensifikasi perpajakan melalui pemanfaatan nomor induk kependudukan, data kependudukan, dan KTP elektronik.

Integrasi data kependudukan dan perpajakan juga akan semakin memperkuat upaya penegakan kepatuhan perpajakan karena data kependudukan merupakan data sumber yang digunakan oleh banyak instansi dan lembaga pemerintah maupun non-pemerintah, sehingga dapat meningkatkan efektivitas pengawasan kepatuhan perpajakan. (bl)

Pemerintah Rombak Ulang Rumusan Tukin ASN

IKPI, Jakarta: Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) bersama Kementerian Keuangan tengah membahas perombakan tunjangan kinerja (tukin) aparatur sipil negara (ASN). Skema akan dibuat menjadi lebih adil bagi setiap birokrat.

Menteri PANRB Abdullah Azwar Anas mengatakan, rumusan ini berlaku untuk setiap pegawai di berbagai institusi pemerintahan, baik di pusat dan daerah. Maka, aturannya ditargetkan berlaku tahun depan.

“Kita bicara tadi per orang, karena ini kan misalnya ada daerah yang tukin nya X misalnya, ternyata dapat X semua ini, padahal mestinya yang kerja sama enggak kerja mestinya beda dong. Kalau enggak ada diferensiasi nanti semangatnya mesti berkurang, nah ini yang sedang kita rumusin, kerja keras,” ujar Anas seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Jumat (19/5/2023).

Bagaimana dengan Ditjen Pajak?

Kebijakan ini berlaku kepada semua, tak terkecuali terhadap institusi yang selama ini dianggap masyarakat memiliki besaran tukin tertinggi diantara kementerian atau lembaga lainnya, yaitu Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

Tukin terendah di DJP ditetapkan sebesar Rp 5.361.800 untuk level jabatan pelaksana dan tertinggi sebesar Rp 117.375.000 untuk level eselon I atau Direktur Jenderal Pajak. Ini di luar Gaji pokok PNS ditetapkan sebesar Rp 1.560.800 untuk masa jabatan terendah hingga Rp 5.901.200 untuk masa jabatan tertinggi.

“Ini sedang kita hitung bahwa ke depan mereka yang berkinerja lebih baik dapat tunjangan kinerja lebih bagus tentunya, tapi mereka yang tidak berkinerja tentu tunjangannya tidak sama. Karena sekarang dipukul rata, tunjangan kinerja menjadi hak, ya kinerjanya begitu-begitu saja,” ujarnya.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun secara spesifik pernah mengatakan bahwa tukin di DJP yang dianggap ketinggian tengah dievaluasi olehnya bersama Anas. Ini dia ungkapkan saat rapat dengan DPR beberapa bulan lalu.

“Memang kami dengan Menteri PANRB sedang melakukan berbagai evaluasi dan juga ada beberpaa program desain yang dibuat Menteri PANRB. Kami sekarang sedang sama-sama Menteri PANRB bahas terkait tukin itu,” ungkap Sri Mulyani pada Senin (27/3/2023)

Pernyataan ini Sri Mulyani lontarkan saat merespons cecaran anggota DPR di Komisi XI terkait tukin DJP. Rentetan kasus yang melanda para pegawai di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terkait harta jumbo, gaya hidup mewah, hingga pamer harta membuat para anggota DPR geram.

Salah satu anggota DPR yang menyuarakan hal ini adalah Anggota Komisi XI dari Fraksi Demokrat Vera Febyanthy. Ia mengungkapkan, kasus-kasus itu yang kini dialami Rafael Alun Trisambodo, eks pejabat eselon 3 di DJP dan tengah diperiksa KPK seperti kotak pandora bahwa tunjangan kinerja di DJP ketinggian.

“Apakah menjadi kontak pandora atas kejanggalan jumlah harta kekayaan pribadi dan perilaku yang hedonis dikalangan DJP Kemenkeu. Berdasarkan fakta remunerasi di Kemenkeu, Perpres 37 Tahun 2015 tunjangan DJp paling rendah Rp 5,3 juta, tertinggi Rp 117,3 juta,” kata Vera dihadapan Sri Mulyani.

Menurut Vera, tukin yang diperoleh para pegawai DJP itu sangat timpang dengan pegawai negeri sipil (PNS) di kementerian atau lembaga lain. Misalnya seperti PNS di lingkungan DPR yang paling rendah hanya mendapat Rp 1,56 juta dan tetinggi Rp 19 juta. Padahal total PNS nya hanya 3000 orang sednagkan PNS di DJP sebanyak 44,6 ribu.

Demikian juga tukin para PNS di Kementerian Agama, yang menurut Vera sesuai Pepres 130 Tahun 2018, paling terendah hanya mendapat Rp 1,97 juta dan tertinggi Rp 29 juta. Ini kata Vera sangat tidak adil sehingga ketika muncul kasus flexing di para pegawai DJP dan pegawai Kementerian Keuangan lain membuat kecemburuan sosial di antara kalangan pegawai kementerian atau lembaga lain.

“Apa ini bisa ibu perbaiki, tentu harapan di tangan ibu. Kami harap dengan tukin yang diberikan ibu menkeu periode lalu 2005 ibu reformasi, setelah kasus Gayus mencapai 100%, bahkan berturut-turur terjadi peningkatan tukin PNS di Kemenkeu sudah berkali-kali, sudah berapa ratus kalilipat perubahan, apa ini masih kurang?” tuturnya.

Oleh sebab itu, Anggota Komisi XI dari Fraksi Gerindra, Heri Gunawan turut meminta kepada Sri Mulyani supaya tunjangan kinerja yang dinikmati PNS di Kementerian Keuangan, khususnya di Direktorat Jenderal Pajak, perlu dievaluasi dan disetarakan saja dengan para PNS di lingkungan kementerian atau lembaga lainnya.

“Perlu ada peninjauan tunjangan remunerasi di seluruh K/L yang ada supaya ada pemerataan dan keadilan sehingga spendingnya tidak terlalu jauh,” tegas Heri pada kesempatan yang sama. (bl)

BRIN Siapkan Skema Keringanan Pajak untuk Lembaga Riset Terdaftar di SeBaRis

IKPI, Jakarta: Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyiapkan berbagai skema fasilitasi baik pendanaan, infrastruktur, mobilitas sumber daya manusia hingga keringanan pajak bagi lembaga riset yang terdaftar dalam Sistem Registrasi Lembaga Riset (SeBaRis). Deputi Fasilitasi Riset dan Inovasi BRIN, Agus Haryono mengajak agar lembaga riset non-pemerintah untuk segera mendaftarkan agar dapat mendapatkan akses fasilitasi yang disediakan BRIN.

Kami harap agar seluruh lembaga riset di Indonesia dapat teregistrasi melalui aplikasi SeBaRis yang dikembangkan oleh BRIN, sesuai dengan UU Sisnas Iptek yang mengamanatkan wajib serah dan wajib simpan,” kata Agus seperti dikutip dari Brin.go.id, dalam Kick Off dan Talkshow Sistem Registrasi Lembaga Riset (SeBaRis) di Auditorium Gedung BJ Habibie, Jakarta, Selasa (16/5/2023).

Dijelaskan Agus, SeBaris merupakan kegiatan registrasi lembaga riset di luar BRIN untuk memperoleh nomor identitas lembaga yang bertujuan untuk mengetahui jumlah, sebaran, dan kompetensi serta kualitas lembaga riset. Dengan adanya registrasi lembaga riset, pihaknya dapat mengetahui potensi riset dan inovasi nasional, baik dari sisi infrastruktur, sumber daya manusia, dan juga pendanaan.

Dengan data-data tersebut, BRIN dapat mengarahkan utilisasi dan program fasilitasi BRIN untuk melengkapi kebutuhan lembaga-lembaga riset. Tentunya kami juga akan berpegang teguh pada prinsip kerahasiaan dan keamanan data,” tandasnya.

Agus mengatakan bahwa pendaftaran SeBaRis dapat diakses secara online. Sehingga bisa dilakukan di mana dan kapan saja, melalui https://sebaris.brin.go.id. Penggunaan aplikasi sebaris juga sangat simple dan mudah. Hal ini karena tidak banyak form yang harus diisi. Ada dua form yang harus diisi dalam aplikasi sebaris. Pertama berisikan profile lembaga riset. Kedua, data mengenai belanja/biaya riset dan juga sumber daya manusianya,” jelasnya.

Hadirnya aplikasi SeBaRis, lanjut Agus, menjadi support dari pemerintah untuk mendorong peranan lembaga riset non-pemerintah dalam pembangunan riset dan inovasi nasional. Di samping itu, memungkinkan kolaborasi kelompok riset dengan industri dan perguruan tinggi.

Lebih jauh, Agus menyebutkan kemajuan industri nasional harus ditunjang oleh kemandirian riset dan inovasi. Oleh kaena itu, BRIN memasukkan industri dan perguruan tinggi ke dalam rencana nasional memajukan riset dan inovasi.

“Dunia industri tidak hanya bertindak selaku konsumen dari inovasi teknologi, akan tetapi lebih dari itu, juga diharapkan dapat berperan serta menciptakan inovasi.  Di sisi lain, kita juga beruntung memiliki perguruan tinggi yang secara terus menerus menghasilkan tenaga ahli riset dan teknologi,” pungkasnya. (bl)

Pemutihan Sanksi Pajak Kendaraan di Jatim Berakhir 14 Juli

IKPI, Jakarta: Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa memberikan insentif Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) berupa pembebasan sanksi administratif PKB dan BBNKB hingga bebas PKB progresif. Tak hanya itu, wajib pajak juga dapat menikmati fasilitas berupa pembebasan Bea Balik Nama (BBN) ke II dan seterusnya.

Khofifah mengatakan pemutihan pajak dilakukan selama 120 hari terhitung mulai 14 April-14 Juli tahun 2023. Kebijakan ini berdasarkan pada Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/176/KPTS/013/2023 tentang Pembebasan Pajak Daerah Provinsi Jawa Timur.

“Pembebasan sanksi administratif atau pemutihan ini diharapkan dapat meringankan beban bagi masyarakat terutama dalam menyongsong momentum lebaran Idul Fitri,” ujar Khofifah seperti dikutip dari Detik.com, Jumat (14/4/2023).

“Mari seluruh masyarakat memanfaatkan momentum ini untuk berbondong-bondong membayarkan pajak kendaraan bermotornya melalui berbagai layanan milik Bapenda (Badan Pendapatan Daerah) Provinsi Jatim,” ungkapnya.

Khofifah menjelaskan pembebasan sanksi pajak kendaraan ini juga dilakukan untuk mendorong tingkat kesadaran wajib pajak di Jatim. Termasuk dalam mendorong balik nama kendaraan agar diperoleh kesesuaian kendaraan dengan pemilik kendaraan di Jawa Timur.

“Kebijakan ini akan mendorong seluruh wajib pajak domisili Jawa Timur yang memiliki kendaraan di luar Jatim untuk segera melaksanakan balik nama, sehingga diperoleh kesesuaian kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor,” jelasnya.

Khofifah menegaskan pembebasan pajak ini juga dalam rangka mewujudkan reformasi birokrasi yang pro rakyat secara berkelanjutan dengan memberikan keringanan kepada masyarakat melalui insentif pajak daerah.

Selain itu, diharapkan lewat pemutihan pajak ini dapat terwujud sekaligus tercipta tertib administrasi pemungutan pajak daerah yang tercermin dalam berkurangnya potensi jumlah tunggakan pajak di Jawa Timur.

“Kami akan berupaya untuk meningkatkan akurasi database kendaraan bermotor dan menjamin kepastian hak kepemilikan kendaraan bermotor,” jelasnya.

Melalui pemutihan ini, diprediksi insentif yang akan diberikan selama kebijakan ini berlangsung sebesar Rp 153.851.712.599,00 dengan potensi penerimaan PKB sebesar Rp 907.553.479.457,00.

Khofifah menyebut dengan pemutihan ini diharapkan dapat meningkatkan akurasi data kepemilikan kendaraan bermotor di Jatim. Mengingat berdasarkan hasil pendataan dan laporan wajib pajak masih terdapat obyek pajak yang mengalami peralihan hak kepemilikan namun belum dilakukan Balik Nama Kendaraan. (bl)

Indonesia Ajak Otoritas Pajak Dunia Lawan Pengemplang Pajak

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengajak para pemimpin otoritas pajak di berbagai negara untuk sama-sama melawan para pengemplang pajak.

Pernyataan ini ia sampaikan saat memimpin pertemuan tingkat tinggi keempat Asia Initiatives di New Delhi, India akhir bulan lalu. Menurutnya, dalam menghadapi pengemplang pajak tidak dapat dilakukan oleh satu negara saja.

“Usaha otoritas perpajakan untuk menangkal praktik pengelakan pajak tidak dapat dilakukan secara individual melainkan harus secara bersama-sama dalam bentuk kerja sama multilateral,” kata dia dikutip dari pajak.go.id, Selasa (16/5/2023)

Saat memberi kata sambutan dalam pertemuan itu, ia menyampaikan keterbukaan informasi perpajakan dan pertukaran informasi atau exchange of information menjadi alat efektif untuk menghadapi para pengemplang pajak.

“Exchange of information merupakan perangkat yang sangat bermanfaat bagi otoritas pajak untuk menangkal praktik-praktik pengelakan pajak,” ungkap Suryo.

Pertemuan ini dihadiri oleh 51 delegasi yang terdiri dari perwakilan 14 yurisdiksi anggota Asia Initiatives, 4 lembaga internasional yang menjadi partner Asia Initiatives, Co-Chair Africa Initiatives, dan pimpinan Global Forum on Tax Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes atau Global Forum.

Dalam pertemuan tersebut, dibahas beberapa agenda kegiatan sebagai program prioritas dan program tambahan demi meningkatkan keterbukaan informasi di bidang perpajakan di wilayah Asia.

Program-program itu antara lain pemanfaatan yang lebih luas pertukaran informasi, pemberian bantuan dalam melakukan penagihan pajak, hingga pemanfaatan pertukaran informasi untuk kepentingan Pajak Pertambahan Nilai.

Selain itu, para delegasi juga melakukan diskusi dan saling berbagi pengalaman mengenai upaya-upaya yang dapat dilakukan negara-negara di wilayah Asia untuk bisa lebih mendapatkan manfaat dari kegiatan pertukaran informasi. Terutama dari informasi yang diperoleh melalui skema automatic exchange of information (AEOI) on financial account information.

Para delegasi pun menyetujui untuk membentuk working group sebagai upaya untuk meningkatkan efektivitas pemanfaatan informasi rekening keuangan yang diterima otoritas perpajakan melalui skema AEOI on financial account information.

Dalam pertemuan tersebut juga diluncurkan Tax Transparency in Asia 2023: Asia Initiative Progress Report oleh Global Forum. Dokumen ini merupakan laporan pertama yang berisi tentang perkembangan keterbukaan informasi dalam bidang perpajakan di wilayah Asia dalam rentang tahun 2009 hingga 2022.

Dalam laporan itu, disebutkan bahwa kerugian negara-negara di wilayah Asia akibat kegiatan praktik pengelakan pajak dan illicit financial flows mencapat sekitar US$ 3 triliun dalam kurun waktu 2004-2013.

Selain itu, tercatat juga ada EUR 1,2 triliun harta penduduk Asia yang disimpan di luar negeri yang berakibat hilangnya potensi penerimaan pajak sebesar EUR 25 miliar per tahun.

Namun, dengan adanya Global Forum yang anggotanya sudah semakin berkembang, dari 11 yurisdiksi pada 2009 menjadi 22 yurisdiksi pada 2022, setidaknya mereka telah mendapatkan tambahan penerimaan negara lebih dari EUR 20,1 miliar sejak 2009 sebagai akibat dilakukannya pertukaran informasi di bidang perpajakan antar yurisdiksi.

Asia Initiatives sendiri merupakan kerangka kerja sama regional di wilayah Asia yang dibentuk dalam rangka mendorong dan meningkatkan kapasitas otoritas perpajakan terkait keterbukaan informasi di bidang perpajakan sesuai dengan standar internasional.

Asia Initiatives diluncurkan pada November 2021 dalam Plenary Meeting of the Global Forum, yang kemudian dideklarasikan secara resmi pada 14 Juli 2022 melalui penandatanganan Bali Declaration oleh 13 Menteri Keuangan yurisdiksi di wilayah Asia.

Hingga saat ini, sudah terdapat 17 yurisdiksi yang menyatakan bergabung dalam Asia Initiatives yaitu Indonesia, Armenia, Brunei Darussalam, Republik Rakyat Tiongkok, Hong Kong, India, Jepang, Kazakhstan, Korea Selatan, Makau, Malaysia, Maladewa, Mongolia, Pakistan, Filipina, Singapura, dan Thailand.

Pada 2023, Asia Initiatives dipimpin secara bersama oleh Suryo Utomo, Direktur Jenderal Pajak dari Indonesia dan Sanjay Malhotra, Revenue Secretary dari India.(bl)

 

 

 

 

 

 

 

 

en_US