Catat! Punya NPWP Belum Tentu Harus Bayar Pajak, Ini Penjelasan DJP

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) tidak serta-merta menjadikan seseorang wajib membayar pajak. Kepemilikan NPWP hanyalah langkah awal dalam sistem administrasi perpajakan, dan kewajiban membayar pajak baru muncul apabila seseorang memiliki penghasilan di atas batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

“Memiliki NPWP bukan berarti kamu langsung wajib bayar pajak. Ibarat lomba maraton—punya nomor dada belum berarti sudah mulai lari. Kalau penghasilanmu masih di bawah PTKP, kamu belum wajib bayar pajak,” tulis DJP melalui akun Instagram resminya @ditjenpajakri, Jumat (26/7/2025).

Apa Itu PTKP?

PTKP adalah ambang batas penghasilan seseorang yang tidak dikenai pajak. Ketentuan ini ditujukan untuk melindungi kelompok berpenghasilan rendah dari beban perpajakan. Selama penghasilan belum melampaui batas PTKP, maka tidak ada Pajak Penghasilan (PPh) yang dikenakan.

Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 101/PMK.010/2016, berikut besaran PTKP saat ini:

• Wajib Pajak orang pribadi: Rp54.000.000 per tahun

• Tambahan untuk status kawin: Rp4.500.000

• Tambahan untuk istri yang penghasilannya digabung: Rp54.000.000

• Tambahan untuk tanggungan (maksimal 3 orang): Rp4.500.000 per orang

Contohnya, seorang Wajib Pajak lajang dengan penghasilan di bawah Rp4,5 juta per bulan tidak termasuk dalam kelompok yang wajib membayar pajak.

Lapor SPT Tetap Perlu

Meski tidak dikenai PPh, DJP tetap mengimbau Wajib Pajak di bawah PTKP untuk tetap melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan sebagai bentuk kepatuhan.

“Karena kepatuhan dimulai dari langkah kecil. Pajak tumbuh, Indonesia tangguh,” sambung DJP.

Namun, jika seseorang tidak memiliki penghasilan atau terus berada di bawah PTKP, maka NPWP bisa dinonaktifkan (non-efektif). Pengajuan status non-efektif bisa dilakukan dengan mudah melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP), layanan Kring Pajak 1500200, atau Live Chat di pajak.go.id.

Penghasilan Di Atas PTKP? Ini Tarif PPh-nya

Jika penghasilan Anda sudah melebihi PTKP, maka Anda wajib membayar PPh sesuai tarif progresif yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021:

• Sampai Rp60 juta: 5%

• Di atas Rp60 juta–Rp250 juta: 15%

• Di atas Rp250 juta–Rp500 juta: 25%

• Di atas Rp500 juta–Rp5 miliar: 30%

• Di atas Rp5 miliar: 35%

Dengan penjelasan ini, DJP berharap masyarakat semakin memahami bahwa memiliki NPWP bukanlah beban, melainkan bagian dari tertib administrasi dan kesiapan dalam berkontribusi untuk negara ketika memang sudah memenuhi syarat.

Jadi, jangan takut punya NPWP. Tapi pahami dulu hak dan kewajibanmu, ya! (alf)

 

 

Jepang Kaji Solusi Pajak Penduduk Asing yang Mangkrak, Ribuan WNA Tinggalkan Tunggakan

IKPI, Jakarta: Pemerintah Jepang tengah menyusun langkah strategis untuk menangani tunggakan pajak penduduk dari warga negara asing yang meninggalkan negara tersebut tanpa membayar kewajibannya. Dikutip dari Antara, Jumat (27/6/2025), Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi Jepang akan melakukan survei terhadap pemerintah kota guna mengumpulkan data rinci tentang persoalan tersebut.

Masalah ini mencuat karena sistem pemungutan pajak penduduk di Jepang memiliki jeda waktu pembayaran yang cukup panjang. Pajak dikenakan kepada semua penduduk termasuk warga asing yang tinggal di Jepang per 1 Januari, namun pembayarannya baru dimulai pada bulan Juni tahun yang sama.

Celah inilah yang kerap dimanfaatkan oleh sebagian pekerja asing, yang memilih pulang ke negara asal sebelum kewajiban pajaknya jatuh tempo.

Kementerian menyatakan telah mewawancarai sejumlah pemerintah daerah untuk memahami bagaimana mereka mengelola proses pemungutan serta kendala yang dihadapi dalam praktik. “Tujuan kami adalah merumuskan kebijakan penanggulangan yang tepat dan adil,” ujar pejabat kementerian yang enggan disebutkan namanya.

Sebagai solusi sementara, pemerintah telah menyarankan agar pekerja asing melunasi pajak mereka sebelum pulang, atau menunjuk agen pajak yang dapat bertindak atas nama mereka. Namun, implementasi skema ini dinilai belum optimal di lapangan.

Pajak penduduk sendiri dikenakan berdasarkan pendapatan tahunan, kecuali penghasilan seseorang berada di bawah ambang tertentu yang dibebaskan dari kewajiban tersebut.

Isu ini juga menjadi sorotan dalam kampanye pemilu parlemen Jepang yang berlangsung Minggu lalu (20/7/2025), di mana sejumlah partai konservatif menyuarakan kekhawatiran atas lonjakan jumlah tenaga kerja asing dan wisatawan dalam beberapa tahun terakhir. Mereka menilai sistem perpajakan dan kontrol terhadap penduduk asing perlu ditingkatkan demi menjaga keseimbangan fiskal dan sosial.

Pemerintah pusat kini dituntut untuk menyeimbangkan antara dorongan atas keterbukaan tenaga kerja asing dengan kepatuhan fiskal yang menyeluruh. Jika dibiarkan, potensi kebocoran pajak dari WNA bisa membebani fiskal daerah dan menimbulkan ketimpangan antarwarga. (alf)

Revisi Pajak Kripto Dinilai Sudah Tepat, Ikut Ekosistem Finansial Modern

IKPI, Jakarta: Langkah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk merevisi aturan pajak aset kripto mendapat dukungan dari pelaku industri. Tokocrypto menilai, pendekatan baru yang menjadikan kripto sebagai instrumen finansial, bukan lagi sekadar komoditas, adalah langkah tepat dan relevan dengan arah perkembangan teknologi keuangan.

CEO Tokocrypto Calvin Kizana menegaskan bahwa penggunaan kripto sudah jauh melampaui sekadar jual beli aset digital. “Saat ini kripto juga digunakan sebagai instrumen investasi, derivatif, bahkan untuk pengelolaan portofolio digital. Maka, wajar bila perlakuan pajaknya ikut menyesuaikan,” kata Calvin, Jumat (25/7/2025).

Selama ini, pajak atas transaksi kripto merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 63/PMK.03/2022, di mana kripto diperlakukan sebagai komoditas dan dikenakan PPN serta PPh Pasal 22. Namun dengan makin kompleksnya fungsi dan pemanfaatan kripto, DJP berencana mengubah pendekatan tersebut.

Menurut data Kementerian Keuangan, penerimaan negara dari pajak kripto mencapai Rp1,21 triliun hanya dalam tiga bulan pertama tahun 2025. Angka ini menjadi bukti tingginya aktivitas dan potensi sektor kripto dalam ekosistem keuangan digital nasional.

“Kalau kripto sudah naik kelas menjadi bagian dari sistem finansial, tentu pendekatannya tidak bisa lagi sama dengan komoditas biasa,” ujar Calvin.

Ia juga menyoroti pentingnya konsistensi antara perubahan pajak dengan peralihan pengawasan industri kripto dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Ini sinyal kuat bahwa kripto harus dilihat sebagai entitas keuangan. Jadi, regulasinya juga harus mengacu pada standar sektor jasa keuangan,” jelasnya.

Meski mendukung penuh revisi aturan, Tokocrypto mengingatkan pemerintah agar skema pajak yang diterapkan tetap adil dan kompetitif. “Kami sudah menyampaikan kepada Kemenkeu bahwa perlakuan pajak kripto idealnya sejajar dengan pasar modal. Kalau transaksi saham dikenai pajak final yang rendah, kripto pun seharusnya begitu,” kata Calvin.

Menurutnya, jika kripto dipajaki terlalu tinggi atau tidak proporsional, justru bisa menghambat pertumbuhan industri dan membuat investor lari ke luar negeri. “Yang kami harapkan adalah kepastian hukum dan ekosistem yang mendukung pertumbuhan,” tambahnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyatakan bahwa aturan pajak kripto memang perlu disesuaikan dengan status barunya sebagai instrumen keuangan. “Dulu kripto diperlakukan sebagai komoditas. Tapi sekarang, karena sudah beralih ke sektor keuangan, regulasinya harus ikut berubah,” jelas Bimo.

Dengan klasifikasi baru ini, kemungkinan akan ada penyesuaian skema pajak untuk mencakup aktivitas finansial lainnya yang berbasis kripto, seperti produk investasi terstruktur dan derivatif digital.

Meski begitu, pelaku industri berharap agar kebijakan baru ini tetap mengedepankan prinsip keberlanjutan dan inklusi digital, bukan semata-mata mengejar penerimaan pajak. (alf)

 

PPN-DTP Properti Tetap 100% hingga Akhir 2025, Pemerintahan Prabowo Percepat Akses Rumah Rakyat

IKPI, Jakarta: Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto resmi memperpanjang insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN-DTP) sebesar 100% untuk pembelian properti hingga akhir 2025. Kebijakan ini merupakan bentuk dorongan nyata pemerintah dalam memperluas akses kepemilikan rumah sekaligus menjaga momentum pertumbuhan sektor properti nasional.

Awalnya, insentif PPN-DTP untuk semester II-2025 direncanakan sebesar 50%, namun dalam rapat koordinasi tingkat menteri yang digelar Jumat (25/7/2025), diputuskan bahwa keringanan pajak tersebut akan tetap diberikan secara penuh.

“Fasilitas PPN-DTP untuk properti yang seharusnya semester dua itu 50%, tadi disepakati untuk tetap 100%,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto usai memimpin rapat di kantornya.

Sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 13 Tahun 2025, insentif PPN-DTP 100% berlaku atas penyerahan rumah tapak atau satuan rumah susun dari 1 Januari hingga 30 Juni 2025, dengan batas harga jual maksimal Rp5 miliar dan PPN-DTP diberikan atas bagian harga sampai Rp2 miliar. Untuk periode 1 Juli hingga 31 Desember 2025, semula insentif dirancang hanya 50%, namun kini disepakati untuk tetap 100% hingga akhir tahun.

Rapat tersebut turut dihadiri oleh sejumlah menteri kunci di bidang ekonomi dan pembangunan, antara lain Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruar Sirait, Menteri PPN/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy, dan Menteri Pariwisata Widyanti Putri Wardhana. Juga hadir Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo serta Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esti.

Airlangga menyampaikan, rincian teknis pelaksanaan insentif ini akan segera difinalisasi bersama kementerian/lembaga terkait. Selain PPN-DTP, pemerintah juga terus mendorong akses rumah terjangkau melalui program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang menawarkan bunga rendah.

“Perumahan subsidinya 5%,” ungkap Airlangga.

Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap daya beli masyarakat terhadap hunian tetap terjaga, terutama bagi kalangan menengah dan menengah bawah yang terdampak dinamika ekonomi global.

 

 

Pemprov DKI Pangkas Pajak BBM hingga 80%, Dorong Stabilitas Ekonomi dan Dukung Operasi Negara

IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta resmi memangkas Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) hingga 80% melalui Keputusan Gubernur Nomor 542 Tahun 2025. Kebijakan ini mulai berlaku efektif pada 22 Juli 2025, setelah ditandatangani Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung.

Kebijakan pengurangan pajak ini terbagi dalam tiga kategori besar berdasarkan jenis kendaraan dan penggunaannya.

Pertama, pemilik kendaraan pribadi mendapatkan pengurangan pajak BBM sebesar 50%.

Kedua, kendaraan umum seperti angkutan kota dan bus juga memperoleh pengurangan serupa sebesar 50%.

Ketiga, insentif tertinggi diberikan kepada kendaraan operasional untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara, dengan pengurangan pajak hingga 80%.

“Pengurangan ini mencakup kendaraan khusus seperti ambulans, kapal rumah sakit, kendaraan tempur, hingga alat berat yang digunakan untuk kepentingan negara,” tulis Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta dalam keterangan resmi, dikutip, Sabtu (26/7/2025).

Pemprov menegaskan bahwa kebijakan ini diambil sebagai bagian dari strategi pengendalian inflasi, meredam tekanan harga, dan menjaga stabilitas perekonomian ibu kota. Insentif juga diharapkan mampu mendukung keberlangsungan operasional sektor strategis yang berperan penting bagi negara.

Landasan hukum kebijakan ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, serta sejumlah regulasi terkait Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Meski memberikan potongan pajak, Pemprov DKI tetap mewajibkan para wajib pajak untuk memenuhi kewajiban pelaporan dan penyetoran pajak daerah. Hal ini guna menjaga akuntabilitas sistem perpajakan meskipun dalam situasi relaksasi fiskal.

“Insentif fiskal ini bersifat selektif dan tetap disertai kewajiban administratif. Kami ingin meringankan beban masyarakat, namun tanpa mengorbankan prinsip transparansi dan kepatuhan perpajakan,” terang Bapenda.

Kebijakan ini disambut positif oleh berbagai pihak, terutama pelaku transportasi dan sektor layanan publik. Di tengah dinamika ekonomi global dan tantangan domestik, insentif pajak BBM ini menjadi angin segar bagi efisiensi operasional serta daya tahan ekonomi Jakarta ke depan. (alf)

 

IKPI Jakarta Pusat Dorong Kebersamaan Anggota Lewat Seminar dan Kegiatan Luar Kota

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Pusat terus mendorong semangat kebersamaan dan kolaborasi antaranggota melalui berbagai program edukatif dan sosial yang dirancang hingga akhir 2025.

Dalam Rapat Anggota di Hotel Ciputra, Jakarta Barat, Kamis (24/7/2025), Ketua IKPI Jakarta Pusat, Suryani, memaparkan rencana kegiatan enam bulan ke depan yang melibatkan kombinasi antara pengembangan profesional dan kebersamaan.

(Foto: DOK. IKPI Jakarta Pusat)

Salah satu program unggulan yang ditawarkan pengurus kepada anggota adalah penyelenggaraan seminar Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) di luar kota selama dua hari satu malam dengan akumulasi 16 SKP. Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi sarana peningkatan kapasitas sekaligus ajang penyegaran bagi para anggota.

“Kita ingin ada suasana baru. Seminar tetap jalan, ilmunya tetap kita dapat, tapi ada nuansa refreshing juga. Kalau peserta minimal 50 orang, kita siap berangkat,” ujar Suryani.

(Foto: DOK. IKPI Jakarta Pusat)

Selain program luar kota, kegiatan bulanan seperti ngobrol santai mengenai perpajakan (Ngotak) tetap dijalankan secara konsisten.

Dikatakan Suryani, dalam kegiatan seminar dan rapat anggota kali ini, peserta yang hadir akan mendapatkan 8 SKP terstruktur dan dapat memperoleh tambahan 4 SKP non-struktur jika mengikuti pertemuan berikutnya.

Suryani juga menyoroti pentingnya interaksi langsung antaranggota, khususnya dalam membangun hubungan yang lebih erat di luar komunikasi daring. “Banyak yang aktif di grup WhatsApp, tapi belum tentu kenal secara langsung. Lewat kegiatan fisik seperti ini, kita bisa membangun silaturahmi yang lebih kuat,” katanya.

(Foto: DOK. IKPI Jakarta Pusat)

Pada kesempatan tersebut, Suryani dan para peserta yang hadir pada rapat anggota juga memberikan kejutan kepada 11 anggota IKPI Jakarta Pusat yang berulang tahun di bulan Juli. Sebagai apresiasi dan bentuk kebersamaan, pengurus cabang Jakarta Pusat memberikan hadiah kue ulang tahun kepada mereka.

Selain itu, penghargaan juga diberikan kepada Danica, anggota IKPI Jakarta Pusat yang berhasil mendapatkan juara 1 lomba Tax Consultant Writing yang diselenggarakan IKPI Cabang Depok.

Atas prestasi tersebut, IKPI Cabang Jakarta Pusat memberikannya penghargaan berupa tiket gratis Seminar Nasional IKPI yang akan diselenggarkan pada Agustus 2025. (bl)

Dari Pajak ke Panggung Dunia: Anggota IKPI Batam Tembus Semi Final Kejuaraan Excel Internasional

IKPI, Batam: Siapa bilang konsultan pajak hanya harus jago urusan regulasi dan kepatuhan? Di era digital, kemampuan mengolah dan menganalisis data juga menjadi kunci. Salah satu buktinya datang dari Androni Susanto, anggota Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Batam, yang berhasil menembus babak Semi Final Microsoft Excel World Championship (MEWC) 2025 kategori Profesional.

Menurut Androni, prestasi ini bukan yang pertama. Tahun 2024, ia sudah pernah masuk 4 besar kategori profesional dalam kompetisi yang sama.

Diungukapkannya, kompetisi MEWC mempertemukan profesional dari berbagai bidang: akuntan, data analysis, ekonom, aktuaris, konsultan keuangan dan profesi lainnya. Dalam deretan profesi tersebut, nama konsultan pajak mungkin jarang terdengar. Karena itu, keberhasilan ini menunjukkan bahwa konsultan pajak juga bisa bersaing di luar ranah perpajakan.

“Selama ini, sebagian orang menganggap konsultan pajak hanya berkutat dengan regulasi. Padahal, pekerjaan kita jauh lebih dari itu. Kita mengolah data klien yang kompleks, menganalisis transaksi, dan menyiapkan laporan yang akurat untuk kepentingan perpajakan maupun perencanaan bisnis klien,” kata Androni, Sabtu (26/7/2025).

Ia menegaskan, konsultan pajak adalah profesional keuangan yang menggabungkan pemahaman regulasi dengan keterampilan analisis data. Jadi, tidak berlebihan kalau dikatakan konsultan pajak bukan hanya paham aturan, tapi juga bisa jadi problem solver berbasis data.

Sekilas tentang MEWC

MEWC adalah ajang kompetisi yang menguji keterampilan peserta dalam menyelesaikan studi kasus nyata menggunakan Microsoft Excel. Tidak hanya tentang rumus, tapi juga logical, analytic and critical thinking yang diuji dalam kompetisi ini.

Pesertanya berasal dari berbagai negara dan profesi, dari akuntan, aktuaris, data analyst dan semua yang menggunakan Microsoft Excel. MEWC sendiri sudah masuk ke berbagai negara sehingga masing-masing negara bisa membuat kompetisi nya sendiri yang disebut “Local Chapter”, dan pemenang juara pertama dapat melanjutkan kompetisi di tingkat dunia yang akan diselenggarakan di Las Vegas, Amerika Serikat di Desember.

Mohon Dukungan

Androni merasa bangga, walaupun tidak secara eksplisit, tapi membawa dan mewakili profesi konsultan pajak khususnya IKPI sebagai organisasi yang memayunginya dalam kompetisi ini. “Saya memohon doa restu dan dukungan dari seluruh rekan IKPI agar dapat memberikan yang terbaik, bisa menjadi pemenang Juara 1, dan mewakili Indonesia untuk naik ke tingkat dunia,” ujarnya.

Ia juga mengajak rekan-rekannya di IKPI untuk mengikuti kompetisi ini, kompetisi ini juga bisa menambah skill kita dalam pengelolaan data dan relevan serta memberi nilai tambah yang membuat jasa kita sebagai konsultan pajak semakin unggul. karena masa depan profesi ini akan mencakup perpaduan antara pengetahuan dan penerapan regulasi serta kecakapan analisis data.

“Belajar tanpa henti, berkarya dengan Hlhati dan berkembang tanpa batas. Jaga terus kualitas profesi!,” kata Androni seraya memacu semangat rekan sesama konsultan pajak. (bl)

 

DJP Perbarui Aturan Pertukaran Informasi Internasional, Perkuat Transparansi dan Cegah Penghindaran Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2025 sebagai pedoman teknis terbaru dalam pelaksanaan pertukaran informasi lintas negara untuk kepentingan perpajakan. Regulasi ini menggantikan empat aturan sebelumnya dan menjadi penyempurnaan dari implementasi Pasal 13 PMK Nomor 39/PMK.03/2017.

Langkah ini menegaskan komitmen DJP dalam mendukung kerja sama internasional di bidang perpajakan guna meningkatkan transparansi keuangan global, sekaligus mengantisipasi praktik penghindaran dan pengelakan pajak.

“Pertukaran informasi adalah proses berbagi data yang dilakukan oleh pejabat berwenang berdasarkan perjanjian internasional untuk kepentingan perpajakan,” tulis Pasal 1 angka 4 PER-10/PJ/2025.

Tiga Skema Pertukaran Informasi

Dalam peraturan baru ini, DJP menetapkan tiga skema utama pertukaran informasi:

• Exchange of Information on Request (EOIR): Pertukaran dilakukan atas dasar permintaan resmi dari otoritas pajak negara mitra atau sebaliknya.

• Spontaneous Exchange of Information (SEI): Informasi disampaikan secara proaktif tanpa permintaan sebelumnya.

• Automatic Exchange of Information (AEOI): Pertukaran dilakukan secara berkala dan sistematis, terutama menyangkut informasi keuangan.

“Pertukaran Informasi dapat bersifat timbal balik dan dijalankan dalam bentuk permintaan, spontan, maupun otomatis,” bunyi Pasal 3 ayat (2).

Cakupan informasi yang dapat dipertukarkan cukup luas, meliputi data identitas dan kepemilikan, informasi akuntansi dan perbankan, serta data perpajakan. Apabila informasi yang diminta tidak tersedia di basis data DJP, maka pencarian dilakukan melalui permintaan ke Wajib Pajak, lembaga keuangan, atau melalui pemeriksaan.

Kerahasiaan data menjadi perhatian penting dalam peraturan ini. “Dokumen dan data pertukaran informasi bersifat rahasia dan wajib dijaga kerahasiaannya sesuai peraturan perundang-undangan dan perjanjian internasional,” tegas Pasal 3 ayat (7).

Selain skema pertukaran, peraturan ini juga mengatur mekanisme pendukung seperti competent authority meetings, pemeriksaan pajak luar negeri (tax examinations abroad), serta pemeriksaan pajak simultan (simultaneous tax examinations). Semua proses ini harus dijalankan melalui sistem yang terintegrasi dengan administrasi DJP, baik oleh Kantor Wilayah (Kanwil) maupun Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

“Informasi yang dipertukarkan digunakan sebagai basis data perpajakan dan menjadi bagian dari pelaksanaan perjanjian internasional,” lanjut Pasal 3 ayat (5).

Cabut Empat Aturan Lama

Dengan diberlakukannya PER-10/PJ/2025, DJP secara resmi mencabut empat peraturan terdahulu, yaitu:

• PER-67/PJ/2009

• PER-28/PJ/2017

• PER-24/PJ/2018

• PER-02/PJ/2022

Keempat beleid tersebut sebelumnya mengatur skema pertukaran informasi berdasarkan permintaan, spontan, serta mekanisme kerja sama antarotoritas pajak negara mitra. (alf)

 

Podcast Kanwil DJP Banten: Kupas Tuntas Aturan Baru Surat Keterangan Fiskal

IKPI, Jakarta: Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Banten membedah tuntas ketentuan terbaru mengenai Surat Keterangan Fiskal (SKF) melalui siniar “Kata.Lo.Gue” yang tayang di kanal YouTube resmi @KanwilDJPBanten. Episode ini menghadirkan dua narasumber internal, Yasir Arafat (Penyuluh Pajak Ahli Muda) dan Rio Hermawan (Penyuluh Pajak Ahli Pertama), yang menjelaskan secara detail tata cara pengajuan SKF melalui sistem Coretax.

Dalam siaran yang dimoderatori Radityo Utomo, juga dari jajaran penyuluh Kanwil DJP Banten, dijelaskan bahwa pengaturan terbaru soal SKF kini merujuk pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-8/PJ/2025 yang mulai berlaku sejak 24 Mei 2025. Peraturan ini merupakan tindak lanjut dari PMK Nomor 81 Tahun 2024 dalam rangka mendukung implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau Coretax.

“SKF adalah bentuk pengakuan atas kepatuhan Wajib Pajak. Dokumen ini sangat penting, karena menjadi syarat untuk berbagai keperluan administratif, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta,” ujar Yasir dikutip, Jumat (25/7/2025).

Ia menambahkan, untuk mendapatkan SKF, Wajib Pajak wajib memenuhi beberapa syarat, antara lain: telah menyampaikan SPT Tahunan PPh dua tahun terakhir, SPT Masa PPN untuk tiga masa terakhir, tidak memiliki tunggakan pajak atau telah mengantongi izin angsuran, serta tidak sedang bersengketa dalam proses hukum perpajakan.

Rio Hermawan menggarisbawahi bahwa terdapat 12 jenis layanan administrasi perpajakan yang kini mewajibkan terpenuhinya ketentuan Pasal 4 dalam PER-8/PJ/2025. Beberapa di antaranya mencakup permohonan revaluasi aset tetap, penggunaan mata uang asing dalam pembukuan, serta pengajuan Surat Keterangan Bebas (SKB) pemotongan PPh.

“Jika persyaratan belum lengkap, sistem akan menolak permohonan. Namun WP bisa mengajukan ulang setelah kewajiban diselesaikan,” jelasnya.

Tak hanya menjadi media sosialisasi, siniar ini juga diharapkan menjadi jembatan komunikasi yang lebih ramah antara otoritas pajak dan masyarakat. Format siniar dinilai lebih efektif menjangkau generasi digital yang akrab dengan platform audio-visual. (alf)

Isu Pajak Amplop Hajatan Dibantah Istana, DJP Tegaskan Tak Ada Pungutan

IKPI, Jakarta: Pemerintah memastikan tidak ada rencana mengenakan pajak atas sumbangan dalam acara sosial seperti pernikahan. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menepis kabar yang sempat ramai di media sosial dan menyebut informasi tersebut sebagai kesimpulan yang keliru.

Pernyataan itu disampaikan Prasetyo dalam konferensi pers di ruang kerja wartawan, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (25/7/2025). Ia menegaskan bahwa pemerintah belum pernah merancang kebijakan perpajakan untuk hadiah atau amplop dalam hajatan.

“Teman-teman di Kementerian Keuangan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak, sudah memberikan klarifikasi. Tidak benar ada pajak untuk sumbangan di acara pernikahan. Itu tidak ada dan belum ada kebijakan seperti itu,” ujar Prasetyo.

Isu ini mencuat usai pernyataan anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, dalam sebuah rapat di Kompleks Parlemen Senayan. Mufti menyinggung kondisi defisit anggaran dan menyebut bahwa pemerintah bahkan mempertimbangkan pajak atas uang amplop yang diterima saat kondangan.

“Negara kehilangan pemasukan, dan Kementerian Keuangan harus putar otak. Kami dengar, bahkan uang amplop di hajatan pun akan dikenai pajak,” kata Mufti.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menekankan bahwa DJP tidak memungut pajak dalam acara sosial dan tidak memiliki rencana melakukan hal tersebut.

Ia menjelaskan, meskipun Undang-Undang Pajak Penghasilan mengenal konsep tambahan kemampuan ekonomis sebagai objek pajak, terdapat pengecualian penting untuk hadiah atau sumbangan yang bersifat pribadi dan tidak terkait pekerjaan atau kegiatan usaha.

“Selama pemberian itu tidak rutin, tidak bersifat komersial, dan tidak terkait pekerjaan atau bisnis, maka tidak menjadi objek pajak. Ini bukan prioritas pengawasan DJP,” kata Rosmauli di Jakarta, Kamis (24/7/2025).

Ia juga menegaskan bahwa tidak ada mekanisme pemungutan pajak langsung di lokasi hajatan.

Dengan klarifikasi ini, pemerintah berharap masyarakat tidak lagi terpengaruh oleh kabar yang menyesatkan dan tetap merujuk pada informasi resmi. (alf)

 

en_US