Daftar 11 Negara Tanpa Pajak Penghasilan: Surga Finansial, Tapi Tidak untuk Semua Orang

Tidak semua orang di dunia wajib setor pajak penghasilan. Di beberapa penjuru bumi, ada negara-negara yang benar-benar membebaskan warganya dari kewajiban membayar pajak pribadi mulai dari pantai tropis Karibia hingga gurun mewah di Timur Tengah.

Menurut laporan The Economic Times, sepanjang 2025 ada setidaknya 11 negara yang tidak mengenakan pajak penghasilan pribadi. Dari Bahamas hingga Uni Emirat Arab, negara-negara ini menjadi magnet bagi ekspatriat dan investor yang ingin “menikmati 100% hasil kerja mereka”.

1. Bahamas

Bahamas menawarkan dua hal yang sulit ditolak: cuaca tropis dan nol pajak penghasilan. Cukup beli properti minimal sekitar Rp12 miliar, dan izin tinggal bisa dikantongi dengan mudah. Meski biaya hidup tinggi, stabilitas politik dan gaya hidup pantai membuat negara ini jadi surga bagi miliuner dunia.

2. Bahrain

Melalui program Golden Residency, Bahrain memberikan visa 10 tahun bagi investor yang menanamkan dana sekitar Rp8,5 miliar. Tak ada pajak penghasilan, proses izin tinggalnya serba online, dan negara ini dikenal ramah ekspatriat.

3. Bermuda

Bermuda juga bebas pajak penghasilan, meski perusahaan tetap wajib membayar pajak penggajian. Bagi profesional global yang bekerja jangka pendek, negara dengan pantai berpasir merah muda ini menawarkan keamanan tinggi dan gaya hidup premium.

4. Brunei

Di Brunei, warga menikmati layanan kesehatan dan pendidikan gratis tanpa perlu membayar pajak penghasilan. Namun, tak mudah untuk menjadi penduduk tetap—izin tinggal dan kewarganegaraan hanya bisa diberikan dengan restu kerajaan.

5. Kepulauan Cayman

Cayman Islands adalah ikon klasik “surga pajak”. Tak ada pajak penghasilan, pajak properti, atau pajak capital gain. Tapi tiket masuknya mahal—investasi minimal sekitar Rp19 miliar dan penghasilan tahunan minimal Rp2,3 miliar. Setelah lima tahun, barulah bisa mengajukan kewarganegaraan.

6. Kuwait

Didukung kekayaan minyak melimpah, Kuwait membebaskan warganya dari pajak penghasilan dan memberikan gaji tinggi bagi ekspatriat. Namun, untuk mendapatkan izin tinggal permanen atau kewarganegaraan, hampir mustahil. Sekitar dua pertiga penduduknya bahkan adalah warga asing.

7. Monaco

Monaco, permata di pesisir Mediterania, sudah lama dikenal sebagai surga pajak bagi miliarder dunia. Tak ada pajak penghasilan, tetapi untuk menetap di sana seseorang harus menyetor minimal Rp8 miliar ke bank lokal dan memiliki properti tetap.

8. Maladewa

Maladewa memang bebas pajak penghasilan, tapi eksklusivitasnya ketat. Kewarganegaraan hanya diberikan kepada Muslim Sunni, dan tidak ada program residensi untuk warga asing. Singkatnya, Maladewa lebih cocok untuk berlibur mewah ketimbang hidup permanen.

9–10. Oman dan Qatar

Keduanya menawarkan hidup tanpa pajak penghasilan dengan kualitas hidup tinggi. Oman mulai membuka pintu bagi investor asing lewat visa investasi, sedangkan Qatar memberikan izin tinggal permanen bagi mereka yang sudah menetap legal selama dua dekade dan memenuhi syarat finansial tertentu.

Hidup Bebas Pajak, Tapi Tidak Bebas Biaya

Meski terdengar seperti mimpi, hidup tanpa pajak bukan berarti hidup murah. Mayoritas negara bebas pajak mensyaratkan investasi besar, biaya hidup selangit, dan standar finansial tinggi.

Ahli keuangan mengingatkan, sebelum pindah ke negara semacam itu, calon ekspatriat sebaiknya memahami aturan izin tinggal, perbedaan budaya, dan biaya hidup riil. Sebab, kebebasan dari pajak bisa jadi terasa semu jika pengeluaran harian justru menembus langit. (alf)

APPI Usul Pajak Emas Hanya Dikenakan Kepada Produsen, Tutup Celah Penghindar Pajak

IKPI, Jakarta: Asosiasi Produsen Perhiasan Indonesia (APPI) mengajukan usulan kepada Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa agar pajak atas emas perhiasan sebaiknya hanya dikenakan di tingkat produsen. Langkah ini dinilai sebagai solusi konkret untuk menutup celah penghindaran pajak yang kerap dimanfaatkan produsen ilegal.

Dalam pertemuan di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (23/10/2025), Purbaya mengungkapkan bahwa para pelaku industri perhiasan mengeluhkan rumitnya skema perpajakan saat ini, terutama karena masih banyak produsen yang beroperasi tanpa izin dan tidak menyetor Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

“Mereka minta kita menyesuaikan kebijakan yang berhubungan dengan produsen perhiasan yang dianggap ilegal,” ujar Purbaya.

Menurutnya, praktik ilegal di sektor ini marak terjadi, mulai dari penjualan tanpa dokumen resmi hingga pengiriman barang tanpa surat keterangan pembelian. Akibatnya, rantai distribusi emas perhiasan menjadi sulit diawasi, dan banyak toko emas membeli barang dari produsen tanpa menyertakan bukti pajak.

Skema Baru untuk Tutup Celah Pajak

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48 Tahun 2023, beban pajak emas perhiasan saat ini mencapai sekitar 3 persen, terdiri atas 1,1 persen di tingkat produsen dan 1,6 persen di tingkat konsumen akhir. Namun dalam praktiknya, banyak produsen tidak melaporkan penjualan sebenarnya sehingga PPN hanya tertagih dari penjualan ke konsumen, bukan dari proses produksi awal.

APPI pun mengusulkan agar seluruh beban pajak 3 persen dikenakan langsung di tingkat produsen. Dengan begitu, setiap produk perhiasan yang keluar dari pabrik sudah dipastikan membayar pajak, sehingga pengawasan menjadi lebih mudah dan potensi kebocoran dapat ditekan.

“Asosiasi memperkirakan sekitar 90 persen produsen saat ini beroperasi di luar mekanisme pajak yang patuh,” kata Purbaya. “Jadi mereka minta treatment bagaimana caranya supaya PPN dibayar langsung oleh perusahaan, bukan di konsumen aja.”

Dengan skema baru ini, pemerintah diharapkan bisa meningkatkan penerimaan pajak sekaligus memberikan kepastian usaha bagi produsen yang taat aturan. Industri perhiasan yang selama ini dikenal padat karya juga berpotensi tumbuh lebih sehat karena persaingan tidak lagi timpang antara pelaku legal dan ilegal.

Langkah reformasi pajak di sektor perhiasan ini tengah dikaji serius oleh Kementerian Keuangan. Jika diterapkan, kebijakan tersebut bisa menjadi preseden penting bagi sektor lain yang menghadapi persoalan serupa antara kepatuhan, pengawasan, dan keadilan pajak. (alf)

Dua Wajah Baru Hakim Agung Pajak: Budi Nugroho dan Diana Malemita Ginting Siap Perkuat Kamar TUN

IKPI, Jakarta: Dunia peradilan pajak di Indonesia kedatangan dua sosok baru yang siap memperkuat penegakan hukum di bidang tata usaha negara (TUN) khusus pajak. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi menetapkan Budi Nugroho dan Diana Malemita Ginting sebagai hakim agung TUN khusus pajak, melalui rapat paripurna setelah keduanya lolos uji kelayakan (fit and proper test) di Komisi III DPR RI.

Penetapan ini menandai langkah penting dalam upaya memperkuat kapasitas Mahkamah Agung (MA) dalam menangani perkara-perkara perpajakan yang kian kompleks, sekaligus menjamin konsistensi putusan di tingkat tertinggi.

Keduanya telah resmi dilantik oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., pada Kamis (23/10/2025) di Ruang Kusumaatmadja, Tower Mahkamah Agung, Jakarta. Pelantikan itu digelar dalam Sidang Paripurna Pengambilan Sumpah Jabatan dan Pelantikan sembilan hakim agung serta satu hakim ad hoc.

Budi Nugroho: Hakim Pajak yang Menjaga Keseimbangan Fiskal dan Kepastian Hukum

Nama Budi Nugroho bukanlah wajah baru di dunia hukum pajak. Dalam lima tahun terakhir, ia dikenal sebagai hakim di Pengadilan Pajak, tempatnya mengurai beragam sengketa seputar perpajakan, kepabeanan, hingga bea cukai. Latar belakang dan pengalamannya membuat Budi dianggap memiliki pemahaman mendalam terhadap dinamika hukum fiskal Indonesia.

Dalam pemaparannya di hadapan anggota DPR, Budi menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara kepentingan fiskal negara dan perlindungan hak wajib pajak. Baginya, tugas hakim pajak bukan sekadar menegakkan aturan, tetapi juga memastikan keadilan substantif bagi seluruh pihak.

Ia juga menyoroti rencana integrasi Pengadilan Pajak ke dalam Mahkamah Agung (MA). Menurutnya, pembentukan kamar pajak di MA merupakan langkah strategis untuk menjaga konsistensi putusan, khususnya dalam perkara peninjauan kembali (PK). “Konsistensi dan kepastian hukum adalah fondasi kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan,” ujarnya.

Budi menilai, peningkatan kompetensi hakim pajak merupakan kebutuhan mendesak agar putusan-putusan yang dihasilkan tidak hanya tepat secara hukum, tetapi juga berdampak positif bagi kepastian usaha dan iklim investasi.

Diana Malemita Ginting: Auditor Senior yang Siap Bertransformasi Jadi Penegak Keadilan Pajak

Berbeda dengan Budi, Diana Malemita Ginting datang dengan latar belakang yang unik. Ia bukan dari jalur karier hakim, melainkan tiga dekade mengabdi sebagai auditor di Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, dengan jabatan terakhir sebagai Auditor Utama. Pengalaman panjangnya dalam menelaah laporan dan regulasi keuangan membuatnya piawai dalam menilai kepatuhan terhadap hukum fiskal.

“Pola kerja auditor dan hakim sebenarnya serupa,” ujar Diana saat menjalani uji kelayakan. “Keduanya menilai berkas, memastikan kesesuaian dengan aturan, lalu memberikan rekomendasi atau putusan yang membawa konsekuensi hukum.”

Dalam pandangannya, tingginya beban perkara pajak di MA — terutama terkait permohonan peninjauan kembali (PK) — perlu direspons dengan pendekatan yang lebih terstruktur. Ia mengusulkan agar perkara pajak dikelompokkan berdasarkan jenis, seperti transfer pricing, CPO, hingga migas, agar penanganannya lebih efektif dan cepat.

Tak hanya fokus pada tumpukan perkara, Diana juga menunjukkan visi ke depan. Ia mendorong pemerintah untuk segera menuntaskan aturan teknis pajak karbon, mencakup sistem monitoring, reporting, verification (MRV) hingga penerbitan sertifikat izin emisi. Menurutnya, pendapatan dari pajak karbon dapat menjadi sumber pendanaan strategis bagi program pengendalian perubahan iklim nasional.

Sinergi Pengalaman dan Integritas untuk Peradilan Pajak yang Lebih Kuat

Kehadiran dua figur dengan latar belakang berbeda ini diharapkan mampu membawa warna baru di kamar TUN khusus pajak. Budi dengan pengalaman yudisialnya, dan Diana dengan perspektif pengawasan fiskalnya, diyakini dapat saling melengkapi dalam memperkuat integritas dan kualitas putusan pengadilan.

Dengan pengesahan dan pelantikan ini, publik menaruh harapan besar bahwa Budi Nugroho dan Diana Malemita Ginting akan menghadirkan wajah peradilan pajak yang lebih adil, transparan, dan profesional, sejalan dengan semangat reformasi hukum dan perpajakan di Indonesia. (bl)

Hakim TUN Pajak Resmi Dilantik, MA Kukuhkan 10 Hakim Baru

IKPI, Jakarta: Mahkamah Agung (MA) kembali memperkuat jajaran yudisialnya dengan melantik sembilan Hakim Agung dan satu Hakim Ad Hoc dalam Sidang Paripurna Pengambilan Sumpah Jabatan di Ruang Kusumaatmadja, lantai 14 Tower MA Jakarta, Kamis (23/10/2025). Salah satu yang menjadi sorotan publik adalah pelantikan Hakim Agung di Kamar Tata Usaha Negara (TUN) yang membidangi sengketa pajak.

Sidang sakral ini dipimpin langsung oleh Ketua Mahkamah Agung RI Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., serta disaksikan oleh jajaran pimpinan MA, Wakil Ketua Bidang Yudisial, para Ketua Kamar, Hakim Agung, Hakim Ad Hoc, dan pejabat struktural eselon I dan II. Jalannya prosesi berlangsung khidmat dan terbuka untuk umum, serta disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Dalam sambutannya, Sunarto menegaskan bahwa jabatan hakim agung adalah amanah besar yang harus dijalankan dengan penuh integritas dan rasa tanggung jawab. “Sumpah yang diucapkan hari ini bukan hanya disaksikan oleh manusia, tetapi juga oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semoga para hakim yang dilantik dapat menegakkan hukum seadil-adilnya,” ujarnya.

Pelantikan ini merupakan hasil akhir dari proses panjang seleksi di Komisi Yudisial (KY) dan uji kelayakan serta kepatutan di Komisi III DPR RI. Setelah melewati tahap tersebut, para calon hakim agung akhirnya dikukuhkan untuk memperkuat berbagai kamar di lingkungan MA.

Adapun sembilan hakim agung yang dilantik terdiri dari berbagai kamar, yakni pidana, perdata, agama, tata usaha negara, dan militer. Di antaranya adalah Dr. Hari Sugiharto, S.H., M.H., serta Dr. Budi Nugroho, S.H., S.E., M.Hum., dan Dr. Diana Malemita Ginting, Ak., S.H., M.Si., M.H. yang akan memperkuat Kamar Tata Usaha Negara (TUN) — termasuk bidang peradilan pajak yang semakin kompleks seiring meningkatnya sengketa fiskal.

Selain itu, turut dilantik Dr. Moh. Puguh Hariyogi, S.H., Sp.N., M.H. sebagai Hakim Ad Hoc Hak Asasi Manusia (HAM), yang diharapkan mampu menambah perspektif keadilan substantif dalam perkara-perkara pelanggaran HAM berat.

Para hakim agung dan hakim ad hoc yang dilantik berikrar untuk menjalankan tugas dengan jujur, setia pada UUD 1945, serta menegakkan hukum tanpa pandang bulu. “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” ujar mereka serempak dalam pembacaan sumpah.

Ketua MA Sunarto menutup prosesi dengan doa agar para hakim yang baru dilantik senantiasa diberikan kekuatan moral, kejernihan hati, dan keberanian dalam menegakkan hukum. “Semoga saudara-saudara semua selalu dalam lindungan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa,” tutupnya.

Dengan pelantikan ini, Mahkamah Agung berharap kinerja peradilan, khususnya di bidang TUN dan pajak, semakin profesional, transparan, dan responsif terhadap dinamika hukum dan ekonomi nasional. (bl)

Edukasi Perpajakan IKPI: Role Access dan Impersonate Jadi Kunci Pelaporan Pajak di Coretax

IKPI, Jakarta: Sistem Coretax Administration yang resmi diterapkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) pada 2025 tidak hanya membawa wajah baru bagi pelaporan SPT, tetapi juga mengubah secara fundamental cara wajib pajak dan kuasa pajak mengelola akses serta otorisasi akun. Hal ini diungkapkan Michael, Sekretaris Pengda IKPI Banten, dalam kegiatan edukasi perpajakan bertema “Isu Terkini SPT Masa PPh Pasal 21–26”, Kamis (23/10/2025).

Menurut Michael yang juga sebagai narasumber pada Edukasi Perpajakan IKPI, salah satu fitur paling krusial di Coretax adalah role access, yang membedakan peran pengguna antara drafter, signer, dan PIC (person in charge). “Role access ini bukan formalitas. Ini menentukan siapa yang berhak membuat, memverifikasi, dan menandatangani SPT masa,” jelasnya. 

Ia menekankan bahwa kesalahan dalam mengatur akses bisa berujung pada pelaporan yang tidak sah secara administratif.

Selain role access, sistem Coretax juga memperkenalkan fitur baru bernama impersonate, yang memungkinkan seorang profesional mengakses akun badan atau perusahaan melalui akun pribadi yang telah terverifikasi. 

“Fitur ini menggantikan cara lama di DGT Online. Jadi bukan lagi pakai akun perusahaan langsung, melainkan lewat login pribadi yang diotorisasi sebagai wakil resmi,” ujar Michael.

Ia menambahkan, perubahan lain yang tak kalah penting adalah penggantian sertifikat elektronik badan dengan kode otentikasi (KO), yang berfungsi sebagai tanda tangan digital resmi. “Sekarang tidak ada lagi e-certificate badan. Semua otentikasi sudah beralih ke KO, yang jauh lebih aman dan efisien,” ujarnya.

Michael menjelaskan, setiap perusahaan harus melakukan pengaturan ulang terhadap akun pusat dan cabangnya, yang kini dikenal dengan istilah NITKU (Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha). “Kalau dulu NPWP cabang, sekarang jadi NITKU. Dan setiap NITKU punya akses berbeda sesuai peran dan tanggung jawabnya,” katanya.

Ia mengingatkan, pengabaian terhadap detail teknis ini dapat menyebabkan permasalahan pelaporan, terutama ketika bukti potong dibuat tanpa role yang tepat. “Kalau signer tidak punya otorisasi, laporan bisa ditolak sistem. Ini bukan sekadar administratif, tapi soal legalitas pelaporan pajak,” tegasnya.

Menurutnya, penerapan sistem berbasis role access dan impersonate ini merupakan bentuk penguatan governance dan akuntabilitas perpajakan nasional. Dengan sistem ini, setiap tindakan dapat ditelusuri siapa yang membuat, memverifikasi, dan menandatangani. “Transparansi meningkat, potensi penyalahgunaan data menurun,” ujarnya optimistis.

Ia mengajak para praktisi pajak untuk terus mengikuti perkembangan teknologi dan regulasi melalui kegiatan pendidikan berkelanjutan yang diadakan oleh IKPI. “Coretax bukan hanya platform pelaporan, tapi revolusi cara berpikir dalam menjalankan kepatuhan pajak. Jangan tunggu dipaksa sistem pahami dan kuasai lebih dulu,” pungkas Michael. (bl)

Perang Tarif Trump Guncang Pasar Kripto

IKPI, Jakarta: Pasar kripto kembali bergejolak. Dalam 24 jam terakhir, harga berbagai aset digital anjlok setelah kebijakan perang tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali memicu ketegangan dagang dengan China.

Berdasarkan data CoinMarketCap, Kamis (23/10/2025) pukul 06.10 WIB, kapitalisasi pasar kripto global turun 2,4% menjadi US$ 3,6 triliun dalam sehari. Kripto dengan kapitalisasi terbesar, Bitcoin (BTC), tertekan 1,55% ke posisi US$ 107.350 per koin, atau sekitar Rp 1,78 miliar (kurs Rp 16.603). Padahal, harga tertinggi Bitcoin sepanjang masa (all time high/ATH) sempat menyentuh US$ 126.223 pada 7 Oktober 2025.

Aset kripto lain juga tak luput dari tekanan. Ethereum (ETH) merosot 3,55% ke US$ 3.762, Binance Coin (BNB) melemah 0,46% menjadi US$ 1.061, Solana (SOL) anjlok 5,19% ke US$ 178, Dogecoin (DOGE) turun 4,25% ke US$ 0,18, dan XRP terkoreksi 4,21% menjadi US$ 2,33.

Menurut laporan CoinTelegraph, harga Bitcoin sebenarnya sempat mencoba pulih setelah koreksi tajam pekan lalu. Namun, ketegangan dagang AS–China yang kembali meningkat dan kebijakan tarif baru dari Presiden Trump menahan laju pemulihan pasar kripto.

Secara teknikal, harga Bitcoin kini berupaya mencari titik keseimbangan di kisaran US$ 107 ribu–108 ribu. Area US$ 106.300–104 ribu menjadi zona rawan likuidasi posisi long, sedangkan posisi short bisa tertutup paksa bila harga menembus US$ 115 ribu.

Meski sentimen global memburuk, beberapa indikator menunjukkan investor masih optimistis. Data Coinbase Premium Index dan spot cumulative volume delta (CVD) mencatat tren inflow positif sejak awal Oktober, menandakan akumulasi BTC oleh investor ritel dan institusional di AS terus berlangsung. Sebaliknya, trader di Binance Futures justru melakukan aksi jual agresif, memperbesar tekanan di pasar berjangka.

Kepala Investasi Lekker Capital, Quinn Thompson, menilai likuidasi besar-besaran pada 10 Oktober lalu justru membuka ruang bagi peluang baru.

“Likuidasi tersebut menghapus lebih banyak posisi leverage dibanding periode Januari–April 2025. Situasi ini mirip dengan masa sebelum kemenangan Trump pada 2024,” ujarnya.

Sementara itu, analis dari Tom Capital mengingatkan pelaku pasar agar tetap fokus pada pergerakan harga menjelang pekan depan yang diperkirakan membawa sejumlah katalis penting bagi arah kripto global.

Dengan ketegangan geopolitik yang belum reda dan kebijakan ekonomi AS yang semakin agresif, pasar kripto tampaknya harus bersiap menghadapi volatilitas tinggi dalam waktu dekat. (bl)

Peneliti UGM Sebut Defisit APBN 2025 Tergolong Sehat, Fiskal Masih Terkendali

IKPI, Jakarta: Peneliti kebijakan fiskal Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Rijadh Djatu Winardi, menilai defisit fiskal dalam APBN 2025 yang mencapai Rp371,5 triliun atau 1,56 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih tergolong sehat dan terkendali.

Menurutnya, posisi tersebut menunjukkan fundamental fiskal Indonesia masih kuat, karena keseimbangan primer tetap positif dan rasio utang terhadap PDB terjaga di kisaran 39–40 persen, jauh di bawah ambang batas 60 persen yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara.

“Ruang kebijakan fiskal kita masih cukup luas. Defisit ini aman dan menunjukkan kinerja fiskal yang solid di tengah ketidakpastian ekonomi global,” ujar Rijadh di Yogyakarta, Rabu (22/10/2025).

Ia menilai tekanan terhadap APBN tahun ini lebih bersifat siklikal akibat penurunan harga komoditas ekspor utama seperti batubara dan kelapa sawit, yang berdampak pada penerimaan pajak dan PNBP. Namun, sektor manufaktur dan jasa masih menjadi penopang penting daya tahan fiskal nasional.

Meski demikian, Rijadh mengingatkan bahwa struktur fiskal Indonesia masih rapuh karena rasio pajak (tax ratio) hanya sekitar 10 persen terhadap PDB, jauh tertinggal dibanding rata-rata negara peers di kisaran 20 persen.

“Basis penerimaan fiskal kita terlalu sempit, sehingga setiap kali harga komoditas turun, APBN langsung tertekan,” ujarnya menegaskan.

Dari sisi belanja negara, ia menyoroti lambatnya realisasi anggaran yang berpotensi mengganggu fungsi stabilisasi fiskal. Hingga kuartal III-2025, realisasi belanja baru 62,8 persen, bahkan sejumlah kementerian/lembaga besar masih di bawah 50 persen, seperti Badan Gizi Nasional (16,9 persen), Kementerian PUPR (48,2 persen), dan Kementerian Pertanian (32,8 persen).

“Kinerja belanja yang lambat membuat stimulus fiskal tidak optimal. Ini bukan sekadar masalah teknis, tapi persoalan struktural dalam perencanaan dan eksekusi anggaran,” ungkapnya.

Dengan waktu kurang dari tiga bulan sebelum tahun anggaran berakhir, pemerintah masih harus merealisasikan sekitar Rp527 triliun belanja. Karena itu, Rijadh menegaskan perlunya percepatan serapan anggaran untuk menjaga peran fiskal sebagai penopang pertumbuhan ekonomi.

“Fokusnya bukan menghabiskan anggaran, tapi memastikan setiap rupiah memberi efek pengganda (multiplier effect) yang nyata bagi ekonomi,” tuturnya.

Ia menambahkan, kebijakan fiskal di sisa 2025 perlu diarahkan untuk menjaga momentum pertumbuhan tanpa mengorbankan keberlanjutan fiskal jangka panjang. (bl)

DJP Terapkan Strategi “Micro Management” untuk Kejar Setoran Pajak Akhir Tahun

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mulai menempuh strategi baru guna mengantisipasi potensi shortfall atau kekurangan penerimaan pajak pada akhir tahun ini. Langkah tersebut dilakukan dengan pendekatan micro management yang menitikberatkan pada pengawasan ketat terhadap wajib pajak berkontribusi besar.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, mengatakan pihaknya kini mengubah strategi pengawasan dan penagihan dengan pemantauan lebih rinci di seluruh kantor wilayah. DJP menyiapkan daftar wajib pajak potensial yang memiliki kontribusi besar terhadap penerimaan, dan setiap pergerakan mereka akan dipantau secara langsung.

“Upayanya kita sudah mulai micro management untuk collection. Jadi kita pantau betul semua wajib pajak, kita list dari semua kanwil, potensi yang paling besar siapa, kemudian kira-kira kepatuhannya seperti apa,” ujar Bimo di Kantor Kemenko Perekonomian, Rabu (22/10/2025).

Bimo menegaskan, fokus utama DJP saat ini adalah menutup compliance gap atau kesenjangan kepatuhan pajak, terutama di kelompok wajib pajak besar. Dengan pendekatan yang lebih tajam dan berbasis data, ia berharap penerimaan negara bisa tetap optimal meski tekanan ekonomi belum sepenuhnya mereda.

“Gap kepatuannya kita endorse untuk bisa jadi optimum,” tambahnya.

Dalam beberapa bulan terakhir, kinerja penerimaan pajak nasional memang menunjukkan tren melambat. Kondisi ini mendorong DJP memperkuat strategi pengawasan berbasis data dan memastikan setiap potensi penerimaan dapat digali secara maksimal menjelang akhir tahun anggaran.

Langkah micro management ini disebut menjadi strategi kunci DJP untuk menjaga stabilitas fiskal dan memastikan target penerimaan 2025 tetap berada dalam jalur yang aman. (alf)

E-Commerce Belum Siap, idEA Minta Waktu 8 Bulan Sebelum Pungutan Pajak Jalan

IKPI, Jakarta: Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menilai industri marketplace belum sepenuhnya siap menjalankan kewajiban sebagai pemungut pajak. Ketua Umum idEA Hilmi Adrianto memperkirakan, platform e-commerce membutuhkan waktu sekitar delapan bulan sejak September 2025 untuk menyiapkan sistem yang mampu menjalankan tugas tersebut secara efektif.

Hilmi menyambut baik keputusan pemerintah menunda penerapan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 tentang pemungutan PPh Pasal 22 atas transaksi e-commerce. Menurutnya, langkah ini realistis dan memberi ruang bagi industri digital untuk beradaptasi tanpa mengganggu momentum pertumbuhan ekonomi digital nasional.

“PMK ini bukan menambah beban baru bagi wajib pajak, tetapi mengalihkan tanggung jawab pemungutan pajak kepada platform. Marketplace harus memverifikasi omzet penjual, mengelola data perpajakan, dan memastikan pelaporan berjalan lancar. Ini bukan hal sederhana,” ujar Hilmi, Rabu (22/10/2025).

Hilmi menjelaskan, hasil kajian bersama idEA dan para pelaku industri menunjukkan bahwa masa transisi minimal delapan bulan sangat diperlukan agar implementasi PMK berjalan efektif. Persiapan mencakup penyesuaian sistem internal, integrasi data dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), serta penguatan edukasi bagi penjual. Ia menekankan pentingnya koordinasi erat antara pemerintah, DJP, dan platform marketplace agar mekanisme pemungutan pajak tidak menimbulkan kebingungan, terutama bagi pelaku UMKM digital.

“Adaptasi terhadap sistem administrasi pajak digital masih menjadi tantangan bagi pelaku usaha kecil. Sosialisasi yang menyeluruh sangat penting agar proses pungutan tidak menjadi beban tambahan bagi penjual kecil,” ujarnya.

Meski mendukung penguatan kepatuhan pajak, idEA mengingatkan potensi distorsi pasar jika kebijakan diterapkan tanpa kesiapan memadai. Pelaku kecil bisa terbebani secara administrasi maupun arus kas, yang pada akhirnya mendorong mereka berpindah ke kanal non-formal seperti media sosial untuk menghindari pungutan tambahan. Selain itu, sebagian penjual mungkin akan meneruskan beban pajak kepada konsumen tergantung strategi bisnis masing-masing, yang bisa berdampak pada daya saing dan harga produk.

Hilmi menegaskan, idEA mendukung sepenuhnya komitmen pemerintah memperkuat kepatuhan pajak di sektor digital. Namun, kebijakan tersebut perlu dijalankan dengan pendekatan adil, proporsional, dan berorientasi pada pertumbuhan agar tidak menekan daya saing industri e-commerce Indonesia di kawasan ASEAN.

“Pemerintah dan industri perlu bersama-sama membangun ekosistem pajak yang sehat dan inklusif di mana pelaku usaha tetap patuh pajak tetapi juga memiliki ruang untuk tumbuh,” pungkasnya. (alf)

Kabar Gembira! Industri Film Nasional Bakal Dapat Insentif Pajak Baru

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah menyiapkan angin segar bagi dunia perfilman Tanah Air. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan sedang merancang skema insentif pajak baru khusus untuk industri film nasional.

Kebijakan ini menjadi langkah strategis untuk mendorong pertumbuhan sektor kreatif dan menciptakan persaingan yang lebih adil antara film lokal dan film impor.

Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengatakan, wacana pemberian insentif tersebut muncul setelah DJP menerima aspirasi dari berbagai asosiasi film di Indonesia.

“Permintaannya (dari pelaku industri), kita akan membuat skema insentif yang affordable untuk mengembangkan industri film dalam negeri. Termasuk juga untuk menyetarakan level playing field antara industri film nasional dan film impor,” ujar Bimo usai pertemuan di Kantor Kemenko Perekonomian, Rabu (22/10/2025).

Menurut Bimo, pelaku industri menilai masih ada beberapa kebijakan perpajakan yang perlu diperbaiki agar iklim usaha semakin kondusif.

“Selama ini mungkin dirasa ada beberapa hal yang harus di-improve,” ungkapnya.

Meski belum merinci bentuk insentif yang akan diberikan, Bimo menegaskan arah kebijakan DJP jelas: mengurangi beban pajak bagi pelaku film nasional agar industri ini bisa tumbuh lebih kuat di pasar domestik.

“Saya belum bisa bicara detail, tapi arahnya agar beban pajak bagi industri dalam negeri tidak terlalu memberatkan,” tegasnya.

Langkah DJP ini disambut positif oleh pelaku sektor kreatif. Mereka menilai, dukungan fiskal seperti ini sangat penting di tengah ketatnya persaingan pasar dan naiknya biaya produksi film lokal.

Jika terealisasi, insentif pajak ini diharapkan menjadi babak baru bagi kebangkitan industri film Indonesia bukan hanya memperkuat eksistensi di dalam negeri, tetapi juga membuka peluang lebih luas untuk menembus pasar global. (alf)

en_US