CELIOS Desak Pemerintah Cabut Insentif Pajak untuk Konglomerat, Potensi Tambahan Penerimaan Rp 137 Triliun

IKPI, Jakarta: Center for Economic and Law Studies (CELIOS) meminta pemerintah mengkaji ulang berbagai insentif pajak yang selama ini dinilai menguntungkan kelompok super kaya. Desakan ini disampaikan peneliti CELIOS, Jaya Darmawan, dalam diskusi publik dan peluncuran riset bertajuk “Dengan Hormat, Pejabat Negara: Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang” di Jakarta, Selasa (12/8/2025).

“Pemerintah perlu mengakhiri insentif pajak yang pro-konglomerat,” tegas Jaya.

Ia menyoroti besarnya belanja perpajakan yang dialokasikan untuk kelompok kaya raya, sebagaimana diungkap dalam Laporan Ketimpangan CELIOS tahun 2024.

Berdasarkan data tersebut, dari total belanja perpajakan sekitar Rp 400–500 triliun, pemerintah menggelontorkan sekitar Rp 137,4 triliun sebagai hidden subsidy bagi sektor bisnis dan investasi, termasuk melalui tax holiday, tax allowance, dan keringanan pajak di sektor ekstraktif seperti panas bumi. “Kebijakan seperti ini perlu ditinjau ulang,” ujarnya.

Riset terbaru CELIOS memperkirakan, pencabutan insentif pajak yang tidak tepat sasaran berpotensi menambah penerimaan negara hingga Rp 137,4 triliun. Selain itu, CELIOS juga mendorong penerapan pajak kekayaan bagi 50 orang terkaya di Indonesia yang diproyeksikan mampu menyumbang Rp 81,6 triliun ke kas negara.

Direktur Kebijakan Fiskal CELIOS, Media Wahyudi Askar, menekankan bahwa kepatuhan pajak masyarakat akan meningkat jika sistem dirasa adil. Ia menilai, secara persentase pendapatan, kelompok miskin justru menanggung beban pajak lebih besar ketimbang para miliarder yang berpenghasilan puluhan miliar rupiah per bulan.

“Orang super kaya tidak mungkin menghabiskan semua penghasilannya sekaligus. Sementara masyarakat miskin menghabiskan bahkan hingga 120 persen dari pendapatan mereka, dengan 20 persennya berasal dari utang,” papar Media.

Menanggapi hal itu, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak, Yon Arsal, mengapresiasi temuan CELIOS dan menilai riset tersebut sebagai bentuk keterlibatan publik dalam perumusan kebijakan fiskal. Ia mengatakan akan membawa masukan tersebut untuk dibahas lebih lanjut di internal Kementerian Keuangan.

“Itu ada yang cukup diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, ada juga yang harus mengubah undang-undang. Prosesnya bervariasi, ada yang bisa cepat, ada yang butuh waktu lebih panjang,” ujar Yon. (alf)

 

DJP dan Kejati Jatim Sepakat Perkuat Penegakan Hukum Pajak 

IKPI, Jakarta: Tiga Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di Jawa Timur menjalin langkah strategis dengan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur untuk memperkuat sinergi penegakan hukum di bidang perpajakan. Pertemuan berlangsung di Kantor Kejati Jatim, Surabaya, pada Senin (11/8/2025).

Audiensi tersebut dihadiri Kepala Kanwil DJP Jawa Timur I Samingun, Kepala Kanwil DJP Jawa Timur II Agustin Vita Avantin, dan Kepala Kanwil DJP Jawa Timur III Untung Supardi, yang diterima langsung oleh Kepala Kejati Jatim, Dr. Kuntadi. Fokus pembahasan mencakup optimalisasi pertukaran data antarinstansi, penguatan penagihan pajak aktif, serta pemberantasan peredaran rokok ilegal yang merugikan keuangan negara.

Samingun menekankan bahwa keterbukaan informasi, dengan tetap menjaga kerahasiaan data, menjadi kunci penggalian potensi pajak. “Semakin banyak data yang kita sandingkan, semakin besar peluang penerimaan negara bisa dioptimalkan,” ujarnya.

Hal.senada dikatakan Agustin. Ia menggarisbawahi pentingnya dukungan Kejati Jatim dalam proses penagihan pajak terhadap wajib pajak yang menunggak. “Kolaborasi ini akan memperkuat upaya penegakan hukum sekaligus mengamankan penerimaan negara,” tegasnya.

Sementara itu, Untung Supardi menyoroti kerugian akibat maraknya rokok ilegal, yang menurut kajian Indodata Research Center mencapai Rp97,81 triliun pada 2024. “Dampaknya bukan hanya pada penerimaan negara, tetapi juga menciptakan persaingan tidak sehat bagi pelaku usaha yang patuh,” katanya.

Menanggapi hal tersebut, Kajati Jatim Dr. Kuntadi menyatakan kesiapan kejaksaan untuk mendukung penuh upaya DJP. Mantan Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung itu menilai data hasil pertukaran antarinstansi dapat menjadi kunci mengungkap potensi pajak yang belum terpenuhi.

“Kami akan menelusuri setiap kasus, termasuk memastikan apakah transaksi yang ada sudah dilaporkan dengan benar,” ungkapnya.

Kedua pihak sepakat untuk memperkuat mekanisme pertukaran data, mempercepat proses hukum, dan menuntaskan penanganan kasus perpajakan serta peredaran rokok ilegal. Sinergi ini diharapkan tidak hanya mengamankan penerimaan negara, tetapi juga menciptakan iklim usaha yang sehat bagi wajib pajak yang taat aturan. (alf)

 

Jakarta Resmi Terapkan PBJT 2025, Gantikan Pajak Hiburan

IKPI, Jakarta: Mulai 2025, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta resmi menghapus Pajak Hiburan (PB1) dan menggantinya dengan skema Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT). Kebijakan ini menjadi tonggak reformasi pajak daerah yang diharapkan lebih relevan dengan perkembangan usaha, teknologi, dan kebutuhan fiskal ibu kota.

Transformasi ini mengacu pada UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) dan diatur melalui Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024. Tidak sekadar ganti nama, PBJT menyederhanakan jenis pajak, memperluas objek, dan menyesuaikan tarif agar lebih proporsional.

Jika sebelumnya PB1 mengenakan tarif bervariasi hingga 75 persen untuk hiburan malam, kini PBJT menetapkan tarif umum 10 persen untuk jasa makanan/minuman, perhotelan, parkir, listrik, dan hiburan. Pengecualian berlaku bagi diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan spa yang dikenakan tarif 40 persen.

Pemprov DKI menilai skema baru ini akan menciptakan sistem pajak yang lebih adil, efisien, dan transparan, sekaligus memberi kepastian hukum dan mendorong pertumbuhan usaha. Melalui sistem pelaporan elektronik, PBJT juga diharapkan memperkuat penerimaan daerah untuk pembiayaan layanan publik dan infrastruktur.

Bagi masyarakat, PBJT membawa harapan pada peningkatan kualitas layanan publik dan transparansi harga, sementara bagi pelaku usaha, kebijakan ini menawarkan kepastian tarif dan kemudahan administrasi.

Langkah ini disebut sebagai bagian dari upaya Pemprov DKI membangun tata kelola pajak daerah yang modern, tepercaya, dan berkelanjutan, sekaligus menjadi contoh yang bisa diadopsi daerah lain di Indonesia. (alf)

 

 

 

 

 

Tiga Calon Hakim Agung Khusus Pajak Lolos Seleksi KY 2025

IKPI, Jakarta: Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia resmi menetapkan tiga nama yang lolos seleksi Calon Hakim Agung (CHA) di Kamar Tata Usaha Negara (TUN) khusus pajak tahun 2025. Mereka adalah Dr. Budi Nugroho (Hakim Pengadilan Pajak), Dr. Diana Malemita Ginting, (Auditor Utama Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan), dan Dr. Triyono Martanto, S.E., (Hakim Pengadilan Pajak).

Pengumuman ini tertuang dalam Pengumuman Nomor: 13/PENG/PIM/RH.01.06/08/2025 yang ditetapkan melalui Rapat Pleno KY pada 9 Agustus 2025, dan diumumkan secara resmi pada 11 Agustus 2025 di Jakarta.

Selain Kamar TUN khusus pajak, KY juga mengumumkan kelulusan CHA di lima kamar lainnya, yakni Kamar Pidana, Kamar Perdata, Kamar Agama, Kamar Militer, serta Kamar TUN umum. Total ada 12 nama yang dinyatakan lolos seleksi tahun ini.

Keputusan KY bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat. Langkah berikutnya, para calon hakim agung akan mengikuti tahapan akhir sesuai prosedur penetapan di Mahkamah Agung. (bl)

 

 

Begini Cara Aktifkan Kembali Wajib Pajak Nonaktif Menurut PER-7/PJ/2025

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi mengatur ulang tata cara pengaktifan kembali wajib pajak nonaktif melalui Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-7/PJ/2025. Aturan ini memberikan dua jalur pengaktifan: berdasarkan permohonan wajib pajak atau secara jabatan oleh DJP.

Kepala KPP dapat memproses pengaktifan kembali apabila wajib pajak ingin kembali melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan. Permohonan bisa diajukan secara elektronik lewat portal Coretax, aplikasi terintegrasi PJAP, maupun contact center. Bagi yang terkendala akses digital, pengajuan dapat dilakukan langsung ke KPP atau melalui pos, ekspedisi, dan jasa kurir resmi.

Di layanan Coretax, wajib pajak cukup masuk ke menu Portal Saya → Perubahan Status → Pengaktifan Kembali Wajib Pajak Nonaktif, mengisi formulir, memilih alasan, lalu menyetujui pernyataan kesediaan memenuhi ketentuan perpajakan. Format formulir resmi tercantum di Lampiran huruf G PER-7/PJ/2025.

Setelah permohonan diterima, DJP akan memberikan bukti penerimaan elektronik atau fisik, sebelum kepala KPP menerbitkan surat pengaktifan kembali.

Selain melalui permohonan, DJP juga dapat mengaktifkan kembali wajib pajak secara jabatan apabila ditemukan data bahwa mereka sudah kembali aktif berusaha, membayar pajak, menyampaikan SPT, atau menggunakan layanan perpajakan yang memerlukan status aktif.

Aturan baru ini diharapkan mempermudah proses reaktivasi dan memastikan wajib pajak yang kembali produktif bisa langsung melaksanakan kewajiban pajaknya tanpa hambatan administratif. (alf)

 

 

 

 

Protes Kenaikan PBB, Warga Jombang Bayar Pakai Satu Galon Uang Koin

IKPI, Jakarta: Aksi protes terhadap kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, dilakukan dengan cara tak biasa oleh seorang warga Desa Pulolor, Kecamatan Jombang. Fattah Rochim, Senin (11/8/2025), datang ke kantor Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) sambil menenteng satu galon penuh uang koin untuk membayar pajak rumahnya.

Fattah mengaku kesal karena PBB-P2 rumahnya melonjak tajam dari Rp400 ribu per tahun menjadi Rp1,3 juta sejak 2024. Uang koin itu diambil dari celengan anaknya yang sudah dikumpulkan sejak duduk di bangku SMP.

“Saya terpaksa bayar pakai koin ini karena tidak ada uang lagi. Kenaikan pajak ini terlalu memberatkan,” ujarnya dalam sebuah video yang kini ramai di media sosial.

Dalam video tersebut, Fattah terlihat berdebat dengan Kepala Bapenda Jombang, Hartono. Ia menilai kenaikan pajak yang terlalu besar sangat tidak wajar, apalagi di tengah kondisi ekonomi warga yang belum pulih.

Fattah merupakan bagian dari Forum Rembug Masyarakat Jombang (FRMJ) yang menuntut revisi Peraturan Bupati (Perbup) Jombang Nomor 51 Tahun 2024. Regulasi itu dinilai sebagai penyebab melonjaknya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan PBB-P2, bahkan hingga menyasar musala dan tanah wakaf yang seharusnya bebas pajak.

Kepala Bapenda Jombang Hartono tidak menampik adanya kenaikan signifikan. Menurutnya, lonjakan hingga 1.000 persen terjadi karena data NJOP lama tidak pernah diperbarui. “Tidak semua naik, ada juga yang turun. Kenaikan besar terjadi di wilayah yang selama ini NJOP-nya jauh di bawah harga pasar,” katanya.

Gelombang protes warga diperkirakan masih akan berlanjut, mengingat kebijakan ini memicu keresahan di banyak desa dan kecamatan di Jombang. (alf)

 

 

 

 

 

Celios Desak Pemerintah Pungut Pajak Kekayaan, Potensi Rp81 Triliun per Tahun

IKPI, Jakarta: Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Keuangan, untuk mulai memungut pajak kekayaan dari segelintir orang superkaya di Indonesia. Berdasarkan kajian Celios, kebijakan ini berpotensi menambah pundi-pundi negara hingga Rp81,56 triliun setiap tahunnya.

Hitungan Celios berangkat dari estimasi kekayaan terendah 50 orang terkaya di Indonesia, yakni Rp15 triliun per orang, dengan rata-rata kekayaan mencapai Rp159 triliun. Dengan tarif pajak kekayaan yang diasumsikan hanya 2 persen, penerimaan negara sudah bisa menembus puluhan triliun rupiah.

“Memajaki hanya 2 persen aset dari 50 orang superkaya saja sudah menghasilkan lebih dari Rp81 triliun. Padahal, data terakhir mencatat ada hampir 2.000 orang superkaya di Indonesia. Artinya, potensi riilnya jauh lebih besar,” ujar Media saat peluncuran riset “Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang”, Selasa (12/8/2025).

Pajak kekayaan, jelasnya, merupakan instrumen progresif yang dikenakan atas total kekayaan bersih individu, termasuk tanah, properti, saham, kendaraan, karya seni, dan simpanan rekening. Tujuannya bukan memajaki produktivitas, tetapi mengendalikan konsentrasi kekayaan yang berlebihan, sekaligus memperbaiki ketimpangan distribusi ekonomi.

Celios menegaskan, ide ini selaras dengan pemikiran ekonom dunia seperti Thomas Piketty, Emmanuel Saez, dan Gabriel Zucman yang merekomendasikan pajak kekayaan progresif dan transparan di tengah melonjaknya konsentrasi aset secara global.

Namun, Indonesia hingga kini belum memiliki skema pajak kekayaan yang komprehensif. Pajak atas aset memang ada, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), hingga PPh final dividen. Tetapi, seluruh aset bersih individu belum menjadi objek pajak secara menyeluruh.

Keterbatasan kapasitas administrasi perpajakan dan resistensi dari elite ekonomi disebut sebagai tantangan utama. Media menilai, integrasi data aset nasional menjadi prasyarat penting, meliputi sistem informasi properti (SIP), Samsat, Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK), hingga fasilitas AKSes di pasar modal. Penguatan audit dan sanksi tegas juga perlu dilakukan agar kebijakan tidak mandek.

“Pajak kekayaan akan membuat sistem perpajakan lebih adil dan mengurangi beban pajak masyarakat umum, yang selama ini terlalu mengandalkan pajak regresif seperti PPN,” tambahnya.

Selain pajak kekayaan, Celios juga mendorong pemerintah mencari sumber penerimaan berkeadilan lainnya, termasuk pajak karbon, pajak produksi batu bara, hingga skema debt swap untuk mendukung transisi energi bersih dan pelestarian keanekaragaman hayati. (alf)

 

 

 

KP3SKP Umumkan Jadwal USKP Periode III/2025, 2.814 Peserta Lolos Verifikasi

IKPI, Jakarta: Komite Pelaksana Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak (KP3SKP) resmi merilis jadwal pelaksanaan Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak (USKP) Periode III/2025 melalui PENG-12/KP3SKP/VII/2025. Ujian akan digelar serentak di seluruh lokasi penyelenggaraan pada 7–9 Oktober 2025.

Meski ujian baru akan berlangsung Oktober mendatang, peserta yang telah dinyatakan lolos verifikasi diimbau segera mencermati jadwal serta lokasi pelaksanaan ujian sesuai ketentuan. “Pelaksanaan ujian dilakukan serentak di seluruh lokasi,” tulis KP3SKP dalam pengumuman resmi, Senin (11/8/2025).

Berdasarkan data KP3SKP, terdapat 2.814 pendaftar yang lolos verifikasi untuk Periode III/2025. Dari jumlah tersebut, 2.144 peserta tercatat mengikuti USKP Tingkat A, sementara 670 peserta mengikuti Tingkat B.

Adapun jadwal ujian terbagi dalam beberapa sesi dengan rincian sebagai berikut:

Selasa, 7 Oktober 2025

Tingkat A: PPh Badan (08.00–10.00 WIB) dan KUP, PPSP, PP (10.30–12.00 WIB)

Tingkat B: PPh OP dan SPT PPh OP (08.00–10.00 WIB) serta KUP, PPSP, PP (10.30–12.00 WIB)

Rabu, 8 Oktober 2025

Tingkat A & B: PPh Pemotongan/Pemungutan (08.00–10.00 WIB) dan PPN serta SPT PPN (10.30–12.00 WIB)

Kamis, 9 Oktober 2025

Tingkat A: PBB-P5L dan Bea Meterai (08.00–09.30 WIB), Profesi & Kode Etik (10.15–11.15 WIB)

Tingkat B: Akuntansi Perpajakan (08.00–10.00 WIB)

KP3SKP menegaskan seluruh jadwal ujian mengacu pada Waktu Indonesia Barat (WIB). Sementara informasi detail mengenai lokasi ujian dapat dilihat melalui Lampiran PENG-12/KP3SKP/VIII/2025.

Peserta juga diwajibkan mencetak kartu ujian secara mandiri melalui akun masing-masing di laman resmi: https://bppk.kemenkeu.go.id/uskp/. (alf)

 

 

 

 

 

 

APINDO Dorong Pemerintah Berikan Insentif Pajak Selektif

IKPI, Jakarta: Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Bob Azam menegaskan perlunya kebijakan insentif pajak yang lebih selektif. Menurutnya, insentif sebaiknya diarahkan pada sektor dengan daya ungkit tinggi terhadap perekonomian nasional dan penerimaan negara.

“Karena saat ini penerimaan negara masih kurang, jangan sampai tarif pajak dinaikkan. Pajak bersumber dari mereka yang berusaha dan bekerja, sehingga jika dinaikkan justru akan melemahkan daya beli dan memperlambat ekonomi. Karena itu, insentif harus diprioritaskan untuk sektor yang bila direlaksasi bisa meningkatkan revenue lebih besar,” jelas Bob yang juga Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Selasa (12/8/25).

Bob menekankan, strategi insentif yang tepat sasaran mampu memutus mata rantai pelemahan produktivitas di tengah tekanan global. “Insentif efektif adalah yang diberikan kepada sektor dengan elastisitas tinggi terhadap penerimaan negara,” tambahnya.

Perpanjangan Insentif Perumahan

Sejalan dengan pandangan dunia usaha, pemerintah juga memperluas cakupan insentif fiskal. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengumumkan bahwa Presiden Prabowo Subianto memutuskan memperpanjang insentif pajak properti hingga akhir 2025.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 13 Tahun 2025, pemerintah menanggung 100% Pajak Pertambahan Nilai (PPN DTP) untuk rumah dengan harga hingga Rp2 miliar, dan berlaku untuk properti dengan nilai jual maksimal Rp5 miliar. Awalnya, insentif penuh hanya diberikan sampai Juni 2025, lalu berkurang menjadi 50% mulai Juli. Namun, kebijakan tersebut diubah dan tetap berlaku penuh hingga Desember 2025.

“Terkait fasilitas PPN DTP properti yang seharusnya semester II hanya 50%, tadi disepakati tetap 100%. Kebijakan ini ditujukan untuk mendorong multiplier effect dan penciptaan lapangan kerja,” ujar Airlangga usai rapat koordinasi terbatas di Jakarta, 25 Juli 2025.

Data Kementerian Keuangan mencatat, sektor properti menyumbang 9,3% atau sekitar Rp185 triliun per tahun terhadap penerimaan pajak.

Insentif Otomotif dan Kendaraan Listrik

Selain perumahan, pemerintah juga memberikan stimulus untuk industri otomotif melalui PMK Nomor 12 Tahun 2025. Insentif tersebut berupa PPN DTP bagi mobil dan bus listrik serta PPnBM DTP untuk kendaraan hybrid. Langkah ini ditujukan guna memperkuat industri ramah lingkungan sekaligus memperluas basis penerimaan negara dari sektor otomotif yang strategis.

Dengan kombinasi kebijakan pemerintah dan usulan dunia usaha, arah insentif fiskal ke depan diharapkan semakin efektif menopang pertumbuhan ekonomi tanpa harus menambah beban pajak masyarakat. (alf)

Beban Pajak Masyarakat Miskin Diklaim Lebih Berat daripada Crazy Rich

IKPI, Jakarta: Ketimpangan beban pajak di Indonesia kembali menjadi sorotan. Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Media Wahyudi Askar, mengungkap fakta mencengangkan bahwa secara persentase pendapatan, masyarakat miskin justru membayar pajak lebih besar dibanding kelompok super kaya atau crazy rich.

Dalam sebuah diskusi publik di Jakarta, Media menilai kondisi ketidakadilan fiskal ini semakin terasa di tengah jurang kesenjangan sosial yang melebar. Ia mencontohkan, median gaji buruh hanya sekitar Rp2,5 juta, sedangkan garis kemiskinan keluarga telah menyentuh Rp2,8 juta.

“Kalau satu keluarga hanya mengandalkan upah buruh, maka setengah juta buruh Indonesia bisa dikategorikan miskin,” ujarnya.

Menurut Media, persoalan ini bisa diatasi melalui sistem pajak yang berkeadilan. Penerimaan negara yang optimal seharusnya diarahkan untuk melindungi kelompok rentan seperti buruh, pengangguran, lansia, hingga anak-anak yang mengalami stunting. Namun, ia menekankan kepatuhan pajak hanya mungkin tercapai jika masyarakat merasa sistemnya adil.

“Lihat saja protes warga di Pati, kenaikan PBB sampai 250% langsung diberlakukan tanpa diskusi yang inklusif. Akhirnya yang paling terdampak ya masyarakat kecil,” jelasnya.

CELIOS juga menemukan bahwa orang kaya lebih mudah menghindari kewajiban pajak, misalnya dengan menempatkan aset di luar negeri melalui perusahaan cangkang (shell company). Keuntungan modal kemudian dilaporkan di negara tempat aset itu tersimpan, sehingga beban pajak di Indonesia berkurang drastis.

“Fenomena ini bukan hanya di Indonesia. Warren Buffett sendiri pernah menyinggung kenapa orang super kaya bisa membayar pajak lebih kecil secara persentase dibanding kelas pekerja. Salah satunya karena capital gain mereka banyak yang belum terealisasi,” tambah Media.

Ia menegaskan bahwa masyarakat miskin menghabiskan hingga 120% dari pendapatannya 20% di antaranya berasal dari utang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebaliknya, kalangan kaya hampir mustahil menghabiskan seluruh penghasilannya, meski nilainya mencapai miliaran rupiah per hari.

“Coba bayangkan figur publik seperti Raffi Ahmad atau Deddy Corbuzier, dengan kekayaan triliunan, mereka tentu tidak menghabiskan Rp1 miliar per hari,” ujarnya.

Distribusi pendapatan yang timpang, menurut Media, berakibat fatal bagi perekonomian. Ketika kekayaan menumpuk di segelintir orang, daya beli masyarakat melemah, permintaan menurun, dan angka pengangguran, khususnya di kalangan anak muda, semakin tinggi.

“Ketidakadilan sistem pajak berkontribusi langsung pada menurunnya permintaan dan daya beli. Inilah yang membuat situasi ekonomi makin sulit,” pungkasnya. (alf)

 

 

 

 

en_US