Pemerintah Tautkan Insentif Pajak dengan Agenda Pembersihan Pasar Modal dan Proteksi Industri

IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai menerapkan pendekatan yang lebih selektif dalam pemberian insentif fiskal, dengan mengaitkannya pada kualitas iklim usaha dan kebersihan pasar keuangan. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahkan menegaskan bahwa insentif pajak di pasar modal hanya akan mengalir jika OJK dan BEI mampu menindak pelaku “saham gorengan.”

Pernyataan itu menandai babak baru insentif tidak lagi diberikan sekadar untuk mendorong investasi, tetapi sebagai leverage pemerintah untuk mendorong tata kelola ekonomi yang lebih bersih.

“Kalau dalam enam bulan ada penindakan jelas terhadap pelaku saham gorengan, insentif akan kami keluarkan lebih cepat,” kata Purbaya dalam Financial Forum di BEI, baru-baru ini. 

Ia menjelaskan, langkah tersebut diperlukan agar investor ritel masuk ke pasar yang lebih adil dan tidak terjebak manipulasi harga yang selama ini menggerus kepercayaan publik.

Di luar pasar modal, pemerintah juga menargetkan ketertiban perdagangan fisik. Purbaya menegaskan komitmen memperketat pengawasan impor ilegal, mulai dari tekstil thrifting hingga baja murah yang dinilai merusak industri domestik dan menggerus basis pajak jangka panjang. 

“Saya jaga border-nya, karena ini langsung berdampak pada domestic demand dan basis pajak kita,” tegasnya.

Pendekatan baru pemerintah ini semakin relevan mengingat belanja perpajakan Indonesia melonjak signifikan. Pada 2025, nilai insentif diproyeksikan naik 32,5% menjadi Rp530,3 triliun. Di sisi lain, DJP mencatat bahwa kebijakan fiskal menyumbang policy gap sebesar Rp396 triliun per tahun sepanjang 2016–2021.

Artinya, pemerintah kini tidak hanya mempertahankan insentif sebagai alat pengungkit pertumbuhan ekonomi seperti yang ditegaskan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Rapimnas Kadin tetapi juga sebagai alat kontrol. “Insentif ini akan efektif jika ekosistemnya bersih. Kalau pasar modal dan industri kita sehat, multiplier effect-nya jauh lebih tinggi,” ujar Airlangga.

Dengan demikian, insentif fiskal Indonesia memasuki fase baru: tidak diberikan merata, tetapi disesuaikan dengan kualitas tata kelola sektor penerima. Untuk pertama kalinya, pemerintah mengaitkan keringanan pajak dengan agenda penegakan hukum, integritas pasar, hingga perlindungan industri lokal.

Kebijakan ini dinilai para analis sebagai sinyal bahwa pemerintah ingin mengurangi kebocoran ekonomi, memastikan insentif tidak dinikmati oleh pelaku yang tidak berkontribusi terhadap kualitas perekonomian, serta mendorong pertumbuhan yang lebih sehat dan kompetitif menuju 2026. (alf)

Insentif Pajak Dinilai Bukan Lagi Soal Mengerek Investasi, Tetapi Menggeser Struktur Ekonomi ke Sektor Bernilai Tinggi

IKPI, Jakarta: Kebijakan insentif pajak yang selama ini kerap dibaca sebagai “biaya fiskal” kini mulai dilihat pemerintah sebagai instrumen untuk menggeser struktur ekonomi nasional menuju sektor bernilai tambah lebih tinggi. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa tax holiday dan tax allowance tidak dapat lagi dipahami sekadar sebagai pengurang penerimaan jangka pendek, melainkan sebagai pendorong transformasi industri secara sistemik.

Pandangan ini muncul di tengah sorotan publik atas meningkatnya belanja perpajakan yang pada 2025 diproyeksikan menembus Rp530,3 triliun dan kembali naik menjadi Rp563,6 triliun pada 2026. Dalam periode yang sama, tax ratio nasional tercatat memiliki gap rata-rata 6,4% terhadap PDB sepanjang 2016–2021, di mana 2,7% di antaranya berasal dari kebijakan fiskal berupa pengecualian dan insentif pajak.

“Dalam jangka panjang, insentif merupakan trade-off agar sektor penerima mampu menghasilkan nilai tambah, memperluas lapangan kerja, dan memperkuat daya saing,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas DJP Rosmauli, dikutip Minggu (7/12/2025). 

Ia menekankan bahwa setiap insentif yang digelontorkan diarahkan untuk menciptakan efek berantai yang lebih besar daripada penerimaan pajak yang “hilang” di tahun berjalan.

Pergeseran cara pandang ini membuat pemerintah semakin fokus menyusun insentif yang terukur. Bukan lagi soal “menarik investasi sebanyak mungkin,” tetapi “menarik investasi yang paling efektif mendorong transformasi struktur ekonomi” mulai dari industri berteknologi tinggi, manufaktur yang berbasis ekspor berkelanjutan, hingga sektor yang mampu memasok kebutuhan domestik agar impor dapat ditekan.

Dalam konteks tersebut, meningkatnya belanja perpajakan justru mencerminkan upaya pemerintah melakukan intervensi pada titik-titik yang selama ini menjadi bottleneck produktivitas. Pada 2025, insentif untuk peningkatan investasi diprioritaskan sebesar Rp84,3 triliun dan meningkat menjadi Rp84,7 triliun pada 2026.

“Pertanyaan utamanya bukan lagi ‘berapa banyak penerimaan yang hilang?’ tetapi ‘berapa besar nilai tambah yang tercipta?’” ujar Rosmauli.

Namun, sejumlah ekonom menilai jika arah kebijakan ini konsisten, maka transformasi ekonomi yang lebih dalam dapat dicapai tanpa harus menunggu penyesuaian tarif atau regulasi baru. Pemerintah, sedang menggunakan insentif pajak sebagai “kemudi” untuk mengarahkan ulang ekonomi Indonesia ke sektor bernilai tinggi, bukan hanya sebagai “pengurang beban” dunia usaha. (alf)

Subsidi Dinikmati Orang Kaya, Purbaya Siapkan Desain Ulang Skema Bantuan Pemerintah

IKPI, Jakarta: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkap temuan mengejutkan terkait penyaluran subsidi nasional. Dalam rapat bersama Komisi XI DPR, Purbaya menyebut masih banyak kelompok masyarakat berada pada desil 8, 9, bahkan 10—yang dikategorikan sebagai golongan menengah, menengah atas, hingga paling sejahtera, ternyata masih menikmati subsidi yang semestinya diperuntukkan bagi kelompok rentan.

Temuan tersebut muncul saat rapat evaluasi efisiensi subsidi yang digelar Kamis (4/12), bersama sejumlah BUMN strategis seperti Danantara, PLN, Pertamina, KAI, Pertamina Patra Niaga, hingga MIND ID. Dari data yang disampaikan, terlihat masih adanya kebocoran penyaluran subsidi yang bahkan menjangkau kelompok super kaya.

“Setelah kita lihat, ternyata yang kaya masih dapat. Itu aja. Saya dikasih waktu enam bulan ke depan untuk mendesain itu, mengoordinasikan desain tadi,” ujar Purbaya dalam rapat lanjutan di DPR, Jakarta, Jumat (5/12/2025).

Ia menjelaskan, persoalan salah sasaran ini dipengaruhi oleh desain subsidi yang belum sepenuhnya presisi serta keterbatasan sistem penyaluran di sejumlah sektor. Akibatnya, kelompok yang secara ekonomi mandiri masih mendapat manfaat subsidi yang seharusnya fokus pada masyarakat dalam desil 1 hingga 4.

“Masih ada orang yang relatif kaya, atau super kaya mungkin kalau di Indonesia, yang masih mendapat subsidi. Nanti ke depan akan kita lihat gimana perbaikannya,” tegasnya.

DPR telah memberikan target kepada Purbaya untuk menyelesaikan konsep desain ulang subsidi maksimal pada semester I-2026. Implementasinya akan dijalankan secara bertahap selama dua tahun berikutnya, dengan melibatkan koordinasi berbagai BUMN pengelola layanan publik.

Purbaya menegaskan bahwa rancangan baru tersebut akan memuat skema pengetatan penyaluran secara signifikan bagi kelompok mampu, terutama mereka yang masuk dalam desil 8–10. Anggaran subsidi yang berkurang dari kelompok kaya direncanakan akan dialihkan kepada masyarakat yang lebih membutuhkan.

“Yang kaya sekali, mungkin desil 8, 9, 10, subsidi akan dikurangin secara signifikan. Kalau perlu uangnya kita balikin ke yang desil 1, 2, 3, 4 yang lebih miskin. Itu utamanya, dan perlu desain khusus karena melibatkan BUMN-BUMN Danantara,” kata Purbaya.

Dengan desain ulang ini, pemerintah berharap kebijakan subsidi ke depan akan jauh lebih tepat sasaran, mengurangi kebocoran, dan memperkuat perlindungan bagi masyarakat berpendapatan rendah. (alf)

Ekonom Ingatkan Alarm Fiskal Imbas Beban Utang dan Lambatnya Pertumbuhan Pajak

IKPI, Jakarta: Peringatan mengenai ketahanan fiskal Indonesia kembali mengemuka setelah Tim Ekonom Bank Mandiri menyoroti ketidakseimbangan antara beban bunga utang yang meningkat pesat dan pertumbuhan penerimaan pajak yang berjalan lebih lambat. Kondisi tersebut dinilai menjadi sinyal serius bahwa struktur fiskal Indonesia membutuhkan penguatan segera agar ruang belanja negara tidak semakin terhimpit.

Kepala Riset Makroekonomi dan Pasar Keuangan Bank Mandiri, Dian Ayu Yustina, menjelaskan bahwa tren yang tampak dalam satu dekade terakhir menunjukkan divergensi yang semakin lebar. Menurutnya, pembayaran bunga utang pemerintah bergerak jauh lebih cepat dibandingkan kenaikan pendapatan pajak, sehingga menciptakan risiko jangka panjang bagi keberlanjutan APBN.

“Beban bunga utang terus naik secara signifikan, sementara pertumbuhan penerimaan pajak tidak cukup kuat untuk mengimbanginya. Ini harus menjadi alarm fiskal bagi pemerintah,” ujar Dian dalam paparan Economic Outlook kuartal IV, Jumat (5/12/2025).

Bank Mandiri mencatat bahwa pada 2016, indeks pembayaran bunga utang (basis 2010 = 100) berada pada angka 207, sedikit lebih tinggi dari indeks pendapatan pajak yang mencapai 178. Namun dalam proyeksi 2026, pembayaran bunga diperkirakan naik drastis hingga ke level 678, sedangkan pendapatan pajak hanya diprediksi mencapai 372. Selisih yang pada 2016 hanya 29 poin diperkirakan melebar hingga 306 poin dalam satu dekade.

Dian menegaskan bahwa pelebaran gap tersebut merupakan sinyal bahwa peningkatan pendapatan negara, terutama pajak, harus dipercepat. Apalagi, tekanan juga terlihat dari pergeseran keseimbangan primer. Jika pada Januari–Oktober 2024 pemerintah masih mampu mencatatkan surplus Rp97,3 triliun, periode yang sama pada 2025 justru menunjukkan defisit Rp45 triliun. Tren ini menunjukkan melemahnya kapasitas fiskal untuk menutup belanja rutin tanpa menambah utang.

Rasio pajak yang masih tertahan di kisaran 8,6%–8,7% dari PDB turut memperkuat kekhawatiran tersebut. Dengan kebutuhan belanja negara yang berada di sekitar 15% PDB, pemerintah dituntut mempercepat reformasi agar tax ratio dapat bergerak menuju 15%. Tanpa itu, beban bunga utang yang terus membesar dapat menggerus anggaran pembangunan.

“Kalau pertumbuhan pajak tetap berjalan lambat seperti sekarang, sementara bunga utang terus naik, ruang fiskal kita akan semakin sempit,” jelas Dian.

Untuk itu, Bank Mandiri merekomendasikan rangkaian langkah paralel guna memperkuat struktur penerimaan negara. Strategi tersebut mencakup perluasan basis pajak melalui integrasi NIK–NPWP dan ekstensifikasi sektor digital, peningkatan produktivitas PPN melalui penguatan C-efficiency dan wajib e-payment tracing, serta penutupan celah kepatuhan lewat pemanfaatan CTAS, pre-filled return, dan perluasan e-invoicing. Di sisi kebijakan, pemerintah juga didorong untuk mengoptimalkan bauran kebijakan mulai dari rasionalisasi insentif hingga implementasi pajak hijau seperti carbon tax dan cukai plastik.

Menurut Dian, seluruh langkah tersebut harus dijalankan bersamaan. Tanpa penguatan penerimaan pajak, APBN akan semakin rentan terhadap gejolak eksternal maupun tekanan pembiayaan dalam negeri. “Mempercepat pertumbuhan pajak adalah kunci untuk menjaga stabilitas fiskal dan memastikan APBN tetap mampu mendukung prioritas pembangunan,” ujarnya. (alf)

Pengamat Sebut Reformasi Fiskal Jadi Kunci Dongkrak Produksi Migas Nasional

IKPI, Jakarta: Upaya pemerintah meningkatkan kembali produksi minyak dan gas bumi (migas) menghadapi tantangan besar. Mayoritas lapangan migas nasional kini berada pada fase mature, sehingga kemampuan produksinya terus menurun. Dampaknya terlihat jelas: sepanjang 2014–2024, produksi minyak turun rata-rata 3,42% per tahun, sementara produksi gas merosot 1,72% per tahun.

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, kondisi ini hanya bisa diperbaiki jika pemerintah melakukan reformasi fiskal secara serius di sektor hulu migas. Tanpa langkah tersebut, iklim investasi sulit membaik. “Laporan IHS Markit (S&P Global) Juni 2025 menempatkan Indonesia di peringkat 9 dari 14 negara Asia Pasifik dalam daya tarik investasi hulu migas. Aspek fiskal dan legal kita yang paling lemah,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (6/12/2025).

Komaidi menjelaskan bahwa akar persoalan fiskal terletak pada hilangnya prinsip utama pengelolaan PSC, yakni assume and discharge serta asas lex specialis. Sejak berlakunya UU Migas No.22/2001, skema perpajakan hulu migas mengikuti ketentuan perpajakan umum, sehingga tidak lagi mencerminkan karakteristik khusus industri migas.

Menurut dia, revisi UU Migas menjadi kebutuhan mendesak untuk mengembalikan kepastian fiskal. Prinsip assume and discharge, yang memastikan kontraktor hanya menanggung pajak langsung sementara pajak tidak langsung ditanggung negara, harus ditegaskan kembali agar porsi bagi hasil benar-benar mencerminkan penerimaan bersih negara.

ReforMiner juga merekomendasikan penyempurnaan teknis pada dua skema PSC. Pada PSC Cost Recovery, usulan meliputi pengembalian prinsip assume & discharge untuk pajak tidak langsung, penyederhanaan insentif melalui revisi PP 79/2010 jo. PP 27/2017, serta penegasan aturan PBB, PPN, dan PPNBM. Sedangkan pada PSC Gross Split, ReforMiner mendorong perluasan pembebasan pajak hingga tahap eksploitasi, penghapusan SKFP, dan pembebasan PBB secara otomatis.

Mekanisme transisi fiskal juga perlu diperjelas, termasuk pengelolaan Tax Loss Carry Forward (TLCF), pemberlakuan surut, serta pengakuan kembali biaya komitmen pasti (K3P) dalam skema Cost Recovery, agar tidak menimbulkan lonjakan beban pajak bagi kontraktor.

Komaidi menekankan bahwa berbagai negara telah membuktikan keberhasilan reformasi fiskal dalam menjaga produksi pada lapangan tua. Brasil menurunkan royalti hingga 5% untuk lapangan mature, memberi insentif EOR, dan menyediakan percepatan depresiasi. Kebijakan tersebut berhasil mendorong pertumbuhan produksi minyak sebesar 3,8% per tahun selama 2013–2023. Malaysia juga sukses mempertahankan produksi di atas 500 ribu barel per hari selama dua dekade melalui penerapan beragam skema PSC seperti RSC, LLA dan SFA yang diatur khusus untuk lapangan mature maupun lapangan kecil.

Dari pengalaman berbagai negara tersebut, Komaidi menyimpulkan bahwa insentif fiskal merupakan kunci untuk menjaga keekonomian lapangan mature. “Sering kali satu-satunya cara mempertahankan produksi pada mature field adalah dengan memberikan insentif yang membuat keekonomian proyek tetap memenuhi batas toleransi bisnis,” katanya.

Ia menilai, jika reformasi fiskal tidak segera dijalankan, tren penurunan produksi akan semakin sulit ditahan dan Indonesia berisiko kehilangan daya saing dalam menarik investasi migas jangka panjang. (alf)

Prabowo Ultimatum Pengemplang Pajak, Tegaskan Negara Tak Akan “Dipermainkan” Lagi

IKPI, Jakarta: Presiden Prabowo Subianto mengirim sinyal keras kepada kalangan dunia usaha yang masih mengabaikan kewajiban perpajakan. Dalam pidatonya pada puncak HUT ke-61 Partai Golkar di Istora Senayan, Jakarta, Jumat (5/12/2025), kepala negara menegaskan bahwa era “main-main” terhadap aturan dan kewajiban kepada rakyat sudah berakhir.

Prabowo menyampaikan bahwa ketidakpatuhan pajak bukan sekadar pelanggaran administrasi, melainkan tindakan yang langsung merugikan rakyat. Ia menegaskan pemerintah tidak akan ragu mengambil langkah tegas bila masih ada pihak-pihak yang mencoba menghindari kewajiban tersebut.

“Kalau ada yang bermain-main, jangan salahkan ketika aparat hukum bertindak. Saya dan tim bekerja atas mandat rakyat. Tujuan kami hanya satu: menyejahterakan rakyat. Maka siapa pun yang merugikan rakyat, kembalilah ke jalan yang benar,” ujar Prabowo, menegaskan peringatan tersebut sebagai bagian dari sumpah jabatan yang ia emban.

Prabowo juga menyinggung kritik yang kerap diarahkan kepadanya. Ia menyatakan sering dianggap hanya berani bersuara di podium, tetapi justru disalahkan ketika penegakan hukum berjalan tegas. “Tapi saya bilang: siapa pun yang melanggar hukum, tobatlah,” katanya.

Menurut Prabowo, rakyat saat ini menghadapi tekanan hidup yang nyata. Kebutuhan akan rumah layak, sekolah yang baik, serta berbagai layanan dasar membutuhkan dukungan fiskal yang kuat—dan pajak adalah tulang punggungnya. Ia menegaskan pembangunan tidak mungkin berjalan hanya dengan retorika.

Bangga dengan Capaian Program Makan Bergizi Gratis

Dalam kesempatan yang sama, Prabowo juga menyampaikan kebanggaannya terhadap progres program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah berjalan selama 12 bulan. Ia menyebut capaian tersebut sebagai prestasi logistik besar yang mampu menempatkan Indonesia di atas negara-negara besar dalam hal jangkauan penerima manfaat.

“Hari ini sudah 49 juta makanan diberikan setiap hari. Itu lebih dari tujuh kali jumlah penduduk Singapura. Dan program ini sampai ke daerah terpencil,” kata Prabowo.

Ia bahkan menantang para akademisi yang sempat meragukan kemampuan pemerintah menjalankan program tersebut. Prabowo menegaskan bahwa dalam satu tahun, Indonesia mampu melampaui rekor Brasil yang baru mencapai 40 juta penerima manfaat dalam 11 tahun.

“Bukan soal angkanya, tapi soal wajah-wajah anak yang dulu jarang makan dengan layak, sekarang bisa menerima MBG dengan gembira,” ungkapnya. (alf)

DJP Batasi Cuti Pegawai di Desember 2025, Fokus Amankan Target Penerimaan Pajak

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengeluarkan kebijakan baru terkait penjadwalan cuti tahunan pegawai pada akhir tahun. Melalui Nota Dinas Nomor ND-338/PJ/PJ.01/2025, DJP meminta seluruh jajaran pimpinan unit untuk tidak mengajukan cuti tahunan sepanjang Desember 2025, kecuali untuk kebutuhan hari besar keagamaan atau keperluan mendesak yang tidak dapat ditunda.

Instruksi tersebut ditujukan kepada seluruh lini organisasi, mulai dari Sekretaris Ditjen Pajak, para direktur, kepala kantor wilayah, hingga pimpinan unit pelaksana teknis. Langkah ini diambil sebagai bagian dari strategi menjaga kelancaran pelayanan dan memastikan optimalisasi upaya pengamanan penerimaan pajak menjelang tutup tahun.

Dalam nota dinas tersebut dijelaskan bahwa pembatasan cuti diperlukan agar pelayanan terhadap wajib pajak tetap berjalan penuh dan responsif pada periode yang dikenal sebagai fase krusial penagihan dan finalisasi penerimaan negara. Pergerakan pegawai yang terkendali dinilai membantu unit-unit kerja menjaga ritme operasional tetap stabil di tengah meningkatnya aktivitas wajib pajak.

Saat dimintai keterangan, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Rosmauli menjelaskan bahwa nota dinas tersebut merupakan bagian dari manajemen internal yang rutin dilakukan DJP, terutama pada momen-momen dengan beban kerja tinggi.

“Ini praktik rutin yang selalu kami lakukan. Pengaturan serupa juga diberlakukan menjelang perayaan Idulfitri,” ujar Rosmauli, dikutip, Sabtu (6/12/2025).

Ia menegaskan bahwa DJP setiap tahun melakukan penataan sumber daya manusia (SDM) menjelang akhir tahun fiskal guna menjaga kualitas pelayanan publik dan memastikan angka penerimaan negara dapat diamankan sesuai target yang telah ditetapkan pemerintah.

“Prinsip DJP adalah menjaga pelayanan tetap berjalan tanpa mengganggu hak pegawai, khususnya cuti hari besar keagamaan. Fokus kami saat ini adalah memastikan penerimaan negara dan layanan kepada masyarakat tetap terjaga dengan baik,” tegasnya. (alf)

DJP Tegaskan SP2DK Berbasis Analitik, Bukan Instrumen Penagihan

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali menegaskan bahwa seluruh penerbitan Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) dilakukan melalui proses analisis berbasis data, bukan sebagai bentuk penagihan pajak. Penjelasan ini disampaikan Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, dikutip Jumat (5/12/2025).

Rosmauli mengungkapkan, sepanjang 2024 KPP di seluruh Indonesia menangani 688 ribu SP2DK—jumlah yang mencakup penerbitan tahun berjalan serta penyelesaian dokumen dari tahun sebelumnya. Dari serangkaian klarifikasi tersebut, tindak lanjut yang diterbitkan lewat Laporan Hasil Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (LHP2DK) memberi kontribusi penerimaan sebesar Rp37,27 triliun.

“SP2DK adalah ruang dialog antara DJP dan Wajib Pajak ketika ada data yang perlu dikonfirmasi. Ini bukan surat tagihan dan tidak dikaitkan dengan naik-turunnya penerimaan pajak,” ujar Rosmauli.

Ia menjelaskan, mekanisme pengawasan kepatuhan kini dijalankan dengan pendekatan analitik. Sistem DJP akan menandai potensi ketidaklengkapan kewajiban pajak. Berdasarkan temuan itu, petugas mempertimbangkan apakah perlu diterbitkan SP2DK agar Wajib Pajak memberikan klarifikasi.

Rosmauli menambahkan bahwa DJP tidak menetapkan target jumlah SP2DK untuk setiap kantor pelayanan pajak. Namun, dokumen tersebut merupakan bagian dari kegiatan Pengawasan Kepatuhan Material (PKM) yang didesain untuk memastikan kewajiban perpajakan dipenuhi dengan benar. (alf)

KPP Pratama Bantaeng Sita Aset PT KPS Senilai Rp2,1 Miliar, Tujuh Rumah Komersial Dipasang Segel

IKPI, Jakarta: Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Bantaeng mengambil langkah tegas terhadap penunggak pajak dengan menyita aset milik PT KPS di Timbuseng, Kecamatan Pattallassang, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Aset yang disita berupa tujuh unit rumah komersial dengan nilai taksiran mencapai Rp2,1 miliar.

Dalam keterangan yang diterima di Makassar, Kepala KPP Pratama Bantaeng Muhammad Reza Fahmi menyampaikan apresiasi atas sikap kooperatif perusahaan selama proses penyitaan berlangsung.

“Alhamdulillah, PT KPS sangat kooperatif dalam pelaksanaan penyitaan ini. Seluruh prosedur telah dijalankan sesuai ketentuan penagihan perpajakan,” ujarnya baru-baru ini.

Proses Penyitaan Sesuai Prosedur

Penyitaan dilakukan oleh dua Juru Sita Pajak Negara (JSPN), disaksikan oleh Kepala KPP Pratama Bantaeng, Kepala Seksi Pemeriksaan, Penilaian, dan Penagihan (Seksi P3), serta Account Representative yang menangani wajib pajak tersebut.

Tindakan ini dilaksanakan berdasarkan surat perintah penyitaan sebagai konsekuensi atas surat ketetapan dan surat tagihan pajak yang telah melewati jatuh tempo.

Sebelum masuk ke tahap penyitaan, KPP Pratama Bantaeng telah melakukan berbagai upaya penagihan aktif, termasuk penyampaian surat teguran, penerbitan surat paksa, hingga pemblokiran rekening wajib pajak. Namun hingga batas waktu yang diberikan, utang pajak belum juga dilunasi.

“Harapan kami, langkah ini bisa meningkatkan kesadaran wajib pajak bahwa utang pajak yang sudah inkrah wajib segera dilunasi,” kata Reza Fahmi.

DJP: Penyitaan untuk Menjaga Keadilan

Kepala Bidang Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Kanwil DJP Sulselbartra Sigit Purnomo menegaskan bahwa penegakan hukum perpajakan tidak dimaksudkan untuk menghukum, tetapi untuk menjaga keadilan bagi wajib pajak yang selama ini patuh.

“Seluruh proses dilakukan secara transparan dan akuntabel. Penegakan hukum bertujuan memastikan standar kepatuhan yang sama bagi semua pihak,” tegasnya.

Aset Dipasang Segel, Selanjutnya Bisa Dilelang

Proses penyitaan berjalan tertib hingga penandatanganan berita acara oleh Komisaris PT KPS, juru sita, serta dua saksi. JSPN kemudian memasang segel pada objek sitaan sebagai tanda bahwa aset tersebut tidak boleh dipindahtangankan selama masa penyitaan berlangsung.

Apabila utang pajak tetap tidak dilunasi dalam jangka waktu yang ditetapkan, aset tersebut akan diajukan untuk dilelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

Dengan adanya tindakan ini, KPP Pratama Bantaeng menegaskan komitmennya menjalankan penegakan hukum pajak secara tegas, terukur, dan sesuai peraturan. (alf)

Jepang Bahas Pajak Khusus Pertahanan, Publik Mulai Gelisah

IKPI, Jakarta: Pemerintah Jepang tengah menyusun rencana penerapan 防衛特別所得税 (Boue Tokubetsu Shotokuzei) atau Pajak Khusus Pertahanan sebagai sumber pendanaan baru untuk memperkuat sektor keamanan negara. Wacana ini mencuat seiring target Perdana Menteri Sanae Takaichi yang ingin meningkatkan belanja pertahanan hingga 2 persen dari PDB, mengikuti standar negara-negara maju.

Dalam rancangan awal, pemerintah mempertimbangkan penambahan sekitar 1 persen pada pajak penghasilan pribadi mulai tahun fiskal 2027. Namun, waktu penerapannya belum diputuskan karena penyusunan teknis dan perdebatan politik masih berjalan. Seorang politisi senior Jepang mengungkapkan bahwa usulan ini langsung memicu reaksi keras.

”Sebagian masyarakat menyebutnya sebagai pajak militer. Penolakannya cukup kuat,” katanya dikutip, Jumat (5/12/2025).

Selain pungutan individu, pemerintah juga menyiapkan 防衛特別法人税, pajak khusus yang akan dikenakan pada perusahaan untuk menopang biaya pertahanan sebelum skema untuk warga diberlakukan.

Rencana ini muncul di tengah meningkatnya ketegangan di Asia Timur. Isu Taiwan, perselisihan di Laut China Timur, serta aktivitas militer Tiongkok dan Korea Utara membuat Jepang menilai kebutuhan anggaran keamanan harus ditambah secara signifikan. Pemerintah memperkirakan kebutuhan tambahan mencapai triliunan yen per tahun sehingga pembiayaan baru dinilai tak terhindarkan.

Meski begitu, keputusan final belum diambil. Pemerintah masih menimbang dampak ekonomi dan tingkat penerimaan publik, terutama karena kebijakan ini akan langsung menambah beban pajak rumah tangga dan dunia usaha. (alf)

en_US