IKPI Ajak Anggota Pecinta Billiard Ramaikan “Peresmian Billiarder Community IKPI & Fun Match”

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menggelar kegiatan positif untuk mempererat kebersamaan antaranggota. Ketua Bidang Olahraga IKPI, Wisnu Sambhoro, mengajak seluruh anggota yang memiliki hobi billiard untuk hadir dan meramaikan acara Peresmian Billiarder Community IKPI dan Fun Match yang akan digelar di Good Game Billiard & Café, Melawai Plaza Lantai 2, Jakarta Selatan, Senin, (8/12/2025).

Wisnu menyampaikan bahwa agenda ini bukan sekadar kompetisi, tetapi momentum untuk menjalin silaturahmi dan memperkuat kekompakan antaranggota dari berbagai cabang IKPI.

“Selain untuk olahraga dan fun, acara ini kami siapkan sebagai ajang berkumpul dan mengakrabkan seluruh anggota IKPI, khususnya yang memiliki minat di dunia billiard,” ujar Wisnu, Rabu (3/12/2025).

Acara ini terbuka bagi seluruh anggota IKPI dengan free entry dan turut menghadirkan guest star Ayu Lixui. Selain itu, panitia menyediakan 4 meja gratis yang dapat digunakan peserta selama kegiatan berlangsung.

Untuk memeriahkan acara, IKPI juga menggelar Fun Match 9 Ball khusus anggota, dengan hadiah menarik:
Juara 1: Rp750.000
Juara 2: Rp500.000
Juara 3: Rp250.000

Biaya pendaftaran Fun Match ditetapkan sebesar Rp100.000, dan satu nama diperbolehkan mendaftar hingga dua kali. Pendaftaran dapat dilakukan melalui tautan resmi: bit.ly/funmatch-billiarder-IKPI.

Wisnu menegaskan bahwa komunitas ini dirancang sebagai ruang aktivitas positif dan sarana komunikasi anggota. Oleh karena itu, ia mendorong seluruh peserta untuk bergabung dalam grup WhatsApp Billiarder Community IKPI agar selalu mendapat informasi terbaru.

“Kami ingin membangun wadah yang fun, aktif, dan memperkuat hubungan kekeluargaan di tubuh IKPI. Jadi jangan ragu, ayo bergabung dan ramaikan!” katanya.

Acara dipastikan berlangsung meriah dan menjadi salah satu langkah IKPI dalam memperkuat solidaritas serta memperluas ruang kebersamaan melalui hobi dan olahraga. (bl)

Edukasi Perpajakan: Anggun Dewi Tekankan Tanggung Jawab Pemotong Pajak di Era Cortex

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) terus memperluas komitmennya dalam meningkatkan literasi perpajakan bagi masyarakat luas, melalui program edukasi perpajakan yang digelar secara daring setiap minggu. Program ini terbuka bagi seluruh anggota IKPI maupun peserta umum yang ingin memahami perpajakan secara lebih praktis dan tepat secara gratis.

Anggun Dewi Santosa, selaku narasumber, menyampaikan materi mendalam mengenai perlakuan akuntansi atas withholding tax, atau yang lebih dikenal dengan PPh potong dan pungut. Dari awal sesi, Anggun menegaskan pentingnya pemahaman menyeluruh atas mekanisme potong-pungut, karena jenis pajak ini merupakan salah satu kewajiban yang paling sering ditemui wajib pajak, baik oleh perusahaan maupun individu.

“Hari ini kita akan belajar bersama apa yang dimaksud dengan PPh potong dan pungut serta bagaimana perlakuannya dalam akuntansi perpajakan,” ujar Anggun saat membuka diskusi baru-baru ini.

Dalam paparannya, Anggun menjelaskan bahwa pemotongan pajak bukanlah sekadar kegiatan administratif mengurangi jumlah pembayaran kepada penerima penghasilan. Terdapat kewajiban yang melekat pada pihak pemotong, mulai dari pemotongan, penyetoran, hingga pelaporan pajak.

“Pemberi penghasilan wajib bertanggung jawab penuh atas seluruh proses pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak melalui sistem Cortex,” tegasnya.

Ia menerangkan bahwa pemotongan pajak merupakan pengurangan pajak terutang dari total pembayaran yang seharusnya diterima penerima penghasilan. Sementara pemungutan pajak dilakukan atas transaksi barang atau jasa tertentu dan nilainya menambah total pembayaran yang harus dikeluarkan pihak pembeli atau pengguna jasa.

Anggun juga memaparkan aturan terbaru mengenai tenggat waktu penyetoran dan pelaporan. Berdasarkan ketentuan di PMK 381 Tahun 2024, penyetoran PPh potong–pungut wajib dilakukan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya. Khusus untuk PPh 22, tenggat penyetoran lebih cepat, yaitu satu hari kerja setelah pemungutan.

Selain itu, pelaporan masa pajak melalui Cortex harus disampaikan paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Penjelasan ini disambut antusias peserta yang mengaku sering berhadapan dengan tenggat pelaporan. (bl)

Anggota IKPI Raih Podium di Capital Market Run 2025

IKPI, Jakarta: Ajang Capital Market Run 2025 kembali menyedot perhatian ribuan pecinta olahraga lari. Digelar di Plaza Timur Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta, pada Minggu (30/11/2025), kompetisi berskala nasional ini menghadirkan sekitar 3.500 peserta dari berbagai daerah. Tahun ini, panitia membuka enam kategori lomba, yakni 5K Umum, 5K Master A (40–49 tahun), 5K Master B (50+), 10K Umum, 10K Master A (40–49 tahun), dan 10K Master B (50+).

Salah satu prestasi membanggakan datang dari anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Tiurma Melanita, anggota IKPI Cabang Jakarta Timur. Ia berhasil naik podium dengan menempati peringkat ketiga di kategori 5K Master A (40–49 tahun). Atas pencapaian tersebut, ia berhak membawa pulang hadiah sebesar Rp4.000.000.

(Foto: Istimewa)

Melanita menuturkan bahwa keikutsertaannya sebenarnya bukan semata-mata mengejar kemenangan, melainkan untuk menguji kemampuan fisik di usia yang kini berada di kelompok master.

“Saya mengikuti event tersebut hanya untuk mencoba seberapa kuat stamina saya dengan usia yang sudah masuk kategori 40–49 tahun,” ujarnya, Senin (1/12/2025).

Meski demikian, hasil yang diraih justru melebihi ekspektasi dan menjadi penyemangat tersendiri baginya. Ia berharap pengalaman ini dapat memotivasi anggota IKPI lainnya untuk aktif menjaga kesehatan melalui kegiatan olahraga.

Ia juga menyampaikan harapan khusus kepada IKPI, terutama komunitas runner. Ia mengusulkan agar dibuat jadwal rutin latihan bersama, baik pada akhir pekan di pagi hari maupun malam hari setelah jam kantor pada hari kerja.

(Foto: Istimewa)

Menurutnya, lokasi seperti GBK atau titik-titik strategis di berbagai kota dapat menjadi tempat yang ideal. “Supaya saling mempererat hubungan baik antaranggota IKPI dan membangun stamina tubuh yang sehat. Dan juga ketika ada event-event besar, anggota IKPI bisa ikut berpartisipasi bersama-sama,” katanya.

Lebih jauh, ia menyarankan agar komunitas runner IKPI bersama pengurus pusat membentuk event lari tahunan, misalnya bertepatan dengan perayaan HUT IKPI. Selain memperkuat solidaritas, ajang tersebut dinilai mampu menjadi sarana promosi IKPI kepada masyarakat luas. Melanita juga membuka peluang kolaborasi lebih besar dengan instansi perpajakan.

“Event seperti itu bisa menggandeng DJP, supaya masyarakat awam lebih mengenal lagi mengenai perpajakan Indonesia,” ujarnya.

Prestasi Melanita tak hanya menjadi kebanggaan personal, tetapi juga inspirasi bagi para anggota IKPI untuk terus mengedepankan gaya hidup sehat serta memperkuat kekompakan antarprofesi melalui olahraga. (bl)

Diskusi Panel IKPI: Suwardi Hasan Ungkap Pro-Kontra Pajak Kekayaan dan Tantangan Politik dalam Penerapannya

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen FGD IKPI, Suwardi Hasan, menguraikan secara lugas berbagai persoalan teknis, politik, dan sosial yang membuat pembahasan pajak kekayaan atau wealth tax selalu memicu perdebatan panjang. Dalam Diskusi Panel IKPI “Di Balik Harta Para Konglomerat: Menemukan Celah Keadilan Pajak”, Jumat (28/11/2025) ia menegaskan bahwa kebijakan ini bukan hanya soal potensi penerimaan negara, tetapi juga menyangkut desain, kepastian hukum, hingga resistensi dari kelompok yang terdampak.

Suwardi menyebut bahwa jurang kesenjangan yang ada saat ini membuat isu wealth tax kembali relevan. Namun ia mengingatkan bahwa pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kemampuan administrasi negara dalam menilai aset, mengelola data, dan menetapkan ambang batas yang rasional.

Ia mencontohkan Italia, yang tidak menerapkan wealth tax umum tetapi memajaki properti dan aset keuangan milik penduduknya di luar negeri. Tarifnya bahkan meningkat pada 2024 menjadi 1,06 persen untuk properti luar negeri dan 0,2 persen untuk aset finansial.

Menurutnya, model seperti Italia bisa dipertimbangkan jika Indonesia ingin menargetkan kelompok tertentu tanpa harus memajaki seluruh aset domestik. Namun ia menekankan bahwa tantangan terbesar selalu ada pada proses valuasi. “Aset yang dipajaki bukan hanya properti, tapi juga barang koleksi bernilai tinggi atau aset finansial yang rumit. Menilai itu semua tidak sederhana,” ujarnya.

Selain tantangan teknis, Suwardi menyinggung dimensi politik yang kerap menjadi hambatan tak terlihat. Menurutnya, banyak rancangan kebijakan fiskal seperti pajak kekayaan menghadapi resistensi dari pemilik modal dan bahkan para pengambil keputusan. “Banyak anggota legislatif juga punya tanah atau properti besar. Mereka tentu tidak ingin kena. Jadi produk hukumnya sulit lahir,” katanya, memancing tawa peserta diskusi.

Hal lain yang menjadi keberatan kelompok HWI adalah isu pajak berganda. Mereka berargumen bahwa penghasilan sudah dipajaki, sehingga aset yang dibeli dari penghasilan itu tidak seharusnya dipajaki lagi setiap tahun. Jika tarif terlalu tinggi, tambah Suwardi, para pemilik kekayaan besar dapat memutuskan untuk memindahkan domisili atau asetnya ke negara dengan beban pajak lebih rendah.

Menurut Suwardi, pengalaman negara-negara Eropa yang menghapus wealth tax menjadi pelajaran penting bagi Indonesia. “Mereka gagal bukan karena idenya jelek, tetapi karena desainnya tidak kuat, administrasinya tidak siap, dan risikonya lebih besar dari manfaatnya,” ujarnya.

Meski demikian, ia menegaskan bahwa diskusi mengenai wealth tax tidak boleh berhenti. Dengan desain yang tepat, kebijakan ini dapat menjadi instrumen untuk memperluas basis pajak dan mengurangi ketimpangan. “Yang paling penting adalah desainnya. Apa yang dipajaki, ambang batasnya berapa, pengecualiannya apa, dan bagaimana mitigasi capital flight,” tegasnya.

Suwardi menutup paparannya dengan menekankan bahwa Indonesia perlu belajar dari keberhasilan dan kegagalan negara lain sebelum mengambil langkah besar. “Jangan hanya melihat potensi penerimaan. Harus dilihat risikonya juga. Pajak kekayaan harus adil bagi negara dan adil bagi wajib pajak,” katanya. (bl)

Komunitas Rider Bali Jadi Ruang Sharing Perpajakan dan Jembatan Kolaborasi Lintas Komunitas

IKPI, Mataram: Komunitas Rider Bali, yang beranggotakan puluhan anggota IKPI se-Bali, resmi diperkenalkan pada 26 November 2025 di Mataram oleh Ketua Umum IKPI, Vaudy Starworld. Meski baru diresmikan, komunitas ini langsung menunjukkan orientasi yang lebih luas dari sekadar menyalurkan hobi touring.

Koordinator Rider Bali, Dedy Kesuma, menjelaskan bahwa komunitas ini dibentuk sebagai wadah kebersamaan sesama anggota IKPI yang memiliki minat sama di dunia riding, sekaligus ruang untuk memperdalam wawasan profesional di bidang perpajakan.

(Foto: Istimewa)

“Awalnya memang karena hobi riding. Tapi dalam kegiatan kami, justru banyak diskusi soal perpajakan, membahas kasus, pengembangan kantor, dan profesionalisme konsultan pajak,” ujar Dedy, Kamis (27/11/2025).
Ia menekankan bahwa suasana santai saat touring justru membuat pertukaran pengetahuan berlangsung lebih cair dan efektif. Agenda touring Rider Bali biasanya ditetapkan setiap pekan keempat atau melalui kesepakatan para anggota. Namun menurut Dedy, esensi komunitas ini jauh melampaui rute perjalanan.

Ia menyebut bahwa kehadiran Rider Bali diharapkan mampu membuka jalur komunikasi dan kolaborasi dengan komunitas motor lain di luar IKPI termasuk dari unsur pemerintahan maupun kalangan wajib pajak, baik badan maupun perorangan, yang memiliki komunitas riding sejenis.

(Foto: Istimewa)

“Kalau ada komunitas luar, baik dari instansi pemerintah maupun wajib pajak yang juga punya hobi touring, kegiatan bersama sangat mungkin dilakukan. Ini bisa jadi ruang untuk membangun relasi, menyatukan pemahaman, sekaligus memberikan edukasi perpajakan dalam suasana yang jauh lebih santai,” jelasnya.

Selain itu, Dedy menargetkan terbentuknya sinergi dengan komunitas IKPI Rider dari provinsi lain. Setelah resmi diperkenalkan oleh Ketum IKPI, langkah berikutnya adalah memperkuat jaringan lintas daerah.

(Foto: Istimewa)

“Ke depan kami berharap Rider Bali bisa berkolaborasi dengan IKPI Rider dari provinsi lain. Bisa saling mengunjungi atau menggelar touring bersama agar kebersamaan semakin kuat,” katanya.

Dengan diluncurkannya Rider Bali, IKPI tidak hanya memperluas bidang kegiatan anggotanya, tetapi juga membuka cara baru dalam membangun kebersamaan, meningkatkan kapasitas profesional, dan menjalin hubungan lintas komunitas melalui pendekatan yang lebih humanis dan berbasis hobi bersama. (bl)

IKPI Peduli Banjir Sumatera, Ajak Seluruh Anggota Berdonasi

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) kembali menunjukkan komitmen sosial melalui gerakan “IKPI Peduli Banjir di Sumatera” untuk membantu korban bencana banjir yang melanda beberapa wilayah di Pulau Sumatera. Ketua Departemen Keagamaan, Sosial, Seni dan Olahraga (KSSO) IKPI, Rusmadi mengimbau seluruh anggota di seluruh Indonesia agar mengambil bagian dalam penggalangan donasi nasional ini.

Rusmadi menyampaikan bahwa banjir yang terjadi telah berdampak pada masyarakat luas, termasuk sejumlah anggota IKPI di wilayah terdampak. Karena itu, solidaritas antaranggota menjadi sangat penting untuk membantu proses pemulihan.

Bantuan Akan Disalurkan ke Empat Wilayah Utama

Dana yang terkumpul akan difokuskan untuk membantu Anggota IKPI dan masyarakat yang terdampak banjir di empat lokasi berikut:

• Aceh

• Sumatera Utara

• Sumatera Barat

Penyaluran bantuan akan dilakukan melalui IKPI Pengda Sumbagut dan Sumbagteng agar lebih terkoordinasi dan tepat sasaran.

Penyaluran Donasi Melalui Rekening Resmi

IKPI mengajak seluruh anggota untuk menyalurkan sumbangan melalui rekening resmi:

Rekening Bank IKPI – Pengda Sumbagut

Bank : BCA

Cabang : Asia

Nomor Rekening : 195-598-3388

Nama : Ikatan Konsultan Pajak Indonesia

Untuk memudahkan koordinasi dan konfirmasi donasi, IKPI menunjuk empat PIC:

• Widya : 0851-8605-8388

• Mona : 0858-9138-0651

• Johanes Santoso : 0811-213-727

• Han Wie : 08161-6850005

Penggalangan Donasi Ditutup pada 8 Desember 2025

Batas waktu pengumpulan donasi ditetapkan hingga Senin, 08 Desember 2025. Setelah periode tersebut, seluruh bantuan akan segera disalurkan ke daerah terdampak untuk membantu kebutuhan darurat dan pemulihan.

Ia menegaskan bahwa aksi ini merupakan wujud nyata kepedulian dan kekompakan IKPI. “Kontribusi sekecil apa pun sangat berarti bagi saudara-saudara kita yang sedang menghadapi masa sulit di Sumatera,” ujarnya. (bl)

Diskusi Panel IKPI: Budi Arifandi Tegaskan HWI Tak Boleh Di-Stigma, Tapi Berpotensi Lakukan Agresif Tax Planning

IKPI, Jakarta: Dalam Diskusi Panel IKPI bertema “Di Balik Harta Para Konglomerat: Menemukan Celah Keadilan Pajak”, pengamat perpajakan Budi Arifandi menekankan pentingnya memperlakukan high wealth individual (HWI) secara objektif dan tidak penuh prasangka. Acara yang diikuti sekitar 100 peserta pada Jumat (28/11/2025) itu membahas bagaimana sistem perpajakan harus mampu menjaga keadilan tanpa mengabaikan asas praduga tak bersalah.

Menurut Budi, OECD memang mengelompokkan HWI sebagai kategori wajib pajak dengan risiko tertentu, seperti potensi melakukan aggressive tax planning, struktur kepemilikan aset yang kompleks, serta transaksi lintas yurisdiksi. Namun, tidak semua HWI bermasalah.

“Wajib pajak itu adalah aset negara. Mereka bukan tersangka. Prinsip praduga tidak bersalah harus selalu dikedepankan,” tegasnya.

Budi meminta semua pihak memiliki definisi yang sama mengenai siapa yang disebut HWI.

“Apakah HWI itu mereka yang terdaftar di KPP Besar, membayar tepat waktu, atau HWI dengan kecenderungan risiko tertentu? Ini perlu disepakati dulu sebelum menilai apakah mereka ‘bermasalah’ atau tidak.”

Ia mengingatkan bahwa judul diskusi panel IKPI sangat sensitif sehingga diperlukan kehati-hatian dalam membahas isu yang menyangkut kelompok pembayar pajak terbesar di Indonesia tersebut.

Dalam paparannya, Budi merinci tiga pendekatan utama DJP dalam mengawasi HWI:

1. Pendekatan Persuasif

• Rasio AR terhadap WP yang kecil memungkinkan konsultasi intensif.

• HWI mendapatkan edukasi langsung, termasuk saat implementasi sistem Cortex.

• DJP pernah memberikan penghargaan bagi WP patuh dan WP dengan kontribusi besar.

2. Pemeriksaan dan Penilaian Berbasis Data

Pengawasan dilakukan berdasarkan data dari:

• perbankan,

• kerja sama internasional EOI,

• ILAP,

• analisis internal, serta

• hasil penilaian dan pemeriksaan sebelumnya.

3. Penegakan Hukum dan Penagihan

Untuk WP yang terindikasi melakukan fraud atau penggunaan faktur fiktif, DJP dapat menerapkan sanksi sesuai ketentuan KUP dan UU PPSP.

Fenomena Nomine dan Mobilitas Tinggi Hambat Deteksi HWI

Budi juga menyoroti fenomena umum di Indonesia: banyak aset dan perusahaan yang didaftarkan atas nama keluarga atau pihak dekat. Selain itu, mobilitas tinggi para HWI membuat proses pemanggilan ataupun penyuluhan menjadi tantangan tersendiri.

“Kadang ada WP yang takut bertemu petugas pajak. Ini kenyataan yang masih sering ditemui,” ujarnya.

Budi menyoroti peran penting IKPI sebagai organisasi profesi konsultan pajak. Data dari P2PK menunjukkan hanya 0,07% wajib pajak yang menggunakan jasa konsultan pada 2021—angka yang sangat kecil dibanding negara maju seperti Australia.

Karena itu, ia mendorong konsultan pajak untuk:

• memperkuat edukasi kepada masyarakat,

• menjadi jembatan komunikasi antara WP dan DJP,

• meningkatkan kompetensi anggota, dan

• menjunjung tinggi kode etik profesi.

“Jika konsultan pajak lebih aktif, ekosistem kepatuhan akan jauh lebih baik,” kata Budi.

Diskusi panel IKPI tersebut ditutup dengan ajakan memperkuat kolaborasi demi keadilan perpajakan yang lebih terukur, transparan, dan berkelanjutan. (bl)

Diskusi Panel IKPI: Suwardi Hasan Soroti Celah Keadilan Pajak Lewat Desain Wealth Tax yang Tepat

IKPI, Jakarta: Ketua Departemen FGD Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Suwardi Hasan, menekankan pentingnya merancang sistem pajak kekayaan atau wealth tax secara cermat agar benar-benar mampu mempersempit ketimpangan dan menciptakan keadilan pajak. Pesan ini ia sampaikan dalam Diskusi Panel IKPI bertema “Di Balik Harta Para Konglomerat: Menemukan Celah Keadilan Pajak”, yang berlangsung secara hybrid pada Jumat (28/11/2025) dan disaksikan sekitar 100 peserta.

Suwardi membuka paparannya dengan menyoroti fakta bahwa jumlah individu kaya yang membayar pajak masih sangat kecil, bahkan hanya berada pada kisaran “nol koma sekian persen”, sebagaimana dipaparkan panelis sebelumnya. 

Menurutnya, data tersebut menunjukkan masih lebarnya gap yang perlu dibenahi. Pengenaan wealth tax, katanya, dapat menjadi salah satu cara untuk memperluas basis pajak sekaligus melakukan redistribusi kekayaan.

Ia kemudian memaparkan pengalaman banyak negara Eropa dalam menerapkan pajak kekayaan. Beberapa negara seperti Norwegia, Spanyol, dan Swiss masih mempertahankan wealth tax, meski dengan struktur dan kewenangan yang berbeda. Contohnya, Spanyol memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan tarifnya, sehingga menimbulkan fenomena perpindahan penduduk ke wilayah dengan tarif lebih rendah, mirip fenomena relokasi industri akibat perbedaan UMK di Indonesia. 

Untuk mencegah migrasi tersebut, pemerintah pusat di Spanyol bahkan memperkenalkan pajak solidaritas, yang mekanismenya mirip dengan Global Minimum Tax. Namun, di banyak negara lain, wealth tax justru dihapus karena dianggap menimbulkan masalah baru, mulai dari kesulitan valuasi hingga pelarian modal (capital flight). 

Suwardi menyinggung sejumlah contoh terkenal, seperti pendiri IKEA Ingvar Kamprad yang meninggalkan Swedia karena tariff pajak yang tinggi, atau miliarder Bernard Arnault yang pernah bersiap pindah kewarganegaraan ketika Prancis berencana mengenakan tarif pajak 75 persen untuk pendapatan di atas 1 juta euro.

Menurutnya, contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa wealth tax bisa menjadi bumerang jika dirancang terlalu agresif. “Wajib pajak merasa dihukum atas kesuksesannya. Penghasilan sudah dipajaki, aset yang dibeli dari penghasilan itu dipajaki lagi setiap tahun,” ujarnya. Karena itu, desain kebijakan harus memastikan tidak terjadi pajak berganda dan tidak memicu pelarian modal.

Ia menegaskan bahwa jika Indonesia ingin mempertimbangkan wealth tax, maka proses perancangannya perlu sangat presisi. Ambang batas, objek pajak, pengecualian, hingga kemampuan administrasi harus diperhitungkan matang-matang. 

“Keberhasilan atau kegagalan wealth tax sangat ditentukan oleh desain. Banyak negara gagal karena salah merancangnya,” katanya.

Suwardi berharap, penerintah melakukan studi komparatif yang serius sebelum membuat keputusan. “Kalau mau diterapkan, jangan sampai gagal sebelum berjalan. Harus ada rancang bangun yang kuat agar tidak terjadi capital flight dan benar-benar mencapai keadilan,” ujarnya.(bl)

Diskusi Panel IKPI: Dendi Siswanto Beberkan Minimnya Kontribusi Pajak Orang Kaya Meski Lonjakan Kekayaan Melaju Pesat

IKPI, Jakarta: Ketimpangan kontribusi pajak dari kelompok berpendapatan tinggi kembali menjadi sorotan dalam Diskusi Panel IKPI bertema “Di Balik Harta Para Konglomerat: Menemukan Celah Keadilan Pajak” yang digelar secara hybrid oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) pada Jumat (28/11/2025). Salah satu narasumber, Dendi Siswanto, jurnalis Kontan yang banyak menyoroti isu fiskal dan perpajakan, menyampaikan paparan tajam yang memantik perhatian sekitar 100 peserta yang hadir.

Dendi mengawali materi dengan menekankan bahwa keadilan pajak tidak bisa dilepaskan dari peran kelompok High Wealth Individual (HWI) atau orang kaya dalam sistem perpajakan nasional. Namun, justru kelompok inilah yang menurutnya menunjukkan jurang besar antara pertumbuhan kekayaan dan kontribusi pajak yang seharusnya meningkat.

“Jumlah wajib pajak orang kaya setiap tahun selalu naik, tetapi kontribusi pajaknya tidak ikut ngebut,” ujar Dendi.

Ia memaparkan data mengenai lonjakan populasi HWI yang pernah terjadi pada periode 2016–2017, yakni mencapai 129,63%, sebuah angka yang menggambarkan percepatan pertumbuhan kekayaan yang luar biasa. Bahkan setelah program amnesti pajak, terdapat 44 ribu orang dengan kekayaan lebih dari Rp10 miliar di Indonesia.

Secara logika fiskal, kenaikan jumlah orang kaya seharusnya berdampak langsung pada peningkatan penerimaan pajak, khususnya dari wajib pajak orang pribadi. Namun, data menunjukkan kondisi yang jauh dari ideal. 

Dendi menampilkan bahwa pada tahun 2024, penerimaan pajak dari kelompok yang masuk tarif tertinggi 35% hanya mencapai Rp18,5 triliun. Jumlah itu berasal dari 11.268 wajib pajak, atau hanya 0,016% dari total wajib pajak nasional yang berjumlah 70,3 juta orang.

“Artinya, bahkan 1% pun tidak tercapai. Proporsi kontribusinya terhadap penerimaan nasional hanya 1,54%,” tegasnya.

Ia juga mengulas kinerja penerimaan di KPP LTO 4, tempat panelis pertama dalam diskusi tersebut bertugas. Meski penerimaan KPP LTO 4 meningkat dari Rp74 triliun (2020) menjadi Rp90,2 triliun (2022), kontribusi pajak dari orang kaya tetap tidak signifikan. Pada 2022, kontribusi HWI terhadap total penerimaan pajak nasional sebesar Rp1.716 triliun hanya mencapai Rp4,05 triliun, atau 0,24%.

“Ini menunjukkan ada celah besar yang harus ditanggulangi melalui peningkatan pengawasan dan penagihan. Kalau tidak, jurang ketidakadilan pajak akan semakin dalam,” ucapnya.

Dendi menegaskan bahwa kondisi tersebut bukan hanya soal angka, tetapi menyangkut rasa keadilan publik. Menurutnya, sebagian besar HWI justru memperoleh penghasilan dari pasif income seperti capital gain dan dividen, jenis penghasilan yang sering kali lebih sulit ditarik pajaknya jika tidak diawasi secara memadai. (bl)

Diskusi Panel IKPI: Budi Arifandi Ungkap 1% Populasi Kuasai Hampir Setengah Kekayaan Dunia, Tantangan Indonesia Identifikasi HWI

IKPI, Jakarta: Ketimpangan distribusi kekayaan kembali menjadi sorotan dalam Diskusi Panel IKPI bertema “Di Balik Harta Para Konglomerat: Menemukan Celah Keadilan Pajak” yang digelar secara hybrid pada Jumat (28/11/2025). Dalam forum yang dihadiri sekitar 100 peserta itu, pengamat perpajakan Budi Arifandi memaparkan data global serta kondisi Indonesia terkait high-wealth individual (HWI) atau kelompok wajib pajak yang kerap menjadi pusat perhatian banyak negara.

Budi mengungkapkan bahwa Credit Suisse Research Institute (CSRI) menunjukkan betapa timpangnya distribusi kekayaan dunia. “Sebanyak 1% populasi dewasa dunia, sekitar 1,7 juta jiwa menguasai 46,6% kekayaan global. Ini menunjukkan bagaimana kekayaan terkonsentrasi pada kelompok yang sangat kecil,” ujarnya.

Di Indonesia sendiri, CSRI mencatat ada 172.211 orang yang memiliki kekayaan di atas USD 1 juta. Jumlah ini menegaskan bahwa kesenjangan kekayaan bukan hanya isu global, tetapi juga realitas domestik yang perlu ditangani dengan pendekatan kebijakan tegas, termasuk dalam sistem perpajakan.

Budi menjelaskan bahwa hingga kini tidak ada definisi tunggal mengenai HWI. CSRI menilai HWI berdasarkan dua komponen:

1. Kekayaan finansial dan aset lancar, serta

2. Kekayaan tetap yang dikurangi kewajiban.

Sementara itu, OECD memasukkan unsur pendapatan sehingga muncul istilah high-income individual (HII).

Menariknya, penelitian dalam negeri yang dipaparkan Budi memperkenalkan satu kategori baru yang mulai muncul sejak 2010, high lifestyle individual, kelompok yang memamerkan kemewahan di media sosial.

“Ini kelompok yang sering flexing. Gaya hidupnya mencerminkan seakan-akan mereka HWI, padahal belum tentu. Maka kita perlu ketelitian dalam pemetaan,” jelasnya.

Tiga kategori high-net worth individual, high income individual, dan high lifestyle individual, kemudian disintesiskan untuk mendefinisikan HWI versi Indonesia yang lebih komprehensif.

HWI di Indonesia 

Dalam paparannya, Budi juga menampilkan banyak nama publik, pemilik perusahaan besar, pendiri startup, selebriti papan atas, hingga pengacara elite. Namun, ia mengingatkan bahwa daftar tersebut hanya mencerminkan permukaan.

“Yang menarik adalah, banyak orang kaya di Indonesia yang tidak tampil di media. Tidak masuk Forbes, tidak viral, tapi memiliki aset sangat besar. Inilah kelompok yang sering kali sulit diidentifikasi,” tegas Budi.

Menurutnya, kondisi tersebut membuat pengawasan semakin menantang, karena DJP harus mengandalkan data pihak ketiga, kerja sama internasional, dan pemanfaatan teknologi untuk menemukan potensi kewajiban perpajakan yang belum tergali.

Diungkapkannya, sejarah panjang pembentukan kantor khusus HWI, dimulai dari KPP Wajib Pajak Besar Orang Pribadi pada 2009, yang saat itu melayani sekitar 1.200 WP kaya dengan pola layanan prioritas seperti “nasabah premium”.

Namun pada 2012, struktur dirombak. KPP HWI dilebur menjadi KPP Wajib Pajak Besar 4. Tahun 2025, DJP kembali memperkuat pengawasan melalui Peraturan Dirjen Pajak Nomor 17 Tahun 2025, yang menetapkan WP orang pribadi tertentu berdasarkan sembilan indikator, seperti nilai aset, penghasilan, dan kemampuan ekonomi.

Kini, sebagian WP HWI juga dikelola di KPP Madya, yang memiliki rasio Account Representative (AR) ke WP lebih kecil sekitar 1 AR untuk 10–15 WP sehingga pengawasan lebih detail dan bersifat personal.

Budi menyebut lima tantangan utama dalam mengawasi HWI:

• keterbatasan data,

• mobilitas tinggi para HWI,

• sebaran geografis yang luas,

• penggunaan nomine, dan

• rendahnya pemahaman perpajakan.

Ia menegaskan kembali perlunya kolaborasi lembaga dan peningkatan kualitas data untuk menciptakan keadilan pajak yang proporsional. (bl)

en_US