Ketua IKPI Jakarta Pusat Apresiasi Loyalitas Sukiatto Oyong, Cerita Sejarah di HUT yang ke-57

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Pusat menggelar silaturahmi ke kediaman Sukiatto Oyong, Ketua Umum IKPI periode 2014–2019, sekaligus merayakan hari ulang tahunnya, Sabtu (27/9/2025).

Ketua IKPI Cabang Jakarta Pusat, Suryani, menyampaikan apresiasi mendalam atas kecintaan Oyong terhadap organisasi. Meski telah memasuki masa senior, di ulang tahunnya yang ke 57, Oyong dinilai tetap konsisten memberikan sumbangsih pemikiran dan pengalaman berharga bagi generasi penerus konsultan pajak.

“Pak Oyong adalah teladan. Di masa tuanya, beliau masih terus memikirkan dan membangun IKPI dengan penuh cinta. Ini warisan berharga yang patut kita jaga,” ungkap Suryani, Selasa (30/9/2025).

Dalam momen kebersamaan itu, seluruh anggota IKPI Jakarta Pusat turut menyampaikan doa dan ucapan selamat ulang tahun untuk Oyong. Harapan terbesar yang disampaikan adalah agar beliau senantiasa diberi kesehatan, umur panjang, serta kesuksesan dalam setiap langkah.

Suryani menambahkan, kunjungan ini juga menjadi ajang untuk mengenang perjalanan sejarah kepemimpinan Oyong yang dinilai penuh inspirasi. Ia menekankan pentingnya semangat kekompakan dan solidaritas agar IKPI tetap jaya sepanjang masa.

“Sejarah kepemimpinan Pak Oyong memberi banyak pelajaran berharga. Kami berharap beliau juga berkenan terus berpartisipasi aktif dalam kegiatan IKPI Cabang Jakarta Pusat,” kata Suryani.

Hadir pada pertemuan tersebut:

1. Ketua Umum, Vaudy Starworld
2. Wakil Ketua Umum, Nuryadin Rahman
3. Ketua Departemen Keanggotaan dan Etika, Robert Hutape
4. Ketua Departemen SSKO, Rusmadi
5. Ketua Departemen KAP2SKPK, Ivan Kanel
6. ⁠Wakil Ketua Departemen Penugasan Khusus, Budianto Wijaya
7. ⁠Ketua Pengda DKJ Tan Alim
8. ⁠Ketua IKPI Cabang Jakarta Pusat, Suryani
9. Sekretaris Umum Periode 2009 – 2014, Teddy Suryoprabowo
10. Direktur Eksekutif Asih Ariyanto
(bl)

Liburan Akhir Tahun Makin Murah, Tiket Pesawat dan Kereta Dapat Diskon PPN 50%

IKPI, Jakarta: Kabar gembira bagi para pemburu liburan akhir tahun. Pemerintah tengah memfinalisasi insentif diskon PPN sebesar 50% untuk tiket pesawat, kereta api, kapal, hingga transportasi lain yang berlaku khusus pada masa libur Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut kebijakan ini tinggal menunggu pengumuman resmi pada Oktober mendatang. “Itu sedang dalam proses dengan lintas kementerian, nanti mungkin di bulan Oktober akan diumumkan. Termasuk diskon transportasi, kereta, kapal,” ujar Airlangga, Senin (29/9/2025) malam.

Menurutnya, insentif ini diusulkan oleh Kementerian Pariwisata dan Kementerian Perhubungan sebagai upaya mendukung pariwisata, sekaligus meringankan beban masyarakat yang ingin mudik maupun berwisata saat momen Nataru. “Seperti sebelumnya, akan ada PPN ditanggung pemerintah sebesar 50% di hari dan waktu tertentu,” jelasnya.

Tak hanya itu, masyarakat juga bakal dimanjakan dengan pesta diskon belanja daring lewat Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas) yang digelar 10–16 Desember 2025. Tahun ini, pemerintah menargetkan transaksi Harbolnas bisa tembus Rp33 triliun–Rp35 triliun, tumbuh sekitar 10% dibandingkan realisasi 2024 yang mencapai Rp31,2 triliun.

Airlangga menegaskan, langkah ganda berupa insentif transportasi dan Harbolnas menjadi bagian dari paket stimulus akhir tahun untuk mendorong konsumsi. “Konsumsi rumah tangga menyumbang 54% terhadap pertumbuhan ekonomi. Harbolnas dan PPN DTP diharapkan bisa mengungkit pertumbuhan ekonomi semester II-2025,” katanya.

Dengan demikian, akhir tahun ini bukan hanya kesempatan berlibur lebih hemat, tetapi juga momentum pemerintah menggerakkan roda perekonomian lewat sektor transportasi, pariwisata, dan belanja masyarakat. (alf)

Penerimaan Pajak Jabar III Tembus Rp16,84 Triliun, Topang Surplus APBN Regional

IKPI, Jakarta: Kinerja fiskal Jawa Barat kembali mencatat prestasi solid. Hingga 31 Agustus 2025, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Barat III berhasil mengumpulkan penerimaan neto sebesar Rp16,84 triliun atau 52,3 persen dari target tahun berjalan. Angka ini bukan sekadar pencapaian administratif, melainkan bukti resiliensi sektor perpajakan yang tumbuh 4,2 persen secara tahunan (year on year/yoy).

Pertumbuhan tersebut ditopang oleh kontribusi positif dari sejumlah jenis pajak. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Badan tercatat melonjak 10,7 persen, disusul PPh Final yang tumbuh 4,3 persen. Meski Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) hanya naik tipis 0,1 persen, kontribusinya tetap signifikan bagi stabilitas penerimaan.

“Realisasi penerimaan neto Kanwil DJP Jawa Barat III hingga akhir Agustus 2025 sudah mencapai Rp16,84 triliun, atau 52,3 persen dari target,” tulis Kanwil DJP Jabar III dalam keterangan resmi, Selasa (30/9/2025).

Dari sisi sektoral, Industri Pengolahan tampil sebagai penyumbang terbesar dengan pertumbuhan 11,2 persen, diikuti sektor Konstruksi dan Real Estat yang naik 2,8 persen, serta Administrasi Pemerintahan dengan pertumbuhan 0,5 persen.

Kinerja pajak tersebut berkontribusi langsung terhadap surplus APBN regional Jawa Barat yang mencapai Rp11,59 triliun. Surplus terbentuk dari pendapatan sebesar Rp90,11 triliun (58,53 persen dari target) dengan realisasi belanja Rp78,54 triliun (64,18 persen dari pagu). Secara keseluruhan, penerimaan negara di Jawa Barat tumbuh 5,31 persen yoy, meski dihadapkan pada tantangan berupa penurunan konsumsi dan meningkatnya restitusi.

Sektor kepabeanan dan cukai pun mencatat capaian positif dengan realisasi Rp19,66 triliun atau 64,25 persen dari target, tumbuh 5,06 persen berkat relaksasi pembayaran cukai hasil tembakau.

Belanja Langsung Menyentuh Rakyat

Belanja negara di Jawa Barat tercatat Rp78,54 triliun, ditopang oleh optimalisasi Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp49,37 triliun dan Dana Desa Rp5,59 triliun. Anggaran ini benar-benar menyentuh kebutuhan masyarakat: Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah menjangkau 1,37 juta penerima manfaat, sementara Program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) membantu 38 ribu keluarga di 1.576 lokasi.

Pemerintah juga menjalankan 13 Sekolah Rakyat di 11 kabupaten/kota dengan 1.480 siswa, menggulirkan Revitalisasi Sekolah senilai Rp10,13 triliun, serta meresmikan SMA Unggul Garuda di Bogor. Di sisi ketahanan pangan, produksi beras Jawa Barat mencapai 4,02 juta ton.

Tak kalah penting, akses pembiayaan terus diperluas melalui penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) senilai Rp18,65 triliun untuk 345 ribu debitur dan pembiayaan Ultra Mikro (UMi) Rp1,19 triliun bagi 246 ribu debitur.

Kinerja fiskal yang solid memperkuat pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Kuartal II-2025 mencatat pertumbuhan 5,23 persen yoy dengan PDRB ADHK sebesar Rp459,80 triliun. Inflasi Agustus 2025 pun terkendali di level 1,77 persen yoy.

Dari sisi perdagangan, Jawa Barat menutup Juli 2025 dengan surplus 2,47 miliar dolar AS, hasil dari ekspor 3,51 miliar dolar AS dan impor 1,03 miliar dolar AS. Meski Nilai Tukar Petani (NTP) sedikit melemah menjadi 115,61, sektor pertanian tetap menjadi penopang ekonomi daerah.

Dengan capaian ini, Jawa Barat menegaskan perannya sebagai salah satu lokomotif fiskal nasional. Penerimaan pajak yang terjaga, belanja yang terarah, dan fundamental ekonomi yang kuat menjadi sinyal optimisme menghadapi sisa tahun anggaran 2025. (alf)

CELIOS Dorong Wealth Tax 2 Persen, Potensi Rp81 Triliun dari 50 Crazy Rich

IKPI, Jakarta: Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menilai sudah saatnya pemerintah menagih lebih serius pajak dari kalangan superkaya. Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mendorong penerapan wealth tax sebesar 2 persen dari aset bersih orang terkaya Indonesia. Jika diterapkan, pajak tersebut berpotensi menyumbang penerimaan hingga Rp81,56 triliun per tahun hanya dari 50 konglomerat.

“Orang superkaya atau HNWI (high net worth individual) punya seribu cara untuk menghindari pajak, dibantu konsultan pajak mereka. Karena itu, Menkeu perlu mengkaji penerapan wealth tax 2 persen. Angka ini juga konsensus yang sedang didorong di PBB dan G20,” tegas Bhima, Selasa (30/9/2025).

Bhima mengkritisi bahwa pajak atas kekayaan di Indonesia selama ini masih parsial melalui PBB, PPnBM, maupun PPh final atas dividen namun belum menyasar total kekayaan bersih individu. “Administrasi perpajakan kita juga belum optimal. Analisis forensik dan audit aktual aset HNWI masih terbatas. Wealth tax bisa sekaligus menjadi instrumen penelusuran aset dan sumber penerimaan negara,” jelasnya.

Ia menambahkan, basis data terkait konglomerat sejatinya sudah dimiliki Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Mulai dari program tax amnesty jilid I (2016–2017), Program Pengungkapan Sukarela (2022), data SPT tahunan, hingga informasi dari luar negeri melalui Automatic Exchange of Information (AEoI).

“Data itu tinggal di-follow up. Pemerintah sudah royal memberi insentif berupa tax holiday dan tax allowance. Kini saatnya menagih ke orang-orang superkaya itu,” kata Bhima.

Berdasarkan kajian CELIOS, dari 50 orang terkaya Indonesia yang memiliki kekayaan terendah Rp15 triliun dengan rata-rata Rp159 triliun, wealth tax 2 persen dapat menghasilkan Rp81,56 triliun per tahun.

“Penerapan wealth tax bukan hanya soal penerimaan negara. Ini manifestasi keadilan sosial, untuk membatasi dominasi segelintir elite atas perekonomian nasional,” pungkas Bhima. (alf)

IYCTC Kritik Pembatalan Kenaikan Cukai Rokok, Karangan Bunga Protes Banjiri Gedung Kemenkeu

IKPI, Jakarta: Gedung Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Selasa (30/9/2025) pagi, mendadak berubah wajah. Puluhan papan bunga berjejer di halaman utama, membawa pesan satir sekaligus kritik pedas terhadap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Aksi ini digagas Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) bersama ratusan jaringan pemuda dari berbagai organisasi kepemudaan di Indonesia.

Mereka melayangkan protes terhadap keputusan pemerintah yang membatalkan rencana kenaikan cukai rokok 2026 setelah mendengar masukan industri.

Tulisan besar dengan sapaan “Selamat kepada Menteri Koboi” tampak di beberapa papan bunga. Julukan tersebut bukan tanpa makna. Menurut para pemuda, istilah koboi memang identik dengan sikap tegas dan berani, tetapi kebijakan Purbaya justru dinilai kontradiktif.

Keputusan yang dianggap ramah industri tembakau itu dipandang mengorbankan kesehatan publik, terutama generasi muda yang semakin rentan terjebak dalam kecanduan.

Ketua Umum IYCTC, Manik Marganamahendra, menegaskan sikap kritis ini bukan semata-mata sindiran, tetapi peringatan serius. “Kalau mau jadi koboi silakan, Pak Menteri. Tapi jangan koboi-koboian dengan industri rokok. Mestinya tegas: tetap naikkan cukai, bukan malah dibatalkan,” ujarnya di sela aksi.

Menurut Manik, mendengarkan masukan industri memang bagian dari proses, tetapi keputusan akhir seharusnya berpihak kepada masyarakat luas yang menanggung dampak langsung dari rokok, bukan kepada kepentingan bisnis.

Data yang disampaikan IYCTC menunjukkan bahwa hampir enam juta anak Indonesia sudah menjadi perokok aktif, sebagian besar karena murahnya harga rokok. Dalam jangka panjang, kebijakan yang gagal menekan konsumsi rokok berpotensi merugikan negara, baik dari sisi kesehatan maupun produktivitas.

BPJS Kesehatan, misalnya, harus mengeluarkan Rp15,6 triliun pada tahun 2019 hanya untuk menanggung penyakit akibat rokok. Sementara itu, keluarga dengan ekonomi terbatas menghabiskan sekitar 12 persen gajinya untuk membeli rokok, bukan untuk kebutuhan gizi atau pendidikan anak.

“Jadi, siapa sebenarnya yang dilindungi dari kebijakan ini? Kalau anak-anak terus terjerumus, artinya negara gagal melindungi generasi penerus,” lanjut Manik.

IYCTC juga mengingatkan bahwa rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan harga rokok seharusnya dibuat setidaknya 70 persen lebih mahal untuk bisa menekan konsumsi secara signifikan. Penundaan kenaikan cukai dengan alasan menjaga dialog dengan industri justru menunjukkan bahwa kesehatan masyarakat belum menjadi prioritas utama.

Kritik serupa disampaikan Daniel Beltsazar Jacob, Advocacy Lead IYCTC. Menurutnya, alasan pemerintah yang kerap menyebut kenaikan cukai akan memicu pemutusan hubungan kerja massal hanyalah narasi lama yang digunakan industri untuk menekan kebijakan fiskal. Ia menegaskan bahwa berbagai studi membuktikan penyerapan tenaga kerja di industri rokok cenderung stagnan atau bahkan menurun bukan karena tarif cukai, melainkan karena mekanisme produksi yang semakin efisien.

“Jangan jadikan pekerja sebagai tameng. Kalau ada PHK, itu lebih karena otomatisasi dan efisiensi pabrik, bukan semata-mata tarif cukai,” tegasnya.

Daniel juga menyoroti alasan lain yang disampaikan Menteri Purbaya, yakni kekhawatiran soal rokok ilegal. Menurutnya, isu tersebut tidak bisa dijadikan dalih menunda kenaikan. Bukti global menunjukkan peredaran rokok ilegal lebih banyak dipengaruhi kelemahan penegakan hukum, rantai suplai gelap, dan praktik kolusi, bukan sekadar tarif cukai tinggi.

Ia menekankan, solusi yang lebih tepat adalah memperkuat peran Bea Cukai dalam sistem pelacakan distribusi, serta mengalokasikan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) secara strategis untuk operasi penertiban di daerah.

Di sisi lain, keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan cukai rokok juga langsung tercermin di pasar modal. Saham-saham perusahaan besar di sektor rokok seperti Gudang Garam (GGRM), Hanjaya Mandala Sampoerna (HMSP), dan Indonesian Tobacco (ITIC) melonjak tajam setelah kebijakan ini diumumkan.

Bagi Daniel, lonjakan harga saham itu adalah sinyal yang tidak boleh diabaikan. “Kalau pasar bereaksi positif, artinya industri rokok sedang diuntungkan besar-besaran. Yang rugi siapa? Tentu masyarakat, terutama anak muda yang akan menanggung dampaknya dalam bentuk penyakit dan beban ekonomi di masa depan,” ujarnya. (alf)

Ratusan Peserta Bahas Strategi Laporan Keuangan dan SPT Badan di Seminar IKPI Surabaya

IKPI, Surabaya: Ratusan konsultan pajak, praktisi, hingga akademisi memenuhi Ballroom Hotel Bumi Surabaya pada Sabtu (27/9/2025). Mereka datang untuk menghadiri seminar tatap muka yang digelar Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Surabaya dengan tema “Penerapan Coretax dalam Penyusunan Laporan Keuangan dan Pelaporan SPT Tahunan Badan”.

Dalam kesempatan itu, Ketua IKPI Cabang Surabaya, Enggan Nursanti, memberi pesan soal pentingnya kesiapan konsultan pajak menghadapi era digital Coretax.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Surabaya)

“Perubahan sistem dan regulasi yang dinamis menuntut kita semua untuk selalu siap beradaptasi. Seminar ini menjadi wadah kita untuk memperdalam pemahaman sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat dengan profesionalisme,” kata Enggan.

Sementara itu, Ketua Pengurus Daerah IKPI Jawa Timur, M. Zeti Arina, mengapresiasi tingginya antusiasme peserta. Ia menekankan seminar ini bukan sekadar ajang belajar, tetapi bukti nyata komitmen IKPI dalam menjaga standar profesi sekaligus mendukung kebijakan pemerintah di bidang perpajakan.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Surabaya)

Dua narasumber utama, R. Barkat dan I. Zauki, sukses memanaskan suasana lewat materi interaktif seputar praktik penerapan Coretax. Dari teknis penyusunan laporan keuangan hingga strategi pelaporan SPT Tahunan Badan, keduanya mengajak peserta untuk aktif berdiskusi dengan contoh-contoh aplikatif yang relevan.

Para peserta terlihat antusias melontarkan pertanyaan seputar tantangan praktis di lapangan, hingga memperluas jejaring antarprofesional pajak.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Surabaya)

Untuk menambah kemeriahan acara, panitia juga melakukan pengundian doorprize untuk para peserta yang hadir. (bl)

Shadow Economy Disebut Bisa Jadi Jalan Keluar Stagnasi Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Stagnasi penerimaan pajak di tengah kebutuhan belanja negara yang terus meningkat membuat pemerintah dituntut mencari terobosan baru. Salah satu jalannya adalah dengan menyasar shadow economy atau ekonomi bayangan yang selama ini belum tergarap maksimal.

Hal ini ditegaskan oleh Dodik Samsu Hidayat, Mantan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan DJP, saat menjadi panelis dalam diskusi panel Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) bertajuk “Tepatkah Menargetkan Shadow Economy sebagai Cara Meningkatkan Penerimaan Pajak?” di Kantor Pusat IKPI, Jakarta Selatan, Jumat (26/9/2025). Acara tersebut dihadiri ratusan peserta baik secara luring maupun daring.

“Shadow economy itu bukan sesuatu yang kecil. Data terakhir menyebutkan nilainya sekitar 8,7 persen dari PDB. Kalau ini bisa digarap, penerimaan pajak bisa melonjak jauh lebih tinggi dari capaian saat ini yang baru 54 persen dari target,” kata Dodik.

Ia menyebutkan bahwa rendahnya kepercayaan publik menjadi salah satu penyebab maraknya aktivitas ekonomi di luar sistem. Banyak pelaku usaha memilih tidak mendaftar atau melaporkan pajak karena merasa terbebani sekaligus tidak percaya uang pajak dipakai untuk kepentingan rakyat.

Meski demikian, Dodik optimistis DJP kini berada di jalur yang tepat. Penerapan pajak digital, regulasi atas kripto, dan kerja sama lintas lembaga seperti dengan BPN, Samsat, hingga Dukcapil lewat pemadanan NIK–NPWP dinilainya akan semakin mempersempit ruang bagi shadow economy.

“Kalau semua data ini bisa diintegrasikan, DJP bisa mengawasi hampir setiap aktivitas ekonomi. Mulai dari izin usaha, properti, kendaraan bermotor, hingga transaksi digital. Itu artinya peluang shadow economy untuk bersembunyi semakin kecil,” jelasnya.

Namun Dodik mengingatkan, tantangan terbesar justru ada pada kualitas sumber daya manusia. “Data besar tanpa kemampuan analisis tidak akan berguna. DJP harus memperkuat kapasitas pemeriksa pajak, memanfaatkan AI, dan menyiapkan sistem komputer yang mumpuni untuk mengolah data. Kalau itu terpenuhi, shadow economy bisa jadi booster penerimaan pajak,” tegasnya.

Ia meyakini bahwa keberanian menargetkan ekonomi bayangan akan menentukan masa depan perpajakan Indonesia. “Kalau hanya pakai cara biasa, hasilnya pasti biasa. Tapi kalau kita berani melangkah lebih jauh, shadow economy bisa jadi jalan keluar dari stagnasi penerimaan,” kata Dodik. (bl)

 

Investasi atau Tarif Tinggi? Jepang–Korsel Didesak Trump Bayar Rp15.003 Triliun

IKPI, Jakarta: Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali menggunakan kebijakan tarif impor sebagai senjata tekanan ekonomi. Washington meminta Jepang dan Korea Selatan menyetor investasi jumbo senilai total US$900 miliar atau sekitar Rp15.003 triliun (kurs Rp16.670/US$).

Rinciannya, Korea Selatan diminta menggelontorkan US$350 miliar, sementara Jepang US$550 miliar. Dana itu dijadikan syarat agar produk kedua negara bisa menikmati keringanan tarif impor di pasar AS, dari 25% menjadi 15%. Jika tidak, tarif tinggi tetap berlaku.

Korea Selatan Menolak

Seoul menilai permintaan tersebut mustahil dipenuhi. Penasihat Keamanan Nasional Wi Sung-lac menegaskan, pembayaran tunai sebesar US$350 miliar “secara objektif tidak realistis” dan bukan sekadar strategi negosiasi.

Perdana Menteri Kim Min-seok sebelumnya juga memperingatkan, tanpa adanya skema currency swapdengan Washington, investasi sebesar itu bisa menggerus cadangan devisa Korea Selatan hingga level berbahaya.

Jepang Hitung Ulang

Di sisi lain, Jepang menghadapi kewajiban menyiapkan US$550 miliar dalam 45 hari setelah Trump menunjuk proyek yang akan dibiayai. Dana tersebut harus berbentuk dolar AS dan ditempatkan di rekening khusus Washington.

Namun, Kepala Negosiator Perdagangan Jepang, Ryosei Akazawa, menegaskan lembaga pembiayaan seperti JBIC dan NEXI tidak akan menyalurkan dana ke proyek yang merugikan kepentingan nasional. Ia memperkirakan hanya 1–2% yang bisa berbentuk investasi langsung, sementara sisanya berupa pinjaman atau jaminan kredit.

Sanae Takaichi, kandidat kuat pemimpin Partai Demokrat Liberal (LDP), bahkan menyuarakan kemungkinan renegosiasi. “Kita harus berdiri teguh bila ada ketentuan yang tidak adil bagi Jepang,” tegasnya, dikutip Senin (29/9/2025).

Skema Trump menunjukkan bagaimana pajak perdagangan melalui tarif impor dijadikan alat tawar politik. Keringanan bea masuk hanya diberikan bila Jepang dan Korea Selatan bersedia menyetor dana investasi dalam jumlah raksasa.

Bagi kedua negara, ini berarti pilihan sulit: membayar dengan risiko beban fiskal yang sangat berat, atau menanggung tarif impor tinggi yang bisa melemahkan daya saing ekspor mereka di pasar AS.

Korea Selatan berharap ada jalan tengah saat KTT APEC di Gyeongju bulan depan. Sementara Jepang masih menunggu hasil pemilihan pemimpin baru LDP pada 4 Oktober, yang akan menentukan arah negosiasi berikutnya.

Siapa pun pemimpin baru Jepang, tugas pertamanya jelas: menentukan apakah Tokyo akan mengikuti skema Trump atau melawan tekanan pajak perdagangan terbesar dalam sejarah hubungan bilateral kedua negara. (alf)

Pajak E-Commerce Ditunda, UMKM Digital Dapat Kesempatan Bernapas Lega

IKPI, JAKARTA: Kabar gembira datang bagi para pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) digital. Pemerintah melalui Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa resmi menunda penerapan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi e-commerce. Keputusan ini disambut positif oleh Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) yang menilai langkah tersebut membuka ruang adaptasi lebih luas bagi pelaku usaha.

“Penundaan ini menunjukkan pemerintah benar-benar mendengar masukan dari dunia usaha. Kebijakan pajak harus berjalan efektif tanpa menimbulkan beban berlebih, apalagi bagi pelaku yang masih berproses untuk tumbuh,” kata Sekretaris Jenderal idEA, Budi Primawan, dalam keterangan tertulis, Minggu (28/9/2025).

Menurut Budi, keputusan ini menjadi angin segar bagi ekosistem UMKM digital. Terlebih, pemerintah juga sedang menggulirkan stimulus besar melalui penempatan dana Rp200 triliun di bank-bank Himbara untuk mendorong konsumsi masyarakat. Sinergi keduanya diharapkan mampu menggerakkan ekonomi sekaligus menjaga penerimaan negara.

“Dengan adanya penundaan pajak dan tambahan likuiditas dari pemerintah, UMKM punya kesempatan bernapas lega. Momentum ini penting untuk menjaga daya beli masyarakat sekaligus memberi waktu bagi pelaku usaha digital agar lebih siap,” jelasnya.

Budi juga menekankan, proses penyusunan kebijakan ke depan tetap harus melibatkan dialog terbuka antara pemerintah dan pelaku industri. Hal ini diperlukan agar desain kebijakan pajak yang lahir bisa lebih proporsional, berkeadilan, dan tidak menghambat pertumbuhan ekonomi digital.

“UMKM digital adalah tulang punggung ekonomi digital Indonesia. Kebijakan yang tepat akan menjadi kunci agar mereka terus berkembang dan mampu bersaing,” pungkasnya. (alf)

Manfaatkan Segera! Pemutihan Pajak Kendaraan di Jabar Hanya Sampai 30 September

IKPI, Jakarta: Program pemutihan pajak kendaraan bermotor (PKB) yang digelar Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan segera berakhir pada 30 September 2025. Warga yang masih memiliki tunggakan pajak kendaraan diimbau tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, karena setelah tanggal tersebut denda akan kembali diberlakukan.

Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jawa Barat, Asep Supriatna, mengatakan program ini bertujuan membantu masyarakat agar bisa taat administrasi tanpa terbebani denda.

“Pemilik kendaraan hanya membayar pajak tahun berjalan, sementara denda tahun-tahun sebelumnya dihapuskan sesuai kebijakan Pak Gubernur Dedi Mulyadi,” jelas Asep dalam keterangannya dikutip, Senin (29/9/2025).

Program ini menawarkan tiga keringanan utama, yaitu:

• Penghapusan denda pajak kendaraan bermotor.

• Diskon pokok tunggakan pajak.

• Pembebasan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) II.

Untuk memanfaatkan program ini, wajib pajak cukup membawa dokumen penting seperti STNK, BPKB, dan KTP asli beserta fotokopi ke Samsat Induk sesuai domisili. Jika diwakilkan, diperlukan surat kuasa. Wajib pajak juga perlu menyiapkan dana untuk melunasi pokok pajak tahun 2025.

Besaran pajak dapat dicek secara online di laman resmi Bapenda Jabar: https://bapenda.jabarprov.go.id/infopkb. Sementara itu, untuk pembayaran pajak lima tahunan, kendaraan wajib dibawa ke Samsat Induk guna cek fisik.

Asep menegaskan, masyarakat jangan menunggu hingga batas akhir. “Kalau sudah lewat 30 September, denda kembali berlaku. Jadi manfaatkan sekarang sebelum terlambat,” pungkasnya. (alf)

en_US