Dirjen Pajak Pastikan Coretax Siap Digunakan Januari 2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengumumkan bahwa proses pengujian akhir Core Tax Administration System (CTAS), atau Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP), telah selesai dan siap digunakan pada 1 Januari 2025. Sistem baru ini diharapkan dapat mempermudah administrasi perpajakan di seluruh Indonesia.

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo, dalam konferensi pers APBN KiTa edisi Desember 2024, menyatakan mulai 1 Januari 2025 Core Tax System (Coretax) dapat digunakan untuk kegiatan administrasi perpajakan di Indonesia. Ia juga mengungkapkan bahwa tahap uji coba terakhir, yang disebut Operational Acceptance Test (OAT), telah selesai dilaksanakan pada 29 November 2024 dengan sukses, dan dilakukan di dua kantor wilayah DJP.

Setelah pengujian operasional, tahap berikutnya adalah uji coba sistem di seluruh kantor wilayah DJP di Indonesia, yang dimulai pada 16 Desember 2024. Pada tahap ini, sistem akan diuji coba di berbagai wilayah untuk memastikan kesiapan dan memberikan kesempatan bagi Wajib Pajak (WP) serta pegawai DJP untuk beradaptasi dengan sistem baru.

“Initial deployment kami coba lakukan, sehingga Direktorat Jenderal Pajak dan juga masyarakat nantinya diharapkan dapat melakukan uji coba terhadap sistem yang kami bangun sebelum betul-betul termanfaatkan di 1 Januari 2025 besok,” ujarnya.

Menurutnya, DJP juga telah memulai program sosialisasi dan pelatihan sejak Agustus 2024, dengan menyediakan materi edukasi, termasuk video tutorial, di portal resmi DJP. Selain itu, pihaknya terus melatih pegawainya untuk memastikan mereka siap menggunakan sistem baru secara optimal dan dapat memberikan panduan yang jelas kepada masyarakat.

Dalam mendukung operasionalisasi sistem baru ini, Suryo juga mengungkapkan bahwa kerangka regulasi telah dipersiapkan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan. Beberapa aturan turunan lainnya pun sedang disiapkan untuk memastikan implementasi yang lancar.

Dengan penerapan Core Tax Administration System pada Januari 2025, DJP berharap dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi administrasi perpajakan di Indonesia, memberikan kemudahan bagi wajib pajak, serta memperkuat sistem perpajakan negara.(alf)

Pemerintah Targetkan Penerimaan Pajak 2025 Tumbuh Signifikan

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan pentingnya kontribusi pajak bagi pembangunan negara, khususnya dari kelompok masyarakat yang mampu menikmati hasil pembangunan. Dalam pidato yang disampaikan di Istana Kepresidenan, Jakarta,Selasa (10/12/2024). Sri Mulyani menegaskan bahwa kelompok yang tidak mampu akan terus dibantu melalui program sosial seperti bantuan pendidikan, kesehatan, subsidi, dan pembebasan pajak yang dibiayai oleh APBN.

“Kelompok yang mampu dan menikmati hasil pembangunan diminta untuk bergotong-royong memenuhi kewajiban pajaknya dengan patuh dan jujur, agar Indonesia terus berkembang dan maju,” ujar Sri Mulyani.

Ia juga mengungkapkan bahwa pemerintah tengah mendorong reformasi perpajakan dengan penerapan teknologi digital untuk memperbaiki layanan dan memperkuat basis pajak. Hal ini bertujuan untuk mengatasi ancaman praktik penghindaran pajak dan persaingan pajak global yang semakin ketat.

Dalam konteks tersebut, pemerintah menetapkan target penerimaan negara pada APBN 2025 sebesar Rp3.005,1 triliun. Dari jumlah tersebut, penerimaan pajak dipatok mencapai Rp2.490,9 triliun, sementara pendapatan negara bukan pajak diperkirakan mencapai Rp513,6 triliun.

Hibah yang diterima diperkirakan sebesar Rp0,6 triliun. Untuk belanja pemerintah pusat, pemerintah merencanakan sebesar Rp2.701,4 triliun, dengan transfer ke daerah mencapai Rp919,9 triliun. Defisit anggaran pada 2025 diproyeksikan sebesar Rp616,2 triliun atau setara dengan 2,53% dari produk domestik bruto (PDB).

Menurutnya, salah satu aspek yang menarik perhatian dalam APBN 2025 adalah proyeksi penerimaan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 atau pajak karyawan yang mengalami kenaikan signifikan sebesar 45%. Pemerintah menargetkan penerimaan PPh 21 pada 2025 mencapai Rp313,5 triliun, naik Rp98,3 triliun dibandingkan dengan target 2024 yang sebesar Rp215,2 triliun.

“Kenaikan ini sejalan dengan total sasaran penerimaan pajak dalam negeri yang ditargetkan mencapai Rp2.433 triliun, naik 8,9% dibandingkan tahun sebelumnya,” ujarnya.

Di sisi lain kata Menkeu, penerimaan PPh Pasal 25/29 untuk pajak korporasi justru mengalami penurunan. Pemerintah menargetkan penerimaan pajak korporasi pada 2025 turun sebesar Rp58,6 triliun atau 13,6%, dari Rp428,59 triliun pada 2024 menjadi Rp369,95 triliun pada 2025. Meskipun mengalami penurunan, pajak korporasi tetap menjadi sumber penerimaan PPh terbesar kedua setelah pajak karyawan.

Selain itu, target pajak pertambahan nilai (PPN) yang dipungut baik dari dalam negeri maupun impor juga ditingkatkan menjadi Rp917,79 triliun pada 2025, dengan tarif PPN 12% yang baru akan diterapkan.

Dengan rencana tersebut, pemerintah berharap dapat mencapai tujuan fiskal yang berkeadilan, dengan mengandalkan partisipasi aktif masyarakat mampu dalam memenuhi kewajiban perpajakannya untuk memastikan kelangsungan pembangunan negara yang lebih baik. (alf)

Sebanyak 521.282 Wajib Pajak Belum Padankan NIK, DJP Imbau Segera Lakukan Secara Mandiri

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat hingga 3 Desember 2024, sebanyak 75.939.355 NIK (Nomor Induk Kependudukan) telah dipadankan dengan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Angka tersebut mencakup 99,32% dari total wajib pajak orang pribadi dalam negeri, yang berjumlah 76.460.637. Namun, masih ada sekitar 521.282 NIK yang belum terpadankan, atau setara dengan 0,68% dari jumlah keseluruhan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, mengungkapkan bahwa dari jumlah NIK yang sudah dipadankan dengan NPWP, sekitar 71,34 juta NIK dipadankan melalui sistem, sementara sekitar 4,59 juta NIK lainnya dipadankan secara mandiri oleh wajib pajak.

“Masih ada waktu tersisa, kami terus mengimbau agar wajib pajak segera menyelesaikan pemadanan NIK dan NPWP agar tidak terkendala dalam urusan perpajakan,” kata Dwi Astuti baru-baru ini.

Bagi wajib pajak yang belum melakukan pemadanan NIK dan NPWP, DJP telah menyediakan cara mudah untuk melakukannya. Langkah pertama adalah dengan mengakses laman DJP Online di www.pajak.go.id dan melakukan login menggunakan NIK atau NPWP yang terdaftar. Setelah login, wajib pajak dapat memperbarui data profil, termasuk nomor HP dan alamat email yang aktif.

Setelah memperbarui profil, sistem akan mengirimkan kode verifikasi melalui SMS atau email untuk memastikan kebenaran data. Setelah profil diperbarui, wajib pajak juga dapat melengkapi informasi tambahan, seperti klasifikasi lapangan usaha (KLU) dan data anggota keluarga.

Untuk memeriksa apakah NIK dan NPWP sudah terpadankan, wajib pajak dapat mengunjungi laman ereg.pajak.go.id, memasukkan NIK dan nomor Kartu Keluarga (KK), serta kode captcha yang tersedia. Setelah itu, wajib pajak cukup mengklik “Cari” untuk mengetahui apakah NIK sudah terintegrasi dengan NPWP.

DJP mengingatkan agar seluruh wajib pajak segera melakukan pemadanan NIK dan NPWP guna menghindari masalah administrasi di masa mendatang.(alf)

Tarif PPN 12 Persen: Indonesia dan Filipina Tertinggi di ASEAN

IKPI, Jakarta: Pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan baru terkait tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan diterapkan pada 1 Januari 2025. Tarif PPN yang dikenakan adalah sebesar 12% untuk barang-barang mewah, sementara barang kebutuhan pokok tetap dikenakan PPN sebesar 11%. Kebijakan ini bertujuan untuk melindungi rakyat kecil dengan membedakan antara barang kebutuhan dasar dan barang mewah.

Namun, tarif PPN Indonesia yang baru ini ternyata tidak termasuk yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Beberapa negara tetangga Indonesia seperti Filipina juga menerapkan tarif PPN 12%, yang dihitung berdasarkan harga jual bruto barang atau jasa.

Meskipun demikian, terdapat sejumlah negara ASEAN lainnya yang menetapkan tarif PPN lebih rendah, antara 6 hingga 10%, seperti Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja, yang mengenakan tarif PPN sebesar 10%. Sementara negara seperti Malaysia dan Singapura hanya mengenakan tarif PPN sebesar 6% dan 7%, masing-masing.

Tarif PPN yang berlaku di negara-negara ASEAN:

1. Filipina 12 persen
2. Indonesia 12%  pada 2025
3. Kamboja 10%
4. Laos 10%
5. Vietnam 10%
6. Malaysia pajak penjualan 10%, pajak layanan 8%
7. Singapura 9%
8. Thailand 7%

9. Timor-Leste pajak penjualan atas barang impor 2,5%, pajak penjualan atas barang lain 0%
10. Myanmar 0 % PPN, pajak komersial dengan tarif umum 5%.
11. Brunei Darussalam 0%.

Sementara itu, negara-negara lain di luar ASEAN juga menerapkan tarif pajak yang beragam. Di India, misalnya, tarif Pajak Barang dan Jasa (GST) berkisar antara 5% hingga 28% tergantung kategori barang atau jasa, dengan tarif umum sebesar 18% untuk sebagian besar barang dan jasa. Di Eropa, negara-negara seperti Hungaria dan Denmark memberlakukan tarif PPN yang lebih tinggi, mencapai 25%. Di sisi lain, beberapa negara Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab tidak mengenakan pajak PPN sama sekali. Timor Leste juga memiliki kebijakan pajak yang lebih rendah, yakni 2,5% untuk barang impor dan 0% untuk produk dalam negeri.

Meskipun tarif PPN Indonesia tergolong cukup tinggi di kawasan ASEAN, kebijakan ini tetap sebanding dengan negara tetangga seperti Filipina yang juga memberlakukan tarif 12%. Selain itu, Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa tarif PPN 12% akan dikenakan secara selektif pada barang mewah, sesuai dengan Pasal 4a Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan dapat menyeimbangkan penerimaan negara dengan melindungi daya beli masyarakat.

Presiden Prabowo Subianto mengonfirmasi bahwa kebijakan PPN 12% akan tetap diterapkan pada 1 Januari 2025, dengan pendekatan selektif terhadap barang mewah, seperti yang disampaikan dalam pernyataannya pada Jumat, 6 Desember 2024, di Istana Kepresidenan. Penerapan pajak ini diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan mendorong konsumsi yang lebih bijak.

Dengan kebijakan baru ini, pemerintah berharap dapat memperbaiki sistem perpajakan yang ada, memberikan dampak positif pada sektor ekonomi, dan meningkatkan penerimaan negara, sekaligus menjaga stabilitas harga barang-barang yang sangat dibutuhkan masyarakat.(alf)

APSyFI Sebut Kenaikan PPN 12% Tak Bebani Industri

IKPI, Jakarta: Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta, menyatakan bahwa keputusan pemerintah dengan memberlakukan kenaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN 12%) hanya kepada barang mewah pada tahun 2025, adalah keputusan tepat. Karena penerapan pada barang mewah hanya akan dikenakan pada produk akhir, bukan pada bahan baku atau bahan intermediate yang digunakan dalam proses produksi.

“Saya kira keputusan pemerintah ini sudah tepat karena yang ditarget adalah barang mewah,” ujar Redma dalam keterangan persnya, Senin (9/12/2024).

Menurut Redma, kebijakan ini tidak akan menambah beban biaya produksi di sektor manufaktur. Karena, meski kenaikan PPN 1% akan berdampak pada daya beli kelas menengah ke atas, hal tersebut tidak akan mengganggu jalannya produksi barang-barang industri.

Sebelumnya, kenaikan PPN yang direncanakan akan diberlakukan pada seluruh rantai pasok sempat menimbulkan kekhawatiran di kalangan produsen. Pasalnya, produsen harus menyiapkan tambahan modal untuk arus kas yang meningkat akibat beban bunga dari pengkreditan PPN. Dalam skenario tersebut, PPN yang dikenakan sepanjang rantai pasok bisa mencapai 21%, yang dinilai dapat memberatkan industri manufaktur.

Namun, meskipun APSyFI mendukung kebijakan tersebut, Redma juga menyoroti potensi dampak kenaikan PPN terhadap sektor transportasi dan logistik. Menurutnya, kenaikan harga barang mewah dapat mempengaruhi biaya logistik yang berujung pada peningkatan ongkos pengiriman. Ia pun berharap pemerintah mempertimbangkan dampak ini dan mendorong sektor logistik untuk melakukan efisiensi biaya.

Di sisi lain, APSyFI juga meminta pemerintah untuk lebih serius menangani masalah impor barang ilegal. Redma menilai bahwa pengentasan barang impor ilegal sangat penting untuk memperbaiki kondisi industri manufaktur dalam negeri. Selain itu, hal ini juga akan meningkatkan pendapatan pajak pemerintah tanpa memberatkan industri dan konsumen.

“Pengentasan barang impor ilegal merupakan hal utama untuk mengembalikan kondisi industri manufaktur. Sekaligus meningkatkan pendapatan pajak tanpa membebani industri dan konsumen,” kata Redma. (alf)

Pemerintah Finalisasi Pemberian Insentif PPnBM dan PPN DTP

IKPI, Jakarta: Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso, mengatakan pemerintah sedang melakukan finalisasi terhadap pemberian insentif PPnBM Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk pembelian mobil listrik dan PPN DTP untuk sektor properti. Kebijakan ini diberikan sebagai kompensasi dari penyesuaian tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% di 2025.

Dikatakan Susiwijono, untuk menyeimbangkan dampak dari PPN 12% diperlukan kajian oleh pemerintah, sehingga pihaknya akan memberikan usulan beberapa skema insentif fiskal khususnya PPN DTP dan PPnBM DTP.

“Lagi difinalisasi angka-angkanya,” ujar Susiwijono di Jakarta, Senin (9/12/2024).

Namun demikian, ia enggan menyebutkan kapan aturan teknis dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ini akan diterbitkan oleh pemerintah.

Sekadar informasi, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa penerapan tarif PPN 12% mulai berlaku tahun 2025. Sebab, implementasi PPN 12% adalah amanah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Namun, Prabowo menyatakan, tarif PPN 12% itu berlaku selektif hanya untuk barang mewah.

“Untuk rakyat yang lain kita tetap lindungi, sudah sejak akhir 2023 pemerintah tidak memungut yang seharusnya dipungut untuk membela, membantu rakyat kecil. Jadi kalaupun naik itu hanya untuk barang mewah,” kata Prabowo pekan lalu. (alf)

Wajib Pajak Harus Tahu Beda PPN dan PPh, Ini Penjelasannya

IKPI, Jakarta: Indonesia saat ini sedang ramai membicarakan isu kenaikan pajak, khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang telah meningkat menjadi 11% sejak April 2022. Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), PPN direncanakan akan naik lagi menjadi 12% pada tahun 2025.

Kenaikan ini menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat, salah satunya terkait perbedaan mendasar antara PPN dan Pajak Penghasilan (PPh).

Meskipun keduanya merupakan bagian dari sistem perpajakan Indonesia, PPN dan PPh memiliki tujuan, penerapan, dan mekanisme yang berbeda. Berikut penjelasan mengenai kedua jenis pajak tersebut:

Apa itu PPN dan PPh?

1. PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa dalam negeri. Secara sederhana, ini adalah pajak yang dibayar oleh konsumen akhir saat membeli barang atau menggunakan jasa. Namun, meskipun konsumen yang membayar, kewajiban memungut dan menyetorkan PPN ada di tangan Pengusaha Kena Pajak (PKP), yaitu pihak yang menjual barang atau jasa tersebut.

Contohnya, saat Anda membeli produk di supermarket, harga yang tertera biasanya sudah termasuk PPN. Saat ini, tarif PPN yang berlaku adalah 11% untuk sebagian besar barang dan jasa, dengan beberapa kategori barang dan jasa tertentu yang dikecualikan atau dikenakan tarif khusus, seperti kebutuhan pokok dan jasa pendidikan. Selain itu, ekspor barang dikenakan tarif 0% guna mendukung daya saing Indonesia di pasar global.

2. Berbeda dengan PPN, PPh adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh individu maupun badan usaha. Penghasilan yang dimaksud meliputi gaji, laba usaha, bunga, hadiah, dan sebagainya. Pajak ini langsung dibayarkan oleh penerima penghasilan atau melalui pemotongan oleh pihak lain, seperti perusahaan yang memotong PPh Pasal 21 dari gaji karyawannya setiap bulan.

Tarif PPh bersifat progresif untuk individu, dimulai dari 5% hingga 35% tergantung pada jumlah penghasilan kena pajak. Sementara itu, untuk badan usaha, tarif PPh umumnya sebesar 22%.

Dengan demikian, dapat disimpulkan perbedaan utama antara PPN dan PPh terletak pada objek pajak, mekanisme pembayaran, dan siapa yang menanggungnya. PPN dikenakan atas konsumsi barang dan jasa, dan dibayar oleh konsumen akhir, sedangkan PPh dikenakan atas penghasilan dan dibayar oleh penerima penghasilan, baik individu maupun badan usaha. Meskipun keduanya bagian dari sistem perpajakan yang penting, perbedaan mendasar ini perlu dipahami agar masyarakat dapat lebih cermat dalam memenuhi kewajiban pajaknya. (alf)

Pemerintah Prabowo Targetkan Penerimaan PPh Pasal 21 Meningkat Signifikan pada 2025

IKPI, Jakarta: Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto pada tahun depan akan fokus pada peningkatan penerimaan pajak dari sektor karyawan. Hal ini tercermin dari target pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang ditetapkan untuk tahun 2025, yang mengalami lonjakan signifikan dibandingkan dengan target tahun 2024.

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 201/2024 tentang Rincian APBN 2025, pemerintah menargetkan penerimaan PPh Pasal 21 mencapai Rp 313,5 triliun, yang merupakan kenaikan 45,6% dari target PPh Pasal 21 pada tahun 2024 yang sebesar Rp 215,2 triliun.

Kenaikan ini menjadi salah satu langkah strategis pemerintah untuk mengoptimalkan potensi penerimaan pajak yang berasal dari kelompok karyawan atau tenaga kerja.

Menurut Laporan APBN KITA Edisi November 2024, penerimaan PPh Pasal 21 sepanjang tahun 2024 telah mencapai Rp 206,99 triliun, yang menyumbang 13,64% terhadap total penerimaan pajak negara. Angka tersebut menunjukkan pertumbuhan yang cukup signifikan sebesar 23,14% secara year-on-year (yoy).

Pencapaian ini mencerminkan tren positif yang konsisten dari penerimaan PPh Pasal 21 dalam beberapa tahun terakhir, dengan pertumbuhan yang stabil di atas angka 20% pada tahun 2024.

Kinerja positif dari penerimaan PPh Pasal 21 ini didorong oleh sejumlah faktor, salah satunya adalah kompensasi gaji atau upah karyawan yang masih terjaga dengan baik. Dalam beberapa tahun terakhir, meskipun tantangan ekonomi global dan domestik, kompensasi tenaga kerja di Indonesia cenderung stabil, yang pada gilirannya berdampak positif terhadap penerimaan pajak dari sektor karyawan.

Dengan adanya target yang lebih tinggi ini, pemerintah berharap dapat mengoptimalkan potensi pajak penghasilan yang berasal dari karyawan untuk mendukung pembiayaan berbagai program pembangunan nasional.

Selain itu, langkah ini juga menunjukkan komitmen pemerintah dalam memperkuat basis pajak domestik, khususnya dalam menghadapi tantangan fiskal di tahun-tahun mendatang.

Namun, pencapaian target yang ambisius ini tentu akan bergantung pada sejumlah faktor, termasuk perkembangan ekonomi, kebijakan pengupahan, dan kepatuhan wajib pajak di kalangan karyawan.

Pemerintah diperkirakan akan terus memantau dan menyesuaikan kebijakan perpajakannya guna memastikan penerimaan negara tetap optimal.

Dengan langkah-langkah ini, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui perbaikan sektor perpajakan yang berkelanjutan. (alf)

Penerapan MFA, DJP Imbau Wajib Pajak Perbarui Data Pribadi di Aplikasi DJP Online

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mulai menerapkan sistem keamanan Multi-Factor Authentication (MFA) pada aplikasi DJP Online. Hal ini guna melindungi data Wajib Pajak dan mencegah tindakan penipuan.

Kebijakan ini diumumkan melalui Pengumuman Nomor PENG-33/PJ.09/2024 yang diteken oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat, Dwi Astuti, pada 2 Desember 2024.

Menurut Dwi, penerapan MFA bertujuan untuk memperkuat protokol keamanan data dalam rangka implementasi Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP atau Coretax). Proses transisi penerapan MFA akan berlangsung hingga 31 Desember 2024.

Dikatakannya, selama masa transisi ini, DJP mengimbau agar Wajib Pajak memperbarui data pribadi seperti nomor handphone dan alamat email pada aplikasi DJP Online, yang digunakan untuk keperluan perpajakan.

Dwi mengingatkan Wajib Pajak untuk secara berkala memperbarui kata sandi (password) aplikasi DJP Online sebagai langkah preventif terhadap potensi kebocoran data. “Kami juga menyarankan Wajib Pajak untuk memperbarui kata sandi secara berkala,” ujarnya.

Sekadar informasi, sejak penerapan MFA, pengguna yang mengakses aplikasi DJP Online diwajibkan untuk melakukan verifikasi melalui nomor token yang diterima melalui email, SMS, atau aplikasi M-Pajak. Langkah ini diambil sebagai bentuk perlindungan ekstra terhadap data pribadi Wajib Pajak.

DJP Kemenkeu juga mengingatkan agar Wajib Pajak berhati-hati terhadap upaya penipuan yang mengatasnamakan DJP. Ditegaskan, bahwa mereka tidak pernah meminta informasi sensitif seperti nama ibu kandung, file aplikasi (APK), atau transfer uang.

Semua komunikasi resmi DJP hanya dilakukan melalui nomor WhatsApp terverifikasi, yakni +62 822-3000-9880.

Dengan penerapan MFA ini, DJP berharap dapat lebih memastikan perlindungan terhadap data pribadi Wajib Pajak serta mencegah ancaman keamanan di dunia maya. (alf)

AHM Prediksi Kenaikan Harga Motor Hingga Rp 2 Juta Imbas Kenaikan PPN dan Opsen Pajak Kendaraan 2025

IKPI, Jakarta: Astra Honda Motor (AHM) memperkirakan harga jual motor Honda baru akan mengalami kenaikan akibat dampak dari kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% dan penerapan kebijakan opsen pajak kendaraan yang akan diberlakukan mulai 2025.

Octavianus Dwi Putro, Marketing Director AHM, mengungkapkan bahwa prediksi kenaikan harga motor baru Honda bisa mencapai Rp700 ribu hingga Rp2 juta per unit, tergantung pada model dan tipe kendaraan. “Itu tergantung model by model. Kalau simulasi saya, dengan angka normal nanti area per area bisa berbeda, ada yang lebih tinggi ada yang lebih rendah, kisaran kenaikannya bisa Rp700 ribu hingga Rp2 juta,” ujar Octavianus dalam keterangan kepada media kemarin.

Kebijakan opsen pajak kendaraan bermotor, yang merupakan pungutan tambahan yang ditetapkan oleh pemerintah kabupaten atau kota, rencananya akan mulai diterapkan pada 5 Januari 2025. Di sisi lain, kenaikan PPN yang naik dari 11 persen menjadi 12 persen juga direncanakan berlaku pada tahun depan.

Namun, Octavianus menambahkan bahwa AHM belum dapat memberikan rincian pasti mengenai kenaikan harga motor baru Honda di setiap daerah, karena kebijakan pajak daerah setempat berperan dalam menentukan tarif yang akan dikenakan pada kendaraan bermotor.

“Yang saya dengar, Kaltim malah kalau nggak salah justru mengalami penurunan, bukan kenaikan. Jadi, kami masih menunggu finalisasi keputusan tersebut,” ujarnya.

Ia menjelaskan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak akan memberlakukan kenaikan PPN maupun opsen pajak kendaraan bermotor pada tahun depan. Hal ini berarti, tidak ada perubahan harga jual motor Honda di Jakarta untuk tahun 2025. “Sebagai contoh, Jakarta kan nggak naik, opsen di Jakarta tuh zero,” tambahnya.

Octavianus juga berharap agar pemerintah dapat mempertimbangkan kembali keputusan untuk menaikkan PPN dan memberlakukan opsen pajak kendaraan pada tahun depan, karena kebijakan tersebut dinilai berpotensi mempengaruhi daya beli konsumen.

AHM masih menunggu keputusan final dari pemerintah terkait kebijakan tersebut dan akan melakukan perhitungan lebih lanjut setelahnya. (alf)

en_US