PPN Dikecualikan, Pemerintah Tambah Kategori Senjata Strategis dalam PMK 45/2025

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi memperbarui aturan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) strategis untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara melalui terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 45 Tahun 2025. Regulasi ini merevisi ketentuan sebelumnya dalam PMK 157/2023.

Salah satu poin penting dalam PMK terbaru ini adalah penambahan kategori baru dalam daftar senjata yang termasuk BKP strategis. Kategori baru tersebut adalah sistem peralatan pengamanan persenjataan, yang kini tercantum pada huruf h dalam daftar senjata strategis. Kategori ini sebelumnya belum tercakup dalam PMK 157/2023, dan kini secara eksplisit dibebaskan dari kewajiban PPN.

Dengan demikian, daftar lengkap senjata strategis yang mendapatkan fasilitas pembebasan PPN meliputi:

  1. Senjata perorangan seperti senapan serbu, shotgun, dan senjata laras panjang;
  2. Senjata kelompok termasuk senapan mesin ringan hingga mortir;
  3. Artileri dan sistem senjata meriam;
  4. Kavaleri dan sistem cannon;
  5. Roket dan peluru kendali;
  6. Sistem senjata udara yang tidak melekat di pesawat;
  7. Sistem pertahanan udara;
  8. Sistem pengamanan persenjataan (kategori baru);
  9. Flash bang bermesiu;
  10. Kelengkapan utama senjata termasuk alat optik seperti binoculars dan monoculars;
  11. Beragam suku cadang untuk senjata di atas.

Selain perluasan kategori, pemerintah juga menambahkan referensi Harmonized System Code (HS Code) untuk memperjelas klasifikasi barang. Salah satu yang disorot adalah HS Code 8303.00.00, yang mencakup lemari besi, peti penyimpan uang, serta pintu dan laci pengaman dari logam tidak mulia.

Di sisi lain, rincian amunisi yang tercantum dalam Lampiran II dinyatakan tetap alias tidak mengalami perubahan dari ketentuan sebelumnya.

Pemerintah menyatakan bahwa penyempurnaan regulasi ini bertujuan memperkuat dukungan terhadap pelaksanaan tugas operasi pertahanan negara, khususnya bagi prajurit TNI yang terlibat dalam operasi militer. Fasilitas pembebasan PPN ini diharapkan mempercepat pengadaan dan distribusi perlengkapan tempur yang vital bagi keamanan nasional. (alf)

 

 

Jelang Nataru 2025–2026, Pemerintah Siapkan Stimulus Pajak dan Diskon Transportasi

IKPI, Jakarta: Pemerintah tengah mempersiapkan rangkaian stimulus ekonomi yang komprehensif untuk menyambut masa libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025–2026. Langkah ini digagas guna menjaga daya beli masyarakat serta memperkuat momentum pemulihan ekonomi nasional.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan bahwa pemerintah akan menggulirkan berbagai insentif lanjutan, termasuk stimulus pajak dan promosi wisata. Salah satu fokus utamanya adalah pemberian insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk pembelian tiket pesawat, serta diskon tarif angkutan umum seperti kereta api, kapal laut, penyeberangan, hingga jalan tol.

“Pemerintah akan mendorong event-event baru dengan skema diskon. Untuk akhir tahun nanti, kita sedang siapkan paket stimulus agar ekonomi tetap bergerak,” ujar Airlangga dalam Rapat Koordinasi Tingkat Menteri membahas Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Semester II 2025 di Jakarta, dikutip, Senin (28/7/2025).

Rencana ini juga mencakup penguatan sektor pariwisata melalui penyelenggaraan event berskala nasional serta paket bundling wisata domestik yang diharapkan mampu menggairahkan kembali pergerakan masyarakat di dalam negeri.

Airlangga menekankan bahwa langkah ini merupakan bagian dari strategi besar pemerintah untuk merespons tantangan perekonomian global maupun domestik yang mulai terasa di paruh kedua 2025. Menurutnya, dibutuhkan kebijakan fiskal yang tanggap dan tepat sasaran agar pertumbuhan ekonomi tetap terjaga.

“Kebijakan ini tidak hanya ditujukan untuk menjaga konsumsi rumah tangga, tetapi juga untuk menciptakan lapangan kerja baru, memperkuat kepercayaan pelaku usaha, dan menarik investasi baik dari dalam maupun luar negeri,” tegasnya.

Dengan stimulus ini, pemerintah berharap periode liburan Nataru tak hanya menjadi momentum liburan semata, tetapi juga pengungkit pertumbuhan ekonomi nasional. (alf)

 

idEA Minta Penundaan PMK 37/2025, DJP Pastikan Implementasi Bertahap dan Dialog Terbuka

IKPI, Jakarta: Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) meminta waktu transisi minimal satu tahun sebelum implementasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, yang mewajibkan marketplace menjadi pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5 persen dari para pedagang daring.

Permintaan tersebut mendapat tanggapan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, menyatakan bahwa proses penyusunan PMK 37/2025 telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan melalui pendekatan meaningful participation.

“Sejak tahap awal, kami telah berkomunikasi secara intensif dengan pelaku industri, termasuk idEA. Regulasi ini tidak lahir tiba-tiba, melainkan hasil dialog terbuka dan kolaboratif,” kata Rosmauli, Senin (28/7/2025).

Tak hanya dengan idEA, Rosmauli menambahkan bahwa diskusi serupa juga telah digelar bersama Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), serta Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo). Setelah peraturan ditetapkan, DJP aktif melakukan sosialisasi agar pemahaman dan kesiapan pelaku usaha bisa merata.

“Tujuan kami bukan semata-mata meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga memastikan pelaksanaan yang tertib dan efisien. Oleh karena itu, ruang dialog akan tetap terbuka,” tegasnya.

Senada dengan Rosmauli, Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, menegaskan bahwa PMK 37/2025 tidak langsung berlaku begitu diundangkan pada 14 Juli 2025. Penunjukan marketplace sebagai pemungut PPh 22 akan dilakukan secara bertahap, bergantung pada kesiapan teknis masing-masing platform.

“Kami sudah berdiskusi dengan beberapa marketplace besar, mereka butuh waktu untuk penyesuaian sistem. Mungkin satu sampai dua bulan ke depan baru dimulai penunjukannya,” ujar Hestu dalam media briefing di Kantor Pusat DJP, Jakarta (15/7/2025).

DJP juga sedang mengembangkan aplikasi khusus untuk memudahkan marketplace dalam menyetor pajak dari pedagang daring ke kas negara. Untuk tahap awal, penunjukan hanya akan dilakukan terhadap marketplace berskala besar, dengan pertimbangan kematangan infrastruktur digital dan jumlah pedagang yang aktif.

“Marketplace kecil belum kami tunjuk dulu. Kalau belum siap, nanti malah merchant pindah semua ke sana dan marketplace besar dirugikan. Kami akan pastikan transisi berjalan adil dan sistemnya matang,” jelas Hestu.

Dengan pendekatan bertahap dan dukungan teknis, DJP berharap pelaksanaan PMK 37/2025 dapat berlangsung lancar tanpa mengganggu ekosistem perdagangan digital yang tengah berkembang pesat di Indonesia. (alf)

 

PPN DTP 100% Diperpanjang, Pengembang Optimistis Pasar Properti Pulih

IKPI, Jakarta: Pemerintah resmi memperpanjang insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) sebesar 100 persen untuk pembelian rumah hingga 31 Desember 2025. Langkah ini diyakini akan menggairahkan kembali sektor properti nasional yang sempat melemah akibat tekanan ekonomi dan penurunan daya beli masyarakat.

Semula, insentif ini hanya berlaku pada semester I/2025 dan akan dipangkas menjadi 50 persen pada semester II. Namun, dalam Rapat Koordinasi Terbatas Pertumbuhan Ekonomi yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, pemerintah menyepakati untuk mempertahankan insentif penuh hingga akhir tahun.

“Insentif PPN DTP tetap 100 persen hingga Desember 2025. Kebijakan ini ditujukan untuk mendorong multiplier effect dan penciptaan lapangan kerja,” ujar Airlangga di Jakarta, Jumat (25/7/2025).

Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 13 Tahun 2025 dan berlaku untuk pembelian rumah tapak maupun rumah susun dengan harga maksimal Rp5 miliar. Namun, pembebasan penuh PPN hanya diberikan untuk hunian dengan harga hingga Rp2 miliar. Misalnya, untuk rumah seharga Rp2,5 miliar, PPN hanya dikenakan atas selisih Rp500 juta, yakni sebesar Rp55 juta.

Disambut Positif Pelaku Usaha

Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himpera), Ari Tri Priyono, menyatakan bahwa perpanjangan insentif ini menjadi kabar baik bagi pelaku industri. Menurutnya, kebijakan ini sejalan dengan kebutuhan masyarakat terhadap hunian layak dan terjangkau.

“Kami mengapresiasi langkah pemerintah yang tidak hanya memperpanjang PPN DTP, tetapi juga menambah kuota rumah subsidi FLPP dari 220.000 menjadi 350.000 unit dengan dana Rp35,2 triliun,” kata Ari, Senin (28/7/2025).

Tambahan kuota tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 235 Tahun 2025 sebagai bentuk dukungan nyata terhadap program perumahan rakyat.

Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) juga menyambut baik kebijakan ini. Ketua Umum Apersi Djunaidi Abdillah mendorong agar pembebasan PPN dapat diterapkan selama satu tahun penuh secara konsisten, guna memberikan kepastian kepada pelaku usaha yang membangun rumah ready stock dengan proses konstruksi minimal enam bulan.

Efek Ekonomi dan Preferensi Konsumen

Ekonom CORE Indonesia Mohammad Faisal menyebut insentif PPN DTP mampu meningkatkan permintaan terhadap rumah tipe kecil yang kini menjadi pilihan utama masyarakat kelas menengah.

“Jika insentif tetap ditujukan untuk rumah di bawah Rp2 miliar, maka akan sangat efektif meningkatkan penjualan di segmen tersebut,” jelas Faisal.

Menurutnya, sektor properti terutama rumah kecil tengah mengalami perubahan tren akibat menurunnya daya beli dan terbatasnya ketersediaan lahan. Rumah tipe besar mulai terpinggirkan, sementara rumah mungil yang terjangkau justru mengalami peningkatan permintaan.

Meski demikian, Faisal mengingatkan bahwa insentif seperti PPN DTP menyasar kelompok tertentu, tidak seperti subsidi listrik yang menjangkau lebih banyak lapisan masyarakat. “PPN DTP hanya berdampak pada mereka yang siap membeli rumah. Jadi, efeknya spesifik, tapi tetap signifikan,” katanya.(alf)

 

IKPI Medan Sambut Anggota Baru, Ketua Eben Ezer: Perkuat Kekompakan dan Profesionalisme 

IKPI, Medan: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Medan menggelar acara penyambutan, pengenalan, dan pembekalan anggota baru, Sabtu (26/7/2025), bertempat di Kantor Sekretariat IKPI Medan, Jalan Prof H. M. Yamin No. 6H, Medan Barat, Kota Medan. Kegiatan ini menjadi momentum penting dalam memperkuat soliditas organisasi serta menanamkan nilai-nilai etika dan profesionalisme kepada para konsultan pajak muda.

Ketua IKPI Cabang Medan, Eben Ezer Simamora, dalam sambutannya menegaskan pentingnya peran anggota baru dalam membawa semangat pembaruan sekaligus menjaga marwah profesi konsultan pajak.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Medan)

“Dengan bergabungnya rekan-rekan baru hari ini, saya berharap IKPI Medan semakin solid, profesional, dan terus menjadi garda terdepan dalam memberikan jasa perpajakan yang patuh pada etika serta standar keahlian,” ujar Eben (sapaan akrab Eben Ezer)

Turut hadir dalam kegiatan tersebut jajaran pengurus cabang, yakni Wakil Ketua I Hang Bun, Wakil Ketua II Pony, Sekretaris Silvia Koesman, Wakil Sekretaris Novianna, serta anggota bidang Keanggotaan, Etika, dan Kaderisasi Wartiani dan Sarina.

Sementara itu, enam anggota baru yang disambut dalam kegiatan ini adalah Brillian, Steven Labanta Bancin, Yanty, Harry Khurnia, Johnson, dan Erika Lasti Manik. Mereka mendapatkan pembekalan menyeluruh terkait Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD/ART) IKPI, Kode Etik, serta Standar Profesi Konsultan Pajak.

(Foto: DOK. IKPI Cabang Medan)

Diungkapkan Eben, puncak acara ditandai dengan prosesi penyematan PIN IKPI kepada anggota baru yang disambut dengan semangat yel-yel “IKPI, Semakin Jaya, Jaya, Jaya!”.

“Semoga melalui penambahan anggota baru ini, kita dapat membangun sinergi yang lebih kuat serta meningkatkan kontribusi nyata IKPI Cabang Medan,” ujarnya. (bl)

Legislator Ingatkan Pajak Digital Jangan Timbulkan Tekanan Baru bagi UMKM

IKPI, Jakarta: Anggota Komisi VII DPR RI, Novita Hardini, mengingatkan pemerintah agar kebijakan perpajakan digital, khususnya di sektor e-commerce, tidak menjadi beban baru bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang sedang beradaptasi dengan transformasi digital.

Dalam kunjungan kerja spesifik ke Danau Toba, Sumatera Utara, Kamis (25/7/2025), Novita menegaskan bahwa pemerintah perlu memprioritaskan keberlanjutan usaha kecil, bukan hanya sekadar menekankan aspek legalitas dan formalitas dalam digitalisasi ekonomi.

“Jangan sampai UMKM yang baru mulai bernapas lewat platform digital justru langsung ditekan dengan kewajiban pajak tanpa kesiapan ekosistemnya. Mereka ini bukan korporasi besar, melainkan penopang ekonomi masyarakat,” ujar Novita dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (27/7/2025).

Legislator dari Dapil Jawa Timur VII itu menyoroti bahwa banyak pelaku UMKM sudah mulai mengikuti proses legalisasi usaha, seperti pengurusan sertifikasi halal, merek dagang, hingga pendirian PT perorangan, namun masih terbentur lambannya birokrasi.

“Ada yang sudah dua tahun mengurus sertifikat halal, tapi sampai hari ini belum selesai. Ini ironis—didorong untuk taat aturan, tapi tak difasilitasi, lalu sekarang dibebani pajak. Di mana keadilannya?” ungkapnya.

Menurut Novita, jika tak disertai pembinaan dan pendampingan yang memadai, kebijakan perpajakan digital seperti PPh Pasal 22 justru bisa menjadi penghambat kemajuan UMKM. Fokus pemerintah, katanya, seharusnya diarahkan pada penguatan kapasitas usaha, stabilitas produksi, dan edukasi digital yang konkret dan berkelanjutan.

“UMKM tidak butuh kejutan, mereka butuh kepastian. Jangan sampai hari ini bisa jualan, tapi besok tutup karena aturan berubah,” tambahnya.

Ia pun menyoroti pentingnya kolaborasi lintas kementerian dan lembaga dalam memberdayakan UMKM, namun menegaskan bahwa sinergi tersebut harus menghasilkan dampak nyata di lapangan, bukan sekadar seremoni penandatanganan nota kesepahaman.

“Kebijakan yang menyentuh langsung pelaku usaha kecil dari akses pembiayaan, teknologi digital, hingga pasar itulah yang seharusnya menjadi prioritas,” katanya.

Di sisi lain, Novita tetap mengapresiasi adanya upaya pemerintah melalui kolaborasi lintas sektor, termasuk antara Kementerian Keuangan, Kementerian UMKM, dan Kementerian Hukum dan HAM. Namun ia berharap hasil dari sinergi ini benar-benar menyasar hajat hidup rakyat kecil.

Komitmen untuk membela kepentingan UMKM, lanjut Novita, bukan semata retorika politik, melainkan bentuk tanggung jawab terhadap keberlanjutan ekonomi nasional.

“Jika UMKM kuat, ekonomi kita kokoh. Tapi kalau mereka tumbang karena kebijakan yang timpang, seluruh sendi ekonomi kita yang akan terdampak,” tegasnya.

Adapun Kementerian Keuangan saat ini tengah menyusun kebijakan pemungutan PPh Pasal 22 bagi pedagang di platform e-commerce. Dalam skema baru ini, marketplace akan berperan memungut pajak atas transaksi yang terjadi, menggantikan kewajiban pelaporan mandiri oleh pedagang.

Namun, Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Kacaribu, menegaskan bahwa tidak semua pelaku usaha akan dikenai pungutan. “Pedagang dengan penghasilan bruto di bawah Rp500 juta per tahun akan dikecualikan dari pemungutan PPh 22,” kata Febrio belum lama ini. (alf)

 

PMK 37/2025: Pedagang di Marketplace Wajib Buat Dokumen Tagihan Pajak

IKPI, Jakarta: Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 menetapkan ketentuan baru terkait pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 oleh marketplace atas transaksi yang dilakukan para pedagang dalam negeri. Aturan ini mengamanatkan marketplace untuk memungut PPh 22 sebesar 0,5 persen dan mengharuskan pedagang menyusun dokumen tagihan pajak secara elektronik.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyampaikan, dokumen tagihan tersebut wajib dibuat atas setiap transaksi penjualan barang atau jasa dalam ekosistem Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Dokumen ini berfungsi sebagai bukti pemungutan PPh 22 dan harus dihasilkan melalui sistem komunikasi elektronik milik marketplace.

“Pedagang dalam negeri wajib menyusun dokumen tagihan atas penjualan barang dan/atau jasa melalui sistem elektronik pihak ketiga,” jelas DJP dalam keterangan yang dikutip, Minggu (27/7/2025).

Rincian Dokumen Tagihan

Setiap dokumen tagihan yang disusun minimal harus memuat informasi sebagai berikut:

• Nomor dan tanggal dokumen tagihan;

• Nama penyedia platform (marketplace);

• Nama akun pedagang dalam negeri;

• Identitas pembeli, berupa nama dan alamat;

• Rincian barang/jasa, termasuk jenis, jumlah, harga, dan potongan;

• Nilai PPh 22 yang dikenakan kepada pedagang.

Prosedur Pembetulan dan Pembatalan

Apabila terjadi koreksi atau pembatalan transaksi, pedagang diharuskan membuat dokumen pembetulan atau pembatalan tagihan yang merujuk pada tagihan sebelumnya. Dokumen ini juga harus diterbitkan secara elektronik melalui sistem marketplace yang digunakan untuk transaksi.

Nomor dokumen pembetulan atau pembatalan wajib dihasilkan melalui sistem marketplace, dan statusnya dipersamakan dengan bukti pemungutan PPh 22. Artinya, nilai pajak yang tercantum dapat diperhitungkan sebagai pelunasan PPh final atau sebagai pembayaran dalam tahun berjalan.

Meski PMK 37/2025 telah diundangkan, DJP menegaskan bahwa implementasinya akan dilakukan secara bertahap. Hal ini menyesuaikan dengan kesiapan sistem teknologi dari masing-masing marketplace.

“Kami sudah melakukan komunikasi dengan platform marketplace. Saat ini mereka sedang melakukan penyesuaian teknis. Kemungkinan dalam satu hingga dua bulan ke depan mereka baru bisa ditetapkan sebagai pemungut PPh 22 PMSE,” ujar Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, dalam media briefing di Jakarta, (15/7/2025). (alf)

 

 

 

 

Vietnam Rancang Reformasi Pajak Besar-Besaran, Fokus Penyederhanaan PPh dan Transaksi Properti 

IKPI, Jakarta: Pemerintah Vietnam tengah menyiapkan langkah reformasi perpajakan paling ambisius dalam beberapa tahun terakhir. Fokus utama perubahan ini mencakup penyederhanaan struktur Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi serta perombakan sistem pajak atas transaksi properti.

Dalam draf revisi Undang-Undang PPh orang pribadi yang kini dibuka untuk masukan publik, Kementerian Keuangan Vietnam (MoF) dikutip Minggu (27/7/2025) mengusulkan pengurangan jumlah lapisan tarif pajak dari tujuh menjadi lima. Selain itu, rentang penghasilan di tiap lapisan akan diperluas agar lebih sederhana dan mudah diterapkan.

Saat ini, tarif pajak progresif di Vietnam berkisar antara 5% hingga 35%. Namun, struktur yang ada dianggap tidak ideal karena membebani kelompok berpenghasilan menengah ke bawah. Skema baru tetap mempertahankan tarif terendah 5%, berlaku untuk penghasilan bulanan setelah pengurang standar sebesar 10 juta dong (sekitar Rp6,24 juta). Sementara itu, tarif tertinggi 35% hanya akan dikenakan untuk penghasilan di atas 80 juta hingga 100 juta dong per bulan (Rp49,9 juta–Rp62,4 juta), tergantung pada skema final yang akan disahkan.

MoF menilai bahwa penyederhanaan ini akan mengurangi beban administrasi, mempercepat pelaporan pajak, dan meningkatkan efisiensi penerimaan negara. Kebijakan ini juga sejalan dengan tren global di mana banyak negara mengurangi jumlah lapisan tarif demi sistem perpajakan yang lebih efisien.

Namun, sejumlah pengamat dan pelaku industri memperingatkan bahwa perubahan mendadak dapat menimbulkan dampak negatif. Struktur baru dinilai berisiko membebani kelompok tertentu, serta belum tentu mampu mendorong daya beli rumah tangga secara signifikan.

Reformasi pajak juga menyentuh aspek lain, yakni perpajakan atas transaksi properti. Saat ini, penjualan properti dikenakan pajak tetap 2% dari nilai transaksi. Dalam skema baru, pajak akan dikenakan berdasarkan keuntungan bersih—yakni selisih antara harga jual dan beli, dikurangi biaya yang relevan dengan tarif 20%.

Jika harga beli dan biaya tidak bisa dibuktikan, maka tarif pajak akan didasarkan pada nilai jual properti dan disesuaikan dengan lamanya masa kepemilikan. Untuk properti yang dijual kurang dari dua tahun, tarif maksimal bisa mencapai 10%. Sedangkan untuk properti yang diperoleh melalui warisan, tarif tetap 2% tetap diberlakukan, karena status hukum warisan berbeda dari hibah atau hadiah dalam hukum perdata Vietnam.

Pendukung reformasi menyambut baik sistem baru yang dinilai lebih mencerminkan keuntungan riil dari transaksi properti. Namun, kalangan pelaku industri mengkhawatirkan potensi perlambatan pasar akibat kompleksitas perhitungan dan verifikasi data. Bahkan, penjual rumah bisa saja menaikkan harga jual guna mengompensasi beban pajak, yang pada akhirnya menyulitkan akses pembeli pertama.

Vietnam menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8,3%–8,5% tahun ini. Reformasi perpajakan ini merupakan bagian dari strategi memperkuat basis penerimaan negara di tengah upaya pemulihan pascakrisis properti 2022–2023. Para analis mengingatkan agar implementasi dilakukan secara bertahap dan hati-hati demi menjaga stabilitas ekonomi dan keberlanjutan sektor properti. (alf)

 

 

Lewat PMK 81/2024, DJP Permudah Pengembalian Pajak Tak Terutang, Ini Enam Situasi yang Bisa Diajukan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyegarkan kembali aturan soal pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang tidak semestinya dibayar oleh wajib pajak. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024, yang kini menjadi pedoman baru dalam pengajuan restitusi pajak yang seharusnya tidak terutang.

Langkah ini merupakan tindak lanjut dari amanat Pasal 17 ayat (2) dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), di mana disebutkan bahwa jenis restitusi ini tidak perlu melewati proses pemeriksaan, melainkan cukup melalui penelitian oleh otoritas pajak.

Restitusi yang dimaksud berlaku atas kondisi ketika pembayaran pajak dilakukan secara tidak tepat, baik karena kesalahan, kekeliruan, maupun situasi hukum tertentu yang menyebabkannya tidak terutang.

Enam Alasan Restitusi Diterima

Melalui beleid terbaru ini, DJP merinci enam kondisi yang dapat dijadikan dasar oleh wajib pajak untuk mengajukan restitusi, khususnya bila pembayaran pajaknya ternyata tidak sesuai ketentuan. Keenam situasi itu adalah:

• Kelebihan bayar Terjadi jika jumlah pajak yang disetor lebih besar dibanding kewajiban yang sebenarnya.

• Transaksi dibatalkan — Misalnya ketika faktur dibatalkan atau pembelian barang dibatalkan, tetapi pajaknya sudah terlanjur dibayar.

• Pembayaran yang tidak wajib — Ketika wajib pajak melakukan penyetoran meski objek tersebut seharusnya tidak dikenai pajak.

• Pelunasan setelah proses hukum — Termasuk dalam hal:

• Sisa lebih bayar setelah perkara dihentikan penyidikannya,

• Tidak digunakan sebagai dasar untuk membebaskan dari pidana,

• Tidak diperhitungkan sebagai denda pidana,

• Dibayar dengan NPWP selain milik tersangka sebelum pelimpahan kasus ke jaksa.

• UMKM dengan omzet kecil — Yaitu wajib pajak orang pribadi pelaku UMKM yang omzet tahunannya di bawah Rp500 juta, tetapi sudah terlanjur menyetor PPh final.

• Bea meterai belum dipakai — Setoran bea meterai yang masih tersisa dan belum digunakan juga bisa diminta kembali sesuai aturan yang berlaku.

Kini, wajib pajak tak perlu datang ke kantor pajak. Seluruh proses pengajuan restitusi jenis ini dapat dilakukan secara daring melalui sistem coretax. Menu yang harus dipilih adalah Pembayaran, kemudian masuk ke Formulir Restitusi Pajak.

Kebijakan ini menjadi bagian dari transformasi layanan DJP yang mengedepankan efisiensi dan kejelasan prosedur, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang taat pajak. (alf)

 

 

DJP Sisir Konten Medsos, Influencer dan Marketer Jadi Sasaran Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus memperkuat strategi pengawasan pajak di era digital. Salah satu upaya terbaru yang disorot adalah pemanfaatan teknologi crawling untuk memantau aktivitas dan gaya hidup para influencer serta affiliate marketer di media sosial.

Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, menjelaskan bahwa otoritas pajak kini mengadopsi sistem crawling, yaitu metode pengumpulan data otomatis yang menyisir konten-konten unggahan pengguna media sosial seperti Instagram, TikTok, hingga YouTube.

“Di medsos itu pasti diamati. Model crawling kita lakukan sebagai bentuk pengawasan, walau saat ini belum ada regulasi spesifik untuk pemungutannya,” ujar Yoga saat media briefing di Kantor Pusat DJP, dikutip Minggu (27/7/2025).

Menurut Yoga, banyak konten di media sosial yang menampilkan gaya hidup mewah, termasuk kendaraan, properti, dan barang-barang bermerek. Data ini kemudian disandingkan dengan laporan kekayaan dan penghasilan di sistem perpajakan. Jika ditemukan ketidaksesuaian, fiskus akan melakukan pendekatan persuasif berupa edukasi atau peringatan langsung kepada yang bersangkutan.

“Kalau suka pamer mobil di medsos, itu pasti diamati teman-teman pajak. Dari situ kita mulai melakukan pemetaan potensi pajak,” tambahnya.

Bukan hanya pemilik akun yang menonjolkan kemewahan, mereka yang menerima jasa endorsement atau afiliasi produk pun turut masuk radar. DJP mengawasi penghasilan dari kerja sama komersial digital tersebut, karena dinilai sebagai objek pajak yang kerap luput dari pelaporan.

Yoga menekankan, langkah ini bukan bentuk intimidasi, melainkan bagian dari upaya menciptakan keadilan fiskal antara pelaku usaha daring dan luring. Dengan semakin berkembangnya ekonomi digital, DJP ingin memastikan semua pihak berkontribusi secara adil dalam pembangunan negara.

“Dengan dinamika digital yang makin luas, otoritas pajak harus bisa meng-capture semua aktivitas ekonomi itu. Jangan sampai ada yang tidak bayar pajak hanya karena bergerak di dunia maya,” tegasnya.

Langkah ini menandai komitmen DJP untuk beradaptasi dengan zaman sekaligus menegakkan prinsip keadilan dalam sistem perpajakan nasional. (alf)

en_US