PER-11/2025: PKP Bisa Koreksi Kesalahan Faktur Pajak dengan Mekanisme Baru

IKPI, Jakarta: Pengusaha Kena Pajak (PKP) kini memiliki kepastian hukum lebih jelas ketika melakukan koreksi terhadap kesalahan dalam penerbitan Faktur Pajak. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2025 menetapkan mekanisme baru yang mempertegas dua opsi yang bisa dilakukan PKP: penerbitan Faktur Pajak Pengganti atau pembatalan Faktur Pajak.

Langkah ini menjadi angin segar bagi pelaku usaha, terutama mereka yang kerap dihadapkan pada dinamika transaksi yang kompleks. Lantas, seperti apa aturan mainnya?

Koreksi Lewat Faktur Pajak Pengganti

Faktur Pajak Pengganti dapat diterbitkan apabila terjadi kesalahan pengisian atau penulisan faktur—selain kesalahan identitas pembeli Barang Kena Pajak (BKP) atau penerima Jasa Kena Pajak (JKP). Penggantiannya hanya bisa dilakukan jika Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN tempat faktur awal dilaporkan masih bisa diperbaiki.

Meskipun diganti, Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP) tetap menggunakan nomor yang sama dengan faktur awal. Tanggal faktur baru mengacu pada tanggal saat faktur pengganti dibuat.

Menariknya, bila sebelumnya sudah ada nota retur atau pembatalan, maka Faktur Pajak Pengganti wajib memperhitungkan dokumen tersebut. Dan jika PKP tetap memilih mengganti faktur meskipun retur sudah dilakukan, maka retur dianggap tidak pernah terjadi—dengan catatan, pembetulan SPT tetap wajib dilakukan.

Contoh Praktis:

  1.  11 April 2025: PT ABC menjual 1.000 buku seharga Rp10.000 per unit. Total DPP: Rp10 juta, PPN: Rp1,2 juta.
  2. 16 Mei 2025: Terjadi pengembalian sebagian barang, senilai DPP Rp1 juta dan PPN Rp120 ribu.
  3. Di hari yang sama, ditemukan kesalahan ukuran dalam faktur awal. Maka diterbitkan Faktur Pajak Pengganti, dengan nilai DPP yang disesuaikan menjadi Rp9 juta dan PPN Rp1,08 juta, sambil memperhitungkan nota retur yang telah dibuat.

Ketentuan Pembatalan Faktur Pajak

Sementara itu, pembatalan Faktur Pajak berlaku dalam situasi yang berbeda. Misalnya, jika transaksi batal secara keseluruhan, atau faktur dibuat atas barang atau jasa yang seharusnya tidak dikenakan PPN. Kesalahan identitas pembeli juga menjadi dasar sah untuk melakukan pembatalan.

Pembatalan hanya bisa dilakukan selama SPT Masa PPN tempat faktur awal dilaporkan masih bisa diperbaiki. Bukti kuat seperti surat pembatalan kontrak atau dokumen serupa harus dilampirkan.

Bila faktur yang dibatalkan belum dilaporkan dalam SPT, maka cukup dibatalkan secara administratif tanpa perlu dilaporkan. Namun jika sudah terlanjur dilaporkan, PKP wajib mengajukan pembetulan SPT.

Dengan terbitnya PER-11/2025, DJP menegaskan pentingnya ketepatan dalam memilih antara penggantian dan pembatalan Faktur Pajak. Keduanya memiliki konsekuensi pelaporan yang berbeda, dan kesalahan prosedur bisa berdampak pada kepatuhan perpajakan PKP.

Para PKP diimbau untuk memahami secara mendalam isi regulasi ini guna menghindari kesalahan administratif yang bisa berujung pada sanksi. Bagi yang masih ragu, konsultasi ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat atau melalui saluran resmi DJP sangat dianjurkan. (alf)

 

Ekonomi China Terus Melemah: Deflasi Beruntun, Pemburu Pajak Menyasar Luar Negeri

IKPI, Jakarta: Upaya China mendorong konsumsi lewat libur panjang belum mampu menyulut pemulihan ekonomi. Data terbaru menunjukkan Negeri Tirai Bambu kembali terseret ke zona deflasi selama empat bulan berturut-turut, meski periode libur Hari Buruh dan Festival Perahu Naga sempat memberikan napas pendek pada aktivitas belanja domestik.

Badan Statistik Nasional (NBS) melaporkan indeks harga konsumen (CPI) turun 0,1% pada Mei secara tahunan, mengulang angka negatif bulan sebelumnya. Walau sedikit lebih baik dari ekspektasi para ekonom yang memperkirakan penurunan 0,2%, sinyal pemulihan masih jauh dari harapan.

Yang lebih mencemaskan, harga produsen (PPI) mengalami kontraksi ke-32 kalinya berturut-turut, dengan penurunan 3,3% — penurunan terdalam dalam hampir dua tahun. Penurunan tajam ini disebut-sebut dipicu oleh harga batu bara dan bahan mentah yang tertekan akibat persediaan berlimpah, serta dampak dari penurunan harga global minyak dan bahan kimia.

Robin Xing, ekonom dari Morgan Stanley, bahkan memperingatkan bahwa deflasi di China bisa semakin parah pada paruh kedua 2025. “Dengan lemahnya konsumsi dan ekspor yang terus melambat, pertumbuhan ekonomi bisa terkoreksi lebih cepat dari perkiraan,” ujarnya.

Kondisi ini diperparah oleh perang harga antarprodusen yang kian sengit. Salah satu contohnya datang dari raksasa mobil listrik BYD Co. yang memangkas harga hingga 34% untuk belasan model kendaraan listrik dan hybrid. Langkah agresif ini memicu kompetisi diskon besar-besaran di pasar kendaraan, namun tak serta merta mendorong permintaan.

Di tengah bayang-bayang krisis ini, pemerintah China kini bergerak di bidang lain untuk menambal fiskal memburu pajak dari warga negaranya yang memiliki pendapatan luar negeri. Setelah sebelumnya fokus pada kalangan superkaya, otoritas pajak kini memperluas target ke kelas menengah atas.

Menurut sejumlah sumber yang dikutip Bloomberg, pemerintah memperketat pengawasan atas pendapatan luar negeri seperti dividen, hasil investasi, hingga opsi saham karyawan. Langkah ini mencerminkan dorongan Beijing untuk menambah penerimaan negara di tengah lonjakan defisit anggaran yang menembus rekor lebih dari US\$360 miliar hingga April 2025 — naik lebih dari 50% dibanding tahun sebelumnya.

Perubahan strategi fiskal ini menyusul implementasi aktif dari Common Reporting Standard (CRS), skema pertukaran data global yang memungkinkan pemerintah China melacak aset warga negaranya di lebih dari 140 negara. Di bawah rezim baru ini, keuntungan dari saham-saham di AS maupun Hong Kong kini menjadi sasaran utama.

Lonjakan permintaan jasa konsultan pajak menunjukkan bahwa banyak warga dengan aset di bawah US\$1 juta kini mulai merasa terjaring. Pemerintah daerah di Beijing, Shanghai, dan provinsi seperti Zhejiang telah mengimbau wajib pajak untuk segera melaporkan pendapatan luar negeri mereka sebelum tenggat waktu akhir Juni 2025.

Pemerintah pusat melihat celah pajak yang signifikan, karena banyak pendapatan luar negeri belum tercatat dalam sistem pajak. Bahkan dalam sejumlah kasus, denda dan tunggakan yang harus dibayar mencapai puluhan ribu dolar AS.

Langkah agresif ini juga terkait dengan strategi jangka panjang pemerintah dalam mendorong “kemakmuran bersama”. Namun, pengawasan yang semakin ketat turut menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor, terutama di tengah gejolak ekonomi dan sikap pemerintah yang dinilai tidak selalu ramah terhadap sektor swasta.

Di sisi lain, investor China daratan telah mengalirkan dana besar ke pasar luar negeri. Data menunjukkan, aliran dana ke bursa Hong Kong mencapai HK\$658 miliar (sekitar US\$84 miliar) sepanjang tahun ini — dua kali lipat dari periode yang sama tahun lalu.

Dengan latar belakang ketegangan perdagangan yang belum mereda, terutama dengan Amerika Serikat, masa depan ekonomi China masih dipenuhi ketidakpastian. Meski pemimpin kedua negara sepakat melanjutkan dialog setelah panggilan antara Xi Jinping dan Donald Trump, para negosiator perdagangan masih harus menjembatani perbedaan besar dalam pertemuan di London yang berlangsung hari ini.

Sementara IMF memperkirakan inflasi China akan rata-rata nol persen tahun ini terendah sejak krisis keuangan global 2009 tekanan terhadap perekonomian domestik belum menunjukkan tanda akan mereda.(alf)

 

Bappenda Sumut Gelontorkan Rp23 Miliar untuk Jasa Penagihan Pajak Tunggakan

IKPI, Jakarta: Badan Pendapatan Daerah (Bappenda) Provinsi Sumatera Utara (Sumut) mengalokasikan anggaran fantastis sebesar Rp23,3 miliar dalam APBD 2025 untuk mendanai jasa tenaga penagih tunggakan pajak. Dana ini akan digunakan untuk membiayai layanan manajemen tenaga kerja yang bertugas mendukung operasional administrasi Samsat di seluruh wilayah Sumut.

Informasi tersebut tercantum dalam dokumen Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (Sirup) milik Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Sumut yang diakses pada Senin (9/6/2025). Tender tersebut tercatat dengan kode RUP 54293118.

Sebanyak 6.448 tenaga kerja akan dilibatkan dalam proyek ini. Mereka akan difungsikan untuk mendukung kegiatan administratif, termasuk penagihan pajak kendaraan bermotor yang menunggak. Uraian tugas yang tercantum menyebutkan penyediaan layanan “manajemen tenaga kerja administrasi perkantoran untuk Samsat se-Sumatera Utara”.

Pelaksanaan pengadaan akan dilakukan melalui sistem e-katalog guna memastikan transparansi dan efisiensi penggunaan anggaran. Langkah ini menjadi bagian dari strategi Bappenda Sumut dalam menggenjot pendapatan asli daerah dari sektor pajak kendaraan bermotor yang selama ini masih menyisakan banyak tunggakan.

Kebijakan ini juga diharapkan membuka peluang kerja bagi ribuan masyarakat lokal, sekaligus mempercepat proses pemulihan piutang pajak yang belum tertagih secara optimal. (alf)

 

 

 

Uang Pajak Bantu Timnas Terbang Tinggi: Gelontorkan Rp277 Miliar untuk Sepak Bola Nasional

IKPI, Jakarta: Pajak yang Anda bayarkan tak hanya membiayai pembangunan jalan atau layanan publik lainnya. Kali ini, pajak juga menjadi bahan bakar semangat Garuda. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengungkap bahwa pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp277 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mendukung kemajuan sepak bola nasional.

Mayoritas dari APBN ini, tentu saja, bersumber dari penerimaan pajak. DJP menekankan bahwa kontribusi masyarakat melalui pembayaran pajak berperan langsung dalam pembiayaan berbagai program strategis, termasuk pengembangan olahraga nasional.

“Pemerintah mengalokasikan uang kita sebesar Rp277 miliar untuk menyokong program pengembangan sepak bola, termasuk Timnas Indonesia,” tulis DJP dalam unggahan resmi di media sosial, dikutip Senin (9/6/2025).

DJP merinci bahwa dana tersebut dialokasikan ke tiga sektor utama: persiapan Timnas Indonesia dalam kualifikasi Piala Dunia 2026, pelatihan tim nasional di semua kelompok usia, dan mendukung program kerja asosiasi sepak bola Indonesia.

Dengan demikian, setiap rupiah pajak yang dibayarkan memiliki peran dalam membangun prestasi bangsa termasuk membawa Timnas Indonesia menuju panggung dunia. “Pajak yang kita bayarkan turut berperan dalam mendukung Tim Garuda mendunia,” lanjut DJP.

Momentum ini bertepatan dengan kemenangan bersejarah Timnas Indonesia atas China dalam laga kualifikasi Piala Dunia 2026 di Stadion Utama Gelora Bung Karno. Kemenangan 1-0 tersebut mengantar Indonesia ke posisi ketiga Grup C dan menjadikannya satu-satunya wakil ASEAN yang lolos ke babak keempat.

Dukungan pajak rakyat, kini terbukti tak hanya menciptakan infrastruktur fisik, tapi juga membangun fondasi kejayaan sepak bola nasional. Dari stadion hingga semangat Timnas, semua tak lepas dari kontribusi wajib pajak Indonesia. (alf)

 

Lewat IEU-CEPA, Pemerintah Dorong Ekspor dan Perluasan Basis Pajak

IKPI. Jakarta: Pemerintah Indonesia resmi mengumumkan bahwa proses perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) telah memasuki tahap akhir. Dalam konferensi pers di Brussels, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menegaskan bahwa sejumlah isu krusial berhasil disepakati dalam putaran negosiasi terakhir.

“Negosiasi teknis telah diselesaikan dan kedua pihak memiliki komitmen kuat untuk segera merampungkan proses formal. Ini adalah langkah besar bagi Indonesia,” ujar Airlangga pada Sabtu (7/6/2025).

Kesepakatan ini menjadi penanda penting berakhirnya proses panjang selama sembilan tahun yang mencakup 19 putaran negosiasi utama. Uni Eropa adalah mitra dagang kelima terbesar Indonesia, dengan nilai perdagangan mencapai USD30,1 miliar pada 2024 dan surplus dagang Indonesia yang meningkat tajam dari USD2,5 miliar ke USD4,5 miliar.

Salah satu keuntungan utama dari IEU-CEPA adalah penghapusan tarif impor hingga 80% dalam 1–2 tahun setelah perjanjian diberlakukan. Hal ini diprediksi akan mendongkrak volume ekspor komoditas unggulan seperti tekstil, alas kaki, perikanan, minyak sawit, hingga kendaraan listrik ke pasar Eropa.

Peningkatan ekspor ini diyakini tidak hanya menggerakkan sektor riil, tetapi juga akan berdampak positif terhadap penerimaan negara, terutama dari sisi pajak ekspor, PPh badan, dan PPN atas kegiatan perdagangan luar negeri.

“Dengan terbukanya pasar dan tarif nol persen untuk mayoritas produk kita, potensi penerimaan pajak dari sektor perdagangan dan industri manufaktur akan ikut terkerek naik,” ujar salah satu pejabat di Direktorat Jenderal Pajak.

Dalam pertemuannya dengan Komisioner Uni Eropa untuk Perdagangan dan Keamanan Ekonomi, Maroš Šefčovič, Airlangga juga menekankan pentingnya sinergi di sektor investasi. Indonesia mendorong agar sektor seperti energi terbarukan dan pengolahan mineral mendapatkan perhatian khusus dalam bentuk investasi langsung.

Tak hanya itu, diskusi juga mencakup potensi insentif fiskal untuk investor Eropa yang menanamkan modal di Indonesia, terutama di sektor berbasis ekspor dan yang berorientasi pada ekonomi hijau. Kebijakan ini diperkirakan akan menjadi katalis baru dalam meningkatkan basis pajak dan menumbuhkan lapangan kerja.

Isu deforestasi dan sustainability juga menjadi bagian integral dari perjanjian ini. Uni Eropa menyatakan akan memberikan perlakuan khusus kepada Indonesia dalam menghadapi regulasi lingkungan terbaru, yang kerap menjadi penghalang nontarif bagi ekspor produk kehutanan dan kelautan.

Selain itu, Indonesia berhasil memperjuangkan agar ekspor produk perikanan lokal mendapat perlakuan yang setara dengan negara ASEAN lain seperti Thailand dan Filipina. Kesepakatan ini menjamin adanya level playing field yang adil bagi pelaku usaha nasional.

IEU-CEPA diyakini akan menjadi lokomotif baru bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pemerintah menargetkan peningkatan ekspor ke Uni Eropa hingga 50% dalam empat tahun ke depan, yang diiringi dengan pertumbuhan penerimaan perpajakan secara alami tanpa harus menambah beban pajak baru.

“Kami optimis perjanjian ini akan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global sekaligus mendukung pencapaian target penerimaan pajak nasional dengan basis yang sehat dan berkelanjutan,” kata Airlangga. (alf)

 

Arab Saudi Resmi Terapkan VAT Refund untuk Turis Asing, Termasuk Jamaah Haji

IKPI, Jakarta: Kabar gembira bagi wisatawan mancanegara dan jamaah haji yang berbelanja di Arab Saudi! Pemerintah Arab Saudi kini resmi memberlakukan kebijakan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau VAT refund atas pembelian Barang Kena Pajak (BKP), mulai 18 April 2025.

Kebijakan ini memungkinkan warga negara asing termasuk jamaah haji dan umrah untuk mengklaim kembali PPN sebesar 15% atas barang-barang tertentu yang mereka beli selama berada di Arab Saudi. Penerapan sistem VAT refund ini menjadi bagian dari upaya modernisasi sistem perpajakan dan peningkatan daya tarik sektor pariwisata di Kerajaan.

“VAT refund diharapkan dapat meningkatkan minat belanja wisatawan, menciptakan pengalaman yang lebih menarik, dan menyelaraskan regulasi Arab Saudi dengan praktik terbaik internasional,” demikian pernyataan resmi Zakat, Tax and Customs Authority (ZATCA), dikutip Minggu (8/6/2025).

Syarat dan Mekanisme Klaim

Untuk mendapatkan VAT refund, pembeli harus memenuhi beberapa ketentuan berikut:

  • Merupakan individu nonresiden Arab Saudi.
  • Total belanja minimal SAR 1.000 (setara sekitar Rp4,3 juta).
  • Pembelian dilakukan di toko yang terdaftar dalam skema VAT refund.
  • Barang yang diklaim bukan makanan atau minuman.
  • Pembelian dilakukan maksimal 90 hari sebelum tanggal keluar dari Arab Saudi.

Proses klaim VAT refund bisa dilakukan di loket khusus di bandara, dengan menunjukkan faktur pembelian, paspor, boarding pass, dan formulir pengajuan refund. Pengembalian PPN dapat diterima dalam bentuk tunai atau nontunai, tergantung pilihan pelancong.

Kebijakan ini merupakan bagian dari komitmen Arab Saudi dalam Vision 2030, yang menargetkan peningkatan kontribusi sektor pariwisata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari 6% menjadi 10% pada tahun 2030. Selain itu, Arab Saudi menargetkan 150 juta kunjungan wisatawan asing per tahun. (alf)

 

 

 

 

 

Begini Cara Tepat Buat Faktur Pajak di Coretax untuk Uang Muka dan Termin

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) melalui layanan contact center Kring Pajak memberikan penjelasan penting seputar tata cara pembuatan faktur pajak di sistem Coretax DJP, khususnya untuk transaksi yang melibatkan pembayaran uang muka atau termin.

Dalam penjelasannya di media sosial pada Kamis (5/6/2025), Kring Pajak menekankan bahwa saat membuat faktur atas pembayaran uang muka, wajib pajak perlu mencentang kolom “uang muka”. Namun, kolom “nomor faktur pajak” tidak perlu diisi pada tahap ini. Setelah itu, pengguna diminta melengkapi data transaksi lainnya sesuai dengan permintaan sistem.

“Pada bagian detail transaksi, harga satuan diisi dengan harga penuh per unit barang atau jasa. Kemudian, centang kolom ‘DPP nilai lain’ dan masukkan nilai sebesar 11/12 dari total harga jual atau penggantian,” jelas Kring Pajak.

Setelah seluruh detail transaksi diisi, pengguna cukup mengklik tombol Simpan. Jika berhasil, sistem akan menampilkan notifikasi “berhasil memperbarui transaksi”. Langkah selanjutnya adalah mengisikan nominal uang muka ke kolom yang tersedia, lalu klik Simpan Konsep untuk menyimpan draft faktur tersebut.

Untuk pembayaran terakhir atau pelunasan, wajib pajak harus mencentang kolom “pelunasan” serta mengisi kolom “nomor faktur” dengan nomor seri faktur pajak (NSFP) yang digunakan pada saat penerbitan faktur uang muka sebelumnya. Sistem kemudian akan otomatis menghitung dan menampilkan sisa nilai pelunasan.

Apabila dalam transaksi terdapat pembayaran secara bertahap (termin ke-2, ke-3, dan seterusnya), maka kolom “uang muka” perlu dicentang kembali. Pengguna juga harus mengisi nomor faktur uang muka terakhir yang digunakan sebelumnya. Proses pengisian detail tetap mengikuti alur seperti pada penerbitan faktur uang muka pertama.

Sebagai informasi tambahan, Coretax merupakan sistem administrasi pajak modern milik DJP yang dikembangkan melalui Proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP). Proyek ini didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018 dan mengusung sistem informasi berbasis Commercial Off-the-Shelf (COTS) untuk memperkuat data perpajakan nasional serta menyederhanakan proses bisnis pajak secara menyeluruh.

Dengan penerapan Coretax, DJP berharap wajib pajak dapat lebih mudah dan akurat dalam menjalankan kewajiban perpajakan mereka, sekaligus meningkatkan efisiensi administrasi perpajakan di Indonesia. (alf)

 

Proses Ubah Metode Pembukuan dan Tahun Buku Kini Lebih Cepat dan Jelas, Ini Aturannya!

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak (Perdirjen) Nomor PER-8/PJ/2025 yang mengatur secara rinci tata cara perubahan metode pembukuan dan/atau tahun buku oleh wajib pajak. Aturan ini sekaligus menegaskan ketentuan yang sebelumnya diatur dalam Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yang mensyaratkan persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak untuk setiap perubahan tersebut.

Selama ini, DJP sempat merujuk pada dua surat edaran lama, yaitu SE-14/PJ.313/1991 dan SE-40/PJ.42/1998. Kini, PER-8/PJ/2025 hadir sebagai pembaruan yang lebih sistematis dan adaptif terhadap era digital, termasuk dengan pengajuan permohonan yang sudah bisa dilakukan secara elektronik melalui sistem coretax.

Tiga Syarat Utama untuk Dapat Persetujuan

Mengacu Pasal 4 PER-8/PJ/2025, wajib pajak yang ingin mengubah metode pembukuan dan/atau tahun buku harus terlebih dahulu memenuhi tiga syarat utama agar bisa memperoleh Surat Keterangan Fiskal (SKF), yakni:

• Telah menyampaikan SPT Tahunan PPh dua tahun terakhir dan SPT Masa PPN tiga masa pajak terakhir.

• Tidak memiliki utang pajak, atau jika ada, sudah memiliki izin penundaan atau angsuran pembayaran.

• Tidak sedang dalam proses penanganan tindak pidana perpajakan.

Motif Perubahan Harus Valid dan Wajar

Dalam aturan baru ini, alasan pengajuan perubahan juga harus logis dan tidak bermuatan manipulatif. Permohonan akan disetujui jika perubahan dibutuhkan oleh pemegang saham, kreditur, rekanan, atau lembaga lain yang relevan, serta dapat menunjukkan bahwa tanpa perubahan tersebut akan timbul kerugian atau hambatan bagi perusahaan.

DJP juga menegaskan bahwa permohonan hanya akan dipertimbangkan jika ini adalah permohonan pertama kali, dan tidak mengindikasikan adanya niat untuk mengubah kembali di masa depan. Selain itu, permohonan harus bebas dari indikasi pergeseran laba/rugi yang bertujuan menghindari beban pajak.

Keputusan Maksimal 15 Hari Kerja

Salah satu terobosan dalam PER-8/PJ/2025 adalah percepatan waktu penyelesaian permohonan. Bila sebelumnya, berdasarkan SE-14/PJ.313/1991, keputusan baru keluar dalam waktu dua bulan, kini DJP menetapkan batas waktu maksimal hanya 15 hari kerja sejak bukti penerimaan elektronik diterbitkan.

Hal ini merupakan upaya nyata DJP dalam menyederhanakan birokrasi dan memberikan kepastian hukum lebih cepat bagi wajib pajak.

Selain mempercepat proses, PER-8/PJ/2025 juga mengakomodasi digitalisasi layanan. Permohonan perubahan kini tidak lagi mengandalkan proses manual, tetapi dapat disampaikan langsung melalui platform coretax, lengkap dengan pernyataan pemenuhan syarat yang cukup dicentang pada formulir elektronik.

Dengan hadirnya aturan ini, DJP berharap kepatuhan dan transparansi perpajakan semakin meningkat, sekaligus menciptakan sistem yang lebih efisien dan ramah bagi dunia usaha. (alf)

 

 

 

 

 

Produsen Otomotif Minta Pemerintah Daerah Tinjau Kebijakan Opsen Pajak

IKPI, Jakarta: Rencana penerapan pungutan tambahan pajak atau opsen di 18 wilayah Indonesia mulai memicu kekhawatiran di sektor otomotif. Kenaikan harga kendaraan akibat kebijakan tersebut dikhawatirkan semakin menekan daya beli masyarakat yang kini sudah melesu.

Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat penjualan mobil secara wholesales dari pabrik ke dealer pada periode Januari hingga April 2025 hanya mencapai 256.368 unit. Angka ini menurun 2,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencatatkan 264.014 unit.

Penyebab utama penurunan tersebut tak lepas dari mahalnya harga mobil, salah satunya akibat beban pajak yang terus meningkat. Opsen menjadi salah satu instrumen baru yang memicu lonjakan harga. Sebagai informasi, opsen adalah pungutan tambahan dalam persentase tertentu dari pajak daerah. Setidaknya ada tiga jenis pajak yang dikenakan opsen, yakni Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB).

Sejumlah daerah seperti Aceh, Riau, Lampung, Jawa Tengah, Bangka Belitung, hingga Papua sempat memberikan angin segar dengan program relaksasi pajak atau pemutihan selama Juni 2025. Langkah ini memberikan dampak positif karena menjaga harga kendaraan tetap stabil dan diharapkan bisa memicu minat beli masyarakat.

Namun, produsen mobil tetap menyoroti penerapan opsen yang bisa memperberat kondisi pasar. Deputy 4W Sales & Marketing Managing Director PT Suzuki Indomobil Sales (SIS), Donny Saputra, meminta agar pemerintah daerah mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut.

“Kami sangat berharap rekan-rekan pemerintah daerah bisa mengevaluasi kembali rencana penerapan opsen, apalagi melihat kondisi pasar yang masih belum pulih sepenuhnya,” ujar Donny dalam keterangan di Jakarta baru-baru ini.

Menurutnya, jika masyarakat menunda pembelian mobil karena harga yang terlalu tinggi, justru potensi pendapatan daerah bisa ikut terdampak. “Kalau penjualan turun, penerimaan daerah dari pajak juga bisa ikut berkurang,” tambahnya.

Untuk mengimbangi tekanan tersebut, Suzuki telah meluncurkan berbagai program penjualan khusus untuk seluruh lini produknya. Tujuannya agar calon pembeli tetap punya kesempatan memiliki mobil baru meski kondisi pasar menantang.

“Dalam situasi seperti ini, konsumen tentu lebih hati-hati mengambil keputusan. Oleh karena itu, kami menghadirkan program menarik untuk mendorong daya beli,” jelas Donny.

Dengan masih lesunya pasar otomotif nasional, pelaku industri berharap ada sinergi lebih kuat antara pemerintah pusat, daerah, dan pelaku usaha agar ekosistem industri kendaraan tetap tumbuh sehat di tengah tantangan fiskal dan daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih. (alf)

 

 

 

 

 

Guru Besar UI: Legalisasi Kasino Bisa Tambah Penerimaan Negara Lewat Pajak

IKPI, Jakarta: Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof. Hikmahanto Juwana, mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan pelokalisasian kasino sebagai strategi meningkatkan penerimaan pajak negara. Hal ini disampaikan dalam diskusi publik bertema “Legalisasi Kasino di Indonesia: Antara Kepastian Hukum, Tantangan Sosial, dan Peluang Ekonomi”, yang digelar Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) di Jakarta Selatan, Sabtu (7/6/2025).

Hikmahanto menilai negara perlu bersikap realistis terhadap fakta bahwa aktivitas perjudian tetap berlangsung meski dilarang. Karena itu, ia mendorong legalisasi terbatas dan terkontrol terhadap kasino agar negara dapat memanen manfaat ekonomi, terutama dari sisi perpajakan.

“Kalau tetap dilarang tapi praktiknya jalan terus, lebih baik kita kompromi. Dilokalisasi saja, diawasi ketat, tapi dikenakan pajak. Itu sumber pendapatan yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan,” jelasnya.

Ia menyoroti potensi besar dari sektor ini. Merujuk data PPATK, terdapat perputaran dana perjudian hingga seribu triliun rupiah.

Sayangnya, tanpa regulasi yang jelas, uang tersebut justru lari ke luar negeri dan tidak memberikan kontribusi fiskal bagi Indonesia.

“Bayangkan kalau uang sebanyak itu diputar di dalam negeri dan dikenai pajak. Bisa jadi tambahan APBN yang signifikan, bisa digunakan untuk sektor publik seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur,” tegas Hikmahanto.

Sebagai perbandingan, ia menyebut Singapura yang mampu memanfaatkan industri kasino untuk menopang ekonominya. Negara tersebut berhasil mengoptimalkan pajak dari perjudian sebagai salah satu sumber pemasukan, tanpa kehilangan kontrol terhadap dampak sosialnya.

“Kita jangan sampai rugi dua kali yakni dilarang, tapi tetap jalan dan uangnya dinikmati negara lain. Kita harus bisa memikirkan kepentingan fiskal tanpa abai pada pengawasan sosial,” ujarnya.

Hikmahanto juga menekankan bahwa isu legalisasi kasino sebaiknya tidak semata dilihat dari kacamata moral atau keagamaan, tetapi juga dari sisi manfaat riil bagi negara dan masyarakat.

“Kalau kita biarkan seperti sekarang, kita tidak dapat apa-apa. Tapi kalau kita kelola dan kenakan pajak, kita bisa dapat manfaat yang sah dan berdampak langsung ke masyarakat,” pungkasnya.

Dengan potensi penerimaan pajak yang besar dari sektor kasino, wacana legalisasi yang terlokalisasi dinilai bisa menjadi salah satu solusi untuk memperluas basis pajak nasional di tengah tekanan fiskal saat ini. (alf)

 

en_US