Ketua Umum IKPI: Dr. Arifin Halim Sosok Ideal Hakim Agung Pajak yang Netral dan Berintegritas

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Vaudy Starworld, menyampaikan kebanggaan dan dukungan penuh atas keberhasilan Dr. Arifin Halim dalam melewati tahapan seleksi Calon Hakim Agung (CHA) Kamar Tata Usaha Negara (TUN) Khusus Pajak.

Menurutnya, keberhasilan Dr. Arifin Halim menembus seleksi kompetensi, kesehatan, dan kepribadian merupakan capaian penting bagi profesi konsultan pajak.

“IKPI sangat bangga. Dr. Arifin Halim telah membuktikan bahwa seorang konsultan pajak profesional bisa bersaing secara terbuka dan layak di posisi strategis seperti Hakim Agung,” ujar Vaudy di Jakarta, Selasa (5/8/2025).

Ia menilai, Dr. Arifin merupakan sosok yang selama ini dikenal taat pada kode etik profesi, menjunjung tinggi integritas, serta memiliki kemampuan profesional yang mumpuni.

Tidak hanya itu, Vaudy meyakini Dr. Arifin Halim mampu bersikap independen dan objektif dalam setiap putusan, jika kelak terpilih menjadi Hakim Agung.
“Beliau netral, tidak punya beban kepentingan. Justru itu kelebihannya, bersikap adil dan mandiri dalam memutuskan perkara,” kata Vaudy.

Sebagai satu-satunya kandidat dari kalangan konsultan pajak yang melangkah sejauh ini, Dr. Arifin Halim disebut akan membawa warna baru di Mahkamah Agung. Ia dipandang mampu menjembatani perspektif praktis dan akademis dalam menangani persoalan perpajakan yang makin kompleks.

“Beliau akan membawa harapan baru di Mahkamah Agung, khususnya dalam perkara pajak. Kehadirannya sangat berarti bagi sistem peradilan yang selama ini dinilai masih memerlukan pendekatan yang lebih kontekstual,” tambahnya.

Vaudy juga menekankan bahwa sosok Arifin memiliki nilai strategis dalam menghadirkan kepastian hukum, terutama dalam penyelesaian sengketa perpajakan yang sering menjadi perhatian dunia usaha dan investor.

“Kehadiran beliau akan memberi sinyal positif terhadap upaya menciptakan iklim investasi yang sehat, karena hukum perpajakan yang adil dan pasti adalah syarat utama kepastian usaha,” jelasnya.

Sebagai Ketua Umum IKPI, Vaudy menyatakan komitmennya untuk terus mendorong hadirnya sosok-sosok berintegritas tinggi dari kalangan profesional untuk memperkuat lembaga peradilan di Indonesia.

“Dr. Arifin Halim adalah representasi nyata dari konsultan pajak yang tidak hanya berkompeten, tapi juga visioner. Kami berharap beliau melangkah hingga tahap akhir dan dipercaya sebagai Hakim Agung Pajak,” pungkasnya. (alf)

Dirjen Pajak Tegaskan Tingginya Deposit Pajak Tak Ganggu DBH ke Pemda

IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menegaskan bahwa lonjakan penggunaan fitur Deposit Pajak dalam sistem Coretax tidak akan mengganggu penghitungan Dana Bagi Hasil (DBH) bagi pemerintah daerah (pemda). Penegasan ini disampaikan menyusul kekhawatiran sejumlah pemda atas peningkatan nilai deposit yang tercatat naik hingga 1.300 persen sejak penerapan Coretax pada awal 2025.

“Deposit Pajak ini justru memudahkan Wajib Pajak. Mereka bisa menyetor terlebih dahulu, lalu melaporkan SPT di kemudian hari. Selama SPT belum dilaporkan, status setoran masih sebagai deposit dan nanti akan teralokasi begitu pelaporan dilakukan,” ujar Bimo dalam media briefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta, baru-baru ini.

Deposit Pajak adalah mekanisme baru dalam sistem Coretax yang memungkinkan Wajib Pajak melakukan penyetoran dana ke DJP sebelum memiliki tagihan atau billing. Ketentuan ini tertuang dalam PMK Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Perpajakan, Yon Arsal, juga menekankan bahwa layanan tersebut tidak memengaruhi akurasi atau realisasi penerimaan negara. “Begitu SPT disampaikan, sistem secara otomatis menempatkan dana sesuai jenis pajaknya masing-masing,” jelasnya.

Namun, implementasi fitur ini masih menimbulkan tantangan di tingkat daerah. Di Kabupaten Bener Meriah, Aceh, misalnya, lebih dari 45 persen setoran pajak masuk sebagai deposit. Hal ini memicu kekhawatiran soal proses rekonsiliasi penerimaan yang menjadi dasar penghitungan DBH PPh dan PBB.

“Kalau tidak dialokasikan tepat waktu, bisa berdampak pada nilai DBH yang diterima daerah, dan tentu ini berpengaruh ke kegiatan pembangunan,” ujar pejabat KP2KP Rimba Raya dalam kegiatan Bimbingan Coretax DJP pada 10 Juli 2025.

Saipudin, Bendahara Inspektorat Kabupaten Bener Meriah, mendorong agar Badan Pengelolaan Keuangan, Pendapatan, dan Aset Daerah (BPKPA) memberikan pedoman teknis lebih lanjut kepada seluruh perangkat daerah. Ia mengakui bahwa sebagian bendahara memilih skema deposit karena prosedur billing sempat menemui kendala teknis di awal tahun.

DJP memastikan akan terus melakukan pembinaan dan peningkatan kapasitas kepada para pengguna di daerah agar pemanfaatan fitur ini tidak menghambat proses fiskal daerah. (alf)

 

Lima Negara Ini jadi Surga Pajak Pemilik Kripto 

IKPI, Jakarta: Di tengah langkah Indonesia yang memperketat pajak atas perdagangan aset kripto, sejumlah negara justru membuka lebar pintu bagi investor dan pelaku usaha digital dengan insentif pajak yang menggoda.

Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 50 Tahun 2025 menetapkan bahwa mulai tahun pajak 2026, tarif Pajak Penghasilan (PPh) atas aset kripto akan naik, sementara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas transaksinya dibebaskan. Kebijakan ini mulai berlaku per 25 Juli 2025, sebagai bentuk pengawasan terhadap sektor yang kian berkembang cepat seiring meningkatnya adopsi aset digital di tanah air.

Namun, tidak semua negara memilih jalur yang sama. Beberapa justru mengambil langkah sebaliknya—menawarkan kebijakan bebas pajak yang menjadikan mereka magnet bagi trader, investor, hingga pelaku usaha kripto global.

Berikut lima negara yang digadang sebagai “surga pajak kripto” dunia di tahun 2025:

1. Kepulauan Cayman

Terkenal sebagai surga pajak, Kepulauan Cayman tetap jadi destinasi utama bagi pelaku kripto karena tidak mengenakan pajak penghasilan pribadi, capital gain, maupun korporasi termasuk untuk aset digital.

Sejak April 2025, negara ini memperjelas regulasi lewat Virtual Asset (Service Providers) Act, yang memberi kepastian hukum bagi bursa dan pelaku usaha aset virtual.

2. Uni Emirat Arab (UEA)

UEA, khususnya wilayah Dubai dan Abu Dhabi, tidak mengenakan pajak atas aktivitas jual beli, staking, mining, atau transaksi aset kripto lainnya.

Regulasi dikawal ketat oleh Dubai’s Virtual Asset Regulatory Authority dan Abu Dhabi Global Market, menciptakan iklim bisnis yang kondusif. Dengan fasilitas visa yang menarik dan infrastruktur digital canggih, UEA menjadi pusat ekspansi startup kripto global.

3. El Salvador

Sebagai negara pertama yang mengakui Bitcoin sebagai alat pembayaran resmi sejak 2021, El Salvador terus mempromosikan zona bebas pajak kripto.

Proyek ambisius seperti Bitcoin City menawarkan kawasan bebas pajak penghasilan, properti, dan capital gain, menjadikannya model negara kripto progresif yang menarik perhatian internasional.

4. Jerman

Jerman mungkin tidak bebas pajak sepenuhnya, namun menawarkan keuntungan signifikan bagi investor jangka panjang.

Aset kripto yang dimiliki lebih dari 12 bulan bebas dari pajak saat dijual atau digunakan. Selain itu, keuntungan jangka pendek di bawah €1.000 per tahun juga tidak dikenai pajak, menjadikan Jerman menarik bagi investor individu di Eropa.

5. Portugal

Meskipun telah menerapkan pajak atas keuntungan jangka pendek, Portugal tetap mempertahankan bebas pajak capital gain untuk aset kripto yang disimpan lebih dari satu tahun.

Mereka yang tergabung dalam skema Non-Habitual Resident (NHR) sebelum 31 Maret 2025 juga mendapat pembebasan pajak atas sebagian besar penghasilan luar negeri. Negara ini terus menjadi pilihan strategis bagi ekspatriat kripto dan pensiunan digital nomad.(alf)

 

 

Kemendag Pastikan Pajak E-Commerce Tak Sentuh Usaha Mikro 

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan bahwa kebijakan pungutan pajak bagi pedagang online di platform e-commerce tidak membebani pelaku usaha mikro. Hal ini ditegaskan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Iqbal Shoffan Shofwan, di Jakarta, Senin (4/8/2025).

Iqbal menyebutkan bahwa kebijakan ini hanya menyasar pelaku usaha dengan omzet tahunan di atas Rp500 juta. “So far sih enggak (berpengaruh) ya. Karena yang dibebankan itu kan terhadap mereka yang omzet tahunan di atas Rp500 juta. Yang di bawah itu sih enggak ya,” jelasnya.

Ia menambahkan, ketentuan tersebut secara otomatis menyaring pelaku usaha mikro dari kewajiban baru. “Di atas Rp500 juta kan berarti bukan usaha mikro, tapi usaha kecil dan menengah,” ujarnya.

Kebijakan perpajakan yang dimaksud merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang mulai berlaku sejak 14 Juli 2025. Dalam aturan ini, penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) seperti Shopee dan Tokopedia ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dari para pedagang online.

Besaran pajak ditetapkan sebesar 0,5 persen dari peredaran bruto, dan hanya dikenakan pada pedagang dengan omzet lebih dari Rp500 juta per tahun. Platform e-commerce wajib mulai memungut pajak satu bulan setelah pedagang menyampaikan surat pernyataan omzet.

Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya menegaskan bahwa kebijakan ini bukanlah beban baru, melainkan bagian dari reformasi administrasi yang memberikan kepastian hukum. “Ini untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan administrasi perpajakan bagi pelaku usaha daring. Tidak ada tambahan kewajiban baru,” katanya dalam konferensi pers hasil Rapat Berkala KSSK III di Jakarta, belum lama ini.

Dengan penunjukan platform digital sebagai pemungut pajak, pemerintah berharap sistem perpajakan di sektor ekonomi digital dapat berjalan lebih tertib dan efisien, tanpa mengganggu kelangsungan usaha mikro yang masih dalam tahap pertumbuhan. (alf)

 

Kenaikan PBB-P2  250% di Kabupaten Pati Picu Gelombang Protes

IKPI, Jakarta: Kebijakan Bupati Pati, Sudewo, untuk menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250% pada 2025 memicu gelombang protes warga dan ramai diperbincangkan di media sosial. Di tengah sorotan tajam, sebuah video pernyataannya yang menantang demonstran viral di TikTok dan Twitter, menambah panas reaksi publik.

Penyesuaian tarif PBB-P2 tersebut diumumkan seusai rapat intensifikasi bersama para camat dan anggota Paguyuban Solidaritas Kepala Desa dan Perangkat Desa Kabupaten Pati (Pasopati) di Kantor Bupati. Pemerintah Kabupaten Pati mengklaim kebijakan ini dilakukan demi mengejar ketertinggalan penerimaan pajak daerah yang dinilai stagnan selama lebih dari satu dekade.

“PBB sudah 14 tahun tidak pernah disesuaikan. Kalau dibandingkan dengan Jepara, Kudus, dan Rembang, kita tertinggal jauh,” ujar Bupati Sudewo, dikutip dari laman Humas Pati, Selasa (5/8/2025).

Ia menyebut, penerimaan PBB-P2 di Pati hanya mencapai Rp29 miliar, jauh lebih kecil dibandingkan Jepara yang meraup Rp75 miliar dan Kudus serta Rembang masing-masing Rp50 miliar, padahal secara luas wilayah dan potensi ekonomi, Pati dinilai lebih besar.

Sudewo menegaskan, dana tambahan dari PBB ini diperlukan untuk membiayai proyek strategis seperti perbaikan jalan, revitalisasi RSUD RAA Soewondo, dan pengembangan sektor pertanian serta perikanan. “Kami butuh anggaran besar untuk pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik,” imbuhnya.

Namun, reaksi masyarakat tak sejalan dengan keyakinan Pemkab. Kenaikan yang drastis membuat banyak warga kaget dan keberatan, apalagi sosialisasi dianggap minim.

Menanggapi keresahan tersebut, Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA PMII) Pati membuka posko aduan online guna menampung keluhan warga. Ketua IKA PMII Pati, Ahmad Jukari, menilai masyarakat tidak diberi ruang partisipatif dalam proses pengambilan kebijakan.

“Kami membuka kanal pengaduan di https://bit.ly/PoskoAduanPBBP2PATI untuk menginventarisasi aspirasi dan menyusun strategi advokasi,” kata Jukari seperti dikutip dari Antaranews, Selasa (5/8/2025). Ia juga menyebut banyak warga sudah menerima tagihan PBB dengan nominal melonjak drastis tanpa penjelasan memadai.

Di tengah polemik ini, publik dibuat makin heboh oleh beredarnya video pernyataan Sudewo dalam sebuah forum, yang menyiratkan tantangan terhadap pihak-pihak yang menolak kebijakan ini. “Kalau mau menolak, jangan cuma 5.000 orang. Suruh saja 50 ribu orang turun. Saya tidak akan mundur atau membatalkan keputusan ini,” ucap Sudewo dalam video yang kini viral di berbagai platform. (alf)

 

 

 

 

KPP Madya Pekanbaru Bahas Ketentuan Baru Faktur Pajak

IKPI, Jakarta: Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Madya Pekanbaru menyelenggarakan episode terbaru Podcast RUJAK (Rumpi Pajak KPP Madya Pekanbaru) dengan topik pembahasan mengenai faktur pajak. Tayangan ini dipandu oleh Febby Adika Lubis dan menghadirkan Azwar Hidayat, Penyuluh Pajak KPP Madya Pekanbaru, sebagai narasumber.

Pembahasan dalam podcast ini menyoroti ketentuan baru mengenai faktur pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025.

Azwar menjelaskan bahwa faktur pajak merupakan bukti pungutan yang wajib dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) saat terjadi penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP), atau pada saat penerimaan pembayaran, tergantung mana yang terjadi lebih dahulu.

Menurutnya, banyak pertanyaan yang masuk ke Helpdesk KPP Madya Pekanbaru terkait pelaksanaan kewajiban ini. Podcast tersebut membahas hal-hal teknis seperti kelengkapan data faktur, pembatalan faktur, pengecualian bagi pedagang eceran, serta sanksi administratif apabila PKP tidak membuat atau tidak melaporkan faktur pajak tepat waktu.

“Faktur pajak wajib diunggah paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN paling lambat akhir bulan berikutnya,” kata Azwar, dikutip, Selasa (5/8/2025).

Ia menambahkan, keterlambatan atau kelalaian dalam melaporkan dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan perpajakan.

Febby menegaskan bahwa faktur pajak harus memenuhi syarat formal dan material untuk menghindari konsekuensi perpajakan bagi penjual maupun pembeli. (bl)

 

 

Pemprov DKI Jakarta Mulai Kenakan Pajak Alat Berat, Sasar Kemandirian Pendanaan Daerah

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi memperkenalkan skema pajak baru yang menyasar kepemilikan alat berat di ibu kota. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024, sebagai pelaksanaan dari amanat Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD).

Langkah ini diambil sebagai bagian dari strategi memperluas basis penerimaan daerah dan memperkuat pembiayaan pembangunan tanpa terlalu bergantung pada transfer dari pemerintah pusat.

“Jenis pajak ini berdiri sendiri, tidak lagi disatukan dengan Pajak Kendaraan Bermotor seperti sebelumnya. Kini, alat berat memiliki klasifikasi tersendiri,” kata Morris Danny, Kepala Pusat Data dan Informasi Pendapatan Bapenda DKI Jakarta, dalam pernyataan resminya, Senin (8/4/2025).

Siapa yang Kena Pajak?

Menurut aturan tersebut, siapa pun yang memiliki atau mengendalikan alat berat di wilayah DKI Jakarta, baik individu maupun badan usaha, wajib membayar pajak. Jenis alat berat yang dimaksud mencakup mesin-mesin seperti ekskavator, crane, bulldozer, dan sejenisnya, yang umumnya digunakan dalam proyek konstruksi, pertambangan, perkebunan, atau kehutanan.

Namun tidak semua instansi terkena kewajiban ini. Pemerintah pusat, pemerintah daerah lain, militer, kepolisian, serta lembaga internasional tertentu dikecualikan, sebagaimana telah diatur dalam pasal pengecualian.

Pajak dikenakan berdasarkan nilai jual alat berat (NJAB) dengan tarif tetap sebesar 0,2% per tahun. Pembayaran dilakukan di awal tahun, dan besarnya disesuaikan dengan nilai alat berat yang bersangkutan.

“Jika alat berat ditaksir senilai Rp100 juta, maka pemilik wajib membayar Rp200 ribu per tahun. Ini berlaku selama alat tersebut masih dikuasai,” ujar Morris.

Untuk mempermudah proses, Pemprov DKI telah menyediakan sistem pelaporan daring melalui portal Pajak Online Jakarta. Dengan demikian, wajib pajak dapat melakukan pendaftaran maupun pembayaran tanpa harus datang ke kantor pelayanan.

Manfaat Langsung bagi Warga Jakarta

Dana yang dihimpun dari Pajak Alat Berat akan dialokasikan untuk mendukung pembangunan fisik dan sosial di wilayah DKI Jakarta. Mulai dari peningkatan jalan, pengadaan fasilitas umum, hingga penguatan layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan.

“Penerapan pajak ini adalah salah satu upaya agar Jakarta bisa lebih mandiri secara fiskal. Ini bukan semata-mata tentang pungutan, tapi soal tanggung jawab bersama untuk memajukan kota ini,” tutup Morris.

Pemerintah daerah berharap kalangan pelaku usaha terutama sektor konstruksi dan industri ekstraktif dapat menyesuaikan diri dengan regulasi baru ini dan menjalankan kewajiban pajaknya tepat waktu. (alf)

 

 

 

PMK Baru: Impor Emas Batangan Kini Kena PPh 22, Tarif Turun Jadi 0,25%

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi mengubah ketentuan perpajakan atas impor emas batangan melalui terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 51 Tahun 2025. Aturan ini menetapkan bahwa emas batangan kini dikenai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 dengan tarif tunggal sebesar 0,25% dari nilai impor, berlaku baik untuk importir dengan maupun tanpa Angka Pengenal Impor (API).

Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a angka 1 PMK 51/2025, dan pungutannya dilakukan langsung oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Hestu Yoga Saksama, menilai ketentuan baru ini sebagai bentuk pelonggaran atau relaksasi dari kebijakan sebelumnya.

“Sebelum PMK ini, tarif PPh 22 impor emas batangan mencapai 2,5% bagi pemilik API, dan 7,5% untuk yang tidak punya API. Bahkan untuk jenis minted bar, tarifnya bisa menyentuh 10%. Sekarang semua diseragamkan menjadi 0,25%,” jelas Hestu, baru-baru ini.

Namun demikian, relaksasi tarif ini juga diikuti dengan pencabutan fasilitas pengecualian PPh 22 atas impor emas batangan yang digunakan untuk produksi perhiasan berorientasi ekspor. Fasilitas ini sebelumnya diatur dalam Pasal 219 ayat (1) PMK Nomor 81 Tahun 2024, yang memungkinkan pengecualian jika wajib pajak mengantongi Surat Keterangan Bebas (SKB) dari DJP.

Menurut Hestu, fasilitas SKB tetap dapat digunakan, namun hanya dalam konteks penghasilan yang diperkirakan menurun dan berpotensi menimbulkan kelebihan bayar pajak.

Kebijakan ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk menyederhanakan dan menyeimbangkan iklim fiskal, sekaligus memperkuat kontrol atas aktivitas impor logam mulia yang memiliki nilai strategis dan potensi besar dalam penerimaan pajak. (alf)

 

 

 

Potensi Filantropi Tembus Rp666 Triliun, Insentif Pajak Dinilai Kunci Pengungkit

IKPI, Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas memperkirakan potensi dana filantropi nasional dapat mencapai Rp649,5 triliun hingga Rp665,5 triliun per tahun. Namun, untuk mengoptimalkan potensi tersebut, para pelaku filantropi menilai perlunya dukungan nyata dari pemerintah, terutama dalam bentuk insentif perpajakan.

Ketua Badan Pengurus Filantropi Indonesia, Rizal Algamar, menyebut Indonesia memiliki kekuatan sosial yang besar dalam budaya memberi. Namun potensi itu belum tergarap maksimal karena insentif fiskal yang ada dinilai belum cukup menarik.

“Kalau kegiatan filantropi seperti donasi, zakat, atau wakaf didukung oleh skema insentif pajak yang jelas dan progresif, saya yakin potensi yang sekarang diperkirakan Rp600 triliun lebih bisa jauh meningkat,” kata Rizal usai membuka Filantropi Festival 2025, Senin (4/8/2025).

Ia menambahkan, insentif pajak dapat mendorong lebih banyak entitas baik individu maupun korporasi terlibat aktif dalam kegiatan sosial. “Dengan adanya stimulus fiskal, bukan hanya skala donasi yang bertambah, tapi juga akuntabilitas dan transparansinya meningkat,” ujarnya.

Zakat sebagai Pengurang Pajak, Bukan Penerimaan Negara

Berdasarkan data Bappenas, potensi terbesar dana filantropi nasional berasal dari:

• Zakat, infaq, dan sedekah: Rp327 triliun

• Wakaf: Rp180 triliun

• Filantropi Kristen/Katolik: Rp61 triliun

• Filantropi agama lainnya: Rp1,5 triliun

• CSR korporasi: Rp80–96 triliun

Namun, sebagian besar sumber dana tersebut terutama zakat dan wakaf tidak masuk dalam kategori penerimaan negara.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, zakat tidak dikenakan pajak, tetapi hanya diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak, bukan sebagai kredit pajak atau pengurang langsung kewajiban pajak.

Hal ini berarti para wajib pajak tetap membayar pajak, meski telah menunaikan zakat, yang secara teknis hanya meringankan beban pajak secara parsial. Ketentuan ini dinilai belum cukup memberikan dorongan kuat bagi tumbuhnya kegiatan filantropis dalam skala besar.

Sertifikasi Filantropi sebagai Indikator Pajak ESG

Sebagai respons, pemerintah melalui Bappenas tengah merancang sistem sertifikasi filantropi, terutama yang berkaitan dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDG).

Deputi Bidang Pangan, SDA, dan Lingkungan Hidup Bappenas, Leonardo Teguh, menjelaskan bahwa sertifikasi ini bisa menjadi dasar pengakuan formal atas kontribusi sosial, sekaligus alat bantu dalam penghitungan indikator pajak keberlanjutan seperti Environmental, Social, and Governance (ESG).

“Nantinya, sertifikasi ini bisa diintegrasikan ke dalam laporan ESG perusahaan, yang bisa menjadi bahan pertimbangan fiskal, termasuk pengurangan pajak atau insentif lainnya,” ujar Leonardo.

Meski belum diatur dalam regulasi pajak saat ini, usulan untuk menjadikan kontribusi filantropi sebagai dasar pemberian insentif fiskal dinilai sejalan dengan arah reformasi pajak berkeadilan dan pembangunan yang inklusif.

Dorongan Regulasi Pajak yang Ramah Filantropi

Para pemangku kepentingan berharap pemerintah dapat meninjau kembali kebijakan pajak terhadap kegiatan sosial. Bentuk insentif bisa berupa pengurang pajak yang lebih besar, pembebasan pajak atas donasi tertentu, atau bahkan pengkreditan langsung terhadap kewajiban pajak, terutama untuk entitas yang sudah tersertifikasi kontribusinya terhadap SDG.

Jika regulasi mendukung, Indonesia bukan hanya akan menjadi negara paling dermawan di dunia secara kultural, tetapi juga menjadi model perpajakan yang mendorong kesejahteraan sosial secara sistematis dan terukur.(alf)

 

Pegadaian Tegaskan Beli Emas Batangan Aman dari Pajak, Masyarakat Tak Perlu Cemas

IKPI, Jakarta: PT Pegadaian menegaskan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir terkait pengenaan pajak dalam pembelian emas batangan, menyusul diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 51 Tahun 2025 tentang pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,25 persen.

Kepala Divisi Bisnis Bullion PT Pegadaian, Kadek Eva Suputra, menjelaskan bahwa kebijakan baru tersebut justru memberi keringanan signifikan dibandingkan aturan sebelumnya.

“PMK 51 sebenarnya menurunkan tarif Wajib Pungut (WAPU) dari 1,5% menjadi hanya 0,25%. Dan penting untuk digarisbawahi, PPh ini tidak dikenakan kepada masyarakat sebagai konsumen akhir,” ujar Kadek dalam keterangan tertulis, Senin (4/8/2025).

Kadek juga menambahkan bahwa pembelian emas batangan dengan kadar 99,99 persen standar yang digunakan dalam layanan Bullion Bank Pegadaian kini dibebaskan sepenuhnya dari pungutan pajak. Ketentuan ini mengacu pada PMK 48 Tahun 2023 yang lebih dulu berlaku.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pun mempertegas hal tersebut dalam penjelasan resminya. Menurut DJP, pembelian emas batangan oleh masyarakat selaku konsumen akhir tidak dikenakan pemungutan PPh Pasal 22. Selain itu, wajib pajak yang menggunakan skema PPh final untuk UMKM, serta yang memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) juga dikecualikan dari pungutan ini.

“Dengan adanya kepastian ini, transaksi pembelian emas batangan, baik secara tunai maupun cicilan melalui Pegadaian, tetap aman, nyaman, dan menguntungkan bagi masyarakat,” tegas Kadek.

Pegadaian berkomitmen untuk terus menjadi mitra terpercaya dalam layanan keuangan dan investasi berbasis emas. Lewat semangat mengEMASkan Indonesia, Pegadaian mendorong masyarakat untuk berinvestasi emas secara mudah dan transparan, tanpa rasa waswas terhadap beban pajak yang tidak relevan.

Tak hanya fokus pada bisnis, Pegadaian juga dikenal sebagai lembaga keuangan sosial yang aktif dalam pemberdayaan masyarakat melalui layanan inklusif dan program sosial yang berdampak luas.

Sejak Desember 2024, Pegadaian resmi mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menyelenggarakan usaha Bullion. Melalui layanan Bank Emas, Pegadaian kini menyediakan produk seperti Deposito Emas, Pinjaman Modal Kerja berbasis Emas, penitipan emas korporasi, hingga perdagangan emas secara profesional. (alf)

 

 

en_US