Pemkab Banyuwangi Teken PKS Optimalisasi Pemungutan Pajak dengan DJP dan DJPK

IKPI, Jakarta: Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) Optimalisasi Pemungutan Pajak Pusat dan Pajak Daerah dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) serta Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK). Kerja sama ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan pajak melalui pertukaran data dan informasi.

Penandatanganan tersebut berlangsung di Kantor Bupati Banyuwangi dan dihadiri oleh Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani Azwar Anas, Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Banyuwangi Ahmad Fudholi, serta Sekretaris Daerah Kabupaten Banyuwangi Guntur Priambodo.

Ahmad Fudholi menjelaskan bahwa PKS ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemungutan pajak pusat dan daerah melalui pertukaran serta pemanfaatan data dan informasi. Selain itu, kerja sama ini juga mencakup pengawasan bersama terhadap Wajib Pajak serta peningkatan pelayanan kepada masyarakat dalam bidang perpajakan.

“Perjanjian kerja sama ini merupakan wujud nyata sinergi antara pemerintah pusat dan daerah guna mengatasi kendala dalam optimalisasi penerimaan pajak. Selain itu, ini juga bertujuan untuk meningkatkan kemampuan serta pengetahuan aparatur sipil negara di bidang perpajakan,” ujar Fudholi dalam keterangan tertulis pada Sabtu (29/3/2025).

Dengan adanya PKS ini, sinergi antara Pemkab Banyuwangi, DJPK, dan DJP, khususnya KPP Pratama Banyuwangi, diharapkan semakin erat. PKS ini juga diharapkan dapat mengoptimalkan penerimaan negara di bidang perpajakan serta memberikan manfaat bagi masyarakat.

Sekadar informasi, kerja sama antara DJP, DJPK, dan pemerintah daerah dalam optimalisasi pajak telah berlangsung sejak tahun 2019. Berbagai kegiatan telah dihasilkan dari kerja sama ini, seperti pertukaran data omzet Wajib Pajak daerah dari 207 pemda, pemadanan serta tindak lanjut atas peredaran usaha Wajib Pajak, pengawasan bersama terhadap 8.277 Wajib Pajak, serta peningkatan kapasitas aparatur pemda melalui bimbingan teknis dan sosialisasi.

Selain itu, hingga saat ini telah diberikan 15 kali persetujuan izin pembukaan data perpajakan oleh Menteri Keuangan untuk menggali potensi penerimaan pajak daerah. Langkah ini dilakukan karena beberapa Wajib Pajak terindikasi belum melaporkan pajaknya dengan benar.

Dengan adanya PKS ini, diharapkan optimalisasi pemungutan pajak dapat berjalan lebih efektif dan berdampak positif bagi pembangunan daerah serta kesejahteraan masyarakat. (alf)

 

Update 29 Maret! Sebanyak 12,05 Juta Wajib Pajak Telah Laporkan SPT Tahun 2024

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat hingga 29 Maret 2025 pukul 00.00 WIB, sebanyak 12,05 juta wajib pajak telah melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) untuk tahun pajak 2024. Angka ini mengalami pertumbuhan sebesar 5,3 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

“Angka ini terdiri dari 11,71 juta SPT Tahunan Orang Pribadi dan 333 ribu SPT Tahunan Badan,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (29/3/2025).

Dalam kesempatan yang sama, DJP juga menjelaskan alasan di balik diterbitkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-79/PJ/2025, yang memperpanjang batas akhir pembayaran PPh Pasal 29 dan penyampaian SPT Tahunan Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) untuk Tahun Pajak 2024.

“Perlu kami sampaikan bahwa diterbitkannya KEP-79/PJ/2025 didasari oleh fakta bahwa batas akhir pembayaran PPh Pasal 29 dan penyampaian SPT Tahunan WP OP pada 31 Maret 2025 bertepatan dengan libur nasional dan cuti bersama dalam rangka Hari Suci Nyepi (Tahun Baru Saka 1947) serta Hari Raya Idulfitri 1446 Hijriah yang berlangsung cukup panjang hingga 7 April 2025,” jelas Dwi.

Ia menambahkan bahwa kondisi libur nasional dan cuti bersama tersebut berpotensi menyebabkan keterlambatan dalam pembayaran pajak PPh Pasal 29 dan pelaporan SPT Tahunan bagi WP OP untuk Tahun Pajak 2024. Hal ini disebabkan oleh jumlah hari kerja pada bulan Maret yang lebih sedikit dibandingkan biasanya.

“Pertimbangan lainnya adalah bahwa pemerintah ingin berlaku adil dan memberikan kepastian hukum bagi Wajib Pajak dengan cara menghapus sanksi administratif atas keterlambatan pembayaran PPh Pasal 29 sekaligus pelaporannya. Namun, hal ini hanya berlaku untuk SPT Tahunan WP OP Tahun Pajak 2024,” ungkapnya.

Dengan kebijakan ini, DJP berharap para wajib pajak dapat memenuhi kewajiban perpajakannya dengan lebih tenang tanpa khawatir terkena sanksi administratif akibat keterlambatan yang terjadi karena faktor libur panjang. DJP pun terus mengimbau masyarakat untuk segera melaporkan SPT sebelum batas waktu yang telah ditentukan guna menghindari potensi kendala di akhir masa pelaporan. (alf)

 

 

Guru Besar UI Kritisi Kebijakan Pajak Dividen yang Dinilai Tidak Adil

IKPI, Jalarta: Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Haula Rosdiana, mengkritisi kebijakan pembebasan pajak atas penghasilan yang bersumber dari dividen. Menurutnya, kebijakan tersebut menciptakan ketidakadilan dalam sistem perpajakan Indonesia.

Haula menjelaskan bahwa selama ini penghasilan individu yang berasal dari dividen dibebaskan dari pajak. Aturan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan, yang kembali dipertegas dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Dalam UU HPP, dividen bebas pajak asalkan diinvestasikan kembali di Indonesia.

“Masalahnya, para orang kaya selama ini memanfaatkan celah tersebut,” ujar Haula. Ia mencontohkan bahwa jika dividen digunakan untuk membeli emas batangan, hal tersebut sudah dianggap sebagai investasi. “Berarti kan memang yang kaya ini akan semakin kaya,” lanjutnya.

Haula menyoroti bahwa investasi pada emas tidak memberikan dampak signifikan bagi masyarakat luas karena tidak menggerakkan sektor riil. Akibatnya, investasi seperti ini tidak berkontribusi pada penciptaan lapangan pekerjaan.

Sebagai profesor perempuan pertama di bidang perpajakan di Indonesia, Haula menegaskan bahwa jika pemerintah ingin memperluas basis pajak, maka masyarakat berpenghasilan tinggi juga harus menjadi target pajak, bukan hanya kelas menengah ke bawah.

“Lihat dong, apakah wajib pajak yang super kaya itu sudah dipajaki secara proporsional sesuai dengan kemampuan ekonomisnya,” kata Haula.

Lebih lanjut, Haula juga mengkritisi wacana penurunan ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) yang belakangan disarankan oleh Bank Dunia dan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Saat ini, hanya usaha dengan omzet di atas Rp4,8 miliar per tahun yang wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan menyetor Pajak Penghasilan (PPh Badan).

Menurut Haula, tidak maksimalnya penerimaan pajak di Indonesia bukan hanya terkait ambang batas PKP yang tinggi, melainkan juga karena banyaknya insentif pajak yang diberikan kepada pemilik modal, seperti tax holiday dan tax allowance. Ia menilai, dengan fokus pada penurunan ambang batas PKP, Bank Dunia dan OECD justru mengabaikan kelompok kaya yang berpotensi menyumbang pajak lebih besar.

“Secara administratif, menurunkan ambang batas PKP akan sangat sulit. Jika semakin banyak UMKM yang dikenai pajak, maka otoritas pajak juga harus siap melakukan edukasi. Sekarang coba dilakukan survei terhadap UMKM, berapa persen sih yang paham tentang akuntansi? Mungkin banyak yang bahkan tidak memahami konsep debit-kredit,” jelas Haula.

Haula pun khawatir kepatuhan pajak justru menurun jika ambang batas PKP diturunkan tanpa kesiapan yang memadai dari pihak pemerintah dan pelaku usaha kecil menengah. (alf)

 

Potongan Pajak THR dengan Skema TER Berpotensi Lebih Besar

IKPI, Jakarta: Pemerintah telah menetapkan regulasi terbaru terkait pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji ke-13 untuk tahun 2025. Presiden Prabowo Subianto mengumumkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2025 yang mengatur pemberian THR dan gaji ke-13 bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), pensiunan, penerima pensiun, dan penerima tunjangan. Sementara itu, untuk pegawai swasta, ketentuan pemberian THR diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016.

Pemerintah menetapkan bahwa pendistribusian THR dimulai sejak pertengahan Maret dan harus selesai paling lambat tujuh hari sebelum Idulfitri.

Potongan Pajak PPh 21 pada THR Berpotensi Lebih Besar

Meskipun THR menjadi kabar baik bagi karyawan, terdapat aspek perpajakan yang perlu diperhatikan, yakni pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21. Tahun ini, potongan PPh 21 pada THR berpotensi lebih besar dibandingkan bulan-bulan biasa karena penerapan sistem Tarif Efektif Rata-Rata (TER).

Mekanisme TER diterapkan untuk mempermudah pemberi kerja dalam menghitung pajak penghasilan karyawan. TER berlaku pada pemotongan PPh Pasal 21 selama periode Januari hingga November, dengan cara mengalikan penghasilan bruto yang diterima karyawan dengan tarif yang telah ditetapkan berdasarkan jumlah tanggungan dan status Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Contoh Penghitungan PPh 21 dengan TER

Sebagai ilustrasi, pegawai X dengan gaji tetap Rp5.000.000 per bulan dan status PTKP TK/0, masuk dalam kategori A tarif TER.

• Pada bulan-bulan biasa, pegawai X tidak dikenakan pemotongan PPh 21 karena penghasilannya masih dalam batas PTKP.

• Namun, saat bulan pembayaran THR, di mana gaji dan THR diterima bersamaan, pajak tidak dihitung secara terpisah untuk gaji dan THR, melainkan berdasarkan total penghasilan yang diterima dalam bulan tersebut.

Jika pegawai X menerima THR sebesar satu kali gaji, maka total penghasilannya di bulan tersebut menjadi Rp10.000.000. Berdasarkan ketentuan TER, pegawai X dikenakan tarif 2 persen, sehingga pajak yang harus dibayarkan adalah Rp200.000.

Menghindari Potongan Pajak yang Terasa Berat

Belajar dari pengalaman tahun 2024, karyawan diharapkan lebih memahami efek penerapan TER terhadap gaji dan THR agar tidak terkejut dengan potongan pajak yang lebih besar pada bulan pembayaran THR. Pajak ini akan diperhitungkan kembali pada akhir tahun, sehingga kelebihan potongan yang terjadi di bulan pembayaran THR tidak akan menjadi beban tambahan.

Bagi karyawan yang ingin menghitung sendiri PPh Pasal 21 yang terutang, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyediakan kalkulator pajak online yang dapat diakses melalui laman kalkulator.pajak.go.id.

Selain karyawan, pemberi kerja juga memiliki kewajiban untuk membuat bukti potong PPh Pasal 21 sesuai ketentuan Pasal 20 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 168 Tahun 2023 atas akumulasi gaji dan THR dalam satu masa pajak. Bukti potong ini harus disampaikan kepada pegawai agar mereka dapat melakukan pengecekan atas pemotongan pajak yang dikenakan.

Perlu diketahui, mulai Januari 2025, bukti potong PPh Pasal 21 tidak lagi menggunakan e-Bupot Pasal 21/26 di DJP Online, melainkan harus dibuat melalui sistem core tax DJP.

Dengan memahami mekanisme pemotongan pajak atas THR, karyawan dapat lebih siap menghadapi periode pembayaran THR tanpa kebingungan terkait potongan pajak yang lebih besar. Di sisi lain, pemberi kerja juga harus memastikan kepatuhan administrasi perpajakan agar proses pelaporan pajak berjalan lancar sesuai regulasi yang berlaku. (alf)

 

Carlo Ancelotti Akan Disidang Terkait Kasus Penggelapan Pajak

IKPI, Jakarta: Pelatih Real Madrid, Carlo Ancelotti, akan segera menjalani persidangan terkait dugaan kasus penggelapan pajak. Ancelotti didakwa oleh jaksa penuntut Spanyol atas tuduhan menggelapkan pajak senilai satu juta Euro. Kasus ini terjadi pada periode 2014-2015, saat Ancelotti baru saja mulai melatih Real Madrid.

Menurut laporan dari Independent, Ancelotti juga diduga menggunakan perusahaan cangkang untuk menyembunyikan pendapatan aslinya. Tuduhan ini mencuat pada Maret tahun lalu, dan kini telah memasuki tahap persidangan yang dijadwalkan berlangsung pada 2 April mendatang.

Jaksa penuntut menuntut hukuman penjara selama 4 tahun dan 9 bulan atas dua dakwaan yang dialamatkan kepada Ancelotti. Pelatih asal Italia itu pun bergabung dengan sejumlah nama besar Real Madrid yang sebelumnya pernah menghadapi kasus serupa, seperti Luka Modric dan Cristiano Ronaldo. Namun, dalam kasus mereka, sanksi yang dijatuhkan akhirnya ditangguhkan.

Ancelotti sebelumnya telah membantah semua tuduhan tersebut. Pelatih yang pernah menukangi klub-klub besar seperti AC Milan, Juventus, Chelsea, Paris Saint-Germain, Bayern Munich, Everton, dan Napoli itu mengklaim bahwa kasus ini seharusnya sudah selesai.

Ancelotti kini tengah menjalani periode kedua melatih Real Madrid sejak 2021. Sejauh ini, ia telah mempersembahkan 15 trofi, termasuk dua gelar LaLiga dan tiga trofi Liga Champions. Musim ini, Ancelotti masih berusaha membawa Los Blancos bersaing memperebutkan dua gelar tersebut, dengan Real Madrid yang masih berada di papan atas LaLiga dan sudah menembus perempat final Liga Champions. (alf)

 

 

Pengda Jabar Perpanjang Pemutihan Pajak Kendaraan  hingga 30 Juni 2025

IKPI, Jakarta: Program pemutihan pajak kendaraan bermotor di Jawa Barat (Jabar) yang sebelumnya dijadwalkan berakhir pada 6 Juni kini resmi diperpanjang hingga 30 Juni 2025. Perpanjangan ini memberikan kesempatan lebih luas bagi masyarakat untuk melunasi tunggakan pajak kendaraan tanpa dikenakan sanksi administratif.

“Hadiah Lebaran untuk warga Jabar diperpanjang sampai 30 Juni 2025,” tulis Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Jawa Barat dalam pengumuman resmi melalui media sosial, Kamis (27/3/2025).

Sejak program ini dimulai pada 20 Maret lalu, pemutihan pajak kendaraan bermotor mendapat sambutan positif dari masyarakat. Hal ini terbukti dari meningkatnya jumlah penerimaan pajak yang mencapai angka signifikan. Berdasarkan data terbaru, hingga Rabu, 26 Maret 2025, tercatat sebanyak 56.384 kendaraan bermotor telah membayar pajak dengan total penerimaan mencapai Rp23,21 miliar.

Namun, Bapenda Jabar juga mengingatkan bahwa layanan pembayaran pajak di Kantor Samsat akan ditutup sementara selama cuti bersama Hari Raya Idul Fitri 1446 H. Layanan tersebut akan libur mulai 28 Maret hingga 7 April, dan kembali beroperasi pada Selasa, 8 April. Meski demikian, pembayaran pajak kendaraan tahunan tetap dapat dilakukan secara online melalui aplikasi Sapawarga dan Signal.

Dengan perpanjangan ini, masyarakat diharapkan dapat memanfaatkan kesempatan emas ini untuk melunasi pajak kendaraan mereka tanpa harus khawatir dengan denda administrasi. (alf)

 

 

EU-ASEAN Business Council Rekomendasikan Standar Pelabelan, Tolak Cukai Minuman Berpemanis

IKPI, Jalarta: EU-ASEAN Business Council merekomendasikan agar Indonesia menerapkan standar pelabelan di industri makanan dan minuman sebagai alternatif kebijakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Langkah ini dinilai lebih efektif dalam membantu konsumen membuat pilihan sehat sekaligus mengurangi hambatan perdagangan di kawasan ASEAN.

Saat ini, regulasi pelabelan di negara-negara ASEAN masih beragam, seperti skema Nutri-Grade di Singapura dan Healthier Choice di Indonesia, Malaysia, serta Brunei. Perbedaan standar ini menyulitkan produsen dalam memasarkan produk secara regional. Harmonisasi pelabelan dinilai menjadi solusi yang lebih baik dibandingkan pendekatan fiskal seperti cukai minuman berpemanis yang dianggap berisiko menambah beban kelompok berpenghasilan rendah.

Menanggapi hal ini, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Kementerian Keuangan, Nirwala Dwi Heryanto, mengungkapkan bahwa Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 4 Tahun 2025 telah membuka peluang untuk menyusun regulasi terkait MBDK. Namun, pihaknya akan mempertimbangkan kondisi ekonomi sebelum menerapkan kebijakan tersebut.

“Tentunya masalah penerapan cukai MBDK harus melihat situasi ekonomi yang terjadi. Pertimbangannya banyak, tidak semata-mata target penerimaan, tetapi juga memperhatikan daya beli masyarakat serta kondisi industri makanan dan minuman,” ujar Nirwala, Jumat (28/3/2025).

Pengamat Ekonomi dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pancasetia, Ros Nirwana, menilai bahwa penerapan sistem pelabelan yang lebih ketat dapat berdampak positif bagi investor asing yang berkomitmen pada kesehatan dan keberlanjutan. Namun, ia juga mengingatkan bahwa kebijakan cukai berisiko meningkatkan biaya hidup dan menurunkan daya saing produsen.

“Cukai bisa memengaruhi harga produk yang akhirnya berdampak pada konsumen dan penjualan industri secara keseluruhan. Bahkan, berpotensi meningkatkan penyelundupan dan pemalsuan produk,” jelas Ros.

Sementara itu, pelaku industri makanan dan minuman menolak wacana pengenaan cukai pada MBDK. Head of Strategic Marketing Nutrifood, Susana, menilai kebijakan tersebut dapat menurunkan penjualan dan memperburuk kondisi industri yang tengah menghadapi tantangan ekonomi.

“Jika harga naik, konsumen yang terpengaruh, penjualan bisa turun, dan itu berdampak negatif ke industri maupun perekonomian nasional,” ujar Susana.

Ia juga berharap pelaku industri dilibatkan dalam penentuan teknis kebijakan ini, termasuk penetapan batas kadar gula dan rincian regulasi yang akan diterapkan.

“Kami berharap ada kejelasan terkait tujuan kebijakan ini, apakah benar efektif dalam menurunkan kasus penyakit tidak menular (PTM) atau tidak,” tegasnya. (alf)

 

 

Banten Berlakukan Pemutihan Pajak Kendaraan Bermotor, Berlaku 10 April – 30 Juni 2025

IKPI, Jakarta: Masyarakat Banten dapat memanfaatkan program pemutihan pajak kendaraan bermotor yang akan berlaku mulai 10 April hingga 30 Juni 2025. Dalam program ini, warga hanya perlu membayar pajak kendaraan untuk tahun 2025, sementara denda dan tunggakan pajak sebelumnya akan dihapuskan.

“Insyaallah pemberlakuan kebijakan tersebut akan dilaksanakan mulai tanggal 10 April sampai 30 Juni. Syaratnya apa? Syaratnya adalah menyelesaikan pembayaran pajak di tahun 2025. Dan kemudian beban pajak tunggakan dan lain-lain itu kita putihkan,” ujar Gubernur Banten Andra Soni di Gedung Negara, Kota Serang, Kamis (27/3/2025).

Andra Soni berharap masyarakat memanfaatkan kesempatan ini agar terbebas dari tunggakan pajak yang membebani. Ia menyebut program ini sebagai kado bagi warga Banten menjelang Idul Fitri.

“Kita imbau kepada masyarakat bahwa kita kembali ke Fitri. Kita bukan tak ingin membayar pajak, tapi beban ekonomi dan sebagainya, pemerintah provinsi Banten memberikan insentif berupa penghapusan. Dan ini harus dimanfaatkan waktunya sampai 30 Juni 2025,” katanya.

“Mudah-mudahan ini bisa menjadi hadiah atau kado bagi masyarakat Banten menjelang Idul Fitri, dan kami ucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri kepada masyarakat Banten,” tambahnya.

Program pemutihan ini diatur dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) Banten Nomor 170 Tahun 2025 tentang Pembebasan Pokok dan/atau Sanksi Pajak Kendaraan Bermotor. Kepgub tersebut ditandatangani pada 27 Maret 2025. (alf)

 

 

Kinerja Penerimaan Pajak Indonesia Masih di Bawah Target, Bank Dunia Soroti Kesenjangan

IKPI, Jakarta: Bank Dunia mengungkapkan bahwa kinerja penerimaan pajak Indonesia masih jauh di bawah potensinya. Dalam laporan berjudul Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia yang dirilis pada 17 Maret 2025, Bank Dunia mencatat bahwa rasio penerimaan pajak Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya mencapai 9,1 persen pada tahun 2021. Angka ini termasuk yang terendah di dunia dan jauh di bawah negara-negara berpenghasilan menengah lainnya di kawasan Asia Tenggara.

Sebagai perbandingan, rasio penerimaan pajak terhadap PDB di Kamboja mencapai 18,0 persen, Malaysia 11,9 persen, Filipina 15,2 persen, Thailand 15,7 persen, dan Vietnam 14,7 persen.

Bank Dunia menyoroti bahwa kesenjangan penerimaan pajak di Indonesia sangat signifikan. Sepanjang 2016 hingga 2021, estimasi kesenjangan antara potensi dan realisasi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan mencapai 6,4 persen dari PDB, atau setara Rp 944 triliun.

Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa pada periode yang sama, kesenjangan kepatuhan PPN atau selisih antara PPN yang seharusnya dibayarkan dengan yang terealisasi mencapai 43,9 persen. Jumlah tersebut setara dengan 2,6 persen dari PDB Indonesia atau senilai Rp 386 triliun.

Adapun untuk PPh Badan, rata-rata kesenjangan antara pajak yang seharusnya dibayar dengan yang terbayar mencapai 33 persen dari total kewajiban pajak PPh Badan atau setara 1,1 persen dari PDB. Secara nominal, Bank Dunia mencatat potensi penerimaan pajak yang hilang akibat ketidakpatuhan PPh Badan mencapai Rp 160 triliun per tahun.

Padahal, menurut laporan tersebut, PPN dan PPh Badan merupakan sumber utama penerimaan pajak dalam negeri. Pada 2021, kedua jenis pajak ini menyumbang sekitar 66 persen dari total penerimaan pajak, atau setara dengan sekitar 6 persen dari PDB.

Bank Dunia menilai bahwa rendahnya penerimaan pajak ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti tingkat kepatuhan yang rendah, tarif pajak efektif yang relatif rendah, serta basis pajak yang sempit. Kondisi ini menunjukkan perlunya upaya lebih keras untuk meningkatkan penerimaan pajak guna mendukung pembangunan ekonomi Indonesia. (alf)

 

Kemenkeu Tegaskan Fasilitas di Kapal Wisata sebagai Objek Pajak  

IKPI, Jakarta: Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan penegasan terkait pengenaan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) sebagai objek pajak daerah bagi kapal wisata. Hal ini disampaikan melalui surat resmi tertanggal 26 Maret 2025 yang ditujukan sebagai jawaban atas permohonan penjelasan dari Bupati Manggarai Barat.

Surat tersebut merupakan respons atas surat permohonan Bupati Manggarai Barat bernomor 970/BAPENDA/216/III/2025 tertanggal 15 Maret 2025. Surat Kemenkeu ditandatangani oleh Lydia Kurniawati Christyana, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, mewakili Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.

Edi Endi, pejabat terkait, menjelaskan bahwa pungutan pajak ini telah memenuhi prinsip adanya objek dan subjek pajak sesuai dengan ketentuan PBJT. Aturan ini mencakup pajak atas makanan dan/atau minuman serta jasa perhotelan yang disediakan oleh kapal wisata. Dasar hukumnya merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) serta Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PP KUPDRD).

“Prinsip pengenaan pajak ada objek, ada subjek,” tegas Edi Endi.

Dalam aturan ini, subjek pajak adalah wisatawan yang menggunakan layanan kapal wisata, sedangkan objek pajaknya meliputi kapal wisata yang menyediakan jasa perhotelan serta makanan dan minuman bagi penumpang.

Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan kejelasan hukum bagi pemerintah daerah dalam memungut pajak sektor pariwisata, khususnya bagi kapal-kapal wisata yang beroperasi di wilayahnya. (alf)

 

 

en_US