PKN STAN Gelar Pelatihan Pemeriksa Pajak Daerah

IKPI, Jakarta: Politeknik Keuangan Negara (PKN) STAN kembali menunjukkan komitmennya dalam mendukung penguatan kapasitas fiskal daerah dengan menggelar Pelatihan Pemeriksa Pajak Daerah Batch 1 dan Batch 2. Kegiatan ini berlangsung serentak pada 19 hingga 23 Mei 2025 di Gedung Nusantara Lantai 1 Kampus PKN STAN.

Sebanyak 42 peserta dari berbagai kabupaten dan kota di seluruh Indonesia ambil bagian dalam pelatihan ini, dengan 20 peserta di kelas batch 1 dan 22 peserta di batch 2. Selama lima hari, mereka mendapatkan fasilitas lengkap mulai dari konsumsi harian, bahan ajar digital, hingga sertifikat pelatihan.

Dalam sesi pembukaan, hadir Kepala Unit Pengembangan Layanan dan Bisnis, Bravasta Ananta Hartandi, serta Manajer Investasi Layanan Bisnis, M Fath Kathin.

Dalam sambutannya, Bravasta menyampaikan bahwa pelatihan yang diselenggarakan PKN STAN memiliki keunggulan yang membedakannya dari pelatihan serupa. “Durasi pelatihan kami lebih panjang, mulai pukul 08.00 hingga 17.00 atau lebih, namun tetap kami jaga agar suasana belajar tetap nyaman,” ujarnya dikutip, Selasa (20/5/2025).

Ia juga menekankan bahwa sebagai institusi vokasi, PKN STAN menitikberatkan pada metode pembelajaran berbasis praktik. Peserta diajak untuk melakukan roleplay dan memecahkan kasus nyata yang dihadapi di daerah masing-masing, dengan pendampingan langsung dari dosen berpengalaman.

Tak hanya fokus pada peningkatan keterampilan teknis, pelatihan ini juga menjadi ajang pertukaran pengalaman antar pemerintah daerah. Peserta didorong untuk berdiskusi dan mencari solusi atas persoalan nyata di lapangan.

PKN STAN membuka peluang kerja sama lebih lanjut bagi instansi daerah dalam bentuk pelatihan lanjutan, kajian, atau asistensi penyusunan regulasi. Bagi yang berminat menjalin kolaborasi, dapat menghubungi Manajer Informasi Layanan Bisnis, Satria Adhitama, melalui email: layananbisnis@pknstan.ac.id.

Dengan kegiatan ini, PKN STAN menegaskan peran strategisnya dalam memperkuat SDM keuangan daerah yang profesional, adaptif, dan responsif terhadap tantangan fiskal di lapangan. (alf)

 

 

IKPI Jakarta Utara Tekankan Pentingnya Adaptasi Konsultan Pajak terhadap PMK 15/2025 dan Coretax

IKPI, Jakarta: Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Utara, Franky Foreson, mengajak seluruh konsultan pajak untuk terus meningkatkan kompetensi dan kepekaan terhadap dinamika regulasi perpajakan dalam sambutannya pada acara Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL) yang digelar di El-Hotel, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa (20/5/2025).

Mengangkat tema “Konsultan Pajak Kudu Paham Neh: PMK 15/2025 & Update Aturan Coretax”, kegiatan ini dihadiri oleh 90 peserta yang terdiri dari anggota IKPI se-Jabodetabek dan peserta umum.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Dalam sambutannya, Franky menegaskan bahwa konsultan pajak saat ini dihadapkan pada tantangan besar, tidak hanya dalam memahami aturan teknis seperti PMK 15/2025, tetapi juga dalam beradaptasi dengan sistem digitalisasi pajak yang terus berkembang, salah satunya melalui platform Coretax.

“Kita tidak bisa lagi bekerja dengan pendekatan lama. Dunia perpajakan sudah sangat dinamis. PMK 15/2025 menjadi penanda penting perubahan paradigma, dan Coretax adalah masa depan. Konsultan pajak wajib siap dan paham,” ujar Franky.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Acara ini juga menjadi momen mempererat solidaritas antaranggota IKPI, di samping memperkaya wawasan teknis. Panitia menekankan pentingnya peran konsultan pajak dalam memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat melalui pelayanan profesional yang akuntabel dan berbasis regulasi terkini.

Dengan antusiasme peserta dan relevansi tema, PPL kali ini menjadi bukti nyata komitmen IKPI dalam mencetak konsultan pajak yang adaptif, kompeten, dan siap menjawab tantangan zaman.

(Foto: Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

(bl)

Penjualan Mobil Menurun, Industri Otomotif Desak Evaluasi Pajak dan Insentif Baru

IKPI, Jakarta: Industri otomotif nasional menghadapi tantangan berat untuk kembali menembus angka penjualan 1 juta unit mobil per tahun. Setelah sempat bangkit usai pandemi, tren penjualan kembali menurun, mendorong pelaku industri mendesak pemerintah agar meninjau ulang kebijakan insentif dan perpajakan kendaraan bermotor.

Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Kukuh Kumara, menyatakan insentif terbukti menjadi penyelamat industri saat terjadi krisis. Ia mengingatkan bagaimana pada masa pandemi COVID-19, insentif pemerintah berhasil mendongkrak penjualan dari 532.000 unit pada 2020 menjadi lebih dari 1 juta unit pada 2022 dan 2023. Namun, tren itu tak bertahan lama. Penjualan kembali turun ke 865.000 unit pada 2024 dan diperkirakan hanya mencapai 850.000 unit pada 2025.

“Insentif jangka pendek memang sangat membantu, tapi daya beli masyarakat dan kondisi ekonomi tetap menjadi penentu utama,” ujar Kukuh dalam diskusi Forum Wartawan Industri, Senin (19/5/2025).

Ia juga menyoroti ketimpangan regulasi perpajakan Indonesia dibanding negara tetangga. Menurut Kukuh, pajak kendaraan di Indonesia tergolong paling tinggi di kawasan, bahkan mencapai 50% dari harga kendaraan. Hal ini membuat harga mobil melonjak tajam dari harga pabrik ke konsumen.

Sebagai perbandingan, ia menyebut di Malaysia, pajak kendaraan seperti PKB dan BBN hanya sekitar Rp 1 juta untuk mobil sekelas Avanza, jauh di bawah Indonesia yang bisa mencapai Rp 6 juta. Malaysia, lanjutnya, masih mempertahankan insentif era pandemi, membuat pasar domestik mereka mampu menjual lebih dari 816 ribu unit mobil tahun lalu, meski jumlah penduduknya jauh lebih sedikit.

Senada dengan Kukuh, Peneliti LPEM FEB UI Riyanto menyatakan industri otomotif nasional telah mengalami stagnasi sejak 2013 dan kini cenderung menurun. Penjualan periode Januari-April 2025 tercatat hanya 256.368 unit, turun hampir 3% dibanding tahun lalu. Bila tren ini berlanjut, total penjualan mobil tahun ini diproyeksikan hanya sekitar 769 ribu unit penurunan lebih dari 11% dari tahun sebelumnya.

“Secara teknikal, industri otomotif kita ini sedang resesi,” ujar Riyanto.

Ia memperingatkan bahwa struktur pajak kendaraan yang terlalu tinggi menjadi beban berat, di mana sekitar 42% dari harga mobil adalah pajak. “Jika harga mobil Rp 300 juta, maka sekitar Rp 126 juta adalah pajak. Ini tidak sehat dalam jangka panjang,” tambahnya.

Riyanto menekankan pentingnya keseimbangan baru dalam kebijakan pajak dan insentif. Ia menyebutkan simulasi yang menunjukkan bahwa insentif PPnBM 0% dapat berkontribusi hingga 0,793% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

Dari sisi pemerintah, Mahardi Tunggul Wicaksono, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian, menyampaikan bahwa pemerintah terbuka untuk mengevaluasi berbagai masukan dari pelaku industri. Baik insentif fiskal maupun non-fiskal akan dipertimbangkan, dengan tetap memperhitungkan kondisi keuangan negara.

“Kami juga tidak akan hanya fokus pada satu teknologi saja. Pemerintah sedang mengkaji pemberian insentif bagi semua jenis kendaraan, termasuk mobil berbahan bakar hidrogen,” ungkap Mahardi.

Indonesia saat ini memiliki 32 produsen mobil dan 73 produsen motor, dengan kapasitas produksi tahunan mencapai 2,35 juta unit mobil dan 10,72 juta unit motor. Total investasi sektor ini mencapai Rp 174,31 triliun. Dengan potensi sebesar itu, pelaku industri berharap pemerintah dapat segera merespons dengan kebijakan yang pro-pertumbuhan. (alf)

 

PMK 81/2025 Ubah Cara Hitung Pajak BUMN dan BUMD

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 melakukan reformulasi penghitungan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Ketentuan yang tertuang dalam Pasal 229 PMK tersebut bertujuan mendorong transparansi dan akurasi pembayaran pajak sepanjang tahun berjalan.

Dalam pasal tersebut, penghitungan angsuran PPh 25 bagi BUMN dan BUMD selain yang berstatus bank, perusahaan terbuka, atau Wajib Pajak tertentu lainnya tidak lagi mengacu hanya pada perhitungan tahun sebelumnya. Kini, dasar penghitungan menggunakan proyeksi penghasilan neto fiskal berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham.

Besarnya angsuran dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 Undang-Undang PPh terhadap penghasilan neto fiskal tersebut, lalu dikurangi dengan pajak-pajak yang telah dipotong atau dipungut di dalam maupun luar negeri, dan dibagi 12 bulan.

Kementerian Keuangan mewajibkan RKAP disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar sebelum batas waktu pembayaran angsuran PPh 25 Masa Pajak pertama. Jika batas waktu terlewati, penghitungan angsuran tidak dapat mengacu pada RKAP.

Langkah ini diyakini akan mengurangi potensi overpayment atau underpayment pajak, serta mendorong perencanaan keuangan korporasi negara yang lebih disiplin dan terukur.

Kebijakan baru ini menjadi salah satu strategi besar reformasi perpajakan nasional yang tengah digalakkan hingga 2027. (alf)

 

DJP Permudah Respons SP2DK Lewat Coretax

IKPI, Jakarta: Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam memodernisasi layanan perpajakan. Salah satunya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kini menyempurnakan sistem Coretax dengan fitur baru yang memungkinkan Wajib Pajak merespons Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) secara digital.

Fitur ini disampaikan DJP melalui akun resmi X @kring_pajak sebagai respons atas pertanyaan seorang warganet yang menanyakan apakah pengajuan perpanjangan waktu menjawab SP2DK kini bisa dilakukan langsung melalui Coretax atau tetap harus manual ke kantor pajak.

“Min, untuk permohonan perpanjangan waktu menjawab SP2DK saat ini dari Coretax atau pengajuan manual ke KPP, ya?” tulis akun tersebut, dikutip Senin (19/5/2025).

Menjawab itu, DJP memaparkan tahapan menanggapi SP2DK via Coretax. Wajib Pajak cukup masuk ke menu “My Portal – My Cases”, memilih kasus yang ingin direspons, mengisi data yang diminta di menu “Routing”, dan melampirkan dokumen pendukung. Jika status sudah berubah menjadi “The Case Closed”, artinya respons telah diterima dan diproses.

Meski sistem makin canggih, DJP mengingatkan bahwa waktu merespons SP2DK tetap terbatas, yakni 14 hari sejak dikirimkan. Namun jika dibutuhkan, wajib pajak bisa mengajukan permohonan perpanjangan waktu ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdaftar. “Ketentuannya tidak diatur secara khusus, jadi silakan konfirmasi ke KPP masing-masing,” jelas DJP.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Dwi Astuti, juga menegaskan bahwa SP2DK bukanlah sanksi, melainkan bagian dari proses pengawasan rutin. Dokumen ini diterbitkan jika ada dugaan ketidaksesuaian data perpajakan berdasarkan analisis material yang dilakukan petugas pajak.

“SP2DK diterbitkan untuk klarifikasi, bukan untuk menghukum. Ini hasil dari penelitian yang mendalam sesuai dengan SE-05/PJ/2022,” ujar Dwi. (alf)

 

 

 

MK Kembali Gelar Sidang Uji Materi Pajak LPG 3 Kg, Pemerintah Tegaskan Dasar Hukum Pemajakan

 

IKPI, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan perkara Nomor 188/PUU-XXII/2024 terkait uji materi dua undang-undang perpajakan: Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM. Permohonan ini diajukan oleh dua badan usaha, PT Gemilang Prima Semesta dan CV Belilas Permai, yang mempersoalkan kejelasan dasar pemungutan pajak atas penyerahan LPG bersubsidi tabung 3 kilogram.

Sidang yang digelar di Ruang Sidang MK pada Senin (19/5/2025) itu dipimpin langsung oleh Ketua MK Suhartoyo bersama delapan Hakim Konstitusi lainnya. Dalam persidangan, Pemerintah melalui keterangan Direktur Jenderal Pajak, Yon Arsal, menegaskan bahwa pemajakan atas penyerahan LPG 3 kg telah sesuai dengan prinsip legalitas dalam perpajakan dan tidak bertentangan dengan konstitusi.

“LPG 3 kg adalah barang kebutuhan strategis yang telah disubsidi oleh pemerintah. Namun, keuntungan yang diperoleh agen atau penyalur atas penjualannya tetap merupakan objek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh,” ujar Yon Arsal, dikutip dari website resmi MK.

Ia menjelaskan bahwa pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak mengacu pada kebijakan lokal seperti Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan oleh pemerintah daerah, melainkan berdasarkan nilai ekonomi sesungguhnya dari transaksi yang terjadi. Menurutnya, dasar pengenaan pajak dalam kasus ini adalah harga jual — termasuk seluruh biaya yang dibebankan kepada konsumen, kecuali PPN itu sendiri dan potongan harga.

Perbedaan Penafsiran Jadi Sorotan

Dalam gugatannya, para Pemohon menilai bahwa ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan UU PPN menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak secara eksplisit mencantumkan bahwa objek pajak harus ditentukan berdasarkan perundang-undangan. Akibatnya, pungutan pajak atas biaya transportasi yang diatur dalam peraturan daerah dianggap merugikan, terutama bagi agen LPG 3 kg yang dibebani pajak atas biaya yang bukan merupakan keuntungan langsung mereka.

“Jika frasa tersebut tidak dipertegas, maka penafsiran bisa menjadi terlalu luas dan membuka ruang penyimpangan terhadap prinsip legalitas perpajakan,” tulis para Pemohon dalam petitumnya.

Namun Pemerintah berpendapat bahwa menambahkan frasa “berdasarkan perundang-undangan perpajakan” dalam pasal-pasal tersebut justru akan menimbulkan implikasi hukum yang kompleks. “Hal itu bisa memperluas atau bahkan mempersempit cakupan objek pajak, serta mengubah penafsiran sebelum dan sesudah putusan,” tegas Yon Arsal.

Tarik Ulur antara Keadilan dan Kepastian Hukum

Perkara ini mencerminkan tarik-ulur antara perlindungan hak konstitusional wajib pajak dengan kebutuhan negara untuk menjaga basis pajaknya. LPG 3 kg sebagai komoditas bersubsidi memang mendapat perlakuan khusus dalam hal distribusi dan harga, namun keuntungan dari aktivitas komersialnya tetap dinilai sebagai tambahan kemampuan ekonomis yang sah dikenai pajak.

Pemerintah mengingatkan bahwa prinsip utama perpajakan bukan semata-mata pada sumber biaya, tetapi pada nilai ekonomi yang diterima pelaku usaha. Maka, sekalipun biaya transportasi ditentukan oleh kepala daerah, ketika biaya itu dimasukkan dalam harga jual kepada konsumen, maka secara hukum menjadi bagian dari dasar pengenaan pajak.

Mahkamah Konstitusi belum memutuskan perkara ini. Sidang-sidang lanjutan masih akan digelar untuk mendalami argumen kedua belah pihak. Putusan MK nantinya diperkirakan akan menjadi penentu penting dalam memberikan kejelasan hukum atas pemajakan barang bersubsidi yang distribusinya melibatkan banyak pihak, mulai dari pusat hingga daerah. (alf)

Desakan Kenaikan PTKP Meningkat, Pemerintah Diminta Respons Cepat untuk Jaga Daya Beli Rakyat

IKPI, Jakarta: Usulan untuk menaikkan ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp 4,5 juta menjadi Rp 10 juta per bulan kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, dorongan datang tidak hanya dari kalangan buruh, tetapi juga pengusaha dan analis kebijakan fiskal. Mereka menilai kebijakan ini menjadi krusial di tengah perlambatan ekonomi dan meningkatnya tekanan biaya hidup.

Peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Badiul Hadi, menyebut bahwa revisi PTKP mendesak untuk segera dilakukan. Menurutnya, PTKP yang tidak berubah sejak 2016 sudah tidak lagi mencerminkan realitas ekonomi masyarakat saat ini.

“Daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, semakin tergerus. Rp 4,5 juta hari ini tidak lagi memiliki nilai yang sama seperti delapan tahun lalu,” ujar Badiul, Minggu (18/5/2025).

Badiul mengingatkan bahwa kelas menengah merupakan tulang punggung perekonomian nasional, baik sebagai tenaga kerja produktif maupun konsumen utama sektor barang dan jasa. Jika penghasilan mereka terus tergerus pajak tanpa penyesuaian yang adil, dampaknya bisa meluas ke berbagai sektor.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia menyusut drastis dalam lima tahun terakhir. Dari 57,33 juta orang pada 2019, turun menjadi hanya 47,85 juta pada 2024. Penurunan ini menjadi sinyal serius bahwa daya beli dan kualitas hidup masyarakat mengalami penurunan.

Ia menyarankan agar pemerintah tidak harus langsung menaikkan PTKP ke Rp 10 juta, namun bisa dilakukan secara bertahap—misalnya ke Rp 5 juta atau Rp 7 juta terlebih dahulu—sembari mengkaji dampak fiskalnya.

Namun ia menekankan, revisi PTKP tidak boleh menjadi langkah tunggal. “Kenaikan ini harus diiringi dengan reformasi perpajakan yang menyeluruh, termasuk memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan dari kelompok atas dan korporasi, serta menata ulang insentif perpajakan agar lebih tepat sasaran,” paparnya.

Meskipun usulan ini dinilai mendesak, pemerintah tampak masih berhati-hati. Salah satu kekhawatiran adalah potensi berkurangnya penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi, yang selama ini menjadi sumber utama pendanaan berbagai program prioritas pemerintah.

“Pemerintah mungkin masih mengandalkan penerimaan PPh untuk menopang belanja subsidi dan pembangunan infrastruktur. Itu sebabnya mereka belum memberikan sinyal jelas terhadap usulan ini,” kata Badiul.

Ia menegaskan bahwa kebijakan fiskal harus diarahkan tidak hanya untuk menjaga pendapatan negara, tetapi juga menjaga stabilitas ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, penyesuaian PTKP harus disinergikan dengan kebijakan lain, seperti perlindungan sosial dan dukungan bagi sektor produktif.

“Langkah ini bukan semata keringanan pajak, tetapi bagian dari strategi untuk menstimulasi konsumsi dan memperkuat fondasi ekonomi domestik,” katanya. (alf)

 

Tak Ada APBN-P 2025, DPR dan Pemerintah Sepakat Gunakan Fleksibilitas Anggaran

IKPI, Jakarta: Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menegaskan bahwa pemerintah dan DPR telah mencapai kesepakatan bulat untuk tidak melakukan revisi terhadap postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Meski realisasi penerimaan pajak menunjukkan tanda-tanda kontraksi di awal tahun, perubahan postur anggaran dinilai belum diperlukan.

“Kita sudah memutuskan tidak ada APBN-P,” kata Misbakhun saat memberi keterangan kepada media di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (19/5/2025).

Menurutnya, fleksibilitas tetap terjaga berkat kewenangan yang dimiliki Presiden dalam menyesuaikan alokasi anggaran. Hal ini telah diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2024 tentang APBN 2025, yang memberikan ruang bagi kepala pemerintahan untuk mengatur ulang anggaran sesuai kebutuhan kementerian dan struktur kabinet baru.

“Presiden memiliki kewenangan untuk melakukan penyesuaian anggaran sesuai dengan kebutuhan kementerian dan lembaga, sejalan dengan struktur pemerintahan yang telah dibentuk,” jelasnya.

Misbakhun juga menilai bahwa tren penerimaan negara yang melambat di awal tahun bukanlah hal yang luar biasa. Ia menekankan bahwa pemerintah telah menyiapkan berbagai strategi untuk mengejar target penerimaan, terutama dari sektor perpajakan.

“Pemerintah punya instrumen dan langkah-langkah untuk memperkuat kinerja penerimaan negara. Ini hanya soal waktu dan strategi yang tepat,” ujar politisi dari Partai Golkar itu. (alf)

 

Pemerintah Siapkan Pungutan Ekspor Kelapa Bulat

IKPI, Jakarta: Pemerintah bersiap menerapkan kebijakan pungutan ekspor terhadap kelapa bulat, menyusul keluhan terkait kelangkaan pasokan di dalam negeri akibat meningkatnya ekspor komoditas tersebut. Kebijakan ini diharapkan tak hanya menjaga ketersediaan kelapa di pasar lokal, tetapi juga memperkuat instrumen fiskal negara melalui pengenaan beban ekspor.

Menteri Perdagangan Budi Santoso mengungkapkan, tingginya volume ekspor kelapa bulat telah menyebabkan pasokan dalam negeri menipis dan berdampak pada lonjakan harga. Untuk itu, pemerintah akan memberlakukan pungutan ekspor guna mengendalikan arus keluar komoditas ini.

“Sekarang banyak keluhan karena kelapa terlalu banyak diekspor, padahal kebutuhan dalam negeri meningkat. Kita sudah bicara dengan pelaku industri dan memutuskan akan memakai instrumen pungutan ekspor,” kata Budi usai acara Harkornas 5K di TMII, Jakarta Timur, Minggu (18/5/2025).

Meskipun bukan termasuk pajak dalam arti umum, pungutan ekspor ini merupakan bagian dari kebijakan fiskal pemerintah. Selain berfungsi sebagai alat pengendalian (regulatif), kebijakan ini juga memberikan tambahan pemasukan bagi kas negara dari sektor ekspor pertanian yang selama ini dinilai masih kurang tergarap.

“Dengan diberlakukannya pungutan ini, ekspor kelapa akan berkurang secara alami. Pasokan dalam negeri akan kembali seimbang, harga bisa stabil, dan negara pun mendapat manfaat fiskal dari pungutan tersebut,” ujar Budi.

Rencana ini telah mendapatkan dukungan dari kementerian dan lembaga terkait, dan saat ini sedang difinalisasi dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang akan menjadi dasar hukum pelaksanaannya.

“Semua pihak sudah sepakat. Tinggal tunggu PMK dari Kementerian Keuangan. Mudah-mudahan segera keluar, karena urgensinya sudah sangat jelas,” tambahnya.

Langkah ini menunjukkan bagaimana pemerintah mencoba menyeimbangkan antara dorongan ekspor dan kebutuhan dalam negeri, sekaligus menjadikan sektor pertanian sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang lebih berkelanjutan.(alf)

 

Legalisasi Kasino: Antara Devisa dan Pajak, Pemerintah Diminta Belajar dari UEA dan Malaysia

IKPI, Jakarta: Wacana legalisasi kasino kembali mencuat ke permukaan, kali ini disuarakan oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. Ia menilai, pemerintah Indonesia perlu melakukan kajian serius terhadap kemungkinan membuka kasino di kawasan ekonomi khusus, dengan merujuk pada pengalaman negara-negara mayoritas Muslim seperti Uni Emirat Arab (UEA) dan Malaysia.

Menurut Hikmahanto, pemerintah harus membuka mata terhadap realitas perputaran uang dalam aktivitas perjudian, terutama judi online yang marak dilakukan secara ilegal. Temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan bahwa aliran dana judi online sangat besar, terutama di negara-negara seperti Kamboja dan Myanmar yang telah melegalkan kasino secara terbuka.

“Ada tiga hal penting yang perlu diasesmen pemerintah. Pertama, soal besarnya perputaran uang judi online di luar negeri. Kedua, soal realita bahwa masyarakat kita masih belum bisa melepaskan diri dari praktik judi, meskipun secara normatif dilarang. Dan ketiga, soal penegakan hukum, yang hingga kini lemah karena lokasinya berada di luar yurisdiksi kita,” ujar Hikmahanto, Sabtu (17/5/2025).

Ia menekankan bahwa legalisasi kasino bukan berarti melegalkan perjudian secara bebas. Pemerintah, lanjutnya, bisa mengadopsi pendekatan seperti Malaysia atau Singapura yang hanya membuka kasino di kawasan tertentu dengan pengawasan ketat. “Di Singapura, warga negaranya sendiri harus memenuhi syarat tertentu untuk masuk ke kasino. Pendekatan ini bisa menjadi model yang relevan bagi Indonesia,” jelasnya.

Dari sisi fiskal, pembukaan kasino di kawasan ekonomi khusus dapat menjadi sumber pemasukan baru melalui pungutan pajak dan retribusi. Hikmahanto mengusulkan agar dana yang diperoleh diarahkan untuk program-program pembangunan, namun tidak menyentuh sektor-sektor sensitif yang berkaitan dengan agama atau moralitas.

“Jika negara bisa mengatur dan menarik pajak dari aktivitas ini, mengapa tidak dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat? Apalagi selama ini judi ilegal justru merajalela dan tidak menyumbang apa pun ke kas negara,” tambahnya.

Ia juga mengingatkan bahwa Indonesia pernah memiliki sejarah toleransi terhadap perjudian terbatas, seperti melalui program Porkas dan SDSB pada era Gubernur Ali Sadikin. Saat itu, pemasukan dari aktivitas tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan fasilitas umum.

Hikmahanto menekankan pentingnya keberanian politik pemerintah untuk bersikap realistis dan solutif. “Uni Emirat Arab saja yang melarang judi bisa membuka kasino dalam kawasan khusus. Indonesia seharusnya juga bisa membuat kebijakan yang rasional, tanpa mengabaikan nilai-nilai dasar bangsa. Yang penting, ilegalitas harus diberantas dan pajaknya dimanfaatkan sebaik mungkin,” tegasnya.

Dengan potensi devisa dan penerimaan pajak yang signifikan, legalisasi kasino di wilayah terbatas bisa menjadi solusi pragmatis, asalkan dilengkapi dengan pengawasan ketat, aturan yang jelas, serta perlindungan terhadap masyarakat dari dampak negatif perjudian. (alf)

 

 

en_US