APSyFI Sebut Kenaikan PPN 12% Tak Bebani Industri

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta, menyatakan bahwa keputusan pemerintah dengan memberlakukan kenaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN 12%) hanya kepada barang mewah pada tahun 2025, adalah keputusan tepat. Karena penerapan pada barang mewah hanya akan dikenakan pada produk akhir, bukan pada bahan baku atau bahan intermediate yang digunakan dalam proses produksi.

“Saya kira keputusan pemerintah ini sudah tepat karena yang ditarget adalah barang mewah,” ujar Redma dalam keterangan persnya, Senin (9/12/2024).

Menurut Redma, kebijakan ini tidak akan menambah beban biaya produksi di sektor manufaktur. Karena, meski kenaikan PPN 1% akan berdampak pada daya beli kelas menengah ke atas, hal tersebut tidak akan mengganggu jalannya produksi barang-barang industri.

Sebelumnya, kenaikan PPN yang direncanakan akan diberlakukan pada seluruh rantai pasok sempat menimbulkan kekhawatiran di kalangan produsen. Pasalnya, produsen harus menyiapkan tambahan modal untuk arus kas yang meningkat akibat beban bunga dari pengkreditan PPN. Dalam skenario tersebut, PPN yang dikenakan sepanjang rantai pasok bisa mencapai 21%, yang dinilai dapat memberatkan industri manufaktur.

Namun, meskipun APSyFI mendukung kebijakan tersebut, Redma juga menyoroti potensi dampak kenaikan PPN terhadap sektor transportasi dan logistik. Menurutnya, kenaikan harga barang mewah dapat mempengaruhi biaya logistik yang berujung pada peningkatan ongkos pengiriman. Ia pun berharap pemerintah mempertimbangkan dampak ini dan mendorong sektor logistik untuk melakukan efisiensi biaya.

Di sisi lain, APSyFI juga meminta pemerintah untuk lebih serius menangani masalah impor barang ilegal. Redma menilai bahwa pengentasan barang impor ilegal sangat penting untuk memperbaiki kondisi industri manufaktur dalam negeri. Selain itu, hal ini juga akan meningkatkan pendapatan pajak pemerintah tanpa memberatkan industri dan konsumen.

“Pengentasan barang impor ilegal merupakan hal utama untuk mengembalikan kondisi industri manufaktur. Sekaligus meningkatkan pendapatan pajak tanpa membebani industri dan konsumen,” kata Redma. (alf)

Pemerintah Finalisasi Pemberian Insentif PPnBM dan PPN DTP

IKPI, Jakarta: Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso, mengatakan pemerintah sedang melakukan finalisasi terhadap pemberian insentif PPnBM Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk pembelian mobil listrik dan PPN DTP untuk sektor properti. Kebijakan ini diberikan sebagai kompensasi dari penyesuaian tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% di 2025.

Dikatakan Susiwijono, untuk menyeimbangkan dampak dari PPN 12% diperlukan kajian oleh pemerintah, sehingga pihaknya akan memberikan usulan beberapa skema insentif fiskal khususnya PPN DTP dan PPnBM DTP.

“Lagi difinalisasi angka-angkanya,” ujar Susiwijono di Jakarta, Senin (9/12/2024).

Namun demikian, ia enggan menyebutkan kapan aturan teknis dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ini akan diterbitkan oleh pemerintah.

Sekadar informasi, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa penerapan tarif PPN 12% mulai berlaku tahun 2025. Sebab, implementasi PPN 12% adalah amanah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Namun, Prabowo menyatakan, tarif PPN 12% itu berlaku selektif hanya untuk barang mewah.

“Untuk rakyat yang lain kita tetap lindungi, sudah sejak akhir 2023 pemerintah tidak memungut yang seharusnya dipungut untuk membela, membantu rakyat kecil. Jadi kalaupun naik itu hanya untuk barang mewah,” kata Prabowo pekan lalu. (alf)

IKPI Jakarta Selatan dan KPP Setiabudi Satu Siap Tingkatkan Kolaborasi

IKPI, Jakarta: Pengurus Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Jakarta Selatan melakukan audiensi ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Setiabudi Satu, Jumat, (6/12/2024). Adapun tujuan kegiatan ini untuk mempererat hubungan dan menjajaki peluang kolaborasi dalam mendukung program perpajakan nasional.

Dalam kunjungan tersebut, Ketua IKPI Cabang Jakarta Selatan Sahata Eddy Situmorang, ditemani sejumlah pengurus IKPI lainnya.

Menurut Sahata, tujuan utama dari kunjungan ini adalah untuk mempererat hubungan antara IKPI Jakarta Selatan dengan KPP Setiabudi Satu, serta menjajaki potensi kolaborasi dalam mendukung program perpajakan nasional.

“Kunjungan ini juga untuk menggali peluang bersama dalam memberikan edukasi kepada Wajib Pajak (WP), yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran dan kepatuhan pajak,” kata Sahata di Jakarta, Senin (9/12/2024).

Ia menegaskan, melalui kolaborasi yang erat, kedua pihak berharap dapat mencapai target penerimaan negara yang tinggi. Sinergi antara IKPI Jakarta Selatan dan KPP Setiabudi Satu diharapkan akan terus berlanjut, dengan fokus pada optimalisasi penerimaan pajak melalui berbagai kegiatan edukasi dan sosialisasi bersama.

Sementara itu, Kepala Kantor KPP Setiabudi Satu, Elija Setyawan, yang didampingi  enam kepala seksinya menyampaikan beberapa point pada audiensi tersebut yakni:

KPP Setiabudi Satu, berhasil mencapai 112 persen dari target penerimaan negara pada tahun 2024. Realisasi penerimaan tersebut tercatat sekitar Rp6 Triliun, hasil dari strategi pendekatan yang efektif kepada Wajib Pajak. Keberhasilan ini menjadi bukti keberhasilan KPP Setiabudi Satu dalam mencapai target yang ditetapkan.

Menurut Elija, salah satu kunci utama dari keberhasilan ini adalah pendekatan “negosiasi” dalam arti positif, yang dilakukan oleh jajarannya. Dalam pendekatan ini, tujuan utamanya adalah mencari kesamaan persepsi antara Wajib Pajak dan petugas pajak.

Meskipun Undang-Undang Pajak yang berlaku bersifat umum, perbedaan dalam penafsiran dan pemahaman sering kali muncul. Oleh karena itu, diperlukan dialog yang konstruktif untuk menyatukan sudut pandang antara Wajib Pajak dan petugas pajak.

Elija  menekankan bahwa membayar pajak bukan hanya kewajiban, tetapi juga dapat dipandang sebagai amal baik. Dalam penjelasannya, ia memberikan analogi bahwa hubungan antara Wajib Pajak dan Pegawai Pajak mirip dengan hubungan antara dokter dan pasien.

Menurutnya, seperti halnya dokter yang menjadi lebih pandai karena belajar dari kasus-kasus pasien, pegawai pajak juga memperdalam pengetahuan mereka melalui interaksi dengan Wajib Pajak. Oleh karena itu, sinergi ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan pajak.

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris IKPI Cabang Jakarta Selatan Faryanti Tjandra menambahkan, kesiapan untuk berkolaborasi lebih lanjut antara IKPI Jakarta Selatan dengan KPP Setiabudi Satu. Hal ini diwujudkan dalam rangka mendukung sosialisasi dan edukasi perpajakan.

Menurut Faryanti, beberapa kegiatan yang diusulkan antara lain Focus Group  Discussion (FDG) untuk membahas isu perpajakan terkini, serta penyelenggaraan Booth Pajak di lokasi-lokasi strategis untuk memberikan edukasi langsung kepada masyarakat.

Selain itu kata Faryanti, pengurus IKPI Jaksel juga menyampaikan kegiatan lain yang dapat meningkatkan pemahaman dan kepatuhan perpajakan juga akan dieksplorasi lebih lanjut dalam kerja sama ini.

Ia berharap audiensi ini menjadi momentum yang baik untuk mempererat sinergi antara IKPI Jakarta Selatan dan KPP Setiabudi Satu. Dengan terjalinnya kolaborasi yang lebih erat, diharapkan kedua pihak dapat terus mendukung upaya optimalisasi penerimaan pajak melalui berbagai kegiatan edukasi dan sosialisasi yang melibatkan berbagai elemen masyarakat dan Wajib Pajak. (bl)

Wajib Pajak Harus Tahu Beda PPN dan PPh, Ini Penjelasannya

IKPI, Jakarta: Indonesia saat ini sedang ramai membicarakan isu kenaikan pajak, khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang telah meningkat menjadi 11% sejak April 2022. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), PPN direncanakan akan naik lagi menjadi 12% pada tahun 2025.

Kenaikan ini menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat, salah satunya terkait perbedaan mendasar antara PPN dan Pajak Penghasilan (PPh).

Meskipun keduanya merupakan bagian dari sistem perpajakan Indonesia, PPN dan PPh memiliki tujuan, penerapan, dan mekanisme yang berbeda. Berikut penjelasan mengenai kedua jenis pajak tersebut:

Apa itu PPN dan PPh?

1. PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa dalam negeri. Secara sederhana, ini adalah pajak yang dibayar oleh konsumen akhir saat membeli barang atau menggunakan jasa. Namun, meskipun konsumen yang membayar, kewajiban memungut dan menyetorkan PPN ada di tangan Pengusaha Kena Pajak (PKP), yaitu pihak yang menjual barang atau jasa tersebut.

Contohnya, saat Anda membeli produk di supermarket, harga yang tertera biasanya sudah termasuk PPN. Saat ini, tarif PPN yang berlaku adalah 11% untuk sebagian besar barang dan jasa, dengan beberapa kategori barang dan jasa tertentu yang dikecualikan atau dikenakan tarif khusus, seperti kebutuhan pokok dan jasa pendidikan. Selain itu, ekspor barang dikenakan tarif 0% guna mendukung daya saing Indonesia di pasar global.

2. Berbeda dengan PPN, PPh adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh individu maupun badan usaha. Penghasilan yang dimaksud meliputi gaji, laba usaha, bunga, hadiah, dan sebagainya. Pajak ini langsung dibayarkan oleh penerima penghasilan atau melalui pemotongan oleh pihak lain, seperti perusahaan yang memotong PPh Pasal 21 dari gaji karyawannya setiap bulan.

Tarif PPh bersifat progresif untuk individu, dimulai dari 5% hingga 35% tergantung pada jumlah penghasilan kena pajak. Sementara itu, untuk badan usaha, tarif PPh umumnya sebesar 22%.

Dengan demikian, dapat disimpulkan perbedaan utama antara PPN dan PPh terletak pada objek pajak, mekanisme pembayaran, dan siapa yang menanggungnya. PPN dikenakan atas konsumsi barang dan jasa, dan dibayar oleh konsumen akhir, sedangkan PPh dikenakan atas penghasilan dan dibayar oleh penerima penghasilan, baik individu maupun badan usaha. Meskipun keduanya bagian dari sistem perpajakan yang penting, perbedaan mendasar ini perlu dipahami agar masyarakat dapat lebih cermat dalam memenuhi kewajiban pajaknya. (alf)

Pemerintah Prabowo Targetkan Penerimaan PPh Pasal 21 Meningkat Signifikan pada 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pada tahun depan akan fokus pada peningkatan penerimaan pajak dari sektor karyawan. Hal ini tercermin dari target pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang ditetapkan untuk tahun 2025, yang mengalami lonjakan signifikan dibandingkan dengan target tahun 2024.

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 201/2024 tentang Rincian APBN 2025, pemerintah menargetkan penerimaan PPh Pasal 21 mencapai Rp 313,5 triliun, yang merupakan kenaikan 45,6% dari target PPh Pasal 21 pada tahun 2024 yang sebesar Rp 215,2 triliun.

Kenaikan ini menjadi salah satu langkah strategis pemerintah untuk mengoptimalkan potensi penerimaan pajak yang berasal dari kelompok karyawan atau tenaga kerja.

Menurut Laporan APBN KITA Edisi November 2024, penerimaan PPh Pasal 21 sepanjang tahun 2024 telah mencapai Rp 206,99 triliun, yang menyumbang 13,64% terhadap total penerimaan pajak negara. Angka tersebut menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan sebesar 23,14% secara year-on-year (yoy).

Pencapaian ini mencerminkan tren positif yang konsisten dari penerimaan PPh Pasal 21 dalam beberapa tahun terakhir, dengan pertumbuhan yang stabil di atas angka 20% pada tahun 2024.

Kinerja positif dari penerimaan PPh Pasal 21 ini didorong oleh sejumlah faktor, salah satunya adalah kompensasi gaji atau upah karyawan yang masih terjaga dengan baik. Dalam beberapa tahun terakhir, meskipun tantangan ekonomi global dan domestik, kompensasi tenaga kerja di Indonesia cenderung stabil, yang pada gilirannya berdampak positif terhadap penerimaan pajak dari sektor karyawan.

Dengan adanya target yang lebih tinggi ini, pemerintah berharap dapat mengoptimalkan potensi pajak penghasilan yang berasal dari karyawan untuk mendukung pembiayaan berbagai program pembangunan nasional.

Selain itu, langkah ini juga menunjukkan komitmen pemerintah dalam memperkuat basis pajak domestik, khususnya dalam menghadapi tantangan fiskal di tahun-tahun mendatang.

Namun, pencapaian target yang ambisius ini tentu akan bergantung pada sejumlah faktor, termasuk perkembangan ekonomi, kebijakan pengupahan, dan kepatuhan wajib pajak di kalangan karyawan.

Pemerintah diperkirakan akan terus memantau dan menyesuaikan kebijakan perpajakannya guna memastikan penerimaan negara tetap optimal.

Dengan langkah-langkah ini, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui perbaikan sektor perpajakan yang berkelanjutan. (alf)

Puluhan Anggota IKPI Makassar dan Wajib Pajak Ikuti Seminar “Strategi Pelaporan SPT PPh 21 dan Analisis Pajak Natura dan Kenikmatan”

IKPI, Jakarta: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Cabang Makassar sukses menyelenggarakan seminar dengan tema “Strategi Perhitungan dan Pelaporan SPT PPh 21 Akhir Tahun (Sesuai PP 58 dan PMK 168 Tahun 2023) dan Analisis Pajak Terkait Natura dan Kenikmatan”. Acara yang digelar di Hotel Grand Asia, Panakukang, Kota Makassar ini dihadiri oleh 80 peserta, terdiri dari 43 anggota IKPI dan 37 peserta umum.

Ketua IKPI Cabang Makassar Ezra Palisungan menyatakan,  pemilihan tema ini  diambil karena dianggap sangat relevan mengingat bulan Desember adalah waktu yang sibuk bagi Wajib Pajak, khususnya dalam mempersiapkan pelaporan SPT PPh 21 akhir tahun.

Selain itu lanjut Ezra, 2024 merupakan tahun pertama pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 168/2023 yang memengaruhi cara pelaporan pajak.

Pada kesempatan itu, sebagai ketua cabang Ezra berharap seminar seperti ini dapat lebih sering diselenggarakan di masa mendatang. Hal ini bertujuan agar semakin banyak pihak yang mendapatkan pemahaman terkait peraturan perpajakan yang selalu dinamis.

(Foto: IKPI Cabang Makassar)

“IKPI Cabang Makassar berkomitmen untuk membantu otoritas pajak dengan mengedukasi Wajib Pajak dan memperkenalkan eksistensi IKPI di Makassar melalui kegiatan seperti ini,” ujar Ezra, Senin (9/12/2024).

Antusiasme Peserta 

Ia menceritakan, seminar ini juga mendapat sambutan hangat dari peserta, baik yang berasal dari perusahaan, yayasan pendidikan, rumah sakit, dan instansi lainnya, yang berasal dari Makassar maupun luar daerah, bahkan luar Provinsi Sulawesi Selatan.

(Foto: IKPI Cabang Makassar)

“Peserta sangat antusias dalam sesi tanya jawab yang berlangsung hampir 4 jam, yang menunjukkan bahwa banyak yang merasakan manfaat dari kegiatan ini,” ujarnya.

Dengan kegiatan ini, Ezra menegaskan bahwa IKPI Cabang Makassar tidak hanya memperkuat perannya dalam membantu edukasi perpajakan, tetapi juga semakin mendekatkan diri kepada Wajib Pajak dan Otoritas Pajak di wilayah Makassar. (bl)

Penerapan MFA, DJP Imbau Wajib Pajak Perbarui Data Pribadi di Aplikasi DJP Online

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mulai menerapkan sistem keamanan Multi-Factor Authentication (MFA) pada aplikasi DJP Online. Hal ini guna melindungi data Wajib Pajak dan mencegah tindakan penipuan.

Kebijakan ini diumumkan melalui Pengumuman Nomor PENG-33/PJ.09/2024 yang diteken oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat, Dwi Astuti, pada 2 Desember 2024.

Menurut Dwi, penerapan MFA bertujuan untuk memperkuat protokol keamanan data dalam rangka implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP atau Coretax). Proses transisi penerapan MFA akan berlangsung hingga 31 Desember 2024.

Dikatakannya, selama masa transisi ini, DJP mengimbau agar Wajib Pajak memperbarui data pribadi seperti nomor handphone dan alamat email pada aplikasi DJP Online, yang digunakan untuk keperluan perpajakan.

Dwi mengingatkan Wajib Pajak untuk secara berkala memperbarui kata sandi (password) aplikasi DJP Online sebagai langkah preventif terhadap potensi kebocoran data. “Kami juga menyarankan Wajib Pajak untuk memperbarui kata sandi secara berkala,” ujarnya.

Sekadar informasi, sejak penerapan MFA, pengguna yang mengakses aplikasi DJP Online diwajibkan untuk melakukan verifikasi melalui nomor token yang diterima melalui email, SMS, atau aplikasi M-Pajak. Langkah ini diambil sebagai bentuk perlindungan ekstra terhadap data pribadi Wajib Pajak.

DJP Kemenkeu juga mengingatkan agar Wajib Pajak berhati-hati terhadap upaya penipuan yang mengatasnamakan DJP. Ditegaskan, bahwa mereka tidak pernah meminta informasi sensitif seperti nama ibu kandung, file aplikasi (APK), atau transfer uang.

Semua komunikasi resmi DJP hanya dilakukan melalui nomor WhatsApp terverifikasi, yakni +62 822-3000-9880.

Dengan penerapan MFA ini, DJP berharap dapat lebih memastikan perlindungan terhadap data pribadi Wajib Pajak serta mencegah ancaman keamanan di dunia maya. (alf)

AHM Prediksi Kenaikan Harga Motor Hingga Rp 2 Juta Imbas Kenaikan PPN dan Opsen Pajak Kendaraan 2025

IKPI, Jakarta: Astra Honda Motor (AHM) memperkirakan harga jual motor Honda baru akan mengalami kenaikan akibat dampak dari kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% dan penerapan kebijakan opsen pajak kendaraan yang akan diberlakukan mulai 2025.

Octavianus Dwi Putro, Marketing Director AHM, mengungkapkan bahwa prediksi kenaikan harga motor baru Honda bisa mencapai Rp700 ribu hingga Rp2 juta per unit, tergantung pada model dan tipe kendaraan. “Itu tergantung model by model. Kalau simulasi saya, dengan angka normal nanti area per area bisa berbeda, ada yang lebih tinggi ada yang lebih rendah, kisaran kenaikannya bisa Rp700 ribu hingga Rp2 juta,” ujar Octavianus dalam keterangan kepada media kemarin.

Kebijakan opsen pajak kendaraan bermotor, yang merupakan pungutan tambahan yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten atau kota, rencananya akan mulai diterapkan pada 5 Januari 2025. Di sisi lain, kenaikan PPN yang naik dari 11 persen menjadi 12 persen juga direncanakan berlaku pada tahun depan.

Namun, Octavianus menambahkan bahwa AHM belum dapat memberikan rincian pasti mengenai kenaikan harga motor baru Honda di setiap daerah, karena kebijakan pajak daerah setempat berperan dalam menentukan tarif yang akan dikenakan pada kendaraan bermotor.

“Yang saya dengar, Kaltim malah kalau nggak salah justru mengalami penurunan, bukan kenaikan. Jadi, kami masih menunggu finalisasi keputusan tersebut,” ujarnya.

Ia menjelaskan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak akan memberlakukan kenaikan PPN maupun opsen pajak kendaraan bermotor pada tahun depan. Hal ini berarti, tidak ada perubahan harga jual motor Honda di Jakarta untuk tahun 2025. “Sebagai contoh, Jakarta kan nggak naik, opsen di Jakarta tuh zero,” tambahnya.

Octavianus juga berharap agar pemerintah dapat mempertimbangkan kembali keputusan untuk menaikkan PPN dan memberlakukan opsen pajak kendaraan pada tahun depan, karena kebijakan tersebut dinilai berpotensi mempengaruhi daya beli konsumen.

AHM masih menunggu keputusan final dari pemerintah terkait kebijakan tersebut dan akan melakukan perhitungan lebih lanjut setelahnya. (alf)

Banggar DPR Sebut Kenaikan PPN 12% Tak Cukup Dongkrak Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah, mengingatkan bahwa penerapan kenaikan tarif PPN 12% hanya pada barang mewah tidak akan cukup untuk mendongkrak penerimaan pajak yang diharapkan pada tahun 2025.

Said menjelaskan, kontribusi Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) hanya menyumbang sekitar 1,3% dari total penerimaan pajak nasional sepanjang periode 2013-2022. Oleh karena itu, jika hanya barang mewah yang dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi, maka diperkirakan tidak akan memenuhi target penerimaan pajak pada tahun 2025 yang diatur dalam UU APBN 2025.

“Saat ini, kontribusi PPnBM sangat kecil terhadap total penerimaan pajak. Kenaikan tarif PPN pada barang mewah saja tidak akan cukup untuk mencapai target penerimaan negara,” ujar Said dalam keterangan resminya, Minggu (8/12/2024).

Namun demikian, Ia menegaskan bahwa penerimaan pajak tambahan yang dihasilkan dari kebijakan ini akan digunakan untuk membiayai program-program strategis yang dapat memberikan dampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat.

Beberapa program tersebut antara lain program Makan Bergizi Gratis senilai Rp 71 triliun, pemeriksaan kesehatan gratis sebesar Rp 3,2 triliun, pembangunan rumah sakit berkualitas di daerah dengan anggaran Rp 1,8 triliun, renovasi sekolah senilai Rp 20 triliun, serta pembangunan lumbung pangan nasional.

Kenaikan tarif PPN ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan sudah disepakati oleh seluruh fraksi di DPR RI dan pemerintah. Langkah ini bertujuan menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, efisien, serta mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Meski tarif PPN disesuaikan, pemerintah memastikan bahwa barang-barang kebutuhan pokok masyarakat tetap bebas dari PPN, termasuk bahan pokok, produk hewani, dan hasil pertanian.

Sementara itu, barang-barang mewah seperti kendaraan, rumah, dan barang konsumsi kelas atas akan dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi. Kebijakan ini bertujuan agar masyarakat dengan daya beli yang lebih tinggi dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap penerimaan negara, yang nantinya akan dikembalikan kepada masyarakat melalui berbagai program sosial untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi.

“Kebijakan ini juga bertujuan agar mereka yang memiliki kemampuan ekonomi lebih tinggi dapat berkontribusi lebih besar terhadap penerimaan negara, yang nantinya akan digunakan untuk program sosial yang memperkecil kesenjangan sosial dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat,” ujar Said. (alf)

Menkeu Sri Mulyani Bahas Zakat, Pajak, dan Bea Cukai dalam Konferensi Internasional di Riyadh

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, menghadiri konferensi internasional yang diselenggarakan di Riyadh, Arab Saudi pada 4-5 Desember 2024. Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani berbicara tentang reformasi keuangan negara, kebijakan fiskal, serta pentingnya pengelolaan pajak, bea cukai, dan zakat dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Konferensi tersebut diadakan atas undangan Menteri Keuangan Arab Saudi, Mohammed Al-Jadaan, dan dihadiri oleh sejumlah pembicara penting, termasuk Menteri Keuangan Bahrain, Shaikh Salman bin Khalifa Al Khalifa, serta Menteri Negara Keuangan India, Shri Pankaj Chaudhary.

Sri Mulyani menyampaikan bahwa negara-negara Teluk, khususnya di Timur Tengah, tengah melakukan berbagai reformasi dalam sektor keuangan negara dan kebijakan fiskal.

Reformasi ini bertujuan untuk memodernisasi ekonomi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata.

“Negara-negara Teluk di Timur Tengah tengah banyak melakukan reformasi Keuangan Negara, Fiskal Policy dan Perpajakan (Pajak, Bea Cukai dan Zakat) untuk memodernisasi ekonomi, mendorong dan mendukung pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan merata,” ujar Sri Mulyani melalui unggahan di akun Instagram resminya pada Minggu (8/12/2024).

Dalam sesi yang bertajuk “Memastikan Kemakmuran Melalui Penciptaan Pendapatan Ekonomi yang Berkelanjutan,” Sri Mulyani berbagi pengalaman Indonesia dalam memulihkan ekonomi pasca-pandemi COVID-19, tantangan kebijakan fiskal, serta pentingnya reformasi perpajakan dan tata kelola fiskal global.

Menurutnya, kebijakan fiskal yang efektif menjadi kunci dalam pemulihan dan pertumbuhan ekonomi global yang inklusif.

“Saya diminta untuk berbicara mengenai pengalaman Indonesia dalam memulihkan ekonomi pasca COVID-19, tantangan kebijakan fiskal, dan tata kelola fiskal global yang sangat menantang, namun sangat penting bagi semua negara,” kata Sri Mulyani.

Ia juga menekankan pentingnya belajar dari negara-negara lain, termasuk Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya, tentang kebijakan ekonomi dan fiskal yang dapat mendiversifikasi dan mentransformasi ekonomi.

Menurutnya, konferensi internasional ini menjadi wadah penting untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam memajukan perekonomian global, terutama dalam menghadapi tantangan fiskal dan memaksimalkan potensi ekonomi berkelanjutan. (alf)

en_US